Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

REHABILITASI MEDIK PADA CERVICAL


ROOT SYNDROME (CRS)
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya

Oleh:
Alisa Qotrunnada Kirom 22004101088

Dosen Pembimbing:
dr. Nuryatien Husna, Sp.KFR

LABORATORIUM ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI MEDIK


RSUD SYARIFAH AMBAMI RATU EBU BANGKALAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik,
dan hidayah-Nya, sholawat serta salam yang kami junjungkan kepada Nabi Muhammad SAW
yang telah menuntun kita menuju jalan kebenaran sehingga dalam penyelesaian tugas ini kami
dapat memilah antara yang baik dan buruk. Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing pada Laboratorium Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Medik yang
memberikan bimbingan dalam menempuh pendidikan ini. Tak lupa pula kami mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak sehingga dalam penyusunan laporan kasus ini dapat
terselesaikan.
Referat ini membahas terkait definisi, etiopatologi, manifestasi klinis, penegakan diagnosa,
serta penatalaksanaan pada penyakit cervical root syndrome (CRS).
Kami menyadari dalam referat ini belum sempurna secara keseluruhan oleh karena itu
kami dengan tangan terbuka menerima masukan-masukan yang membangun sehingga dapat
membantu dalam penyempurnaan dan pengembangan penyelesaian tugas selanjutnya.
Demikian pengantar kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua. Amin.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Bangkalan, 30 Juni 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Cover
Kata Pengantar.................................................................................................................i
Daftar Isi.......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...........................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................................3
1.3 Tujuan........................................................................................................................4
1.4 Manfaat......................................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Servikal ......................................................................................................5
2.2 Cervical root syndrome..............................................................................................8
2.2.1 Definisi.............................................................................................................8
2.2.2 Epidemiologi....................................................................................................8
2.2.3 Etiologi.............................................................................................................8
2.2.4 Patofisiologi..................................................................................................... 10
2.2.5 Manifestasi Klinis ...........................................................................................11
2.2.6 Diagnosis..........................................................................................................12
2.2.7 Penatalaksanaan ..............................................................................................15
BAB III PENUTUP
5.1 Kesimpulan................................................................................................................22
5.2 Saran..........................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cervical root syndrome (CRS) adalah kumpulan gejala yang disebabkan oleh iritasi atau
kompresi dari akar saraf cervikal yang akan menimbulkan nyeri, ngilu, kesemutan, kram-
kram serta rasa tidak enak pada leher bagian belakang dan bisa menjalar ke bahu, lengan atas
dan lengan bawah tergantung dari akar mana yang terkena. 1 Kejadian CRS di populasi
didapatkan sekitar 34% pernah mengalami nyeri cervical dan hampir 14% mengalami nyeri
tersebut lebih dari 6 bulan. Pada populasi diatas 50 tahun, sekitar 10% mengalami nyeri
cervical.1
Pada usia muda, radikulopati cervikalis merupakan akibat dari herniasi diskus
intervertebralis atau cedera akut yang menyebabkan tubrukan foramen dari saraf yang keluar.
Herniasi diskus intervertebralis sekitar 20-25% dari kasus radikulopati cervikalis. Pada pasien
yang lebih tua, radikulopati cervikalis sering merupakan akibat penyempitan foramen dari
pembentukan osteofit, penurunan ketinggian diskus, perubahan degeneratif prosesus
uncinatus vertebra dari anterior dan facet dari posterior..2
Cervical root syndrome dapat ditatalaksana secara medikamentosa ataupun dengan non
medikamentosa. Pada pengobatan non medikamentosa dapat dilakukan dengan rehabilitasi
medic, yaitu baik secara fisioterapi, ortosis dan exercise ang bertujuan untuk mengurangi rasa
nyeri, mencegah spasme otot dan komplikasi lain. Dalam hal rehabilitasi medik dengan
menggunakan modalitas fisioterapi yang berupa traksi servical, thermoterapi, SWD,
gelombang ultrasonic, dan beberapa latihan. Dengan latihan diharapkan terjadi penambahan
ruangan pada intervertebralis maka penyempitan yang dapat menekan akar saraf dapat
berkurang, serta diperoleh relaksasi otot-otot leher sehingga gejala pada pasien dapat
berkurang.3

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang dapat diangkat pada referat ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana anatomi dari bahu?
2. Apa definisi dari cervical root syndrome?
3. Bagaimana epidemiologi dari cervical root syndrome?
4. Apa etiologi dari cervical root syndrome?
5. Bagaimana patofisiologi dari cervical root syndrome?
6. Bagaimana manifestasi klinis dari cervical root syndrome?
7. Bagaimana diagnosa dari cervical root syndrome?

3
8. Bagaimana penatalaksanaan dari cervical root syndrome?
1.3 Tujuan
Referat ini bertujuan agar penulis dapat mengetahui dan memahami tentang:
1. Mengetahui anatomi servikal
2. Mengetahui definisi dari cervical root syndrome
3. Mengetahui epidemiologi dari cervical root syndrome
4. Mengetahui etiologi dari cervical root syndrome
5. Mengetahui patofisiologi dari cervical root syndrome
6. Mengetahui manifestasi klinis dari cervical root syndrome
7. Mengetahui diagnosa dari cervical root syndrome
8. Mengetahui penatalaksanaan dari cervical root syndrome

1.4 Manfaat
1.4.1 Teoritis
Diharapkan mampu memberikan tambahan pengetahuan dan landasan teori mengenai
cervical root syndrome.
1.4.2 Praktis
Diharapkan mampu memberikan landasan ilmiah dalam penanganan pasien dengan
cervical root syndrome.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Cervical


