Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN KASUS

Gangguan Gerak Fungsional ec Paraplegia due


to Tumor Ekstradural Th1-Th2

Disusun Oleh :
1. Mirna Alif Pratiwi Amir (PO714241161051)
2. Riri Nanda Sanovtika (PO714241161068)
3. Yuni Abty Fajarsari (PO714241161078)
4. Katrin Yuliana Kapahang (PO714241161020)
5. Trisya Septerina Lasora (PO714241161039)
6. Musfira Saleh (PO714241161028)

POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR

1
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus Pre klinik di Ruang Perawatan Bedah Orthopedi mulai tanggal 04
sampai dengan 08 Maret 2019 dengan judul kasus “Gangguan Gerak Fungsional ec
Paraplegia due to tumor ekstradural Th1-Th2” telah disetujui oleh Pembimbing
Lahan (Clinical Educator) dan Preceptor (Dosen).

Makassar, Maret 2019

Clinical Educator,

_______________________
NIP.

2
KATA PENGANTAR
AssalamualaikumWarahmatullahiWabarakatuh
Puji syukur senantiasa penyusun panjatkan kepada Allah Subhanahu wata’ala karena
atas Rahmat dan Hidayah-Nya yang diberikan selama ini sehingga penyusun dapat
menyelesaikan Laporan kasus “Gangguan Gerak Fungsional ec Paraplegia due to
tumor ekstradural Th1-Th2”. Shalawat dan salam kami haturkan kepada Nabiullah
Muhammad Shalallahu ‘alaihiwasallam yang telah memberikan petunjuk yang luar
biasa atas segala bentuk tingkah selama menyelesaikan tugas ini.
Kami menyadari bahwa tugas ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, oleh
karenanya kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat
membangun sehingga dapat menjadi tolak ukur dalam penyusunan tugas
selanjutnya, dengan demikian tujuan penyusunan tugas ini pun yakni bermanfaat
untuk segala pihak dapat terealisasikan. Semoga Allah senantiasa meridhai segala
bentuk usaha kita. Aamiin.

Makassar, Maret 2019

3
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................. 2
KATA PENGANTAR ............................................................................... 3
DAFTAR ISI ............................................................................................. 4
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 6
A. Anatomi Fisiologi/Biomekanik ..................................................... 2
B. Patologi .......................................................................................... 8
1. Definisi .......................................................................................... 8
2. Etiologi .......................................................................................... 18
3. Proses patologi gangguan gerak dan fungsi .................................. 19
4. Gambaran Klinis ............................................................................ 21
C. Intervensi Fisioterapi ..................................................................... 21
BAB III PROSES FISIOTERAPI ........................................................... 23
A. Identitas Umum Pasien .................................................................. 23
B. Anamnesis Khusus (History Taking) ............................................ 23
C. Inspeksi/Observasi ......................................................................... 24
D. Pemeriksaan Vital sign…………………………………………… 24
E. Quick test / orientasi test……………………………………..…… 24
F. Pemeriksaan Spesifik dan Pengukuran Fisioterapi………………. 26
G. Algorhitma Asesmen Fisioterapi ................................................... 32
H. Diagnosa Fisioterapi ...................................................................... 33
I. Problematik Fisioterapi dan Bagan ICF ........................................ 33
J. Tujuan Intervensi Fisioterapi ......................................................... 33
K. Program Intervensi Fisioterapi ...................................................... 34
L. Evaluasi Fisioterapi ....................................................................... 36
BAB IV PENUTUP ................................................................................. 37
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 39

4
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam rangka meningkatkan kualitas hidup manusia dapat ditempuh dengan


berbagai macam cara, salah satu diantaranya adalah dengan meningkatkan standar
kesehatan masyarakat. Banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan mulai dari
lingkungan, gizi, sosial budaya serta ekonomi yang secara langsung berhubungan
dengan aktivitas setiap individu
Bila menyinggung masalah aktivitas, manusia tidak akan terlepas dari aktivitas
dalam hal mengurus diri sendiri, bekerja dan rekreasi/santai. Dimana dalam
melakukan semua aktivitas tersebut diperlukan fungsi motorik, sensorik,
ingatan/pengetahuan, dan psikologi serta fungsi sosial.
Pada penderita/orang sakit yang mengalami gangguan fungsi dari salah satu
fungsi tersebut akan mendapatkan hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari,
bahkan jika sedemikian parah, maka penderita akan sepenuhnya hidup dengan segala
ketergantungannya dengan orang lain. Keadaan ini dapat dicontohkan seperti halnya
pada penderita paraplegi.
Paraplegi sering dikenal dengan istilah kelumpuhan pada kedua tungkai.
Kelumpuhan kedua tungkai terjadi akibat terjadinya gangguan pada saraf dan atau
tulang belakang bagian punggung atau pinggang.
Akibat kelumpuhan kedua tungkai tersebut yang dimulai dari bagian perut
sampai ke tungkai, maka seseorang sulit berjalan atau bahkan tidak dapat berjalan
sebagaimana biasanya saat dalam keadaan normal. Dalam hal ini jika tidak ditangani
secara dini dan baik, maka penderita paraplegi bisa mengalami gangguan gerak
bahkan kecacatan secara fisik yang tentu saja sangat mengganggu dan membatasi
dirinya dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Selain tidak bisa berjalan atau lumpuh,
penderita juga dapat mengalami pemendekan dan pengecilan otot, gangguan
perkencingan, gangguan pernapasan, sendi bisa menjadi kaku bahkan bisa timbul
luka didaerah tertentu yang dikenal dekubitus.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Fisiologi/Biomekanik
 Susunan Saraf Pusat (SSP)
1. Otak
a. Pra Enchephalon
1. Telencephalon : Hemisperium cerebri, Telencephalon medium
2. Diencephalon : Thalamus, Metathalamus, Hypothalamus,
Subthalamus dan Epithalamus
b. Mesencephalon
1. Tectum Mesencephalon
2. Tecmentum Mesencephalon
3. Pedunculus Cerebri
4. Rhombencephalon
5. Metencephalon (Pons dan Cerebellum)
6. Myelencephalon (Medula Oblongata)
2. Medulla Spinalis (MS)

a. MS Cervicalis C1-C8

b. MS Thoracalis Th1-Th12

c. MS Lumbalis L1-L5

d. MS Sacralis S1-S5

e. MS Coccygeus Cc0-Cc1,2

 Susunan Saraf Perifer (Tepi)

a. Nervi Cranialis, 12 pasang

b. Nervus Spinalis (N. Segmentalis), 31 pasang terdiri atas 2 buah radix yaitu

6
1) Radix Dorsalis (Radix Sensoris)

