Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

BELL’S PALSY

Oleh :

Salsabilla Sahara
22004101052

Pembimbing
dr. Novi Iriawan, SpS

LABORATORIUM ILMU SARAF


KEPANITERAAN KLINIK MADYA
RSUD MARDI WALUYO KOTA BLITAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat dan
karunia-Nya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah saw, keluarga, sahabat,
dan para pengikutnya. Atas kehendak Allah sajalah, sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat dengan judul “Bell’s Palsy”.
Tugas referat ini dibuat untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik Ilmu Saraf di RSUD
Mardi Waluyo Kota Blitar, penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih jauh dari
sempurna. Kritik dan saran untuk penyempurnaan semoga dapat berguna dan memberikan
manfaat bagi kita semua. Amin. Terimakasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Blitar, 31 Juli 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................... 2


DAFTAR ISI.................................................................................................................................. 3
BAB I .............................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 5
1.3 Tujuan Penulisan .............................................................................................................. 5
1.4 Manfaat Penulisan ............................................................................................................ 5
BAB II ............................................................................................................................................ 7
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................................ 7
2.1 Anatomi dan Fisiologi Nervus Fasialis ............................................................................ 7
2.1.1 Anatomi Nervus Fasialis ....................................................................................................... 7
2.1.2 Fungsi Nervus Fasialis ........................................................................................................ 11
2.2 Definisi ........................................................................................................................... 13
2.3 Epidemiologi .................................................................................................................. 13
2.4 Etiologi ........................................................................................................................... 14
2.5 Patofisiologi ................................................................................................................... 14
2.6 Penegakan Diagnosis...................................................................................................... 16
2.7 Penatalaksanaan ............................................................................................................. 22
2.7.1 Tatalaksana Farmakologi .................................................................................................... 22
2.7.1 Tatalaksana Non Farmakologi ............................................................................................ 23
2.7.2 Algoritma Penatalaksanaan Bell’s Palsy............................................................................. 24
2.8 Komplikasi ..................................................................................................................... 24
2.9 Prognosis ........................................................................................................................ 25
BAB III......................................................................................................................................... 27
PENUTUP .................................................................................................................................... 27
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 28
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bell’s palsy merupakan kelemahan atau kelumpuhan saraf fasialis perifer tipe lower

motor neuron (LMN) yang bersifat akut dan belum diketahui penyebabnya secara pasti

(idiopatik). Bell’s palsy ini ditemukan pertama kali pada tahun 1812 oleh Sir Charles Bell,

seorang peneliti Scotlandia, yang mempelajari mengenai persarafan otot-otot wajah

(Kartadinata dan Tjandra, 2011). Bell’s palsy merupakan salah satu penyakit pada nervus

fasialis yang paling sering terjadi, hal ini dibuktikan dengan tingginya prevalensi Bell’s palsy

di beberapa negara. Di Inggris dan Amerika berturut-turut 22,4 dan 22,8 penderita per

100,000 penduduk per tahun (Sukardi, 2004). Sedangkan di Indonesia, data yang didapatkan

dari 4 buah rumah sakit menunjukkan bahwa frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55% dari

seluruh kasus neuropati yang terjadi (Mujaddidah, 2017).

Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur dan jenis kelamin. Tidak didapati perbedaan

insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya

riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan (Weiner, 2001). Faktor resiko terjadinya

Bell’s palsy meningkat pada penderita diabetes, kehamilan, obesitas dan hipertensi. Gejala

klinis dari Bell’s palsy biasanya bila dahi di kerutkan lipatan dahi hanya tampak pada sisi

yang sehat saja, kelopak mata sulit menutup dan saat penderita berusaha menutup kelopak

matanya, matanya terputar ke atas dan matanya tetap kelihatan yang disebut juga fenomena

bell. Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh tidak mengembung.

Dalam menjungurkan bibir, gerakan bibir tersebut menyimpang ke sisi yang tidak sehat serta
air mata yang keluar secara berlebihan di sisi kelumpuhan dan pengecapan pada dua per tiga

lidah sisi kelumpuhan kurang tajam (Sidharta, 2008).

Berdasarkan manifestasi klinisnya, terkadang masyarakat awam mengganggap sindrom

Bell’s palsy sebagai serangan stroke atau yang berhubungan dengan tumor sehingga perlu

diketahui penerapan klinis sindrom Bell’s palsy tanpa melupakan diagnosa banding

kemungkinan diperoleh dari klinis yang sama (Lowis dan Gaharu, 2012). Beberapa gejala

sisa dapat muncul pada penderita akibat pengobatan yang tidak tepat. Terapi yang dilakukan

selama ini adalah untuk meningkatkan fungsi saraf wajah dan proses penyembuhan.