Anatomi vertebrae Cervical berbeda dengan vertebrae thoracal dan juga lumbal. Ini
semua berkaitan dengan fungsinya yang berbeda. Spina servikal berfungsi menopang kepala,
memungkinkan gerakan dan posisi yang tepat. Semua pusat saraf vital berada di kepala
memungkinkan pengendalian penglihatan (vision), keseimbangan vestibular, arahan
pendengaran (auditory) dan saraf penciuman; secara esensial mengendalikan semua fungsi
neuromuscular yang sadar. Untuk itu maka kepala harus ditopang oleh spina servikal pada
posisi yang tepat agar memungkinkan gerakan spesifik untuk menyelesaikan semua fungsi
tersebut.1
Leher merupakan bagian spina/tulang belakang yang paling bergerak (mobile),
mempunyai tiga fungsi utama, yaitu:1,2
1. menopang dan memberi stabilitas pada kepala;
2. memungkinkan kepala bergerak di semua bidang gerak;
3. melindungi struktur yang melewati spina, terutama medula spinalis, akar saraf, dan
arteri vertebra.
Kolumna servikal dibentuk oleh tujuh tulang vertebra. Vertebrae cervical relatif lebih
kecil bila dibandingkan dengan vertebrae lumbal, begitu juga dengan discus
intervertebralenya yang memiliki ukuran lebih kecil. Vertebra Cervical yang pertama dan
kedua (C1 dan C2) memilki susunan anatomi yang berbeda dengan yang lainnya. 1 Spina
servikal, C1-C7, terlihat dari lateral membentuk lengkung lordosis dan kepala pada tingkat
oksipitoservikal membentuk sudut yang tajam agar kepala berada di bidang horizontal.
Apabila dilihat dari anteroposterior maka spina servikal sedikit mengangkat (tilt) kepala ke
satu sisi.Hal tersebut dapat dijelaskan oleh faset pada oksiput, atlas (C1) dan aksis (C2) yang
sedikit asimetrik.
Spina servikal merupakan persatuan unit fungsional yang saling tumpeng tindih
(superimposed), masing-masing terdiri atas 2 badan, yang dipisahkan oleh diskus
intervertebra mulai di bawah aksis (C2). Unit fungsional spina servikal dibagi atas dua
kolumna, yaitu kolumna anterior yang terdiri atas vertebra ligamen longitudinal dan diskus di
antaranya, serta kolumna posterior yang meliputi kanal oseus neural, ligamen posterior, sendi
zygapophyseal, dan otot erektor spina. Secara anatomis, foramen intervertebralis terletak di
antara kedua kolumna tersebut. Sebenarnya, otot servikal bagian anterior yaitu fleksor

5
merupakan bagian dari kolumna anterior. Untuk mengevaluasi secara fungsional maka spina
servikal dibagi menjadi segmen servikal atas (diatas C3) dan segmen servikal bawah (C3-
C7).Setiap segmen itu berfungsi berbeda.2

Gambar 2.1 Vertebra Cervical.1


Odontoid berartikulasi dengan lengkung anterior atlas. Hubungan normal tersebut
memungkinkan pemisahan <3 mm antara lengkung anterior dan atlas. Sendi tersebut dapat
menjadi lemah oleh karena trauma atau penyakit seperti artritis rheumatoid (RA). Pemisahan
3 mm atau lebih dalam fleksi dan ekstensi dianggap tidak stabil dan merupakan bukti
instabilitas. Atlas dan aksis dalam kombinasi dengan kranial-oksiput (CO) membantu fleksi,
ekstensi dan rotasi. Artikulasi atlantooksipital (CO-C1) memungkinkan fleksi 10º dan ekstensi
25º.1
Rotasi terbanyak di spina servikal terjadi di persendian C1-C2, dengan rotasi 45º ke
arah kiri atau kanan. Sedikit derajat fleksi-ekstensi terlihat juga di persendian C1-C2. Sendi
sinovial asli (true synovial joint) terletak di antara lengkung anterior atlas dan prosesus
odontoid. Vertebra regio servikal bawah masing-masing serupa dalam bentuk dan fungsi dan
dapat dikatakan merupakan unit fungsional yang khas (typical). Vertebra C3-C7 mempunyai
badan kecil dan dimensi terpanjang pada bidang koronal. Prosesus spinosus bifida dari C3
sampai C6, dan C7 mempunyai prosesus spinosus terpanjang yang mudah teraba pada palpasi.
Sendi zygapophyseal di servikal lebih konkaf dibandingkan di torakal dan lumbal. Orientasi
faset di servikal adalah 45º (dibandingkan 60º di torakal dan 90º di lumbal). Prosesus
spinosus, prosesus transversa dan lamina menjadi daerah perlekatan otot.1
Di perbatasan C2 dan C3 terdapat perubahan bentuk persendian yang menyebabkan
perbedaan bermakna dalam fungsi serta merupakan daerah transisi yang mengubah gerakan
dari rotasi ke fleksi dan ekstensi. Terjadi sekitar 10º fleksi pada masing-masing segmen

6
dengan fleksi terbesar pada C4-C5 dan C5-C6. Fleksi lateral terjadi terutama di C3-C4 dan
C4-C5. Pemindahan horizontal (horizontal displacement) vertebra >3,5 mm saat fleksi dan
ekstensi atau deformitas angular >11º menandakan instabilitas spina.1,2

