PENDAHULUAN
Salah satu penyakit non infeksi yang berkembang saat ini adalah penyakit
atau gangguan sistem peredaran darah yang menimbulkan kerusakan pada sistem
saraf pusat dan lebih lanjut menyebabkan kelumpuhan pada sebagian anggota
badan dan wajah sehingga menurunkan kapasitas fisik dan kemampuan fungsional
pasien.
Interfensi fisioterapi dan kerjasama dengan tenaga medis dan paramedis
lainnya pada kasus-kasus seperti ini sangat dibutuhkan, baik selama pasien
dirawat di RS maupun setelah kembali di keluarganya.
Hemipharese merupakan suatu kondisi yang ditandai adanya kelumpuhan
separuh badan, wajah, lengan, dan tungkai berupa gangguan motorik dan gerakan
ADL lainnya.
Dalam penulisan laporan klinik ini penulis akan membahas tentang
penatalaksanaan fisioterapi pada pasien hemipharese kanan pasca stroke dengan
berbagai modalitas fisioterapi yang ada. Hal ini meliputi penanganan pada
extremitas superior dan inferior serta mencegah kecacatan lebih lanjut.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Pra Enchephalon
b. Mesencephalon
1) Tectum Mesencephalon
2) Tecmentum Mesencephalon
3) Pedunculus Cerebri
c. Rhombencephalon
a. MS Cervicalis C1-C8
b. MS Thoracalis Th1-Th12
c. MS Lumbalis L1-L5
d. MS Sacralis S1-S5
e. MS Coccygeus Cc0-Cc1,2
2
Susunan Saraf Perifer (Tepi)
3) Plexus Lumbalis
4) Plexus Sacralis
3
B. Patologi
1. Definisi
4
keduanya memang terdapat perbedaan dalam hal patologi, faktor
resiko, cara pengobatan, dan prognosisnya. Stroke non hemoragik
atau yang disebut juga stroke iskemik didefinisikan secara patologis,
sebagai kematian jaringan otak karena pasokan darah yang tidak
adekuat sedangkan stroke hemoragik merupakan kematian jaringan
otak di karenakan pecahnya pembuluh darah yang mengantarkan
darah ke otak.
2. Etiologi
Hemiparese terjadi karena adanya kerusakan pada salah satu sisi otak
yang disebabkan oleh stroke, cedera otak, tumor otak, atau cedera
pada sistem saraf. Sisi tubuh mana yang mengalami kelemahan akibat
stroke, tergantung disisi otak sebelah mana kerusakan terjadi.
3. Proses patologi gangguan gerak dan fungsi
5
trauma pendarahan intracerebral dan sub acrohcind.
4. Gambaran Klinis
Tergantung pada jenis hemiparesis yang didiagnosis, fungsi tubuh
yang berbeda dapat dipengaruhi. Beberapa efek diharapkan (misalnya,
kelumpuhan parsial pada ekstremitas pada sisi yang terkena). Gangguan
lain, pada awalnya, dapat tampak sepenuhnya tidak berhubungan
dengan kelemahan anggota badan tetapi, pada kenyataannya,
merupakan akibat langsung dari kerusakan pada sisi otak yang terkena.
C. Intervensi Fisioterapi
1. Positioning
Setiap posisi atau gerak dari pasien harus berada dalam lingkup pola
penyembuhan atau berlawanan dengan pola spastisitas yang timbul
kemudian. Posisi dalam penyembuhan tonus sejak dini dilakukan.
Dalam pemberian positioning pasien masih dalam keadaan
2. Breathing Exercise
6
Teknik ini digunakan untuk mencegah komplikasi tirah baring yang
lama, yaitu adanya sputum yang sulit keluar dengan gangguan
mobilitas sangkar thoraks. Untuk pelaksanaan pasien dalam posisi
tidur terlentang pasien diminta untuk menarik nafas panjang lewat
hidung sampai batas maksimal kemampuan pasien dan
mengeluarkannya lewat mulut dan di berikan penekanan pada akhir
ekspirasi.
3. Mobilisasi pasif, assisted dan aktif
Hal ini didasarkan dari tujuan pemberian latihan adalah untuk
memelihara integritas jaringan lunak dan persendian, memperkecil
potensial terjadinya kontraktur. Untuk memelihara elastisitas otak, dan
membantu sirkulasi darah serta meningkatkan kekuatan otot yang
mengalami kelemahan.
