Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hemiparesis adalah istilah medis untuk menggambarkan suatu kondisi adanya
kelemahan pada salah satu sisi tubuh atau ketidakmampuan untuk menggerakkan
anggota tubuh pada satu sisi. Istilah ini berasal dari kata hemi yang berarti
separuh, setengah, atau satu sisi dan paresis yang berarti kelemahan.
Pada penderita/orang sakit yang mengalami gangguan fungsi dari salah satu
fungsi tersebut akan mendapatkan hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-
hari, bahkan jika sedemikian parah, maka penderita akan sepenuhnya hidup
dengan segala ketergantungannya dengan orang lain.
Penyebab utama terjadinya hemiparesis adalah adanya kerusakan otak pada
salah satu sisi. Kerusakan otak pada sisi tertentu akan menyebabkan terjadinya
kerusakan anggota tubuh pada sisi yang berlawanan.
Pasien yang mengalami kerusakan pada otak pada umumnya mengalami
kelemahan otot pada bagian anggota gerak tubuh, gangguan postural dan adanya
atropi otot (Sudarsini, 2017). Atrofi otot menyebabkan penurunan aktivitas pada
sendi sehingga sendi mengalami kehilangan cairan sinovial dan menyebabkan
kekakuan sendi. Kekakuan sendi menyebabkan penurunan rentang gerak pada
sendi (Guyton, 2007). Kelemahan pada satu sisi anggota tubuh penderita atau
yang biasa disebut Hemiparese mengakibatkan penurunan tonus otot sehingga
tidak mampu menggerakkan tubuhnya (imobilisasi).
Hemiparese disebabkan karena adanya tumor otak yang mengakibatkan
kerusakan jaringan otak. Tumor otak adalah pertumbuhan sel-sel abnormal di
dalam atau di sekitar organ otak. Tumor otak dapat menyerang siapa saja.
Prevalensi kejadian hemiparese di Indonesia tiap tahunnya mengalami
peningkatan. Diperkirakan setiap tahunnya, sekitar 445.000 orang di seluruh

1
dunia didiagnosis dengan tumor yang berlokasi di otak atau di bagian mana pun
di SSP. Angka harapan hidup penderita tumor otak dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu usia, stadium, jenis histopatologi, ada atau tidaknya defisit
neurologis, dan modalitas terapi (Widjanarko, 2011). Menurut Cancer Research
UK (2013), pada tahun 2008-2010 di Inggris Raya, didapat bahwa sekitar 43%
tumor SSP didiagnosis pada pria dan wanita berusia 65 tahun ke atas dan 10%
didiagnosis pada kelompok umur di bawah 30 tahun. Tingkat insidensi spesifik-
umur relatif stabil dari masa kanak-kanak ke kelompok usia 20-24, kemudian
meningkat secara perlahan ke kelompok usia 4549, sebelum meningkat secara
tajam, khususnya pada pria, pada kelompok usia 55-59. Pada tahun 2010,
terdaftar sebanyak 9.156 kasus tumor SSP dengan rincian 4.541 kasus (49,60%)
terdapat pada pria dan 4.615 kasus (50,40%) pada wanita dengan tipe yang paling
sering ditemukan adalah astrositoma (34%) dan meningioma (21%). Hakim
(2005) menemukan bahwa pada tahun 2003-2004 di Rumah Sakit Umum Pusat
H. Adam Malik dan Rumah Sakit Haji, Medan, Indonesia, terdapat 48 kasus
tumor otak dengan persentase penderita tumor otak yang terbanyak adalah laki-
laki (72,92%) pada kelompok umur di atas 60 tahun. Tipe tumor otak yang paling
banyak terdapat di Medan, Indonesia, adalah meningioma (25%) dan lokasi tumor
paling banyak adalah di serebelum (20,83%).
Kraniotomi merupakan proses pembedahan otak yang dilakukan dengan
membuka tulang tengkorak untuk memperbaiki gangguan yang terjadi.
Kraniotomi bukanlah operasi kecil, sehingga Anda perlu tahu beberapa informasi
penting seputar operasi ini sebelum menjalaninya. Pada tumor otak, operasi ini
dibutuhkan sebagai langkah untuk mengangkat tumor yang menyebabkan
gangguan fungsi otak

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Sistem Saraf Pusat
Sistem saraf pusat berkembang dari suatu struktur yang berbentuk
bumbung. Pada bumbung tersebut dapat dilihat sebuah dasar, sebuah atap dan
dua dinding sisi sebagai pembatas suatu terusan yang terletak di tengah.
Dalam perkembangan selanjutnya pada beberapa tempat bumbung tadi
menjadi tebal, sedangkan pada tempat-tempat lain dindingnya tetap tinggal
seperti semula. Susunan Saraf Pusat Meliputi :
1. Otak
Otak merupakan organ
tubuh yang paling penting
menyangkut fungsi seperti
berfikir, bergerak, berbicara,
melihat, mendengar dan
merasa apabila mengalami
kerusakan sedikit saja,
akibatnya sungguh fatal.
Kerusakan sel otak setempat
yang hanya sedikit saja, akan
berakibat gangguan fungsi tubuh yang lebih luas melebihi daerah yang
sesungguhnya rusak, karena sel otak yang rusak tadi akan mengeluarkan
toksikasi glutamat yang akan merusak fungsi sel otak sekitarnya secara
berantai yang tadinya masih baik.
Otak terletak di rongga tengkorak (cavum cranii) dan bertanggung jawab
dalam mengurus organ dan jaringan untuk daerah kepala dan leher.
Otak terbagi atas:
a. Otak besar (cerebrum)

