Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

ANATOMI, FISIOLOGI DAN PEMERIKSAAN FISIK HIDUNG

Disusun oleh :

Nuril Hasanah Rahman 170100127


Nurfayza Magistrani 170100128

PEMBIMBING:
dr. Aliandri, Sp. THT-KL (K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER DEPARTEMEN ILMU


KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan makalah berjudul ”Anatomi, Fisiologi dan
Pemeriksaan Fisik Hidung”. Makalah ini disusun sebagai salah satu syarat
dalam menyelesaikan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di
Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Dalam proses penyusunan makalah
ini, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada dr.
Aliandri, Sp. THT-KL (K) selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing dan membantu penulis selama proses penyusunan makalah.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
demi perbaikan penulisan makalah di kemudian hari. Akhir kata, semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat dan dapat menjadi bahan rujukan
bagi penulisan ilmiah di masa mendatang.

Medan, 23 April 2021

Penulis

i
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan pada tanggal :

Nilai :

Penguji

dr. Aliandri, Sp. THT-KL (K)

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN...........................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………………………. ………........iv
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................................1

1.2 Tujuan Penulisan...............................................................................................................1

1.3 Manfaat Penulisan…………………………………………………................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................2


2.1 Anatomi Hidung...............................................................................................................2
2.2 Anatomi Sinus Paranasal.....................................................................................................7
2.3 Fisiologi Hidung..............................................................................................................8
2.4 Pemeriksaan Fisik Hidung dan Sinus Paranasal.....................................................................10

BAB III KESIMPILAN...........................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................14

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1.1 Bagian-Bagian Hidung Luar...........................................................3


Gambar 2.1.2 Dinding Lateral Cavitas nasi…………...………………................5
Gambar 2.1.2 Anatomi Septum Hidung................................................................6
Gambar 2.1.3 Vaskularisasi Cavitas Nasi...……...………………........................7
Gambar 2.1.4 Persarafan Hidung …………………...………………….………..8
Gambar 2.2.4 Sinus Paranasal……..…………….................................................9
Gambar 2.3.2 Proses Penciuman di Bulbus Olfactorius…..................................12

iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Hidung adalah rongga terbuka tempat masuknya udara yang akan dialirkan ke paru-paru.
Hidung merupakan pintu masuk bagi udara, itu sebabnya hidung memiliki peranan yang penting
dalam proses pernafasan dan penciuman. Fungsi hidung meliputi organ olfaktori (penciuman),
respirasi (pernafasan), filtrasi debu, kelembapan udara yang dihirup serta eliminasi sekresi dari
sinus paranasal dan ductus nasolacrimalis (Fikri, 2019)(Moore, Dalley and Agur, 2018).

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air
conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius
(penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang
berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri
melalui konduksi tulang ; 4) refleks nasal. (Zahra, 2016).

Penting bagi tenaga kesehatan untuk mengetahui dengan baik bagaimana struktur anatomis
dan fungsi fisiologis yang normal pada manusia, agar dapat menilai adanya kelainan yang terjadi.

1.2 TUJUAN PENULISAN

Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan anatomi dari anatomi hidung, fisiologi serta
pemeriksaan fisik hidung serta untuk melengkapi tugas di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

1.3 MANFAAT PENULISAN

Manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai penambah wawasan mengenai anatomi hidung,
fisiologi serta pemeriksaan fisik hidung.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI HIDUNG
Hidung merupakan bagian saluran napas yang terletak di superior palatum durum dan berisi
organ perifer penciuman. Hidung terdiri atas hidung luar dan cavitas nasi, yang terbagi lagi atas
cavitas kiri dan kanan oleh septum nasi (Moore, Dalley and Agur, 2018).

2.1.1 Hidung Luar

Hidung adalah organ piramidal yang terletak pada bagian tengah wajah dan melekat pada
skeleton wajah. Bentuk serta ukuran hidung berbeda pada setiap individu. Dorsum nasi
memanjang mulai pangkal hidung sampai apex nasi. Pada bagian bawah hidung terdapat dua buah
nares (lubang hidung, apertura nasalis anterior) yang dibatasi pada bagian lateral oleh ala nasi
(Standring, 2015)(Moore, Dalley and Agur, 2018).
Skeleton hidung terdiri dari tulang dan kartilago hialin. Pars ossea hidung terdiri dari os
nasale, processus frontalis os maxillae, pars nasalis os frontale dan spina nasalis. Pars cartilaginea
nasi terdiri dari lima kartilago utama: dua cartilago nasi ateralis, dua cartilago alaris, dan satu
cartilago septi nasi (Moore, Dalley and Agur, 2018).

