Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN STUDI KASUS PROFESI FISIOTERAPI

MANAJEMEN FISIOTERAPI GANGGUAN


AKTIVITAS FUNGSIONAL PADA EKTREMITAS
INFERIOR SINISTRA BERUPA NYERI, SPASME,
DAN KELEMAHAN OTOT E.C SACROILIAC
JOINT DYSFUNCTION DAN SPONDYLOSIS
LUMBALIS SEJAK 2 BULAN YANG LALU

OLEH :

Muhammad Ismail Hafid, S.Ft R024181031


Nur Annisah Talib, S.Ft R024181003
Rismayanti, S.Ft R024181024
Vindy Eka Goutama, S.Ft R024181052
Akhmad Ridhani, S.Ft R024181008
Ibtisam Mangputri Al-Ihsan, S.Ft R024181049
Chatrin Phany Pongsapan, S.Ft R024181019
Poppy Medya Maharani, S.Ft R024181045

PROGRAM STUDI PROFESI FISIOTERAPI


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018

i
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Studi Kasus Profesi Fisioterapi di Klinik Physio Sakti dengan judul
Manajemen Fisioterapi Gangguan Aktivitas Fungsional pada Ektremitas
Inferior Sinistra Berupa Nyeri, Spasme, dan Kelemahan Otot e.c Sacroiliac
Joint Dysfunction dan Spondylosis Lumbalis Sejak 2 Bulan yang Lalu
pada tanggal 23 November 2018.

Mengetahui,

Instruktur Klinis Fisioterapi, Instruktur Klinis Fisioterapi

Dr.H.Djohan Aras, S.Ft.,Physio.,M.Kes Yahya Dwitama, S.Ft.,Physio,

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. atas
segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusun akhirnya dapat menyelesaikan
penyusunan Laporan Studi Kasus dengan judul “Manajemen Fisioterapi
Gangguan Aktivitas Fungsional pada Ektremitas Inferior Sinistra Berupa Nyeri,
Spasme, dan Kelemahan Otot e.c Sacroiliac Joint Dysfunction dan Spondylosis
Lumbalis Sejak 2 Bulan yang Lalu”.
Penyusunan laporan studi kasus ini merupakan salah satu tugas pada
pelaksanaan Mata Kuliah Terapi Latihan Fungsional pada Program Studi Profesi
Fisioterapi Fakultas Keperawatan Universitas Hasanuddin. Melalui penyusunan
laporan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman lebih tentang patofisiologi
dan penatalaksanaan fisioterapi pada kasus Sacroiliac Joint Dysfunction dan
Spondylosis Lumbalis yang ditemui penyusun pada saat melakukan praktek
lapangan yang pada akhirnya akan sangat bermanfaat pada masa yang akan
datang.
Dalam penyusunan laporan studi kasus ini, banyak ditemui tantangan dan
hambatan yang mendasar. Namun semua itu dapat terselesaikan dengan baik
berkat dukungan, bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini sudah selayaknya penyusun menyampaikan rasa terima kasih
kepada para Instruktur Klinis di Klinik Physio Sakti dan Edukator Klinis yang
telah membimbing dalam penyusunan laporan studi kasus ini.
Akhir kata, tiada gading yang tak retak. Penyusun menyadari bahwa laporan
studi kasus ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala
kerendahan hati penyusun memohon maaf yang sebesar-besarnya dan membuka
diri untuk segala saran dan kritik yang sifatnya membangun sehingga dapat
dilakukan perbaikan untuk pencapaian hasil yang lebih baik. Akhirnya, penyusun
berharap semoga laporan studi kasus dapat bermanfaat bagi kita semua.

Makassar, November 2018

Penyusun

iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Anatomi .........................................................................................
B. Fisiologi .........................................................................................
BAB II PATOFISIOLOGI..............................................................................
A. Definisi ..........................................................................................
B. Epidemiologi .................................................................................
C. Faktor Resiko dan Etiologi ............................................................
D. Klasifikasi......................................................................................
E. Patomekanisme..............................................................................
F. Manifestasi Klisis ..........................................................................
G. Diagnosis Banding ........................................................................
H. Prinsip Penanganan .......................................................................
BAB III MANAJEMEN FISIOTERAPI ........................................................
A. Proses Pengukuran dan Pemeriksaan Fisioterapi ..........................
B. Diagnosis Fisioterapi .....................................................................
C. Problematik Fisioterpi ...................................................................
D. Tujuan Fisioterapi .........................................................................
E. Program dan Intervensi Fisioterapi ...............................................
F. Evaluasi dan Modifikasi Fisioterapi ..............................................
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
LAMPIRAN .....................................................................................................

iv
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Anatomi dan Fisiologi
1. Columna Vertebralis
Columna vertebralis merupakan poros tulang rangka tubuh yang
memungkinkan untuk bergerak. Terdapat 33 columna vertebralis,
meliputi 7 columna vertebra cervical, 12 columna vertebra thoracal, 5
columna vertebra lumbal, 5 columna vertebra sacral dan 4 columna
vertebra coccygeal. Vertebra sacral dan cocygeal menyatu menjadi
sacrum-coccyx pada umur 20 sampai 25 tahun. Columna vertebrales juga
membentuk saluran untuk spinal cord. Spinal cord merupakan struktur
yang Sangat sensitif dan penting karena menghubungkan otak dan sistem
saraf perifer 1.
Canalis spinalis dibentuk di bagian anterior oleh discus
intervertebralis atau corpus vertebra, di lateral oleh pediculus, di
posterolateral oleh facet joint dan di posterior oleh lamina atau ligament
kuning. Canalis spinalis mempunyai dua bagian yang terbuka di lateral di
tiap segmen, yaitu foramina intervertebralis1.
Recessus lateralis adalah bagian lateral dari canalis spinalis. Dimulai
di pinggir processus articularis superior dari vertebra inferior, yang
merupakan bagian dari facet joint. Di bagian recessus inilah yang
merupakan bagian tersempit. Setelah melengkung secara lateral
mengelilingi pediculus, lalu berakhir di caudal di bagian terbuka yang
lebih lebar dari canalis spinalis di lateral, yaitu foramen intervertebralis.
Dinding anterior dari recessus lateralis dibatasi oleh discus
intervertebralis di bagian superior, dan corpus verterbralis di bagian
inferior1.
Dinding lateral dibentuk oleh pediculus vertebralis. Dinding dorsal
dibatasi oleh processus articularis superior dari vertebra bagian bawah,
sampai ke bagian kecil dari lamina dan juga oleh ligamen kuning
(lamina). Di bagian sempit recessus lateralis, dinding dorsalnya hanya
dibentuk oleh hanya processus lateralis, dan perubahan degeneratif di

5
daerah inilah mengakibatkan kebanyakan penekanan akar saraf pada
stenosis spinalis lumbalis1.
Akar saraf yang berhubungan dengan tiap segmen dipisahkan dari
kantong dura setinggi ruang intervertebra lalu melintasi recessus lateralis
dan keluar dari canalis spinalis satu tingkat dibawahnya melalui foramina
intervertebralis. Di tiap-tiap titik ini dapat terjadi penekanan 1.

Gambar 1. Columna Vertebralis

Gambar 2. Struktur Columna Vertebralis Lumbal

Menurut Moore dan Agur (2013) otot penggerak batang tubuh secara
langsung atau pun tidak langsung mempengaruhi vertebra. Otot-otot tersebut
adalah m. erector spinae, m. psoas, m. rectus abdominis.

6
a. M. Erector Spinae
Origo: berasal melalui tendo yang lebar dari bagian dorsal crista iliaca,
permukaan dorsal sacrum dan processus spinosus vertebrae lumbalis
kaudal, dan ligament supraspinale.
Insertion: M. iliocostalis: lumborum, thoracis, dan cervicis; serabut
melintas kranial ke angulus costae kaudal dan proc. transversus vertebrae
cervicalis.
Fungsi utama: bekerja bilateral: ekstensi columna vertebralis dan
kepala sewaktu punggung membungkuk, otot-otot ini mangatur gerakan
dengan memperpanjang serabutnya secara bertahap; bekerja unilateral:
laterofleksi columna vertebralis.
b. M. Psoas Major
Origo: Proc. Tansversus vertebrae lumbalis; sisi corpus vertebrae T12-L5
dan discus intervertebralis.
Insertio: melalui tendon yang kuat pada trochanter minor femur.
Fungsi: Kontraksi bagian kranial bersama m. illiacus mengadakan fleksi
paha; kontraksi bagian kaudal megadakan laterofleksi columna vertebralis;
berguna untuk mengatur keseimbangan batang tubuh seaktu duduk;
kontraksi bagian kaudal bersama m. illiacus mengadakan fleksi batang
tubuh.
c. M. Rectus Abdominis
Origo: Symphysis pubica dan crista pubica
Insertion: Proc. Xiphoideus dan cartilagines costales V-VII
Fungsi: fleksi batang tubuh dan menekan visera abdomen.

