Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PREKLINIK

BELL’S PALSY

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas preklinik


di RS Khusus Bedah Hasta Husada

Oleh :

RIZKI AULIA RAMADHANTI 201810490311076


RIZKY AMALIA LESTARI 201810490311101

PROGRAM STUDI S1 FISIOTERAPI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MALANG 2022
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PREKLINIK
BELL’S PALSY

MAKALAH

Disusun Oleh:

RIZKI AULIA RAMADHANTI 201810490311076


RIZKY AMALIA LESTARI 201810490311101

Makalah ini telah disetujui dan dipertahankan di hadapan Clinical Intructur pada
tanggal 26 Januari 2022

Pembimbing Lahan Pembimbing Dosen Kampus


RS Khusus Bedah Hasta Husada Universitas Muhammadiyah Malang

Vivi Endaryanti, Amd.Fis Nurul Aini Rahmawati, S.Ft., M.Biomed., Ftr


NIDN. 0721059501

Mengetahui,
Ketua Program Studi S1 Fisioterapi
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Malang

Dimas Sondang Irawan SST.Ft., M.Fis., Phd


NIP. 11414100567

ii
Daftar Isi

LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................ii
Daftar Isi.................................................................................................................iii
Daftar Gambar........................................................................................................iv
Daftar Tabel.............................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................3
A. Bell’s palsy....................................................................................................3
B. Epidemiologi.................................................................................................3
C. Anatomi.........................................................................................................3
D. Etiologi..........................................................................................................4
E. Patofisiologi...................................................................................................5
F. Faktor Resiko.................................................................................................6
G. Tanda dan Gejala Bell’s palsy.......................................................................6
H. Komplikasi....................................................................................................7
I. Diagnosis Bell’s palsy...................................................................................8
J. Pemeriksaan Spesifik.....................................................................................9
K. Pemeriksaan Penunjang...............................................................................11
L. Penatalaksanaan Bell’s palsy.......................................................................11
M. Prognosis.....................................................................................................13
BAB III PENATALAKSANAAN (STATUS KLINIS)........................................14
BAB IV PENUTUP...............................................................................................25
A. Kesimpulan..................................................................................................25
B. Saran............................................................................................................25
Daftar Pustaka........................................................................................................26

iii
Daftar Gambar

Gambar 2.1 Anatomi saraf wajah.............................................................................4


Gambar 2.2 Anatomi otot wajah..............................................................................4
Gambar 2.3 Tanda-tanda Bell’s Palsy......................................................................7

iv
Daftar Tabel

Tabel 2.1 Penilaian Ugo Fisch Scale.....................................................................11


Tabel 2.2 Poin Penilai Ugo Fisch Scale.................................................................11
Tabel 2.3 Derajat Ugo Fisch Scale........................................................................10
Tabel 2.4 Hasil Pemeriksaan Ugo Fisch Scale......................................................10
Tabel 2.5 Daniel and Worthinghom’s Manual Muscle Testing Scale...................10

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2015, kesehatan


adalah keadaan sempurna baik fisik, mental, maupun social, tidak hanya
terbebas dari penyakit atau kelemahan/cacat. Sedangkan menurut Kemenkes,
UU No. 36 tahun 2009, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik,
mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup
produktif secara sosial dan ekonomis (Pratiwi et al., 2021).
Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada
individu dan/atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan
memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang rentang kehidupan dengan
menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik,
elektroterapeutis dan mekanis) pelatihan fungsi, komunikasi. (Permenkes, No
65 Tahun 2015 Pasal 1). Peran seorang fisioterapi salah satunya pada kasus
Bell’s palsy yakni mengurangi spasme pada otot wajah, membantu
meningkatkan kekuatan otot wajah dan memperbaiki kemampuan fungsional
pasien (Pratiwi et al., 2021).
Bell’s palsy merupakan suatu kelumpuhan akut nervus fasialis perifer
yang tidak diketahui sebabnya. Sir Charles Bell tahun 1821 adalah orang yang
pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua
kelumpuhan nevus fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut
Bell’s palsy (Abidin et al., 2017).
Prevalansi Bell’s palsy di Inggris dan Amerika Serikat berturut-turut
22,4 dan 22,8 penderita per 100.000 penduduk per-tahun. Di Belanda (1987) 1
penderita per 5000 orang dewasa dan 1 penderita per 20.000 anak per tahun.
Data yang dikumpulkan dari 4 Rumah Sakit di Indonesia didapatkan frekuensi
Bell’s palsy sebesar 19,55% dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada
usia 21-30 tahun. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi,
dibanding non-diabetes. Lebih sering terjadi pada wanita dari pada pria
(Pratiwi et al., 2021).

1
2

Tindakan fisioterapi yang diberikan pada problematika Bell’s palsy


sinistra pada laporan ini adalah infrared, electrical stimulation, massage, dan
mirror exercise. Tindakan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kekuatan
otot wajah dan meningkatkan aktifitas fungsional otot wajah.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA

A. Bell’s palsy
1. Definisi
Bell’s palsy merupakan kelemahan atau kelumpuhan saraf fasialis
perifer, bersifat akut, dan penyebabnya belum diketahui secara pasti
(idiopatik). Bell’s palsy ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1812
oleh Sir Charles Bell, seorang peneliti Scotlandia, yang mempelajari
mengenai persarafan otot-otot wajah (Adam, 2019). Bell’s palsy
didiagnosis secara klinis, yaitu ditemukannya paralisis fasialis tipe Lower
Motor Neuron (LMN) akut, mengenai otot wajah atas dan bawah, yang
mencapai puncaknya dalam 72 jam (Setiarini, 2021).
B. Epidemiologi
Kejadian sindrom Bell’s palsy ini berkisar 23 kasus per 100.000 orang
setiap tahunnya. Penelitian epidemiologi melaporkan bahwa tiap tahun
terdapat 11-40 orang per 100.000 menderita Bell’s palsy dengan insiden
puncaknya pada usia 15 dan 50 tahun. Prevalensi rata-rata laki-laki dan
perempuan adalah sama (Setiarini, 2021). Berdasarkan manifestasi klinisnya,
terkadang masyarakat awam mengganggap sindrom Bell’s palsy sebagai
serangan stroke atau yang berhubungan dengan tumor sehingga perlu
diketahui penerapan klinis sindrom Bell’s palsy tanpa melupakan diagnosa
banding kemungkinan diperoleh dari klinis yang sama (Adam, 2019).
C. Anatomi
1. Neurologi
N. Facialis memiliki nucleus yang terletak di dalam medulla
oblongata. Serabut sarafnya muncul di permukaan anterior antara pons dan
medulla oblongata. Akar sarafnya berjalan bersama N. Vestibulocochlearis
dan masuk ke meatus acusticus internus. N. Facialis memiliki beberapa
percabangan, diantaranya adalah N. Petrosus Superficialis Mayor
(menginervasi glandula lacrimalis dan kelenjar hidung), N. Stapedius
(menginervasi M. Stapedius), cabang pada chorda timpani, N. Auricularis
Posterior (menginervasi auricular dan M. Temporalis), dan lima cabang

3
4

terminal untuk otot-otot mimik wajah (cabang buccal, cabang mandibular,


cabang temporal, cabang zigomaticus, dan cabang cervical) (Mujaddidah,
2017).

Gambar 2.1 Anatomi saraf wajah


Sumber: (Zandian et al., 2014)
2. Otot-otot wajah

Gambar 2.2 Anatomi otot wajah


Sumber: (Qudus & Nurjanah, 2020)
D. Etiologi
Etiologi yang mendasari diamati pada kasus post-mortem Bell’s palsy
adalah distensi vaskular, peradangan dan edema dengan iskemia pada saraf
wajah. Namun, hingga saat ini etiologinya masih belum jelas. Berbagai
penyebab telah diusulkan termasuk virus, inflamasi, autoimun dan vaskular.
Namun, reaktivasi virus herpes simpleks atau virus herpes zoster dari ganglion
5

genikulatum diduga sebagai penyebab yang paling mungkin (Somasundara &


Sullivan, 2017).
Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bell’s palsy, tetapi ada empat
teori yang dihubungkan dengan etiologi yaitu:
a. Teori iskemik vaskuler
Ischemia Vasculer, yaitu terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke
nervus facialis, terjadi ischemia kemudian diikuti oleh dilatasi kapiler dan
permeabilitas kapiler yang meningkat, dengan akibat terjadi transudasi,
cairan transudat yang keluar akan menekan dinding kapiler limfe sehingga
menutup. Selanjutnya akan menyebabkan keluar cairan yang akan lebih
menekan kapiler dan venula dalam canalis facialis sehingga terjadi
ischemia (Qudus & Nurjanah, 2020).
b. Teori infeksi virus
Inflamasi dan edema diduga muncul akibat infeksi. Nervus fasialis
yang berjalan melewati terowongan sempit menjadi terjepit karena edema
ini dan menyebabkan kerusakan saraf tersebut baik secara sementara
maupun permanen. Virus yang menyebabkan infeksi ini diduga adalah
Herpes Simplex Virus (HSV) (Qudus & Nurjanah, 2020).
c. Teori herediter
Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada
keturunan dikeluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk
terjadi paresis fasialis (Adam, 2019).
d. Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap
infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi
(Adam, 2019).
E. Patofisiologi
Patofisiologi pasti Bell’s palsy masih diperdebatkan. Perjalanan saraf
facialis melalui bagian os temporalis disebut sebagai facial canal. Suatu teori
menduga edema dan ischemia berasal dari kompresi saraf facialis di dalam
kanal tulang tersebut. Kompresi ini telah nampak dalam MRI dengan fokus
saraf facialis. Bagian pertama dari canalis facialis segmen labyrinthine adalah
6

yang paling sempit, foramen meatus dalam segmen ini hanya mempunyai
diameter 0,66 mm. Yang bertempat dan diduga paling sering terjadi kompresi
saraf facialis pada Bell’s palsy. Karena sempitnya canalis facialis, keadaan ini
nampaknya wajar apabila inflamasi, demyelinasi, iskemia, atau proses
kompresi mungkin mengganggu konduksi neural pada tempat ini (Adam,
2019).
Lokasi kerusakan saraf facialis diduga dekat atau di ganglion
geniculatum. Jika lesi proksimal dari ganglion geniculatum, kelemahan
motorik diikuti dengan abnormalitas pengecapan dan autonom. Lesi antara
ganglion geniculatum dan chorda tympani menyebabkan efek sama, namun
tanpa gangguan lakrimasi. Jika lesi berada pada foramen stylomastoideus, ini
mungkin hanya menyebabkan paralisis wajah (Adam, 2019).
F. Faktor Resiko
Wanita hamil, terutama saat trimester ke-tiga dan awal pos partum
memiliki risiko terjadinya Bell’s palsy sampai 3 kali dibandingkan populasi
umum. Kelompok rentan lainnya adalah penderita diabetes, usia tua, pasien
hipotiroid, obesitas dan hipertensi (Zandian et al., 2014).
G. Tanda dan Gejala Bell’s palsy
Onset Bell’s palsy adalah akut, sekitar satu - setengah dari kasus
mencapai kelumpuhan maksimum selama 48 jam dan hampir semua berjalan
dalam waktu lima hari. Nyeri di belakang telinga dapat mendahului
kelumpuhan selama satu atau dua hari. Terganggunya saraf facial di foramen
stylomastoid dapat menyebabkan kelumpuhan di seluruh otot ekspresi wajah.
Sudut mulut jatuh, garis dan lipatan kulit juga terpengaruh, garis dahi
menghilang, lipatan palpebra melebar, dan lid margin mata tidak tertutup.
Kantong mata bawah dan punctum jatuh, disertai air mata yang menetes
melewati pipi. Makanan yang mengumpul di antara gigi, pipi dan saliva yang
menetes dari sudut mulut. Penderita juga mengeluh ada rasa tebal atau mati
rasa dan terkadang mengeluh nyeri di wajah (Adam, 2019).
Jika lesi berada di saluran saraf facialis di atas chorda tympani tetapi di
bawah ganglion genikulatum, semua gejala dapat timbul ditambah kehilangan
rasa di lidah 2/3 anterior di sisi yang sama dengan lesi. Jika lesi
mempengaruhi
7