Gambar 2.2 Gerakan Servikal.2


Semua gerakan servikal berpasangan sehingga rotasi dikaitkan dengan fleksi lateral
dan sebaliknya. Pembatasan lingkup gerak (ROM) dalam satu bidang memungkinkan klinisi
mendeteksi segmen yang terlibat terutama letaknya apakah di regio servikal atas atau bawah.1
Massa terbesar otot leher terletak di bagian ekstensor segmen servikal atas daerah
atlantoaksial, yang menandakan kebutuhan akan otot kuat di regio tersebut untuk menjaga
terhadap trauma. Massa terbesar otot fleksor terletak di region servikal tengah (C4-C5) adalah
regio segmen servikal bawah yang mempunyai derajat gerak terbesar. Oleh karena itu
merupakan daerah yang mengalami pakaiaus mekanik (mechanical wear & tear) serta
paparan trauma dan stress besar.2
Saraf yang keluar dari vertebrae Cervical berjumlah 8, dimulai dari C1 sampai dengan
C8. Pada daerah cervical sendiri terdapat dua plexus yakni plexus cervicalis (C1-C4) dan
plexus brachialis (C4-T1). Saraf servikal dengan formasi pleksus servikobrakhial dan saraf ke
kepal berperan penting pada fungsi ekstremitas atas dan juga terlibat dalam produksi nyeri
serta kecacatan. Semua saraf servikal mengandung serabut sensoris dan motorik kecuali saraf
C1 yang hanya mempunyai serabut motorik. Karena itu penekanan pada saraf servikal akan
memunculkan gejala sesuai dengan dermatom yang terkena.2

7
Gambar 2.3 Dermatom.2
2.2 Cervical root syndrome
2.2.1 Definisi

Cervical root syndrome adalah kumpulan gejala yang disebabkan oleh iritasi atau
kompresi dari akar saraf cervical yang akan menimbulkan nyeri, ngilu, kesemutan, kram-
kram serta rasa tidak enak pada leher bagian belakang dan bisa menjalar ke bahu, lengan atas
dan lengan bawah tergantung dari akar mana yang terkena.1
Salah satu contoh CRS adalah sindrom radikulopati. Radikulopati berarti radiks
posterior dan anterior yang terkena proses patologik sehingga terjadi disfungsi dari akar saraf
cervikalis, akar saraf, atau keduanya dimana terjadi kerusakan atau gangguan fungsi saraf
akibat kompresi salah satu akar saraf dekat vertebra cervikalis. Akar saraf vertebralis yang
paling sering terkena adalah C7 sekitar 60% dan C6 sekitar 25%. 3

2.2.2 Epidemiologi
Radikulopati cervikalis terjadi pada frekuensi yang jauh lebih rendah dibandingkan
radikulopati lumbalis. Insidens dari penderita CRS bermacam-macam tergantung
penyebabnya. Seperti jumlah penderita spondilosis cervikal digabung dengan penderita nyeri
leher lainnya termasuk sindrom levator scapula, cervikobrakialgia dan servikoosksipital
menduduki urutan ke empat sesudah
stroke.1
Cervical Root Syndrome sering didapatkan pada orang yang berusia lebih dari 55
tahun3. Data dari Rochester, Minnesota, menunjukkan insiden tahunan radikulopati cervikalis
sebesar 107,3 per 100.000 pada laki-laki dan 63,5 per 100.000 pada perempuan, dengan
puncaknya pada usia 50 sampai 54 tahun. Riwayat trauma dan aktifitas fisik berlebihan
mendahului timbulnya gejala sekitar 15 persen dari kasus.3

2.2.3 Etiologi
Kerusakan dapat terjadi sebagai akibat penekanan material diskus yang mengalami
ruptur, adanya perubahan degeneratif pada tulang, arthritis atau cedera lain yang memberi
tekanan pada akar saraf. Pada usia paru baya, perubahan degeneratif pada diskus dapat
menyebabkan tekanan pada akar saraf. Pada usia muda, radiculopathy cervical cenderung
terjadi karena rupturnya diskus sebagai akibat dari trauma. Material diskus kemudian
menekan akar saraf dan menyebabkan rasa sakit. Penelitian menyebutkan penyakit diskus
cervikalis terjadi kompresi akar saraf yang menyebabkan nyeri anggota badan, sedangkan
tekanan pada diskus menyebabkan nyeri di leher dan perbatasan medial skapula.2 Penyebab

8
paling sering radikulopati cervikalis (pada 70 sampai 75 persen dari kasus) adalah gangguan
foramen saraf spinal karena kombinasi faktor-faktor di antaranya penurunan puncak diskus
dan perubahan degeneratif dari sendi uncovertebral anterior dan zygapophyseal sendi
posterior (yaitu, spondylosis cervical). Berbeda dengan gangguan lumbal, herniasi nukleus
pulposus hanya sekitar untuk 20 sampai 25 persen dari kasus. Penyebab lainnya yang jarang
yaitu tumor tulang belakang dan infeksi tulang belakang.3
Faktor resiko terjadinya CRS :

a. Genetik

Didapatkan faktor familial pada penderita cervical root syndrome, sehingga faktor
genetik diperkirakan memiliki peran dalam terjadinya penyakit ini.
b. Umur