Pengetahuan tentang anatomi dasar saraf wajah (nervus facialis) dan otot-otot wajah

yang inervasinya adalah penting dalam pemahaman tentang Bell’s palsy. Para ahli yang

menangani harus memahami anatomi dasar yang dikaitkan dengan anatomi klinik dalam

penanganan penyakit ini. Manajemen terapi yang digunakan akan sangat terkait dengan

struktur anatomi dan fungsi serta kelainan yang berhubungan dengannya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari nervus fasialis?

2. Bagaimana definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, penegakan diagnosis,

penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis dari Bell’s Palsy?

1.3 Tujuan Penulisan

- Mengetahui anatomi dan fisiologi dari nervus fasialis.

- Mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, penegakan diagnosa,

penatalaksaan, komplikasi dan prognosis dari Bell’s Palsy.

1.4 Manfaat Penulisan

1. Meningkatkan kemampuan penulisan ilmiah dalam bidang kedokteran


2. Memenuhi salah satu tugas kepanitraan klinik di bagian Laboratorium Ilmu Saraf

RSUD Mardi Waluyo Kota Blitar.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Nervus Fasialis

2.1.1 Anatomi Nervus Fasialis

Nervus facialis (N.VII) merupakan nervus yang berasal dari bagian lateral dari

pontomedullary junction yang disebut dengan angulus cerebellopontin. Nervus

facialis keluar dari batang otak membawa serat-serat saraf untuk mengecap dan

sekretori viscero eferen (parasimpatis) (Monkhouse, 2006). Saraf terletak di antara

alat keseimbangan dan pendengaran yaitu cochlea dan vestibulum saat berjalan dari

meakus akustikus internus menuju ventrolateral.

Saraf fasialis memasuki kanalis fasialis di dasar dari meatus dan berbelok ke arah

dorsolateral. Saraf menuju dinding medial dari kavum timpani dan membentuk sudut

di atas promontorium yang disebut ganglion genikulatum. Saraf kemudian berjalan

turun pada dinding dorsal kavum timpani dan ke luar dari os temporal melalui

foramen stylomastoideus. Saraf tetap berjalan menembus glandula parotis untuk

memberi persarafan pada otot-otot mimic (Gilden, 2004).

Jalur dari nervus facialis dibagi menjadi 6 segmen, yaitu: (Kahle & Frotscher,

2003):

1. Segmen intracranialis (cisternal). Bagian motorik dari nervus facialis berasal dari

nucleus nervus facialis yang terletak di pons, sedangkan bagian sensoris dan

parasimpatis berasal dari nervus intermediatus.

2. Segmen meatus (dari batang otak menuju ke meatus acouticus internus). Dari

batang otak, bagian motorik dan sensoris dari nervus facialis bergabung dan
berjalan di fossa cranialis posterior sebelum memasuki pars petrosus os temporalis

melalui meatus acousticus internus. Saat keluar dari meatus acousticus internus,

saraf ini berjalan berkelok-kelok melalui canalis facialis, yang nantinya bercabang

menjadi segmen labirin, tympani, dan mastoid.

3. Segmen labirin (dari meatus acouticus internus menuju ke ganglion geniculatum).

Segmen ini pendek, yang mana nervus facialis berakhir menjadi geniculum yang

berisi ganglion geniculatum untuk sensoris. Cabang pertama dari nervus facialis

yaitu nervus petrosus superficialis major berasal dari ganglion ini. Nervus

petrosus superficialis major berjalan melalui canalis pterygoideus dan bersinaps

pada gangliom pterygopalatinus. Serat saraf post sinapsis nya melayani kelenjar

lacrimalis.

4. Segmen tympani (dari ganglion geniculatum menuju ke eminensia pyramidalis).

Pada segmen ini nervus facialis berjalan di cavum tympani, medial dari incus.

5. Segmen mastoid (dari eminensia pyramidalis menuju ke foramen

stylomastoideus). Pada pars temporal dari canalis facialis, nervus ini memberikan

cabang untuk stapedius dan chorda tympani. Chorda tympani 3 memberikan

innervasinya pada lidah 2/3 anteriornya dan mengadakan sinapsis dengan

ganglion submandibularis. Serat-serat saraf postsinapsisnya melayani kelenjar

sublingualis dan submandibularis.

6. Segemen ekstratemporalis (dari foramen stylomastoideus menuju ke post rami

parotis). Saat keluar dari foramen stylomastoideus, nervus facialis bercabang

menjadi rami auricularis anterior. Saraf ini kemudian melewati kelenjar parotis,

tetapi tidak memberikan innervasinya pada kelenjar ini. Saat melewati kelenjar
ini, nervus facialis membentuk plexus parotidis, yang bercabang menjadi lima dan

menginnervasi otot-otot mimik wajah (temporalis, zygomaticus, buccalis,

mandibularis marginalis, dan cervicalis).

