Anda di halaman 1dari 24

FISIOTERAPI NEUROMUSCULAR-PSIKIATRI

BELL’S PLASY

OLEH:

Luh Komang Ari Trisna Jayanti NIM 18031001


I Gusti Ayu Anjali Diah Prameswari NIM 18031011

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI


FAKULTAS ILMU – ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
DENPASAR
2021
KATA PENGANTAR

Om Swastiastu
Puja dan puji syukur dihaturkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa
(Tuhan Yang Maha Esa) karena berkat asung kertha wara nungraha-Nya penulis
dapat menyelesaikan tulisan ini tepat waktu dan sesuai rencana.
Tulisan ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat kelulusan
dalam menempuh mata kuliah Fisoterapi Neuromuscular-psikiatri yang diampu
oleh Ibu Komang Tri Adi Suparwati, SST,Ft,M.Fis. Pada semester ganjil tahun
akademik 2020/2021.
Cukup banyak hambatan dan kesulitan yang penulis rasakan dalam
penyusunan tulisan ini, namun berkat kerja keras dan adanya bantuan dari
berbagai pihak, kesulitan dan hambatan tersebut dapat diatasi. Oleh karena itu,
ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya disampaikan kepada:
1. Ibu I.A. Pascha Paramurthi, S.Ft., M.Fis., Ftr selaku Plt.
Koordinator Program Studi Fisioterapi
2. Ibu Komang Tri Adi Suparwati, SST,Ft,M.Fis.atas arahan dan
bimbingan yang diberikan kepada para mahasiswa;
Disadari bahwa tulisan ini masih jauh dari yang sempurna. Oleh karena
itu, segala kritik dan saran perbaikan sangat diharapkan demi sempurnanya karya-
karya penulis berikutnya. Semoga tulisan ini ada manfaatnya.
Om Santih, Santih, Santih Om

Denpasar, 18 JanuarI 2021

Penulis,

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................. 1
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................... 2
1.4 Manfaat Penulisan................................................................................. 2
BAB II. KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definisi Bell’s Palsy............................................................................ 4
2.2 Klasifikasi Bell’s Palsy....................................................................... 4
2.3 Etiologi Bell’s Palsy............................................................................ 5
2.4 Patofisiologi Bell’s Palsy.................................................................... 6
2.5 Tanda dan Gejala Bell’s Palsy............................................................. 7
2.6 Faktor Resiko Bell’s Palsy.................................................................. 8
2.7 Komplikasi Bell’s Palsy...................................................................... 8
2.8 Pengukuran Pada Bell’s Palsy............................................................. 9
2.9 Intervensi Fisioterapi........................................................................... 9
BAB III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan........................................................................................... 12
3.2 Saran .................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bell’s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron
yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf
pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lainnya. Sindrom ini pertama kali
dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang anatomis dan dokter bedah bernama
Sir Charles Bell (Lowis, 2012). Bell’s palsy adalah suatu kelumpuhan saraf
fasialis perifer yang bersifat unilateral, penyebabnya tidak diketahui (idiopatik),
akut dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran, kelainan neurologi lainnya
atau kelainan lokal. Diagnosis biasanya ditegakkan bila semua penyebab yang
mungkin telah disingkirkan (Munilson dkk., 2012) Insiden sindrom ini sekitar 23
kasus per 100.000 orang setiap tahun.
Manifestasi klinisnya terkadang dianggap sebagai suatu serangan stroke
atau gambaran tumor yang menyebabkan separuh tubuh lumpuh atau tampilan
distorsi wajah yang akan bersifat permanen (Lowis, 2012). Menururt Munilson
dkk. (2012) insiden Bell’s Palsy dilaporkan sekitar 40- 70% dari semua
kelumpuhan saraf fasialis perifer akut. Prevalensi rata-rata berkisar antara 10-30
pasien per 100.000 populasi per tahun dan meningkat sesuai pertambahan umur.
Insiden meningkat pada penderita diabetes dan wanita hamil. Sekitar 8-10% kasus
berhubungan dengan riwayat keluarga pernah menderita penyakit ini.
Biasanya penderita mengetahui 2 ketidaksimetrisan wajah dari teman atau
keluarga atau pada saat bercermin atau berkumur. Pada saat penderita menyadari
bahwa ia mengalami kelemahan pada wajahnya, maka ia mulai merasa takut,
malu, rendah diri, dan kadangkala jiwanya tertekan terutama pada penderita yang
masih aktif dalam bersosialisasi. Seringkali timbul pertanyaan di dalam hatinya,
apakah wajahnya bisa secepatnya kembali secara normal atau tidak.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapatlah dirinci rumusan masalah
penelitian ini sebagai berikut.