3
Merupakan bagian terbesar dari otak yang terletak dalam fossa cranii
anterior medial yang terdiri dari hemisferium kiri dan kanan, yang
dipisahkan oleh falxserebri dan dihubungkan melalui corpus
colossum. Fungsi utamanya yakni sebagai pust motorik dan fungsi
luhur.
Hemisferium cerebri terdiri atas beberapa lobus, yaitu :
1) Lobus frontalis, berfugsi membuat suatu keputusan yang
bijaksana seperti kecermatan dan kesabaran.
2) Lobus Parientalis, lobus ini terdiri atas suatu keputusan yang
biajksana dan area sensorik primer
3) Lobus temporali, berfungsi sebagai pusat pendengaran, sistem
pendengarn dan pusat ingatan
4) Lobus Occipital, berfungsi sebagai asosiasi penglihatan

b. Otak kecil (Cerebellum)


Terletak apda fossa cranii posterior di bawah duramater yang
memisahkan dengan lobus occipital. Cerebellum berfungsi mengatur
sikap dan aktivitas tubuh dan berperan penting dalam koordinasi otot-
otot yang menjaga keseimbangan.
c. Batang otak
Batang otak terletak pada fossa cranii medial dan posterior serta
menembus tentorium cerebelli melalui hiatus tentorial
Batang otak terdiri atas :

4
1. Diencephalon, berfungsi untuk mengontrol kegiatan refleks dan
membantu pekerjaan jantung
2. Mencephalon, berfungsi untuk membantu pergerakan bola mata dan
mengangkat bola mata, memutar mata dan sebagai pusat pergrakan
mata
3. Medulla Oblongata
Berfungsi :
a. Mengontrol pekerjaan jantung
b. Konstruksi pembuluh darah
c. Pusat pernapasan
d. Mengontrol refleks

2. Medulla Spinalis
Medulla spinalis adalah massa jaringan saraf berbentuk silindris
memanjang menempati 2/3 cranalis vertebralis kurang lebih 42-45 cm dari C1
s/d L1,2 ujung rostral diteruskan oleh medulla oblongata sedangkan ujung
distal diteruskan oleh Conus Medullaris. Dari sana keluar serabut saraf
berbentuk ekor kuda disebut cauda equine bersifat LMN.
Medulla spinalis terbagi atas :
a. MS. Cervical C1 – C7
b. MS. Thoracalis Th1 – Th12
c. MS. Lumbalis L1-L5
d. MS. Sacralis S1 – S5
e. MS. Coccygeur / otot-otot

Fisiologi Peredaran Darah Cerebral


Aliran darah akan membawa O2, makanan dan substansi lain yang
dibutuhkan ke otak. Kebutuhan otak sangat mendesak dan sangat vital,
kekurangan O2 kurang lebih 6 menit saja di otak akan mengakibatkan

5
kematian sel otak, sementara tidak ada sistem pembantu pengambilan fungsi
dari area yang lain yang terdekat melalui mekanisme adaptasi tetapi tidaklah
sempurna. Karena itu sirkulasi darah ke otak haruslah cukup dan konstan.
Arteri carolis interna dan arteri vertebralis beranastomosis di circulus
Willici di substansia Alba dan mendapat tambahan dari arteri Bacillaris.
Metabolisme otak butuh kurang lebih 18% O2 dari total kebutuhan O2, tubuh
untuk oksidasi glukosa dan metabolisme karbohidrat dalam otak merupakan
sumber tenaga yang utama, sedangkan metabolisme lemak dan protein hanya
sedikit.
B. Patologi
1. Definisi
 Hemiparese
“Hemiparese”, dimana terjadi kelemahan pada salah sisi tubuh atau
anggota gerak atas dan bawah yang berlawanan dengan lesi yang terjadi di
otak, berupa gangguan motorik dan gerakan ADL lainnya. Namun bisa
membaik seiring berjalannya waktu dengan melakukan terapi fisik.
Akibat kerusakan sebagian atau keseluruhan dari modula spinalis
dapat menyebabkan hilangmya fungsi dari sel –sel yang menghantarkan
implus dari pusat motorikdan akan berakhir pada daerah yang mengalami
cedera gejalayang timbul tergantung dari penyebabnya, bila terjadi secara
tiba – tiba akan mengalami spinal syocle yang di tandai dengan placid
paralisys.Kerusakan di atas L1 memberikan gambaran lesi UMN,
sedangkan kerusakan di bawah L1 memberikan gambaran LMN.
Hemiparese yang terjadi akibat Shoke di sebabkan oleh CVA, yaitu :
 Hipertensi
 Trauma pendarahan intracerebral dan sub acrohcind.
Space occupied lession (SOL) ialah lesi fisik substansial, seperti
neoplasma, perdarahan, atau granuloma, yang menempati ruang. SOL
intrakranial didefinisikan sebagai neoplasma, jinak atau ganas, primer atau

