Anda di halaman 1dari 13

DI

OLEH :

NAMA : NUR MISNA RAHMA SUFI


NIM : 23010174
TINGKAT : 1-A KEPERAWATAN
DOSEN : SYAHBUDDIN, S.Sit., M.Kep

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, karena atas karunia-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
kita panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW. kepada keluarganya, sahabatnya
dan kepada kita selaku umatnya semoga kita mendapat syafa’at darinya di akhirat
kelak.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak
yang mendukung dalam penyusunan makalah ini. Sehingga penulis dapat
menyelesaikan Makalah ini penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna, maka kami menerima kritik dan sarannya dari para pembaca,
karena kami telah berusaha melakukan semaksimal mungkin agar mencapai
tujuan sesuai dengan apa yang diharapkan.

Sigli, Februari 2024 2024

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I : PENDAHULUAN ....................................................................... 1


A. Latar Belakang.......................................................................... 1
B. Tujuan ...................................................................................... 2

BAB II : PEMBAHASAN .......................................................................... 3


A. Definisi ................................................................................... 3
B. Etiologi .................................................................................... 3
C. Patofisiologi ............................................................................. 3
D. Manifestasi Klinis .................................................................... 4
E. Diagnosis ................................................................................. 5
F. Penatalaksanaan Medis ............................................................. 5
G. Komplikasi .............................................................................. 8

BAB III : PENUTUP .................................................................................... 9


A. Kesimpulan.............................................................................. 9
B. Saran ....................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 10

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis
fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986
dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat,
insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63%
mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000
populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-
diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang
sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena
dari pada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai
semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan
trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s
palsy lebih tinggi dari pada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali
lipat.
Sedangkan di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan.
Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan
frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak
pada usia 21 – 30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak
didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada
beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin
berlebihan .
Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis akibat paralisis
nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui
(idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis
lainnya.
Paralisis fasial idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir Charles
Bell, dokter dari Skotlandia. Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus (
misalnya herpes simplex) atau setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita
hamil dan penderita diabetes serta penderita hipertensi Lokasi cedera nervus

4
fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera
tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum.
Salah satu gejala Bell’s palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat
penderita berusaha menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan
matanya tetap kelihatan.Gejala ini disebut juga fenomena Bell. Pada observasi
dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika
dibandingkan dengan gerakan bola mata yang sehat (lagoftalmos).

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Untuk memberi gambaran dan ilmu pengetahuan tentang konsep dasar
penyakit bells’ palsy. Dan agar mahasiswa dapat menyusun asuhan keperawatan
pada pasien dengan penyakit bell’s palsy.
2. Tujuan khusus
a. Mahasiswa mampu memahami anatomi bells palsy.
b. Mahasiswa mampu memahami definisi bells palsy.
c. Mahasiswa mampu memahami etiologi bells palsy.
d. Mahasiswa mampu memahami patofisiologi serta partway bells palsy.
e. Mahasiswa mampu memahami manifestasi klinis bells palsy
f. Mahasiswa mampu memahami pentalaksanan bells palsy
g. Mahasiswa mampu memahami komplikasi dan prognosis bells palsy.
h. Mahasiswa mampu memahami pemeriksaan penunjang bells palsy.

5
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut nervus fasialis perifer yang
tidak diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama
meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan
nervus fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's pals.
Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi
menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan
banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering
ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya
didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan
cuaca

B. Etiologi
Penyebab tersering adalah virus herpes simpleks-tipe 1. Dan penyebab
lain bell palsy antara lain:
1. Infeksi virus lain.
2. Neoplasma: setelah pengangkatan tumor otak (neuroma akustik) atau
tumor lain.
3. Trauma: fraktur basal tengkorak, luka di telinga tengah, dan menyelam
4. Neurologis: sindrom Guillain-Barre
5. Metabolik: kehamilan, diabetes melitus, hipertiroidisme, dan hipertensi.
6. Toksik: alkohol, talidomid, tetanus, dan karbonmonoksida.
(Dewanto, George. 2010. Praktis diagnosa & tatalaksana penyakit saraf.

C. Patofisiologi
Bell’s plasy dipertimbangkan dengan beberapa tipe paralis tekanan. Saraf
yang radang dan edema saraf pada titik kerusakan, atau pembuluh nutriennya
tersumbat pada titik yang menghasilkan nekrosis iskemik dalam kanal panjangnya
saluran yang paling baik sangat sempit. Ada penyimpangan wajah berupa palisis

6
otot wajah; peningkatan lakrimalis (air mata); sensasi nyeri pada wajah, belakang
telinga, dan pada klien yang mengalami kerusakan bicara, dan kelamahan otot
wajah atau otot wajah pada sisi yang terkena.