Tiga puluh satu pasang saraf spinal (nervus spinalis) dilepaskan dari
medulla spinalis. Beberapa anak akar keluar dari permukaan dorsal dan
permukaan ventral medulla spinalis, dan bertaut untuk membentuk akar
ventral (radix anterior) dan akar dorsal (radix posterior). Dalam radix
posterior terdapat serabut aferen atau sensoris dari kulit, jaringan subkutan
dan profunda, dan sringkali dari visera.radix anterior terdiri dari serabut
eferen atau motoris untuk otot kerangka. Pembagian nervus spinal adalah
sebagai berikut: 8 pasang nervus cervicalis, 12 pasang nervus thoracius, 5

7
pasang nervus lumbalis, 5 pasang nervus sakralis, dan satu pasang nervus
coccygeus1.

Gambar 3. Plexus Lumbosacralis (Putz dan Pabst, 2012)

2. Sacroiliac Joint (SIJ)


Sacroiliac Joint (SIJ) adalah sendi yang menghubungkan antara
os.sacrum dan os.ilium pada pelvic. SIJ adalah sendi terbesar di area spinal
atau tulang belakang tubuh, yang berukuran ±17.5cm2. Sendi ini
diklasifikasikan sebagai sendi aurikularis diarthrodial dikarenakan
mengandung kapsul sendi berserat yang diisi dengan cairan sinovial,
permukaan kartilaginosa, dan rangkaian koneksi ligamen yang rumit. SIJ
menerima persarafan dari akar saraf lumbosakral. Studi neurofisiologis
telah menunjukkan persarafaan area ini meliputi kedua unit aferen
nociceptive dan proprioceptive. Struktur sendi ini melibatkan beberapa
ligament dan otot-otot terkait. Ligamen yang berkontribusi pada sendi ini
yaitu ligamentum sakroiliaka anterior dan posterior, ligamentum
interosseus, ligamentum sacrotuberous, ligamen sacrospinosa dan ligamen
iliolumbar. Sedangkan otot-otot yang berperan pada sendi ini yaitu gluteus
maximus dan medius, biceps femoris, piriformis, dorsi latisimus melalui
fasia thoracolumbar, dan spinae erektor. Sendi ini memiliki peran penting
dalam stabilitas dan pembebanan berat tubuh 2

8
Gambar 4. Sacroiliac Joint tampak Anterior-Posterior

Gluteus berarti pantat, medius berarti tengah sehingga m. gluteus


medius berarti otot pantat bagian tengah dengan origo berada dipermukaan
eksternal bagian inferior crista iliaca os ilium antara batas anterior dan
posterior gluteal, dan aponeurosis gluteal serta insersio yang berada di
permukaan lateral trochanter mayor femur. Nervus yang menginervasi
ialah superior gluteal nerve (L5-S2). Fungsi konsentrik gluteus medius
ialah Abduksi hip joint; serat bagian anterior untuk endorotasi dan fleksi
paha pada hip joint dan memungkinkan anterior tilt pelvis pada hip joint;
serat bagian posterior untuk eksorotasi dan ekstensi hip joint dan
memungkinkan posterior tilt pelvis pada hip joint. Fungsi eksentrik gluteus
medius ialah untuk mengontrol adduksi paha; serat bagian anterior
mengontrol ekstensi dan eksorotasi
paha dan posterior tilt pelvis; serat
bagian posterior mengontrol fleksi
dan endorotasi paha dan anterior tilt
pelvis. Fungsi isometrik gluteus
medius ialah untuk menstabilkan
pelvis (khususnya ketika seseorang
berdiri dengan satu kaki)3. Gambar 5. Gluteus Medius
Sumber: Muscle manual, 2010

Os sacrum merupakan tulang


berbentuk baji (wedge-shaped) berjumlah lima tulang yang bersatu antar

9
satu segmen dengan segmen yang lainnya. Bagian promontori sacrum
(base sacrum) membentuk artikulasio bersama segemen lumbal lima (L5).
Pada bagian inferior, os sacrum membentuk artikulasio fibrokartilago
dengan os coccyx (terdiri dari 3-5 tulang yang menyatu). Tulang ini berada
diantara dua tulang panggul (hip bone/os coxae) 4.

Gambar 5. Os sacrum
(Sumber: Lippert, Clinical kinesiology and anatomy 2011)
Os ilium merupakan bagian superior dari os coxae (bagian inferior
adalah os ischium dan bagian anterior inferior adalah os pubis) 4. Bagian
superior dari os illum membentuk crista iliaca yang memanjang dari spina
iliaca anterior superior (SIAS) dan spina iliaca posterior superior (SIPS).
Posisi SIPS berada sejajar dengan segmen os sacrum kedua yang dilihat
dari bidang frontal 5.

Gambar 6. Bagian pelvis dari sisi medial


(Sumber: Lippert, Clinical kinesiology and anatomy 2011)

10
BAB 2

PATOFISIOLOGI

A. Sacroiliac Joint Dysfunction


1. Definisi
Sacroiliac joint dysfunction merupakan kondisi yang menyebabkan
nyeri pada area punggung bawah hingga paha belakang akibat gangguan
pada sacroiliac joint. Kejadian nyeri punggung bawah akibat disfungsi SIJ
memiliki prevalensi mencapai 15 and 30%. Disfungsi SIJ yang paling
umum terjadi adalah berupa blokade SIJ akibat kesalahan mekanika tubuh
yang menimbulkan nyeri unilateral yang umumnya tidak menjalar.

2. Epidemiologi
Prevalensi disfungsi SIJ pada populasi umumnya sebesar 15% -
20%. Mayoritas populasi yang mengalami SIJ pain adalah orang dewasa.
Prevalensi penderita LBP dari 1293 orang dewasa ditemukan sebanyak
22,5% yang mengalami disfungsi SIJ dan dari 54 orang yang mengalami
unilateral LBP ditemukan 18.5% yang mengalami SIJ pain/disfungsi SIJ 6.
3. Patofisiologi
Mekanisme utama dari SIJ blok adalah:
a. Terlalu sering bergerak (hipermobilitas atau instabilitas) pada SIJ
dapat meyebabkan pelvic menjadi tidak stabil sehingga menimbulkan
nyeri. Nyeri dari banyak gerak dapat dirasakan pada punggung bawah
dan/atau hip, hingga groin.
b. Terlalu jarang bergerak (hipomobilitas atau fiksasi) dapat
menyebabkan tekanan, nyeri, dan dapat menghambat mobilitas. Nyeri
biasanya dirasakan pada satu sisi punggung bawah atau bokong, dan
dapat menjalar hingga ketungkai bawah bagian belakang.
c. SIJ dysfunction dapat menyebabkan inflamasi yang dapat terjadi pada
sendi akibat dari infeksi, rheumatoid arthritis, dll 7.
4. Etiologi
Etiologi sacroiliac joint dysfunction diantaranya adalah kelemahan otot
bagian posterior (m. gluteus maximus dan medius), otot bagian anterior

11
(m. iliopsoas) dan degenerative SIJ. Faktor resiko yang dapat
menimbulkan sacroiliac dysfunction adalah abnormalitas panjang tungkai,
abnormalitas berjalan, skoliosis, post fusion lumbal, radang sendi
inflamasi, riwayat operasi tulang belakang dan kehamilan (beban
meningkat, kurva lumbal berubah, hingga hormon yang membuat ligamen
relaks) 8.

5. Tanda dan Gejala


Gejala umum yang biasa terjadi adalah
1. Nyeri punggung bawah
2. Nyeri bokong
3. Nyeri paha
4. Stiffness dan penurunan ROM
5. Kesulitan duduk lama karenanyeri
6. Tenderness pada sacroiliac joint posterior
7. Nyeri timbul pada saat sendi dalam kondisi stress secara mekanik
8. Menunduk kedepan menimbulkan nyeri
9. Tidak ditemukan deficit neurologi
10. Tidak adanya tanda dari nerve root tension
11. Pola gerakan sacroiliac yang abnormal.9

6. Patomekanisme
Mekanisme abnormalitas pada SIJ salah satunya adalah kombinasi beban
axial dan kemampuan rotasi pelvis. Otot dan ligamen yang berada
disekitar sendi dapat menjadi sumber nyeri dan inflamasi, terutama
ligamen iliolumbar dan ligamen posterior sacroiliac. Abnormalitas SIJ
terjadi saat pelvic girdle mengalami penurunan stabilitas atau stabilitas
asimetrik. Disfungsi SIJ dapat terjadi salah satunya karena movement
initiation dan muscular contraction yang abnormal saat weight bearing.
Sebelum weight bearing (WB) terjadi, kontraksi back muscle
menimbulkan ketegangan pada ligamen sacrotuberous dan fascia
thoracolumbal untuk menjaga stabilitas. Selama gerakan nutasi, ligamen

12
sacrospinous dan sacrotuberous mengalami ketegangan, karena hubungan
otot dengan ligamen dan fisiologis nutation yang menimbulkan
ketegangan pada ligamen, SIJ menimbulkan reaksi berupah meningkatkan
stabilitasnya atau kekakuan. Saat rotasi anterior tidak terjadi karena
kegagalan ligamen untuk meregang hal tersebut yang menginduksi
nosiseptor. Abnormalitas SIJ juga dapat disebabkan posisi locking dari SIJ
sebab permukaan kedua tulang dari sendi tersebut iregural sehingga rentan
mengalami displacement 8.