6
sekunder, serta hematoma atau malformasi vaskular yang terletak di dalam
rongga tengkorak.Tumor intrakranial menyebabkan timbulnya gangguan
neurologik progresif.
 Tumor Otak
Tumor otak adalah pertumbuhan jaringan yang disebabkan oleh sel-sel
tidak normal pada otak atau di sekitar otak. Sampai saat ini belum
diketahui pasti penyebab tumor otak, tapi beberapa peneliti menduga
bahwa kondisi ini disebabkan oleh faktor genetik dan paparan bahan kimia
berbahaya.
Ada bermacam-macam jenis tumor otak yang dibedakan ke dalam dua
kelompok berdasarkan perkembangannya, yaitu tumor jinak (tidak bersifat
kanker) dan tumor ganas (bersifat kanker). Tumor yang tumbuh di otak
dikenal dengan istilah tumor otak primer, sedangkan tumor yang tumbuh di
bagian lain dari tubuh dan menyebar hingga ke otak disebut dengan tumor
otak sekunder atau metastatik.

2. Etiologi
Hingga saat ini belum diketahui secara pasti penyebab dari adanya
tumor. Akan tetapi, adapun factor yang bisa meningkatkan risiko seseorang
terkena tumor otak adalah factor keturunan dan juga efek samping prosedur
radioterapi

3. Proses Patologi Gangguan Gerak dan Fungsi


Tumor otak kemungkinan disebabkan oleh : sisa sel embrional, faktor
bawaan, akibat radiasi, adanya virus dan lain-lain. Tumor otak terdiri dari
glioma, mengioma, cranio pharingoma, sarcoma dan lain -lain. Gangguan
neurologik pada tumor otak disebabkan oleh gangguan fokal akibat tumor
dan peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Bila tumor di lobus frontalis
atau di lobus parietalis dapat menyebabkan hemiparese kontra lateral.

7
4. Gambaran Klinis
Adapun tanda-tanda dan gejala yang terdapat pada hemiparese sinistra
disesuaikan dengan stadiumnya, yaitu:
a. Stadium akut
Pada stadium ini terjadi penurunan kesadaran yang dinamakan opopletik
fit. Serangan ini dapat didahului dengan sakit kepala, pusing tapi kadang-
kadang tanpa keluhan, maka penderita menjadi pucat, nafas bersuara berat
karena saluran nafas terhalang oleh lidah yang paralisis, pupil mata
melebar. Kadang satu pupil lebih lebar dari yang lain disebabkan oleh
paralysis dari iris/otot mata, denyut jantung dan nadi tidak teratur
biasanya lambat. Anggota gerak yang terkena menjadi fleksid paralysis,
semua reflek hilang.
b. Stadium recovery
Stadium ini dimulai dengan tanda pulsa/denyut nadi menjadi lebih cepat,
temperatur/suhu tubuh naik, penderita gelisah, mudah terkejut dan kadang
sulit tidur. Sistem reflek kembali seperti semula pada system sehat, otot
yang mengalami fleksid paralisis menjadi spastik. Kebanyakan otot yang
terserang berada dalam keadaan fleksid untuk beberapa hari sampai 2 atau
3 minggu, terutama pada daerah lengan dan jari tangan.
c. Stadium spastisitas
Keadaan otot dan reflek sudah mulai kembali, tetapi berlebihan, timbul
ankle klonus dan reflek patologi (babinski sign). Lengan masih dalam
keadaan serangan yang lebih berat dibanding dengan tungkai dan wajah.
Biasanya lengan terfiksir melekat pada badan dengan posisi adduksi
shoulder, semi fleksi elbow, lengan bawah pronasi, wrist dan finger fleksi
ini merupakan posisi karakteristik. Tungkai terfiksir pada ibu jari oposisi,
posisi lutut ekstensi, plantar fleksi, eksternal rotasi dan mengalami drop
foot. Bila wajah yang terkena serangan, dampaknya lebih ringan dan yang

