Kartika Rosyah
ii
DAFTAR ISI
PENUTUP........................................................................................................................ 23
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas maka dapat
dirumuskan masalah makalah ini adalah “Apa saja kelainan kogenital yang bisa
terjadi pada hidung?.”
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang:
1. Anatomi Hidung
2. Peredaran darah hidung
3. Persarafan hidung
4. Embryogenesis hidung
5. Kelainan kongenital hidung
6. Faktor-faktor kelainan kongenital
7. diagnosis
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :
1) tulang hidung (os nasal)
2) prosesus frontalis os maksila dan
3) prosesus nasalis os frontal
sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang
rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu
1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago
ala mayor dan
3) tepi anterior kartilago septum. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
3
2.1.2. Anatomi Hidung Dalam
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari
os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan
rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral
terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka
inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara
konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media
disebut meatus superior. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007; Hilger PA,1997)
4
1. Septum Nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh
kartilago septum (kuadrilateral) , premaksila dan kolumela membranosa; bagian
posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila , Krista palatine serta krista
sfenoid. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007) Fungsi septum nasi antara lain
menopang dorsum nasi (batang hidung) dan membagi dua kavum nasi.
Ada 2 bagian yang membangun septum nasi, yaitu :
a. Bagian anterior septum nasi, yang tersusun oleh tulang rawan yaitu
kartilago quadrangularis.
b. Bagian posterior septum nasi. tersusun oleh lamina perpendikularis os
ethmoidalis dan vomer.
2. Kavum nasi
Kavum nasi terdiri dari:
a. Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus
horizontal os palatum. (Ballenger JJ,1994)
b. Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,
prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid.
Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh
5
filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial
konka superior. (Ballenger JJ,1994)
c. Dinding Lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila,
os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os
etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina
pterigoideus medial.(Ballenger JJ,1994)
d. Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara
konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara
konka media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka
media disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat
(konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka
media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior dan
palatum. (Ballenger JJ,1994)
e. Meatus superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara
septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel
etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau
beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan
di depan korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat
bermuaranya sinus sfenoid. (Ballenger JJ,1994)
f. Meatus media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih
luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus
maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior
konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah
yang berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu
muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus
6
medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding
inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti
laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada
penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel
etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid anterior
biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior
biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di
posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang
duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum.
(Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)
g. Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai
muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di
belakang batas posterior nostril. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007)
h. Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap
nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum,
bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan
bagian luar oleh lamina pterigoideus. (Ballenger JJ,1994).
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri
atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan
sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular
dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah
apeks prosesus zygomatikus os maksilla. (Ballenger JJ,1994 ; Dhingra PL, 2007 ;
Hilger PA,1997)
7
columnar epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari
rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel
goblet (Sobol SE, 2007).
8
2.2. PEREDARAN DARAH DI HIDUNG
Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis
nterna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.
maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina
yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki
rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung
mendapat pendarahan dari cabang – cabang a.fasialis. (Soetjipto D & Wardani
RS,2007)
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina,a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang
disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis(pendarahan hidung) terutama pada anak. (Soetjipto D & Wardani
RS,2007)
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya . Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena
di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk
mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial. (Soetjipto D & Wardani
RS,2007).
9
Dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis
mayor dan serabut-serabut simpatis dari n. petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka
media. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu
pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. (Dhingra PL, 2007 ;
Soetjipto D & Wardani RS,2007).
10
Selama minggu ke-5 plakoda – plakoda hidung tersebut mengalami
invaginasi membentuk lobang hidung. Dalam hal ini, plakoda hidung ini
membentuk suatu rigi jaringan yang mengelilingi masing – masing lobang dan
memebentuk tonjolan hidung. Tonjolan yang berada ditepi luar lubang adalah
tonjolan hidung lateral dan yang berada ditepi dalam adalah tonjolan hidung
medial (Sadler, T.W, 2000).