1
1. Apa definisi dari Bell’s Palsy?
2. Apa saja klasidfikasi dari Bell’s Palsy?
3. Apakah etiologi Bell’s Palsy?
4. Apakah patofisiologi Bell’s Palsy?
5. Apa saja tanda dan gejala dari Bell’s Palsy?
6. Apa saja faktor risiko yang memicu terjadinya Bell’s Palsy?
7. Apa komplikasi dari Bell’s Palsy?
8. Apa saja pemeriksaan dari Bell’s Palsy?
9. Intervensi apa yang bisa diberikan oleh Fisioterapi pada Bell’s Palsy?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, dapatlah dirinci tujuan penulisan ini
sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui definisi Bell’s Palsy.
2. Untuk mengetahui klasifikasi Bell’s Palsy.
3. Untuk mengetahui etiologi Bell’s Palsy.
4. Untuk mengetahui patofisiologi Bell’s Palsy.
5. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari Bell’s Palsy.
6. Untuk mengetahui apa saja faktor risiko yang memicu terjadinya Bell’s
Palsy.
7. Untuk mengetahui komplikasi dari Bell’s Palsy.
8. Untuk mengetahui pemeriksaan dari Bell’s Palsy.
9. Untuk mengetahui intervensi apa saja yang dapat diberikan Fisioterapi
pada Pasien Bell’s Palsy.
1.4 Manfaat Penulisan
Berdasarkan tujuan penulisan diatas, dapatlah dirinci manfaat dari penulisan
ini sebagai berikut.
1. Dapat mengetahui apa definisi dari Bell’s Palsy.
2. Dapat mengetahui klasifikasi dari Bell’s Palsy.
3. Dapat mengetahui etiologi dari Bell’s Palsy.
4. Dapat mengetahui patofisiologi dari Bell’s Palsy.
5. Dapat mengetahui tanda dan gejala dari Bell’s Palsy.

2
6. Dapat mengetahui apa saja faktor risiko yang memicu terjadinya Bell’s
Palsy.
7. Dapat mengetahui komplikasi apa saja yang terjadi jika mengalami
Bell’s Palsy.
8. Dapat mengetahui apa saja pemeriksaan dari Bell’s Palsy.
9. Dapat mengetahui intervensi apa saja yang dapat diberikan oleh
Fisioterapi pada Pasien Bell’s Palsy.

3
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi Fraktur Bell’s Palsy


Bell’s palsy merupakan kelumpuhan saraf fasialis perifer akibat proses
non supratif, nonneoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin
akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau
sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh
sendiri tanpa pengobatan . Namun ada beberapa teori yang secara umum diajukan
sebagai penyebab bell’s palsy, yaitu teori ischemia vaskuler, teori infeksi virus
dan teori herediter. Tanda dan gejala yang dijumpai pada pasien bell’s palsy
biasanya bila dahi di kerutkan lipatan dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja,
kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata dan berputarnya bola mata keatas
dapat di saksikan. Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang
lumpuh tidak mengembung. Bila bibir mencucu, gerakan bibir tersebut
menyimpang ke sisi yang tidak sehat serta air mata yang keluar secara berlebihan
di sisi kelumpuhan dan pengecapan pada dua per tiga lidah sisi kelumpuhan
kurang tajam
Secara klinis, bell’s palsy telah didefinisikan idiopatik dan penyebab
proses inflamasi masih tidak jelas. Beberapa teori telah diduga sebagai penyebab
dari bell’s palsy, antara lain iskemik vaskular, imunologi, infeksi dan herediter
telah diduga menjadi penyebab.
2.2 Klasifikasi Bell’s Palsy
Djamil dan Basjiruddin (Dalam Harsono, 2009) mengemukakan bahwa
umumnya Bell’s palsy dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Idiopatik
Sampai sekarang yang disebut Bell’s palsy, belum diketahui secara pasti
penyebabnya. Faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s palsy
antara lain: sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur ditempat
terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes
mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor genetik.
b. Kongenital
1. Anomali kongenital (sindroma moebius)

4
2. Pasca Lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial)
c. Didapat
1. Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
2. Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan)
3. Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus
4. Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster)
5. Sindroma paralisis n. fasialis familial
2.3 Etiologi Bell’s Palsy
Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bell’s palsy, tetapi ada empat teori
yang dihubungkan dengan etiologi yaitu:
- Teori iskemik vaskuler
Saraf fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena
gangguan regulasi sirkulasi darah di kanalis fasialis.
- Teori infeksi virus
Virus yang dianggap paling banyak bertanggung jawab adalah
Herpes Simplex Virus (HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi
dari HSV (khususnya tipe 1).
- Teori herediter
Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit
pada keturunan dikeluarga tersebut, sehingga menyebabkan
predisposisi untuk terjadi paresis fasialis.
- Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi
terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum
pemberian imunisasi (Annsilva, 2010).