saraf di otot stapedius maka dapat terjadi hyperakustikus yaitu penderita


sensitif dan merasa nyeri bila mendengar suara-suara yang keras. Jika
ganglion genikulatum terpengaruh, produksi air mata dan air liur mungkin
berkurang. Lesi di daerah ini dapat berpengaruh juga pada saraf
vestibulokoklearis yang menyebabkan tuli, tinnitus dan pusing yang berputar
(dizziness) (Adam, 2019).

Gambar 3.1 Tanda-tanda Bell’s palsy


Sumber: (Somasundara & Sullivan, 2017)
H. Komplikasi
a. Crocodile Tear Phenomenon (air mata buaya) yaitu keluarnya air mata
pada saat penderita makan makanan, timbul beberapa bulan
b. Synkinesi, misalnya timbul gerakan involunter elevasi sudut mulut,
kontraksi platysma atau berkerutnya pada saat mata dipejamkan.
c. Clonic Facial Spasm (Hemifacial Spasm). Timbul kedutan pada wajah
yang pada stadium awal hanya mengenal satu sisi wajah saja, tetapi
kontraksi ini dapat mengenal pada sisi yang lainnya.
d. Kontraktur Otot Wajah.
e. Epifora, terjadinya karena kedipan mata yang berkurang dan menyebabkan
iritasi oleh debu dan angin.
f. Spasme Otot Wajah, dapat timbul dalam beberapa bulan sampai 1-2 tahun
setelah mengalami Bell’s palsy.
g. Neuralgia Genuculata, yaitu adanya rasa nyeri dibelakang telinga.
8

h. Hiperacusis, adalah meningginya ketajaman pendengaran yang bersifat


patologis (Qudus & Nurjanah, 2020).
I. Diagnosis Bell’s palsy
Bell’s palsy didiagnosis secara klinis. Ciri yang ditemukan adalah
paralisis fasialis tipe LMN akut, mengenai otot wajah atas dan bawah, yang
mencapai puncaknya dalam 72 jam (Eviston et al., 2015). Skala House-
Brackmann merupakan alat yang digunakan untuk mendokumentasikan
derajat paralisis fasialis dan untuk memprediksi kemungkinan
kesembuhannya. Skala ini menilai gambaran wajah dan kesimetrisannya
dalam kondisi istirahat dan bergerak. Pasien yang masih bisa menggerakkan
wajahnya dan memiliki paralisis tidak komplit, memiliki kesembuhan yang
bagus. Pasien dengan skala 6 House-Brackmann memiliki kesembuhan yang
lama atau tidak komplit. Skala House-Brackmann ini digunakan dan diterima
secara luas (Zandian et al., 2014).
Skala House-Brackmann I sampai VI (Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia, 2016):
a. Grade I menunjukkan fungsi nervus fasial normal.
b. Grade II terjadi disfungsi
ringan. Cirinya adalah:
1) Terdapat kelemahan ringan saat inspeksi
2) Dapat terjadi sinkinesis ringan
3) Saat istirahat didapatkan normal simetris
4) Terdapat gerakan dahi sedikit
5) Dapat menutup mata sempurna dengan sedikit usaha
6) Ditemukan asimetri mulut sedikit
c. Grade III menunjukkan disfungsi moderat, dengan ciri:
1) Terlihat asimetri kedua sisi dengan jelas dan sedikit kelemahan
2) Terdapat sinkinesis, bisa ditemukan kontraktur atau spasme hemifacial
3) Saat istirahat terlihat simetris normal
4) Terdapat gerakan dahi sedikit sampai sedang
5) Dapat menutup mata sempurna dengan usaha
6) Gerakan mulut sedikit lemah dengan usaha maksimal
9

d. Grade IV menunjukkan disfungsi moderat sampai berat, dengan ciri:


1) Terlihat jelas kelemahan dan asimetri
2) Saat istirahat terlihat simetris normal
3) Gerakan dahi tidak ada
4) Mata tidak bisa menutup dengan sempurna
5) Terdapat asimetris mulut dengan usaha maksimal
e. Grade V menunjukkan disfungsi berat, cirinya adalah:
1) Hanya dapat melakukan sedikit gerakan
2) Saat istirahat terdapat asimetri
3) Tidak ada gerakan pada dahi
4) Mata menutup dengan tidak sempurna
f. Grade VI menunjukkan paralisis total. Cirinya adalah:
1) Terdapat asimetris yang luas
2) Tidak adanya gerakan

J. Pemeriksaan Spesifik
a. Skala Ugo Fisch
Ugo Fish Scale adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk
mengevaluasi kemajuan motorik otot-otot wajah pada penderita Bell’s
palsy. Ugo Fish Scale menilai kondisi simetrisasimetris antara sisi dextra
dan sisi sinistra wajah pada lima posisi berbeda yaitu saat istirahat,
mengerutkan dahi, menutup mata, tersenyum, dan bersiul (Qudus &
Nurjanah, 2020).
Tabel 2.1 Penilaian Ugo Fisch Scale
Nilai Keterangan
Asimetris komplit, tidak ada gerakan
0%
volunteer
Simetris jelek/poor kesembuhan
30 % cenderung asimetris, ada gerakan
volunteer
Simetris cukup/fair kesembuhan parsial
70 %
kearah simetris
100 % Normal, Simetris komplit
Tabel 2.2 Poin Penilaian Ugo Fisch Scale
Poin Keterangan
20 Istirahat/diam
10

