GANGGUAN GERAK
Disusun oleh :
Muhammad Irfan Ranaputra.D (2018730129)
Shelina Rahmadani (2018730101)
Risa Utami S (2019730152)
Pembimbing :
dr. Syarly Melani, Sp. N
1
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat rahmat, hidayat dan
karunia- lah sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul “Gangguan Gerak”
dengan baik dan tepat waktu. Makalah ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam
menyelesaikan Pendidikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf RSIJ Cempaka Putih.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada dr. Syarly Melani, Sp.N
sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk
memberikan bimbingan, arahan, serta motivasi kepada penulis. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada keluarga dan rekan-rekan sejawat yang telah memberikan dukungan,
saran, dan kritik yang membangun. Keberhasilan penyusunan ini tidak akan tercapai tanpa
adanya bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak tersebut.
Penulis
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................................................. ii
A. Riwayat Penyakit.............................................................................................................. 2
BAB II............................................................................................................................................. 4
2.1.1.6 Tatatalaksana........................................................................................................... 21
2.2.3.3 Diagnosis................................................................................................................. 43
2.2.4 TICS............................................................................................................................ 46
2.2.4.3 Etiologi.................................................................................................................... 47
2.2.4.6 Diagnosis................................................................................................................. 48
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan gerak merupakan suatu kumpulan gejala neurologis, yang disertai gerakan
yang berlebihan (hiperkinetik) atau berkurangnya gerakan volunter dan otomatik
(hipokinetik), tanpa disertai adanya kelemahan atau spastisitas. Sebagian besar gangguan
gerak disebabkan oleh kelainan ganglia basal yang dikenal sebagai gangguan
ekstrapiramidal. Ganggguan gerak dapat juga disebabkan oleh cedera pada korteks serebri,
serebelum, medula spinalis, saraf tepi, atau bagian lain. Akibat luas dan kompleksnya jaras
yang terlibat pada gangguan gerak, kasus ini seringkali disertai dengan gejala lain, seperti
gangguan kognitif atau gangguan psikiatri. Gejala-gejala ini bisa muncul mendahului atau
bersamaan dengan gangguan gerak tersebut(1).
Gangguan gerak dibedakan menjadi 2 kelompok besar, yaitu hipokinetik dan
hiperkinetik. Tanda utama pada hipokinetik adalah berkurangnya gerakan volunter dan
otomatik (akinesia), disertai dengan melambatnya gerakan (bradikinesia). Kumpulan gejala
ini sering ditemukan pada pasien dengan Parkinsonisme. Parkinsonisme merupakan suatu
sindrom yang terdiri dari tremor, rigiditas, bradikinesia dan instabilitas postural.
Kelompok hiperkinetik ditandai dengan gerakan abnormal yang tidak dapat dikontrol,
dan tidak diinginkan. Secara garis besar, hiperkinetik dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu,
tremor, distonia, tics, chorea, balismus, atetosis, dan mioklonus (Tabel 1). Gejala yang
muncul dapat berupa gejala yang terisolir atau berupa kombinasi antara satu sama lain (1).
1
1.1 Pendekatan Umum Gangguan Gerak
Pendekatan klinis pasien dengan gangguan gerak tidak jauh berbeda dengan pendekatan
klinis pada penyakit lain, yaitu dimulai dengan anamnesis perjalanan penyakitnya.
Anamnesis merupakan bagian penting dalam penegakan diagnosis suatu penyakit, termasuk
gangguan gerak. Ada sebuah nasihat yang mengatakan Jika kamu mempunyai waktu 10
menit bersama pasien, gunakan waktu 9 menit untuk anamnesis
Hal pertama yang harus dilakukan adalah menentukan apakah gerakan tersebut
merupakan gerakan volunter, semivolunter atau involunter. Pada umumnya gerakan
abnormal yang bersifat involunter akan berkurang atau menghilang pada saat tidur. Langkah
berikutnya adalah menentukan apakah gangguan gerak bersifat hipokinetik atau
hiperkinetik. Berikut ini beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika melakukan anamnesis
pada pasien dengan gangguan gerak:
A. Riwayat Penyakit
Anamnesis dapat dilakukan langsung dengan pasien atau aloanamnesis dari
pasangan dan anggota keluarga. Aloanamnesis sangat bermanfaat untuk membantu
menentukan awitan gangguan gerak (mendadak atau bertahap, menetap atau
memberat), khususnya pada pasien dengan gangguan kognitif. Pemeriksa harus
menanyakan apakah gejala bersifat persisten dan hilang timbul. Pada gejala yang
berulang harus ditanyakan mengenai frekuensi dan durasi gejala. Deskripsi gerakan,
anggota tubuh yang terlibat, dan kesimetrisan gejala juga harus digali.
Faktor yang memperberat dan meringankan gejala juga harus diperhatikan.
Sebagian besar gangguan gerak diperburuk oleh kecemasan. Pada saat anamnesis,
pemeriksa juga harus menggali intensitas dan dampak fungsional dari gejala tersebut
terhadap kehidupan pasien. Pada kecurigaan gangguan gerak yang disebabkan oleh
kelainan struktural di intrakranial, maka gejala dan tanda lesi intrakranial harus
dieksplorasi. Untuk itu perlu ditanyakan ada tidaknya riwayat kejang, penurunan
kesadaran, sakit kepala yang memberat, muntah maupun defisit neurologis fokal(1).
2
B. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Sebagian sindrom pada kasus gangguan gerak bersifat herediter, khususnya pada
kasus- kasus yang terjadi pada usia muda. Gambaran silsilah keluarga dengan penyakit
serupa dapat membantu untuk menegakkan diagnosis dan menggambarkan prognosis
pasien di kemudian hari.
E. Riwayat Sosial
Konsumsi alkohol penting pada kasus tremor dan distonia. Riwayat merokok
penting jika gangguan gerak dikaitkan dengan paraneoplastik. Riwayat perjalanan yang
dilakukan pada waktu onset gejala muncul juga harus digali dengan lengkap. Status
ekonomi juga penting untuk diketahui. Tidak semua gangguan gerak memiliki
pemeriksaan khusus. Berdasarkan kasus terbanyak, maka yang akan dibahas pada bab
ini adalah parkinsonisme, tremor, distonia dan hemifasial spasme(1).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hipokinetik
Gangguan gerak hipokinetik merupakan gangguan yang terjadi dengan tanda penurunan
gerakan volunter dari penderita. Penyakit yang paling sering terjadi pada tipe gangguan
gerak hipokinetik adalah penyakit Parkinson.
4
basal sangat kompleks dan melibatkan berbagai neurotransmiter, seperti gaba-
aminobutyric acid (GABA), glutamat, asetilkolin, dan dopamin.
Jaras antara striatum, sebagai titik masuk utama, dan globus palidus interna
(GPI)/substansia nigra pars retikulata (SNr) tersusun menjadi jaras langsung (direct) dan
jaras tidak langsung (indirect). Striatum berperan utama dalam memproses stimulus
sensorimotor dan meneruskan sinyal tersebut ke Gpi. Stimulus diteruskan melalui jaras
GABAergik (inhibitorik) menuju segmen motorik talamus anterior ventral, kemudian
stimulus tersebut diteruskan melalui jaras glutamaergik menuju korteks.
Neurodegenerasi substansia nigra pars kompakta menyebabkan penurunan input
dopaminergik menuju striatum, sehingga terjadi penurunan input dopaminergik
eksitatorik pada reseptor D1 dan dopaminergik inhibitorik pada reseptor D2. Disfungsi
input dopaminergik tersebut akan menyebabkan proses inhibisi ke talamus dan korteks
sehingga terjadi disfungsi inisiasi, amplitudo dan kecepatan gerak.