B. Hernia Nukleus Pulposus


1. Definisi

Hernia Nukleus Pulposus (HNP) atau herniasi diskus


intervertebralis, yang sering pula disebut sebagai Lumbar Disc Syndrome
atau Lumbosacral radiculopathies adalah penyebab tersering nyeri
punggung bawah yang bersifat akut, kronik atau berulang. Hernia Nukleus
Pulposus (HNP) adalah suatu penyakit dimana bantalan lunak di antara
ruas-ruas tulang belakang (soft gel disc atau nukleus pulposus) mengalami
tekanan di salah satu bagian posterior atau lateral sehingga nukleus
pulposus pecah dan luruh sehingga terjadi penonjolan melalui anulus
fibrosus ke dalam kanalis spinalis dan mengakibatkan penekanan radiks
saraf (Leksana, 2013) [Leksana. 2013. Hernia Nukleus Pulposus Lumbal
Ringan pada Janda lanjut usia yang tinggal dengan keponakan dengan usia
yang sama. Medula, II(2)].

Hernia nukleus pulposus adalah keadaan ketika nukleus pulposus keluar menonjol
untuk kemudian menekan ke arah spinal melalui anulus spinal yang robek.
HNP merupakan suatu nyeri yang disebapkan oleh proses patologi di
kolumna vertebralis pada diskus intervertebralis/ diskogenik (Muttaqin,
2008) [Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.].

13
Gambar 5. Hernia Nucleus Pulposus (Muttaqin, 2008)

A. Epidemiologi
Prevalensi HNP berkisar antara 1 – 2 % dari populasi. Usia
yang paling sering adalah usia 30 – 50 tahun. Pada penelitian HNP
paling sering dijumpai pada tingkat L4-L5; titik tumpuan tubuh di L4-
L5-S1 (Pinzon, 2012) [Pinzon, R. Profil Klinis Pasien Nyeri Punggung
Akibat Hernia Nukelus Pulposus. Vol 39. SMF Saraf RS Bethesda
Yogyakarta. Indonesia. 2012. Hal 749-751].
HNP merupakan salah satu penyebab dari nyeri punggung
bawah yang penting. dan merupakan salah satu masalah kesehatan
yang utama. Inside HNP di Amerika Serikat adalah sekitar 5% orang
dewasa. Kurang lebih 60-80% individu pernah mengalami nyeri
punggung dalam hidupnya. Nyeri punggung bawah merupakan 1 dari
10 penyakit terbanyak di Amerika Serikat dengan angka prevalensi
berkisar antara 7,6-37% insidens tertinggi dijumpai pada usia 45-60
tahun. Pada penderita dewasa tua, nyeri punggung bawah mengganggu
aktivitas sehari-hari pada 40% penderita dan menyebabkan gangguan
tidur pada 20% penderita akan mencari pertolongan medis, dan 25%
diataranya perlu rawat inap untuk evaluasi lebih lanjut (Pinzon, 2012)
[Pinzon, R. Profil Klinis Pasien Nyeri Punggung Akibat Hernia
Nukelus Pulposus. Vol 39. SMF Saraf RS Bethesda Yogyakarta.
Indonesia. 2012. Hal 749-751].

14
B. Etiologi

Penyebab dari Hernia Nucleus Pulposus (HNP) biasanya dengan


meningkatnya usia terjadi perubahan degeneratif yang mengakibatkan
kurang lentur dan tipisnya nucleus pulposus. Annulus fibrosus mengalami
perubahan karena digunakan terus menerus. Akibatnya, annulus fibrosus
biasanya di daerah lumbal dapat menyembul atau pecah (Moore dan Agur,
2013) [Moore, Keith L dan A. M. R. Agur. 2013. Clinically Oriented
Anatomy. Philladhelpia: Lippincott Williams & Wilkins.].
Selain itu hernia nucleus pulposus (HNP) kebanyakan juga
disebabkan karena adanya suatu trauma derajat sedang yang berulang
mengenai discus intervertebralis sehingga menimbulkan sobeknya
annulus fibrosus. Pada kebanyakan pasien gejala trauma bersifat singkat,
dan gejala ini disebabkan oleh cidera pada diskus yang tidak terlihat
selama beberapa bulan atau bahkan dalam beberapa tahun (Helmi, 2012)
[Helmi, Z, N. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta:
Salemba Medika.].

C. Klasifikasi HNP
Hernia Nukleus Pulposus terbagi dalam 4 grade berdasarkan
keadaan herniasinya, dimana ekstrusi dan sequestrasi merupakan
hernia yang sesungguhnya, yaitu.
1. Bulging adalah nukleus terlihat menonjol ke satu arah tanpa
kerusakan annulus fibrosus.
2. Protrusi/ prolaps diskus intervertebral adalah nukleus berpindah,
tetapi masih dalam lingkaran anulus fibrosus.
3. Extrusi diskus intervertebral adalah nukleus keluar dan anulus
fibrosus dan berada di bawah ligamentum, longitudinalis posterior.
4. Sequestrasi diskus intervertebral adalah nukleus telah menembus
ligamentum longitudinalis posterior.

15
Gambar 6. Grade Hernia Nukleus Pulposus
(Dikutip dari Munir B, 2015) [Munir, B. 2015. Neurologi Dasar: Neuroanatomi Dasar,
Pemeriksaan Neurologi Dasar, Diagnosis dan Terapi Penyakit Neurologi (Vol. I). Jakarta:
Sagung seto.]

D. Patomekanisme

Pada tahap pertama sobeknya anulus fibrosus itu bersifat


sirkumferensial. Oleh karna adanya gaya traumatik yang berulang,
robekan tersebut menjadi lebih besar dan timbul sobekan radikal. Apabila
hal itu terjadi, maka resiko HNP hanya menunggu waktu dan trauma
berikutnya. Manifestasi dari robeknya anulus fibrosus berlanjut pada
penonjolan pada diskus intervertebra yang menekan secara parsial sisi
lateral dari medula spinalis. Kondisi kemudian secara progresif berlanjut
pada kondisi herniasi diskus menekan medula spinalis (Shankar, 2009)
[Shankar H., M.B.B.S., Scarlett A.J. M.D., Abram E.S.M.D. 2009.
Anatomy and Pathophysiology of Intervertebral Disc Disease. Techniques
in Regional Anasthesia and Pain Management, 13(2): 67-75.].
Suatu gaya presipitasi gaya traumatik ketika hendak menegakkan
badan waktu terpeleset, mengangkat benda berat, dan sebagainya
memberikan respons sobeknya annulus fibrosus yang lebih berat. Jebolnya
(herniasi) nukleus pulposus bisa ke korpus vertebra di atas atau di
bawahnya, bisa juga menjebol langsung ke kanalis vertebralis. Penjebolan
tersebut dapat dilihat pada foto rontgen polos dan dikenal sebagai nodus
schmorl. Sobekan sirkumferensial dan radial pada annulus fibrosus diskus
intervertebralis berikut dengan terbentuknya nodus schmorl merupakan

16
kelainan yang mendasari low back pain subkronik atau kronik yang
kemudian disusul oleh nyeri sepanjang tungkai yang dikenal sebagai
iskhialgia atau siatika. Menjebolnya nukleus pulposus ke kanalis
vertebralis berarti bahwa nukleus pulposus menekan pada radiks yang
bersama sama dengan arteria radikularis berada dalam bungkusan dura.
Hal tersebut terjadi kalau tempat penjebolan di sisi lateral. Bilamana
tempat herniasinya di tengah-tengah, sudah barang tentu tidak ada radiks
yang terkena. Lagipula, oleh karna pada tingkat L2 dan terus ke bawah
sudah tidak terdapat medula spinalis lagi, maka herniasi di garis tengah
tidak akan menimbulkan kompresi pada kolumna anterior. Setelah terjadi
HNP sisa diskus intervertebralis mengalami lisis sehingga dua korpora
vertebra bertumpang tindih tanpa ganjalan (Shankar, 2009) [Shankar H.,
M.B.B.S., Scarlett A.J. M.D., Abram E.S.M.D. 2009. Anatomy and
Pathophysiology of Intervertebral Disc Disease. Techniques in Regional
Anasthesia and Pain Management, 13(2): 67-75.].
Proses penuaan mengakibatkan diskus kehilangan protein
polisakarida sehingga kandungan air pada nukleus pulposus menurun
sehingga terjadi trauma (beberapa bulan/ tahun kemudian saat proses
degenerasi terjadi) lalu nukleus pulposus terdorong keluar sehingga
menekan akar saraf sehingga menyebabkan nyeri, perubahan sensai hingga
penurunan reflex (Shankar, 2009) [Shankar H., M.B.B.S., Scarlett A.J.
M.D., Abram E.S.M.D. 2009. Anatomy and Pathophysiology of
Intervertebral Disc Disease. Techniques in Regional Anasthesia and Pain
Management, 13(2): 67-75.].