8
terkena adalah wajah bagian bawah. Lidah akan membelok ke samping
bagian paralysis.
Manifestasi klinis tumor otak meliputi peninggian tekanan intra
kranialdan manifestasi fokal yang diakibatkan oleh tekanan terhadap
jaringan disekitar tumor. Gejala peninggian tekanan intrakranial lebih
cepat timbul pada tumor infratentorial dibandingkan tumor
supratentiorial.karena ruang yang lebih terbatas pada fossa posterior.
Tumor infratentorial mudah menyumbat aliran cairan serebrospinal
sehingga terjadi dilatasi ventrikel. Apabila tekanan intrakranial mencapai
atau hampir sama tekanan arterial sistemik, tekanan arterial sistemik akan
meningkat. Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya bradikardi,
hipertensi dan pernafasan lambat tidak teratur dikenal sebagai trias
cushing.
C. Pemeriksaan Spesifik dan Pengukuran Fisioterapi
a. Tes kognitif dan psikis
Tujuannya : Untuk mengetahui keadaan psikis pasien
Teknik : Pasien ditanyakan tentang data diri pasien
b. Tes Sensosik
Tujuannya : Untuk mengetahui kemampuan saraf sensorik
Teknik : Fisioterapi mencubit dan menggores kedua tungkai
pasien
c. Tes motorik
Tujuannya : Untuk mengetahui kualitas saraf motorik dan
kemampuan gerak.
 Reaksi ADL
Pasien diminta melakukan gerakan dari baring keduduk
 Reaksi Keseimbangan
Pasien dalam keadaan tidur terlentang, instruksikan pasien
untuk mengangkat pantatnya

9
 Reaksi Transfer
Masih dengan keadaan tidur terlentang, instruksikan pasien
untuk melakukan gerakan dari posisi tidur terlentang, miring ke
kiri atau ke kanan
d. Tes reflex
Tujuannya : untuk megetahui kerusakan atau pengfungsian dari
sisntem saraf pusat dan sistem saraf tepi
e. Tes Tonus
Tujuan : Untuk mengetahui ada tonus atau tidak
Teknik : Dilakukan pada otot tungkai pasien diberikan gerakan-
gerakan pasif yang cepat dan memegang muscle belly pada otot.
f. MMT
Tujuan : untuk mengukur kekuatan otot.
g. Tes Koordinasi
Dalam posisi tidur terlentang, Fisioterapi meminta pasien untuk
menyentuh tangan Fisioterapi dengan menggunakan ujung kakinya

D. Intervensi Fisioterapi
a. Komunikasi Terapeutik
Prinsip yang harus diterapkan oleh fisioterapis pada komunikasi
terapeutik adalah:
1. Hindari komunikasi yang terlalu formal atau tidak tepat.
2. Ciptakan suasana yang hangat, kekeluargaan.
3. Hindari interupsi, atau gangguan yang timbul akibat dari lingkungan
yang gaduh
4. Hindari respon dengan kata hanya “ya atau tidak”. Respon tersebut
akan mengakibatkan tidak berjalannya komunikasi dengan baik,
karena fisioterapis kelihatan kurang tertarik dengan topik yang
dibicarakan dan enggan untuk berkomunikasi.

10
5. Jangan memonopoli pembicaraan.
6. Hindari hambatan personal. Jika fisioterapis sebelum komunikasi
menunjukkan rasa tidak senang kepada klien, maka keadaan ini akan
berdampak terhadap hasil yang didapat selama proses komunikasi.
b. Positioning
Fisioterapi memposisikan seligus mengajarkan pasien
melakukan perubahan posisi dari tidur terlentang kekiri atau kekanan
untuk mencegah decubitus dan deformitas
c. Infra Red
Infra Red adalah salah satu metode terapi superfasial Hit yang
diindikasikan kepada pasien yang mengalami gangguan sirkulasi
darah, artritis kronik, gangguan strein dn sprain. Namun, tidak dapat
diberikan kepada pasien yang mengalami pendarahan.
Hasil efek fisiologi terapi infra red dapat mengembalikan kerja
metabolisme dalam tubuh, meningkatkan kelenjar keringan, dasn efek
terapinya dapat melancarkan sirkulasi darah, serta merelasasikan otot.

d. Electrical Stimulation
Stimulasi elekstris atau Electrical Stimulation adalah salah satu
modalitas fisioterapi dengan menggunakan arus listrik untuk
mengontraksikan salah satu otot ataupun grup otot (Inverarity,
2005). Jenis alat listrik yang bisa digunakan Interrupted Direct
Current, Interferensi dan TENS (Kuntono, 2007).
Sistem saraf pusat mempunyai kemampuan yang sangat
progress untuk penyembuhan dari cidera atau injury melalui proses
collateral sprouting dan synaptic reclamation. Neural plasticity
merupakan hal yang yang penting untuk mendidik kembali fungsi
otot dan aplikasi fasilitasi. Pada stroke dengan spastisitas, electrical
stimulation akan mengurangi spastisitas melalui mekanisme reciprocal

11
inhibition, yaitu kemampuan otak untuk memodifikasi dan
mereorganisasi fungsi yang mengalami cidera atau injury atau
kerusakan disebut dengan neural plasticity. Pada fase ini adalah
awal perbaikan fungsional neurology berupa perbaikan primer oleh
penyerapan kembali oedema di otak dan membaiknya sistem
vaskularisasi.
e. PNF
PNF merupakan suatu pendekatan yang terintegrasi; setiap pengobatan
diarahkan pada total human, bukan hanya pada problem spesifik atau
segmen tubuh.
Berdasarkan pada potensial yang ada dari seluruh kemampuan pasien,
terapis akan selalu fokus pada memobilisasi cadangan yang dimiliki
pasien. Tujuan utama dari seluruh terapi adalah untuk membantu pasien
mencapai level fungsi yang tertinggi. Untuk mencapai level fungsi yang
tertinggi, terapis harus mengintegrasikan prinsip2 motor control dan
motor learning. Hal ini mencakup pengobatan/terapi pada level body
structures, level activity serta level participation (ICF – WHO).