2.1.1.2 Epidemiologi
Data The Global Burden of Disease Study (2015) mengindikasikan adanya
kecenderungan peningkatan usia harapan hidup, bahwa manusia mengalami kematian
pada usia yang lebih tua. Fenomena demografik ini menyebabkan peningkatan
prevalensi penyakit degeneratif, yaitu penyakit Alzheimer dilkuti Penyakit Parkinson
(PP) pada peringkat kedua tersering. Dengan meningkatnya angka harapan hidup, PP
menjadi salah satu tantangan terberat yang dihadapi dunia kesehatan. Prevalensi PP
5
bervariasi di beberapa benua Pringsheim dkk menemukan bahwa prevalensinya pada
usia 70-79 tahun lebih rendah di Asia (646/100.000 individu), dibandingkan di Eropa,
Amerika Utara, dan Australia (p<0,05). Adapun insidens penyakit ini berkisar 16-19
kasus per 100.000 individu pertahun. Savica dkk inemperoleh insidens 21 kasus per
100.900 penduduk pertahun di Minnesota yang dapat dipengaruhi oleh jenis kelamin,
usia, dan etnis. FP lebih tinggi pada laki laki dibandingkan perempuan dengan rasio
3:2.
Terdapat peningkatan insidens PP seiring dengan bertambahnya usia, baik pada
laki-laki Jan perempuan. Pada kelompok laki-laki, insidens berkisar dari 3,59 per
100.000 penduduk pada usia 40-49 tahun yang meningkat menjadi 132,72 per 100.000
penduduk pada usia 70-79 tahun, lalu menurun menjadi 110,48 per 100 000 penduduk
pada usia diatas 80 tahun.
Pada kelompok perempuan, insidens mulai dari 2,94 per 100.000 penduduk (usia
40-49 tahun). mencapai insidens tertinggi 104,99 per 100.000 penduduk pada usia 70-
79 tahun, lalu menurun menjadi 66,02 per 100.000 penduduk (usia di atas 80 tahun).
Menurut Dorsey dkk berdasarkan peningkatan angka harapan hidup ini, proyeksi
jumlah kasus PP meningkat lebih dari 50% pada tahun 2030.
2.1.1.3 Anamnesa
Anamnesis yang rinci mengenai gejala dan progresifitas penyakit sangat penting
dalam menegakkan diagnosis Parkinsonisme. Secara garis besar, gejala Parkinsonisme
dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu gejala motorik dan gejala non motorik.
1. Gejala motorik
o Tremor → merupakan salah satu gambaran khas PP. Tremor seringkali terjadi
pada ekstremitas, lengan lebih sering dibandingkan dengan tungkai. Pada awal
penyakit, tremor bersifat unilateral, kemudian seiring perjalanan penyakit, terjadi
pada ekstremitas kontralaterai. Hal ini iuga dapat terjadi secara intermiten pada
rahang, bibir dan liaah. Tremor kepala biasanya merupakan perluasar, dari
tremor yang melibatkan badan dan ekstremitas.
o Bradikinesia → Merupakan peningkatan tonus tot di seluruh lingkup gerak sendi
(range of movement) dan tidak tergantung dari kecepatan otot saat digerakkan.
6
Rigiditas dapat ditemukan pada leher, badan, dan ekstremitas dalam keadaan
relaksasi.
o Rigiditas → Akinesia merupakan salah satu gejala yang sangat mempengaruhi
kualitas hidup pasien, karena gerakan volunter pasien menjadi lambat. Pasien
mengalami kesulitan dalam melakukan inisiasi gerakan, mempertahankan
gerakan, dan mengubah berbagai pola gerakan motorik. Pada awal perjalanan
penyakit, akinesia terjadi unilateral dan seringkali bersifat ringan. Pada tahap
lanjut, akinesia terjadi pada kedua ekstremitas dan bertambah berat.
o Instabilitas postural.
a) Anamnesis Gejala Motorik
Pasien dengan keluhan utama bradikinesia seringkali bicaranya lambat dan suaranya
pelan. Ekspresi wajah bekurang dan tampak seperti topeng. Lengan dan tungkai
seringkali kaku dan sulit digerakkan. Tulisan juga menjadi kecil-kecil.
Pasien dengan instabilitas postural seringkali merasa ingin jatuh saat berjalan atau
berdiri. Pasien sulit bangkit dari posisi duduk ke posisi berdiri. Pada stadium lanjut,
pasien seringkali membutuhkan alat bantu untuk berjalan. Saat pasien berdiri, dapat
terlihat deformitas postur berupa sindrom Pisa (postur tubuh pasien miring ke salah satu
sisi). Pada saat berjalan, pasien cenderung membungkuk ke depan, langkah terseret,
kecil-kecil dan cepat. Pasien seringkali terhenti saat berjalan dan membutuhkan waktu
lama saat hendak berputar. Umumnya pasien kesulitan untuk mulai berjalan dan saat
ingin berhenti.
2. Gejala Non-motorik
7
• Gangguan sensoris dan gejala nonmotorik lain: nyeri, gangguan penciuman,
dan gangguan visual
b) Anamnesis Gejala Non Motorik
Gangguan neuropsikiatri sering ditemukan pada Parkinsonisme. Pada pasien dengan
gejala depresi, pasien tampak sedih dan tampak kekurangan energi. Halusinasi
merupakan gejala yang juga sering ditemukan. Pasien dapat melihat atau mendengar hal-
hal yang tidak dilihat atau didengar orang lain. Pasien seringkali berbicara sendiri atau
tampak ketakutan tanpa sebab yang jelas. Gangguan kognitif yang progresif juga dapat
memiliki dampak dalam kehidupan fungsional pasien. Pasien dapat mengalami
gangguan memori (sering lupa), gangguan visuospasial (sering tersesat), gangguan
atensi (sulit berkonsentrasi) dan gangguan fungsi eksekutif (gangguan berhitung,
gangguan menyelesaikan masalah). Pada beberapa kasus, juga dapat ditemukan.
gangguan perilaku seperti obsesif, kompulsif atau apati. Gangguan tidur seringkali
ditemukan sebagai gejala prodromal pada kasus Parkinsonisme. Pada RBD, pasien
sering melakukan gerakan-gerakan pada saat tidur, seperti tertawa, berbicara,
menendang atau berlari. Anamnesis terhadap pasangan atau keluarga dapat membantu
mendapatkan informasi tersebut. Gangguan tidur lain yang harus digali adalah sering
mengantuk berlebihan di siang hari, atau sering tertidur pada situasi yang tidak sesuai,
misalnya sedang makan, bicara, atau berjalan. Sebagian pasien mengalami kesulitan
pada saat tidur.
Pada pasien dengan hipotensi ortostatik, pasien sering mengalami keluhan
berkunang- kunang atau pandangan gelap pada saat berubah posisi dari berbaring atau
duduk ke berdiri. Kesulitan pada saat buang air besar (BAB) dan buang air kecil BAK)
sering ditemukan. Gejala otonom lain yang bisa terjadi antara lain gangguan seksual,
gangguan toleransi terhadap suhu dingin dan panas atau keringat berlebihan. Gejala lain
yang harus ditanyakan kepada pasien antara lain gejala nyeri, gangguan penciuman atau
gangguan penglihatan. Anamnesis yang baik mengenai gambaran klinis dan perjalanan
penyakit sangat penting dalam menegakkan diagnosis sindrom Parkinsonisme
mengingat gejala yang dialami pasien dapat tumpang tindih satu sama lain.
2.1.1.4 Pemeriksaan
1. Bradikinesia
• Pemeriksaan Ekspresi Wajah
8
Pemeriksa mengobservasi pasien selama 1 menit. Selama observasi pasien
diminta duduk diam. Observasi dilakukan dengan dan tanpa berbicara dengan
pasien. Pemeriksa mengobservasi ekspresi wajah, frekuensi kedipan mata,
senyum spontan dan celah bibir terpisah atau tidak pada saat pasien diam. Pada
bradikinesia, ekspresi wajah juga akan berkurang, frekuensi senyum spontan
menurun, dan celah bibir terpisah pada saat diam. Wajah akan menyerupai wajah
topeng (masked face) atau yang dikenal dengan istilah hipomimia. Terdapat
penurunan frekuensi kedipan mata kurang dari 12 kali per menit.