Selama dua minggu selanjutnya, tonjolan maksila terus bertambah besar
ukurannya. Serantak dengan itu, tonjolan ini tumbuh kearah medial, sehingga
mendesak tonjol hidung ke medial ke arah garis tengah. Selanjutnya, celah antara
tonjol hidung medial dan tonjol maksial hilang, dan keduanya bersatu. Oleh
karena itu bibir atas dibentuk oleh tonjolan hidung medial dan kedua tonjol
maksila itu. Tonjol hidung lateral tidak ikut dalam pembentukan bibir atas. Bibir
11
bawah dan rahang bawah dibentuk dari tonjolan mandibula yang menyatu digaris
tengah (Sadler, T.W, 2000)
Usia kehamilan tujuh minggu, tiga garis axial berbentuk lekukan bersatu
membentuk tiga buah konka (turbinate). Ketika kehamilan berusia sembilan
minggu, mulailah terbentuk sinus maksilaris yang diawali oleh invaginasi meatus
media. Dan pada saat yang bersamaan terbentuknya prosesus unsinatus dan bula
ethmoidalis yang membentuk suatu daerah yang lebar disebut hiatus emilunaris.
Pada usia kehamilan empat belas minggu ditandai dengan pembentukan sel
etmoidalis anterior yang berasal dari invaginasi bagian atap meatus media dan sel
ethmoidalis posterior yang berasal dari bagian dasar meatus superior. Dan
akhirnya pada usia kehamilan tiga puluh enam minggu , dinding lateral hidung
terbentuk dengan baik dan sudah tampak jelas proporsi konka. Seluruh daerah
sinus paranasal muncul dengan tingkatan yang berbeda sejak anak baru lahir,
perkembangannya melalui tahapan yang spesifik. Yang pertama berkembang
adalah sinus etmoid, diikuti oleh sinus maksilaris, sfenoid , dan sinus frontal.
(Walsh WE, 2002)
12
2.5. KELAINAN KONGENITAL HIDUNG
Berbagai macam klasifikasi digunakan untuk kelainan hidung kongenital
salah satunya berdasarkan Losee dkk. yang membagi menjadi 4 kategori
berdasarkan etiologi, anatomi dan prinsip tatalaksana.
I. Hipoplasia/ atrofi; Agenesis sebagian (Arhinia, komplit / sebagian,
Kartilago, Tulang, Kolumela) dan Hipoplasia sebagian (Heminose, Stenosis
nostril, Stenosis apertura piriformis (Atresia koana, Nasal hipoplasi) dan
Sindrom kraniofasial (Kraniostosis, Disostosis kraniofasial, Binder,
Mikrosomia hemifasial, Kelumpuhan nervus fasialis, Hunermann, Treacher
Collins, Byrne, Fraser, Trichorrhinophalangeal, Delleman)).
II. Hiperplasia/ duplikasi; Multipel dari bagian-bagian hidung (Prosboscis,
Nostril, Kolumela) Hipertrofi hemifasial dan Hiperplasi jaringan.
III. Celah atipik; Tessier 0/14 (Displasia frontonasal, celah wajah
medial,displasia kraniofrontonasal, ensefalokel frontonasal), Tessier 1/13,
Tessier 2/12, Tessier 3/11, Deformitas celah bibir.
IV. Neoplasma dan kelainan vascular; Lesi jinak (Hairy nevus, Glioma,
Dermoid, Pilomatrixoma, Neurofibroma, Lipoma), Lesi ganas, dan Kelainan
vaskular (Malformasi vaskular dan Hemangioma).
2.5.1. Arhinia
Arhinia merupakan keadaan tidak adanya hidung eksternal dan jalan napas
hidung, hypoplasia maksila, palatum tinggi melengkung kecil, dan hipertelorisme.
Bayi yang terkena menampilkan gangguan pernapasan dan sianosis terkait dengan
makan. Anak yang lebih besar dapat menelan makanan antara napas. Pemeriksaan
fisik menunjukkan tidak adanya hidung eksternal, septum hidung, dan sinus.
Kelainan terkait pada mata termasuk anoftalmia dan hypoplasia dari orbita.
13
Arhinia adalah bagian dari spectrum holopresencephaly. Malformasi ini
sangat jarang terjadi, dengan sekitar 30 kasus yang dijelaskan dalam
literatur. Dalam kasus yang dilaporkan beberapa, arhinia umumnya terjadi dalam
keturunan dan dapat terjadi baik sebagai cacat terisolasi atau hubungan dengan
wajah dan kelainan otak lain. Asosiasi dengan gangguan genetic seperti trisomi
10, trisomi 13, dan trisomi 21, serta kromosom9 inversi dan translokasi kromosom
3 dan 12 juga telah dilaporkan.