10 Mengerutkan Dahi
30 Menutup Mata
30 Tersenyum

Tabel 2.3 Derajat Ugo Fisch Scale


Nilai Ugo Fisch Scale Score Derajat
100 Normal
70 - 99 Baik
30 - 69 Sedang
< 30 Buruk

Tabel 2.4 Hasil Pemeriksaan Ugo Fisch Scale


Presentasi
Posisi Nilai (%) Skor
0, 30, 70, 100
Istirahat / diam 20
Mengerutkan 10
Dahi
Menutup mata 30
Tersenyum 30
Bersiul 10
Total

* Misal menutup mata dinilai fair, maka skornya adalah 70% x 30 = 21

b. MMT Wajah
Manual Muscle Testing (MMT) merupakan suatu pemeriksaan
kekuatan otot dengan menggunakan metode gerakan melawan tahanan
dengan skala penilain dari 0 sampai 5 dan masing-masing tingkatan nilai
yang berbeda (Afandi & Rahman, 2021). Untuk menilai kekuatan otot
fasialis yang mengalami paralisis digunakan skala Daniel and
Worthinghom’s Manual Muscle Testing, yaitu (Hargiani, 2019):
Tabel 2.5 Daniel and Worthinghom’s Manual Muscle Testing Scale

Nilai Interpretasi

0 (Zero) Tidak ada kontraksi yang nampak


1 (Trace) Kontraksi normal
Kontraksi sampai dengan simetris sisi
3 (Fair)
normal maksimal
5 (Normal) Kontraksi penuh, terkontrol dan simetris.
11

K. Pemeriksaan Penunjang

1. CT-Scan dan MRI


CT-Scan digunakan apabila paresis menjadi progesif dan tidak
berkurang. MRI digunakan untuk menyingkirkan kelainan lainnya yang
menyebabkan paralisis. MRI pada penderita Bell’s palsy menunjukkan
pembengkakan dan peningkatan yang merata dari saraf fasialis dan
ganglion genikulatum. MRI juga dapat menunjukkan adanya
pembengkakan saraf facialis akibat schwannoma, hemangioma, atau
meningioma (Adam, 2019).
L. Penatalaksanaan Bell’s palsy
1. Infrared (IR)
Sinar infrared adalah gelombang elektromagnetik dengan Panjang
gelombang 750 – 400.000 nm. Sinar infrared juga disebut sinar
termiogenik, karena sinar ini menghasilkan panas saat mereka diserap oleh
jaringan tubuh (Khatri, 2018). Infrared mempunyai efek fisiologis untuk
meningkatkan metabolisme pada lapisan superfisial kulit sehingga suplai
oksigen dan nutrisi ke jaringan akan meningkat sehingga akan membantu
rileksasi otot dan meningkatkan kemampuan otot untuk berkontraksi
(Pratiwi, 2021).
2. Elerctrical Stimulation (ES)
Pemberian Elektrical Stimulation bertujuan untuk menstimulasi dan
menimbulkan kontraksi otot wajah sehingga mampu memfasilitasi gerakan
dan meningkatkan kekuatan otot wajah. Elektrical Stimulation dengan
Arus Faradik. Arus faradik adalah arus listrik bolak-balik yang tidak
simetris yang mempunyai durasi 0.01-1 ms dengan frekuensi 50-100
cy/detik (Amanati et al., 2017).
3. Massage
Massage adalah rangkaian yang terstruktur dari tekanan atau
sentuhan. Facial massage merupakan latihan gerak pada wajah secara
pasif. Pada kondisi Bell’s palsy otot-otot wajah pada umumnya terulur ke
arah sisi yang sehat, keadaan ini dapat menyebabkan rasa kaku pada wajah
sisi yang sakit. Tujuan diberikannya massage di wajah untuk penguluran
pada otot- otot wajah yang letaknya superfisial sehingga perlengketan
jaringan dapat
12

dicegah, selain itu memberikan efek rileksasi dan mengurangi rasa kaku
pada wajah (Rafid et al., 2021). Teknik-teknik massage yang biasa
diberikan pada otot-otot wajah, antara lain stroking, effleurage, finger
kneading, dan tapotement (Amanati et al., 2017).
a. Stroking adalah manipulasi gosokan yang ringan dan halus tanpa
adanya penekanan, dan biasanya digunakan untuk meratakan pelicin.
b. Euffleurrage adalah manipulasi gosokan dengan penekanan yang
ringan dan halus dengan menggunakan seluruh permukaan tangan,
sebaiknya diberikan dari dagu ke atas ke pelipis dan dari tengah dahi
turun kebawah menuju ke telinga. Ini harus dikerjakan dengan lembut
dan menimbulkan ransangan pada otot-otot wajah.
c. Finger kneading adalah pijatan yang dilakukan dengan jari-jari dengan
cara memberikan tekanan dan gerakan melingkar, diberikan keseluruh
otot wajah yang terkena lesi dengan arah gerakan menuju ke telinga.
d. Tapotement adalah manipulasi yang diberikan dengan tepukan yang
ritmis dengan kekuatan tertentu, untuk daerah wajah terutama pada sisi
lesi. Tapotement ini dilakukan dengan ujung-ujung jari.
4. Mirror exercise
Mirror exercise merupakan salah satu bentuk terapi latihan dengan
menggunakan cermin yang akan memberikan efek “biofeedback”. Dalam
pelaksanaan mirror exercise ini, sebaiknya dilakukan ditempat yang
tenang dan tersendiri agar pasien bisa lebih berkonsentrasi terhadap
latihan-latihan gerakan pada wajah. Latihan biofeedback pada penderita
Bell’s palsy adalah dengan melakukan gerakan aktif otot wajah dengan
tujuan untuk meningkatkan kekuatan otot wajah dan mencegah terjadinya
potensial kontraktur otot wajah. Dengan kontraksi yang berulang, maka
secara bertahap kekuatan otot wajah akan meningkat sehingga sifat
fisiologis akan terpelihara elastisitasnya. Jenis-jenis latihannya yaitu,
mengangkat alis dan mengerutkan dahi, menutup mata, tersenyum, bersiul,
mencucu, menarik sudut mulut kesamping kanan maupun kiri,
mengembang-kempiskan cuping hidung, mengucapkan kata labial dengan
konsonan (Qudus, 2020).
13