Gambar 2.1 Perjalanan dan Cabang-Cabang Dari Nervus Facialis (Netter et al, 2002).
Nervus cranialis juga dibagi menjadi beberapa cabang, yaitu:

a. Rami Intracranialis

- Nervus petrosus superficialis major yang berasal dari ganglion geniculatum

memberikan innervasi serat-serat parasimpatis untuk beberapa kelenjar

meliputi glandula nasalis, palatina, dan pharyngealis. Juga memberikan

innervasi parasimpatis untuk sinus sphenoidalis, frontalis, maxillaris,

ethmoidalis, dan caum nasi. Saraf ini juga memberikan innervasi untuk rasa

kecap di palatum melalui nervus nasopalatinus major dan minor (Monkhouse,

2006; Kahle & Frotscher, 2003).


- Ramus communicans ganglion oticum. Awal berasal dari ganglion

geniculatum dan bergabung dengan nervus petrosus minor untuk mencapai

ganglio oticum (Monkhouse, 2006; Kahle & Frotscher, 2003).

- Nervus stapedius, memberikan innervasi motorik untuk musculus stapedius

di telinga tengah (Monkhouse, 2006; Kahle & Frotscher, 2003).

- Chorda tympani, memberikan innervasi untuk glandulan submandicularis,

sublingualis, rasa kecap pada lidah 2/3 anterior (Monkhouse, 2006; Kahle &

Frotscher, 2003).

Gambar 2.2 Rami Intracranialis Nervus Facialis (Monkhouse, 2006)

b. Rami Ekstracranialis

Di distal foramen stylomastoideus, nervus facialis bercabang menjadi:

- Nervus auricularis posterior yang berperan dalam mengontrol otot-otot scalp

di sekitar telinga

- Ramus belly posterior musculus digastricus begitu juga dengan musculus

stylohyoideus
- Di kelenjar parotis bercabang menjadi enam cabang utama yaitu: rami

temporalis, rami zygomaticum, rami buccalis, rami mandibularis marginalis,

rami cervicalis, dan auricularis posterior (Moore, 2015).

Gambar 2.3 Rami Ekstracranialis Nervus Facialis (Monkhouse, 2006)

2.1.2 Fungsi Nervus Fasialis


2.1.2.1 Ekspresi Wajah

Fungsi utama dari nervus facialis adalah mengontrol otot-otot mimik di

wajah. Selain itu juga memberikan innervasi untuk bagian posterior dari

musculus digastricus, stylohyoideus, dan musculus stapedius. Semua otot

ini adalah otot lurik yang berasal dari branchiomeric hasil dari perkebangan

arcus pharyngealis kedua (Monkhouse, 2006; Kahle & Frotscher, 2003).

Otot-otot wajah terletak di jaringan subkutan anterior dan posterior dari

scalp, wajah, dan leher. Kebanyakan dari otot ini melekat pada tulang atau

fascia dan efek dari kontraksinya adalah berupa tertariknya kulit. Otot-otot

ini menggerakan kulit dan merubah ekspresi wajah. Otot-otot mimik juga

mengelilingi mulut, mata dan hidung dan berperan sebagai spingter dan

dilator untuk menutup dan membuka orifisium (Moore et al, 2015).


Orbicularis oris berperan sebagai spingter di mulut. Buccinator

berperan dalam hal tersenyum dan membantu pipi tetap kencang.

Orbicularis oculi mentutup kelopak mata dan membantu aliran air mata

(Moore et al, 2015).

Gambar 2.4 Otot-Otot Wajah dan SCALP, A. Otot-Otot Facial B. Innervasi


dari Nervus Facialis (Moore et al, 2015).

2.1.2.2 Sensasi Wajah

Nervus facialis melayani rasa kecap pada 2/3 bagian anterior dari lidah

melalui chorda tympani. Rasa kecap ini kemudian dikirim ke pars superior

dari nucleus solitarius. Rasa umum dari 2/3 anterior dari lidah dilayani oleh

serat-serat aferen dari nervus V3. Rasa umum dan rasa kecap ini serat-

seratnya keduanya dibawa oleh nervus lingualis sebelum chorda tympani

meninggalkan nervus lingualis untuk memasuki cavum tympani melalui

fissura petrotympanicum (Monkhouse, 2006).