2.5.2. Polyrhinia
Duplikasi nasal sejati atau polirhinia dimana terdapat dua buah hidung
yang masing-masing mempunyai dua buah nostril dan kavum dibentuk oleh dua
pasang lempeng nasal yang tumbuh menjadi empat celah hidung dan empat sakus
nasal yang mengalami perkembangan normal.
14
2.5.3. Supernumerary nostril
Supernumerary nostril didefinisikan sebagai nostril tambahan, yang sudah
terdapat sepasang nostril normal dan adanya alae nasi tambahan untuk
membentuk supernumerary nostril. Apabila tidak terdapat alae nasi tambahan
maka disebut fistula. Supernumerary nostril dan fistula terbentuk dari celah
prosesus nasalis lateral selama masa perkembangan yang menyebabkan duplikasi
segmen.4 Jurnal lain menyebutkan supernumerary nostril dihubungkan dengan
atresia koana dan kelainan apertura piriformis. Dikatakan bahwa dua buah
lempeng nasal atau celah olfaktori asesorius menyebabkan terjadinya
supernumerary nostril.
15
2.5.5. Atresia Koana
Atresia koana adalah suatu kelainan congenital yang ditandai dengan
kegagalan perkembangan rongga hidung untuk berkomunikasi atau berhubungan
dengan nasofaring dengan perubahan fisiologi dan anatomi yang signifikan dari
kompleksdentofacial. defenisi lain menyebutkan atresia koana adalah adanya
kehilanganatau adanya penghalang dari bagian posterior hidung. Atresia koana
lebih seringdikaitkan dengan kelainan CHARGE (C=Coloboma, H=Heart
Disease, A= atresiachoanae, R= retarded growth and development, G= genital
hipoplasia, E=eardeformities or deafness).
Penyebab pasti dari atresia koana masih belum diketahui, namun banyak
dugaan dari pada ahli yang berteori tentang terjadinya atresia koana. Yakni pada
masa embriologi dalam pembentukan hidung, pada dua lapisan membrane yang
terdiriatas nasal dan oral epitel terjadi ruptur dan merubah bentuk koana yang
kemudian menjadi atresia koana. Penyebab lain yang menjadi dugaan antara lain
adanya keterlibatan kromosom 22q11.2 yang dapat menyertai kelainan kongenital
lain seperti facial, nasal dan palatal deformities, polydactylism, congenital heart
disease, coloboma of the iris and retina, mental retardation,
malformationsexternal ear, esophageal atresia, craniosynostosis,
tracheoesophageal fistula dan Meningocele.
16
Pada setiap bayi baru lahir harus bernafas melalui hidung, namun pada
bayi yang menderita atresia koana terjadi distress respirasi bisa karena atresia
koana yang bilateral atau dapat pula terjadi napas memendek.
Presentasi lain adalah bayi selalu sianosis saat menangis, adanya obstruksi
dari saluran napas saat bayi makan dan berkurang saat bayi menangis karena
adanya pengambilan udara dari mulut karena adanya sumbatan pada hidung.
Kebanyakan atresia koana bilateral didiagnosa saat bulan pernah kehidupan.
Pasien dengan atresia koana unilateral jarang menyebabkan obstruksi
saluran napas yang parah. Normalnya gejala baru akan tampak setelah 18 bulan
kehidupan yang ditandai dengan adanya kesulitan makan dan keluarnya cairan
dari hidung.
17
dapat didiagnosis dengan menggunakan USG dan MRI pada saat masa kehamilan.
Biasanya terdeteksi saat kunjungan rutin antenatal care.
Cleft lip atau cleft palate adalah salah satu kelainan kongenital pada
manusia yang sering sekali ditemukan. Kelainan kongenital ini diperkirakan
terjadi pada 1 dari setiap 700 hingga 1000 kelahiran bayi. Paling sering terjadi
pada orang-orang di Asia dan Amerika Latin (1:500 kelahiran), ditemukan
beberapa kasus terjadi pada ras Kaukasia (1:1000 kelahiran) dan sangat jarang
ditemukan pada ras Amerika-Afrika (1:2000 kelahiran).