7
BAB III
PROSES FISIOTERAPI
8
D. Inspeksi/ Observasi
Statis : - Wajah pasien dalam kondisi lemas. Pasien dalam kondisi
berbaring memakai inpus.
- Tangan kanan drop.
- Drop Foot.
Dinamis : Pasien kesulitan menggerakkan lengan dan tungkai kanannya
E. Diagnosa Fisioterapi
Gangguan Aktivitas Fungsional Lengan dan Tungkai Hemiparese Dextra
Et Causa Infection Cerebri.
F. Problematik Fisioterapi
a. Anatomical / Functional Impairment
- Keterbatasan Gerak kesegala arah, terutama tungkai kanan.
- Kelemahan otot.
- Gangguan koordinasi dan keseimbangan
- Drop hand dan Dropfoot
b. Activity Limitation
- Gangguan ADL
c. Participation Restriction
- Pasien belum mampu berinteraksi dengan baik.
- Tidak bisa ikut berpartisipasi dalam kegiatan sekitarnya.
G. Tujuan intervensi
1. Tujuan jangka pendek :
- Mengembalikan fungsi gerak.
- Memperkuat otot-otot tungkai atas dan bawah pada sisi kanan.
2. Tujuan jangka panjang :
- Agar pasien dapat kembali berinteraksi dengan baik.
- Mengembalikan structural pada tungkai dan lengan kanan.
H. Program Intervensi Fisioterapi
1. Positioning
a. Posisikan anatomis untuk mencegah deformitas
9
b. Disanggah di bagian shoulder dengan kain atau bantal kecil agar
tidak terjadi subluksasi
c. Disanggah di bagian pelvic dengan kain atau bantal kecil agar tidak
terjadi dicubitus
d. Disanggah di bawah lutut dengan kain atau bantal kecil agar
mudah di bengkokkan
e. Disanggah di bawah telapak kaki dengan kain atau bantal kecil
agar kakinya tidak drop foot.
2. Breathing exercise
Teknik ini digunakan untuk mencegah komplikasi tirah baring
yang lama, yaitu adanya sputum yang sulit keluar dengan gangguan
mobilitas sangkar thoraks. Untuk pelaksanaan pasien dalam posisi
tidur terlentang pasien diminta untuk menarik nafas panjang lewat
hidung sampai batas maksimal kemampuan pasien dan
mengeluarkannya lewat mulut dan di berikan penekanan pada akhir
ekspirasi.
10
Gerakan menekuk dan meluruskan jari-jari tangan.
11
d. Lakukan secara perlahan dengan tujuh kali
pengulangan.Latihan ini diawali pada posisi 90° abduksi
bahu dan 90° fleksi siku.
3. Gerakan ketiga
Latihan Mandiri Pada Tangan
a. Gerakan jari-jari pada tangan yang lemah.
b. Lakukan gerakan membuka secara perlahan.
c. Berikan tahapan minimal jika memungkinkan dengan tangan
yang sehat.
d. Lakukan dengan tujuh kali pengulangan.
Latihan ini ditujukan pada komponen ekstensor jari-jari.
Aktifitasekstensor jari-jari tangan akan sangat menentukan
kemampuan fungsional tangan. Dalam melakukan latihan ini,
salah satu hal yang penting adalah posisi pergelangan tangan (
wrist joint ) 45° ekstensi (dorsal fleksi). Gerakan jari-jaritangan
ke arah ekstensi hanya sebatas pada posisi netral atau dengan kata
lainhindari gerakan hiperekstensi.
4. Gerakan keempat
12
b. Lakukan gerakan membuka pada tangan yang lemah sampai
pada sudut90°.
c. Lakukan gerakan perlahan kemudian lanjutkan dengan
mobilisasi pasif kearah ekstensi pergelangan tangan (wrist joint )
hingga membentuk sudut 90°
d. Lakukan dengan tujuh kali pengulangan.