Nervus facialis kemudian membentuk ganglion geniculatum, yang

mengandung badan sel untuk serat-serat rasa kecap dari chorda tympani,

rasa lain dan jalur sensoris. Dari ganglion geniculatum serat-serat untuk rasa

kecap berlanjut sebagai nervus intermediatus yang berjalan ke kuadran


anterior superior dari fundus meatus acousticus internus bersama radix

motoris dari nervus facialis (Moore et al, 2015; Kahle & Frotscher, 2003).

Nervus intermediatus mencapai fossa cranialis posterior lewat meatus

acousticus internus sebelum mengadakan sinapsis dengan nusleus solitarius.

Nervus facialis juga melayani innervasi afferen oropharynx di bawah tonsila

palatina. Begitu juga sedikit untuk kulit di sekitar auricula yang dibawa oleh

nervus intermedius (Moore et al, 2015; Greenstain, 2000).

2.2 Definisi
Bell’s palsy merupakan kelemahan atau kelumpuhan saraf fasialis perifer tipe lower

motor neuron (LMN) yang bersifat akut, unilateral, isolated dan belum diketahui

penyebabnya secara pasti (idiopatik). Penyakit ini timbul mendadak dan akan menyebabkan

asimetri pada wajah serta mengganggu fungsi normal, seperti menutup mata dan makan

(Dewanto, 2009). Bell’s palsy pada umumnya dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan

(Sidharta, 2010).

2.3 Epidemiologi
Prevalensi bell’s palsy berkisar antara 20-25 per 100.000 penduduk. Angka ini lebih

rendah pada dewasa muda dan meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Pada usia >60

tahun, angka kejadian bertambah 30-35 per 100.000 penduduk (Albers, 1990). Di Inggris

dan Amerika berturut-turut 22,4 dan 22,8 penderita per 100,000 penduduk per tahun

(Sukardi, 2004). Sedangkan di Indonesia, data yang didapatkan dari 4 buah rumah sakit

menunjukkan bahwa frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55% dari seluruh kasus neuropati

yang terjadi (Mujaddidah, 2017). Persentase pada laki-laki dan wanita seimbang artinya

tidak ada kecenderungan jenis kelamin pada penyakit bell’s palsy ini.
2.4 Etiologi
Walaupun etiologinya belum diketahui, tapi ada 4 teori yang dihubungkan dengan

etiologic Bell’s palsy yaitu (Adam, 2019):

a. Teori iskemik vaskuler

Saraf fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan regulasi

sirkulasi darah di kanalis fasialis.

b. Teori infeksi virus

Virus yang dianggap paling banyak bertanggung jawab adalah Herpes Simplex Virus

(HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV (khususnya tipe 1).

c. Teori herediter

Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan

dikeluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadi paresis fasialis.

d. Teori imunologi

Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang

timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.

2.5 Patofisiologi
Bell’s palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada ganglion

genikulatum, yang menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi. Ganglion ini terletak

didalam kanalis fasialis pada persambungan labirin dan segmen timpani, dimana lengkungan

saraf secara tajam memasuki foramen stylomastoideus (Kanerva, 2008). Beberapa

mekanisme termasuk iskemia primer atau inflamasi saraf fasialis, menyebabkan edema dan

penjepitan saraf fasialis selama perjalanannya didalam kanal tulang temporal dan

menghasilkan kompresi dan kerusakan langsung atau iskemia sekunder terhadap saraf. Teori
ini merupakan latar belakang untuk dekompresi bedah pada pengobatan bell’s palsy (Cohen,

2003).

Suatu hipotesa imunologis telah diperkenalkan oleh Mc. Govern dkk, berdasarkan

penelitian eksperimental pada hewan. Begitu juga Hughes dkk, menemukan transformasi

limfosit pada pasien bell’s palsy dan menduga bahwa beberapa penyebab bell’s palsy

merupakan hasil dari cell mediated immunity melawan antigen saraf perifer. Hasil ini

mendukung penelitian selanjutnya dengan steroid dan imunoterapi lainnya (Katzung, 2003).

Mekanisme lainnya adalah infeksi virus, yang secara langsung merusak fungsi saraf

melalui mekanisme inflamasi, yang kemungkinan terjadi pada seluruh perjalanan saraf dan

bukan oleh kompresi pada kanal tulang. Suatu penelitian systematic review berdasarkan

Cochrane database, yang dilakukan terhadap beberapa penelitian randomized yang

berkualitas tinggi telah menyimpulkan bahwa antivirus tidak lebih efektif daripada placebo

dalam menghasilkan penyembuhan lengkap pada pasien bell’s palsy. Karena tidak efektifnya

antivirus dalam mengobati pasien bell’s palsy sehingga perlu dipertimbangkan adanya

penyebab Bell’s palsy yang lain (Cohen, 2003).