18
kemungkinan adanya kelainan kromosom selama kehidupan fetal serta
telah dapat dipertimbangkan tindakan-tindakan selanjutnya. Beberapa
contoh kelainan khromosom autosomai trisomi 21 sebagai sindroma Down
(mongolism) kelainan pada kromosom kelamin sebagai sindroma Turner.
2. Faktor mekanik
Tekanan mekanik pada janin selama kehidupan intrauterin dapat
menyebabkan kelainan hentuk organ tubuh hingga menimbulkan
deformitas organ cersebut. Faktor predisposisi dalam pertumbuhan organ
itu sendiri akan mempermudah terjadinya deformitas suatu organ.
3. Faktor infeksi
Infeksi yang dapat menimbulkan kelainan kongenital ialah infeksi
yang terjadi pada periode organogenesis yakni dalam trimester pertama
kehamilan. Adanya infeksi tertentu dalam periode organogenesis ini dapat
menimbulkan gangguan dalam pertumbuhan suatu organ tubuh. Infeksi
pada trimesrer pertama disamping dapat menimbulkan kelainan kongenital
dapat pula meningkatkan kemungkinan terjadinya abortus.
4. Faktor Obat
Beberapa jenis obat tertentu yang diminum wanita hamil pada
trimester pertama kehamilan diduga sangat erat hubungannya dengan
terjadinya kelainan kongenital pada bayinya. Salah satu jenis obat yang
telah diketahui dagat menimbulkan kelainan kongenital ialah thalidomide
yang dapat mengakibatkan terjadinya fokomelia atau mikromelia.
Beberapa jenis jamu-jamuan yang diminum wanita hamil muda dengan
tujuan yang kurang baik diduga erat pula hubungannya dengan terjadinya
kelainan kongenital, walaupun hal ini secara laboratorik belum banyak
diketahui secara pasti.
5. Faktor umur ibu
Telah diketahui bahwa mongoIisme lebih sering ditemukan pada
bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendekati masa menopause. Di
bangsal bayi baru lahir Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo pada tahun
1975-1979, secara klinis ditemukan angka kejadian mongolisme 1,08 per
19
100 kelahiran hidup dan ditemukan resiko relatif sebesar 26,93 untuk
kelompok ibu berumur 35 tahun atau lebih; angka keadaan yang
ditemukan ialah 1: 5500 untuk kelompok ibu berumur< 35 tahun, 1: 600
untuk kelompok ibu berumur 35-39 tahun, 1 : 75 untuk kelompok ibu
berumur 40 - 44 tahun dan 1 : 15 untuk kelompok ibu berumur 45tahun
atau lebih.
6. Faktor hormonal
Faktor hormonal diduga mempunyai hubungan pula dengan
kejadian kelainankongenital. Bayi yang dilahirkan oleh ibu hipotiroidisme
atau ibu penderita diabetes mellitus kemungkinan untuk mengalami
gangguan pertumbuhan lebih besar bila dibandingkan dengan bayi yang
normal.
7. Faktor radiasi
Radiasi ada permulaan kehamiIan mungkin sekali akan dapat
menimbulkankelainan kongenital pada janin. Adanya riwayat radiasi yang
cukup besar pada orang tua dikhawatirkan akan dapat mengakibatkan
mutasi pada gene yang mungkin sekali dapat menyebabkan kelainan
kongenital pada bayi yang dilahirkannya. Radiasi untuk keperluan
diagnostik atau terapeutis sebaiknya dihindarkan dalam masa kehamilan,
khususnya pada hamil muda.
8. Faktor gizi
Pada binatang percobaan, kekurangan gizi berat dalam masa
kehamilan dapatmenimbulkan kelainan kongenital. Pada manusia, pada
penyelidikan-penyelidikan menunjukkan bahwa frekuensi kelainan
kongenital pada bayi-bayiyang dilahirkan oleh ibu yang kekurangan
makanan lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi-bayi yang lahir dari
ibu yang baik gizinya. Pada binatang percobaan, adanya defisiensi protein,
vitamin A ribofIavin, folic acid,thiamin dan lain-Iain dapat menaikkan
kejadian &elainan kongenital.