5
2.4 Patofisiologi Bell’s Palsy

Bell’s palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada


ganglion genikulatum, yang menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi.
Ganglion ini terletak didalam kanalis fasialis pada persambungan labirin dan
segmen timpani, dimana lengkungan saraf secara tajam memasuki foramen
stylomastoideus.
Beberapa mekanisme termasuk iskemia primer atau inflamasi saraf
fasialis, menyebabkan edema dan penjepitan saraf fasialis selama perjalanannya
didalam kanal tulang temporal dan menghasilkan kompresi dan kerusakan
langsung atau iskemia sekunder terhadap saraf. Teori ini merupakan latar
belakang untuk dekompresi bedah pada pengobatan bell’s palsy.
Suatu hipotesa imunologis telah diperkenalkan oleh Mc. Govern dkk,
berdasarkan penelitian eksperimental pada hewan. Begitu juga Hughes dkk,
menemukan transformasi limfosit pada pasien bell’s palsy dan menduga bahwa

6
beberapa penyebab bell’s palsy merupakan hasil dari cell mediated immunity
melawan antigen saraf perifer. Hasil ini mendukung penelitian selanjutnya dengan
steroid dan imunoterapi lainnya. Mekanisme lainnya adalah infeksi virus, yang
secara langsung merusak fungsi saraf melalui mekanisme inflamasi, yang
kemungkinan terjadi pada seluruh perjalanan saraf dan bukan oleh kompresi pada
kanal tulang.
Suatu penelitian systematic review berdasarkan Cochrane database, yang
dilakukan terhadap beberapa penelitian randomized yang berkualitas tinggi telah
menyimpulkan bahwa antivirus tidak lebih efektif daripada plasebo dalam
menghasilkan penyembuhan lengkap pada pasien bell’s palsy. Karena tidak
efektifnya antivirus dalam mengobati pasien bell’s palsy sehingga perlu
dipertimbangkan adanya penyebab Bell’s palsy yang lain. Adanya peran genetik
juga telah dikemukakan sebagai penyebab bell’s palsy, terutama kasus Bell’s
palsy yang rekuren ipsilateral atau kontralateral. Kebanyakan kasus yang dijumpai
adalah autosomal dominant inheritance.
Sejumlah penelitian telah berusaha rnemberikan temuan objektif tentang
dasar genetik dari beII’s palsy dan kebanyakan terpusat pada sistem Human
Leucocyte Antigen (HLA), yang memiliki hubungan objektif yang kuat dengan
berbagai penyakit autoimun. Paparan terhadap udara yang dingin bisa memicu
pengaktifan semula herpes simplek virus tipe 1 (HSV-1). Paparan yang
berkerpanjangan terhadap udara dingin di luar bisa menyebabkan perubahan
vasomotor di daerah wajah, dimulai dari neuritis edematous sehingga refleks
iskemik. Berdasarkan data penelitian, wanita hamil 3 kali lebih sering ditemukan
dengan bell's palsy dibandingkan wanita tidak hamil. Kondisi ini dikaitkan dengan
komposisi cairan ekstraseluler yang tinggi, inflamasi virus dan karakteristik
imunosupresi selama kehamilan, namun hingga saat ini masih kontroversial. Bell's
palsy terutama ditemukan pada usia kehamilan di atas 6 bulan.
2.5 Tanda dan Gejala Penyakit Bell’s Palsy
Onset Bell’s palsy adalah akut, sekitar satu - setengah dari kasus mencapai
kelumpuhan maksimum selama 48 jam dan hampir semua berjalan dalam waktu
lima hari. Nyeri di belakang telinga dapat mendahului kelumpuhan selama satu
atau dua hari. Terganggunya saraf facial di foramen stylomastoid dapat