12
BAB III
PROSES FISIOTERAPI
A. Identitas Umum Pasien
Nama : Tn S.B
Tanggal Lahir : 21 November 1993
Umur : 25 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Dusun Bulu Bawang, Polewali Mandar

B. Anamnesis Khusus (History Taking)


Keluhan Utama : Nyeri kepala
Lokasi Keluhan : Kepala
Sifat Keluhan : Menjalar dari kepala sampai ke tungkai kiri.
Riwayat Perjalanan Penyakit : Sebulan yang lalu pasien tiba-tiba
mengalami kejang-kejang. Setelah kejang,
kepala pasien sakit tak tertahankan.
Kemudian tangan kiri pasien sudah tidak
bisa digerakkan dan langsung dibawah ke
Puskesmas. Kemudian dirujuk ke Rumah
Sakit Polewali, dan dirawat selama 1
minggu. Lalu dirujuk ke Rumah Sakit
Faisal, dan dirawat 1 minggu. Pada tanggal
9-03-2019 pasen dirujuk ke Rumah Sakit
Wahidin. Setelah 2 minggu di rawat, pasien
kemudian dioperasi (kramiatomi+Bedah
Mikro), setelah operasi pasien mengalami
kelemahan separuh badan bagian kiri.

13
C. Pemeriksaan Vital Sign
e. Tekanan Darah : 120/60 mmHg
f. Denyut Nadi : 80 kali/menit
g. Pernapasan : 20 kali/menit
h. Suhu : 36,5o C
i. VAS (visual analog scale)

Ket :
 0-2 : tidak nyeri (merasa tidak sakit atau normal)
 3-5 : nyeri ringan masi bisa di tahan (aktifitas tak terganggu)
 6-8 : nyeri sedang (mengganggu aktivtas fisik)
 9-10 :nyeri berat (tidak dapat melakukan aktivitas secara
mandiri)
Hasilnya : 6,7(nyeri sedang dan mengganggu aktivitas fisik)

D. Inspeksi/Observasi
1. Statis :
 Dalam keadaan tidur terlentang
 wajah nampak sedikit lemas.
 Pasien masih memakai perban di kepala
2. Dinamis :

14
 Kesulitan menggerakkan lengan dan tungkai kiri
 Posisi duduk, membutuhkan bantuan.
3. Palpasi :
 Tidak ada oedem.
 Suhu Normal

E. Pemeriksaan Spesifik dan Pengukuran Fisioterapi


a. Tes Koknitif dan Psikis
Tujuannya : Untuk mengetahui keadaan psikis pasien
Teknik : Pasien ditanyakan tentang data diri pasien
Hasil : Pasien mampu menjawab pertayaan denga baik.
b. Tes Sensosik
Tujuannya : Untuk mengetahui kemampuan saraf sensorik
Teknik :
 Gunakan jarum pentul atau peniti untuk merespon sesasi
nyeri sebagai media stimuli
 Instruksikan kepada pasien agar menjawab ‘’tajam atau
tumpul ‘’ dalam keadaan mata tertutup untuk setiap kali
pentul atau penile di sentuhkan di kulit pasien
 Sentuhkan salah satu media stimuli yang telah dipersiapkan
secara ringan dan lembut pada jari tangan,lengan,tungkai
dan area punggung pasien
Hasil : Normal.
c. Tes motorik
Tujuannya : Untuk mengetahui kualitas saraf motorik dan
kemampuan gerak.
 Reaksi ADL
Pasien diminta melakukan gerakan dari baring keduduk
Hasil : Sulit dilakukan (membutuhkan bantuan)

15
 Reaksi Keseimbangan
Pasien dalam keadaan tidur terlentang, instruksikan pasien
untuk mengangkat pantatnya.
Hasil : Bisa melakukannya.
 Reaksi Transfer
Masih dengan keadaan tidur terlentang, instruksikan pasien
untuk melakukan gerakan dari posisi tidur terlentang, miring ke
kiri atau ke kanan
Hasil : - Mampu miring ke kiri,
a. Sedikit kesulitan untuk miring ke kanan.
d. Tes Refleks
Tujuannya : untuk megetahui kerusakan atau pengfungsian dari
sisntem saraf pusat dan sistem saraf tepi
 Reflex Triceps : hipoaktif
 Refleks Biceps : hipoaktif
 Refleks Brachioradialis : hipoaktif
 Refleks Tendon Patella : +
 Refleks Tendon Archiles :hipoaktif
 Refleks Babiski: Hiperaktif
e. Tes Tonus
Tujuan : Untuk mengetahui ada tonus atau tidak
Teknik : Dilakukan pada otot tungkai pasien diberikan gerakan-
gerakan pasif yang cepat dan memegang muscle belly pada otot.
Hasil : Ada tonus otot

