Anda di halaman 1dari 33

6

ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI 11


FAKULTAS KEDOKTERAN juli 2021
UNIVERSITAS HASANUDDIN
REHABILITASI MEDIK PADA PASIEN
STROKE

Disusun Oleh:
Sri Rahayu Igirisa C014202289

Supervisor Pembimbing:
dr. Sylvia Evelin Aritonang, Sp. KFR

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN KEDOKTERAN FISIK & REHABILITASI MEDIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
7

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :


Sri Rahayu Igirisa C014202289

Dengan judul referat : Rehabilitas Medik Pada Pasien Stroke


Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Departemen Ilmu
Kedokeran Fisik dan Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Universitas Haanuddin.

Makassar, 30 Juni 2021


Supervisor Pembimbing

dr. Sylvia Evelin Aritonang, Sp.KFR


8

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................... 2
2.1 STROKE ISKEMIK ........................................................................................................ 2
2.1.1 DEFINISI ................................................................................................................ 2
2.1.2 FAKTOR RISIKO ................................................................................................... 2
2.1.3 DIAGNOSIS ............................................................................................................4
2.1.4 REHABILITASI PASCA STROKE .........................................................................6
2.1.5 PENANGANAN PASCA STROKE ....................................................................... 8
2.2 STROKE HEMORAGIK ................................................................................................ 9
2.2.1 DEFINISI ................................................................................................................ 9
2.2.2 KLASIFIKASI .......................................................................................................10
2.2.3 PATOFISIOLOGI ................................................................................................. 10
2.2.4 DIAGNOSIS ......................................................................................................... 11
2.2.5 DISABILITAS AKIBAT STROKE ...................................................................... 12
2.2.6 KOMPLIKASI APSCA STROKE ........................................................................ 13
2.2.7 TATALAKSANA STROKE ................................................................................. 15
2.2.8 INTERVENSI REHABILITASI ........................................................................... 16
2.2.9 PENANGANAN KOMPLIKASI PASCA STROKE ............................................ 17
2.3 REHABILITASI STROKE DI ERA PANDEMI ......................................................... 23
2.3.1 PANDEMI COVID-19 .......................................................................................... 23
2.3.2 INTERVENSI TELEREHABILITASI .................................................................. 24
2.3.3 PERANGKAT TELEREHABILITASI ................................................................. 26
BAB III KESIMPULAN ............................................................................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... 3
9

BAB 1 PENDAHULUAN
Storoke merupakan penyakit terbanyak ketiga setelah penyakit jantung dan
kanker, serta merupakan penyakit penyebab kecacatan tertinggi di dunia. Menurut
American Heart Association (AHA), angka kematian penderita stroke di Amerika
setiap tahunnya adalah 50 – 100 dari 100.000 orang penderita.1,2 Di negara-negara
ASEAN penyakit strokejuga merupakan masalah kesehatan utama yang
menyebabkan kematian. Dari data South East Asian Medical Information Centre
(SEAMIC) diketahui bahwa

angka kematian stroke terbesar terjadi di Indonesia yang kemudian diikuti secara
berurutan oleh Filipina, Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand. Dari seluruh
penderita stroke di Indonesia, stroke ischemic merupakan jenis yang paling banyak
diderita yaitu sebesar 52,9%, diikuti secara berurutan oleh perdarahan intraserebral,
emboli dan perdarahan subaraknoid dengan angka kejadian masing- masingnya sebesar
38,5%, 7,2%, dan 1,4%.2
Stroke atau yang dikenal juga dengan istilah Gangguan Peredaran darah Otak
(GPDO), merupakan suatu sindrom yang diakibatkan oleh adanya gangguan aliran darah
pada salah satu bagian otak yang menimbulkan gangguan fungsional otak berupa defisit
neurologik atau kelumpuhan saraf 3. Strok di sebabkan oleh keadaan ishmeic atau proses
hemoragic yang seringkali di awali oleh adanya lesi atau perlukaan pada pembuluh darah
arteri dari seluruh ke jadian stroke, duapertiganya adalah ischemik dan sepertiganya
hemoragi. Di sebut stroke ischemic karena adanya sumbatan pembuluh darah oleh
tromboemboli yang mengakibatkan daerah dibawah sumbatan tersebut mengalami
ishemic hal ini sangat berbeda dengan strok hemoragic yang terjadi akibat adanya
mycroaneurisme yang pecah 4,5.