M. Prognosis
Prognosis umumnya sangat baik. Tingkat keparahan kerusakan syaraf
menentukan proses penyembuhan. Perbaikannya bertahap dan durasi waktu
yang dibutuhkan bervariasi. Dengan atau tanpa pengobatan, sebagian besar
individu membaik dalam waktu dua minggu setelah onset gejala dan membaik
secara penuh, fungsinya kembali normal dalam waktu 3-6 bulan. Tetapi untuk
beberapa penderita bisa lebih lama. Pada beberapa kasus, gangguan bisa
muncul kembali di tempat yang sama atau di sisi lain wajah (Adam, 2019).
BAB III
PENATALAKSANAAN (STATUS KLINIS)

TANGGAL PEMBUATAN LAPORAN : 25 Januari 2022


KONDISI/ KASUS : Ft. Neuromuskular

TEMPAT PRAKTIK : RS Khusus Bedah Hasta Husada


PEMBIMBING : Vivi Endaryanti Amd.Fis

I. KETERANGAN UMUM PENDERITA


Nama : Ny. K
No. RM :
Umur : 50 th
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Pagelaran

II. DATA-DATA MEDIS RUMAH SAKIT


A. DIAGNOSIS MEDIS
Bell’s palsy

B. CATATAN KLINIS
(Medika mentosa, hasil lab, foto rontgen, MRI, CT-Scan, dll)
CT-Scan

C. RUJUKAN DARI DOKTER


Rujukan dari dokter spesialis saraf

III. SEGI FISIOTERAPI


A. PEMERIKSAAN SUBYEKTIF

14
1

B. ANAMNESIS (AUTO/HETERO)
1. KELUHAN UTAMA
Wajah pasien perot ke sisi kanan, kesulitan menutup mata kiri

2. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


(Sejarah keluarga dan genetic, kehamilan, kelahiran dan perinatal, tahap perkembangan, gambaran
perkembangan, dll)

2 bulan yang lalu pasien mengalami sakit telinga selama 2 hari, setelahnya
wajah pasien perot ke sisi kanan akhirnya pasien pergi ke RS dan dirawat
selama beberapa hari. Karena tidak kunjung pulih setelah 1 bulan di rawat di
RS, pasien pergi ke Dokter saraf dan dirujuk ke Fisioterapi untuk melakukan
rehabilitasi medik.

3. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Sakit telinga kiri

4. RIWAYAT PENYAKIT PENYERTA


Hipertensi

5. RIWAYAT KELUARGA
Kakak dari pasien pernah mengalami Bell’s Palsy

6. ANAMNESIS SISTEM
a. Kepala dan Leher : (+) Tidak bisa mengangkat alis, menutup mata,
tersenyum, menguncupkan mulut ke depan

b. Kardiovaskular : (-) Tidak ada keluhan

c. Respirasi : (-) Tidak ada keluhan

d. Gastrointestinal : (-) Tidak ada keluhan

e. Urogenital : (-) Tidak ada keluhan

f. Musculoskeletal : (+) weakness pada wajah sinistra

g. Nervorum : (+) rasa tebal pada wajah sebelah kiri

C. PEMERIKSAAN
1. PEMERIKSAAN FISIK
a. TANDA-TANDA VITAL
Tekanan Darah : 150/80 mmHg
Denyut nadi : 90x/menit
Pernapasan : 18x/menit
1

Temperatur : 36 ℃
Tinggi badan : 165 cm
Berat badan : 65 Kg
b. INSPEKSI (STATIS & DINAMIS)
(Posture, Fungsi motorik, gait, dll)

Statis : terlihat wajah pasien perot ke bagian sisi kanan

Dinamis : pasien tidak mampu menutup mata kiri dan tidak jelas dalam
berbicara

c. PALPASI
(Nyeri, Spasme, Suhu lokal, Tonus, Bengkak, dll)

(+) Sisi wajah bagian kiri terasa tebal dan


kaku (-) Tidak ada nyeri tekan
(+) Penurunan tonus wajah bagian kiri

d. PERKUSI
Tidak dilakukan

e. AUSKULTASI
Tidak dilakukan

f. GERAK DASAR
Gerak Aktif :
Gerakan Kemampuan
Mengangkat alis dan mengerutkan
Tidak kontraksi
dahi
Menutup Mata Sedikit kontraksi
Ekspresi Senyum Tidak kontraksi
Mengucupkan mulut ke depan Tidak kontraksi
Mengangkat hidung Tidak kontraksi

Mengembungkan pipi Tidak kontraksi


Menarik hidung kebawah Tidak kontraksi
Menggerakkan kedua alis Tidak kontraksi
Mengembangkan dan mengempiskan
Tidak kontraksi
cuping hidung
Menarik bibir ke bawah Tidak kontraksi
Meruncingkan dagu Tidak kontraksi