2) Radix Ventralis (Radix Motorik)

Akar saraf keluar dari segment columna vertebralis sehingga jumlahnya 31


pasang, identik dengan segment Medulla Spinalis. Selain itu, pembagian N.
Spinalis secara kelompok membentuk Plexus sbb :
1) Plexus Cervialis C0,1-C4

2) Plexus Brachialis C4,5-Th1

3) Plexus Lumbalis

4) Plexus Sacralis

c. Susunan Saraf Visceral

1) S.S Visceral Afferent

2) S.S Visceral Efferent

Secara fungsional susunan saraf dibagi atas 2 komponen :


1) Susunan Saraf Somatik

2) Susunan Saraf Autonom terdiri atas :

- Susunan Saraf Simpatis

- Susunan Saraf Parasimpati

3. Anatomi Thoracal

7
 Anatomi Fisiologi Terapan Paraplegi

Cabang-cabang plexus lombosacralis yang merupakan perpanjangan medulla


spinalis dan mengurus persarafan dari tungkai. Diregio lumbosacralis, radix saraf
berjalan turun hampir vertikal untuk keluar canalis vertebralis yang meliputi :

- Arthrogen
- Myogenik dan neurologic
- Sirkulasi darah medulla spinalis
- Motorik
B. Patologi

1. Definisi
Tumor Intraspinal merupakan tumor yang terjadi di dalam sumsum
tulang belakang. Tumor Intraspinal terbagi atas tiga salah satunya Tumor
Ekstradural yang merupakan keganasan paling sering terjadi. Tumor
Ekstradural berasal dari columna vertebralis atau dari dalam ruangan
eksdural. Neuroplasma eksradural dalam ruangan eksradural biasanya
karsinoma dan limfoma metastase. Umumnya terjadi pada orang dewasa.
Tanda dan gejala seperti nyeri hebat utamanya pada waktu istrahat atau
malam hari.
Paraplegi adalah bentuk kelumpuhan kedua tungkai yang bersifat
partial atau komplit, di sertai atau tidak disertai adanya fraktur tulang

8
belakang yang menyebabkan gangguan fungsi motorik ataupun sensorik
dibawah level cidera yang di sebabkan oleh karena trauma dari hasil
kerusakan spinal cord Paraplegi sering dikenal dengan istilah kelumpuhan
pada kedua tungkai.Kelumpuhan kedua tungkai terjadi akibat terjadinya
gangguan pada saraf dan atau tulang belakang bagian punggung atau
pinggang.
Akibat kelumpuhan kedua tungkai tersebut yang di mulai dari bagian
perut sampai ke tungkai, maka seseorang sulit berjalan atau bahkan tidak
dapat berjalan sebagaimana biasanya saat dalam keadaan normal. Dalam
hal ini jika tidak di tangani secara dini dan baik, maka penderita paraplegi
bisa mengalami gangguan gerak bahkan kecacatan secara fisik yang tentu
saja sangat mengganggu dan membatasi dirinya dalam melakukan aktivitas
sehari-hari .
Selain tidak bisa berjalan atau lumpuh, penderita juga dapat
mengalami pemendekan dan pengecilan otot gangguan pernafasan, sendi
bisa menjadi kaku bahkan bisa timbul luka di daerah tertentu yang di kenal
dengan “Dekubitus” .

 Anatomi dan Biomekanik Thoracal dan Lumbal


 Anatomi Thoracal Spine
 Thoracal spine adalah unik dibandingkan dengan regio cervical dan
lumbal karena ukuran dan luasnya regio serta bersendi dengan sangkar
thorax.
 Ciri khas utama dari vert.thoracal adalah :
o Facet articular pada corpus vertebra yg bersendi dengan costa
o Processus spinosus yang panjang dan mengarah kebawah
o Facet articular pada processus transversus
o Facet articular pada processus artikular superior dan inferior

9
o Ujung processus spinosus sejajar dengan corpus vertebra segmen
bawahnya
 Corpus vertebra secara progresif lebih lebar dari segmen atas ke
segmen bawah
Thoracal Spine dengan Sangkar Thorax

Struktur Thoracal Spine

• Costa memiliki ukuran yg panjang dan tulangnya tipis, mudah mengalami


fraktur jika terjadi trauma pada regio thoracal.
• Costa berhubungan dengan thoracal spine kearah anterior dan posterior.
• Kearah posterior, costa bersendi dengan corpus vertebra yg dikenal dengan
costovertebral joint dan bersendi dengan processus transversus yg dikenal
dengan costotransversal joint.

10
• Kearah anterior costa bersendi dengan sternum yg dikenal sebagai
costosternal joint.
• Thoracal spine memiliki diskus intervertebralis diantara corpus vertebra 
berperan mengontrol gerakan.
• Diskus thoracal memiliki nukleus pulposus yang kecil.

Costovertebral-costotransversal joint

Costosternal/Sternocostal Joint

• Terdapat variasi facet joint disepanjang thoracal spine  pada upper thoracal
yaitu C7-Th1 bentuk/arah facet menyesuaikan bentuk facet C7, juga pada

11
lower thoracal yaitu Th12-L1 bentuk/arah facet menyesuaikan bentuk/arah
facet L1.
• Secara umum permukaan facet superior menghadap kearah anterior, sehingga
arah facet joint lebih kearah bidang frontal.
• Struktur ligamen yang memperkuat thoracal spine :
– Bagian anterior : ligamen longitudinal anterior, ligamen sternocostal,
ligamen costotransversal (serabut superior, serabut middle, serabut
lateral)
– Bagian posterior : ligamen longitudinal posterior, ligamen flavum,
ligamen interspinosus, dan ligamen supraspinosus
• Otot-otot pada thoracal spine adalah paraspinal muscle, yang umumnya
merupakan sumber nyeri  berperan besar pada gerakan trunk.
• Sistem saraf yang penting pada thoracal spine adalah sistem saraf simpatik.
• Sistem saraf simpatik berperan penting dalam autoregulasi nyeri dan persepsi
nyeri.
• Terdapat 12 ganglia simpatik didalam regio thoracal, dimana serabut sarafnya
muncul dari regio dorso-lateral AHC spinal cord serta berjalan dengan akar
saraf anterior dari seluruh thoracal dan 2 atau 3 saraf lumbal spine atas.
• Sistem saraf simpatik juga berfungsi untuk dilatasi bronchus dan pupil serta
organ-organ spesifik lainnya.
• Evidence based menunjukkan bahwa stimulasi pada cervical dan thoracal
spine dapat menurunkan respon nyeri pada upper extremitas.

