Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

VERTIGO, DIAGNOSIS DAN TERAPI

Oleh:
Ghina Salsabila Rylanda
123810080

Pembimbing :
dr. Awaludin Noor, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK SMF NEUROLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UGJ
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH 45
KUNINGAN
2023
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN
ILMU KESEHATAN SARAF

REFERAT
VERTIGO, DIAGNOSIS DAN TERAPI

Referat ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam


Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Saraf RSUD 45 Kuningan

Disusun Oleh:

Ghina Salsabila Rylanda 123810080

Kuningan, November 2023

Pembimbing,

dr. Awaludin Noor, Sp.S

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan Referat yang berjudul “Vertigo,
Diagnosis dan Terapi”. Penulisan referat ini dilakukan dalam rangka memenuhi
salah satu tugas Pendidikan Profesi Dokter bagian Ilmu Kesehatan Saraf di Rumah
Sakit Umum 45 Kuningan. Saya menyadari sangatlah sulit bagi saya untuk
menyelesaikan tugas ini tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sejak
penyusunan sampai dengan terselesaikannya referat ini.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dokter
pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan
pengarahan dalam penyusunan referat ini dari awal hingga selesai. Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan yang membangun dan saran demi
perbaikan dimasa yang akan datang. Semoga referat ini dapat berguna bagi kita
semua.
Kuningan, November 2023

Penulis

Ghina Salsabila Rylanda

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... i

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................3

2.1 Anatomi Sistem Keseimbangan .....................................................................3

2.2 Vertigo ............................................................................................................6

2.2.1 Definisi ................................................................................................6

2.2.2 Epidemiologi .......................................................................................6

2.2.3 Etiologi ................................................................................................7

2.2.4 Patofisiologi ........................................................................................8

2.2.5 Klasifikasi .........................................................................................11

2.2.6 Diagnosis ...........................................................................................12

2.2.7 Penatalaksanaan ................................................................................16

BAB III KESIMPULAN ......................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 25

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keseimbangan merupakan kemampuan untuk mempertahankan orientasi
tubuh dengan lingkungan sekitar. Keseimbangan pada manusia diatur oleh input
yang bersifat kontinyu dari sistem vestibular, propioseptif, dan visual. Impuls
dari ketiga dari ketiga sistem ini akan mengalami proses integrasi dan modulasi
di batang otak, serebelum, dan serebral. Lesi atau disfungsi dari sistem yang
berperan pada sistem keseimbangan ini akan menimbulkan gangguan
keseimbangan atau dizziness. Gangguan keseimbangan terbagi menjadi 4
kelompok yaitu vertigo vestibular, vertigo non-vestibular, presinkop, dan
disekuilibrium.1,2
Vertigo merupakan keluhan yang umum dijumpai pada praktek
klinik dimana pasien menggambarkan sebagai rasa berputar, rasa oleng,
tak stabil (giddiness, unsteadiness) atau rasa pusing (dizziness). Berbeda
dengan vertigo, dizziness atau pusing merupakan suatu keluhan yang umum
terjadi akibat perasaan disorientasi, biasanya dipengaruhi oleh persepsi posisi
terhadap lingkungan. Vertigo merupakan bagian dari dizziness atau gangguan
keseimbangan bersama dengan presinkop dan disekuilibrium. 1
Secara keseluruhan, insiden pusing, vertigo dan ketidakstabilan (imbalance)
mencapai 5-10% dan meningkat menjadi 40% pada usia lebih 40 tahun. Dari
keempat subtipe dizziness, vertigo terjadi pada sekitar 32% kasus, dan sampai
dengan 56,4% pada populasi orang tua. Sedangkan prevalensi kasus sindrom
vertigo terbanyak adalah benign paroxysmal positioning vertigo (BPPV)
sebanyak 17,7% dan vertigo vestibular sentral menempati urutan ketiga
sebanyak 12,2%.1,2
Secara etiologis, vertigo disebabkan oleh adanya abnormalitas organ -
organ vestibuler, visual, ataupun sistem propioseptif. Secara umum vertigo
dibagi menjadi dua kategori berdasarkan yaitu vertigo vestibular dan non
vestibular. Vertigo non vestibular mencakup vertigo karena gangguan pada

1
2

visual dan sistem proprioseptif. Sementara vertigo vestibular dibagi menjadi


dua yaitu vertigo sentral dan perifer.1,2
Pada penelitian retrospektif lain, dari 400 kunjungan ke unit gawat darurat
neurologi didapatkan dizziness (12%) merupakan keluhan ketiga terbanyak
setelah nyeri kepala (21%), dan stroke (13%).Vertigo merupakan gejala dengan
etiologi yang beragam, sehingga perlu mencari etiologi berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik secara teliti. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan
hanya dilakukan sesuai dengan etiologi yang dicurigai sehingga diagnosisnya
harus dapat ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda klinis. Pada kasus
kegawatdaruratan neurologi, kemampuan untuk dapat mendiagnosis vertigo
sentral dan perifer menjadi penting karena berkaitan dengan tatalaksana dan
prognosisnya.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Keseimbangan