9
Gambar 3: Pemeriksaan Gerakan Tangan
Pada keadaan normal, pasien dapat melakukan gerakan sebanyak 10 kali
dengan cepat tanpa penurunan amplitudo. Bradikinesia dinyatakan positif
apabila didapatkan gerakan yang lambat, atau amplitudo yang semakin
menurun, atau gerakan tampak terhenti dan tidak lancar. Pada kasus yang berat,
pasien tidak dapat melakukan tugas sama sekali.
• Pemeriksaan Ketukan Jari (Finger Tapping)
Pemeriksa memperagakan gerakan sebelum memulai pemeriksaan.
Pemeriksaan dilakukan pada kedua sisi secara terpisah. Pasien diminta untuk
mengetukkan ujung telunjuk ke ujung ibu jari sebanyak 10 kali dengan amplitudo
sebesar mungkin dan secepat mungkin. Pemeriksa menilai kecepatan, amplitudo
dan penurunan amplitudo, serta terhentinya gerakan.
Pada keadaan normal, pasien dapat melakukan gerakan sebanyak 10 kali
dengan cepat tanpa penurunan amplitudo. Bradikinesia dinyatakan positif apabila
didapatkan gerakan yang lambat, atau amplitudo semakin menurun, atau gerakan
tampak terhenti dan tidak lancar. Pada kasus yang berat, pasien tidak dapat
melakukan tugas sama sekali.
11
Gambar 6: Spiral Archimedes
Gambar di sisi kiri adalah gambar contoh Gambar pasien dengan penyakit
Parkinson (kanan) berukuran lebih kecil, tremulous, dan menunjukkan
ketidakmampuan ekspansi dari tengah gambar sehingga garisnya saling
berpotongan.
12
Gambar 8: Toe Tapping Test
• Pemeriksaan Ketangkasan Tungkai (Leg Agility Test)
Pasien diminta untuk duduk tegak bersandar, dengan kedua kaki di lantai.
Pemeriksaan dilakukan pada kedua sisi secara terpisah. Pemeriksa memperagakan
gerakan sebelum memulai pemeriksaan. Pasien diminta melepas alas kakinya dan
meletakkan kedua telapak kaki di lantai, kemudian mengangkat dan menginjakkan
kaki di lantai sebanyak 10 kali setinggi dan secepat mungkin. Pemeriksa menilai
kecepatan, amplitudo dan penurunan amplitudo, serta terhentinya gerakan
Pada keadaan normal, pasien dapat melakukan gerakan sebanyak 10 kali
dengan cepat tanpa penurunan amplitudo. Pada pasien dengan bradikinesia
didapatkan gerakan yang lambat, atau amplitudo yang semakin menurun, atau
gerakan tampak terhenti dan tidak lancar.
2. Rigiditas
Rigiditas merupakan salah satu gejala utama Parkinsonism. Pada tahap awal,
rigiditas ditemukan pada otot proksimal dan kemudian menyebar ke otot bagian
13
distal. Rigiditas dapat ditemukan pada seluruh otot, dengan dominasi di daerah leher,
trunkal, dan otot fleksor ekstremitas. Ada beberapa teknik pemeriksaan untuk menilai
rigiditas, antara lain seperti berikut ini.
Pasien diperiksa dalam keadaan duduk atau berbaring, dengan posisi rileks.
Pemeriksaan dilakukan pada kedua sisi secara terpisah. Pemeriksa menggerakan
persendian besar pada ekstremitas dan sendi leher secara pasif. Pada leher, pemeriksa
menggerakkan leher ke berbagai arah secara pasif. Pada lengan, pemeriksaan
dilakukan pada sendi pergelangan tangan dan siku sekaligus. Pada tungkai,
pemeriksaan dilakukan pada sendi panggul dan lutut sekaligus.
Selain cara pemeriksaan di atas, ada beberapa teknik yang juga dapat digunakan
untuk menilai rigiditas, yaitu shoulder shaking test.
14
Gambar 12: Pemeriksaan mengguncang bahu
3. Tremor
• Tremor Istirahat
16
Gambar 14: Postur dan cara berjalan pasien dengan penyakit Parkinson stadium
lanjut. Panjang langkah sangat berkurang dibandingkan normal.
4. Instabilitas Postural
Pada pasien dengan instabilitas postural, pasien tidak dapat berdiri dengan
sempurna sehingga perlu mencondongkan diri ke depan untuk berdiri atau
gerakan menjadi lambat saat berdiri atau pasien harus melakukan beberapa kali
usaha untuk berdiri atau tidak dapat berdiri sama sekali.
17
• Tes Retropulsi
Pasien dalam posisi berdiri, dengan jarak kedua kaki selebar bahu. Pemeriksa
berada di belakang pasien. Pemeriksa menjelaskan prosedur pemeriksaan terlebih
dahulu kepada pasien. Pemeriksa menarik kedua bahu pasien ke belakang. Tarikan
pertama merupakan demonstrasi, lebih ringan dan tidak dinilai. Selanjutnya,
pemeriksa menarik dengan cepat dan cukup kuat sampai menyebabkan perpindahan
pusat gravitasi, sehingga pasien harus melangkah ke belakang. Pemeriksa
memperhatikan jumlah langkah pasien ke belakang dan apakah pasien dapat
mempertahankan posisi berdiri.
Dalam keadaan normal, pasien dapat menjaga keseimbangan tubuhnya atau
mundur 1-2 langkah. Tes retropulsi dinyatakan positif apabila pasien mundur lebih
dari 2 langkah atau tidak dapat mempertahankan posisi berdiri (terjatuh).
18
2.1.1.5 Progresifitas Parkinson dengan Staging Braak
• Tahap 1 : melibatkan system saraf perifer, system olfaktori, medulla oblongata nervus
vagus, dan nervus glossopharingeus.
• Tahap 2 : melibatkan pons dan substansia abu abu medulla spinalis
• Tahap 3 : melibatkan pons, basal forebrain, midbrain, dan system limbik.
• Tahap 4: melibatkan system limbik, thalamus, dan korteks temporal
• Tahap 5 & 6 : melibatkan regio korteks multiple.
19
Tabel 3: Stadium penyakit Parkinson berdasarkan Hoehn and Yahr
20
2.1.1.7 Diagnosis & Diagnosis Banding Parkinson
• MRI : untuk menyingkirkan DD lain seperti parkinsonisme vascular, penyakit Wilson, dan
parkinsonisme atipikal
• PET (Positron Emission Tomography) dan SPECT (Single Photon Emission Computed
Tomography) : untuk membedakan dengan sindrom parkinsonime atipikal lain / tremor
essensial
2.1.1.8 Tatatalaksana
A. Tatalaksana Non-medikametosa:
Latihan secara teratur sangat penting untuk meningkatkan mobilitas yaitu dengan
memperbaiki pola berjalan (gait) dan meminimalisasi risiko jatuh, meringankan
ketidaknyamanan muskuioskeletal, mencegah sendi kaku, dan mengurangi
kecenderungan terjadinya kontraktu atau deformitas. Luaran dari latihan ini diharapkan
dapat memperbaiki kernandirian secara signifikan yang diukur dengan skor activity dailv
living (ADL) dan motorik UPDRS. Selain itu, terapi wicara serta latihan menelan juga
sangat bermanfaat untuk pasien[2].
B. Tatalaksana Medikamentosa:
1. Neuroprotektor
Terapi simtomatik pada umumnya efektif pada stadium awal penyakit. Namun
dengan berjalannya waktu, sebagian besar pasien akan mengalami penyulit yang
beragam dan disabilitas yang berkelanjutan akibat progresifitaspenyakit. Oleh
karena itu, perlupemberian terapi untuk memperlambat ataumenghentikan
progresifitas penyakit.