Berbagai sumber menyatakan adanya hubungan antara bertambahnya usia dengan


angka kejadian dari Cervical Root Syndrome. Spondylosis cervicalis lebih sering ditemukan
pada usia di atas 40 tahun dibanding usia di bawah 40 tahun dan insiden tertinggi terjadi pada
usia lebih dari 55 tahun. Proses degenerasi pada vertebrae dan discus intervertebral
merupakan penyebabnya, dimana bertambahnya usia berbanding lurus dengan berjalannya
proses degenerasi.
c. Jenis Kelamin

Terdapat penelitian dimana laki-laki lebih cepat mengalami proses degenerasi bila
dibandingkan dengan perempuan. Pada laki-laki terkadang didapatkan mulainya proses
degenerasi pada usia 30 tahun, sedangkan pada wanita biasanya dimulai pada usia 40 tahun.
Tetapi dari jumlah penderita tidak didapatkan perbedaan yang signifikan, dimana
perbandingan jumlah penderita cervical root syndrome antara pria dan wanita adalah 1:1.
d. Trauma

Trauma akibat kecelakaan merupakan faktor risiko cervical root syndrome. Selain itu
cervical root syndrome dapat juga disebabkan proses “wear and tear”, yaitu proses
penggunaan sendi terus menerus yang akan menyebabkan degenerasi pada sendi.
e. Pekerjaan
Pekerjaan dapat menyebabkan trauma berulang seperti mengangkat beban berat pada
kuli dan gerakan berlebihan pada penari professional merupakan faktor risiko cervical root
syndrome. Keadaan lain yang dapat ditemukan seperti pada pekerjaan yang menggunakan
komputer dalam waktu yang cukup lama dan penjahit pakaian. Hal ini akan menyebabkan
postur tubuh yang kurang baik sehingga menyebabkan peningkatan beban tubuh ke bagian

9
cervical
f. Life Style

Keadaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi terjadinya CRS diantaranya tekanan ,


stress, postur tubuh keseharian, bekerja dengan posisi leher yang menetap dalam waktu lama,
tidur dengan bantal yang tinggi, berbaring dengan leher yang fleksi sementara
membaca/nonton TV.4

2.2.4 Patofisiologi

Discus intervertebralis terdiri dari nucleus pulposus yang merupakan jaringan elastis
dikelilingi oleh annulus fibrosus dan terbentuk oleh jaringan fibrosus. Kandungan air dalam
nucleus pulposus tinggi, tetapi semakin tua umur seseorang kadar air dalam nucleus pulposus
semakin berkurang terutama setelah seseorang berumur 40 tahun, bersamaan dengan itu
terjadi perubahan degenerasi pada begian pusat discus, akibatnya discus akan menjadi tipis,
sehingga jarak antara vertebrae yang berdekatan mejadi kecil dan ruangan discus menjadi
sempit6.
Selanjutnya annulus fibrosus mengalami penekanan dan menonjol keluar. Penonjolan
bagian discus ini akan menyebabkan jaringan sekitarnya seperti corpus vertebrae yang
berbatasan dengannya akan mengalami suatu perubahan. Perubahannya yang terjadi adalah
terbentuknya jaringan ikat baru yang disebut osteofit. Kombinasi antara menipisnya discus
yang menyebabkan penyempitan ruangan discus dan timbulnya osteofit akan mempersempit
diameter kanalis spinalis.4
Pada kondisi normal diameter kanalis spinalis adalah 17 mm sampai 18 mm. Tetapi
pada kondisi CRS, kanalis ini menyempit dengan diameter pada umumnya antara 9 mm
sampai 10 mm. Pada keadaan normal, akar-akar saraf akan menempati seperempat sampai
seperlima, sedangkan sisanya akan diisi penuh oleh jaringan lain sehingga tidak ada ruang
yang tersisa. Bila foramen intervertebralis ini menyempit akibat adanya osteofit, maka akar-
akar saraf yang ada didalamnya akan tertekan. Saraf yang tertekan ini mula-mula akan
membengkok. Perubahan ini menyebabkan akar-akar saraf tersebut terikat pada dinding
foramen intervertebralis sehingga mengganggu peredaran darah. Selanjutnya kepekaan saraf
akan terus meningkat terhadap penekanan, yang akhirnya akar-akar saraf kehilangan sifat
fisiologisnya. Penekanan akan menimbutkan rasa nyeri di sepanjang daerah yang
mendapatkan persarafan dari akar saraf tersebut.2,4

10
Gambar 2.4 Cervical Abnormal.4

2.2.5 Manifestasi Klinis


Tanda dan gejala ang dapat timbul pada keadaan CRS diantaranya5:

 Nyeri Leher
Gejala yang utama biasanya berupa nyeri pada bagian belakang leher atau daerah
sekitarnya (trapezius). Timbulnya nyeri terjadi secara perlahan-lahan walaupun terkadang
timbul mendadak. Rasa nyeri sendiri biasanya bersifat kronik dan dihubungkan dengan
adanya aktivitas yang berat atau keadaan umum yang menurun. Terkadang rasa nyeri menjalar
ke bahu atau lengan atas dan juga bisa mengenai daerah cervical atas yang menyebabkan
nyeri occipital.
 Kaku Leher (Stifness)
Kaku leher dimulai pada pagi hari dan makin bertambah dengan adanya aktivitas.
Gerakan leher menjadi terbatas dan terkadang disertai dengan krepitasi dan nyeri.
 Gejala Radikuler

Keadaan yang timbul tergantung pada radiks saraf yang terkena oleh spur atau iritasi
oleh synovitis dari facet sendiri dan biasanya bersifat unilateral. Pasien mengeluh adanya
paresthesia numbness dan jarang disertai nyeri. Paresthesia numbness sendiri tergantung pada
bagian vertebrae Cervical mana yang mengalami spondylosis, dan memiliki manifestasi yang
berbeda-beda.
 Parestesia

Pada umumnya parestesia ditunjukan ada di dalam jari tangan. Di sini lokalisasi itu
justru sangat penting, karena dari lokalisasinya dapat disimpulkan pada tingkatan mana

11
struktur saraf terangsang, pada tekanan akar C6 menyebabkan rasa kesemutan sampai ibu jari
dan telunjuk.
Gejala lain yang dapat timbul pada beberapa kasus dapat disertai dengan penekanan
mendadak pada a. vertebralis yang bisa mengakibatkan nyeri kepala, vertigo dan tinnitus.