Gerak Pasif :
- Tidak dilakukan
1

Isometrik :
- Tidak dilakukan

g. KOGNITIF, INTRA-PERSONAL, INTER-PERSONAL


- Kognitif : Pasien mampu memahami apa yang diucapkan oleh
terapis, namun kesulitan dalam berkomunikasi
- Intra-personal : pasien memiliki keinginan yang kuat untuk sembuh
- Inter-personal : pasien mendapat dukungan dari keluarganya

h. KEMAMPUAN FUNGSIONAL DASAR, AKTIVITAS


FUNGSIONAL, & LINGKUNGAN AKTIVITAS
- Kemampuan Fungsional Dasar : Pasien tidak mampu melakukan
gerakan menutup mata, tersenyum, mengangkat alis, dan tidak
mampu berbicara dengan jelas.
- Aktivitas Fungsional : Pasien kesulitan melakukan aktivitas makan
dan minum
- LA : Pasien kesulitan bersosialisasi karena kesulitan saat
berkomunikasi

2. PEMERIKSAAN SPESIFIK
(Nyeri, MMT, LGS, Antropometri, Sensibilitas, Tes Khusus, dll)
- Sensoris
 Tajam-tumpul : (-)
 Panas-dingin : (-)
 Kasar-halus : (-)

- Manual Muscle Testing


Nilai Nilai
Nama Otot Fungsi
Dextra Sinistra
Mengangkat alis dan
M. Frontalis 5 0
mengerutkan dahi
M. Oblicularis Occuli Menutup Mata 5 1
M. Zygomaticus Mayor
Ekspresi Senyum 5 0
dan M. Rizorius
Mengucupkan mulut ke
M. Orbicularis Oris depan 5 0
M. Procerus Mengangkat hidung 5 0
M. Bucinator Mengembungkan pipi 5 0
M. Depressor Septi Menarik hidung kebawah 5 0
M. Corrugator Supercilli Menggerakkan kedua alis 5 0
Mengembangkan dan
M. Nasalis 5 0
mengempiskan cuping hidung
M. Depresor Labii
Menarik bibir ke bawah 5 0
Inferior
M. Mentalis Meruncingkan dagu 5 0
1

- Skala Ugo Fisch

Posisi Nilai Dextra Nilai Sinistra


Diam atau
20 100 % 20 20 0% 0
Istirahat
Mengerutkan Dahi 10 100 % 10 10 0% 0
Menutup Mata 30 100 % 30 30 30 % 9
Tersenyum 30 100 % 30 30 0% 0
Bersiul 10 100 % 10 10 0% 0
Jumlah 100 9
1

D. UNDERLYING PROCESS - ALGORITMA

Idiopatik

Peradangan Foramen Stylomastoideus

Penjepitan N. Facialis

Pembengkakan N. Facialis

Pasokan darah ke N. Facialis terganggu

Kematian sel pada N. facialis

Fungsi penghantaran impuls terganggu

Penyampaian Impuls ke otot wajah

Unilateral Weakness Face Muscle

Bell’s palsy

ANATOMI IMPAIRMENT FUNCTIONAL LIMITATION DISABILITY

- Kesulitan dalam
- Kesulitan bersosialisasi
Weakness Asimetri Rasa tebal saat
wajah sinistra wajah sinistra berbicara
- Kesulitan saat makan
dan minum
- Kemampuan
ekspresi menurun

Penurunan - Tidak dapat menutup


fungsional mata kiri

- Fungsional
wajah terganggu
IR, ES, Home
Exercise (Massage,
Mirror Exercise)
2

E. DIAGNOSA FISIOTERAPI
(International Clatification of Functonal and disability)

Weakness, asimetri wajah sinistra, penurunan fungsional wajah et causa Bell’s


palsy sinistra

Impairment :
- Weakness otot wajah sinistra
- Rasa tebal pada wajah sinistra
- Penurunan fungsional wajah

Functional Limitation :
- Tidak dapat menutup mata kiri
- Tidak dapat berbicara dengan jelas
- Penurunan kemampuan ekspresi wajah
- Kesulitan saat makan, minum, berkumur

Disability :
Pasien terganggu dalam bersosialisasi dan melakukan aktivitas sehari hari

F. PROGNOSIS
Qua at Vitam : Bonam
Qua at Sanam : Dubia ad Bonam
Qua at Fungsionam : Dubia ad Bonam
Qua at Cosmeticam : Dubia ad Bonam

G. PROGRAM/RENCANA FISIOTERAPI
1. Tujuan treatment
a. Jangka Pendek
- Meningkatkan kekuatan otot wajah sisi kiri
- Meningkatkan fungsional wajah
- Mencegah potensial terjadinya spasme otot pada sisi wajah kanan oleh
karena kontraksi terus menerus pada sisi wajah kanan
- Mencegah potensial terjadinya kontraktur otot wajah sisi kanan

b. Jangka Panjang
- Melanjutkan tujuan jangka pendek
- Meningkatkan aktivitas fungsional pasien

2. Rencana tindakan
a. Teknologi Fisioterapi
1. Infrared: memperlancar sirkulasi darah dan meningkatkan metabolisme
2. Electrical Stimulation: untuk membantu stimulasi otot dan menjaga
elastisitas otot
2

3. Massage: untuk penguluran pada otot-otot wajah yang letaknya


superfisial sehingga perlengketan jaringan dapat dicegah, selain itu
memberikan efek rileksasi dan mengurangi rasa kaku pada wajah
4. Mirror Exercise: untuk meningkatkan kekuatan otot wajah dan
mencegah terjadinya potensia kontraktur otot wajah

H. PELAKSANAAN FISIOTERAPI
1. Infrared
a) Persipan alat
- Pastikan kabel sudah terhubung
- Atur waktu selama 15 menit dan jarak 30-45 cm
- Siapkan kacamata hitam
b) Persiapan pasien
- Posisi pasien supine lying senyaman mungkin dengan mata
ditutup kacamata.
- Jelaskan kepada pasien rasa yang di dapat
- Jelaskan kepada pasien tujuan daripemberian IR
c) Pelaksanaan
- Nyalakan IR
- Arahkan sinar IR tegak lurus pada wajah dengan jarak 30 cm
selama 15 menit.
- Kontrol setiap 5 menit
- Tanyakan pada pasien terlalu panas atau tidak
- Matikan alat
- Rapihkan alat dan tempat
- Kembalikan alat ketempat semula.
d) Dosis
F : 2x seminggu
I : toleransi pasien
T : continus
T : 15 menit