Beberapa agen farmakologis yang digunakan untuk pengobatan penyakit
Parkinson, juga memiliki properti yang berpotensi sebagai neuroprotektor, tetapi
agen- agen inipun belum memberikan hasil yang memuaskan. Adapun agen
farmakologis yang dimaksud antara lain:
● Inhibitor MAO-B seperti selegin dan rasagilin Kedua agen ini memiliki cincin
propargil yang memiliki efek antia-poptotik. Studi DATATOP (selegilin) dan
ADAGIO (rasagilin) meragukan bahwa luaran baik dari terapi terse-but semata-
mata karena efek neu-roprotektif.
21
● Agonis dopamin seperti pramipeksol Stimulasi pada reseptor dopaminergic
presinap menyebabkan penurunan distribusi dopamin endogen dan mengurangi
turnover dopamin pada neuron dopaminergic.
● Vitamin D dan koenzim Q10 juga menjadi kandidat agen neuroprotektif.
22
2. Simptomatik
Levodopa merupakan agen farmakologis yang paling efektif dan meniadi baku
emas pada studi agen farmakolngis baru. Sekalipun demikian, levodopa memiliki
resiko tinggi terjadinya komplikasi motorik. Dosis harian lebih dari 40C mg/hari,
durasi lebih dari 5 tahun, serta usid muda memiliki risiko komplikasi motorik yang
lebih tinggi.
23
Tabel 4b: Algoritma Penatalaksanaan Penyakit Parkinson
2.2 Hiperkinetik
Gangguan gerak hiperkinetik adalah gangguan yang ditandai dengan adanya gerakan
abnormal yang berlebihan dan involunter. Contoh gangguan gerak hiperkinetik adalah
chorea, distonia, mioklonus, tic, dan tremor.
Menurut penelitian terhadap gangguan gerak hiperkinetik akut yang dilakukan di Italia,
gangguan gerak pada anak-anak dapat ditemukan pada rentang umur 2 bulan sampai 17
tahun. Berdasarkan kelompok umurnya, gangguan gerak ini paling banyak ditemukan pada
usia anak sekolah (46,1%), diikuti dengan usia bayi atau balita (27,3%), usia anak pra-
sekolah (16,8%), dan usia remaja (9,8%). Pada penelitian yang sama, disebutkan pula
bahwa gangguan gerak yang paling sering terjadi adalah tic (44,5%) dan tremor (21,1%).
24
Berdasarkan jenis kelamin, gangguan gerak hiperkinetik lebih sering ditemukan pada anak
laki-laki dibandingkan anak perempuan dengan rasio sebesar 7 dibanding 5.
2.2.1 Tremor
Tremor merupakan gangguan gerak berupa osilasi, yang bersifat ritmis dan
sinusoidal, pada satu atau lebih bagian tubuh. Klasifikasi tremor sangat beragam, dapat
dibedakan berdasarkan lokasi, kecepatan, amplitudo, hubungan dengan aktivitas,
etiologi dan patologi. Berdasarkan patologi, tremor dibagi menjadi dua kelompok besar,
yaitu tremor fisiologis dan tremor patologis. Pada tremor fisiologis, seringkali getaran
tidak dapat dilihat dengan mata, dengan frekuensi 8-13Hz. Tremor ini dikaitkan dengan
kelelahan, emosi, suhu, alkohol, obat-obatan dan gangguan metabolik. Tremor patologis
memiliki gambaran klinis beragam sesuai dengan patofisiologi dan etiologi. Berdasarkan
gambaran klinis, tremor dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu tremor istirahat dan
tremor aksi.
Tremor istirahat sudah dijelaskan pada bagian parkinsonism. Tremor aksi muncul
pada saat pasien melakukan aktivitas. Jenis tremor ini dibedakan menjadi tremor
postural, kinetik, dan isometrik. Tremor postural muncul pada saat mempertahankan
postur tubuh tertentu, melawan gaya gravitasi (contoh: merentangkan kedua tangan ke
depan).
Tremor kinetik merupakan tremor yang muncul pada saat melakukan gerakan
volunter. Contoh yang paling sering ditemukan adalah tremor intensi pada lesi serebelar.
Tremor intensi sering ditemukan pada suatu gerakan yang membutuhkan ketepatan.
Tremor ini muncul atau bertambah amplitudonya pada saat mendekati target. Pada task-
25
specific tremor, tremor muncul pada saat melakukan gerakan yang membutuhkan
keterampilan, seperti bicara, menulis, atau bermain alat musik. Tremor kinetik sederhana
(simple kinetic tremor) muncul pada gerakan ekstremitas sederhana seperti pronasi-
supinasi atau fleksi- ekstensi pergelangan tangan. Tremor isometrik merupakan tremor
yang muncul saat melakukan gerakan volunter melawan tahanan konstan, seperti
mendorong dinding atau menekan telapak tangan pemeriksa.
2.2.1.1 Anatomi dan Patofisiologi
Seluruh sistem motorik diatur oleh sirkuit dari korteks serebri ke tingkat
medula spinalis secara timbal balik. Sirkuit utama yang mengendalikan gerakan
motorik volunter dan involunter adalah sirkuit antara (a) korteks motorik dan
ganglia basal, (b) serebelum dan batang otak (traktus serebelorubroolivarius) dan
(c) serebelum, nukleus talamikus, dan korteks motorik (traktus
serebelotalamokortikal dan kortikopontoserebelar). Sebagai tambahan, terdapat
hubungan resiprokal dengan sirkuit motorik di batang otak dan spinal.
Pada tremor, terdapat gangguan mekanisme yang kompleks pada sirkuit
motorik tersebut akibat peningkatan eksitabilitas neuron akibat hiperpolarisasi
membran sel atau perubahan kanal ion intrasel. Sirkuit motorik terdiri dari
berbagai osilator dependen yang dapat saling berpasangan dan menyebabkan
26
tremor. Berbagai tremor patologis dibedakan dari topografi dan komponen yang
terlibat. Namun hipotesis ini masih dalam perdebatan.
27
Pasien dalam posisi duduk dan diminta merentangkan kedua lengan ke depan
dengan kedua siku ekstensi sempurna. Pasien diminta untuk mempertahankan posisi
tersebut, dan diobservasi selama 10 detik. Pemeriksa memperhatikan adanya tremor,
amplitudo tremor dan membandingkan kesimetrisan antara sisi kanan dan kiri.
28
Gambar 19: Pemeriksaan tremor intensi
Tremor intensi dinyatakan positif apabila didapatkan tremor yang muncul saat
mendekati target. Pemeriksa juga memperhatikan apakah tremor bersifat
simteris/asimetris.
Gambar 20: Interpretasi pemeriksaan tremor intensi (kiri) Normal; (kanan) Tremor
intensi positif dengan amplitudo meningkat pada saat mendekati target
2.2.1.4 Tatalaksana
a. Tremor esensial
Tremor esensial (tremor herediter, tremor familial, tremor esensial benigna)
merupakan tremor aksi bilateral pada tangan, lengan, dan kepala yang berkembang
progresif lambat dalam waktu sedikitnya 3 tahun. Onset tremor meningkat pada usia
dekade kedua dan keenam dan mengenai 95% pada tangan dengan frekuensi rendah dari
kaki, 34% kepala, 20% kaki, 12% suara, 5% wajah dan 5% pada badan. Frekuensi tremor
4-12 Hz. Dengan amplitudo meningkat dengan stress, kelelahan, dan obat-obatan seperti
stimulant SSP, dan pada aktivitas volunter seperti memegang garpu atau cangkir. Etiologi
dan patofisiologi tremor esensial belum pasti. Sekitar 50% tremor esensial disertai riwayat
keluarga, yang merupakan penyakit autosomal dominan.