Gambar 1. Anatomi Sistem Keseimbangan Perifer2

Alat vestibuler terletak di telinga dalam (labirin), terlindung oleh tulang yang
paling keras yang dimiliki oleh tubuh. Labirin secara umum adalah telinga dalam,
tetapi secara khusus dapat diartikan sebagai alat keseimbangan. Labirin terdiri atas
labirin tulang dan labirin membrane. Labirin membrane terletak dalam labirin
tulang dan bentuknya hampir menurut bentuk labirin tulang. Antara labirin
membrane dan labirin tulang terdapat perilimf, sedang endolimf terdapat didalam
labirin membrane. Berat jenis endolimf lebih tinggi daripada cairan perilimf. Ujung
saraf vestibuler berada dalam labirin membran yang terapung dalam perilimf, yang
berada pada labirin tulang. Setiap labirin terdiri dari tiga kanalis semisirkularis,
yaitu horizontal (lateral), anterior (superior), posterior (inferior). Selain ke tiga
kanalis ini terdapat pula utrikulus dan sakulus. 2,3

3
4

Labirin juga dapat dibagi kedalam dua bagian yang saling berhubungan, yaitu:
1. Labirin anterior yang terdiri atas kokhlea yang berperan dalam
pendengaran.
2. Labirin posterior, yang mengandung tiga kanalis semisirkularis, sakulus dan
utrikulus. Berperan dalam mengatur keseimbangan. (di utrikulus dan
sakulus sel sensoriknya berada di makula, sedangkan di kanalis sel
sensoriknya berada di krista ampulanya)2,3
Keseimbangan dan orientasi tubuh seseorang terhadap lingkungan disekitarnya
tergantung kepada input sensorik dari reseptor vestibuler di labirin, organ visial dan
proprioseptif. Gabungan informasi ketiga reseptor sensorik tersebut akan diolah di
SSP, sehingga menggambarkan keadaan posisi tubuh pada saat itu. 2,3
Reseptor sistem ini adalah sel rambut yang terletak dalam krista kanalis
semisirkularis dan makula dari organ otolit. Secara fungsional terdapat dua jenis
sel. Sel-sel pada kanalis semisirkularis peka terhadap rotasi khususnya terhadap
percepatan sudut, sedangkan sel-sel pada organ otolit peka terhadap gerak linier,
khususnya percepatan inier dan terhadap perubahan posisi kepala relatif terhadap
gravitasi. Perbedaan kepekaan terhadap percepatan sudut dan percepatan linier ini
disebabkan oleh geometridari kanalis dan organ otolit serta ciri-ciri fisik dari
struktur-struktur yang menutupi sel rambut.2
Sel rambut
Secara morfologi sel rambut pada kanalis sangat serupa dengan sel rambut
pada organ otolit. Masing-masing sel rambut memiliki polarisasi struktural yang
dijelaskan oleh posisi dari stereosilia relatif terhadap kinosilim. Jika suatu gerakan
menyebabkan stereosilia membengkok kearah kinosilium, maka sel-sel rambut
akan tereksitasi. Jika gerakan dalam arah yang berlawanan sehingga stereosilia
menjauh dari kinosilium maka sel-sel rambut akan terinhibisi. 3
Kanalis semisirkularis
Polarisasi adalah sama pada seluruh sel rambut pada tiap kanalis, dan pada
rotasi sel-sel dapat tereksitasi ataupun terinhibisi. Ketiga kanalis hampir tegak lurus
satu dengan yang lainnya, dan masing-masing kanalis dari satu telinga terletak
5

hampir satu bidang yang sama dengan kanalis telinga satunya. Pada waktu rotasi,
salah satu dari pasangan kanalis akan tereksitasi sementara yang satunya akan
terinhibisi. Misalnya, bila kepala pada posisi lurus normal dan terdapat percepatan
dalam bidang horizontal yang menimbulkan rotasi ke kanan, maka serabut-serabut
aferen dari kanalis hirizontalis kanan akan tereksitasi, sementara serabut-serabut
yang kiri akan terinhibisi. Jika rotasi pada bidang vertikal misalnya rotasi kedepan,
maka kanalis anterior kiri dan kanan kedua sisi akan tereksitasi, sementara kanalis
posterior akan terinhibisi. 2
Organ otolit
Ada dua organ otolit, utrikulus yang terletak pada bidang kepala yang hampir
horizontal, dan sakulus yang terletak pada bidang hampir vertikal. Berbeda dengan
sel rambut kanalis semisirkularis, maka polarisasi sel rambut pada organ otolit tidak
semuanya sama. Pada makula utrikulus, kinosilium terletak di bagian samping sel
rambut yang terdekat dengan daerah sentral yaitu striola. Maka pada saat kepala
miring atau mengalami percepatan linier, sebagian serabut aferen akan tereksitasi
sementara yang lainnya terinhibisi. Dengan adanya polarisasi yang berbeda dari
tiap makula, maka SSP mendapat informasi tentang gerak linier dalam tiga dimensi,
walaupun sesungguhnya hanya ada dua makula. 2,3
Hubungan-hubungan langsung antara inti vestibularis dengan motoneuron
ekstraokularis merupakan suatu jaras penting yang mengendalikan gerakan mata
dan refleks vestibulo-okularis (RVO). RVO adalah gerakan mata yang mempunyai
suatu komponen lambat berlawanan arah dengan putaran kepala dan suatu
komponen cepat yang searah dengan putaran kepala. Komponen lambat
mengkompensasi gerakan kepal dan berfungsi menstabilkan suatu bayangan pada
retina. Komponen cepat berfungsi untuk kembali mengarahkan tatapan ke bagian
lain dari lapangan pandang. Perubahan arah gerakan mata selama rangsangan
vestibularis merupakan suatu contoh dari nistagmus normal.2
6