2.2.6 Diagnosis
Penegakan diagnosa pada kasus CRS berdasarkan dengan anamnesa, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang, yaitu5,6:

a. Anamnesa
Anamnesa adalah hal-hal yang menjadi sejarah kasus pasien, juga berguna untuk
menentukan diagnosa, karena misalnya dengan pendekatan psikiatri terhadap depresinya
yang kadang merupakan faktor dasar nyeri bahu ini. Gejala-gejala yang mungkin nampak
pada inspeksi dan palpasi, misalnya :

 Nyeri kaku pada leher


 Rasa nyeri dan tebal dirambatkan ke ibu jari dan sisi radial tangan
 Dijumpai kelemahan pada biceps atau triceps
 Berkurangnya reflex biceps
 Dijumpai nyeri menjalar (referred pain) di bahu yang samar, dimana “nyeri bahu”
hanya dirasa bertahan di daerah deltoideus bagian lateral dan infrascapula atas.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan untuk penegakan diagnosis antara lain :
 Terdapat tenderness pada daerah cervical, pada beberapa keadaan akan terlokalisir
pada sebelah lateralsendi yang mengalami peradangan
 Spasme pada otot-otot leher.
 Pemeriksaan R.O.M leher terbatas dan nyeri terutama pada Gerakan lateral bending
dan rotasi.
 Pada extremitas atas bisa menunjukkan defisit sensoris dan hiporeflexia. Parese
dan atrofi otot merupakan kondisi lanjutan yang jarang ditemukan.
 Leher tampak agak kyphotic sehingga postur terlihat kepala jatuh ke depan yang
menyebabkan center of gravity jatuh ke depan. Leher akan bertambah lordosis
sebagai usaha mempertahankan keseimbangan dan akan mempersempit foramen
intervertebrale dan menambah tekanan ke sendi zygapophyseal.
 Pemeriksaan darah normal, penyempitan celah sendi karena degradasi kartilago
artikuler dan memungkinkan permukaan tulang mendekat satu sama lain dan terdapat
osteofit marginalis.

12
Tes-tes khusus yang dapat dilakukan dalam menegakkan kasus CRS, antara lain:
 Tes Provokasi

Tes Spurling atau tes Kompresi Foraminal, dilakukan dengan cara posisi leher
diekstensikan dan kepala dirotasikan ke salah satu sisi, kemudian berikan tekanan ke bawah
pada puncak kepala. Hasil positif bila terdapat nyeri radikuler ke arah ekstremitas ipsilateral
sesuai arah rotasi kepala. Pemeriksaan ini sangat spesifik namun tidak sensitif guna
mendeteksi adanya radikulopati servikal. Pada pasien yang datang ketika dalam keadaan
nyeri, dapat dilakukan distraksi servikal secara manual dengan cara pasien dalam posisi
supinasi kemudian dilakukan distraksi leher secara perlahan. Hasil dinyatakan positif apabila
nyeri servikal berkurang.6

Gambar 2.5 Tes Provokasi.6


 Tes distraksi kepala
Distraksi kepala akan menghilangkan nyeri yang diakibatkan oleh kompresi terhadap
radiks syaraf. Hal ini dapat diperlihatkan bila kecurigaan iritasi radiks syaraf lebih
memberikan gejala dengan tes kompresi kepala walaupun penyebab lain belum dapat
disingkirkan.6

Gambar 2.6 Tes Distraksi Kepala.6


 Tes valsava

13
Dengan tes ini tekanan intratekal dinaikkan, bila terdapat proses desak ruang di kanalis
vertebralis bagian cervical, maka dengan di naikkannya tekanan intratekal akan
membangkitkan nyeri radikuler. Nyeri syaraf ini sesuai dengan tingkat proses patologis
dikanalis vertebralis bagian cervical. Cara meningkatkan tekanan intratekal menurut Valsava
ini adalah pasien disuruh mengejan sewaktu ia menahan nafasnya. Hasil positif bila timbul
nyeri radikuler yang berpangkal di leher menjalar ke lengan.6

Gambar 2.7 Tes Valsava.6

a. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologis masih menjadi standar yang paling baik untuk penegakan
diagnosis sampai sekarang. Pada foto rontgen akan didapatkan :
1) Pembentukan osteofit dan sklerosis pada sendi-sendi apofiseal intervertebrae.
2) Penyempitan pada discus intervertebralis akibat erosi kartilago.
3) Pembentukan tulang baru (spurring) antar vertebra yang berdekatan dan dapat
menyebabkan kompresi akar saraf.