Gambar 2.1.1 Bagian-Bagian Hidung Luar

2
2.1.2 Cavitas Nasi

Cavitas nasi terbagi menjadi bagian kanan dan kiri oleh septum nasi, lubang masuk cavitas
nasi bagian depan malalui nares. Kemudian cavitas nasi bermuara di posterior ke dalam
nasopharynx malalui koana.
Setiap cavitas nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan
superior. Bagian inferior cavitas nasi berbatasan dengan kavum oris dipisahkan oleh palatum
durum. Ke arah posterior berhubungan dengan nasofaring melalui koana. Di sebelah lateral dan
depan dibatasi oleh nasus externus. Di sebelah lateral belakang berbatasan dengan orbita Sinus
maxillaris, sinus etmoidalis, fossa pterygopalatina, fossa pterigoides (Zahra, 2016).

A) Dasar hidung
Dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum. Atap
hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, dan tulang-tulang os nasale, os
frontale lamina cribrosa, os etmoidale, dan corpus os sphenoidale. Dinding medial rongga
hidung adalah septum nasi. Septum nasi terdiri atas kartilago septi nasi, lamina
perpendikularis os etmoidale, dan os vomer. Sedangkan di daerah apex nasi, septum nasi
disempurnakan oleh kulit, jaringan subkutis, dan kartilago alaris major.

B) Dinding lateral
Dinding lateral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu di anterior terdapat
prosesus frontalis os maksila, di medial terdapat os etmoidal, os maksila serta konka, dan
di posterior terdapat lamina perpendikularis os palatum, dan lamina pterigoides medial.
Bagian terpending pada dinding lateral adalah empat buah konka. Konka terbesar dan
letaknya paling bawah ialah konka inferior kemudian konka yang lebih kecil adalah
konka media, konka superior dan yang paling kecil adalah konka suprema.

3
Gambar 2.1.2 Dinding lateral cavitas nasi (Zahra, 2016)

Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
dinamakan dengan meatus. Terdapat tiga meatus yaitu meatus inferior, media dan
superior. Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara
septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Resesus sfenoetmoidal terletak
di posterosuperior konka superior dan di depan konka os spenoid. Resesus sfenoetmoidal
merupakan tempat bermuaranya sinus sfenoid. Meatus media merupakan salah satu celah
yang di dalamnya terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus
etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding
lateralnya terdapat celah berbentuk bulan sabit yang disebut sebagai infundibulum.
Muara atau fisura berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius
dengan infundibulum dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial
infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai
prosesus unsinatus. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior
bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di
bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Meatus
nasi inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara duktus
nasolakrimalis.

4
C) Dinding inferior
Dinding inferior merupakan dasar cavitas nasi yang dibentuk oleh Os maxillae dan Os
palatum.
D) Dinding superior
Dinding superior hidung dibentuk oleh Lamina cribrosa, yang memisahkan bagian
rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina cribrosa adalah lempeng tulang yang
berasal dari Os ethmoid, tulang ini berlubang-lubang tempat masuknya serabut saraf
olfaktorius.
E) Septum Hidung
Septum membagi cavitas nasi menjadi ruang kanan dan kiri. Bagian posterior
dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum,
premaksila dan kolumela membranosa. Bagian posterior dan inferior oleh os vomer,
krista maksila, krista palatina dan krista sfenoid. Pada bagian depan septum terdapat
anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior,
dan a.palatina mayor yang disebut Pleksus Kiesselbach (Little’s area).

Gambar 2.1.2 Anatomi septum hidung (Zahra, 2016)


2.1.3 Vaskularisasi Hidung

Suplai arterial dinding medial dan lateral cavitas nasi berasal dari lima sumber:
a) A. ethmoidalis anterior
b) A. ethmoidalis posterior
c) A. sphenopalatina
d) A. palatina major
e) R. septalis A. labialis superior

5
A. sphenopalatina dan A. ethmoidal anterior adalah arteri terpenting pada cavitas nasi.
Terdapat anastomosis dari empat sampai lima arteri yang memperdarahi septum nasi (area
Kiesselbach), dan biasanya berperan sebagai sumber terjadinya epistaksis (Moore, Dalley and
Agur, 2018).

Gambar 2.1.3 Vaskularisasi Cavitas Nasi (Moore, Dalley and Agur, 2018)
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya. Vena-vena dihidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi
untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intracranial (Soepardi et al., 2012).