 Biomekanik Thoracal Spine


• Menurut White and Panjabi, fleksi – ekstensi thoracal spine lebih besar terjadi
pada lower thoracal  upper thoracal : 3 – 5o, mid-thoracal : 2 – 7o pada Th5-
Th6, lower thoracal : 6 – 20o pada Th12-L1.

12
• Lateral fleksi pada thoracal spine juga lebih besar terjadi pada lower thoracal
 upper thoracal : 5o, mid-thoracal : 3 – 10o pada Th7-Th11, lower thoracal :
5 – 10o pada Th12-L1.
• Rotasi thoracal spine lebih besar terjadi pada upper thoracal  upper thoracal
: 14o pada Th1-Th4, lower thoracal : 2 – 3o pada Th12-L1.
• Gerakan kopel pada thoracal bervariasi  pada upper thora-cal mengikuti
gerak kopel pada lower cervical (lateral fleksi – rotasi secara ipsilateral), pada
lower thoracal mengikuti kopel pada lumbal.

Fleksi-Ekstensi Thoracal

Lateral Fleksi Thoracal Rotasi Thoracal

13
• Gerakan costa merupakan kombinasi gerak kompleks yaitu :
– Pump-handle motions : gerakan costa I keatas dan kedepan sebagai
satu unit (manibrium sterni bergerak keatas dan kedepan), gerakan 
sama halnya dengan fleksi – ekstensi
– Bucket-handle motions : costa II – VII mengembang ke lateral
(vertebro-sternal)  sama halnya dengan abduksi-adduksi.
– Caliper-like motion : costa VIII – X (false ribs) bergerak elevasi 
analog dengan internal – eksternal rotasi.
• Namun demikian, seluruh costa bergerak dengan kombinasi yang kompleks
dari ketiga gerakan diatas.
• Upper costa secara utama terjadi kombinasi pump-handle dan bucket-handle.
• Middle costa secara utama bergerak bucket-handle.
• Lower costa lebih banyak bergerak caliper-like.

 Anatomi Lumbal Spine


 Lumbal spine terdiri dari 5 vertebra lumbal, segmen Th12-L1 dan segmen L5-
S1.
 Vertebra lumbal merupakan struktur paling bawah sebelum sacrum.
 Vertebra lumbal memiliki corpus vertebra yang lebih besar dan lebih tebal
dibandingkan regio lain.
 Vertebra lumbal tidak memiliki foramen transversum dan facies artikularis
costalis.
 Lumbal spine memiliki diskus intervetebralis diantara corpus vertebra dan
facet joint antara processus articularis superior-inferior

14
 Vertebra lumbal memiliki :
 Proc. Transversus yang datar & seperti sayap pada 4 segmen vertebra
lumbal (L1-L4), sedangkan pada L5 proc. Transversus tebal dan bulat
puntung
 Proc. Artikularis superior et inferior yang permukaannya lebih kearah
bidang sagital.
 Proc. Spinosus yang pendek dan tebal.
 Regio lumbal terdiri atas vertebra Th12, vertebra L1-L5,dan vertebra L5-S1.
 Pada segmen Th12-L1 membentuk sendi facet dan intervertebral
thoracolumbal joint.
 Pada segmen L5-S1 membentuk sendi facet dan interver-tebral lumbosacral
joint.

Segmen Lumbal

 Ligamen yang memperkuat vertebra lumbal adalah :


 Bagian anterior : ligamen longitudinal anterior
 Bagian posterior : ligamen longitudinal posterior, ligamen flavum,
ligamen interspinosus, ligamen supraspinosus, ligamen
intertransversalis, ligamen iliolumbar
 Otot-otot stabilitas lumbal adalah multifidus (bagian dari otot paraspinal
lumbal) yang berperan mempertahankan lordosis lumbal, otot transversus
abdominis berperan sbg stabilisasi isometrik-dinamik selama gerak rotasi.
 Kontributor lainnya adalah otot erector spine, obliques external dan internal,
rectus abdominis serta fascia thoracolumbal.

15
 Segmental regio lumbal terdiri dari thoracolumbal junction, segmen lumbal
(L1-L5), dan lumbosacral.
 Thoracolumbal terdiri dari facet joint dan intervertebral joint.
 Facet joint thoracolumbal dibentuk oleh proc. artikularis inferior Th12 yang
bersendi dengan proc. artikularis superior L1.
 Facet superior Th12 berbeda dengan facet inferior Th12  perbedaannya :
permukaan facet superior lebih kearah bidang frontal sedangkan permukaan
facet inferior lebih kearah bidang sagital
 Pada gerak fleksi-ekstensi lumbal akan memaksa terjadi-nya gerak penyerta
dari Th10 – Th12.
 Pada segmen lumbal terdiri dari segmen L1-L2, L2-L3, L3-L4, L4-L5.
 Puncak lordosis terletak pada vertebra L3 dengan jarak 2-4 cm.
 Arah permukaan facet pada lumbal lebih kearah bidang sagital sehingga
menghasilkan gerak fleksi-ekstensi yang lebih besar.
 Stabilitas dan mobilitas lumbal ditentukan oleh facet joint, diskus, ligamen
dan otot.
 Segmen L5-S1 dibentuk oleh proc. artikularis inferior vertebra L5 yang
bersendi dengan proc. artikularis supe-rior S1.
 Segmen L5-S1 (lumbosacral) merupakan regio yang paling besar menerima
beban mengingat lumbal mempunyai gerak yang luas sementara sacrum rigid
(kaku).