Adanya peran genetik juga telah dikemukakan sebagai penyebab bell’s palsy, terutama

kasus Bell’s palsy yang rekuren ipsilateral atau kontralateral. Kebanyakan kasus yang

dijumpai adalah autosomal dominant inheritance. Sejumlah penelitian telah berusaha

rnemberikan temuan objektif tentang dasar genetik dari beII’s palsy dan kebanyakan terpusat

pada sistem Human Leucocyte Antigen (HLA), yang memiliki hubungan objektif yang kuat

dengan berbagai penyakit autoimun. Paparan terhadap udara yang dingin bisa memicu

pengaktifan semula herpes simplek virus tipe 1 (HSV-1). Paparan yang berkerpanjangan

terhadap udara dingin di luar bisa menyebabkan perubahan vasomotor di daerah wajah,
dimulai dari neuritis edematous sehingga refleks iskemik. Berdasarkan data penelitian,

wanita hamil 3 kali lebih sering ditemukan dengan bell's palsy dibandingkan wanita tidak

hamil. Kondisi ini dikaitkan dengan komposisi cairan ekstraseluler yang tinggi, inflamasi

virus dan karakteristik imunosupresi selama kehamilan, namun hingga saat ini masih

kontroversial. Bell's palsy terutama ditemukan pada usia kehamilan di atas 6 bulan (Blow,

2012).

Gambar 2.5: Skema patofisiologi Bell’s palsy berdasarkan etiologi


2.6 Penegakan Diagnosis

Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala dari Bell’s palsy dapat bervariasi dari ringan hingga berat, yaitu (Seok,

2008):

- Kelemahan atau kelumpuhan otot-otot wajah bagian atas dan bawah pada sisi yang

terkena

- Kelopak mata ipsilateral terkulai


- Ketidakmampuan untuk menutup mata sepenuhnya

- Mata kering karena ketidakmampuan untuk menutup mata sepenuhnya

- Air mata yang berlebihan (epifora)

- Sudut mulut terkulai

- Gangguan/kehilangan sensasi rasa ipsilateral

- Kesulitan makan karena kelemahan otot ipsilateral yang menyebabkan makanan

terperangkap di sisi mulut yang sakit

- Air liur menetes

- Sensasi yang berubah pada sisi wajah yang terkena

- Nyeri di dalam atau di belakang telinga

- Peningkatan kepekaan terhadap suara (hiperakusis) pada sisi yang terkena jika otot

stapedius terlibat

Gambar 2.6 Tanda dan gejala Bell’s palsy (Seok, 2008)


Pemeriksaan Fisik

1. Fungsi Motorik

Dalam memeriksa fungsi motoric, perhatikan wajah penderita apakah simetris atau tidak.

Perhatikan kerutan pada dahi, pejaman mata, plika nasolabialis dan sudut mulut. Bila

asimetri wajah jelas, maka hal ini disebabkan oleh kelumpuhan jenis perifer. Dalam ini

kerutan dahi menghilang, mata kurang dipejamkan, plika nasolabialis mendatar dan

sudut mulut menjadi lebih rendah. Pada kelumpuhan jenis central, wajah dapat simetris

waktu istirahat, kelumpuhan baru nyata bila penderita disuruh melakukan gerakan,

misalnya menyeringai (Lumbantobing, 2012).

a. Mengangkat alis dan mengerutkan dahi

Minta pasien untuk mengangkat kedua alis kemudian nilai apakah simetris atau tidak.

Kemudian minta pasien untuk mengerutkan dahi, nilai apakah m.oksipitofrontalis,

m.corrugator supercillii, m.procerus simetris atau tidak. Pada kelumpuhan jenis

supranuclear sesisi, penderita dapat mengangkat alis dan mengerutkan dahinya,

sebab ketiga musculus diatas mendapat persarafan bilateral. Pada kelumpuhan jenis

perifer terlihat adanya asimetri (Lumbantobing, 2012).

b. Memejamkan mata

Minta pasien untuk memejamkan mata, bila lumpuhnya berat pasien tidak dapat

memejamkan mata. Namun apabila lumpuhnya ringan, maka tenaga pejaman mata

kurang kuat. Hal ini dapat dinilai dengan mengangkat kelopak mata dengan tangan

pemeriksa, sedangkan pasien disuruh tetap memejamkan mata. Pasien juga disuruh

memejamkan mtanya satu per satu. Hal ini merupakan pemeriksaan yang baik bagi

parese ringan. Bila terdapat parese, pasien tidak dapat memejamkan matanya pada
sisi yang lumpuh. Disini dinilai apakah m.orbicularis oculi dapat berkontraksi

dengan baik atau tidak, simetris atau tidak (Lumbantobing, 2012).

c. Menyeringai (Menunjukkan gigi geligi)

Minta pasien untuk menyeringai, menunjukkan gigi geligi. Perhatikan apakah hal ini

dapat dilakukan dan apakah simetris, perhatikan sudut mulutnya. Jika pasien tidak

dapat melakukannya maka terdapat gangguan persarafan pada m.zigomaticus mayor.