16
f. MMT
Nilai Otot
Regio Group Otot
Kiri Kanan
Shoulder Fleksor 0 5
Ekstensor 0 5
Abduktor 0 5
Adduktor 0 5
Elbow Fleksor 0 5
Ekstensor 0 5
Supinasi 0 5
Pronasi 0 5
Wrist Fleksor 0 5
Ekstensor 0 5
Radial deviasi 0 5
Ulnar deviasi 0 5

Regio Nilai Otot


Group Otot
Kiri Kanan
Hip Fleksor 3 5
Ekstensor 3 5
Abduktor 3 5
Adduktor 3 5
Eksorotasi 3 5
Endorotasi 3 5
Knee Fleksor 4 5
Ekstensor 4 5
Eksorotasi 4 5
Endorotasi 4 5

17
Ankle Plantar fleksi 0 5
Dorso fleksi 0 5
Eversi 0 5
Inversi 0 5

g. Tes Koordinasi
1. Finger to Nose : Tidak dapat melakukannya.
2. Finger to Finger : Tidak dapat melakukannya.
3. Finger to Therapist Finger : Tidak dapat melakukannya.
4. Supinasi-Pronasi : Tidak dapat melakukannya.
5. Heel to Toe Test : Sulit melakukan.
6. Heel to Knee Test : Sulit melakukan.
7. Heel to Knee to Toe Test : Sulit melakukan.
h. Tes pengukuran ROM
Nama gerakan Gerak aktif Gerak pasif
Dorso fleksi ankle 47° 70°
Fleksi knee 64° 137°
Fleksi hip 0° 138°
Fleksi wrist 0° 90°
Ulnar deviasi 0° 30°
Radial deviasi 0° 10°
Fleksi elbow 0° 100°
Ekstensi elbow 0° 0°

i. Tes ada tidak adanya atropi


- Gastrocnemius kanan:28 cm
- Gastrocnemius kiri:28 cm

18
Hasil : Tidak ada atropi pada tungkai.
- Brachioradialis kanan: 25 cm
- Brachioradialis kiri: 20 cm
Hasil: Atropi otot kiri
j. CT Scan

Hasil : sugestif pleomorphic xanthoastrocytoma frontoparietal dextra

19
F. Algorhitma Asesmen Fisioterapi

Nama Pasien : Tn.B.S Umur : 25 Tahun Jenis Kelamin : Laki-laki

History taking :
Kejang-kejang sebulan yang lalu, setelah itu merasakan sakit kepala
tak tertahankan disertai lengan kiri yang tidak bisa digerakan. Dibawa
ke puskesmas langsung dirujuk ke RS Polewali dan dirawat seminggu.
Kemudian ke Makassar

Inspeksi :
Dalam keadaan tidur terlentang dan
wajah nampak sedikit lemas, tidak ada
oedem, dan ada perban di kepala

Pemeriksaan Fisik

Tes sensorik : Tes motorik : Palpasi : Tes koordinasi :


Tidak dapat duduk dari posisi tidur Tidak ada oedem. Sulit melakukan gerakan
hiposensasi heel to toe, heel to knee, dan
Tidak dapat memiringkan badan ke Suhu Normal.
heel to knee heel to toe
kiri

Menentukan tempat
penyumbatan di otak dengan
foto CT Scan.

Diagnosa ICF : Limitasi Gerak


Fungsional Akibat Hemiparese
Sinistra ec tumor supratentorial
at parietal post Kraniatomi

20
G. Diagnosa Fisioterapi : Limitasi Gerak Fungsional Akibat Hemiparese
Sinistra ec tumor supratentorial at parietal post Kraniatomi

H. Problematik Fisioterapi dan Bagan ICF

Nama Pasien : Tn. HA Umur : 61 Tahun Jenis Kelamin : Laki-laki

Kondisi/Pasien:
Limitasi Gerak Fungsional Akibat Hemiparese Sinistra ec
tumor supratentorial at parietal post Kraniatomi

Impairment (Body structure and Activity Limitation Participation Restriction


function)  Keterbatasan dalam  Tidak bisa berpergian
 Tubuh bagian kiri memiliki melakukan kegiatan sehari- ke keluar rumah
Keterbatasan gerak kesegala hari. Seperti berjalan.  Tidak bisa
arah  Kesulitan memiringkan mengendarai motor
 Gangguan koordinasi dan badan kea rah kiri untuk pergi kerja
keseimbangan bagian kiri tubuh
 Nyeri pada bahu
 Kram bagian tubuh kiri

I. Tujuan Intervensi Fisioterapi


J. Tujuan Jangka Pendek
a. Meningkatkan kekuatan otot lengan dan tungkai kiri
b. Meningkatkan kordinasi lengan dan tungkai kiri
K. Tujuan Jangka Panjang
Mengembalikan aktivitas fungsional (ADL) lengan dan tungkai kiri
seperti berjalan dan dapat mengendarai motor