7
menyebabkan kelumpuhan di seluruh otot ekspresi wajah. Sudut mulut jatuh, garis
dan lipatan kulit juga terpengaruh, garis dahi menghilang, lipatan palpebra
melebar, dan lid margin mata tidak tertutup. Kantong mata bawah dan punctum
jatuh, disertai air mata yang menetes melewati pipi. Makanan yang mengumpul di
antara gigi, pipi dan saliva yang menetes dari sudut mulut. Penderita juga
mengeluh ada rasa tebal atau mati rasa dan terkadang mengeluh nyeri di wajah.
Jika lesi berada di saluran saraf facialis di atas chorda tympani tetapi di
bawah ganglion genikulatum, semua gejala dapat timbul ditambah kehilangan rasa
di lidah 2/3 anterior di sisi yang sama dengan lesi. Jika lesi mempengaruhi saraf di
otot stapedius maka dapat terjadi hyperakustikus yaitu penderita sensitif dan
merasa nyeri bila mendengar suara-suara yang keras. Jika ganglion genikulatum
terpengaruh, produksi air mata dan air liur mungkin berkurang. Lesi di daerah ini
dapat berpengaruh juga pada saraf vestibulokoklearis yang menyebabkan tuli,
tinnitus dan pusing yang berputar (dizziness).
3. ndisi dimana terjebaknya otot, tulang, saraf dan pembuluh
4. darah dalam jaringan parut akibat suatu pembengkakan dari
busung atau
5. hematoma yang kematian otot, syaraf, dan pembuluh darah.
Kondisi sindrom
6. akibat kompartemen komplikasi fraktur hanya terjadi pada fraktur
yang dekat
7. dengan persendian dan jarang terjadi pada bagian tengah tulang.
Tanda khas
8. untuk sindrom kompartemen adalah 5 P. (nyeri / Nyeri
lokal , pucat / pucat,
9. parestes i / tidakada sensasi, denyut nadi / tidak ada denyut nadi ,
perubahan
10. nadi, perfusi yang kurang baik pada bagian distal, CRT> 3 detik
pada bagian
11. kaki distal, kelumpuhan / kelumpuhan tungkai )
12. 4. Infeksi
13. Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
PADA trauma
14. ortopedik infeksi dimulai pada kulit (superfisial) dan masuk ke
dalam. Hal ini
15. biasanya terjadi karena kasus fraktur terbuka, tapi bias juga
karena
16. penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin (ORIF dan
OREF) atau
17. plat.
18. 5. Avaskular Nekrosis

8
19. Terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu
yang bias
20. menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkmanns
21. iskemia.
22. 6. Sindrom emboli lemak
23. Adalah suatu komplikasi serius yang sering terjadi pada
fraktur tulang
24. panjang. FES terjadi karena sel –Sel lemak yang dihasilkan
sumsum tulang
25. kuning masuk pada aliran darah dan menyebabkan tingkat
oksigen dalam
26. darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernapasan,
takikardi,
27. hipertensi, takipneu, dan demam.
28. Komplikasi lama
29. 1. Serikat Tertunda
30. Kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan
31. tulang untuk menyatu kembali / Sambungan dengan baik.
Ini disebabkan
32. karena penurunan suplai darah ke tulang. Terlambat Persatuan
adalah fraktur yang
33. tidak sembuh setelah selang waktu 3- 5 bulan (3 bulan untuk
anggota gerak
34. atas dan 5 bulan untuk anggota gerak bawah
35. 2. Bukan serikat pekerja
36. Apabila fraktur tidak sembuh dalam waktu antara 6-8 bulan dan
tidak terjadi
37. korban sehingga dapat pseudoartrosis . pseudoartrosis dapat
terjadi
38. dengan infeksi maupun tidak dengan infeksi.
39. 3. Persatuan Mal
40. Keadaan dimana fraktur sembuh pada tetapi tetapi terdapat
deformitas yang
41. berbentuk angulasi, varus / valgus, pemendekan, atau
menyilang misalnya
42. fraktur radius ulna.
43. ndisi dimana terjebaknya otot, tulang, saraf dan pembuluh
44. darah dalam jaringan parut akibat suatu pembengkakan dari
busung atau
45. hematoma yang kematian otot, syaraf, dan pembuluh darah.
Kondisi sindrom
46. akibat kompartemen komplikasi fraktur hanya terjadi pada fraktur
yang dekat
47. dengan persendian dan jarang terjadi pada bagian tengah tulang.
Tanda khas

9
48. untuk sindrom kompartemen adalah 5 P. (nyeri / Nyeri
lokal , pucat / pucat,
49. parestes i / tidakada sensasi, denyut nadi / tidak ada denyut nadi ,
perubahan
50. nadi, perfusi yang kurang baik pada bagian distal, CRT> 3 detik
pada bagian
51. kaki distal, kelumpuhan / kelumpuhan tungkai )
52. 4. Infeksi
53. Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
PADA trauma
54. ortopedik infeksi dimulai pada kulit (superfisial) dan masuk ke
dalam. Hal ini
55. biasanya terjadi karena kasus fraktur terbuka, tapi bias juga
karena
56. penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin (ORIF dan
OREF) atau
57. plat.
58. 5. Avaskular Nekrosis
59. Terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu
yang bias
60. menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkmanns
61. iskemia.
62. 6. Sindrom emboli lemak
63. Adalah suatu komplikasi serius yang sering terjadi pada
fraktur tulang
64. panjang. FES terjadi karena sel –Sel lemak yang dihasilkan
sumsum tulang
65. kuning masuk pada aliran darah dan menyebabkan tingkat
oksigen dalam
66. darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernapasan,
takikardi,
67. hipertensi, takipneu, dan demam.
68. Komplikasi lama
69. 1. Serikat Tertunda
70. Kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan
71. tulang untuk menyatu kembali / Sambungan dengan baik.
Ini disebabkan
72. karena penurunan suplai darah ke tulang. Terlambat Persatuan
adalah fraktur yang
73. tidak sembuh setelah selang waktu 3- 5 bulan (3 bulan untuk
anggota gerak
74. atas dan 5 bulan untuk anggota gerak bawah
75. 2. Bukan serikat pekerja
76. Apabila fraktur tidak sembuh dalam waktu antara 6-8 bulan dan
tidak terjadi