E. Tanda dan Gejala


Gejala yang sering muncul adalah :

1. Nyeri pinggang bawah yang intermitten (dalam beberapa minggu


sampai bebberapa tahun). Nyeri menjalar sesuai dengan distribusi saraf
sciatic.

17
2. Sifat nyeri khas dari posisi berbaring ke duduk, nyeri mulai dari pantat
dan terus menjalar ke bagian belakang lutut kemudian ke tungkai
bawah.
3. Nyeri bertambah hebat karena pencetus seperti gerakan-gerakan
pinggang saat batuk atau mengejan, berdiri, atau duduk untuk jangka
waktu yang lama dan nyeri berkurang klien beristirahat berbaring.
4. Penderita sering mengeluh kesemutan (parostesia) atau baal bahkan
kekuatan otot menurun sesuai dengan distribusi persaraan yang
terlibat.
5. Nyeri bertambah bila daerah L5-S1 (garis antara dua krista iliaka)
ditekan.
(Muttaqin, 2008) [Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien
dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.]

F. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis utama yang muncul adalah rasa nyeri di
punggung bawah disertai otot-otot sekitar lesi dan nyeri tekan. HNP
terbagi atas HNP sentral dan lateral. HNP sentral akan menimbulkan
paraparesis flasid, parestesia dan retensi urine. Sedangkan HNP lateral
bermanifestasi pada rasa nyeri dan nyeri tekan yang terletak pada
punggung bawah, di tengah-tengah area bokong dan betis, belakang tumit,
dan telapak kaki. Kekuatan ekstensi jari kelima kaki berkurang dan reflex
achiller negative. Pada HNP lateral L5-S1 rasa nyeri dan nyeri tekan
didapatkan di punggung bawah, bagian lateral pantat, tungkai bawah
bagian lateral, dan di dorsum pedis. Kelemahan m. gastrocnemius (plantar
fleksi pergelangan kaki), m. ekstensor halusis longus (ekstensi ibu jari
kaki). Gangguan reflex Achilles, defisit sensorik pada malleolus lateralis
dan bagian lateral pedis (Setyanegara dkk, 2014) [Setyanegara dkk. 2014.
Ilmu Bedah Saraf. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.].

C. Symphysis Pubis Disproporsi


1. Definisi

18
Disproporsi Symphisis Pubis, adalah kondisi akibat cedera berupa adanya
gaya kompresi lateral ke panggul, dan trauma ketika hiperekstensi dan
adduksi hip. Mekanisme cedera panggul karena kekuatan kompresi medial
yang umum dan diketahui dengan baik tetapi cedera panggul kompresi lateral
yang mengakibatkan tulang Symphisis pubic yang berpindah ke sisi
kontralateral jarang terjadi.

Gambar 8. Pelvic tampak anterior

Sering juga disebut sebagai symphisis pubis disfunctioin, yakni


ketidaknyamanan sering dirasakan tepat di atas tulang kemaluan di bagian
depan, di bawah perut, di sekitar sisi pinggul atau di punggung bawah 10.
2. Tanda dan Gejala
Diagnosis SPD didasarkan pada tanda dan gejala tertentu yang di alami
selama kehamilan atau sesudahnya atau pasca trauma. Memiliki satu atau
lebih dari gejala dapat menunjukkan kebutuhan untuk penilaian fisioterapi
diikuti dengan saran tentang manajemen yang tepat. Tanda dan gejala:
 kesulitan berjalan
 nyeri saat berdiri dengan satu kaki, misalnya naik tangga, berpakaian atau
masuk dan keluar dari bak mandi
 nyeri dan / atau kesulitan menggerakkan kaki Anda, misalnya masuk dan
keluar dari mobil

19
 mengklik atau menggiling di area panggul - Anda mungkin mendengar
atau merasakan ini
 gerakan pinggul yang terbatas atau menyakitkan misalnya, berputar di
tempat tidur
 kesulitan berbaring di beberapa posisi, misalnya di sisi Anda
 sakit selama aktivitas normal kehidupan sehari-hari, nyeri dan kesulitan
selama hubungan seksual11

3. Patomekanisme
Ketika femur sedang hyperextensi dan addusi atau abduksi, ini
menyebabkan kompresi lateral untuk mendorong ke panggul. Karena
ketegangan ligamen iliofemoral, kepala femoral sedang terkunci pada
acetabulum. Ligamen simfisis pubis dapat terganggu dengan kompresi lebih
lanjut dari panggul dan mengakibatkan tulang pubis terperangkap di anterior
atau posterior ke tulang pubis yang utuh yang berlawanan. Beberapa metode
telah dilaporkan tentang cara penanganan cedera ini, baik reduksi tertutup
ataupun reduksi terbuka. Salah satunya adalah dengan stretching, abduksi dan
secara eksternal memutar tulang paha untuk menggunakannya sebagai tuas
untuk mengurangi simfisis pubis, dengan kekuatan konstan simultan yang
diterapkan pada krista iliaka untuk menghindari fraktur femur12.
a. Overlapping pubic symphysis dislocation
Salah satu kondisi lain untuk disproporsi pada simfisis pubis adalah
'overlapping pubic symphysis dislocation' (OPSD) 'overlapping pubic
symphysis dislocation' (OPSD) dan istilah 'locked pubic symphysis' adalah
kondisi pada kasus-kasus di mana tulang pubis yang tertahan oleh foramen
obturator yang berlawanan. Klasifikasi ini memiliki tiga kelas:
 Grade 1: OPSD di mana tindakan reduksi tertutup dapat dicapai
dan dipertahankan
 Grade 2: OPSD di mana reduksi terbuka diperlukan
 Grade 3: Symphysis terkunci (inkarseration ke foramen
obturator)10.

20
Sistem penilaian ini mewakili perkembangan keparahan dan
ketidakstabilan. Cedera grade 1 dapat tangani secara konservatif setelah
reduksi tertutup. Cedera grade 2 dan grade 3 membutuhkan reduksi dan
fiksasi terbuka. Keputusan untuk menggunakan plate tunggal versus ganda
atau fiksator eksternal akan ditentukan oleh skenario klinis. Cedera grade
3 juga memerlukan reduksi terbuka tetapi sebagai tambahan mungkin
memerlukan osteotomy dari ramus pubis superior yang berlawanan untuk
membuka tulang kemaluan dan mengurangi bantuan11.

Gambar 9. Overlapping pubic symphisis dislocation

b. Diastasis simfisis pubis


Diastasis simfisis pubis adalah pemisahan tulang kemaluan yang
biasanya bergabung. Anomali ini biasanya terjadi setelah persalinan
memiliki insidensi yang sangat rendah. Gejala yang paling umum adalah
nyeri panggul dan ketidaknyamanan di daerah kemaluan. Para pasien
mungkin juga mengeluh sakit dengan berjalan.

21
Gambar 10: Radiografi anteroposterior pelvis, dibuat pada hari kesepuluh
pasca melahirkan, menunjukkan pengurangan spontan dari pemisahan simfisis
pubis
Diastasis symphisis pubis (DSP) adalah kondisi klinis yang
digambarkan sebagai pemisahan lengkap simfisis pubis dan umumnya
terjadi setelah trauma berat dan jatuh dari ketinggian. Insiden peripartum
dan postpartum DSP dilaporkan 1 dalam 300 sampai 1 dalam 30.000
angka kelahiran. Guzel et al melaporkan bahwa kehamilan normal
mungkin juga berhubungan dengan pemisahan ringan simfisis pubis dan
42% dari empat belas kehamilan mengalami pelebaran simfisis. pubis.
Pemisahan lebih dari sepuluh milimeter berhubungan dengan nyeri
panggul, kesulitan berjalan. Pengobatan DSP termasuk dukungan pelvis
menggunakan korset lumbosakral dan obat analgesik13.
4. Komplikasi
Komplikasi lain dari kasus ini berdasarkan tingkat keparahannya
dapat menyebabkan cedera viseral dan perdarahan retroperitoneal.
keparahan dan bahaya komplikasi visceral, terutama lesi pada kandung
kemih dan uretra. Namun, ini tampaknya langka. Komplikasi yang paling
sering adalah perdarahan retroperitoneal, cukup parah dan

22
mengkhawatirkan, dan dalam beberapa kasus menyebabkan kematian.
Pendarahan mungkin timbul akibat robeknya arteri iliolumbar, dan itu
akan terus berlanjut menuju tulang belakang anterior superior. Ketika hal
itu terjadi, dapat menyebabkan penurunan tekanan darah yang
mengkhawatirkan 14
5. Prinsip Latihan
Pemberian latihan diberikan pada pasien di optimalkan sesuai
dengan kemampuan dan perkembangan pasien. Pemberian modalitas
seperti transcutaneus electrical nerve stimulan (TENS) untuk menurunkan
tingkat nyeri yang dirasakan pasien, serta pemberian heating di anjurkan
diberikan sebagai bentuk pre-eliminary excercise. Kemampuan pasien
menjadi dasar dalam pemberian latihan. Jenis latihan yang diberikan
seperti latihan stabilisasi, bisa juga sebagai bentuk home program pada
pasien. Latihan termasuk Kegel Exercise, pelvic tilt dan bridging,
penguatan otot core menggunakan bola stabilitas. Manual therapy berupa
joint mobilisation atau symphisis pubis reposisi perlu dilakukan untuk
mengurangi disfungsi sendi di daerah lumbar, sakral dan panggul,
menggunakan kontak tuberositas ischia untuk memperbaiki misalignment
panggul superior anterior. Dalam hal ini manajemen manual therapy
tampaknya telah membantu mengurangi rasa sakit, mengurangi pemisahan
simfisis pubis, dan memfasilitasi kembali ke aktivitas normal 15.