2. ES
a) Persiapan Alat:
- Pastikan kabel sudah terhubung
- Basahi kedua pad
b) Persiapan Pasien
- Posisi pasien supine lying senyaman mungkin
c) Pelaksanaan
- Mesin masih dalam posisi off dan tombol intensitas dalam posisi nol.
- Letakkan elektroda pasif pada cervical 7
- Aktif elektroda pada motor poin otot wajah kanan. Stimulasi diberikan
pada wajah kiri/ wajah yang lesi.
- Hidupkan alat dan naikkan intensitas sesuai toleransi pasien.
- Masing-masing motor point memerlukan 15 kali kontraksi.
2

- Untuk mengakhiri stimulasi turunkan dahulu intensitas arusnya.


Kemudian lepaskan elektroda dari kulit pasien dan matikan alat
d) Dosis
F : 2x seminggu
I : toleransi pasien
T : 15x hitungan per titik saraf
T : motor point

3. Massage
a) Persiapan alat
- Menyiapkan media pelicin, bedak dan tisu untuk membersihkannya.
b) Persiapan pasien
- Posisi pasien tidur terlentang senyaman mungkin. Area terapi yang
hendak dimassage dalam keadaan bersih. Sebelum massage dilakukan,
berikan penjelasan mengenai terapi yang akan dilakukan
c) Pelaksanaan terapi
- Terapis berada di sebelah atas wajah pasien. Massage diberikan pada
wajah yang lesi. Sebelumnya tuangkan media pelicin ditangan terapis.
- Kemudian usapkan pada wajah pasien dengan gerakan stroking dengan
menggunakan seluruh permukaan tangan satu atau permukaan kedua
belah tangan dan arah gerakannya tidak tentu.
- Lakukan gerakan efflurage secara gentle, gerakan dari dagu kearah
pelipis dan dari tengah dahi turun ke bawah menuju ke telinga.
- Dilanjutkan dengan finger kneading dengan jari-jari dengan cara
memberikan tekanan dan gerakan melingkar, diberikan ke seluruh otot
wajah yang terkena lesi dari dagu, pipi, pelipis dan tengah dahi menuju
ke telinga.
- Kemudian lakukan tapping dengan jari-jari dari tengah dahi menuju ke
arah telinga, dari dekat mata menuju ke arah telinga, dari hidung ke
arah telinga, dari sudut bibir ke arah telinga dan dari dagu menuju
kearah telinga. Khusus pada bibir, lakukan stretching kearah yang lesi.
- Gerakan massage dilakukan dengan pengulangan 15x / menit dan
dilakukan selama kurang lebih 5-10 menit.
d) Dosis
F : 2x seminggu
I : tekanan minimal
T : manual terapi
T : kondisional

4. Mirror Exercise
a) Persiapan alat
Persiapkan cermin dengan ukuran lebih besar dari wajah pasien agar pasien
dapat bercermin dengan jelas, serta disediakan kursi sebagai tempat duduk
pasien didepan cermin.
b) Persiapan pasien
2

Pasien duduk tegak lurus didepan cermin, kemudian diminta untuk


berkonsentrasi, dan mendengarkan apa yang dijelaskan oleh terapis.
c) Pelaksanaan terapi
Pada pelaksanaan terapi ini pasien diminta untuk melakukan gerakan–
gerakan wajah yang diperintahkan oleh terapis, seperti mengangkat alis
keatas dan mengerutkan dahi, menutup mata, mengembang kempiskan
cuping hidung, tersenyum, menarik sudut mulut kesamping kiri, mecucu,
memperlihatkan gigi seri dan mengucap kata – kata labial L, M, O, dan N.
Dosis waktu 10 – 25 menit dan dilakukan pengulangan 4 – 5 kali setiap
latihan.
d) Dosis
F : setiap hari
I : kondisional
T : exercise
T : kondisional

I. HASIL EVALUASI TERAKHIR


1. MMT Sisi Wajah Sinistra

Gerakan T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6
M. Frontalis 0 0 0 0 0 0 0
M. Oblicularis Occuli 1 1 1 1 3 3 3
M. Zygomaticus
Mayor dan M. Rizorius 0 0 0 0 0 0 0
M. Oblicularis Oris 0 0 0 0 0 0 0
M. Procerus 0 0 0 0 0 0 0
M. Buccinator 0 0 0 0 1 3 3
M. Depressor Septi 0 0 0 0 0 0 0
M. Corrugator
Supercilli 0 0 0 0 0 0 0
M. Nasalis 0 0 0 0 0 0 0
M. Depresor Labii
Inferior 0 0 0 0 0 0 0
M. Mentalis 0 0 0 0 0 0 0
2. Skala Ugo Fisch
Gerakan T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6
Diam 20 x 20 x 20 x 20 x 20 x 20 x 20 x 0% = 0
0% = 0 0% = 0 0% = 0 0% = 0% = 0 0% = 0
0
Mengerutkan 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 0% = 0
Dahi 0% = 0 0% = 0 0% = 0 0% = 30% = 0% = 0
0 3
Menutup 30 x 30 x 30 x 30 x 30 x 30 x 30 x 70% =
Mata 30% = 30% = 30% = 30% = 30% = 30% = 21
9 9 9 9 9 9
2

Tersenyum 30 x 30 x 30 x 30 x 30 x 30 x 30 x 30% =
0% = 0 0% = 0 0% = 0 0% = 0% = 0 30% = 9
0 9
Bersiul 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 10 x 0% = 0
0% = 0 0% = 0 0% = 0 0% = 0% = 0 0% = 0
0
Jumlah 9 poin 9 poin 9 poin 9 poin 9 poin 18 30
poin poin

J. EDUKASI DAN KOMUNIKASI


1. Hindari menggunakan kipas angin secara langsung menerpa wajah.
2. Pasien disarankan menggunakan kacamata untuk menghindari terpaan debu
dan angin secara langsung.
3. Diharapkan membawa sapu tangan khusus untuk mata agar menghindari
iritasi.
4. Diharapkan rutin melakukan home program yang sudah diajarkan oleh
fisioterapis.
5. Hindari keluar malam dan pada saat keluar menggunakan helm serta
memakai selayer atau masker.