10
77. korban sehingga dapat pseudoartrosis . pseudoartrosis dapat
terjadi
78. dengan infeksi maupun tidak dengan infeksi.
79. 3. Persatuan Mal
80. Keadaan dimana fraktur sembuh pada tetapi tetapi terdapat
deformitas yang
81. berbentuk angulasi, varus / valgus, pemendekan, atau
menyilang misalnya
82. fraktur radius ulna.
83. ndisi dimana terjebaknya otot, tulang, saraf dan pembuluh
84. darah dalam jaringan parut akibat suatu pembengkakan dari
busung atau
85. hematoma yang kematian otot, syaraf, dan pembuluh darah.
Kondisi sindrom
86. akibat kompartemen komplikasi fraktur hanya terjadi pada fraktur
yang dekat
87. dengan persendian dan jarang terjadi pada bagian tengah tulang.
Tanda khas
88. untuk sindrom kompartemen adalah 5 P. (nyeri / Nyeri
lokal , pucat / pucat,
89. parestes i / tidakada sensasi, denyut nadi / tidak ada denyut nadi ,
perubahan
90. nadi, perfusi yang kurang baik pada bagian distal, CRT> 3 detik
pada bagian
91. kaki distal, kelumpuhan / kelumpuhan tungkai )
92. 4. Infeksi
93. Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
PADA trauma
94. ortopedik infeksi dimulai pada kulit (superfisial) dan masuk ke
dalam. Hal ini
95. biasanya terjadi karena kasus fraktur terbuka, tapi bias juga
karena
96. penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin (ORIF dan
OREF) atau
97. plat.
98. 5. Avaskular Nekrosis
99. Terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu
yang bias
100. menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkmanns
101. iskemia.
102. 6. Sindrom emboli lemak
103. Adalah suatu komplikasi serius yang sering terjadi
pada fraktur tulang
104. panjang. FES terjadi karena sel –Sel lemak yang
dihasilkan sumsum tulang
105. kuning masuk pada aliran darah dan menyebabkan
tingkat oksigen dalam

11
106. darah rendah yang ditandai dengan gangguan
pernapasan, takikardi,
107. hipertensi, takipneu, dan demam.
108. Komplikasi lama
109. 1. Serikat Tertunda
110. Kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan
111. tulang untuk menyatu kembali / Sambungan dengan
baik. Ini disebabkan
112. karena penurunan suplai darah ke tulang. Terlambat
Persatuan adalah fraktur yang
113. tidak sembuh setelah selang waktu 3- 5 bulan (3 bulan
untuk anggota gerak
114. atas dan 5 bulan untuk anggota gerak bawah
115. 2. Bukan serikat pekerja
116. Apabila fraktur tidak sembuh dalam waktu antara 6-8 bulan
dan tidak terjadi
117. korban sehingga dapat pseudoartrosis . pseudoartrosis
dapat terjadi
118. dengan infeksi maupun tidak dengan infeksi.
119. 3. Persatuan Mal
120. Keadaan dimana fraktur sembuh pada tetapi tetapi terdapat
deformitas yang
121. berbentuk angulasi, varus / valgus, pemendekan, atau
menyilang misalnya
122. fraktur radius ulna.
123. Komplikasi awal fraktur
124. 1. Syok
125. Syok terjadi karena Kehilangan banyak darah dan
permeabilitas
126. kapiler yang bias menyebabkan menurunnya
oksigenasi. Hal ini biasanya
127. terjadi pada fraktur, pada kondisi tertentu terjadi syok
neurogenic pada fraktur
128. tulang paha karena rasa sakit yang hebat pada pasien
129. 2. Kerusakan arteri
130. Pecahnya arteri karena trauma bias ditandai oleh; tidak
adanya nadi; CRT
131. (Kapiler Isi ulang Waktu) menurun; sianosis distal;
hematoma yang lebar; serta
132. dingin pada ekstremitas yang disebabkan oleh
tindakan emergensi
133. pembidaian; perubahan cara pada yang sakit; tindakan
reduksi dan
134. pembedahan
135. 3. Kompartemen Sindrom
136. Adalah suatu kondisi dimana terjebaknya otot, tulang,
saraf dan pembuluh