Latihan ini akan meningkatkan kemampuan stabilisasi dan
mobilisasi pergelangan tangan ( wrist joint ) dan punggung
tangan. Sifat stabilisasi danmobilisasi terjadi secara bergantian
antara kedua bagian tersebut
5. Gerakan kelima
Latihan Aktif Thumb dan Lower Arm
a. Posisi awal fleksi siku 90°.
b. Berikan pegangan pada sisi luar ibu jari.
c. Kemudian berikan gerakan ke dalam dan keluar (fleksi-ekstensi
thumb) secara perlahan.
d. Berikan pula gerakan pronasi dan supinasi pada lengan
bawah.Latihan ini juga ditujukan untuk memelihara fleksibilitas
dan elastisitas jaringan anggota gerak atas, sehingga komplikasi
akibat adanya mobilisasi dapatdihindari.
6. Gerakan keenam
Latihan Aktif Lengan
a. Gunakan tali atau alat bantu lainnya.
b. Posisi lengan tidak lebih dari 90°.
c. Tekuk lutut dan hip 90° untuk mengurangi tekanan abdominal.
d. Lakukan gerakan ke arah bawah dengan perlahan.
e. Saat gerakan dilakukan bersama dengan meniup nafas
(ekspirasi).
13
7. Gerakan ketujuh
Latihan Aktif Fleksi Tungkai (Sumber: Irfan, 2010)
a. Posisikan punggung kaki yang sehat di bawah lutut tungkai yang
lemah.
b. Angkat lutut dengan menggunakan punggung kaki hingga
membentuk sudut optimal.
c. Lakukan secara perlahan dengan tujuh kali pengulangan.
8. Gerakan kedelapan
Latihan Aktif Fleksi Lengan (Sumber: Irfan, 2010)
a. Posisi pasien duduk di tepi bed
b. Gunakan tongkat sebagai alat bantu.
c. Lakukan gerakan mengangkat lengan ke atas dengan bantuan
lengan yang sehat
4. Penggunaan Alat cock up hand splint
Cock Up Splint, ortosis yang digunakan untuk immobilisasi dan
support pada wrist (pergelangan tangan) dan fore arm (lengan bawah)
yang mengalami cidera, drop hand (spastic & flaccid).
Tujuan :
- Immobilisasi/penyangga
- Mencegah deformitas
- Mencegah kontraktur jaringan lunak
- Memblok bagian tertentu/ mengotrol pergerakan sendi
tertentu
14
5.penggunaan alat ankle foot orthosis
Ankle Foot Orthosis (AFO) Dewasa, merupakan jenis alat penguat yang
berfungsi untuk membantu mobilitas pasien Drop foot pasca stroke, Genu
Varus,Genu Valgus. AFO ini dibuat dari bahan polyetilene dan
polypropilen dilapisi dengan soft foam yang di desain khusus sesuai
dengan kasusnya.
Tujuan
- Mencegah kaki yang masuk kearah dalam
- Mengkoreksi telapak kaki pasien yang jinjit atau kaku
- Alat bantu penguat kaki
- Mengembalikan posisi normal bagian ankle
- Sebagai alat bantu latihan jalan
15
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Salah satu penyakit non infeksi yang berkembang saat ini adalah
penyakit atau gangguan sistem peredaran darah yang menimbulkan
kerusakan pada sistem saraf pusat dan lebih lanjut menyebabkan
kelumpuhan pada sebagian anggota badan dan wajah sehingga
menurunkan kapasitas fisik dan kemampuan fungsional pasien.
Interfensi fisioterapi dan kerjasama dengan tenaga medis dan
paramedis lainnya pada kasus-kasus seperti ini sangat dibutuhkan, baik
selama pasien dirawat di RS maupun setelah kembali di keluarganya.
Hemipharese merupakan suatu kondisi yang ditandai adanya
kelumpuhan separuh badan, wajah, lengan, dan tungkai berupa gangguan
motorik dan gerakan ADL lainnya.
Pada kausu hemiparase dapat di berikan alat bantu yaitu : cock up
hand splint yang berguna untuk mengotrol pergerakan sendi tertentu, dan
ankle foot orthosis (AFO) yang berfungsi sebagai alat bantu penguat kaki,
untuk mengembalikan posisi normal bagian ankle.
16
DAFTAR PUSTAKA
Sugeng.ortho.medical
17