2.2 Vertigo
2.2.1 Definisi
Vertigo berasal dari istilah latin yaitu vertere yang berarti berputar dan igo
yang berarti kondisi. Vertigo merupakan subtipe dari dizziness yang secara definitif
merupakan ilusi gerakan, dan yang paling sering adalah perasaan atau sensasi tubuh
berputar terhadap lingkungan atau sebaliknya, lingkungan sekitar kita rasakan
berputar. Vertigo juga dirasakan sebagai suatu perpindahan linear atau miring,
tetapi gejala seperti ini lebih jarang dirasakan. Kondisi ini merupakan gejala kunci
yang menandakan adanya gangguan sistem vestibuler dan kadang merupakan
gejala kelainan labirin.1,4
Vertigo dibedakan menjadi dua berdasarkan letak lesi penyebabnya. Vertigo
sentral adalah vertigo yang disebabkan oleh lesi sentral yang dapat disertai gejala
unilateral atau hanya dirasakan di satu sisi tubuh pasien. Sedangkan vertigo perifer
merupakan vertigo yang disebabkan oleh letak lesi perifer pada batang otak,
serebelum, dan serebrum dengan kebanyakan memiliki gejala yang berat. 1
2.2.2 Epidemiologi
Vertigo merupakan gejala yang sering didapatkan pada individu dengan
prevalensi sebesar 7-10% vertigo yang dialami ini bersifat rekuren. Vertigo juga
dapat dialami oleh anak-anak dengan prevalensi 8-18% (5). Pada penelitian yang
dilakukan di tahun 2015 di Amerika, insidensi dari vertigo berkisar di angka 3.1%
di mana prevalensinya sebesar 22.9% (1). Insidensi vertigo akan meningkat seiring
bertambahnya usia dan sedikit lebih sering dialami oleh laki-laki. Vertigo yang
disebabkan oleh penyakit di sistem saraf pusat memiliki prevalensi 3.2-12.5% dari
keseluruhan pasien yang datang ke UGD (6). Dari semua pasien yang datang ke
UGD dengan vertigo, sebanyak 4% disebabkan oleh karena penyakit di serebelum,
1.3% penyakit di fossa posterior, dan 14.7% disebabkan oleh penyakit jantung dan
metabolik.1,4
7

2.2.3 Etiologi
a. Vertigo Sentral
Etiologi dari vertigo sentral seperti yang sudah disebutkan sebelumnya adalah
adanya lesi atau penyakit di sistem saraf pusat. Penyakit ini meliputi migrain
vestibular, stroke iskemik vertebrobasilar, TIA (Transient Ischemic Attack),
sklerosis multipel, dan adanya massa pada sudut serebelopontin seperti neuroma
akustik dan tumor. Selain itu, vertigo sentral juga bisa disebabkan oleh penyakit
kongenital seperti Dandy Walker Syndrome yang merupakan kelainan berupa
hipoplasi vermis serebelum, dilatasi kistik ventrikel ke empat, dan pembesaran
fossa posterior baik disertai ataupun tanpa disertai hidrosefalus.1

b. Vertigo Perifer
1) BPPV (Beningn Paroxysmal Position Vertigo)
Terjadi saat otokonia, yaitu suatu kalsium karbonat yang terbantuk di
makula utrikulus, terlepas dan masuk ke dalam kanalis semisirkularis
sehingga menyebabkan sensasi berputar ketika perubahan posisi kepala. 1
2) Vestibular Neuritis
Inflamasi pada nervus vestibularis yang kemungkinan banyak disebabkan
oleh virus atau riwayat infeksi saluran napas yang banyak mendahului
gejala vestibular neuritis.1
3) Meniere’s Disease
Hidrops endolimfatik yang disebabkan oleh infeksi atau inflamasi pada
kantung endolimfatik di koklea dan kanalis semisirkularis sehingga terjadi
gangguan absorpsi cairan endolimfatik.1
8