12
137. darah dalam jaringan parut akibat suatu
pembengkakan dari busung atau
138. hematoma yang kematian otot, syaraf, dan pembuluh
darah. Kondisi sindrom
139. akibat kompartemen komplikasi fraktur hanya terjadi pada
fraktur yang dekat
140. dengan persendian dan jarang terjadi pada bagian tengah
tulang. Tanda khas
141. untuk sindrom kompartemen adalah 5 P. (nyeri /
Nyeri lokal , pucat / pucat,
142. parestes i / tidakada sensasi, denyut nadi / tidak ada denyut
nadi , perubahan
143. nadi, perfusi yang kurang baik pada bagian distal, CRT> 3
detik pada bagian
144. kaki distal, kelumpuhan / kelumpuhan tungkai )
145. 4. Infeksi
146. Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada
jaringan. PADA trauma
147. ortopedik infeksi dimulai pada kulit (superfisial) dan masuk
ke dalam. Hal ini
148. biasanya terjadi karena kasus fraktur terbuka, tapi bias
juga karena
149. penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin
(ORIF dan OREF) atau
150. plat.
151. 5. Avaskular Nekrosis
152. Terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bias
153. menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkmanns
154. iskemia.
155. 6. Sindrom emboli lemak
156. Adalah suatu komplikasi serius yang sering terjadi
pada fraktur tulang
157. panjang. FES terjadi karena sel –Sel lemak yang
dihasilkan sumsum tulang
158. kuning masuk pada aliran darah dan menyebabkan
tingkat oksigen dalam
159. darah rendah yang ditandai dengan gangguan
pernapasan, takikardi,
160. hipertensi, takipneu, dan demam.
161. Komplikasi lama
162. 1. Serikat Tertunda
163. Kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan
164. tulang untuk menyatu kembali / Sambungan dengan
baik. Ini disebabkan

13
165. karena penurunan suplai darah ke tulang. Terlambat
Persatuan adalah fraktur yang
166. tidak sembuh setelah selang waktu 3- 5 bulan (3 bulan
untuk anggota gerak
167. atas dan 5 bulan untuk anggota gerak bawah
168. 2. Bukan serikat pekerja
169. Apabila fraktur tidak sembuh dalam waktu antara 6-8 bulan
dan tidak terjadi
170. korban sehingga dapat pseudoartrosis . pseudoartrosis
dapat terjadi
171. dengan infeksi maupun tidak dengan infeksi.
172. 3. Persatuan Mal
173. Keadaan dimana fraktur sembuh pada tetapi tetapi terdapat
deformitas yang
174. berbentuk angulasi, varus / valgus, pemendekan, atau
menyilang misalnya
175. fraktur radius ulna
2.6 Faktor Risiko Fraktur Bell’s Palsy
Faktor risiko Bell’s Palsy sudah ditetapkan. Ditemukan adanya kaitan antara
migrain dengan kelemahan pada wajah dan anggota gerak. Sebuah penelitian yang
dilakukan pada 2015 mengungkapkan bahwa orang yang mengidap migrain
mungkin berisiko lebih tinggi terkena Bell’s Palsy.
Selain itu, Bell’s Palsy lebih sering terjadi pada:
b. Orang berusia 15-60 tahun.
c. Mereka yang mengidap diabetes atau penyakit pernapasan bagian atas.
d. Wanita hamil, terutama pada trimester ketiga.
2.7 Komplikasi Bell’s Palsy
Komplikasi jangka panjang cenderung muncul apabila:
a. Penderita terserang palsy komplit, sehingga paralisis di satu sisi wajah
b. Usia lebih dari 60 tahun
c. Mengalami nyeri parah saat pertama kali timbul gejala
d. Hipertensi
e. Diabetes
f. Kehamilan
g. Saraf facialis rusak berat
h. Tidak ada perbaikan setelah dua bulan terlewati
i. Tidak ada tanda perbaikan setelah empat bulan