14
Gambar 2.8. Foto rontgen AP spondilosis servikalis.6
Selain menggunakan foto rontgen, dapat juga digunakan MRI dan CT (Computerized
Tomography) untuk penegakan diagnosis.6

Gambar 2.9 MRI dari Spondylosis Cervical.6

2.2.7 Penatalaksanaan

Tatalaksana pada kasus CRS dapat diberikan secara medikamentosa ataupun non
medikamentosa untuk mencegah keparahan yang terjadi. Fisioterapi juga diberikan dengan
tujuan reduksi dan resolusi nyeri, perbaikan atau resolusi defisit neurologis dan mencegah
komplikasi atau keterlibatan medulla spinalis lebih lanjut7.
A. Medikamentosa

Pemberian obat NSAID (Anti Inflamasi Non Steroid) dan muscle relaxant untuk
menghilangkan rasa nyeri. Bila terdapat gejala radikuler bisa disertai dengan pemberian
kortikosteroid oral. Bila nyeri dirasa sangat mengganggu bisa ditambahkan opioid dengan
beberapa ketentuan7,8.
Tindakan operatif lebih banyak ditujukan pada keadaan yang disebabkan kompresi
terhadap radiks saraf atau pada penyakit medula spinalis yang berkembang lambat serta
melibatkan tungkai dan lengan. Pada penanggulangan kompresi tentunya harus dibuktikan
dengan adanya keterlibatan neurologis serta tidak memberikan respon dengan terapi
medikamentosa biasa.8
B. Non Medikamentosa
a. Latihan

Latihan bisa dimulai pada akhir minggu 1. Latihan mobilisasi leher kearah anterior,
latihan mengangkat bahu atau penguatan otot banyak membantu proses penyembuhan nyeri.
Hindari gerakan ekstensi maupun flexi. Pengurangan nyeri dapat diakibatkan oleh spasme
otot dapat ditanggulangi dengan melakukan pijatan.9
15
Pada penderita Cervical Root Syndrome akan didapatkan nyeri, kekakuan dan
keterbatasan ruang gerak sendi akibat dari penekanan radix saraf. Hal ini dapat menyebabkan
terjadinya kelemahan otot yang berujung pada postur yang buruk. Postur yang buruk akan
memperberat perjalanan penyakit ini. Terapi latihan bertujuan untuk :
a. Mengurangi rasa nyeri
b. Mengurangi lordosis cervical
c. Memperbaiki kekuatan otot
d. Meningkatkan postur pada ADL
e. Mempertahankan fleksibilitas atau rentang sendi (R.O.M)

Terapi Latihan juga akan membantu proses pengurangan rasa nyeri selain
mengembalikan keadaan pasien ke kondisi normalnya. Pada keadaan nyeri, pasien akan
cenderung untuk tidak menggerakan kepala. Hal ini dapat menyebabkan spasme otot leher
yang lama-kelamaan akan menyebabkan atrofi otot. Atrofi otot akan menambah rasa nyeri
pada pasien Cervical Root Syndrome karena otot leher akan mengalami penurunan fungsinya
dalam mempertahankan posisi kepala.9,10,11

Terapi Latihan dapat berupa :


1) Latihan penguatan otot leher
Latihan penguatan otot dilakukan secara isotmetrik, yakni melawan tahanan yang
tidak bergerak atau dengan mempertahankan leher pada posisi statik. Latihan isometrik
cervical ini dilakukan secara self resistance pada posisi duduk.
1. Fleksi
Pasien meletakkan ke dua tangan dan menekan dahi dengan telapak tangan, kemudian
kepala melakukan gerakan fleksi (mengangguk) tetapi ditahan dengan tangan agar tidak
terjadi gerakan.
2. Lateral Bending
Pasien menekan dengan tangan pada sisi lateral kepala dan mecoba untuk lateral fleksi
kepala, tahanan diberikan pada telinga dan bahu, di usahakan tidak terjadi gerakan.
3. Ekstensi axial
Pasien menekan belakang kepala dengan kedua tangan dimana tahanan diberikan pada
belakang kepala dekat puncak kepala.
4. Rotasi
Pasien menekan dengan satu tangan menahan pada daerah atas dan lateral dari mata
dan mencoba memutar kepala (rotasi) tetapi tetap ditahan agar tidak terjadi gerakan.
Preskripsi untuk latihan kekuatan sebagai berikut :

16
a) Intensitas (beban) : 100% dari kontraksi maksimum
b) Durasi : 5 detik tiap kontraksi
c) Repetisi : 5-10 kontraksi
d) Frekuensi : 5 hari tiap minggu
e) Lama program : 4 minggu atau lebih
Kerugian latihan ini adalah terjadinya peningkatan tekanan darah, disebabkan
peningkatan denyut jantung tanpa perubahan perifer umum. Pada penderita penyakit jantung,
latihan isometrik dapat menyebabkan timbulnya disaritmia ventrikel.10
2) Latihan fleksibilitas / stretching otot leher

Bila terdapat rasa tidak enak akibat postur yang buruk atau adanya spasme otot,
maka R.O.M aktif akan membantu menghilangkan stress pada struktur leher dan
memperbaiki sirkulasi. Tujuan dari latihan stretching pada otot leher adalah menambah
fleksibilitas dalam fleksi, ekstensi, rotasi dan lateral fleksi secara aktif. Semua gerakan
dilakukan perlahan sampai full R.O.M dan dilakukan beberapa kali. Posisi pasien duduk
dengan leher tergantung secara rileks pada kursi atau berdiri rileks. Setelah itu pasien di
minta untuk :

1. Menekuk leher ke depan dan belakang.

2. Menekuk kepala ke lateral kanan dan kiri, merotasikan kepala pada masing-
masing sisi.
3. Putar bahu, elevasi, retraksi, kemudian relaks dari scapula.
Putar secara melingkar lengan mengelilingi bahu. Dikerjakan dengan siku fleksi dan
ekstensi, menggunakan gerakan sirkuler yang luas maupun kecil. Posisi lengan ke depan atau
agak menyamping. Gerakan searah maupun berlawanan jarum jam harus digerakkan karena
membantu dalam latihan postur yang benar. Sendi harus digerakkan secara penuh setidanya 2-
3 kali sehari.