D. Fibromyalgia
1. Definisi
Fibromyalgia merupakan sindrom dari nyeri menyebar luas yang
persistan, kekakuan, kelelahan, gangguan tidur, dan gangguan kognitif.
Fibromyalgia biasanya dikaitkan dengan daerah tenderness yang disebut
dengan trigger points atau tender points. Pada titik-titik inilah yang biasa
timbul nyeri. Namun, trigger points tidak lagi menjadi fokus diagnosis
fibromyalgia. Sebagai gantinya, diagnosis bisa ditegakkan jika penderita
merasakan nyeri di beberapa area selama 3 bulan atau lebih 16.

23
2. Patofisiologi
Fibromyalgia dikuetahui sebagai gangguan pada proses nyeri pusat
atau sindrom dari sensitivitas pusat. Clauw mendeskripsikan sindrom ini
sebagai masalah sensorik “volume control” pada pasien yang memiliki
pain threshold dan stimulus yang rendah, seperti pada suhu, suara, dan
aroma yang kuat. Clauw juga mengatakan bahwa pasien mengalami
hipersensitivitas akibat perubahan neurobiologik yang mempengaruhi
persepsi nyeri atau karena mengharap dan kewaspadaan yang tinggi terkait
dengan faktor psikologis. Walaupun patogenesis dari fibromyalgia tidak
sepenuhnya diketahui, penelitian menunjukkan biokimia, metabolik dan
imunoregulator yang abnormal sehingga fibromyalgia tidak dapat
dikatakan sebagai nyeri yang bersifat subjektif.
3. Tanda dan Gejala
Gejala yang dirasakan pada fibromyalgia adalah:
1. Nyeri meluas yang persisten selama 3 bulan atau lebih
(nyeri/tenderness pada kedua sisi tubuh, diatas dan bawah pinggul)
2. Fatigue
3. Gangguan tidur
4. Bermasalah dalam berpikir jernih dan mengingat sesuatu
5. Depresi
6. Migraine
7. Gangguan pencernaan
8. Nyeri pada pelvic
9. Gangguan temporomandibular joint 17.
4. Penyebab
Penyebab dari fibromyalgia hingga saat ini tidak diketahui. Namun,
ada beberapa gabungan faktor yang menyebabkan fibromyalgia, yaitu:

1. Infeksi: Penyakit lama dapat memicu fibromyalgia atau memperparah


gejala.
2. Genetika: Biasanya turun temurun. Jika ada anggota keluarga yang
mengidap penakit ini maka resiko untuk kena fibromyalgia tinggi

24
3. Trauma: Orang-orang yang mengalami trauma psikis atau emosi dapat
menyebabkan fibromyalgia
4. Stress: Stress Dapat Menyebabkan Efek Jangka Panjang Pada Tubuh.
Stress Dikaitkan Dengan Gangguan Hormonal Yang Dapat
Menyebabkan Fibromyalgia.
5. Penyakit: Walaupun fibromyalgia bukan merupakan kondisi arthritis,
resiko kena fibromyalgia meningkat jika mengidap lupus, rheumatoid
arthritis, osteoarthritis, atau ankylosing spondylitis. 17.
5. Penanganan
Penanganan yang dapat dilakukan pada fibromyalgia adalah:
1. Deep tissue massage: digunakan untuk menurunkan tegangan otot dan
spasme otot
2. Heat therapy: heat therapy merelaksasi otot dan melancarkan aliran
darah
3. Hydrotherapy: penanganan ini dapat menurunkan nyeri
4. Transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS): penanganan ini
dapat menurunkan nyeri terkait dengan fibromyalgia dengan mem-
block stimulus nyeri yang akan sampai pada medula spinalis. TENS
juga dapat menurunkan spasme otot dan merangsang pelepasan
endorfin.
5. Ultrasound: penanganan ini memproduksi heat yang lembut sehingga
melancarkan sirkulasi darah ke jaringan yang dalam
6. Low impact aerobic exercises: penanganan ini sangat gentle namun
efektif. Contoh dari exercise ini adalah water aerobic exercise (dalam
air)
7. Strengthening dan flexibility exercise: latihan ini dapat meningkatkan
kekuatan otot dan range of motion [Gentile, JM. 2011. Physical
therapy for Fibromyalgia, (Online.),
(https://www.practicalpainmanagement.com/patient/conditions/fibrom
yalgia/physical-therapy-fibromyalgia, diakses tanggal 19 November
2018)].

25
E. Piriformis Syndrome
1. Definisi
Piriformis syndrome adalah sebutan bagi otot piriformis yang
mengalami nyeri akibat adanya iritasi pada otot dan saraf sciatic. Otot
Piriformis terletak di bagian bawah tulang belakang, otot ini
menghubungkan ke tulang paha dan membantu dalam rotasi pinggul ke
posterior 18.

Gambar 7. Titik nyeri sciatica

2. Patofisiologi
Piriformis sindrom terjadi ketika otot piriformis spasme sehingga otot
piriformis menekan saraf sciatic. Pada saat otot piriformis memendek atau
spasme akibat trauma atau overuse maka otot tersebut dapat menekan atau
menjepit saraf sciatic yang berada diantara otot tersebut. Pada umumnya,
kondisi ini dikenal sebagai “nerve entrapment atau entrapment
neuropathi”. Kondisi khususnya dikenal sebagai piriformis syndrome yang
menunjukkan gejala-gejala sciatica yang bukan berasal dari akar saraf
spinal atau kompresi diskus spinal, tetapi melibatkan otot piriformis
diatasnya. Otot gluteus yang inaktif juga memfasilitasi perkembangan
syndrome ini, karena otot piriformis juga membantu ekstensi dan eksternal
rotasi femur 19.

26
Gambar 11. Perbandingan otot piriformis sehat dengan Piriformis syndrome
3. Epidemiologi
Prevalensi gejala sciatic dilaporkan dalam literatur bervariasi jauh
mulai dari 1,6% pada populasi umum menjadi 43% pada populasi kerja
yang dipilih . Meskipun prognosis baik pada kebanyakan pasien, sebagian
besar (hingga 30%) terus memiliki rasa sakit selama 1 tahun atau lebih.
Pada sekitar 90% kasus, nyeri panggul disebabkan oleh herniated disc
melibatkan kompresi akar saraf 15. Amerika Serikat Rasio kejadian wanita-
pria sindrom piriformis adalah 6:1. Dalam satu studi di sebuah rumah sakit
daerah, 45 dari 750 pasien dengan LBP ditemukan memiliki sindrom
piriformis. Penulis lain memperkirakan bahwa kejadian sindrom piriformis
pada pasien dengan linu panggul adalah 6% 20.
4. Jenis

Piriformis syndrome memiliki dua tipe yaitu primer piriformis


syndrome dan sekunder piriformis syndrome. Primer piriformis syndrome
memiliki penyebab anatomik seperti saraf sciatic yang split terhadap otot
piriformis atau jalur saraf sciatic yang anomali. Sekunder piriformis
syndrome terjadi sebagai akibat dari adanya penyebab yang memicu
kondisi ini seperti makrotrauma, mikrotrauma, efek massa ischemic dan
lokal ischemic 21.