Tremor esensial klasik dapat disebabkan adanya abnormalitas pada segitiga
Guillain-Mollaret (nukleus ruber, nukleus oliva, dan serebelum). Tremor esensial non-
klasik atau tremor esensial tak terklasifikasi ialah tremor yang disertai gejala-gejala
neurologis lainnya, seperti ataksia, bradikinesia ringan, atau hipomimia; atau menjadi
tremor istirahat. Hal ini dapat disalah diagnosis dengan penyakit Parkinson, namun pada
tremor esensial, tonus otot dan kekuatan otot normal.
29
Penatalaksanaan pada tremor esensial dapat dilakukan dengan beberapa terapi
seperti simtomatik, kuratif, atau neuroprotektif walaupun tremor tidak dapat dihilangkan.
Pada terapi simtomatik, medikasi sebaiknya dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan
perlahan-lahan sampai dosis maksimal atau tampak efek terapinya. Berdasarkan parameter
praktis untuk pengobatan tremor esensial yang dipublikasikan oleh the American
Academy of Neurology dinyatakan pengobatan lini pertama tremor esensial meliputi
propanolol (Inderal) (60-800 mg/hari) dengan dosis awal 30 mg/hari, dan dapat diberikan
dalam jangka panjang. Kontraindikasi relatif propanolol meliputi asma, gagal jantung
kongestif, diabetes melitus, blok atrioventrikular, dan penyakit paru ubstruktif kronik
(PPOK). Efek samping propanolol meliputi pusing, kelelahan, impotensi, bradikardia,
perubahan kadar gula darah, dan hipotensi. Primidone (Mysoline) merupakan pengobatan
lini pertama pada pasien usia tua dan pasien kontraindikasi β-bloker. Primidone adalah
antikonvulsan yang dimetabolisme menjadi feniletilmalonamid (PEMA) dan fenobarbital.
Pemberian dimulai dari dosis kecil 62,5-250 mg/hari dan ditingkatkan perlahan-lahan
sampai 750 mg/hari setara dengan propanolol 120 mg/hari, efektif mengurangi tremor
ekstremitas pada tremor esensial. Efek samping primidone dapat ditemukan bahkan pada
awal terapi, meliputi sedasi, kelelahan, nausea, vomitus, ataksia, malaise, pusing, konfusi,
vertigo, dan reaksi toksik akut. Kombinasi propanolol dan primidone direkomendasikan
jika pengobatan dengan salah satunya tidak adekuat. Pengobatan lini kedua pada tremor
esensial meliputi gabapentin, topiramate, clozapine, benzodiazepine kerja lama
(Clozepam), dan injeksi lokal toksin botulinum. Pada kasus tremor esensial berat yang
resisten terhadap obat-obatan, dapat dilakukan tindakan bedah meliputi stimulasi otak
frekuensi tinggi (Deep brain stimulation, DBS) dan thalamothom.
b. Tremor Parkinson
Penyakit Parkinson merupakan penyebab tremor tersering kedua pada orang
dewasa. Tremor ini merupakan tremor istirahat pill rolling, fleksi-ekstensi siku, atau
pronasi-supinasi lengan dengan frekuensi 4-6 Hz dan amplitudo sedang yang dimulai pada
salah satu sisi tubuh (tangan, kepala, badan, rahang, bibir), biasanya pada lengan bagian
distal dan dapat bertahan selama bertahun-tahun sebelum sisi tubuh kontralateral ikut
mengalami tremor. Penyakit Parkinson disebabkan oleh degenerasi lambat saraf-saraf
dopaminergik inhibitor dan eksitatorik pada area substansia nigra pars kompakta, yang
30
menyebabkan nukleus intermedia ventral di talamus menjadi overaktif, sehingga
menyebabkan tremor. Penyakit Parkinson memiliki tanda-tanda neurologis lain seperti
bradikinesia, rigiditas, dan instabilitas postural. Gejala tremor pada penyakit Parkinson
sering ditemukan setelah usia 50 tahun, namun terdapat onset awal, yaitu sekitar usia 20
tahun, dimana biasanya diawali dengan tremor esensial. Sekitar 50% pasien juga
mengalami tremor postural dengan frekuensi yang sama atau lebih tinggi daripada tremor
istirahat. Penatalaksanaan tremor Parkinson berupa penggunaan obat-obatan hanya
dibutuhkan jika tremor ini disertai gejala-gejala yang lain dari penyakit Parkinson.
Antiparkinson diberikan mulai dari dosis kecil dan dinaikkan bertahap sesuai frekuensi
dan kekuatan tremor. Pengobatan lini pertama yaitu antikolinergik seperti benztropine
mesylate, biperiden dosis 1-12 mg dinaikkan 2 mg tiap minggu, triheksifenidil dengan
dosis 1-10 mg dinaikkan 2 mg tiap minggu, terutama pada usia muda. Efek samping
meliputi retensi urin, konstipasi, konfusi terutama pada usia lanjut, halusinasi, mulut
kering, glaukoma, defisit memori. Jika pengobatan antikolinergik tidak adekuat, dapat
diberikan glutamat agonis seperti amantadine dengan dosis 100-300 mg/hari. Jika dosis
toleransi maksimum terhadap kedua obat tersebut tidak berhasil, obat tersebut dihentikan
dan diganti dengan levodopa-carbidopa 50-600 mg/hari dibagi dalam 2-3 dosis per hari
dengan dosis awal 50 mg/hari. Pada pemberian levodopa-carbidopa (Sinemet), kadar obat
dalam darah berfluktuasi sehingga menyebabkan fenomena on-off dan terjadinya
diskinesia, sehingga sebaiknya diberikan dosis kecil pada interval pengobatan. Dopamin
agonis seperti bromokriptin 5-20 mg/hari dinaikkan 5 mg/minggu dapat membantu
mengurangi fenomena on-off dan menurunkan dosis levodopa. Pemberian neuroleptik
atipikal berupa clozapine 12,5-75 mg/hari dinaikkan 12,5 mg/hari juga dapat mengurangi
tremor istirahat. Efek samping meliputi sedasi, agranulositosis, dan leukopenia, sehingga
membutuhkan hitung jenis darah regular. Propanolol dapat diberikan sebagai terapi
tambahan pada tremor postural dan kinetic pada penyakit Parkinson. Pembedahan
fungsional dilakukan pada tremor yang resisten terhadap obat-obatan, meliputi
thalamotomy (thermocoagulation) dan DBS.
c. Tremor serebelaris
Tremor serebelaris merupakan tremor aksi dengan frekuensi kurang dari 5 Hz,
unilateral atau bilateral dan tidak ditemukan pada keadaan istirahat. Ada dua bentuk tremor
31
serebelaris yaitu tremor postural (2-4 Hz) dan tremor kinetik (3-5 Hz). Penatalaksanaan
tremor serebelaris sangat sulit. Beberapa penelitian terbuka mengatakan pemberian
clonazepam, carbamazepine, dan ondansetron (antagonis serotonergik) menunjukkan
perbaikan. Terapi simtomatik yang paling baik ialah thalamotomy dan DBS pada ventral
intermediate nucleus of the thalamus (Vim). Terapi bedah hanya memperbaiki tremor saja
sedangkan gejala ataksia tidak dapat dihilangkan.
e. Tremor dystonia
Tremor dystonia merupakan tremor yang terjadi pada bagian tubuh yang
dipengaruhi distonia seperti tangan, kepala, dan leher. Tremor bersifat irregular dan
menyentak-nyentak (jerky) dengan frekuensi bervariasi (<7 Hz) dan biasanya menghilang
saat istirahat. Etiologi tremor ini tidak diketahui, namun diduga melibatkan ganglia basalis.
