PERONEAL PALSY
OLEH :
OLEH :
IRENE SABILONIA BITTICACA
C 111 08 211
Residen Pembimbing
dr. Widyawan Syahputra
Supervisor
Dr. dr. Nadra Maricar Sp.S
Daftar isi....................................................................................................... ii
BAB I
Pendahuluan ................................................................................................. 1
BAB II
Pembahasan ................................................................................................. 2
A. Definisi .............................................................................................. 12
B. Epidemiologi ..................................................................................... 12
C. Etiologi ............................................................................................. 12
E. Patofisiologi ....................................................................................... 14
F. Diagnosis ........................................................................................... 15
G. Penatalaksanaan ............................................................................... 16
PENDAHULUAN
Peroneal palsy ditandai dengan penurunan fungsi sensorik dan motorik pada tungkai bawah
dan kaki akibat lesi pada nervus peroneal. Nama lain dari penyakit ini adalah peroneal
neuropati atau peroneal nerve injury.1
Peroneal palsy dapat terjadi sekunder terhadap trauma langsung, kompresi, cedera
peregangan, iskemia, infeksi, atau penyakit inflamasi. Peroneal nerve palsy paling sering
diakibatkan oleh duduk bersilang kaki, beberapa pekerjaan yang memerlukan berjongkok
atau bersujud, seperti bertani, penambang.
Komplikasi dari penyakit ini yaitu berkurangnya kemapuan berjalan dan sensasi serta
kelemahan atau paralisis pada tungkai bawah dan kaki secara permanen.3
BAB II
PEMBAHASAN
Anatomi5
SIKLUS BERJALAN
Satu siklus berjalan/gait dimulai dari tumit salah satu kaki mengenai lantai (heel
strike) hingga heel strike berikutnya pada kaki yang sama, disebut 100% total siklus
berjalan. Titik-titik tertentu dari siklus ini dapat diamati.
0% : heel strike pada permulaan fase berdiri (stance phase)
15% : kaki bagian depan menyentuh lantai, disebut juga foot flat
30% : tumit terangkat dari lantai (heel off)
45% : lutut dan panggul menekuk untuk mempercepat kaki kedepan dalam
antisipasi fase mengayun (swing phase) disebut knee band
60% : jari-jari terangkat dari lantai, akhir dari fase berdiri untuk mengawali
fase mengayun, disebut toe off. Pada pertengahan ayunan diperlukan
dorsofleksi kaki untuk mencegah jari-jari menyentuh lantai.
100% : tumit kaki yang sama kembali menyentuh lantai.
Selama total siklus berjalan, fase berdiri meliputi 60% total siklus danfase mengayun
40%.
A. Definisi
Keadaan yang ditandai dengan penurunan fungsi sensorik dan motorik pada tungkai
bawah dan kaki akibat lesi pada nervus peroneal. Nama lain dari penyakit ini adalah
peroneal neuropati atau peroneal nerve injury.1
B. Epidemiologi
Saat ini tidak ada perbedaan ras, maupun jenis kelamin yang lebih cenderung
mengalami peroneal palsy ini namun kasus ini lebih jarang dialami oleh anak-anak.
C. Etiologi
Peroneal nerve palsy paling sering diakibatkan oleh duduk dengan kaki bersilang yang
menyebabkan saraf peroneal terjepit antara caput fibula dan condylus femur externa
serta patella pada tungkai yang berlawanan. Kondisi ini lebih sering terjadi pada
mereka dengan penurunan berat badan yang drastis atau pada masa konvalesen dari
suatu penyakit atau tindakan operasi. Hilangnya lemak (fat) yang sangat akan
mengurangi proteksi terhadap saraf tersebut, sedangkan penurunan berat badan
memungkinkan pasien merasa enak (comfortable) dengan duduk bersilang kaki.
Kebiasaan duduk bersilang kaki dapat menimbulkan dimple sign yang terdiri dari
daerah pressure atropi berbentuk oval yang mengenai jaringan sampai ke saraf
peroneal di caput fibula.
D. Manifestasi Klinis2
Pasien dengan peroneal palsy sering mengalami drop foot (tidak mampu melakukan
gerakan dorsofleksi). Kram pada malam hari dapat terjadi di anterior tungkai bawah
(jika kompresi yang kronis). Jika kompresi akut, gejala cenderung lebih maksimal di
awal. Nyeri bisa terjadi di lokasi kompresi. Gangguan sensorik (misalnya, kesemutan,
mati rasa) di lateral tungkai bawah dan kaki. Untuk gejala klinis pastinya dapat
dibedakan menurut lesinya antara lain:
E. Patofisiologi4
N.Peroneus tersusun oleh serabut-serabut fasikel dan dipisahkan oleh jaringan ikat,
ruang interfasikular dan jaringan ikat yang elastis, keadaan ini memberikan bantalan
sebagai proteksi terhadap tekanan. Serabut-serabut saraf yang terletak superfisial
agaknya melindungi serabut-serabut saraf yang letaknya lebih dalam.
Di lain pihak jika tenaga mekanik externa terjadi secara tangensial atau jika
ada cedera terbatas yang disebabkan oleh pergerakan saraf tubuh terhadap permukaan
tulang yang keras, beberapa fasikel dapat terkena, sedangkan lainnya selamat. Saraf-
saraf yang mempersarafi otot lebih rentan dari pada saraf kulit terhadap efek
kompresi. Perbedaan ini mungkin karena adanya perbedaan sifat biokimiawi dan
komposisi serabut yang terdapat di antara otot dan saraf kulit. Kepentingan komposisi
serabut saraf dikatakan bahwa serabut-serabut tebal yang bermielin kurang tahan
terhadap tekanan daripada serabut yang tipis dan serabut bermielin lebih mudah rusak
dari pada serabut saraf yang tidak bermielin dan 75% serabut saraf kulit tidak
bermielin. Perbedaan dalam komposisi dan kerentanan terhadap tekanan dapat
menpengaruhi efek tekanan secara keseluruhan pada saraf otot dan saraf kulit
Sekali saraf tepi itu rusak oleh karena penyakit, maka saraf tersebut menjadi lebih
sensitif terhadap efek tekanan. Jadi pada pasien yang menderita malnutrisi,
alkoholisme, diabetes, gagal ginjal atau Guillain-Barre Syndrome sering terjadi
komplikasi pressure neuropathy. Kelainan tersebut biasanya tampak pada saraf yang
lazim berpeluang terkena tekanan. Penyebab meningkatnya kerentanan tetap tidak
diketahui. Disamping itu faktor genetik juga berperan sebagai predisposisi timbulnya
pressure neuropati.
F. Diagnosis
Diagnosa peroneus palsy ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan dengan foto polos pada lutut dan pergelangan kaki harus
diperoleh untuk mengevaluasi adanya fraktur, lesi massa, atau arthritis jika ada
riwayat yang menunjukkan salah satu etiologi tersebut. Selain itu, MRI lumbal dapat
memberikan bukti radikulopati L5 jika radiografi negatif. MRI pada lutut dan
pergelangan kaki dapat lebih menjelaskan lesi tulang atau menunjukkan ganglia
intraneural.
Pada pemeriksaan elektromiografi terlihat adanya perubahan amplitudo yang
menunjukkan blok konduksi dan kegagalan kkonduksi saraf, kecepatan hantaran
menurun, latensi distal meningkat dan memperlihatkan tanda-tanda denervasi.
Differensial Diagnosis:
Radikulopati L5
Post operasi pinggul
High aciatic mononeuropathy yang mengenai serabut peroneus kommunis
G. Penatalaksanaan6