 Biomekanik Lumbal

16
 Troke et al menjelaskan bahwa fleksi lumbal adalah 40 – 72o dan ekstensi
lumbal adalah 6 – 29o.
 Menurut White and Panjabi, gerak rotasi dan lateral fleksi lumbal sangat kecil
yaitu sekitar 2o pada L2-L3, 2o pada L3-L4, 2o pada L4-L5, 1o pada L5-S1.
 Pada setiap gerakan lumbal, segmen gerak sangat berperan.
 Pada saat fleksi lumbal, nukleus pulposus akan bergerak kearah posterior
sehingga mengulur serabut annulus fibrosus bagian posterior, kapsul-ligamen
sendi facet akan mengalami peregangan, serta ligamen bagian posterior

Fleksi – Ekstensi Lumbal

Lateral Fleksi – Rotasi Lumbal

17
Ligamen iliolumbal terulur saat gerakan

 Pada saat ekstensi lumbal, nukleus pulposus akan mendorong serabut annulus
fibrosus bagian anterior (terjadi penguluran) juga penguluran pada ligamen
longitudinal anterior.
 Pada saat lateral fleksi lumbal, diskus sisi kontralateral mengalami penguluran
karena nukleus bergeser kearah kontralateral, juga ligamen intertransversal
sisi kontralateral mengalami peregangan.
 Diskus intervertebralis tidak berperan dalam gerakan axial rotasi, sehingga
gerakan rotasi sangat dibatasi oleh orientasi sendi facet vertebra lumbal.

2. Etiologi
 Trauma (Ruda Paksa), berupa :
- Terjatuh saat memanjat pohon atau saat membetulkan atap
rumah
- Kecelakaan kendaraan bermotor/sepeda
 Non Traumatik (Penyakit), berupa :
- Gangguan sirkulasi darah pada tulang belakang atau sum-
sum tulang belakang

18
- Faktor penekanan atau kompressi pada tulang/sum-sum
tulang belakang seperti akibat proses pengapuaran
(spondylosis)
- Penyakit penyebab terjadinya kerusakan pada pembungkus
saraf dari sum-sum tulang belakang
- Kelainan tulang belakang yang didapat sejak lahir yang
bisa mengakibatkan kelumpuhan kedua tungkai saat
beranjak dewasa
 Kista/Tumor
 Infeksi
 Kelainan tulang vertebta
Colaps tulang belakang yang terjadi karena pengereposan tulang
akibat kanker,otheoporosis,atau cedera yang hebat,arthritis
degenerative yang memnyebabkan terbentuknya penonjolan tulang
yang tidak beraturan yang menekan akar saraf, stenosis spinalis
(penyempitan rongga disekitar korda spinalis).
3. Proses Patologi Gangguan Gerak dan Fungsi
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area
tertentu di otak. Luasnya infark bergantung pada faktor-faktor seperti
lokasi dan besarnya pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi
kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh darah yang
tersumbat.
Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lmbat atau cepat)
pada gangguan lokal (thrombus, emboli, perdarahan dan spasme
vaskuler) atau oleh karena gangguan umum (hipoksia karena
gangguan paru dan jantung). Atherosklerotik sering/cenderung sebagai
faktor penting terhadap ortak, thrombus dapat berasal dari flak
arterosklerotik , atau darah dapat beku pada area yang stenosis, dimana
aliran darah akan lambat atau terjadi turbulensi.

19
Thrombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa
sebagai emboli dalam aliran darah.Akibat lesi di medulla spinalis dapat
terjadi:
1) Gangguan fungsi motorik
- Gangguan motorik di tingkat lesi: karean lesi total juga
merusak kornu anterior medulla spinalis dapat terjadi
kelumpuhan LMN pada otot-otot yang dipersarafi oleh
kelompok motor neuron yang terkena lesi dan
menyebabkan nyeri punggung yang terjadi secara tiba-
tiba
- Gangguan motorik dibawah lesi : dapat terjadi
kelumpuhan UMN karena jarak kotrikospinal lateral
segmen thoracal terputus
- Gerakan reflex tertentu yang tidak dikendalikan oleh
otak akan tetap utih atau bakan meningkat. Contohnya :
reflex lutut tetap ada dan bahkan meningkat,
meningkatnya reflex ini menyebabkan kejang tungkai.
Reflex yang tetap di pertahankan memyebabkan otot
yang terkena menjadi memendek, sehingga terjadi
kelumpuhan jenis spatik. Otot yang spatik teraba kencang
dan keras dan sering mengalami kedutan.
2) Gangguan fungsi sensorik
Karena lesi total juga merusak kornu posterior medulla spinalis
maka akan terjadi penurunan atau hilang fungsi sensibilitas
dibawah lesi. Sehingga pasien tidak dapat merasakan adanya
rangsang taktil, rangsang nyeri, rangsang termal, dan rangsang
lokalis.
3) Gangguan fungsi otomnom

20
Karena terputusnya jarak ascenden spinothallamicus maka
pasien akan kehilangan perasaan akan kencing dan alfi.

4. Gambaran Klinis
Gejala adalah sesuatu yang dirasakan dan diceritakan oleh
penderita. Mati rasa serta kesulitan untuk menggerakkan otot-otot
panggul, kedua kaki, dan beberapa bagian tubuh bawah menjadi gejala
utama dari paraplegia.
Berdasarkan tingkat keparahannya, paraplegia terdiri dari dua jenis
yaitu:
Paraplegia parsial: Penderita masih bisa mengontrol beberapa otot
dan merasakan sensasi seperti panas atau dingin.
Paraplegia menyeluruh: Penderita benar-benar kehilangan fungsi
otot dan tidak bisa merasakan sensasi apa pun.
Sedangkan jika dilihat dari jenis kelumpuhan dan efeknya pada otot,
paraplegia terbagi menjadi:
Paraplegia spastik: otot-otot tubuh pada bagian yang lumpuh dalam
kondisi kaku, mengalami kejang-kejang, dan pergerakannya tidak bisa
dikontrol.
Paraplegia flaksid: otot-otot tubuh pada bagian yang lumpuh dalam
kondisi lemas dan terkulai. Otot lumpuh yang mengalami kondisi ini
bisa mengkerut