Penatalaksanaan mengobati penyebab, biasanya melalui injeksi toksin botulinum untuk
tremor kepala 40-400 unit pada otot yang terkait dan untuk tangan dengan dosis 50-100
unit pada otot agonis/antagonis yang mengalami tremor. Jika tremor tidak membaik, dapat
32
diberikan antikolinergik seperti triheksifenidil dan anti-distonik baclofen, serta
benzodiazepine. Alternatif lainnya meliputi propanolol, primidone, levodopa, neuro-
leptik, carbamazepine, dan tetrabenazine. Pada kasus tremor yang berat, dapat dilakukan
DBS pada globus palidus atau talamus ventrolateral dan rhizotomy dorsal selektif.
g. Tremor neuropatik
Tremor neuropatik merupakan salah satu manifestasi neuropati perifer. Tremor ini
lebih sering dijumpai pada neuropati demielinisasi daripada aksonal, terutama pada
polineuropati demielinisasi kronik akibat antibodi IgM terhadap glikoprotein yang
berhubungan dengan mielin (MAG), polineuropati paraproteinemia, neuropati motorik
dan sensorik, dan sindrom Guillain-Barre kronik. Karakteristik tremor ini menyerupai
tremor esensial, bertambah parah saat pasien mempertahankan tangan mendekati target,
dan hanya terdapat pada anggota gerak yang terkena neuropati. Bentuknya lebih irregular
33
daripada tremor esensial. Penatalaksanaan tremor ini dengan mengobati penyebab
neuropati. Pemberian beta-bloker seperti propanolol efektif pada tremor yang
berhubungan dengan chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy (CIDP),
neuropati sensorik dan motorik herediter (HMSN) tipe I, atau sindrom Guillain-Barre.
Primidone dengan dosis yang sama pada tremor esensial dan clonazepam juga dapat
diberikan.
2.2.2 Distonia
Distonia didefinisikan sebagai gerakan abnormal yang memiliki karakteristik
berupa kontraksi otot terus menerus atau intermiten yang menyebabkan postur abnormal.
Gerakan distonia yang tipikal memiliki pola berulang dan menyerupai gerakan memutar
(twisting). Gerakan dapat juga menyerupai tremor. Distonia seringkali diinisiasi atau
diperburuk oleh aktivitas volunter dan dikaitkan dengan aktivasi otot yang bersifat
overflow.
Setelah mengidentifikasi distonia, maka langkah selanjutnya adalah menentukan
kelompok distonia. Hal ini penting untuk mengarahkan klinisi kepada etiologi distonia,
sehingga akan meminimalisir pemeriksaan penunjang yang diminta untuk menegakkan
diagnosis. Berdasarkan konsensus yang disebutkan sebelumnya, klasifikasi distonia
dibagi menjadi dua aksis, yaitu (1) aksis karakteristik klinis; dan (2) aksis etiologi.
Deskripsi kedua aksis tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
34
Tabel 6 : Klasifikasi tremor berdasarkan manifestasi klinisnya
35
mengakibatkan hilang atau berkurangnya inhibisi sekitar dan peningkatan
aktivitas talamokortikal.
2.2.2.2 Anamnesis
Pada tahap awal, pemeriksa mengonfirmasi apakah gangguan gerak dapat
dikendalikan atau tidak. Pada gerakan involunter, biasanya gerakan tidak dapat
dikendalikan, dan berkurang atau menghilang pada saat tidur. Langkah berikutnya
adalah deskripsi gejala yang dialami pasien.
Pada distonia, didapatkan gerakan tertarik atau terpuntir yang dapat
menyebabkan perubahan postur. Gerakan ini dapat dicetuskan oleh suatu gerakan
volunter tertentu. Fase diurnal merupakan salah satu informasi penting dalam
menentukan diagnosis. Pemeriksa harus mengidentifikasi aktivitas tertentu yang
mencetuskan gejala, seperti menulis atau bermain musik. Distonia seringkali
memberat dengan stres atau kecemasan. Faktor-faktor yang memperingan antara
lain posisi berbaring atau dengan melakukan sensory trick.
Sensory trick, yaitu suatu manuver tertentu yang dapat mengurangi gejala
distonia, merupakan fenomena yang khas pada distonia. Manuver dapat
bervariasi antar individu dan umumnya selalu sama pada satu individu. Beberapa
contohnya adalah menyentuhkan tangan di kelopak mata pada kasus
blefarospasme, menggunakan syal di leher pada distonia servikal, atau
mengunyah permen karet pada distonia oromandibular. Namun, manuver tidak
terbatas pada yang disebutkan tersebut. Komponen anamnesis lain dilakukan
sesuai dengan pendekatan umum pada kasus gangguan gerak.
2.2.2.3 Pemeriksaan
Penegakan diagnosis pada kasus distonia bergantung pada anamnesis dan
observasi klinis. Secara umum, tidak ada teknik pemeriksaan khusus pada kasus
distonia, kecuali pada beberapa kasus distonia spesifik. Pada observasi harus
diamati secara teliti dan menyeluruh hal-hal berikut ini:
1. Deskripsi gerakan, gambaran gerakan atau posturyangterlihat.
Fenomenologi gangguan gerak bersifat tunggal atau kombinasi.
36
2. Pola gerakan, gerakan distonia biasanya berpola, tidak seperti chorea yang
ireguler. Tiap kali gerakan distonia muncul, biasanya memiliki arah gerakan
tertentu dengan pola yang sama.
3. Kontinuitas, berdasarkan definisi terbaru, kontraksi otot pada distonia dapat
berkelanjutan (sustained) atau intermiten. Dengan demikian, perlu
diperhatikan durasi gerakan atau ada tidaknya postur distonik.
4. Sensory tricks, manuver tertentu yang dapat mengurangi gerakan abnormal
sementara.
5. Distribusi, bagian tubuh mana saja yang mengalami gerakan atau postur
abnormal Pemeriksaan yang dapat dilakukan pada distonia spesifik, antara lain:
A. Distonia Servikal.
Pemeriksa melakukan palpasi leher dan sekitarnya untuk
mendeteksi adanya hipertrofi otot, serta mengevaluasi gerakan leher
pada berbagai arah misalnya rotasi ke kanan/kiri,
anterojretrofleksi,laterofleksi ke kanan dan kiri. Pemeriksa juga
menentukan apakah distonia servikal termasuk dalam jenis colli atau
caput dengan menggunakan penanda:
• Bagian ventral: prominensia laring (Adam's apple) dan insisura
juguhlris interna.
• Bagian sagital: meatus akustikus ekternus dan skapula.
Pada tipe caput, akan terlihat prominensia laring (Adam's apple)
dan insisura jugularis dalam posisi segaris pada saat leher rotasi atau
laterofleksi. Hal ini akan terjadi sebaliknya pada tipe calli. Pada kondisi
anterojretrofleksi, pada tipe caput, akan terlihat meatus akustikus
ekternus dan skapula dalam posisi segaris, dan sebaliknya pada tipe
calli. Penentuan tipe caput dan calli dapat membantu menentukan otot
yang mengalami kontraksi dominan, sehingga membantu dalam
menentukan titik injeksi toksin botulinum untuk terapi distonia. Pada
tipe caput, otot yang berkontraksi, yakni dari kepala hingga vertebra Cl
dan tipe calli dari vertebra C3-C7.
Pada distonia subtle di mana abnormalitas postur tidak jelas terlihat,
pasien dapat diminta untuk menutup mata, rileks, serta membiarkan
37
leher bergerak ke arah yang dirasakan paling nyaman. Hal ini dapat
memunculkan distonia.
B. Blefarospasme.
Pemeriksa mengamati peningkatan kedipan mata serta gerakan
otot orbikularis okuli yang berulang dengan pola sama, bilateral, serta
sinkron, yang diikuti dengan menutupnya kelopak mata atau
menyempitnya celah palpebra. Selain itu pemeriksa mengamati apakah
terdapat apraxia ofeyelid opening (AEO). Pada AEO, terjadi kesulitan
membuka kembali kelopak mata secara volunter setelah menutup mata.
Dengan bantuan manual berupa elevasi kelopak mata, pasien dapat
membuka kelopak mata. Berbeda dengan blefarospasme, pada AEO tidak
ditemukan spasme otot orbukularis okuli, meskipun terdapat kontraksi
otot frontalis. AEO dapat terjadi secara terisolir dengan penyebab yang
bervariasi. Sejumlah literatur saat ini menggolongkannya sebagai varian
blefarospasme.