2.2.4 Patofisiologi
a. Vertigo Sentral

Gambar 2. Jalur Vestibulo-cochlear refleks (VOR)1


. Lesi sentral yang dimaksud adalah lesi di sepanjang jalur vestibular di
batang otak. Jalur ini membentang dari nukleus vestibular di medulla oblongata
hingga ke korteks temporoparietal. Struktur terpenting dalam terbentuknya vertigo
sentral adalah jalur neuronal yang memediasi VOR (Vestibulo-ocular reflex). Jalur
ini berjalan dari labirin perifer di atas nukleus vestibular di batang otak menuju ke
nukleus motorik okuler (III, IV dan VI) dan pusat integrasi supranukleus di pons
dan mesensefalon (nukleus intersisial Cajal, INC dan nukleus intersisial dari
fasikulus longitudinal medialis (riMLF)). Pergerakan mata dibentuk dari tiga
lengkung refleks ini ketika ada pergerakan cepat dari kepala dan tubuh.1,4
Berdasarkan jalur lengkung refleks yang dibentuk, terdapat jalur asenden dan
desenden. Jalur asenden berjalan secara kontralateral dan ipsilateral di atas
thalamus posterolateral hingga ke area korteks temporoparietal dan insula. Korteks
vestibular parietoinsular dan area di girus temporalis superior serta inferior lobus
parietal adalah area yang bertanggung jawab terhadap persepsi, self-motion, dan
orientasi tempat.1,4
9

b. Vertigo Perifer

Gambar 3. Patogenesis Vestibular Neuritis5


Defleksi ini diterjemahkan dalam sinyal yang diteruskan ke otak sehingga
timbul sensasi kepala menoleh ke kanan. Adanya partikel atau debris dalam kanalis
semisirkularis akan mengurangi atau bahkan menimbulkan defleksi kupula ke arah
sebaliknya dari arah gerakan kepala yang sebenarnya. Hal ini menimbulkan sinyal
yang tidak sesuai dengan arah gerakan kepala, sehingga timbul sensasi berupa
vertigo.4
Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan tubuh
yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya dengan
apayang dipersepsi oleh susunan saraf pusat. Lesi unilateral pada jalur vestibular
akan menyebabkan terjadinya sindroma vestibular sebagai konsekuensi dari
ketidakseimbangan tonus. Ada dua macam sindrom klinis yang relevan yaitu spatial
hemineglect dan the pusher syndrome yang terjadi apabila lesi terdapat di daerah
thalamus atau di hemisfer otak.4
Pada telinga dalam terdapat 3 kanalis semisirkularis. Ketiga kanalis
semisirkularis tersebut terletak pada bidang yang saling tegak lurus satu sama lain.
10

Pada pangkal setiap kanalis semisirkularis terdapat bagian yang melebar yakni
ampula. Di dalam ampula terdapat kupula, yakni alat untuk mendeteksi gerakan
cairan dalam kanalis semisirkularis akibat gerakan kepala. Sebagai contoh, bila
seseorang menolehkan kepalanya ke arah kanan, maka cairan dalam kanalis
semisirkularis kanan akan tertinggal sehingga kupula akan mengalami defleksi ke
arah ampula.
Ketika ada kerusakan atau gangguan pada otak yang berfungsi
mempersepsikan impuls terkait keseimbangan ini, maka respon yang terbentuk
tentu tidak akan normal. Perubahan posisi dan gerak kepala yang diinformasikan
melalui sistem vestibular normalnya akan membuat mata tetap stabil ketika
memandang. Hal ini yang mana telah disebutkan sebelumnya yaitu dengan
mekanisme VOR. Apabila terdapat gangguan pada salah satu komponen VOR
misalnya batang otak maka impuls yang diteruskan akan salah dipersepsikan.
Akibatnya pasien akan mengalami vertigo yang disertai dengan nistagmus dan
ketidakseimbangan postur tubuh.4

Gambar 4. Patogenesis BPPV5


11

2.2.5 Klasifikasi

Gambar 5. Klasifikasi Vertigo6


a. Sentral diakibatkan oleh kelainan pada batang otak atau cerebellum
b. Perifer disebabkan oleh kelainan pada telinga dalam atau nervus
cranialis vestibulocochlear (N. VIII).
c. Medical vertigo dapat diakibatkan oleh penurunan tekanan darah, gula
darah yang rendah, atau gangguan metabolic karena pengobatan atau
infeksi sistemik.3

Tabel 1. Perbedaan Vertigo Sentral dan Perifer1,4


Vertigo vestibuler perifer Vertigo vestibuler sentral
Kejadian Episodik, onset mendadak Konstan
Arah nistagmus Satu arah Bervariasi
Aksis nistagmus Horizontal atau rotatorik Horizontal, vertikal,
oblik, atau rotatorik
Tipe nistagmus Fase lambat dan cepat Fase ireguler atau
setimbang
12

Hilang Bisa terjadi Tidak ada


pendengaran,
tinitus
Kehilangan Tidak ada Dapat terjadi
kesadaran
Gejala neurologis Tidak ada Sering ditandai defisit
lainnya saraf kranial serta tanda-
tanda serebelar dan
piramidal