K. CATATAN PEMBIMBING PRAKTIK

L. CATATAN TAMBAHAN

.................., .........................................2022
Pembimbing

( )
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pasien Ny. K usia 50 tahun dengan diagnosa Bell’s palsy dengan keluhan
wajah merot kesebalah kanan dan mengakibatkan adanya rasa tebal-tebal pada
bagian wajah kiri, kelemahan pada otot-otot wajah kiri, dan penurunan
fungsional wajah. Setelah mendapatkan intervensi fisioterapi sebanyak 6 kali
berupa IR, ES, Mirror exercise, dan massage hasilnya: terdapat peningkatan
kekuatan otot dan terdapat peningkatan kemampuan fungsional.
B. Saran
Saran yang di berikan kepada pasien pada kasus ini adalah dengan tidak
boleh tidur di lantai secara langsung, tidak terlalu lama di depan kipas angin,
bepergian dengan menggunakan masker, tidak terlalu lama di tempat ber-AC
atau dingin. Serta melakukan home program yaitu mirror exercise dan
massage secara mandiri di rumah supaya proses kesembuhan bisa lebih cepat.

25
Daftar Pustaka

Abidin, Z., Kuswardani, & Haryanto, D. (2017). Pengaruh Infra Red , Massage
Dan Mirror Exercise Pada Bell ’ S Palsy Infra Red , Massage and Mirror
Exercise Effect in Bell ’ S Palsy. Jurnal Fisioterapi Dan Rehabilitasi (JFR),
1(2).

Adam, O. M. (2019). Bell ’ s Palsy. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma,


8(1), 137–149. https://journal.uwks.ac.id/index.php/jikw/article/view/526/pdf

Afandi, G. E., & Rahman, I. (2021). Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus


Bell’s Palsy Sinistra dengan Modalitas Infra Red dan Massage di RSUD
Cikalong Wetan Kabupaten Bandung Barat. Exellent Midwifery Journal,
4(2), 44–49.

Amanati, S., Purnomo, D., & Abidin, Z. (2017). Pengaruh Infra Red dan
Elektrical Stimulation serta Massage terhadap Kasus Bell’s Palsy Dekstra.
Jurnal Fisioterapi Dan Rehabilitasi, 1(1), 9–15.
https://doi.org/10.33660/jfrwhs.v1i1.5

Eviston, T. J., Croxson, G. R., Kennedy, P. G. E., Hadlock, T., & Krishnan, A. V.
(2015). Bell’s palsy: Aetiology, clinical features and multidisciplinary care.
Journal of Neurology, Neurosurgery and Psychiatry, 86(12), 1356–1361.
https://doi.org/10.1136/jnnp-2014-309563

Hargiani, F. X. (2019). Case Study Aplikasi Neuromuscular Taping Kasus Bell’s


Palsy pada Pengalaman Praktek Fisioterapi di Klinik Kineta Sidoarjo Tahun
2018. Jurnal Ilmiah Fisioterapi (JIF), 2(1), 10–14.

Mujaddidah, N. (2017). Tinjauan Anatomi Klinik dan Manajemen Bell’s Palsy.


Qanun Medika - Medical Journal Faculty of Medicine Muhammadiyah
Surabaya, 1(02), 1–11. https://doi.org/10.30651/qm.v1i02.634

Pratiwi, S. I., Karlina, & Rahman, I. (2021). Penatalaksanaan Fisioterapi pada


Kasus Bell’s Palsy Sinistra dengan Modalitas Infra Red, Electrical
Stimulation (Faradik) dan Massage di RSUD Cililin. Journal of Health
Science and Physiotherapy, 3(3), 103–110.
https://doi.org/https://doi.org/10.35893/jhsp.v3i3.73

Qudus, A., & Nurjanah, A. (2020). Penatalaksanaan Fisiotrapi pada Pasien Kasus
Bell’s Palsy Sinistra dengan Modalitas Infra Red Radiation dan Mirror
Exercise Di RSUD Cibabat Kota Cimahi. Jurnal INFOKES, 1–13.

Rafid, M., Utami, I. T., & Inayati, A. (2021). Efektifitas Facial Massage dan
Facial Expression terhadap Kesimetrisan Wajah Pasien Stroke Non
Hemoragik dengan Face Dropping. Jurnal Cendikia Muda, 1(2), 136–141.

Setiarini, R. (2021). Bell’s Palsy: Suatu Tinjauan Pustaka. Jurnal Kedokteran,


6(2), 143–151. https://doi.org/10.1145/3132847.3132886
26
Somasundara, D., & Sullivan, F. (2017). Management of Bell’s Palsy. Australian
Prescriber, 40(3), 94–97.
https://doi.org/10.1001/archotol.1969.00770020146025

Zandian, A., Osiro, S., Hudson, R., Ali, I. M., Matusz, P., Tubbs, S. R., & Loukas,
M. (2014). The neurologist’s dilemma: A comprehensive clinical review of
Bell’s palsy, with emphasis on current management trends. Medical Science
Monitor, 20, 83–90. https://doi.org/10.12659/MSM.889876

27

Anda mungkin juga menyukai