Pada penderita yang tidak kooperatif atau yang menurun kesadarannya dan tidak

dapat disuruh menyeringai, dapat dibuat menyeringai bila diberikan rangsangan

nyeri, yaitu dengan menekan pada sudut rahangnya (m.masseter) (Lumbantobing,

2012).

d. Mencucurkan bibir

Minta pasien untuk mencucurkan bibir. Perhatikan apakah dapat dilakukan dan

apakah simetris. Jika pasien tidak dapat melakukan dengan baik dan simetris maka

dicurigai ada gangguan pada persarafan m.orbicularis oris (Lumbantobing, 2012).

e. Menggembungkan pipi

Minta pasien untuk menggembungkan pipi. Perhatikan apakah hal ini dapat

dilakukan atau tidak dan apakah simetris atau tidak. Apabila pasien tidak dapat

melakukan dengan baik maka dapat dikatakan terjadi gangguan pada persarafan

m.bucinator (Lumbantobing, 2012).

f. Mengembang kempiskan cuping hidung

Minta pasien untuk mengembang kempiskan cuping hidung, nilai apakah simetris

atau tidak. Jika tidak, maka terdapat gangguan persarafan pada m.nasalis

(Lumbantobing, 2012).
2. Fungsi Pengecapan

Kerusakan N.VII, sebelum percabangan korda timpani dapat menyebabkan ageusi

(hilangnya pengecapan) pada 2/3 lidah bagian depan. Menggunakan cairan Bornstein

(4% glukosa, 1% asam sitrat, 2,5% sodium klorida, 0,075% quinine HCl). Penderita

diminta menjulurkan lidah kemudian dikeringkan dahulu baru dilakukan tes dengan

menggunakan lidi kapas. Rasa manis di ujung lidah, rasa asam dan asin di samping lidah

dan rasa pahit di belakang lidah. Setiap selesai pemeriksaan, penderita berkumur dengan

air hangat kuku dan dikeringkan dahulu baru dilanjutkan pemeriksaan berikutnya. Pasien

diminta untuk menyampaikan pengecapan yang dirasakannya dengan isyarat, misalnya

1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin dan 4 untuk rasa asam.

Kerusakan pada atau diatas nervus petrosus mayor dapat menyebabkan kurangnya

produksi air mata dan lesi korda timpani dapat menyebabkan kurangnya produksi saliva

(Lumbantobing, 2012).

3. Refleks Stapedius

Memasang stetoskop pada telinga penderita kemudian dilakukan pengetukan lembut

pada diafragma stetoskop atau dengan menggetarkan garpu tala 256Hz di dekat

stetoskop. Abnormal jika hiperakusis (suara lebih keras atau nyeri).

Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada yang spesifik untuk Bell’s palsy, tetapi tes berikut dapat berguna untuk

mengidentifikasi atau menyingkirkan penyakit lain:

1. CBC (Complete Blood Count)

2. Glukosa darah, HbA1c


Untuk mengetahui adanya diabetes yang tidak terdiagnosa (penderita diabetes 29% lebih

berisiko terkena Bell’s palsy).

3. Salivary flow test

Pemeriksa menempatkan kateter kecil di kelenjar submandibular yang paralisis dan

normal, kemudian penderita diminta menghisap lemon dan aliran saliva dibandingkan

antara kedua kelenjar. Sisi yang normal menjadi kontrol.

4. CT-Scan, MRI CT-Scan

Digunakan apabila paresis menjadi progesif dan tidak berkurang. MRI digunakan untuk

menyingkirkan kelainan lainnya yang menyebabkan paralisis. MRI pada penderita Bell’s

palsy menunjukkan pembengkakan dan peningkatan yang merata dari saraf fasialis dan

ganglion genikulatum. MRI juga dapat menunjukkan adanya pembengkakan saraf facialis

akibat schwannoma, hemangioma, atau meningioma.