2.2.6 Diagnosis

Gambar 6. Diagnosis Vertigo berdasarkan Gejala Klinis7


Diagnosis pada vertigo sentral dapat ditegakkan dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pada anamnesis harus ditanyakan apakah pusing yang dirasakan
oleh pasien terasa seperti berputar atau hanya merasa kepalanya ringan. Selanjutnya
13

perlu ditanyakan juga durasi, onset, frekuensi, keparahan dan faktor yang
memperberat vertigonya. Biasanya, vertigo sentral durasinya lebih lama tetapi
tingkat keparahannya tergolong ringan. Gejala lain yang berhubungan dengan
vertigo juga harus dieksplorasi seperti mual muntah, sakit kepala, penurunan
pendengaran, telinga terasa penuh dan tinnitus.
Riwayat penyakit juga perlu ditanyakan karena adanya risiko penyakit jantung
meningkatkan kejadian iskemia cerebrovaskular dan dapat menyebabkan vertigo
khususnya di usia tua dengan serangan spontan. Pemeriksaan yang dilakukan untuk
membantu penegakan diagnosis vertigo sentral disingkat dengan HINTS yang
memiliki kepanjangan Head Impulse, Nystagmus, Test of Skew dan manuver Idx-
Hallpike.1,4,7

1. Horizontal head impulse.


Pemeriksaan ini dilakukan dengan menginstruksikan pasien untuk melihat ke
arah hidung pemeriksa dan pemeriksa dengan cepat memutar kepala pasien dengan
kecepatan sedang sambil mengamati mata pasien. Adanya gerakan sakadik refiksasi
didefinisikan sebagai hasil positif. Apabila hasilnya normal maka vertigonya adalah
tipe sentral. Head impulse test memiliki angka sensitivitas sebesar 11.1% dan
spesifisitas sebesar 100% dalam membedakan central vestibular disorder dengan
vestibular migraine.
14

Gambar 7. Pemeriksaan horizontal head impulse

2. Manuver Nylen-Barany atau Hallpike


Merupakan pemeriksaan klinis standar untuk pasien BPPV. Dix-Hallpike
manuever secara garis besar terdiri dari dua gerakan yaitu Dix-Hallpike manuever
kanan pada bidang kanal anterior kiri dan kanal posterior kanan dan Dix- Hallpike
manuever kiri pada bidang posterior kiri. Cara melakukannya sebagai berikut :2

1. Pertama-tama jelaskan pada penderita mengenai prosedur pemeriksaan,


vertigo mungkin akan timbul namun menghilang setelah beberapa detik.
2. Penderita didudukkan dekat bagian ujung tempat periksa, sehingga ketika
posisi terlentang kepala ekstensi ke belakang 30 0-400, penderita diminta
tetap membuka mata untuk melihat nistagmus yang muncul.
3. Kepala diputar menengok ke kanan 450 (kalau kanalis semisirkularis
posterior yang terlibat). Ini akan menghasilkan kemungkinan bagi otolith
untuk bergerak, kalau ia memang sedang berada di kanalis semisirkularis
posterior.
4. Dengan tangan pemeriksa pada kedua sisi kepala penderita, penderita
direbahkan sampai kepala tergantung pada ujung tempat periksa.
5. Perhatikan munculnya nistagmus dan keluhan vertigo, posisi tersebut
dipertahankan selama 10-15 detik.
6. Komponen cepat nistagmus harusnya “up-bet‟ (ke arah dahi) dan ipsilateral.
7. Kembalikan ke posisi duduk, nistagmus bisa terlihat dalam arahyang
berlawanan dan penderita mengeluhkan kamar berputar kearah berlawanan.
8. Berikutnya manuver tersebut diulang dengan kepala menoleh ke sisi kiri 45 0
dan seterusnya.
Pada orang normal nistagmus dapat timbul pada saat gerakan provokasi ke
belakang, namun saat gerakan selesai dilakukan tidak tampak lagi nistagmus. Pada
pasien BPPV setelah provokasi ditemukan nistagmus yang timbulnya lambat, 40
detik, kemudian nistagmus menghilang kurang dari satu menit bila sebabnya
kanalitiasis, pada kupulolitiasis nistagmus dapat terjadi lebih dari satu menit,
15

biasanya serangan vertigo berat dan timbul bersamaan dengan nistagmus. 3


Dix dan Hallpike mendeskripsikan tanda dan gejala BPPV sebagai berikut : 4

1) Terdapat posisi kepala yang mencetuskan serangan


2) Nistagmus yang khas
3) Adanya masa laten
4) Lamanya serangan terbatas
5) Arah nistagmus berubah bila posisi kepala dikembalikan ke posisi awal
6) Adanya fenomena kelelahan/fatique nistagmus bila stimulus diulang
Dix-hallpike manuver lebih sering digunakan karena pada manuver tersebut
posisi kepala sangat sempurna untuk canalith repositioning treatment. Pada pasien
BPPV, Dix-Hallpike manuver akan mencetuskan vertigo dan nistagmus.2

Gambar 8. Dix-Hallpike Manuever


3. Test of skew
pemeriksaan ini dilakukan dengan meminta pasien melihat ke arah hidung
pemeriksa. Lalu, kedua mata pasien kanan dan kiri ditutup secara bergantian
dengan cepat. Kemudian diamati apakah mata pasien bergerak untuk kembali
sejajar lagi. Apabila hasilnya ada ketidaksejajaran vertikal pada mata maka
mengindikasikan adanya vertigo sentral.
16