D. Manifestasi Klinis
1. Gejala Pada Sisi Wajah Ipsilateral
a. Kelemahan otot wajah ipsilateral
b. Kerutan dahi menghilang ipsilateral
c. Tampak seperti orang letih
d. Tidak mampu atau sulit mengedipkan mata
e. Hidung terasa kaku
f. Sulit berbicara
g. Sulit makan dan minum
h. Sensitif terhadap suara ( hiperakusis )
i. Saliva yang berlebihan atau berkurang
j. Pembengkakan wajah
k. Berkurang atau hilangny rasa kecap
l. Nyeri didalam atau disekitar telinga
m. Air liur sering keluar
2. Gejala Pada Mata Ipsilateral
a. Sulit atau tidak mampu menutup mata
b. Air mata berkurang
c. Kelopak mata bawah jatuh
d. Sensitif terhadap cahaya
e. Residual
f. Mata terlihat lebih kecil
g. Kedipan mata jarang atau tidak sempurna
h. Senyum yang asimetris
i. Spasme hemifasial pascaparalitik
j. Otot hipertonik
k. Sinkenesia
l. Berkeringat saat makan atau saat beraktivitas

7
m. Otot menjadi lebih flaksid jika lelah
Otot menjadi kaku saat letih atau kedinginan
Secara klinis, saraf lain kadang-kadang ikut teriritasi, misalnya, rasa
nyeri atau baal pada wajah yang bias disebabkan oleh iritasi N. V.

E. Diagnosis
Pada infeksi, terlihat pendataran dahi dan lipatan nasolabial pada sisi yang
terkena. Ketika pasien diminta menaikan alis mata, sisi dahi yang lumpuh terlihat
datar . ketika pasien diminta tersenyum, wajah menjadi menyimpang dan terdapat
lateralisasi kesisi yang berlawanan dari yang lumpuh. Pasien tidak dapat menutup
matanya secara sempurna pada posisi yang lumpuh. Pada saat berusa menutup
mata, bola mata seolah bergulir keatas pada sisi yang lumpuh. Hal ini disebut
fenomena Bell dan merupakan hal yang normal pada saat menutup mata.
Pemeriksaan yang teliti pada kepala, telinga, mata, hidung, dan
tenggorokan harus dilakukan pada pasien dengan kelumpuhan wajah. Pada telinga
luar harus dilihat adanya vesikel, infeksi atau terauma, penurunan sensisbilitas
rasa nyeri didaerah auricular posterior. Pasien dengan paralisis otot stapedius
mengalami hiverakusis.

F. Penatalaksanaan Medis
1. Terapi Non-farmakologis
a. Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing.
Proteksinya dapat dilakukan dengan peng-gunaan air mata buatan
(artificial tears), pelumas (saat tidur), kaca mata, plester mata,
penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian
lateral kelopak mata atas dan bawah).
b. Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan
mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan melingkar. Tidak
terdapat bukti adanya efektivitas dekompresi melalui pembedahan
saraf fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang
berat dalam 14 hari onset.

8
c. Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat
bulan setelah onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan
paralisis fasialis. Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuro-
muskular, masase, meditasi-relaksasi, dan program pelatihan di rumah.
Terdapat empat kategori terapi yang dirancang sesuai dengan
keparahan penyakit, yaitu kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan,
dan relaksasi.
1) Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah
sedang-berat saat istirahat dan tidak dapat memulai gerakan
pada sisi yang lumpuh. Strategi yang digunakan berupa masase
superfisial disertai latihan gerak yang dibantu secara aktif
sebanyak 10 kali yang dilakukan 1-2 set per hari dan
menghindari gerakan wajah berlebih.
2) kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah
ringan-sedang saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit
gerakan dan tidak terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan
berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang lebih agresif
dan reedukasi neuromuskular di depan kaca (feedbackvisual)
dengan melakukan gerakan ekspresi wajah yang lambat,
terkontrol, dan bertahap untuk membentuk gerakan wajah yang
simetris. Latihan ini dilakukan sebanyak minimal 20-40 kali
dengan 2-4 set per hari.
3) kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan
simetri wajah ringan-sedang saat istirahat, masih mampu
menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat sinkinesis. Strategi
yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot
wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca
seperti kategori fasilitasi, namun secara simultan mengontrol
gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan disertai
inisiasi.
4) strategi meditasi-relaksasi. Pada pasien dengan kekencangan
seluruh wajah yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas.