21
L. Program Intervensi Fisioterapi
a. Positioning
Tujuan : mencegah decubitus dan deformitas
Teknik : fisioterapis memposisikan sekaligus mengajarkan pasien
melakukan perubahan posisi dari tidur terlentang miring ke kiri atau
kanan
Time : sesering mungkin akan lebih bagus
b. Breathing exercise
Tujuan : untuk memelihara fungsi respirasi
Teknik : fiksasi dengan tangan fisioterapi dilateral bagian lower
dengan posisi kepala pasien kesamping. Minta pasien untu menarik
napas dan hembuskan kemudian beri penekanan 1/3 akhir pernapasan
dari samping
Time : toleransi pasien, seharusnya diberikan setiap 1 jam sekali
dengan beban minimal.
c. Streaching
Tujuan : mencegah kontraktur sekaligus koreksi posture
Teknik : Pasien tidur terlentang kemudian fisioterapis menggerakkan
kedua tungkai bergantian secara pasif disetiap persendian ke segala
arah dan ditambah dengan penguluran.
Dosis :
F : setiap hari
I : penguluran max
T : passif streatching
T : 8x hitungan
d. Passif exercise
Tujuan : upaya memelihara sifat fisiologis otot pada kedua tungkai
Teknik : dalam posisi tidur terlentang, kemudian

22
- Fisioterapi memberikan gerakan flexi-ekstensi pasif secara
bergantian disetiap persendian pada kedua tungkai
- Fisioterapi memberikan gerakan rotasi hip searah dan berlawanan
jarum jam secara bergantian pada kedua tungkai
- Fisioterapis memberikan gerakan abduksi-adduksi dan eksorotasi-
endorotasi hip serta dorso-plantar flexi ankle secara pasif pada kedua
tungkai
e. IR
a. Posisi pasien : pasien dalam posisi tidur terlentang dan
senyeman mungkin
b. Teknik pelaksanaan : arahkan alat IR pada sisi yang dites
(sinistra), dengan siniar IR tegak lurus.
c. Dosis :F : setiap hari
I : 30-45 cm
T : lominous
T : 10 menit
f. Stimulasi elektirk
a. Posisi pasien : Pasien dalam posisi tidur terlentang senyaman
mungkin.
b. Peletakan pad: Pad atau elektroda yang diletakkan oleh
fisioterapis pada tungkai yang lesi pada group otot ekstensor,
kedua pad diletakkan pada origo dan insertion masing-masing
group otot ekstensor.
c. Teknik pelaksanaan: terlebih dahulu lakukan tes sensibilitas
tajam dan tumpul pada sisi yang akan di tes dengan tujuan
mengetahui apakah pasien dapat membedakan rasa tajam dan
tumpul. Pada tes ini pasien dapat membedakan rasa tajam dan
tumpul. Pada daerah yang di tes hendak bebas dari pakaian
dan dalam keadaan bersih. Sebelum terapi dilakukan, pasien

23
diberitahu mengenai rasa yang ditimbulkan oleh stimulasi
elektris, yaitu rasa tertusuk-tusuk halus hingga timbul kontraksi
otot. Kemudian nyalakan mesinnya atur frequency, modulasi,
dan naikkan intensitasnya sedikit demi sedikit sampai ada
kontraksi otot
d. Dosis: F : 27,12 MHz
P : 0,4 msec
T : continuous
T : 20 menit. 1-2/hari
g. PNF
 Pnf lengan
a. Posisi pasien : pasien dalam posisi tidur terlentang
b. Posisi tangan fisioterapi :
- Tangan kiri fisioterapi memegang bagian posterior palmar
pasien pada posisi lumrical gride (distal)
- Tangan kanan fisioterapi pada daerah elbow atau proksimal
untuk memfiksasi agar tidak terjadi fleksi elbow dan untuk
membantu gerakan serta memberikan tahanan
d. Teknik pelaksanaan
- Fisioterapis menjelaskan pola gerakan terlebih dahulu
kepada pasien .
- Pasien diminta untuk melakukan gerakan ekstensi jari-jari
tangan, ekstensi writs,radial deviasi,ekstensi elbow,
kemudian pasien diminta menggerakkan lengan
membentuk pola diagonal sambil menggerakkan
supinasi elbow dan fleksi shoulder, ekternal rotasi hingga
membentuk abduksi shoulder.