2.1.4 Persarafan Hidung

6
Gambar 2.1.4 Persarafan Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus.
Rongga hidung lainnya sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui
ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.ganglion ini menerima
serabut saraf sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan
serabut saraf simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan
sedikit di atas ujung posterior konka media.
Fungsi penghidu berasal dari n.olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada
mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung (Soepardi, 2012).

2.2 ANATOMI SINUS PARANASAL


Sinus paranasal adalah rongga yang terdapat didalam tulang-tulang kepala. Semua sinus
bermuara ke rongga hidung. Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal,
sinus etmoid dan sinus sfenoid (Soepardi et al., 2012) (Moore, Dalley and Agur, 2018).
2.2.1 Sinus frontaslis
Sinus frontalis terletak di antara tabula luar dan dalam Os frontale, dibelakang Arcus
superciliaris dan radix nasi.
2.2.2 Sinus maxillaris

Sinus maxillaris merupakan sinus paranasal terbesar. Sinus maxillaris mengisi corpus
maxillae dan berhubungan dengan meatus nasi medius.
2.2.3 Sinus sfenoidalis
Sinus sphenoidalis terletak pada corpus ossis sphenoidalis dan dapat meluas ke dalam ala
tulang tersebut. Sinus tersebut terbagi secara tidak merata oleh septum bertulang.
2.2.4 Sinus ethmoidalis
3 pasang sinus ethmoidalis (anterior, medial dan posterior) terletak pada tulang ethmoid,
berada di antara hidung dan mata. Selapis tulang tipis memisahkan sinus-sinus ini dengan bagian
mata.

7
Gambar 2.2.4 Sinus Paranasal (Moore, Dalley and Agur, 2018)
2.3 FISIOLOGI HIDUNG

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air
conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius
(penghidu) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang
berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri
melalui konduksi tulang ; 4) refleks nasal (Soepardi et al., 2012).
2.4.1 Fungsi Respirasi
Udara yang diinspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior
(lubang hidung), lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah
nasofaring. Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir suhu udara yang
diatur berkisar 37 derajat Celcius. Fungsi pengaturan suhu ini dimungkinkan karena banyak
pembuluh darah di bawah epitel dan ada permukaan yang luas pada konka dan septum. Udara
yang dihirup juga akan disaring melalui: a) rambut pada Vestibulum nasi, b) cilia, c) palut lendir
(Soepardi et al., 2012).
2.4.2 Fungsi penghidu
Mukosa olfaktorius berada di atap rongga hidung, dengan lebar sekitar 3 cm 2. Lapisan
mukosa ini terdiri atas 3 jenis sel: sel reseptor olfaktorius, sel pendukung, dan sel basal. Sel
pendukung mensekresi lendir/mukus, yang melapisi rongga hidung. Sel basal merupakan
prekursor dari sel reseptor olfaktorius, yang akan digantikan setiap dua bulan.

8
Sel reseptor olfaktorius merupakan neuron aferen yang bagian reseptornya terletak pada
mukosa olfaktorius hidung, dan akson aferennya bergerak ke otak. Akson-akson dari sel reseptor
ini akan bermuara ke Nervus Olfaktorius (Nervus kranialis I) sebelum mencapai bagian otak
(Sherwood, 2016).
Proses penghidu dimulai dari eksitasi sel reseptor olfaktorius. Odoran yang masuk ke dalam
rongga hidung akan bersentuhan dengan permukaan membran olfaktorius, menyatu dengan lendir
yang melapisi silia dan berikatan dengan protein-protein reseptor pada membran silia dari sel
reseptor (Hall and Hall, 2019).
Ikatan odoran dengan reseptor akan mengakibatkan transduksi sinyal elektrik. Akson-akson
dari sel reseptor olfaktorius yang berikatan dengan odoran yang sama akan memproyeksikan
sinyal menuju lamina cribrosa, masuk ke bulbus olfaktorius dan berkumpul menjadi glomeruli-
glomeruli. Pada bulbus olfaktorius dan glomeruli-glomeruli ini, sinyal elektrik akan dipilah sesuai
dengan odorannya, sebelum sinyal masing-masing odoran dikirimkan ke korteks olfaktorius
sebagai pusat persepsi penciuman melalui Nervus Olfaktorius untuk diinterpretasikan sebagai
aroma/bau tertentu.

Gambar 2.3.2 Proses Penciuman di Bulbus Olfactorius

2.4.3 Fungsi Fonetik


Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara
sengau (bindeng). Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Terutama kata yang dibentuk
oleh lidah, bibir da palatum mole (m, n, ng) (Soepardi et al., 2012).