4. Tes Keseimbangan
Pemeriksaan klinis, baik yang dilakukan unit gawat darurat maupun di ruang
pemeriksaan lainnya, mungkin akan memberikan banyak informasi tentang keluhan
vertigo. Beberapa pemeriksaan klinis yang mudah dilakukan untuk melihat dan
menilai gangguan keseimbangan diantaranya adalah: Tes Romberg. Pada tes ini,
penderita berdiri dengan kaki yang satu di depan kaki yang lain, tumit yang satu
berada di depan jari-jari kaki yang lain (tandem). Orang yang normal mampu berdiri
dalam sikap Romberg ini selama 30 detik atau lebih. Berdiri dengan satu kaki
dengan mata terbuka dankemudian dengan mata tertutup merupakan skrining yang
sensitif untuk kelainan keseimbangan. Bila pasien mampu berdiri dengan satu kaki
dalam keadaan mata tertutup, dianggap normal. 2

Gambar 9. Romberg Test

2.2.7 Penatalaksanaan
1. Non-Farmakologi
Benign Paroxysmal Positional Vertigo dikatakan adalah suatu penyakit yang
ringan dan dapat sembuh secara spontan dalam beberapa bulan. Namun telah
banyak penelitian yang membuktikan dengan pemberian terapi dengan manuver
reposisi partikel/ Particle Repositioning Maneuver (PRM) dapat secara efektif
menghilangkan vertigo pada BPPV, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi
risiko jatuh pada pasien. Keefektifan dari manuver-manuver yang ada bervariasi
mulai dari 70%-100%. Beberapa efek samping dari melakukan manuver seperti
17

mual, muntah, vertigo, dan nistagmus dapat terjadi, hal ini terjadi karena adanya
debris otolitith yang tersumbat saat berpindah ke segmen yang lebih sempit
misalnya saat berpindah dari ampula ke kanal bifurcasio. Setelah melakukan
manuver, hendaknya pasien tetap berada pada posisi duduk minimal 10 menit untuk
menghindari risiko jatuh. Tujuan dari manuver yang dilakukan adalah untuk
mengembalikan partikel ke posisi awalnya yaitu pada makula utrikulus.2
Ada lima manuver yang dapat dilakukan :
a. Manuver Epley
Manuver Epley adalah yang paling sering digunakan pada kanal vertikal.
Pasien diminta untuk menolehkan kepala ke sisi yang sakit sebesar 450, lalu pasien
berbaring dengan kepala tergantung dan dipertahankan 1-2 menit. Lalu kepala
ditolehkan 900 ke sisi sebaliknya, dan posisi supinasi berubah menjadi lateral
dekubitus dan dipertahan 30-60 detik. Setelah itu pasien mengistirahatkan dagu
pada pundaknya dan kembali ke posisi duduk secara perlahan. 3

Gambar 10. Manuver Epley

b. Manuver Semont
Manuver ini diindikasikan untuk pengobatan cupulolithiasis kanan posterior.
Jika kanal posterior terkena, pasien diminta duduk tegak, lalu kepala dimiringkan
450 ke sisi yang sehat, lalu secara cepat bergerak ke posisi berbaring dan
dipertahankan selama 1-3 menit. Ada nistagmus dan vertigo dapat diobservasi.
18

Setelah itu pasien pindah ke posisi berbaring di sisi yang berlawanan tanpa kembali
ke posisi duduk lagi.3

Gambar 11. Manuver Semont

c. Manuver Lempert
Manuver ini dapat digunakan pada pengobatan BPPV tipe kanal lateral. Pasien
berguling 3600, yang dimulai dari posisi supinasi lalu pasien menolehkan kepala
900 ke sisi yang sehat, diikuti dengan membalikkan tubuh ke posisi lateral
dekubitus. Lalu kepala menoleh ke bawah dan tubuh mengikuti ke posisi ventral
dekubitus. Pasien kemudian menoleh lagi 900 dan tubuh kembali ke posisi lateral
dekubitus lalu kembali ke posisi supinasi. Masing-masing gerakan dipertahankan
selama 15 detik untuk migrasi lambat dari partikel-partikel sebagai respon terhadap
gravitasi.2

Gambar 12. Manuver Lempert


19

d. Forced Prolonged Position


Manuver ini digunakan pada BPPV tipe kanal lateral. Tujuannya adalah untuk
mempertahankan kekuatan dari posisi lateral dekubitus pada sisi telinga yang sakit
dan dipertahankan selama 12 jam.3
e. Brandt-Daroff exercise
Manuver ini dikembangkan sebagai latihan untuk di rumah dan dapat
dilakukan sendiri oleh pasien sebagai terapi tambahan pada pasien yang tetap
simptomatik setelah manuver Epley atau Semont. Latihan ini juga dapat membantu
pasien menerapkan beberapa posisi sehingga dapat menjadi kebiasaan.3

Gambar 13. Brandt-Daroff exercise

2. Farmakologi
a. Vertigo Sentral
Pada prinsipnya, tata laksana vertigo vestibular sentral dibagi menjadi :
1) Terapi kausal: sesuai dengan etiologi
2) Terapi simptomatik: bertahistin, flunarizine, atau cinarizin
3) Vestibular rehabilitation therapy (VRT): cawthrone Cooksey exercis1
b. Vertigo Perifer
Pemberian obat-obat simptomatik untuk mengobati gejala dizziness, mual,
dan muntah pada vertigo meliputi golongan antikolinergik, antihistamin,
dan benzodiazepine.1
20