C. Intervensi Fisioterapi
1. IRR
Tujuan : melancarkan sirkulasi darah, meningkatkan metabolisme
jaringan dan elastisitas jaringan otot
2. Passif Exercise
Tujuan : upaya memelihara sifat fisiologis otot pada kedua tungkai

21
3. Streatching
Tujuan : mencegah kontraktur sekaligus koreksi posture
4. Reaksi Keseimbangan
Tujuan : melatih keseimbangan
5. Frenkle Exercise
Tujuan : untuk membantu memperbaiki koordinasi gerakan dengan
menilai keberhasilan gerakan berupa kecepatan, ketepatan dan irama
gerakan
6. Breathing Exc
Tujuan : memelihara fungsi respirasi
7. Positioning
Tujuan : mencegah decubitus
8. ADL Exr
Tujuan : meningkatkan ADL tidur dan sekaligus persiapan bangun tidur
keduduk

22
BAB III
PROSES FISIOTERAPI

A. Identitas Umum Pasien


a. Nama : Tn. B
b. Tanggal Lahir : 12 Mei 1971
c. Umur : 47 tahun
d. Jenis Kelamin : Laki-laki
e. Agama : Kristen
f. Pekerjaan : Pendeta
g. Alamat : Poso

B. Anamnesis Khusus (History Taking)


Keluhan Utama : Lemah kedua tungkai bawah, tidak dapat menggerakkan
kaki.
Lokasi Keluhan : Anggota gerak bagian bawah.
Riwayat Perjalanan Penyakit:Awalnya pasien merasa demam,buang-buang air
besar dan muntaber kemudia dibawa ke puskesmas setelah dua hari keluar dan
beraktivitas seperti semula.Dan secara tiba_tiba pasien merasa gatal di
tenggorokan disertai batuk yang terasa sangat nyeri sampai ke jari-
jari.Sebelumnya memang pasien sudah merasa nyeri di persendian.Setelah itu
pasien mulai merasa kram di tungkai bawah,Lalu keluarga membawa pasien
ke RS poso dan di sana tidak ada diagnose yang tepat,sehingga di bawah ke
ruang beda dan dilakukan pemeriksaan USG dan hasilnya ada batu di kantung
empedu dan dokter menyuruh untuk di operasi.Tapi pasien tidak bersedia
untuk di operasi dan akhirnya pulang ke rumah.Pasien merasa kram dan masih
bias berjalan selama 2 minggu.Tidak lama kemudian pasien drop dan dan
tidak bias bergerak.Dan 4 bulan yang lalu pasien mati rasa dan lumpuh
total.Pasien di rujuk ke palu karena alat-alat di palu tidak memadai maka

23
pasien kembali di rujuk kr RS Dr Wahidin Sudirohusodo dan dari
pemeriksaan yang di lakukan di temukan ada tumor di thoracal 1 dan 2.

C. Inspeksi/Observasi
1. Statis :
- wajah pasien terlihat pucat, memakai cervical collar
- jika terlalu lama duduk kaki cederung bengkak,
- pada saat pasien terlentang tungkai cenderung adduksi endorotasi hip, dan
- menggunakan EKG.
2. Dinamis :
- pasien sulit menggerakkan kedua tungkai
- pada saat pasien diposisikan tidur terlentang miring ke kiri dan kanan, pasien
masih memerlukan bantuan orang lain
3. Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, suhu normal, ada oedema.

D. Pemeriksaan Vital sign


Tekanan Darah : 110/70 mmhg
Denyut nadi : 80 kali/menit
Pernapasan : 20 kali/menit
Suhu : 36,6oC

E. Quick Test / Orientasi Test\


Pemeriksaan Fungsi Dasar
a. Gerak Aktif : adalah suatu gerakan pemeriksaan yang dilakukan sendiri oleh
pasien, sesuai petunjuk fisioterapi. Adapun gerakan yang diberikan antara
lain, fleksi-ekstensi, abduksi-adduksi, internalrotasi-eksternalrotasi,
dorsofleksi-plantarfleksi, inversi-eversi. Pemeriksaan ini dapat memberikan
informasi berupa :

24
- Koordinasi gerakan
- Pola gerak
- Nyeri
- ROM aktif
- Suara / bunyi
Hasil : pada kasus ini belum sempat dilakukan pemeriksaan gerak aktif
dikarenakan kondisi pasien yang tidak memungkinkan.
b. Gerak Pasif : adalah suatu gerakan pemeriksaan terhadap pasien yang
dilakukan oleh pemeriksa tanpa melibatkan pasien secara aktif. Adapun
gerakan yang diberikan antara lain, fleksi-ekstensi, abduksi-adduksi,
internalrotasi-eksternalrotasi, dorsofleksi-plantarfleksi, inversi-eversi.
Sebelum melakukan pemeriksaan usahakan agar regio yang akan digerakkan
dalam keadaan rileks dan pada saat digerakkan usahakan mencapai ROM
seoptimal mungkin dengan memperhatikan keluhan penderita, sehingga pada
satu sisi akan terjadi penguluran dan pada sisi yang lain mengalami kompresi.
Informasi yang dapat diperoleh melalui pemeriksaan ini adalah :
- ROM pasif
- Stabilitas sendi
- Rasa nyeri
- End feel
- Capsular pattern
Hasil : pada kasus ini belum sempat dilakukan pemeriksaan gerak pasif
dikarenakan kondisi pasien yang tidak memungkinkan.
c. Gerak Isometrik Melawan Tahanan (TIMT) : merupakan tes provokasi nyeri
adalah pemeriksaan yang ditujukan pada musculotendinogen dan neurogen.
Caranya yaitu penderita melakukan gerakan dengan melawan tahanan yang
diberikan oleh pemeriksa tanpa terjadi gerakan yang merubah posisi ROM