9
2.4.4 Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan napas
berhenti. Rangsangan bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pancreas
(Soepardi et al., 2012).

2.4 PEMERIKSAAN FISIK HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

Pemeriksaan hidung diawali dengan melakukan inspeksi dan palpasi hidung bagian luar dan
daerah sekitarnya. Inspeksi dilakukan dengan mengamati ada tidaknya kelainan bentuk hidung,
tanda-tanda infeksi dan sekret yang keluar dari rongga hidung. Palpasi dilakukan dengan
penekanan jari-jari telunjuk mulai dari pangkal hidung sampai apeks untuk mengetahui ada
tidaknya nyeri, massa tumor atau tanda-tanda krepitasi.

Pemeriksaan rongga hidung dilakukan melalui lubang hidung yang disebut dengan
Rhinoskopi anterior dan yang melalui rongga mulut dengan menggunakan cermin nasofaring yang
disebut dengan Rhinoskopi posterior (Fakultas Kedokteran UNHAS, 2016).

2.4.1 Rhinoskopi anterior

RA dilakukan dengan menggunakan speculum hidung yang disesuaikan dengan besarnya


lubang hidung. Spekulum hidung dipegang dengan tangan yang dominan. Spekulum digenggam
sedemikian rupa sehingga tangkai bawah dapat digerakkan bebas dengan menggunakan jari
tengah, jari manis dan jari kelingking. Jari telunjuk digunakan sebagai fiksasi disekitar hidung.
Lidah speculum dimasukkan dengan hati-hati dan dalam keadaan tertutup ke dalam rongga hidung.
Di dalam rongga hidung lidah speculum dibuka. Jangan memasukkan lidah speculum terlalu dalam
atau membuka lidah speculum terlalu lebar. Pada saat mengeluarkan lidah speculum dari rongga
hidung , lidah speculum dirapatkan tetapi tidak terlalu rapat untuk menghindari terjepitnya bulu-
bulu hidung.

Amati struktur yang terdapat di dalam rongga hidung mulai dari dasar rongga hidung, konka-
konka, meatus dan septum nasi. Perhatikan warna dan permukaan mukosa rongga hidung, ada
tidaknya massa , benda asing dan secret. Struktur yang terlihat pertama kali adalah konka inferior .
Bila ingin melihat konka medius dan superior pasien diminta untuk tengadahkan kepala.

10
Pada pemeriksaan RA dapat pula dinilai Fenomena Palatum Molle yaitu pergerakan palatum
molle pada saat pasien diminta untuk mengucapkan huruf “ i “. Pada waktu melakukan penilaian
fenomena palatum molle usahakan agar arah pandang mata sejajar dengan dasar rongga hidung
bagian belakang. Pandangan mata tertuju pada daerah nasofaring sambil mengamati turun naiknya
palatum molle pada saat pasien mengucapkan huruf “ i ” . Fenomena Palatum Molle akan negatif
bila terdapat massa di dalam rongga nasofaring yang menghalangi pergerakan palatum molle, atau
terdapat kelumpuhan otot- otot levator dan tensor velli palatini.

Bila rongga hidung sulit diamati oleh adanya edema mukosa dapat digunakan tampon kapas
efedrin yang dicampur dengan lidokain yang dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk
mengurangi edema mukosa.

2.4.2 Rhinoskopi posterior

Pasien diminta untuk membuka mulut tanpa mengeluarkan lidah, 1/3 dorsal lidah ditekan
dengan menggunakan spatel lidah. Jangan melakukan penekan yang terlalu keras pada lidah atau
memasukkan spatel terlalu jauh hingga mengenai dinding faring oleh karena hal ini dapat
merangsang refleks muntah. Cermin nasofaring yang sebelumnya telah dilidah apikan,
dimasukkan ke belakang rongga mulut dengan permukaan cermin menghadap ke atas. Diusahakan
agar cermin tidak menyentuh dinding dorsal faring.. Perhatikan struktur rongga nasofaring yang
terlihat pada cermin.

Amati septum nasi bagian belakang, ujung belakang konka inferior, medius dan superior,
adenoid (pada anak), ada tidak secret yang mengalir melalui meatus. Perhatikan pula struktur
lateral rongga nasofaring : ostium tuba, torus tubarius, fossa Rossenmulleri.

Selama melakukan pemeriksaan pasien diminta tenang dan tetap bernapas melalui hidung.
Pada penderita yang sangat sensitif, dapat disemprotkan anestesi lokal ke daerah faring sebelum
dilakukan pemeriksaan.