Obat-obatan antivertigo hanya diindikasikan untuk:


1) Gejala vertigo vestibular perifer atau sentral akut (maksimal 3
hari)Profilaksis mual dan muntah dalam tindakan manuver BPPV
2) Profilaksis mabuk perjalanan
3) Sebagai terapi pada vertigo posisional sentral dengan mual 1

Gambar 14. Obat-obatan Simptomatik untuk Vertigo1

Obat-obatan tersebut tidak direkomendasikan untuk pemberian jangka


panjang karena akan menganggu mekanisme kompensasi sentral pada
gangguan vestibular perifer bahkan dapat menyebabkan adiksi obat.1

Secara umum, penatalaksanaan medika- mentosa mempunyai tujuan utama: (i)


mengeliminasi keluhan vertigo, (ii) memperbaiki proses-proses kompensasi
vestibuler, dan (iii) mengurangi gejala-gejala neurovegetatif ataupun psikoafektif.
Beberapa golongan obat yang dapat digunakan untuk penanganan vertigo di
antaranya adalah : 2
a. Antikolinergik
21

Antikolinergik merupakan obat pertama yang digunakan untuk penanganan


vertigo, yang paling banyak dipakai adalah skopolamin dan homatropin. Kedua
preparat tersebut dapat juga dikombinasikan dalam satu sediaan antivertigo.
Antikolinergik berperan sebagai supresan vestibuler melalui reseptor muskarinik.
Pemberian antikolinergik per oral memberikan efek rata-rata 4 jam, sedangkan
gejala efek samping yang timbul terutama berupa gejala-gejala penghambatan
reseptor muskarinik sentral, seperti gangguan memori dan kebingungan (terutama
pada populasi lanjut usia), ataupun gejala-gejala penghambatan muskarinik perifer,
seperti gangguan visual, mulut kering, konstipasi, dan gangguan berkemih.2
b. Antihistamin
Penghambat reseptor histamin-1 (H-1 blocker) saat ini merupakan
antivertigo yang paling banyak diresepkan untuk kasus vertigo,dan termasuk di
antaranya adalah difenhidramin, siklizin, dimenhidrinat, meklozin, dan pro-
metazin. Mekanisme antihistamin sebagai supresan vestibuler tidak banyak
diketahui, tetapi diperkirakan juga mempunyai efek ter- hadap reseptor histamin
sentral. Antihistamin mungkin juga mempunyai potensi dalam
mencegahdanmemperbaiki“motionsickness”. Efek sedasi merupakan efek samping
utama dari pemberian penghambat histamin-1. Obat ini biasanya diberikan per oral,
dengan lama kerja bervariasi mulai dari 4 jam (misalnya, sikl- izin) sampai 12 jam
(misalnya, meklozin).1

c. Histaminergik
Obat kelas ini diwakili oleh betahistin yang digunakan sebagai antivertigo
di beberapa negara Eropa, tetapi tidak di Amerika. Betahistin sendiri merupakan
prekrusor histamin. Efek antivertigo betahistin diperkirakan berasal dari efek
vasodilatasi, perbaikan aliran darah pada mikrosirkulasi di daerah telinga tengah
dan sistem vestibuler. Pada pemberian per oral, betahistin diserap dengan baik,
dengan kadar puncak tercapai dalam waktu sekitar 4 jam. efek samping relatif
jarang, termasuk di antaranya keluhan nyeri kepala dan mual.1
22

d. Antidopaminergik
Antidopaminergik biasanya digunakan untuk mengontrol keluhan mual
pada pasien dengan gejala mirip-vertigo. Sebagian besar antidopaminergik
merupakan neuroleptik. Efek antidopaminergik pada vestibuler tidak diketahui
dengan pasti, tetapi diperkirakan bahwa antikolinergik dan antihistaminik (H1)
berpengaruh pada sistem vestibuler perifer. Lama kerja neuroleptik ini bervariasi
mulai dari 4 sampai 12 jam. Beberapa antagonis dopamin digunakan sebagai
antiemetik, seperti domperidon dan metoklopramid. Efek samping dari antagonis
dopamin ini terutama adalah hipotensi ortostatik, somnolen, serta beberapa keluhan
yang berhubungan dengan gejala ekstrapiramidal, seperti diskinesia tardif,
parkinsonisme, distonia akut, dan sebagainya.1
e. Benzodiazepin
Benzodiazepin merupakan modulator GABA, yang akan berikatan di
tempat khusus pada reseptor GABA. Efek sebagai supresan vesti- buler
diperkirakan terjadi melalui mekanisme sentral. Namun, seperti halnya obat-obat
sedatif, akan memengaruhi kompensasi ves- tibuler. Efek farmakologis utama dari
benzo- diazepin adalah sedasi, hipnosis, penurunan kecemasan, relaksasi otot,
amnesia antero- grad, serta antikonvulsan. Beberapa obat go- longan ini yang sering
digunakan adalah lora- zepam, diazepam, dan klonazepam.3
f. Antagonis kalsium
Obat-obat golongan ini bekerja dengan menghambat kanal kalsium di dalam
sistem vestibuler, sehingga akan mengurangi jum- lah ion kalsium intrasel.
Penghambat kanal kalsium ini berfungsi sebagai supresan ves- tibuler. Flunarizin
dan sinarizin merupakan penghambat kanal kalsium yang diindikasi- kan untuk
penatalaksanaan vertigo; kedua obat ini juga digunakan sebagai obat migren. Selain
sebagai penghambat kanal kalsium, ternyata unarizin dan sinarizin mempunyai efek
sedatif, antidopaminergik, serta antihis- tamin-1. Flunarizin dan sinarizin
dikonsumsi per oral. Flunarizin mempunyai waktu paruh yang panjang, dengan
kadar mantap tercapai setelah 2 bulan, tetapi kadar obat dalam darah masih dapat
terdeteksi dalam waktu 2-4 bulan setelah pengobatan dihentikan. Efek samping
jangka pendek dari penggunaan obat ini teru- tama adalah efek sedasi dan
23