17
Gambar 2.13 Neck Exercises.10

b) Latihan postur

Postur yang buruk akan menambah lordosis cervical dan penambahan beban yang
berlebih pada leher. Postur yang dimaksud salah satunya adalah forward-head posture. Postur
yang tidak tepat ini juga berpengaruh pada penekanan annulus fibrosus dan menyebabkan
penyempitan foramen intervertebrale sehingga terjadi iritasi pada saraf bagian cervical.11
Latihan postur sangat membutuhkan kesadaran dalam melakukan latihan yang teratur.
Yang dilakukan adalah melakukan teknik relaksasi otot dan stretching untuk mengembalikan
ROM normal. Pada ADL juga harus dievaluasi untuk mencegah posisi yang memperburuk
kondisi cervical serta dilakukan edukasi11 :
(1)Cara mengangkat barang dengan lutut fleksi.

(2)Hindari hiperekstensi leher dan forward-head posture yang terlalu lama dan
berlebihan.
Perbaiki lingkungan pekerjaan penderita seperti kursi dan meja yang kurang sesuai
ukuran tingginya, lingkungan tidur seperti bantal yang sesuai tingginya dan matras
untuk membantu relaksasi otot

b. Ortesa
 Traksi Cervical
Traksi leher pada posisi supinasi dengan sudut leher, beban dan durasi dari traksi
disesuaikan dengan toleransi dan respon dari pasien. Tujuan dari traksi adalah untuk
mengembalikan posisi dari vertebra. Indikasi dilakukan traksi leher adalah adanya
osteoartritis dan penyakit degenartif pada discus intervertebralis. Kontraindikasi antara lain
bila terdapat neoplasma dan lesi post-trauma. Pada penderita spondylosis cervical biasa
diberikan terapi dengan beban 10-20 lbs yang dilakukan 2-3 kali sehari selama 15 menit.9

Gambar 2.10 Traksi Cervical.9

 Cervical Collar

18
Pemakaian cervial collar lebih ditujukan untuk proses imobilisasi serta mengurangi
kompresi pada radiks saraf, walaupun belum terdapat satu jenis collaryangbenar-benar
mencegah mobilisasi leher. Salah satu jenis collar yang banyak digunakan adalah SOMI
Brace (Sternal Occipital Mandibular Immobilizer).9

Collar digunakan selama 1 minggu secara terus-menerus siang dan malam dan diubah
secara intermiten pada minggu 2 atau bila mengendarai kendaraan. Harus dingat bahwa tujuan
imbobilisasi ini bersifat sementara dan harus dihindari akibatnya yaitu diantaranya berupa
atrofi otot serta kontraktur. Jangka waktu 1-2 minggu ini biasanya cukup untuk mengatasi cari
pada nyeri servikal non spesifik. Apabila disertai dengan iritasi radiks saraf, adakalanya
diperlukan waktu 2-3 bulan. Hilangnya nyeri, hilangnya tanda spurling dan perbaikan defisit
motorik dapat dijadikan indikasi pelepasan collar.9

Gambar 2.11 Cervical Collar.9

c. Terapi Modalitas

 Thermoterapi
Thermoterapi dapat juga digunakan untuk membantu menghilangkan nyeri. Modalitas
terapi ini dapat digunakan sebelum atau pada saat traksi servikal untuk relaksasi otot.
Kompres dingin dapat diberikan sebanyak 1-4 kali sehari selama 15-30 menit, atau kompres
panas/pemanasan selama 30 menit 2-3 kali sehari jika dengan kompres dingin tidak dicapai
hasil yang memuaskan. Pilihan antara modalitas panas atau dingin sangatlah pragmatik
tergantung presepsi pasien terhadap pengurangan nyeri.9

19
Gambar 2.12 Thermoterapi.9

a) SWD (Short Wave Diathermy)