9. Faktor-faktor lain
20
Banyak kelainan kongenital yang tidak diketahui penyebabnya.
Faktor janinnyasendiri dan faktor lingkungan hidup janin diduga dapat
menjadi faktorpenyebabnya. Masalah sosial, hipoksia, hipotermia, atau
hipertermia diduga dapat menjadi faktor penyebabnya. Seringkali
penyebab kelainan kongenitai tidak diketahui.
2.7. DIAGNOSIS
Menurut effendi (2006) dalam Neonatalogi IDAI (2008), dalammenegakkan
diagnosis postnatal kita perlu beberapa pendekatan, antara lain:
a. Penelaahan prenatal
Riwayat ibu: usia kehamilan, penyakit ibu seperti epilesi, diabetes
mellitus, varisela, kontak dengan obat-obatan tertentu seperti alcohol, obat
anti-epilepsi, kokain, dietilstilbisterol, obat antikoagulan warfarin, serta
radiasi.
b. Riwayat persalinan
Posisi anak dalam rahim, cara lahir, status kesehatan neonatus.
c. Riwayat keluarga
Adanya kelainan bawaan yang sama, kelainan bawaan yang
lainnya, kematian bayi yang tak bisa diterangkan penyebabnya, serta
retardasi mental.
d. Pemeriksaan fisik
Mulai dari pengukuran samapi mencari anomali baik defek mayor
maupun minor. Biasanya bila ditemukan dua kelainan minor, sepuluh
persen disertai kelainan mayor. Sedangkan bila ditemukan tiga kelainan
minor, delapan puluh lima persen disertai dengan kelainan mayor.
e. Peeriksaan penunjang
Sitogenik (kelainan kromosom), analisis DNA, ultrasonografi,
organ dalam, ekokardiografi, radiografi. Pemeriksaan yang teliti terhadap
pemeriksaan fisik dan riwayat ibu serta keluarga kemudian ditunjang
dengan melakukan pemotretan terhadap bayi dengan kelainan bawaan
21
adalah hal yang sangat penting dibanding dengan pemeriksaan penunjang
laboratorium.
22
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Angka kejadian dan jenis kelainan kongenital dapat berbeda-beda
untuk berbagai ras dan suku bangsa, begitu pula dapat tergantung pada cara
perhitungan besar keciInya kelainan kongenital. Beberapa faktor etiologi
yang diduga dapat mempengaruhi terjadinya kelainan kongenital antara lain:
Kelainan Genetik dan Khromosom, Faktor mekanik, Faktor infeksi, Faktor
Obat, Faktor umur ibu, Faktor hormonal, Faktor radiasi, Faktor gizi, Faktor-
faktor lain. Masalah sosial, hipoksia, hipotermia, atau hipertermia diduga
dapat menjadi faktor penyebabnya. Seringkali penyebab kelainan kongenitai
tidak diketahui. Diagnosa Pemeriksaan untuk menemukan adanya kelainan
kongenital dapat dilakukan pada pemeriksaan janin intrauterine, dapat pula
ditemukan pada saat bayi sudah lahir. Kelainan kongenital berat dapat
berupa kelainan kongenital yang memerlukan tindakan bedah, kelainan
kongenital bersifat medik, dan kelainan kongenital yang memerlukan
koreksi kosmetik.
3.2. Saran
Untuk memahami mengenai kelainan kongenital pada hidung
hendaknya diketahui terlebih dahulu tentang anatomi hidung dan embriologi
hidung sehingga bisa mengetahui kelainan kongenital hidung apa yang
terjadi dan seberapa derajat keparahan kelainan terebut. Dan selanjutnya
bisa menentukan prinsip tatalaksananya.
23
DAFTAR PUSTAKA
Dorland, N. W., 2011. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 28. Jakarta: EGC.
Huriyati, E., Budiman, B. J. & Nelvia, T., 2014. Jurnal Kesehatan Andalas.
[Online] Available at: repository.unand.ac.id [Diakses 13 Juli 2017].
Sobotta, J., 2012. Sobotta Atlas Anatomi Manusia: Kepala, Leher dan
Neuroanatomi. 23 penyunt. Jakarta: EGC.
Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J. & Restuti, R. D., 2007. Gangguan
Penghidu. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, p. 160.
24