14
Sekitar 14% penderita mungkin terserang Bell’s palsy di kemudian hari pada sisi
wajah lain. Hal ini cenderung muncul apabila ada riwayat Bell’s palsy pada
keluarga.
2.8 Pengukuran Pada Bell’s Palsy
a. Pemeriksaan MMT pada otot
Untuk menilai kekuatan otot fasialis yang mengalami paralisis digunakan
skala Daniel and Worthinghom’s Manual Muscle Testing.
b. Skala Ugo Fisch.
Ugo Fisch scale bertujuan untuk pemeriksaan fungsi motorik dan
mengevaluasi kemajuan motorik otot wajah pada penderita bell’s palsy.
Penilaian dilakukan pada 5 posisi, yaitu saat istirahat, mengerutkan dahi,
menutup mata, tersenyum, dan bersiul. Pada tersebut dinilai simetris atau
tidaknya antara sisi sakit dengan sisi yang sehat.
2.9 Intervensi Fisioterapi
Adapun intervensi fisioterapi yang bisa diberikan yaitu :
a. Neuromuscular Taping
Merupakan aplikasi spesifik dari pita perekat elastis ke permukaan
kulit dengan teknik stimulasi eksentrik menghasilkan dekompresi dan
dilatasi pada daerah yang tertutupi yang digunakan untuk tujuan
terapeutik.
Dalam rehabilitasi, NMT diterapkan menggunakan protokol yang
dirancang untuk mengurangi sumbatan dari cairan tubuh, meningkatkan
sirkulasi pembuluh darah dan kelenjar getah, menurunkan kelebihan
panas, dan memperbaiki homoestasis jaringan, mengurangi peradangan
dan hipersensitivitas reseptor nyeri.
Penerapan NMT mampu merangsang mechanoceptors kulit.
Reseptor ini mengaktifkan impuls saraf ketika beban mekanik
(sentuhan, tekanan, getaran, peregangan dan gatal) membuat deformasi.
Aktivasi oleh stimulus yang memadai menyebabkan depolarisasi lokal,
yang memicu impuls saraf di sepanjang serabut aferen bepergian ke
sistem saraf pusat.

15
ii. Pengaplikasian : Pengaplikasian Neuromuscular Taping (NMT)
dengan teknik decompression akan membentuk lipatan-lipatan
pada kulit. Sehingga memberikan efek yang dapat meredakan rasa
nyeri, menormalkan ketegangan otot, meningkatkan sirkulasi darah
dengan memperbesar ruang intestinal dalam jaringan dengan
lipatan-lipatan dari efek decompression. Intervensi dilakukan
selama 2 minggu dengan intensitas 3 kali seminggu
b. Electrical Stimulation (Faradik)
Merupakan teknik yang digunakan untuk menimbulkan kontraksi otot
menggunakan impuls listrik. Elektroda, yang dikendalikan oleh sebuah
unit, dipasang pada kulit di atas area yang telah ditentukan. Arus listrik
kemudian dikirim dari unit ke elektroda dan dikirim ke otot yang
menyebabkan kontraksi.
i. Pelaksanaan : Terapi Mesin masih dalam posisi off dan tombol
intensitas dalam posisi nol. Elektroda pasif diletakkan pada
cervical 7, sedangkan elektroda aktif pada motor poin otot wajah
kiri. Stimulasi diberikan pada wajah yang kiri atau wajah yang lesi.
Hidupkan alat, pilih arus faradik dan naikkan intensitas sesuai
toleransi pasien. Tiap satu motor point pada otot dilakukan
kontraksi sebanyak 30 kali rangsangan, dengan waktu 1-3 menit
(Anshar, 2009). Untuk mengakhiri stimulasi terlebih dahulu
menurunkan intensitas arusnya. Kemudian lepaskan elektroda baik
yang pasif maupun aktif dari kulit pasien dan matikan dan rapikan
alat.
ii. Dosis : Kontraksi : 30 kontraksi masing-masing setiap motor point
c. Massage
i. Pelaksanaan terapi Massage diberikan pada wajah yang lesi.
1) Sebelumnya tuangkan media pelicin ditangan terapis.
2) Usapkan pada wajah pasien dengan gerakan stroking
menggunakan seluruh permukaan tangan dengan arah
gerakannya tidak tentu.

16
3) Lakukan gerakan efflurage secara gentle, arah gerakan dari dagu
kearah pelipis dan dari tengah dahi turun ke bawah menuju ke
telinga.
4) Dilanjutkan dengan finger kneading dengan jari-jari dengan cara
memberikan tekanan dan gerakan melingkar, diberikan ke
seluruh otot wajah yang terkena lesi dari dagu, pipi, pelipis dan
tengah dahi menuju ke telinga.
5) Kemudian lakukan tapping dengan jari-jari dari tengah dahi
menuju ke arah telinga, dari dekat mata menuju ke arah telinga,
dari hidung ke arah telinga, dari sudut bibir ke arah telinga dan
dari dagu menuju kearah telinga.
6) Khusus pada bibir, lakukan stretching kearah yang lesi.
ii. Dosis : Dosis waktu : 10 menit. Pengulangan : Gerakan massage
dilakukan dengan dosis masing-masing 3-5 kali pengulangan.
d. Mirror exercise
Pada kasus Bell’s palsy guna melatih otot -otot pada wajah,
merangsang saraf-saraf facialis dan melatih otot–otot wajah agar wajah
tidak simetris