Pada umumnya, penderita stroke merasa menjadi beban ekonomi bagi keluarga dan
lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, butuh penanganan untuk meminimalisasi
kecacatan akibat penyakit stroke dan membantu penderita untuk mengoptimalkan kembali
aktivitas dan interaksinya dengan keluarga maupun masyarakat agar terwujud kualitas
hidup yang baik.6

Program rehabilitasi stroke dapat digambarkan sebagai prosedur yang bertujuan untuk
memfasilitasi orang-orang yang mungkin mengalami atau akan mengalami pada fase
kecacatan untuk mencapai fungsi optimal dalam interaksinya dengan lingkungan. Pada
umumnya, hal ini membantu dalam meningkatkan potensi fisik, psikososial, dan
pekerjaan mereka dengan mempertimbangan keterbatasan fisiologis dan lingkungan.
10

Seiring dengan adanya kemajuan teknologi dan informasi serta pengembangan ilmu
mampu menurunkan angka kematian selama dekade terakhir.7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Menurut World Health Organization (WHO) stroke adalah suatu gangguan fungsional
otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala klinik baik fokal maupun
global yang berlangsung lebih dari 24 jam, atau dapat menyebabkan kematian yang
disebabkan oleh gangguan peredaran darah di otak.4 Stroke dapat terjadi akibat
berkurangnya perfusi ke otak yang dapat diakibatkan oleh adanya iskemik maupun
sumbatan pada pembuluh darah (Stroke NonHemoragik) atau akibat pecahnya pembuluh
darah otak (Stroke Hemoragik).8,9

Stroke merupakan salah satu penyakit dengan prevalensi yang tinggi, baik di Indonesia
maupun secara global. Pada tahun 2013, stroke merupakan penyebab kematian terbesar
kedua, yaitu 11,8% dari total kematian di seluruh dunia dan menduduki peringkat kelima
penyebab kematian terbesar di Amerika dimana stroke membunuh hampir 133.000 orang
per tahun. Stroke merupakan penyebab utama disabilitas jangka panjang yang serius di
Amerika Serikat.10

2.1 Anatomi dan Fisiologi


OtakOtak adalah organ vital yang terdiri dari 100-200 milyar sel aktif yang saling
berhubungan dan bertanggung jawabatas fungsi mental dan intelektual kita. Otak terdiri
dari sel-sel otak yang disebut neuron. Otak merupakan organ yang sangat mudah
beradaptasi meskipun neuron-neuron di otakmati tidak mengalami regenerasikemampuan
adaptif atau plastisitas. Pada otak dalam situasi tertentu bagian-bagian otak dapat
mengambil alih fungsi dari bagian-bagian yang rusak. Otak sepertinya belajar kemampuan
baru. Ini merupakan mekanismepaling penting yang berperan dalam pemulihan stroke. 11
Secara garis besar sistem saraf dibagi menjadi 2, yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf
tepi. Sistem saraf pusat (SSP) terbentuk oleh otak dan medulla spinalis. Sistem saraf disisi
luar SSP disebut sistem saraf tepi (SST). Fungsi dari SST adalah menghantarkan
informasi bolak balik antara SSPdengan bagian tubuh lainnya.12
11

Otak merupakan bagian utama dari sistem saraf dengan komponen bagiannya adalah:
1) Cerebrum
Cerebrum merupakan bagian otak yang terbesar yang terdiridari sepasang hemisfer
kanan dan kirisertatersusun dari korteks. Korteks ditandai dengan sulkus (celah)
dan girus. Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus, yaitu:
a)Lobus Frontalis
Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual yang lebih tinggi, seperti
kemampuan berpikir abstrak dan nalar, bicara (area broca di hermisfer kiri), pusat
penghidit dan emosi. Bagian ini mengandung pusat pengontrolan gerakan volunter di
gyrus presentralis (area motorik primer) dan terdapat area asosiasi motorik(area
premotor). Pada lobus ini terdapat daerah broca yang mengatur ekspresi bicara, lobus
inijuga mengatur gerakan sadar, perilaku sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif 13