Gambar 2.7 X-ray Saraf Wajah pada Bell’s Palsy


2.7 Penatalaksanaan

Tatalaksana bell’s palsy bertujuan untuk mempercepat pemulihan dan mengurangi

komplikasi jangka panjang. Ketidakmampuan untuk menutup mata pada sisi yang terkena

meningkatkan risiko terjadinya komplikasi kornea. Pelindung mata sangat penting sehingga

penutup mata dan pelumas digunakan untuk mencegah pengeringan kornea. Tetes mata,

seperti tetes hypromellose, harus diterapkan untuk pelumasan di siang hari dan salep di

malam hari. Dalam kasus yang parah, mata mungkin harus ditutup atau dijahit sebagian.

2.7.1 Tatalaksana Farmakologi

1. Kortikosteroid

Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis permanen dari

pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit dan kerja maksimal dimulai

dalam waktu 72 jam dari timbulnya gejala. Dosis pemberian prednison (maksimal

40- 60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg/kg/hari secara oral

selama 6 hari lalu diikuti 4 hari tappering off (Sullivan, 2007). Efek toksik dan hal

yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang (lebih dari 2

minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis,

supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan cushing syndrome.

2. Antiviral

Antiviral digunakan sebagai pengobatan Bell’s palsy karena kemungkinan ada

keterlibatan HSV-1. Antiviral yang digunakan yaitu asiklovir 400 mg 5x/hari selama

5 hari atau valasiklovir 1000 mg/hari selama 5 hari (Hato, 2007). Dari hasil

penelitian, penggunaan antivirus sendiri tidak memberikan keuntungan untuk

penyembuhan penyakit. Tetapi penggunaan Valacyclovir dan prednisone,


memberikan hasil yang lebih baik apabila dibandingkan penggunaan prednisone

sendiri, terutama pada penderita dengan gejala klinis yang berat.

3. Analgesik untuk meredakan nyeri, dan methylcellulose eye drops untuk mencegah

kekeringan pada kornea.

2.7.1 Tatalaksana Non Farmakologi

1. Penggunaan selotip untuk menutup kelopak mata saat tidur dan eye patch untuk

mencegah pengeringan kornea.

2. Fisioterapi

Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada

stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh.

Cara yang sering digunakan yaitu : mengurut/ massage otot wajah selama 5 menit

pagi-sore atau dengan faradisasi. Pemberian suhu panas di area yang terpengaruh

dapat mengurangi nyeri.

3. Operasi

Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak- anak karena dapat

menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial. Tindakan operatif dilakukan

apabila:

- Tidak terdapat penyembuhan spontan

- Tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednisone

- Pada pemeriksaan elektrik terdapat denervasi total

Beberapa tindakan operatif yang dapat dikerjakan pada BP antara lain dekompresi n.

fasialis yaitu membuka kanalis fasialis pars piramidalis mulai dari foramen
stilomastoideum nerve graft operasi plastik untuk kosmetik (muscle sling, tarsoraphi)

(Sukardi, 2004, Davis,2005).

2.7.2 Algoritma Penatalaksanaan Bell’s Palsy

2.8 Komplikasi
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’s palsy mengalami sekuele berat yang tidak

dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s palsy yaitu:

1. Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis

seluruh atau beberapa muskulus fasialis

2. Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan),

ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak

sama dengan stimuli normal)

3. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat

menyebabkan:
- Sinkinesis yaitu gerakan inolunter yang mengikuti gerakan volunter, contohnya timbul

gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan dahi

saat memejamkan mata

- Crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat

regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien keluar pada saat

mengkonsumsi makanan

- Clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock-

like) pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal,

kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan).

2.9 Prognosis

Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy, 85% memperlihatkan tanda-

tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada

3-6 bulan kemudian (Ropper, 2003). Pada literatur lain penderita BP bisa sembuh sempurna

dalam waktu 2 bulan dan sembuh sempurna antara 1-3 bulan 80 % (Davis,2005). Sepertiga

dari penderita Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala sisa. 1/3 lainnya

dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan baik. Penderita

seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata. Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total

atau meninggalkan gejala sisa.

Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah (Ropper, 2003):

1. Usia di atas 60 tahun

2. Paralisis komplit

3. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh

4. Nyeri pada bagian belakang telinga dan berkurangnya air mata.


Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita

nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23 %

kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15 %

penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau

tumor kelenjar parotis (Ropper, 2003).


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Bell’s palsy merupakan kelemahan atau kelumpuhan saraf fasialis perifer tipe lower

motor neuron (LMN) yang bersifat akut dan belum diketahui penyebabnya secara pasti

(idiopatik). Etiologinya masih belum jelas, tetapi diketahui bahwa gejala tersebut disebabkan

oleh pembengkakan dan peradangan pada saraf wajah.

Gejala klinis berupa kelumpuhan separuh otot wajah seperti dahi tidak dapat dikerutkn,

kelopak mata tidak dapat menutup, sudut mulut tidak dapat diangkat. Selain itu juga dapat

ditemukan gejala lain yang menyertai seperti gangguan fungsi pengecapan, hiperakusis dan

gangguan lakrimasi.