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Bell’s palsy merupakan kelumpuhan saraf fasialis perifer akibat proses non
supratif, nonneoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat
edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit
proksimal dari foramen tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri
tanpa pengobatan
Djamil dan Basjiruddin (Dalam Harsono, 2009) mengemukakan bahwa
umumnya Bell’s palsy dapat dikelompokkan sebagai berikut: Idiopatik,
Kongenital dan Didapat
Bell’s palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada
ganglion genikulatum, yang menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi.
Ganglion ini terletak didalam kanalis fasialis pada persambungan labirin dan
segmen timpani, dimana lengkungan saraf secara tajam memasuki foramen
stylomastoideus.
Faktor risiko Bell’s Palsy sudah ditetapkan. Ditemukan adanya kaitan
antara migrain dengan kelemahan pada wajah dan anggota gerak. Sebuah
penelitian yang dilakukan pada 2015 mengungkapkan bahwa orang yang
mengidap migrain mungkin berisiko lebih tinggi terkena Bell’s Palsy.
Komplikasi jangka panjang cenderung muncul apabila: penderita terserang
palsy komplit, sehingga paralisis di satu sisi wajah, usia lebih dari 60 tahun,
mengalami nyeri parah saat pertama kali timbul gejala, hipertensi, diabetes,
kehamilan, saraf facialis rusak berat, tidak ada perbaikan setelah dua bulan
terlewati, dan tidak ada tanda perbaikan setelah empat bulan
Adapun intervensi fisioterapi yang bisa diberikan yaitu : neuromuscular
taping, electrical stimulation (faradik), dan massage
3.2 Saran
Hendaknya memberikan motivasi kepada pasien untuk rajin terapi dan
melakukan home program atau edukasi-edukasi yang telah diberikan oleh terapis
untuk mendukung proses kesembuhannya. Penulis berharap kepada pembaca yang

18
budiman, agar segera konsultasi ke dokter, ke fisioterapi atau tenaga medis lain,
bila dijumpai atau dirasakan keluhan seperti: mulut mencong, salah satu mata
sukar ditutup, dan sebagainya. Ini dimaksud, agar dapat diberikan tindakan sedini
mungkin sehingga komplikasi yang akan timbul dapat dicegah. Jika penyakit ini
tidak segera ditangani, maka dapat menimbulkan komplikasi lebih lanjut terutama
pada bagian mata karena akan terjadi iritasi pada mata dan otomatis
penglihatanpun terganggu. Penyakit ini tidak akan memicu timbul penyakit
lainnya

19
DAFTAR PUSTAKA

Annsilva. 2010. Bell’s Palsy (Case Report). Diakses: pada tanggal 18 Januari
2021, dari http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bell
%E2%80%99s-palsycase-report/
Anshar. 2009. Terapi Stimulasi Listrik. Diakses: pada tanggal 18 Januari 2021,
dari http://anshar.com/2010/07/01/archive.html/ Dewanto G dkk. 2009.
Diagnosis dan tata laksana penyakit saraf. Jakarta: kedokteran egc Ginsberg L.
2008. Neurologi. Jakarta: Erlangga Gersh, Meryl.R. 1992.
Electrotherapy In Rehabilitation. F.A.Davis Company: Philadelphia
Hardi. 2008. Bells Palsy. Diakses pada tanggal 18 Januari 2021 dari
http://www.anunda.com/support/no-mind.htm
Lumbantobing. 2012. Nervus fasial dalam neurologi klinik pemeriksaan fisik dan
mental. Edisi ke-12. Jakarta : FK universitas Indonesia Rahim. 2002.
Massage Olah Raga. Pustaka Merdeka: Solo Saputro Rohmat. 2009.
Sinar Infra Merah (Infra red). Diakses pada tanggal 18 Januari 2021
dari http://one4share.blogspot.com/2009/05/sinar-infra-merahinfra-
red.html
Saputra L (ed). 2008. Kapita Selekta Kedokteran Klinik. Tangerang: Binarupa
Aksara Sidharta, P. 2008. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum.
Jakarta: Dian Rakyat Sujatno, Ig dkk. 2002. Sumber Fisis. Akademi
Fisioterapi Surakarta Depkes RI: Surakarta Sutis. 2010. Gejala dan
Penyebab Bell’s palsy. Diakses pada tanggal 18 Januari 2021dari
http://www.indowebster.web.id/showthread.php?t=112101
Tappan, Francess.M. 1988. Healing Massage Techniques: Holistic, Classic and
Emerging. Second Edition. Appleton and Lange: California Putz, R and
R. Pabst; Sobotta Atlas Anatomi Manusia, E, C, G, Jakarta: 2002
Wikipedia. 2012. Bell’s palsy. Diakses: pada tanggal 18 Januari 2021,
dari http://id.wikipedia.org/wiki/Bell's_palsy Wiyoto, Bambang.T.
2011.

20
Remidial Massage. Yogyakarta: Nuha Medika Yulyani. 2012. Bells Palsy.
Diakses pada tanggal 18 Januari 2021 dari
http://www.yulyani15.com/2012/02/bells-palsy.html

21

Anda mungkin juga menyukai