C. Distonia tungkai.
Pemeriksa mengamati gerakan tungkai. Pada gerakan berjalan,
dapat terjadi torsi pada plantar pedis yang menyerupai spastisitas. Pada
spastisitas, hipertonia berlangsung konstan. Pada distonia, hipertonia
bervariasi tergantung pada cara berjalan yang berbeda, misalnya pada
distonia, gerakan atau postur abnormal dapat berkurang pada gerakan
mundur.
38
2.2.2.4 Tatalaksana
a. Spasmodic Torticollis (Distonia Servikal Idiopatik)
Tortikolis spasmodik resisten terhadap pengobatan dengan L-dopa dan agen
antiparkinson lainnya, meskipun terkadang gejala dapat berkurang sementara jika diberikan.
Pada beberapa pasien, gejala dapat hilang tanpa terapi. Gejala dapat kambuh kembali dalam
waktu 5 tahun setelahnya. Pengobatan dapat dilakukan dengan injeksi toksin botulinum
dalam jumlah kecil secara berkala (setiap 3 sampai 4 bulan). Pemberian toksin botulinum
dalam jumlah besar secara langsung ke beberapa tempat di otot yang terkena sejauh ini
merupakan bentuk pengobatan yang paling efektif. Injeksi dapat dipandu dengan palpasi otot
yang tegang (spasme) disertai analisis EMG untuk menentukan otot mana yang berkontraksi
secara tonik. Efek samping (kelemahan berlebihan otot yang disuntikkan, nyeri lokal dan
disfagia—yang terakhir disebabkan oleh efek sistemik toksin) biasanya ringan dan bersifat
sementara. Pasien juga dapat menjadi resisten terhadap suntikan berulang karena
pengembangan antibodi penawar terhadap suntikan toksin tersebut (Dauer dkk). Dalam kasus
yang parah dan sulit disembuhkan dengan pengobatan toksin botulinum, sectioning bagian
aksesori tulang belakang saraf (dari sternomastoid yang lebih terkena) dan tiga yang pertama
akar motorik serviks secara bilateral dapat mengurangi kejang otot tanpa melumpuhkannya
sepenuhnya (Krauss dkk, Ford dkk). Thalamotomi bilateral kurang efektif dan membawa
risiko yang cukup besar, terutama pada proses bicara dan menelan.
b. Blefarospasme
Berbagai obat anti parkinson, antikolinergik, dan obat penenang dapat digunakan.
Terkadang blefarospasme menghilang secara spontan (pada 13 persen kasus pada rangkaian
Jancovic dan Orman). Pengobatan yang paling efektif terdiri dari suntikan toksin botulinum
ke beberapa tempat di orbicularis oculi dan sekitarnya (otot wajah). Manfaatnya bertahan
selama 3 sampai 5 bulan, jika siklus berulang pengobatan biasanya diperlukan. Termolitik
pada sebagian serat di cabang saraf wajah yang mempersarafi otot orbicularis oculi dilakukan
jika kasus sudah resisten.
39
c. Distonia Tungkai
Suntikan toksin botulinum pada otot tangan dan lengan bawah (Cohen et al, Rivest et al)
merupakan bentuk terapi yang paling efektif dan banyak dilakukan. Pemberian electric shock
pada otot yang terkena (spasme) terkadang dilakukan namun terapi ini belum teruji sepenuhnya.
40
Gambar 23: Gambar Percabangan N. Fasialis (4).
Cabang-cabang nervus fasialis bertanggung jawab untuk mempersarafi
banyak otot kepala dan leher.Cabang motorik pertama muncul di dalam kanal
wajah; saraf ke stapedius. Saraf ini melewati eminentia pyramidalis untuk
menginervasi otot stapedius di telinga tengah. (4).
Di antara foramen stylomastoid dan kelenjar parotis, tiga cabang motorik
lainnya keluar: (4)
1. Saraf aurikularis posterior - Naik ke depan proses mastoid, dan
menginervasi otot intrinsik dan ekstrinsik telinga luar. Saraf ini juga
menginervasi bagian oksipital dari otot oksipitofrontalis.
2. Saraf ke otot digastrik menuju perut posterior - Menginervasi perut bagian
posterior
3. Saraf ke otot stylohyoid - Menginervasi otot stylohyoid (otot suprahyoid
pada leher). Otot ini bertanggung jawab untuk mengangkat tulang hyoid.
Di daerah wajah, persarafan nervus fasialis komponen motorik dibagi menjadi
lima cabang yaitu : (4)
1. Cabang temporal-inervasi M. Frontalis, M. Orbikularis okuli, M.
Corrugator supecilii
41
3. Cabang buccal- inervasi M. Orbikularis oris, M. Buccinator, M.
Zygomaticus
Gambar 23: Lima Percabangan N. Fasialis beserta otot wajah yang diinervasi (4)
2.2.3.2 Klasifikasi
1. Hemifasial Spasme Primer(1).
Hemifaisal spasme primer banyak dijumpai akibat dilatasi, distensi, atau
deviasi dari a. Cerebralis inferior anterior (AICA) – 43%, a.cerebralis inferior
posterior (PICA) – 31%, a. Basalis/vertebralis- 23%. Proses yang terjadi pada
HFS diyakini akibat kerusakan mielin dan transmisi ephatic pada pintu keluar
N. Fasialis, hingga pasase impuls neuronal terhambat sehingga terdapat
penurun ambang rangsang dan terjadi eksitasi ektopik ke neuromuscular
junction yang menimbulkan gerakan involunter pada otot fasialis. Nerve root
entry zone merupakan area transisi antara sel mielinisasi sentral dan perife
sehingga daerah ini hanya dilapisi oleh membran araknodial dan miskin
jaringan interfasikular dan epinerium sehingga rentan terhadap kompresi yang
menyebabkan kerusakan mielin.
42
Bedasarkan pola kompresi neurovaskular, terdapat 6 kategori yaitu:
1) Loop type; pembuluh darah berjalan mengelilingi dan menjepit
nervus.
2) Arachnoid type; trabekula aralnoid antara pembuluh darah dan
batang otak sempit yang menjerat nervus
3) Perforator type; jeratan nervus oleh cabang-cabang arteri perforata
yang menmpel di batang otak.
4) Branch type;nervus terperangkap antara pembuluh darah dan
cabang-cabangnya.
5) Sandwich type; nervus terjepit di antara dua pembuluh darah yng
berbeda.
6) Tandem type; satu pembuluh darah lain menekan pembuluh darah
yang mengkompressi nervus.
Kelainan pembuluh darah ini dapat memengaruhi fungsi nervi kranialis lain
yang letaknya berdekatan dengan manifestasi yang paling sering dijumpai
yaitu; neuralgia trigeminal, nuralgia glossofaringeal, vertigo posisional, dan
tinitus.
2. Hemifasial Spasme Sekunder(1).
Hemifasial spasme sekunder terjadi bila ada kerusakan atau iritasi
N.Fasialis sepanjang kanalis auditorik interna dan foramen stilomastoid. HFS
sekunder dilaporkan pada kasus tumor cerebellopontine angle (CPA),
malformasi arteriovenosus, paralisis traumatik N.Fasialis, penyakit
demielinisasi, infeksi, dan cedera vaskular.
2.2.3.3 Diagnosis
Diagnosis banding dari HFS adalah blefarospasme, distonia oromandibular,
diskinesia tardif, tiks motorik, spasme hemmastikatorius, miokimia, bangkitan
fokal ( seizure) yang melibatkan otot wajah, dan regenerasi abberant pasca cedera
N. Fasialis, serta spasme fasial psikogenik(1).
Pada Blefarospasme kontraksi terjadi secara bilateral, sementara HFS hampir
selalu unilateral. Pada HFS bilateral, kontraksi otot wajah di kedua sisi terjadi
secara asimetri, sedangkan pada blefarospasme kontraksi pada kedua sisi wajah
43
terjadi simetris dan bersamaan. Tanda Babinsky II dan tanda Charcot merupakan
pemeriksaan yang dapat menguatkan diagnosis HFS(1).