Tatalaksana dapat diberikan medikamentosa seperti kortikosteroid, antivirus, analgetik

serta obat tetes mata. Tatalaksana non medikamentosa dapat dilakukan fisioterapi, operasi

dan penggunaan selotip mata pada saat tidur untuk mencegah kekeringan kornea.
DAFTAR PUSTAKA

Adam, Olivia Mahardani. 2019. Bell’s palsy. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma
Albers JW, Bromberg MB. 1990. Bell’s palsy. In: Johnson RT, Griffin JW. Current therapy in
neurologic disease 3rd ed. Missouri: Mosby-Year Book Inc; p 376-80
Blow, David. 2012. Neuromuscular Taping From Theory to Practice. Italy: Arti Grafiche
Colombo.
Cohen JE, Leker RR, Gotkine M, et al. 2003. Emergent stenting to treat patients with carotid artery
dissection: clinically and radiologically directed therapeutic decision making.
Stroke;34:e254–7
Davis Larry E, Molly K. King,Jessica L. Schultz, 2005, Bells palsy in Fundamentals of Neurologic
Disease , Demos Medical Publishing New York; 63-64.
Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y, editors. 2009. Panduan praktis diagnosis dan
tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: EGC
Gilden, DH. 2004. Bell ’ s Palsy, New England J of Med., vol.351(13). pp.1323–31
Hato N, Yamada H, Kohno H, Matsumoto S, Honda N, Gyo K, et al. 2007. Valacyclovir and
prednisolone treatment for Bell’s palsy: a multicentre, randomized, placebo-controlled
study. Otol Neurotol; 28:408-13. http://dx.doi.org/10.1097/ 01.mao.0000265190.29969
Kahle, W and Frotscher, M. 2003. Nervous System and Sensory Organs. 5Th Ed. Volume 3.
Thieme Stuttgart, New York.
Kanerva,M. 2008. Peripheral Facial Palsy: Grading, Etiology, and Melkersson Rosenthal
Syndrome. Otolaryngology-Head and Neck Surgery, in press.
Kartadinata dan Tjandra R. 2011. Rehabilitasi Medik Bell’s palsy. Siaran RRI. Instalasi
Rehabilitasi Medik RSUP Dr. Kariadi Semarang
Katzung, B.G. Clinical Pharmacology. 2003. 9th edition. Mc Graw Hill companies, lnc; p117
Lowis H dan Gaharu MN. 2012. Bell’s palsy: Diagnosis dan Tata Laksana di Pelayanan Primer.
Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan. Departemen Saraf Rumah
Sakit Jakarta Medical Center
Lumbantobing, S.M. 2012. Neurologi klinik: pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta; Badan
Penerbit FK UI
Monkhouse, S. 2006. Cranial Nerves Functional Anatomy. Cambridge University Press, New
York
Moore, KL, Agur AMR, and Dalley, AF. 2015. Essential Clinical Anatomy. 5th Ed. Lippincott &
Wilkins, Philadelphia
Mujaddidah, N. 2017. Tinjauan Anatomi Klinik dan Manajemen Bell’ S Palsy. Quanun Medika.
I(2). 1–11
Netter, FH, Craig JA, and Perkins, J. 2002. Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology. Texas,
New York.
NINDS, 2014. Bell’s palsy Fact Sheet, http://www.ninds.nih.gov/disorders/bells/detail_bells.html
Ropper AH, Brown RH, 2003, Adams and Victor’s Principles of Neurology. 8th ed. New York:
MacGraw-Hill; 1180-1182.
Seok JI, Lee DK, Kim KJ. 2008. The usefulness of clinical findings in localising lesions in Bell’s
palsy: comparison with MRI. J Neurol Neurosurg Psychiatry; 79:418-20.
http://dx.doi.org/10.1136/jnnp.2007.118489. Diakses pada 5 Agustus 2021
Sidharta P, Mardjono M,. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat, pp: 169-73.
Sidharta P, 2010. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Dian Rakyat.
Sukardi, Nara P. 2004. Bell’s Palsy. Cermin Dunia Kedokteran edisi IV: 72-76
Sullivan FM, Swan IR, Donnan PT, Morrison JM, Smith BH, McKinstry B, et al. 2007. Early
treatment with prednisolone or acyclovir in Bell’s palsy. N Engl J Med ;357:1598-607.
http://dx.doi.org/10.1056/NEJMoa072006
Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. 2001. Buku Saku Neurologi. Ed 5. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; hal. 174

Anda mungkin juga menyukai