25
sendi pada regio yang diperiksa. Informasi yang dapat diperoleh dari
pemeriksaan ini adalah :
- Nyeri pada musculotendinogen
- Kekuatan otot secara isometric
- Kualitas saraf motoric
Hasil : pada kasus ini belum sempat dilakukan pemeriksaan TIMT dikarenakan
kondisi pasien yang tidak memungkinkan.
F. Pemeriksaan Spesifik dan Pengukuran Fisioterapi
1. Tes sensorik
Tujuan : untuk mengetahui kemampuan saraf sensorik
Teknik pelaksanaan :
 Tes tajam tumpul atau sensasi nyeri (Algesia)
1. Gunakan jarum pentul atau peniti (sejenis jarum dengan salah satu ujungnya
tajam dan tumpul) untuk memperoleh respon sensasi nyeri sebagai media
stimuli.
2. Instruksikan kepada pasien agar menjawab “tajam atau tumpul” dalam keadaan
mata tertutup untuk setiap kali jarum pentul atau peniti di sentuhkan ke tubuh
pasien.
3. Sentuhkan salah satu media stimuli yang telah dipersiapkan secara ringan dan
lembut pada jari tangan, lengan, tungkai dan area punggung pasien.
 Tes sensasi tubuh ( Thermesthesia)
1. Gunakan tabung reaksi yang masing masing berisi air dingin (suhu kurang
dari 5ᵒC) dan air panas (diatas suhu 45ᵒC) untuk memperoleh respon sensasi
suhu yang berada sebagai media stimuli
2. Instruksikan kepada pasien agar menjawab “panas atau digin” dalam keadaan
mata tertutup untuk setiap kali tabung reaksi berbeda disentuhkan ke kulit
pasien.
3. Sentuhkan salah satu media stimuli yang telah dipersiapkan secara ringan dan
lembut pada area lengan tungkai, dan area pumggumg pasien.

26
Hasil : hiposensasi
2. Tes motoric
Tujuan : untuk mengetahui kualitas saraf motoric
Teknik pelaksanaan : pasien diminta melakukan gerakan dari baring ke duduk.
Hasil : Tidak bias melakukan
3. MMT (Manual Muscle Testing)
Tujuan : untuk mengetahui kemampuan otot)
Hasil :
- Ekstremitas superior : 5
- Ekstremitas inferior : 0
4. Tes tonus otot
Tujuan : untuk mengetahui adanya tonus otot
Teknik pelaksanaan : fisioterapi melakukan palpasi pada muscle belly pada kedua
tungkai
Hasil : hipotonus
5. Tes reflex
- Babinsky
Teknik pelaksanaan : dalam posisi tidur terlentang, kemudian tarik garis dari tumit
ke sepanjang lateral kaki kea rah jari” kaki dengan cepat
Hasil : tidak ada respon
- Refleks patella
Teknik pelaksanaan : praktikan memukul tendon patella dengan palu reflex atau
hammer tepat di bawah patella meregangkan otot gelendong di otot paha
depan. Ini menghasilkan sinyal yang bergerak kembali ke sumsum tulang
belakang dan sinapsis pada tingkat L3 di sumsum tulang belakang.
Hasil : pada kasus ini belum sempat dilakukan Refleks patella dikarenakan kondisi
pasien yang tidak memungkinkan.
- Refleks Achilles

27
Teknik pelaksanaan : Kaki dipegang sedemikian rupa sehingga membentuk 900
dengan tungkai bawah dan tidak terlalu tegang. Kemudian ketuklah tendon
Achilles, maka akan terlihat plantar fleksi (pusat L5-S2, serat saraf perifer :
nervus tibialis posterior).
Hasil : pada kasus ini belum sempat dilakukan Refleks Achilles dikarenakan
kondisi pasien yang tidak memungkinkan.

6. Tes koordinasi
Teknik pelaksanaan : dalam posisi tidur terlentang,
fisioterapi memimnta pasien untuk menyentuh tangan fisioterapi dengan
menggunakan ujung kakinya.
Hasil : tidak dapat melakukannya
7. Pengukuran ROM
Gerakan Aktif Pasif TIMT
Fleksi hip Tidak Tidak Tidak
dilakukan dilakukan dilakukan
Ekstensi Tidak Tidak Tidak
hip dilakukan dilakukan dilakukan
Adduksi Tidak Tidak Tidak
hip dilakukan dilakukan dilakukan
Abduksi Tidak Tidak Tidak
hip dilakukan dilakukan dilakukan
Eksternal Tidak Tidak Tidak
rotasi hip dilakukan dilakukan dilakukan
Internal Tidak Tidak Tidak
rotasi hip dilakukan dilakukan dilakukan
Inversi Tidak Tidak Tidak
dilakukan dilakukan dilakukan

28
Eversi Tidak Tidak Tidak
dilakukan dilakukan dilakukan
Dorsofleksi Tidak Tidak Tidak
dilakukan dilakukan dilakukan
Plantarfleksi Tidak Tidak Tidak
dilakukan dilakukan dilakukan

8. Pemeriksaan VAS
Vas berupa sebuah garis lurus dengan panjang 10 cm/100 mm. Dalam pelaksanaan
pengukuran nyeri, pasien diminta untuk memberi tanda pada garis sesuai yang
dirasakan pasien.
Penentuan nilai VAS dilakukan dengan mengukur jarak antara titik / ujung garis
yang menunjukkan tidak nyeri hingga ke titik yang ditunjukkan pasien. Nilai
range VAS adalah 0 s.d. 100

0 100

Tidak nyeri Nyeri berat

Keterangan :
 Skala 0-4 mm : tidak nyeri (tidak ada rasa sakit,merasa normal)
 Skla 5-44 mm : nyeri ringan (masih bias ditahan,aktifitas tak terganggu)
 Skala 45-74 mm : nyeri sedang ( mengganggu aktifitas fisik)
 Skala 75-100 mm : nyeri berat (tidak dapat melakukan aktivitas secara
mendiri)

9. Patrick Test
Tujuan : untuk mendeteksi patologi pada hip, lumbal atau SI joint disfunction.
Prosedur tes :

29
- Pasien : terlentang dalam posis comfortable.
- Praktikan : selanjutnya secara pasif menggerakkan tungkai pasien yang dites
kea rah fleksi knee dengan menempatkan ankle di atas knee pada tungkai
pasien yang satunya. Praktikan kemudian mengfiksasi SIAS pasien pada
tungkai yang tidak dites dengan menggunakan 1 tangan dan tangan satunya
pada sisi medial knee pasien yang dites, lalu menekan tungkai pasien kea rah
abduksi. Ulangi prosedur tes yang sama pada tungkai pasien yang satunya.
Postif tes : nyeri di bagian dalam hip, lumbal, dan SI.
Interpretasi : lokasi nyeri berkorespondensi terhadap disfungsi pada area tersebut.
Hasil : pada kasus ini belum sempat dilakukan patric tes dikarenakan kondisi
pasien yang tidak memungkinkan.