Pemeriksaan fisik neurologis rutin perlu dikerjakan pada setiap pasien
dengan keluhan HFS untuk menyingkirkan defisit neurologis fokal. MRI dapat
pula digunakan untuk melihat kopresi neurovaskular(1).
44
• Tanda Babinsky II. Fenomena Babinsky II, dikenal juga sebagai tanda
Babinsky lain, atau brow-lift sign merupakan pemeriksaan dengan sensitifitas
(86%) dan spesifitas yang tinggi (100%) untuk mendiagnosis HFS. Pada
fenomena ini dikatakan positif bila terjadi elevasi alis ipsilateral saat
kontraksi Mm. Frontalis terhadap spasme fasialis yang menunjukan aktivitas
asinkron antara Mm. Frontalis dan Mm. Orbikularis okuli(1).
2.2.3.4 Tatalaksana
Tatalaksana medikamentosa untuk HSF meliputi(1).
o Antikonvulsan (karbamazepin, klonazepam, dan golongan benzodiazepin
lainya).
o Obat Gabanergik (baklofen, gabapentin, pregabalin).
o Injeksi BoNT secara lokal.
Tatalaksana non medikamentosa untuk HSF meliputi(1).
45
o Tindakan operatif dekompresi mikrovaskular (memisahkan pembuluh darah
yang menekan nervus).
2.2.4 TICS
Tics seringkali memberat saat stres dan cemas. Pada beberapa kasus, tics dapat tetap
muncul ketika tidur. Tics terjadi hilang timbui diselingi periode bebas tics selama
beverapa menit hingga jam. Sindrom Tourette merupakan suatu sindrom yang ditandai
dengan terjadinya setidanya 2 tics motorik dan 1 tics vokal pada satu individu(1).
2.2.4.1 Klasifikasi
Pada tics vokal kompleks didapatkan ekolalia, koprolalia, dan palilalia. Ekolalia
adalah pengulangan kata, frase, atau kalimat yang diucapkan oleh orang lain,
koprolalia berarti mengucapkan kata-kata vulgar secara kompulsif dan involunter,
sedangkan palilalia berupa pengulangan kata, frase, atau kalimat dengan kecepatan
yang semakin meningkat(1).
2.2.4.2 Epidemiologi
2.2.4.3 Etiologi
Faktor genetik diduga berperan besar sebagal etiologi dari ties dan sindrome
Tourette. Dua gen yang telah diidentifikasi dan diduga merupaken penyebab
potensiai adelah gen slit dan Trk-like1 (SLITRK1) pada kremosom 13q31.1 dan gen
L-histidine decarboxylose (HDC) pada kromosom 15q21.3. Walaupan faktor
genetik herperan besar, tics dan sindrom Tourette juga diperkirakan dapat
disebabkan oleh proses infeksi, Inflamasi, imunologi, trauma/cedera otak, stroke,
efek samping obat-obatan neuroleptik, dan lain-lain (1).
2.2.4.4 Patofisiologi
Patofisiologi tics dan sindrom Tourette belum diketahui secara pasti, tetapi
diduga terjadi gangguan transmisi sinaptik yang melibatkan disinhibisi sirkuit
striatal- talamokortikal. Struktur. yang terlibat terutama nukleus kaudatus dan
korteks prefrontal inferior. Tics ditandai dengan reduksi metabolik pada striatal dan
talamus. Hal ini dapat dijelaskan oleh adanya reduksi jaras indirek yang
menyebabkan reduksi aktivitas nukleus subtalamikus. Tics juga diduga melibatkan
sistem neurotransmiter terutama dopamin. Pada studi autopsi oak penderita sindrom
Tourette ditemukan peningkatan reseptor DAT dan D2 juga peningkatan densitas
reseptor D1 dan alfa-2A yang menunjukkan adanya hiperaktivitas dopaminergik di
lobus frontal(1).
2.2.4.5 Tipe TICS dan karakteristiknya
Tipe Karakteristik Contoh gerakan
Tics Motor Hanya melibatkan tubuh/bebrapa otot Kedipan mata, gerakan bahu, gerakan
Simplek satu bagian wajah,gerakan leher,meludah,
gerakan
menyisir rambut
47
Tics Motor Melibatkan beberapa bagian tubuh Melompat,menendang,jongkok,
Kompleks postur tubuh abnormal,ekopraksia,
kopropraksia
Tabel 7: Tipe dan Karakteristik TICS, dikutip dari Anindhita T WW. Buku ajar Neurologi,
Jilid 2. Edisi Pert. Jakarta: Departemen Neurologi FK UI; 2022
2.2.4.6 Diagnosis
Pada sebagian besar kasus tics, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan klinis tanpa perlu pemeriksaan radiologis maupun laboratorium. Sindrom
Tourette juga seringkali bermanifestasi bersamaan dengan gangguan perilaku seperti
attention deficit/hyperactivity disorder (ADHD) dan obsessive-compulsive disorder
(OCD). Jika seseorang dicurigai mengalami tics atau sindrom Tourette, makaperlu juga
dilakukan skrining gangguan perilaku yang seringkali menyertai(1).
2.2.4.7 Tatalaksana
48
Golongan Obat Nama Obat Dosis Efek Samping
Penghambat reseptor Haloperidol Dosis insial: 0,5-1 mg/hari Sedasi,
dopamin Dosis maksimal 6-8 mg/hari parkinsonisme,
distonia, akatisia,
Flufenzain Dosis insial: 0,5-1 mg/hari hipotensi, konstipasi,
Dosis maksimal 6-8 mg/hari mulut kering,
kenaikan berat badan,
Riseperidon Dosis insial: 0,5-1 mg/hari konfusi
Dosis maksimal 6 mg/hari
49
Agen pendeplesi Reserpin Dosis insial: 0,1 mg/hari Hipotensi, sedasi,
dopamin Dosis maksimal 3 mg/hari parkinonisme,depresi
Tabel 8: terapi medikasmentosa yang dapat digunakan pada TICS, dikutip dari
Anindhita T WW. Buku ajar Neurologi, Jilid 2. Edisi Pert. Jakarta: Departemen
Neurologi FK UI; 2022
50
DAFTAR PUSTAKA
1. Anindhita T WW. Buku ajar Neurologi, Jilid 1&2. Edisi Pert. Jakarta: Departemen
Neurologi FK UI; 2022.
2. Estiasari R, Zairinal R IW. Pemeriksaan Klinis Neurologi Praktis Umum Edisi Pertama.
Jakarta: Penerbit Kedokteran Indonesia; 2018.
3. Shipton, Edward A. “Movement Disorder and Neuromodulation”. September 19th, 2019.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3459225/, Diakses pada tanggal 9
Desember 2023
4. Liam Curry. The Facial Nerve (CN VII) [Internet]. TeachMeSeries. 2023 [cited 2023 Dec
9]. Available from: https://teachmeanatomy.info/head/cranial-nerves/facial-nerve/
5. Kaski D, Bronstein AM, Edwards MJ, Stone J. Cranial functional (psychogenic) movement
disorders. Lancet Neurol [Internet]. 2015;14(12):1196–205. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/S1474-4422(15)00226-4
6. Adam dan Victor’s, 2009. Principles of Neurology 9th edition. Boston: The McGraw-Hill
Companies.
7. PERDOSSI. Acuan Praktik Klinis Neurologi. PERDOSSI. 2016
8. Jurnal Biomedik (JBM), Volume 7, Nomor 2, Juli 2015, hlm.107-116.
PENATALAKSANAAN TREMOR TERKINI. Rizal Tumewah. Bagian Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi /RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado
51