peningkatan be- rat badan. Efek jangka panjang yang pernah dilaporkan ialah
depresi dan gejala parkinso-nisme, tetapi efek samping ini lebih banyak terjadi pada
populasi lanjut usia.3
g. Simpatomimetik
Simpatomimetik, termasuk efedrin dan amfetamin, harus digunakan secara
hati-hati karena adanya efek adiksi.3

h. Asetilleusin
Obat ini banyak digunakan di Prancis. Meka- nisme kerja obat ini sebagai
antivertigo tidak diketahui dengan pasti, tetapi diperkirakan bekerja sebagai
prekrusor neuromediator yang memengaruhi aktivasi vestibuler aferen, serta
diperkirakan mempunyai efek sebagai “antikalsium” pada neurotransmisi.
Beberapa efek samping penggunaan asetilleusin ini di antaranya adalah gastritis
(terutama pada do- sis tinggi) dan nyeri di tempat injeksi.2
i. Lain-lain
Beberapa preparat ataupun bahan yang diperkirakan mempunyai efek
antivertigo di antaranya adalah ginkgo biloba, piribedil (ago- nis dopaminergik),
dan ondansetron.2
BAB III
KESIMPULAN

Vertigo merupakan subtipe dari dizziness yang secara definitif merupakan


ilusi gerakan, dan yang paling sering adalah perasaan atau sensasi tubuh berputar
terhadap lingkungan atau sebaliknya, lingkungan sekitar kita rasakan berputar.
Vertigo dibedakan menjadi dua berdasarkan letak lesi penyebabnya. Vertigo sentral
adalah vertigo yang disebabkan oleh lesi sentral yang dapat disertai gejala unilateral
atau hanya dirasakan di satu sisi tubuh pasien. Sedangkan vertigo perifer
merupakan vertigo yang disebabkan oleh letak lesi perifer pada batang otak,
serebelum, dan serebrum dengan kebanyakan memiliki gejala yang berat.
Penegakan diagnosis vertigo sentral dilakukan dengan melakukan
anamnesis terkait gejala dan riwayat penyakit pasien serta dengan melakukan
pemeriksaan HINTS yang memiliki kepanjangan Head Impulse, Nystagmus, Test
of Skew dan manuver Dix-Hallpike. Apabila ada indikasi dapat pula dilakukan
pemeriksaan radiologis untuk menunjang diagnosis. Tatalaksana yang diberikan
dapat berupa tatalaksana serangan akut dan spesifik. Pada serangan akut dapat
diberikan vestibular blocking agents. Terapi spesifik disesuaikan dengan penyebab
vertigo. Terapi rehabilitasi dan manuver juga dapat dilakukan untuk memperbaiki
fungsi keseimbangan dan stabilisasi pandangan mata pada pasien serta mencegah
rekurensi vertigo di masa yang akan datang.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Departmen Neurologi FKUI. Buku Ajar Neurologi. Jilid 1. Jakarta. 2017: Hal 267-
284.
2. Adams GL, Boeis LR, Higler PH. 2012. Boeis Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta:
EGC.
3. Anderson JH dan Levine SC. Sistem Vestibularis. Dalam : Effendi H, Santoso R,
Editor : Buku Ajar Penyakit THT Boies. Edisi Keenam. Jakarta : EGC. 1997. h 39-
45
4. Bashiruddin J. Vertigo Posisi Paroksismal Jinak. Dalam : Arsyad E, Iskandar N,
Editor. Telinga, Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Keenam. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI. 2013. Hal. 104-9
5. Calgary Guide. Vestibular Neuritis and BPPV: Pathogenesis and Clinical
Findings. 2019. Diakses di www.thecalgaryguide.com pada 2 November 2023.
6. University of Calrgary. Neurologic Scheme for Medical Diagnosis: Vertigo. 2022.
Diakses di www.blackbook.ucalgary.ca pada 2 November 2023.
7. Kabade V, Hooda R, Raj C et.al. Machines Learning Techniques for Differential
Diagnosis of Vertigo and Dizziness: A Review. Sensors, MDPI. 2021. 21,7565.

25

Anda mungkin juga menyukai