10. Tes anti patric


Posis fleksi pada salah satu sendi lutut dan sendi panggul, kemudian lutut didorong
ke arah medial.
Hasil : pada kasus ini belum sempat dilakukan tes anti patric dikarenakan kondisi
pasien yang tidak memungkinkan.

11. Straight Leg Raise test (SLR)


Tujuan : tes untuk mengidentifikasi patologi disc herniation dan/ penekanan pada
jaringan saraf.
Prosedur tes :
- Pasien terlentang dengan posisi kedua hip endorotasi dan adduksi, serta knee
ekstensi rileks.
- Praktikan meletakkan satu tangan pada ankle pasien. Praktikan selanjutnya
secara pasif memfleksikan hip pasien hingga pasien merasakan nyeri atau
tightness pada pinggang atau bagian posterior tungkai. Praktikan kemudian

30
secara perlahan dan hati-hati menurunkan tungkai pasien hingga pasien tidak
merasakan nyeri atau tightness.
Positif tes : jika nyeri terutama dirasakan pada pinggang, maka lebih ke arah disc
herniation atau penyebab patologi penekanan pada sisi sentral. Jika nyeri
terutama pada tungkai, maka patologi yang menyebabkan penekanan terhadap
jaringan saraf lebih pada sisi lateral.
Interpretasi : positif tes mengidentifikasi patologi disc herniation dan atau
penekanan pada jaringan saraf.
Hasil : pada kasus ini belum sempat dilakukan SLR tes dikarenakan kondisi pasien
yang tidak memungkinkan.

12. Bragard’s Test


Tujuan : tes untuk mengidentifikasi patologi pada dura mater atau lesi pada spinal
cord.
Prosedur tes :
- Prosedur sama seperti SLR test. Bedanya pada bragard’s test praktikan
menambahkan fleksi cervical pasien secara pasif, disertai dorsofleksi ankle
pasien (tension yang terjadi pada area cervicothoracic junction adalah normal
dan tidak semestinya menimbulkan gejala. Jika gejala timbul pada lumbar,
tungkai atau lengan, berarti jaringan saraf terlibat).
- Praktikan kemudian secara perlahan dan hati-hati menurunkan kepala dan
tungkai pasien hingga pasien tidak merasakan nyeri atau tightness.
Positif tes : peningkatan nyeri dengan fleksi cervical, dorsofleksi ankle, atau
keduanya mengindikasikan penguluran pada dura mater dari spinal cord atau
lesi pada spinal cord (seperti ; disc herniation, tumor, meningitis). Nyeri yang
tidak meningkat dengan fleksi cervical mengindikasikan lesi pada area
hamstring (tight hamstring) atau pada lumbosacral atau area sacroiliac joint.
Interpretasi : positif tes mengindikasikan patologi pada dura mater atau lesi pada
spinal cord.

31
Hasil : pada kasus ini belum sempat dilakukan Bragard’s Test dikarenakan kondisi
pasien yang tidak memungkinkan.

G. Algorhitma Asesmen Fisioterapi

Nama Pasien : Tn. B Umur : 47 tahun Jenis kelamin : Laki-laki

History Taking :
Kedua kaki tidak dapat digerakkan kurang lebih
4 bulan yang lalu. Awalnya pasien mengeluh
lemas pada kedua kaki sejak 2 tahun yang lalu.

Inspeksi :
Pasien Nampak pucat, memakai cervical collar,
dan terpasang EKG.

Pemeriksaan :

*Tes sensorik : hilangnya


kualitas saraf sensorik pada *Tes koordinasi : penurunan
Palpasi : Terdapat
tungkai koordinasi
oedema dikedua tungkai
*Tes motorik : hilangnya *Tes reflex : Tidak ada respon
pasien
kualitas saraf motorik pada
tungkai

Diagnosa ICF :
Gangguan Gerak Fungsional ec Paraplegia due to
tumor ekstradural
32
H. Diagnosa Fisioterapi : Gangguan Gerak Fungsional ec Paraplegia due to
tumor ekstradural
I. Problematik Fisioterapi dan Bagan ICF

Nama Pasien : Tn. B Umur : 47 tahun Jenis kelamin :


Laki-laki

Kondisi/Penyakit:
Gangguan Gerak Fungsional ec Paraplegia
due to tumor ekstradural

Impairment (Body structure Activity Limitation


and function) Participation Restriction
 Gangguan ADL seperti
 Adanya nyeri  Ketidakmampuan
duduk, tidur miring,
 Hilangnya kekuatan otot ikut berpartisipasi
berdiri, makan, dan
tungkai dan potensial dalam kegiatan di
gangguan aktivitas
terjadi kontraktur otot lingkungan
berjalan.
 Kedua tungkai tidak sekitarnya.
mampu bergerak

J. Tujuan Intervensi Fisioterapi


 Tujuan Jangka Pendek
- Penurunan nyeri
- Mengembalikan koordinasi
- Mengembalikan kekuatan otot tungkai
 Tujuan Jangka Panjang
- Meningkatkan kapasitas fisik dan mengembalikan aktivitas fungsional (ADL)

33
K. Program Fisioterapi
1. IRR
Tujuan : melancarkan sirkulasi darah, meningkatkan metabolisme jaringan dan
elastisitas jaringan otot
Teknik : posisi tidur terlentang kemudian dilakukan pemasangan alat secara lokal
pada kedua tungkai
Dosis :
F : setiap hari
I : 30-45 cm
T : lominous
T : 10 menit

2. Passif Exercise
Tujuan : upaya memelihara sifat fisiologis otot pada kedua tungkai
Teknik : dalam posisi tidur terlentang, kemudian
- Fisioterapi memberikan gerakan flexi-ekstensi pasif secara bergantian disetiap
persendian pada kedua tungkai
- Fisioterapi memberikan gerakan rotasi hip searah dan berlawanan jarum jam
secara bergantian pada kedua tungkai
- Fisioterapis memberikan gerakan abduksi-adduksi dan eksorotasi-endorotasi
hip serta dorso-plantar flexi ankle secara pasif pada kedua tungkai

Time : toleransi pasien dengan memperhatikan kelelahan yang diperlihatkan, 3-5


kali pengulangan sudah cukup

3. Streatching
Tujuan : mencegah kontraktur sekaligus koreksi posture
Teknik : Pasien tidur terlentang kemudian fisioterapis menggerakkan kedua
tungkai bergantian secara pasif disetiap persendian ke segala arah dan ditambah
dengan penguluran.