24
- Pasien melakukan pola gerakan di atas dengan diberikan
tahanan oleh fisioterapis sambil fisioterapis
menginstruksikan”dorong kuat” pada pasien dan tubuih
fisioterapis berputas mengikuti pola gerakan pasien.

e. Posisi lengan fisioterapi


- Tangan kiri fisioterapi memegang bagian anterior palmar
pasien pada posisi lumbrical gride (distal)
- Tangan kanan fisioterapi pada daerah elbow atau proksimal
untuk memfiksasi agar tidak terjadi fleksi elbow dan untuk
membantu gerakan serta memberikan tahanan.
Teknik pelaksanaan
 Fisioterapis menjelaskan pola gerakan terlebih dahulu kepada
pasien
 Pasien diminta untuk melakukan gerakan fleksi jari-jari tangan,
fleksi wrist,radial deviasi dan ektensi elbow, kemudian pasien di
minta menggerakkan lengan membentuk pola diagonal sambil
melakukan gerakan supinasi elbow dan ekternal rotasi hingga
membentuk adduksi shoulder

25
 Pasien melakukan pola gerakan diatas dengan diberikan tahanan
oleh fisioterapis sambil fisioterapis mengistruksikan “dorong kuat”
pada paisen dan tubuh fisioterapis mengikuti pola gerakan pasien

 Pnf tungkai
a. Posisi pasien : tidur terlentang
b. Posisi fisiterapis:
 Berdiri disamping pasien dalam arah diagonal. Berat
badan terapis diatas kaki kiri dapat digunakan untuk
melakukan traksi
 Pegangan tangan kiri terapis memeagang tumit kiri
pasien dan tanga kanan terapis memegang dorsum kaki
kiri pasien dengan posisi lumbrical grid
c. Teknik pelaksanaan
 Fisioterapis memgang tumit kiri pasien dengan tangan
kanan, dan tnagan kiri terapis memgang dorsum kaki
kiri pasien dengan posisi lumbrical gride
 Gerakan pasien adalah lateral rotasi hip,inversi+dorsi
fleksi ankle/kaki dan ekstensi jari-jari kaki di ikuti
oleh fleksi dan adduksi hip.rotasi harus terjadi

26
sepanjang gerakan, panjang otot hamstring akan
mempengaruhi luasnya lingkup gerak sendi

d. Posisi fisioterapis :
 berdiri disamping pasien dengan pegangan tangan sama
seperti pola dasar
 tangan kanan fisioterapis memegang patella pasien
 tangan kiri memegang bagian dorsum kaki pasien
f. Teknik pelaksanaan
 gerakan yang terjadi adalah fleksi,adduksi,lateral rotasi
dengan ditambah fleksi knee.fleksi knee harus dilakukan
secara aktif oleh pasien dan ditahan oleh tangan kanan
terapis.
 Terapis harus memastikan bahwa knee dan ankle bergerak
secara diagonal bersamaan untuk mempertahankan vertical
satu sama lain.

27
J. Evaluasi Fisioterapi
1. Evaluasi sesaat : Pasien nampak lelah setelah latihan.
2. Evaluasi berkala : Setlah beberapa kali latihan,perkembangan
keadaan pasien sebagai berikut:
 MMT
Nilai Otot Hari 1 Nilai Otot Hari 2
Regio Group Otot
Kiri Kanan Kiri Kanan
Shoulder Fleksor 0 5 2 5
Ekstensor 0 5 2 5
Abduktor 0 5 2 5
Adduktor 0 5 2 5
Elbow Fleksor 0 5 2 5
Ekstensor 0 5 2 5
Supinasi 0 5 2 5
Pronasi 0 5 2 5
Wrist Fleksor 0 5 2 5
Ekstensor 0 5 2 5
Radial deviasi 0 5 2 5
Ulnar deviasi 0 5 2 5

Regio Nilai Otot Hari 1 Nilai Otot Hari 2


Group Otot
Kiri Kanan Kiri Kanan
Hip Fleksor 3 5 3 5
Ekstensor 3 5 3 5
Abduktor 3 5 3 5
Adduktor 3 5 3 5
Eksorotasi 3 5 3 5

28
Endorotasi 3 5 3 5
Knee Fleksor 4 5 4 5
Ekstensor 4 5 4 5
Eksorotasi 4 5 4 5
Endorotasi 4 5 4 5
Ankle Plantar fleksi 0 5 3 5
Dorso fleksi 0 5 3 5
Eversi 0 5 3 5
Inversi 0 5 3 5

29
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Suatu penyakit yang berhubungan dengan sistem saraf pusat biasanya
akan mempengaruhi ekstremitas pada tubuh manusia yang berupa
kelemahan bahkan kelumpuhan, namun apabila pasien mempunyai
semangat yang tinggi dan rajin untuk melakukan terapi maka dampak dari
kerusakan sistem saraf pusat tersebut dapat diminimalkan dan dengan
terapi pasien dapat diajarkan untuk mandiri melakukan aktivitasnya
sendiri.

30
DAFTAR PUSTAKA

Trisnowiyanto, Bambang. Instrumen Pemeriksaan Fisioterapi dan


Penelitian Kesehatan. Medical Book.
https://www.academia.edu/35702713/Laporan_Praktek_Klinik
https://www.academia.edu/10041909/A._ANATOMI_DAN_FISIOLOGI
_OTAK
https://www.academia.edu/4697670/Infra_Red_diathermy
http://eprints.ums.ac.id/30939/

31

Anda mungkin juga menyukai