27
F. Spasme Gluteus Medius
1. Definisi
Spasme adalah kontraksi involunter otot atau sekelompok otot
secara mendadak dan keras, yang disertai nyeri dan gangguan fungsi,
menghasilkan gerakan involunter dan distorsi yang dapat menyebabkan
22
nyeri dan gangguan mobilitas . Spasme otot juga merupakan penyebab
umum nyeri, dan merupakan dasar banyak sindrom nyeri klinis. Nyeri ini
mungkin sebagian disebabkan secara langsung oleh spasme otot yang
merangsang reseptor nyeri yang bersifat mekanosensitif, namun mungkin
juga nyeri ini secara tidak langsung disebabkan oleh pengaruh spasme otot
yang menekan pembuluh darah dan menyebabkan iskemia. Spasme otot
ini juga meningkatkan kecepatan metabolism dalam jaringan otot,
sehingga relatif memperberat keadaan iskemia, menyebabkan kondisi yang
ideal untuk pelepasan bahan kimiawi pemicu timbulnya nyeri 23.
Menurut Guyton dan Hall, 2011 timbul dan berakahirnya kontraksi
otot secara umum terjadi dalam urutan tahap-tahap berikut:
1. Suatu potensial aksi berjalan di sepanjang sebuah saraf motoric
sampai ke ujungnya pada serabut otot
2. Disetiap ujung saraf menyekresi zat neurotransmitter, yaitu
asetikolin dalam jumlah sedikit
3. Asetikolin bekerja pada daerah setempat pada membrane serabut
otot untuk membuka banyak kanal kation “berpintu asetikolin”
melalui protein yang terapung pada membrane
4. Terbukanya kanal berpintu asetikolin memungkinkan sejumlah
besar ion natrium untuk berdifusi ke bagian dalam membranserabut
otot. Hal ini menyebabkan depolarisasi setempat yang kemudian
menyebabkan pembukaan kana; natrium berpintu listrik (voltage
sodium channels). Peristiwa ini akan menimbulkan suatu potensial
aksi pada membrane
5. Potensial ini akan berjalan di sepanjang membrane serabut otot
dengan cara yang sama seperti potensial aksi berjalan di sepanjang
membrane serat saraf

28
6. Potensial aksi ini akan menimbulkan depolarisasi membran otot,
dan banyak aliran listrik potensial aksi mengalir melalui pusat
serabut otot. Disini, potensial aksi menyebabkan reticulum
sarkoplasma melepaskan sejumlah besar ion kalsium yang telah
tersimpan dalam retikulum ini
7. Ion kalsium menginisasi kekuatan menarik antara filament aktin dan
myosin, yang menyebabkan kedua filament tersebut bergeser satu
sama lain dan menyebabkan proses kontraksi
8. Setelah kurang dari satu detik, ion kalsium dipompa kembali
kedalama reticulum sarkoplasma oleh pompa membrane Ca++, dan
ion ini tetap tersimpan dalam reticulum sampai potensial otot yang
baru datang lagi; pengeluaran ion kalsium dari myofibril akan
menyebabkan kontraksi otot terhenti 23.
2. Patofisiologi
Sering kali m. gluteus medius merupakan sumber masalah yang
diabaikan pada penderita Low Back Pain (LBP). Biasanya otot ini terlalu
tegang atau memiliki trigger point sehingga dapat mengganggu distribusi
kekuatan di hip dan punggung bawah serta dapat mengiritasi sistem saraf
yang pada akhirnya dapat mengakibatkan nyeri 24. Adapun pola nyeri dari
gluteus medius dapat dilihat digambar dibawah ini:

Gambar 9. Pola Nyeri Gluteus Medius Gambar 10. Pola Nyeri Gluteus Medius

Sumber: http://www.muscle-joint-pain.com Sumber: http://www.muscle-joint-pain.com

29
Gambar 11. Pola Nyeri Gluteus Medius
Sumber: http://www.muscle-joint-pain.com

Ketika otot gluteus medius terlalu tegang atau menahan trigger


point, penderita mungkin merasakan nyeri ketika berjalan atau ketika tidur
miring. Ketika berjalan otot akan bekerja menstabilkan hip dan jika terlalu
tegang atau menahan triger point, hal ini ini akan menyebabkan timbuknya
rasa nyeri saat tidur di sisi yang terkena. Ketika tidur pada sisi bagian yang
sakit akan mengakibatkan penekanan pada otot sedangkan ketika tidur
pada sisi yang tidak sakit otot bagian dorsalmenjadi tertarik karena internal
rotasi darihip bagian atas. Keduanya menunjukkan stress mekanik, yang
akan menyebabkan masalah pada gluteus medius. Hal yang
dapatdilakukan pada kondisi ini adalah meletakkan bantal kecil diantara
lutut karena hal ini akan mencegah paha terlalu banyak berputar ke
dalam24.

30
BAB 3
LAPORAN KASUS
A. Data Umum Pasien
Nama : Ny. JM
Usia : 55 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : BTN Tamarunang Indah
Pekerjaan : PNS
Agama : Islam
Vital Sign

Pengukuran 2 November 2018

Tekanan 160/90 mmHg


Darah
Denyut Nadi 56 kali/menit

Pernapasan 22 kali/ menit

Suhu 36 C

B. Pemeriksaan Fisioterapi (Model CHARTS)


1. Chief of Complaint
Nyeri punggung bawah menjalar sampai ke tungkai sebelah kiri dan
tungkai sulit digerakkan.
2. History Taking
Nyeri dirasakan sejak dua bulan yang lalu, saat pasien menarik
benda seberat 50 kg saat kerja di kantor. Awalnya terasa keram, lama
kelamaan pasien merasa semakin nyeri. Saat bergerak terasa nyeri
sehingga pasien sulit untuk beraktivitas seperti tidak mampu berjalan,
duduk lama, dressing (memakai celana), toileting. Saat batuk dan bersin
terasa nyeri. Pekerjaan pasien terganggu karena pasien selalu merasakan
kelelahan dan kebanyakan beristirahat sambil menunggu absen pulang.
Pasien pernah mengunjungi tukang urut sebanyak dua kali. Riwayat

31
trauma ada pada tahun 1993 mengalami kecelakaan bermotor, sejak saat
itu mulai merasakan nyeri di pinggang, kemudian ke dokter dan
meminum obat anti nyeri, nyeri hilang namun setiap kali hamil nyeri
tersebut datang lagi. Setelah itu, pada tahun 2009 pasien mengalami
jatuh dengan posisi jatuh terduduk. Pasien sudah pernah foto X-ray pada
lumbal dengan kesan spondylosis lumbalis. Tidak ada riwayat Hipertensi,
gula darah, namun ada riwayat asam urat. Tidak ada keluhan lain yang
dirasakan.
3. Assymetry
a. Inspeksi Statis
1) Anterior
 Raut wajah menahan sakit dan sesekali meringis
 Raut wajah pasien terlihat cemas
 Asismetris pelvic (dextra lebih tinggi dari sinistra)
 Kesan berat badan kategori over weight.
2) Lateral
 Postur agak kifosis
 Knee semifleksi
 Ankle sinistra terlihat bekas luka abrasi.
3.) Posterior
 Spina Iliaca Posterior Superior (SIPS) dextra lebih tinggi
 Poplitea asimetris (dextra lebih tinggi)
b. Inspeksi dinamis
1) Pasien datang ke klinik dengan dipapah oleh anaknya dan
tungkai kiri dibantu diangkat menggunakan tangannya.
2) Berat badan ditumpukan pada kaki yang sehat (dextra)
3) Setiap kali menggerakan tubuh ekstremitas inferior sinistra,
pasien meringis kesakitan
4) Untuk naik ke bed harus dibantu 2 orang
c. Palpasi
1) Suhu : Normal
2) Kontur kulit : Normal

32
3) Oedem : (-)
4) Tenderness :(+) m.quadratus lumborum,
m.paravertebra, m.piriformis
d. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar (PFGD)
1) Aktif

Regio Gerakan Dexra Sinistra

Fleksi Terbatas, nyeri


2) P
Lumbal Ekstensi Terbatas, nyeri
Lateral
a Fleksi Terbatas, nyeri
Rotasi Terbatas, nyeri
s Tidak mampu,
Fleksi DBN
i nyeri
Tidak mampu,
Ekstensi
f DBN
nyeri
Tidak mampu,
Abduksi DBN
Hip nyeri
Tidak mampu,
Adduksi DBN
nyeri
Tidak mampu,
Endorotasi DBN
nyeri
Tidak mampu,
Eksorotasi DBN
nyeri
Tidak mampu,
Fleksi DBN
Knee nyeri
Tidak mampu,
Ekstensi DBN
nyeri
Tidak mampu,
Plantarfleksi DBN
nyeri
Tidak mampu,
Dorsifleksi DBN
Ankle nyeri
Tidak mampu,
Inversi DBN
nyeri
Tidak mampu,
Eversi DBN
nyeri

Regio Gerakan Dexra Sinistra

Fleksi Terbatas, nyeri


Lumbal Ekstensi Terbatas, nyeri
Lateral Fleksi Terbatas, nyeri
Rotasi Terbatas, nyeri
Hip Fleksi DBN Terbatas, nyeri

33
Ekstensi DBN Terbatas, nyeri
Abduksi DBN Terbatas, nyeri
Adduksi DBN Terbatas, nyeri
Endorotasi DBN Terbatas, nyeri
Eksorotasi DBN Terbatas, nyeri
Knee Fleksi DBN Terbatas, nyeri
Ekstensi DBN Terbatas, nyeri
Plantarfleksi DBN Terbatas, nyeri
Ankle Dorsifleksi DBN Terbatas, nyeri
Inversi DBN Terbatas, nyeri
Eversi DBN Terbatas, nyeri

3) Tes Isometric Melawan Tahanan (TIMT)

Regio Gerakan Dexra Sinistra

Fleksi Mampu Mampu, nyeri


Ekstensi Mampu Mampu, nyeri
Hip Abduksi Mampu Mampu, nyeri
Adduksi Mampu Mampu, nyeri
Endorotasi Mampu Mampu, nyeri
Eksorotasi Mampu Mampu, nyeri
Knee Fleksi Mampu Mampu, nyeri
Ekstensi Mampu Mampu, nyeri
Plantarfleksi Mampu Mampu, nyeri
Ankle Dorsifleksi Mampu Mampu, nyeri
Inversi Mampu Mampu, nyeri
Eversi Mampu Mampu, nyeri