2.4.3 Pemeriksaan Sinus Paranasalis

Inspeksi dilakukan dengan melihat ada tidaknya pembengkakan pada wajah. Pembengkakan
dan kemerahan pada pipi, kelopak mata bawah menunjukkan kemungkinan adanya sinusitis
maksilaris akut. Pembengkakan pada kelopak mata atas kemungkinan sinusitis frontalis akut.
Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk pada gigi bagian atas menunjukkan adanya Sinusitis
maksilaris.

11
Nyeri tekan pada medial atap orbita menunjukkan adanya Sinusitis frontalis. Nyeri tekan di
daerah kantus medius menunjukkan adanya kemungkinan sinusitis etmoidalis (Fakultas
Kedokteran UNHAS, 2016).

2.4.4 Pemeriksaan Indera Penghidu (Nervus Kranialis: Nervus Olfaktorius)

Pemeriksaan ini dimulai dengan menerangkan tujuan pemeriksaan kepada klien. Syarat
Pemeriksaan : Tidak ada penyakit intranasal. lalu meminta penderita duduk atau berbaring, sambil
menutup matanya. Kemudian menaruh salah satu bahan/zat di depan salah satu lubang hidung
klien sementara lubang hidung yang lain ditutup. Zat pengetes yang digunakan sebaiknya zat yang
dikenal sehari-hari, misalnya kopi, teh, tembakau, jeruk. Meminta klien mencium bahan/zat yang
dikenalnya, lalu menanyakan kepada klien apakah Ia dapat mengenali dan mendeskripsikan bau
yang dihirupnya (Fakultas Kedokteran UNHAS, 2016). Berikut adalah beberapa interpretasi dari
pemeriksaan indera penghidu:

 Normosmia: kemampuan menghidu normal, tidak terganggu.


 Hiposmia: kemampuan menghidu menurun, berkurang.
 Hiperosmia: meningkatnya kemampuan menghidu.
 Parosmia: tidak dapat mengenali bau-bauan, salah hidu.
 Kakosmia: persepsi adanya bau busuk, padahal tidak ada.
 Halusinasi penciuman: biasanya berbentuk bau yang tidak sedap, dapat dijumpai pada
serangan epilepsi yang berasal dari girus unsinat pada lobus temporal, dan sering disertai gerak
mengecap-ngecap (epilepsi jenis parsial kompleks).

12
BAB III

KESIMPULAN
Hidung berfungsi sebagai organ pernafasan dan indera penciuman. Hidung luar terdiri dari
pangkal hidung, batang hidung, puncak hidung dan cuping hidung, yang dibentuk oleh susunan
kulit, jaringan ikat, tulang rawan dan tulang keras. Hidung bagian dalam terdiri dari lubang
hidung, septum dan cavitas nasi. Hidung memiliki fungsi pernafasan dan fungsi penghidu secara
fisiologis. Sebagai organ pernafasan, hidung membantu penyesuaian kualitas udara yang masuk ke
paru. Sebagai indera penciuman, hidung menjadi tempat mukosa olfaktori yang merupakan tempat
berikatan odoran yang masuk dari udara yang dihirup. Pendekatan pasien melalui anamnesis serta
pemeriksaan fisik yang baik akan sangat membantu dalam membantu menegakkan diagnosis
secara tepat.

13
DAFTAR PUSTAKA

1) Fakultas Kedokteran UNHAS (2016) ‘Buku Penuntun Kerja Keterampilan


Klinik Pemeriksaan Fisis Telinga Hidung Dan Tenggorok’.
2) Fikri, M. (2019) ‘DERAJAT SUMBATAN HIDUNG PADA SEPTUM
DEVIASI DAN KONKA HIPERTROFI’.
3) Hall, J. E. and Hall, M. E. (2019) Textbook of Medical Physiology.
4) Moore, K. L., Dalley, A. F. and Agur, A. M. (2018) Clinically Oriented
Anatomy.
5) Sherwood, L. (2016) Human Physiology: from cells to system. Ninth.
6) Soepardi, E. A. et al. (2012) Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga, Hidung
Tenggorok, Kepala & leher.
7) Standring, S. (2015) ‘Gray’s Anatomy_ The Anatomical Basis of Clinical
Practice-Elsevier (c2016).pdf’, p. 103.
8) Zahra, S. S. (2016) ‘PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP
DERAJAT SUMBATAN HIDUNG PADA PEROKOK’, Studies and
Research, 7(19), pp. 23–30. doi: 10.12816/0023320.

14

Anda mungkin juga menyukai