34
Dosis :
F : setiap hari
I : penguluran max
T : passif streatching
T : 8x hitungan

4. Reaksi Keseimbangan
Tujuan : melatih keseimbangan
Teknik pelaksanaan : fisioterapi memberikan fasilitasi refleks mengangkat pantat
dan membantu mempertahankannya
Time : toleransi pasien, sesuaikan hasil yang dapat dicapai oleh pasien.

5. Frenkle Exercise
Tujuan : untuk membantu memperbaiki koordinasi gerakan dengan menilai
keberhasilan gerakan berupa kecepatan, ketepatan dan irama gerakan
Teknik pelaksanaan : fisioterapi melatih koordinasi dengan memberikan
stimulasi gerak berupa posisi ekstensi tungkai kearah flexi hip dan knee agar
pasien melakukan gerakan menekuk dan sebaliknya dari flexi hip dan knee
menggeser pada bed kearah ekstensi tungkai
Time : toleransi pasien dengan batasan gerak yang bisa dicapai.

6. Breathing Exc
Tujuan : memelihara fungsi respirasi
Teknik : fiksasi dengan tangan fisioterapi dilateral bagian lower dengan posisi
kepala pasien kesamping. Minta pasien untu menarik napas dan hembuskan
kemudian beri penekanan 1/3 akhir pernapasan dari samping
Time : toleransi pasien, seharusnya diberikan setiap 1 jam sekali dengan beban
minimal.

35
7. Positioning
Tujuan : mencegah decubitus
Teknik : fisioterapis memposisikan sekaligus mengajarkan pasien melakukan
perubahan posisi dari tidur terlentang miring ke kiri atau kanan
Time : sesering mungkin akan lebih bagus

8. ADL Exr
Tujuan : meningkatkan ADL tidur dan sekaligus persiapan bangun tidur keduduk
Teknik : fisioterapi memberikan fasilitasi refleks tidur dengan mengajarkan pasien
dari posisi tidur terlentang kemudian miring ke kiri atau kanan yang baik dan
benar
Time : toleransi pasien dengan melihat hasil yang dicapai.

L. Evaluasi Fisioterapi
Secara keseluruhan belum menunjukkan adanya tanda-tanda perbaikan,
hal ini dipengaruhi berat ringannya kondisi pasien terkait dengan area yang
mengalami keruskan.

36
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan

Suatu penyakit yang berhubungan dengan sistem saraf pusat biasanya akan
mempengaruhi ekstremitas pada tubuh manusia yang berupa kelemahan bahkan
kelumpuhan, namun apabila pasien mempunyai semangat yang tinggi dan rajin untuk
melakukan terapi maka dampak dari kerusakan sistem saraf pusat tersebut dapat
diminimalkan dan dengan terapi pasien dapat diajarkan untuk mandiri melakukan
aktivitasnya sendiri.

Paraplegi adalah bentuk kelumpuhan kedua tungkai yang bersifat partial atau
komplit, di sertai atau tidak disertai adanya fraktur tulang belakang yang
menyebabkan gangguan fungsi motorik ataupun sensorik dibawah level cidera yang
di sebabkan oleh karena trauma dari hasil kerusakan spinal cord Paraplegi sering
dikenal dengan istilah kelumpuhan pada kedua tungkai. Kelumpuhan kedua tungkai
terjadi akibat terjadinya gangguan pada saraf dan atau tulang belakang bagian
punggung atau pinggang.

Adapun penatalaksanaan fisioterapi pada kasus paraplegi yaitu, 1. Anamnesis,


2. Pemeriksaan spesifik dan pengukuran, 3. Intervensi fisioterapi. Adapun beberapa
intervensinya yaitu : 1. IRR (untuk melancarkan sirkulasi darah, meningkatkan
metabolisme jaringan dan elastisitas jaringan otot), 2 Passif Exercise (untuk
memelihara sifat fisiologis otot pada kedua tungkai), 3. Streatching (untuk mencegah
kontraktur sekaligus koreksi posture), 4. Reaksi keseimbangan ( untuk melatih
keseimbangan), 5. Frankle exercise (untuk membantu memperbaiki koordinasi
gerakan dengan menilai keberhasilan gerakan berupa kecepatan, ketepatan dan irama
gerakan), 6. Breathing Exc (untuk memelihara fungsi respirasi), 7. Positioning (untuk

37
mencegah decubitus), 8. ADL Exc (untuk meningkatkan ADL tidur dan sekaligus
persiapan bangun tidur keduduk)

38
DAFTAR PUSTAKA

Aras, Djohan. Ahmad, Hasniah. Ahmad, Andi. 2014. Tes Spesifik


Muskulosceletal Disorder. Makassar: PhysioCare Publishing.

Sherwood, Lauralee. 2002. Fisiologi Manusia. Jakarta: EGC.

Aras, Djohan. Ahmad, Hasniah. Ahmad, 2016. Physical Therapist Test


and Measurement. Makassar: PhysioCare Publishing.

Sloane, Ethel. 2002. Anatomi dan Fisiologi. EGC.

Trisnowiyanto, Bambang. Instrumen Pemeriksaan Fisioterapi dan


Penelitian Kesehatan. Medical Book.

https://www.academia.edu/10041909/A._ANATOMI_DAN_FISIOLOGI
_OTAK

https://www.academia.edu/35702713/Laporan_Praktek_Klinik

https://www.academia.edu/4697670/Infra_Red_diathermy

http://eprints.ums.ac.id/30939/

39

Anda mungkin juga menyukai