4. Restrictive
a. Limitasi ROM :-
b. Limitasi ADL : walking, dressing, praying, toileting
c. Limitasi Pekerjaan : (+) pekerjaan di kantor terganggu karena
kebanyakan istirahat akibat nyeri dan lelah
d. Limitasi Rekreasi : (+) tidak bisa berdiri lama untuk memasak
5. Tissue Impairment and Physchological Prediction
a. Muskulotendinogen : spasme m.erector spine, m.quadratus
lumborum, m.piriformis, weakness m.quadriceps
b. Osteoarthrogen : osteofit lumbal
c. Neurogen : n.ischiadicus
d. Psikogen : kecemasan

34
6. Spesific test
a. NRS
1) Nyeri diam :0
2) Nyeri tekan :5
3) Nyeri gerak :7
b. Straight Leg Raise test (+) 60o
c. Patrick test (+)
d. Anti-patrick test (+)
e. Tes Kompresi (+) L4, L5, S1
f. Piriformis test (+)
g. Bridging test (+)
h. Muscle Manual Test (MMT)
1) Grup otot ekstensor knee sinistra: 4
2) Grup otot abduktor hip : 4
i. HRS-A : 22 (Kecemasan sedang)
j. Indeks Bathel : 12 (ketergantungan ringan)
k. Hasil Radiologi : spondylosis lumbal
Kesan:
C. Diagnosa Fisioterapi
“Gangguan aktivitas fungsional (walking, dressing, toileting, praying,
sitting) pada ekstremitas inferior sinstra berupa nyeri, spasme dan
kelemahan otot akibat sacroilliac joint (SIJ) dysfunction serta spondylosis
lumbalis sejak 2 bulan yang lalu”
D. Problem Fisioterapi
1. Primer : SIJ dysfunction
2. Sekunder :
a. Kecemasan
b. Nyeri
c. Disproporsi symphysis os.pubis
d. Spasme otot
e. Kelemahan otot
f. Gangguan postur

35
3. Kompleks : Gangguan ADL walking, dressing, toileting, praying,dan
sitting
E. Program Fisioterapi
1. Jangka Panjang : mengoptimalkan aktivitas fungsional
2. Jangka Pendek :
a. Mengatasi SIJ dysfunction
b. Mengatasi disproporsi symphysis os.pubis
c. Menurunkan nyeri
d. Mengatasi kecemasan
e. Menurunkan spasme otot
f. Meningkatkan kekuatan otot
g. Memperbaiki postur
F. Intervensi Fisioterapi

No Problem Modalitas Dosis


F : 1x sehari
I : pasien fokus
1. Kecemasan Komunikasi Terapeutik T : interpersonal approach
T : sepanjang terapi
F : 1x sehari
Metabolic Stress Elektro Therapy I : 30 cm
2. T : lokal
Reaction (Infrared)
T : 10 menit
F:1x sehari
I: 60 mA
3. Elektro Therapy
Nyeri T: Lokal dan animal
(Interferensi)
segmental
T: 10 menit
F : 1x sehari
I:
4. SIJ dysfunction Manual Therapy T : gapping exercise
T : 3 menit
F : 1x sehari
I : 5x/1x untuk 3x
Interspace Manual Therapy pengulangan
5.
diskus (Joint Play Movement) T : Traksi-translasi (JPM)
T : 3 menit
Manual Therapy F : 1x sehari
6. Spasme otot
(Neuro Muscular I : 30-50% pressure

36
Technique) T : Friction m.priformis,
connective tissue release
m.erector spine
T : 5 menit
F : 1x sehari
I : 3xrep, 20 hitungan
T : stretching exercise
Exercise Therapy m.piriformis, m.gluteus
medius, m.erector spine,
m.quadratus lumborum
T : 10 menit
F : 1xsehari
I : 3xrep, 8 hitungan
7. Kelemahan otot Exercise Therapy T : strengthening exercise
m.quadriceps
T : 3 menit
F : 1xsehari
Gangguan I : 3xrep, 8 hitungan
8. Exercise Therapy T : Bugnet exercise
Postur
T : 3 menit
F : 1x sehari
I : 3xrep, 8 hitungan
9. Gangguan ADL Exercise Therapy T : Bridging exercise
T : 3 menit

G. Evaluasi Fisioterapi

Evaluasi setelah tiga kali dilakukan intervensi fisioterapi

Evaluasi Sesaat
No Problem Parameter Interpretasi
Pre Post
Diam : 0 Diam: 0
1. Nyeri NRS Tekan : 5 Tekan : 2 Ada penurunan nyeri
Gerak : 7 Gerak : 2
Ada penurunan
2. Kecemasan HRS-A 22 14 tingkat kecemasan
Ada peningkatan
3. Kelemahan otot MMT 4 5 kekuatan otot
Gangguan Ada perbaikan postur
4. Inspeksi Kifosis Normal
Postur
5. Gangguan ADL Indeks Bathel 12 20 Ada peningkatan

37
kemandirian
fungsional

H. Modifikasi
Mengikuti perubahan patofisiologi dan hasil evaluasi, sehingga dosis
latihan dapat ditingkatkan jika kondisi paisen makin membaik
I. Kemitraan
Melakukan kolaborasi atau kemitraan dalam rangka memberikan layanan
prima kepada pasien, diantaranya dokter umum, dokter spesialis saraf,
dokter spesialis radiologi, apoteker dan ahli gizi.
J. Home Program
1. Bridging exercise

2. Self stretching

3. Kompres hangat
4. Mengedukasi cara mengangkat benda berat dengan benar

38
39
DAFTAR PUSTAKA

Thamburaj V. Lumbar spondylosis. 2007. In: http://www.pubmedcentral.nih.gov.


Accses : 04 Novemberr 2018.
Cohen, S. P. 2018. Sacroiliac joint pain. In Essentials of Pain Medicine (Fourth
Edition) (pp. 601-612).
Aras, D., Achmad, H. & Achmad, A., 2013. Atlas Palpasi Otot Metode
Fisioterapi. Makassar: FisioCare Publishing
Lippert, L. S. 2011. Clinical Kinesiology and Anatomy. Phyladelpia: F.A.Darvis
Company.
Dall, B.E, Eden S.V, Rahl, M.D. 2014. Surgery for The Painful, Dysfunctional
Sacroiliac Joint. Switzerland: Springer
Pope, J.E, Deer, T.R. 2017. Treatment of Chronic Pain Condition. New York:
Springer.
Yeomans, Steven G. 2017. Sacroiliac Joint Dysfunction (SI Joint Pain), (Online.),
(https://www.spine-health.com/conditions/sacroiliac-joint-
dysfunction/sacroiliac-joint-dysfunction-si-joint-pain, diakses tanggal 11
November 2018)
Ilaslan, I, Arslan, A, Koc, O.M, Dalkilic, T, Naderi, S. 2010. Sacroiliac Joint
Dysfunction. Turkiesh Neurosurgery. 20:398-401
Tourwe, Jessie. 2017. Sacroiliac Joint Syndrome, (Online.), (https://www.physio-
pedia.com/Sacroiliac_joint_syndrome#cite_note-bron6-9, diakses tanggal
11 November 2018)
Maqungo, S. Koller, I. Roche, S. Overlapping pubic symphysis dislocation: a case
report and proposal of a classification system. SA orthop.
j. vol.9 n.4 Centurion Jan. 2010
Colchester General Hospital. (2018, july). Colchester General Hospital. Dipetik
November Selasa, 20, dari http://www.colchesterhospital.nhs.uk.
Huang, W. H., Leong, J. F., Rani, R. A., & Yahya, N. H. (2018). Biomedical
Journal of Scientific & Technical Research (BJSTR). A Case of Locked
Pelvis, With No Urogenital, volume 3, issue5.
Guzel, A. I. (2012). Diastasis of the Symphysis Pubis: Analysis of Three Cases.
Gynecol Obstet Reprod Med.

Holdsworth F.W. The Classic: Dislocation and Fracture-Dislocation of the Pelvis.