9
Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak
dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di
depan kaca, dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu
meditasi dengan gambar vi-sual atau audio difokuskan untuk
melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis. Latihan ini
cukup dilakukan 1-2 kali per hari.
2. Terapi Farmakologis
Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin
dalam patogenesis Bell’ s palsy.
a. Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset,
harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan.
Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis
permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang
sempit. Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan
prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg/kg/hari peroral selama
enam hari diikuti empat hari tappering off. Efek toksik dan hal yang
perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang (lebih dari
2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum,
osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan
Cushing syndrome.
b. Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg/kg/hari
melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari.
Sementara untuk dewasa diberikan dengan dosis oral 2 000-4 000
mg/hari yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari.
Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali
lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1 000-3 000 mg/hari secara oral
dibagi 2-3 kali selama lima hari. Efek samping jarang ditemukan pada
penggunaan preparat antivirus, namun kadang dapat ditemukan
keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit kepala.

10
G. Komplikasi
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’ s palsy mengalami sekuele
berat yang tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat
Bell’ s palsy, adalah:
1. Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang
menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis.
2. Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan
pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan
sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal).
3. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis. Reinervasi yang salah dari saraf
fasialis dapat menye-babkan:
a. Sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter,
contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi
platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata.
b. Crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah
paresis akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air
mata pasien keluar pada saat mengkonsumsi makanan.
Clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara
tiba-tiba (shock like)pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah
saja pada stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral
tidak terjadi bersamaan).

11
BAB II
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Bell’s palsy adalah kelumpuhan akut dari nervus fasialis VII yang dapat
menyebabkan gangguan pada indera pengecapan , yaitu pada dua per tiga anterior
lidah.Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa dan jarang pada anak.
Diagnosis dapat ditegakkan secara klinik setelah kausa yang jelas untuk lesi
nervus fasialis perifer disingkirkan. Terapi yang dianjurkan saat ini ialah
pemberian prednison, fisioterapi dan kalau perlu operasi.
Penyebab tersering adalah virus herpes simpleks-tipe 1. Dan penyebab lain
bell palsy antara lain:
1. Infeksi virus lain.
2. Neoplasma: setelah pengangkatan tumor otak (neuroma akustik) atau
tumor lain.
3. Trauma: fraktur basal tengkorak, luka di telinga tengah, dan menyelam
4. Neurologis: sindrom Guillain-Barre
5. Metabolik: kehamilan, diabetes melitus, hipertiroidisme, dan hipertensi.
6. Toksik: alkohol, talidomid, tetanus, dan karbonmonoksida.
(Dewanto, George. 2010. Praktis diagnosa & tatalaksana penyakit saraf.
Bell’s plasy dipertimbangkan dengan beberapa tipe paralis tekanan. Saraf
yang radang dan edema saraf pada titik kerusakan, atau pembuluh nutriennya
tersumbat pada titik yang menghasilkan nekrosis iskemik dalam kanal panjangnya
saluran yang paling baik sangat sempit.

B. Saran
Kami selaku penulis berharap semoga makalah ini dapat menjadi pedoman
untuk kita bersama,terkhusus bagi pembaca makalah ini,namun kami selaku
penulis menyaran kan kepada pembaca agar sebagus nya mencari referensi lain
untuk menambah keyakinan kita dalam menimba ilmu,dan membuat ilmu yang
kita pegang menjadi kokoh. Sekian dari kami,banyak maaf atas segala ke khilafan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Artikel. Lowis, Handoko & Maula N Gaharu. 2012. Bell’s Palsy, Diagnosis and
Management in Primary Care. IDI

Dewanto, George. 2010. Praktis diagnosa & tatalaksana penyakit saraf. EGC :
Jakarta

Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta


neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300

Ginsberg, lionel. 2008. Lecture Notes : Neurologi. Erlangga : Jakarta.

Lumbantobing. 2007. Neurologi Klinik. Jakarta: Universitas Indonesia.

Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001.

Williams, Lippincot & Wilkins. 2011. Nursing : Memahami Berbagai Macam


Penyakit. Indeks: Jakarta

Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem


Persyarafan. Kapita Selekta Kedokteran. 2000. Jakarta.

13

Anda mungkin juga menyukai