Elektroterapi yang bekerja dengan menaikan temperatur pada jaringan menggunakan


gelombang frekuensi tinggi. Frekuensinya 27,12 MHz dan panjang gelombangnya 11 meter.
SWD memiliki beberapa fungsi antara lain meningkatkan metabolisme, meningkatkan
sirkulasi darah, menguragi kontraksi otot. SWD juga akan menurunkan rasa nyeri,
meningkatkan elastisitas dan oksigenasi jaringan.10
Terdapat dua macam SWD, yang pertama adalah tipe kontinu dimana akan didapatkan
pemberian panas secara terus menerus dari alat, dan kedua yakni pulsed mode yang
memberikan jeda dalam tiap pemanasan. Cara yang kedua akan meningkatkan efek non-
thermal. Pemberian SWD akan mengembalikan potensial membran ke tingkat semula, dimana
pada inflamasi potensial membran suatu sel akan turun sehingga fungsinya terganggu. Selain
itu juga SWD akan mengembalikan keseimbangan dan transpor ion di membran sel. Terdapat
dua teori mekanisme pemberian SWD, yang pertama adalah mekanisme transpor ion secara
langsung atau aktivasi dari pompa natrium dan kalium.10
SWD diberikan pada inflamasi kronik, dan biasanya mulai diberikan terapi maksimal
satu minggu setelah mulainya proses peradangan. Indikasi diberikannya SWD adalah
inflamasi dan juga proses degenarasi, baik pada spondylosis cervical, osteoarthritis lutut,
sprain ligament pada tumit, dan juga pada sinusitis. Kontraindikasi SWD seperti tumor ganas,
inflamasi akut, penggunaan pacu jantung, perdarahan dan demam tinggi. Lama pemberian
SWD 5-30 menit tergantung derajat penyakitnya.9
b) TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation)
TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation) adalah terapi modalitas yang
tidak invasif dan tidak adiktif. TENS adalah salah satu elektroterapi yang paling sering
digunakan sebagai analgesia atau penghilang rasa sakit. Metode yang dilakukan pada TENS
adalah pemberian arus listrik ke saraf dan menghasilkan panas untuk mengurangi kekakuan,
meningkatkan mobilitas dan menghilangkan nyeri. Peralatan TENS terdiri dari stimulator
bertenagakan baterai dan elektroda yang ditempelkan pada bagian yang akan diberikan terapi.
Selain itu TENS bisa dikombinasikan dengan steroid topikal untuk pengobatan rasa nyeri
yang dinamakan dengan Iontoforesis.10

Mekanisme kerja dari TENS adalah dengan pengaturan neuromodulasi seperti


penghambatan pre sinaps pada medulla spinalis, pelepasan endorfin yang merupakan
analgesia alami dalam tubuh dan penghambatan langsung pada saraf yang terangsang

20
secara abnormal.10
Mekanisme analgesia TENS adalah stimulasi elektrik akan mengurangi nyeri dengan
penghambatan nosiseptif pada pre sinaps. Stimulasi elektrik akan mengaktifkan serabut saraf
bermyelin yang akan menahan perambatan nosisepsi pada serabut C tak bermyelin ke sel T
yang berada di substansia gelatinosa pada cornu posterior yang akan diteruskan ke cortex
cerebri dan talamus. Pada pemberian TENS juga akan terjadi peningkatan beta endorphin dan
metencephalin yang memperlihatkan efek antinosiseptif. Indikasi dilakukan TENS adalah
rasa nyeri tidak berat, dismenore dan inkontinensia. Kontraindikasinya antara lain pasien
penggunan pacu jantung, defisit neurologis dan pada pasien yang mengandung.10

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Cervical root syndrome adalah inflamasi yang terjadi pada tendon daerah long head m.
biceps. Yang dapat terjadi karena trauma secara langsung pada tendon biseps ketika lengan
melakukan abduksi dan rotasi eksternal yang berlebihan. Pasien cervical root syndrome
umumnya datang dengan mengeluhkan nyeri dan berdenyut pada bahu bahu bagian depan dan
menjalar ke lengan bawah. Untuk mendiagnosa cervical root syndrome perlu dilakukan
anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan spesial seperti
yergason test, speed test, neer test, dan hawkins test. Sedangkan penatalaksanaan dari cervical
root syndrome dapat berupa terapi konservatif dengan obat-obatan antiinflamasi non steroid,
rehabilitasi medik dengan terapi modalitas dan terapi latihan serta pembedahan.

3.2 Saran
 Bagi Penulis
Mampu mendiagnosa, serta memberikan terapi yang tepat pada kasus cervical root
syndrome.
 Bagi Akademisi
Dokter diharapkan mampu memberikan edukasi dan informasi kepada masyarakat
mengenai kasus cervical root syndrome.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Jackson, Ruth. 2010. The Classic: The cervical root syndrome. Scranton, IA USA
2. Angliadi LS, Sengkey L, Gessal J, Mogi J. Buku diktat Ilmu Kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi. 2006. Manado. Hal 50-54
3. Saladin. 2003. Anatomy and physiology: The Unity Of Form and Function. 3rd Ed. New
York: McGraw-Hill Companies
4. Sanjaya P. Cervical Root Syndrome. Bagian Penyakit Saraf RSU Unit Swadana Pare-
Kediri. 2012.
5. Tulaar AB. Nyeri Leher dan Punggung. Studi Tinjauan Pustaka. Departemen Kedoktteran
Fisik dan Rehabilitasi. Majalah Kedokteran Indonesia. 5 (5); Mei. 2008.
6. Sidharta, P. 1999: Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Cetakan keempat : PT. Dian
Rakyat, Jakarta: 4998-505.

7. Jhon MR, Yoon T, Riew KD. Cervical Radiculopathy. J Am Acad Orthop Surg. 2007 Aug;
15(8): 486-94
8. Roenn JHV, Paice JA, Preodor ME. Current diagnosis & treatment pain. 1st ed.
Washington: Mc Graw Hill; 2006.
9. Young IA, Michener LA, Cleland JA, Aguiler AJ, Synder AR. Manual therapy, exercise,
and traction for patients with cervical radiculopathy: A randomized clinical trial. Journal
of the American Physical Therapy Association. 2009 May 21; 89(7): 632-42.
10. Kenyon, J & Kenyon, K. 2006. The Fhysiotherapist’s Pocket Book, ChurchillLivingstone,
London.
11. Susilo WA. Pengaruh terapi modalitas dan terapi latihan terhadap penurunan rasa nyeri
pada pasien cervical root syndrome di RSUD. DR. Moewardi Surakarta. Skripsi. FK
Universitas Sebelas Maret. Surakarta. 2010.

23

Anda mungkin juga menyukai