Clin Orthop Relat Res. 2012 Aug; 470(8): 2085–2089.
Henry, Lucian. (2015). Chiropractic management of postpartum pubic symphysis
diastasis: A case report. J Can Chiropr Assoc. 59;1. South Carolina

40
Boomershine, Chad S. 2018. Fibromyalgia, (Online.),
(https://emedicine.medscape.com/article/329838-overview#a1, diakses
tanggal 18 November 2018).
Chermey, Kristeen dan Holland, Kimberly. 2016. Everything You Need To Know
About Fibromyalgia, (Online.)
(https://www.healthline.com/health/fibromyalgia, diakses tanggal 18
November 2018).
Rizal. 2010. Sindroma Piriformis CDK ed_178_a. indd 332. Sukoharjo.
Kelly, Redden. 2009. Piriformis Syndrome : the other great imitator, Resident
Grand Rounds.
Kumar, M. G. G., Singh, L. R., Talever, S., and Tyagi, L. R. 2011. Epidemiology,
Pathophysiology and Sympyomatic Treatment of Sciatica: A Review.
International Journal of Pharmaceutical and biological archives. Vol 2.
Loren, Fishman. 2009. Piriformis Syndrome, Article, Humana Press Inc, Totowa,
New York.
Pujianita, L., 2004. [Online] Available at: http://www.ikfrbandung.com [Accessed
13 November 2018].
Guyton & Hall. 2011. Fisiologi Kedokteran. 12th ed. Singapura: Saunders
Elseiver
Lingen, J., n.d. Paintopia. [Online] Available at: http://www.muscle-joint-
pain.com [Accessed 13 November 2018].
Aras, Djohan. 2013. Buku Ajar Mata Kuliah: Proses dan Pengukuran Fisioterapi
(Makassar: Program Studi S1 Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin) hlm 27

41
LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1 : Hamilton Depression Scale


No. Kemampuan Penilaian Nilai
1. Keadaan Perasaan Sedih 0 : Tidak ada
(sedih, putus asa, tak 1 : Perasaan ini hanya ada bila ditanya
berdaya, tak berguna) 2 : Perasaan ini ditanyakan secara verbal spontan
3 : Perasan yang nyata tanpa komunikasi verbal,
misalnya ekspresi wajah, bentuk, suara, dan 2
kecenderungan menangis
4 : Pasien menyatakan perasaan yang
sesunguhnya ini dalam komunikasi baik
verbal maupun non verbal secara spontan
2. Perasaan Bersalah 0 : Tidak ada
1 : Menyalahkan diri sendiri dan merasa sebagai
penyebab penderitaan orang lain
2 : Ada ide-ide bersalah atau renungan tentang
kesalahan masa lalu
0
3 : Sakit ini sebagai hukuman, waham bersalah,
dan berdosa
4 : Ada suara-suara kejaran atau tuduhan dan
halusinasi pengihatan tentang hal-hal yang
mengancamnya
3. Bunuh Diri 0 : Tidak ada
1 : Merasa hidup tidak ada gunanya
2 : Mengharapkan kematian atau pikiran-pikiran
0
lain ke arah itu
3 : Ada ide-ide bunuh diri atau langkah-langkah
ke arah itu
4. Gangguan Pola Tidur 0 : Tidak ada
(Initial Insomnia) 1 : Ada keluhan, kadang-kadang sukar masuk
0
tidur. Misalnya >30 menit baru masuk tidur
2 : Ada keluhan, tiap malam sukar masuk tidur
5. Gangguan Pola Tidur 0 : Tidak ada
(Middle Insomnia) 1 : Pasien merasa gelisah dan terganggu
sepanjang malam 0
2 : Terganggu sepanjang malam (bangun dari
tempat tidur kecuali buang air kecil)
6. Gangguan Pola Tidur 0 : Tidak ada
(Late Insomnia) 1 : Bangun saat dini hari tetapi dapat tidur lagi
0
2 : Bangun saat dini hari tetapi tidak dapat tidur
lagi
7. Kerja dan Kegiatan- 0 : Tidak ada
kegiatannya 1 : Berfikir tidak mampu, keletihan/ kelemahan
yang berkaitan dengan kegiatan kerja/ hobi
2 : Hilangnya minat terhadap pekerjaan/ hobi 2
3 : Berkurangnya waktu untuk aktivitas sehari-
hari atau produktivitas menurun
4 : Tidak bekerja karena sakitnya
8. Kelambanan 0 : Normal 0

42
(lambat dalam berfikir, 1 : Sedikit lamban dalam wawancara
berbicara, gagal 2 : Jelas lamban dalam wawancara
berkonsentrasi, dan 3 : Sukar diwawancarai; stupor (diam sama
sekali)
aktivitas motorik
menurun)

9. Kegelisahan 0 : Tidak ada


1 : Kegelisahan ringan
2 : Memainkan tangan jari-jari, rambut, dan lain-
3 : lain
1
4 : Bergerak terus, tidak dapat duduk dengan
tenang
Meremas-remas tangan, menggigit kuku,
menarik-narik rambut, menggigt bibir
10. Kecemasan Sakit/nyeri pada otot, kaku, kedutan otot; gigi
(Ansietas somatik) gemeretak; suara tidak stabil; tinnitus (telinga
berdenging); penglhatan kabur; muka merah
atau pucat; perasaan ditusuk-tusuk.
0 : Tidak ada 0
1 : Ringan
2 : Sedang
3 : Berat
4 : Ketidakmampuan
11. Kecemasan 0 : Tidak ada
(Ansietas psikis) 1 : Ketegangan subyektif dan mudah tersinggung
2 : Mengkhawatirkan hal-hal kecil
2
3 : Sikap kekhawatiran yang tercermin di wajah
atau pembicaraaannya
4 : Ketakutan yang diutarakan tanpa ditanya
12. Gejala Somatik 0 : Tidak ada
(Pencernaan) 1 : Nafsu makan berkurang tetapi dapat makan
tanpa dorongan teman, merasa penutnya
2 : penuh 1
Sukar makan tanpa bantuan teman,
membutuhkan pencahar untuk buang air besar
atau obat-obatan untuk saluran pencernaan
13. Gejala Somatik 0 : Tidak ada
(Umum) 1 : Anggota gerak, punggung, atau kepala terasa
berat 1
2 : Sakit punggung, kepala dan otot-otot,
hilangnya kekuatan dan kemampuan
14. Kotamil Sering buang air kecil terutama malam hari di
(Genital) kala tidur, tidak haid, darah haid sedikit
sekali, tidak ada gairah seksual, ereksi hilang,
0 : impotensi 0
1 : Tidak ada
2 : Ringan
Berat
15. Hipokondriasis 0 : Tidak ada
(Keluhan somatic fisik 1 : Dihayati sendiri 1
yang berpindah-pindah) 2 : Preokupasi (keterpakuan) mengenai kesehtan

43
sendiri
3 : Sering mengeluh membutuhkan pertolongan
orang lain
4 : Delusi hipokondriasi
16. Kehilangan Berat Badan 0 : Tidak ada
1 : Beratbadan berkurang berhubungana dengan
penyakitnya sekarang 0
2 : Jelas penurunan berat badan
3 : Tak terjelaskan lagi penurunan berat badan
17. Insight 0 : Mengetahui dirinya sakit dan cemas
(Pemahaman diri) 1 : Mengetahui sakit tapi berhubungan dengan
penyebab iklim, makanan, kerja berlebihan, 0
virus, perlu istirahat, dll
2 : Menyangkan bahwa ia sakit
18. Variasi Harian Adakah perubahan keadaaan yang memburuk
pada waktu malam atau pagi
0 : Tidak ada 0
1 : Buruk saat pagi
2 : Buruk saat malam
19. Depersonalisasi 0 : Tidak ada
(Perasaan Diri 1 : Ringan
Berubah) 2 : Sedang
1
Dan Derelisiasi 3 : Berat
(Perasaan tidak nyata – 4 : Ketidakmampuan
tidak realistis)
20. Gejala Paranoid 0 :
Tidak ada
1 :
Kecurigaan
2 :
Pikiran dirinya menjadi pusat perhatian
0
3 :
peristiwa kejadian diluar tertuju pada dirinya
(ideas refence)
Waham (delusi) dikejar/ diburu
21. Gejala Obsesi dan 0 : Tidak ada
Kompulsi 1 : Ringan 0
2 : Berat
TOTAL NILAI 11

Interpretasi :
0 - 7 = Normal
8 - 13 = Depresi ringan Total Nilai : 11
14 - 18 = Depresi sedang Interpretasi : Depresi Ringan
19 - 22 = Depresi berat
> 23 = Depresi sangat berat

44
Lampiran 2 : Skala Penilaian Visual Analoque Sqale

Kriteria penilaian (Rumus Bourjone):


0 : Tidak Nyeri
1-3 : Nyeri Ringan
4-6 : Nyeri Sedang
7-9 : Nyeri Berat
10 : Nyeri Sangat Berat

Lampiran 3 : Skala Manual Muscle Test (Nilai Otot)


Nilai/
Kategori Interpretasi
Skor
5 Normal Full ROM, menahan tahanan maksimum
4 Baik Full ROM, menahan tahanan sedang
Full ROM, melawan gravitasi dan mampu
3+ Cukup +
melawan tahanan minimum
3 Cukup Full ROM melawan gravitasi
Full ROM tanpa pengaruh gravitasi, lebih dari
3- Cukup -
setengah ROM melawan gravitasi
Full ROM tanpa pengaruh gravitasi, kurang dari
2+ Lemah +
setengan ROM melawan gravitasi
2 Lemah Full ROM tanpa pengaruh gravitasi
2- Lemah - Parsial ROM tanpa pengaruh gravitasi
Sedikit kontraksi (Inspeksi atau Palpasi), tanpa
1 Sangat Lemah
ada gerakan sendi
Tidak ada kekuatan
0 Tidak ada kontraksi sama sekali
sama sekali

45

Anda mungkin juga menyukai