b)Lobus Temporalis
Lobus temporalis mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan ke bawah dari fisura
lateraldan sebelah posterior dari fisura parieto-oksipitalis. 14 Lobus ini berfungsi untuk
mengatur daya ingat verbal, visual, pendengaran dan berperan dalampembentukan dan
perkembangan emosi.
c)Lobus Parietalis
Lobus Parietalis merupakan daerah pusat kesadaran sensorik di gyrus postsentralis (area
sensorik primer) untuk rasa raba dan pendengaran 14.
d)Lobus OksipitalisLobus oksipitalis berfungsi untuk pusat penglihatan dan area asosiasi
penglihatan: menginterpretasi dan memproses rangsang penglihatan dari nervus optikus
dan mengasosiasikan rangsang ini dengan informasi saraf lain danmemori. 14
e)Lobus Limbik

Lobus limbik untuk mengatur emosi manusia, memoriemosi dan bersama hipothalamus
menimbulkan perubahan melalui pengendalian atas susunan endokrin dan susunan

2) Cerebellum

Cerebellum adalah struktur kompleks yang mengandung lebih banyak neuron


dibandingkan otak secara keseluruhan. Memiliki peran koordinasi yang
pentingdalam fungsi motorikyang didasarkan pada informasi somatosensoriyang
diterima inputnya 40 kali lebih banyak dibandingkan output. Cerebellum terdiri
daritiga bagian fungsional yang berbeda yang menerima dan menyampaikan
informasi ke bagian lain dari sistem saraf pusat.Cerebellum merupakan pusat
koordinasi untuk keseimbangan dan tonus otot.Mengendalikan kontraksi otot-otot
12

volunter secara optimal. Bagian-bagian dari cerebellum adalah lobus anterior,


lobus medialisdan lobus fluccolonodularis13

3)Brainstem

Brainstem adalah batang otak, berfungsi untuk mengatur seluruh proses kehidupan yang
mendasar. Berhubungan dengan diensefalon diatasnya dan medulla spinalis dibawahnya.
Struktur-struktur fungsional batang otak yang penting adalah jaras asenden dan desenden
traktus longitudinalis antara medulla spinalis dan bagian-bagian otak, anyaman sel saraf
dan 12 pasang saraf cranial. Secara garis besar brainstem terdiri dari tiga segmen, yaitu
mesensefalon, pons dan medulla oblongata.12

Etiologi dan Faktor Risiko

1. Trombosis (bekuan cairan di dalam pembuluh darah otak)

2. Embolisme cerebral (bekuan darah atau material lain)

3. Iskemia (Penurunan aliran darah ke area otak)

4. Hemoragi serebral yaitu pecahnya pembuluh darah serebral dengan


perdarahan ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak. Akibatnya
adalah penghentian suplai darah ke otak, yang menyebabkan
kehilangan sementara atau permanen gerakan, berpikir, memori ,
bicara atau sensasi 15
Faktor resiko pada penyakit stroke :

1. Hipertensi

2. Penyakit kardiovaskuler

3. Kolesterol tinggi

4. Obesitas

5. Peningkatan hematokrit
13

6. Diabetes

7. Kontrasepsi oral

8. Merokok

9. Penyalahgunaan obat

10. Konsumsi alkohol


B. Tanda dan Gejala

Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada


lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang
perfusinya tidak adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder atau
aksesori). Fungsi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya.
1. Kehilangan motorik
Stroke adalah penyakit motor neuron dan mengakibatkan kehilangan
kontrol volunter terhadap gerakan motorik.
2. Kehilangan komunikasi
Fungsi otak lain yang dipengaruhi oleh stroke adalah bahasa dan
komunikasi. Stroke adalah penyebab afasia paling umum.
Disfungsi bahasa dan komunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal
berikut:
a. Disartria (kesulitan berbicara), ditunjukkan dengan bicara yang
sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang
bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara.
b. Disfasia atau afasia (bicara defektif atau kehilangan bicara), yang
terutama ekspresif atau reseptif.
c. Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang
dipelajari sebelumnya), seperti terlihat ketika pasien mengambil
sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya.
3. Gangguan persepsi

Ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi. Stroke dapat


mengakibatkan disfungsi persepsi visual, gangguan dalam hubungan visual-
spasial dan kehilangan sensori.
4. Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologik
Disfungsi ini dapat ditunjukkan dengan kesulitan dalam pemahaman, lupa, dan
kurang motivasi, yang menyebabkan pasien ini menghadapi masalah frustasi
dalam program rehabilitasi mereka.
5. Disfungsi kandung kemih
Setelah stroke pasien mungkin mengalami inkontinensia urinarius sementara
karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk menggunakan urinal/bedpan.11
C. Patofisiologi

Suplai darah ke otak dapat berubah pada gangguan fokal


(thrombus, emboli, perdarahan dan spasme vaskuler) atau oleh karena
gangguan umum (Hypoksia karena gangguan paru dan jantung).
Arterosklerosis sering/cenderung sebagai faktor penting trhadap otak.
Thrombus dapat berasal dari flak arterosklerotik atau darah dapat beku
pada area yang stenosis, dimana aliran darah akan lambat atau terjadi
turbulensi. Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus
menyebabkan oedema dan nekrosis diikuti thrombosis dan hypertensi
pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan
menyebabkan kematian dibandingkan dari keseluruhan penyakit
cerebrovaskuler. Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang cerebral.
Perubahan disebabkan oleh anoksia serebral dapat revensibel untuk jangka
waktu 4-6 menit. Perubahan irreversible dapat anoksia lebih dari 10 menit.
Anoksia serebtal dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi, salah
satunya cardiac arrest 11
2.1.2 DIAGNOSIS
1) Anamanesis dan pemeriksaan fisis

Tabel 1. Kriteria Stroke Secara Klinis


Gamabaran klinik Stroke Iskemik Stroke Perdarahan
Permulaan serangan Sub akut Akut
Waktu serangan Bangun pagi Aktivitas
Tanda peringatan + -
Nyeri kepala +/- +
muntah - +
Kejang - +
Kesadaran menurun - +
Bradikardi Hari ke - 4 Sejak awal serangan
Papil edema - +
Rangsang meningeal - +
Ptosis - +
Lokasi Kortikal atau Sub kortikal Sub kortikal

2) Pemeriksaan penunjang

CT Scan
Kemajuan teknologi kedokteran memberikan kemudahan untuk membedakan antara
stroke hemoragik dan stroke iskemia dengan ditemukannya berbagai modalitas radiologi.
CT Scan merupakan golden standard untuk membedakan stroke hemoragik dan iskemik
karena CT Scan dapat memberikan gambaran kepala yang sangat jelas tentang proses desak
ruang intrakranial seperti infark otak, perdarahan intrakranial, dan stroke hemoragik. Stroke
dengan lesi yang luas, misalnya di daerah kortikal atau ganglia basalis, gambaran abnormal
CT scan kepala baru akan muncul setelah 1-3 jam. CT Scan kepala non kontras merupakan
prosedur yang cepat dalam memvisualisasikan kondisi-kondisi yang kontraindikasi dalam
pemberian terapi trombolitik. 16,17

Gambar 1. Gambaran CT-Scan

Adapun dalam mendiagnosis stroke akut dapat juga ditegakkan dengan lebih cepat
dan akurat dengan menggunakan MRI terkini (resolusinya lebih tinggi, munculnya
gambaran abnormal lebih cepat, dan dapat menilai lesi di batang otak). MRI lebih
memvisualisasikan lokasi dan luasnya iskemik serebral akut dengan gambaran difusi yang
berat. 16, 18
- Magnetic Resonance Imaging (MRI)
- Pemeriksaan laboratorium

Rehabilitasi Fase Akut

Pada fase ini, Kondisi hemodinamik pasien belum stabil, umumnya dilakukan saat
perawatan di rumah sakit yaitu di ruang gawat biasa ataupun di unit stroke. Program pada
fase ini dijalankan oleh tim, biasanya dimulai aktif sesudah prosesnya stabil yaitu sesudah
24-72 jam sesudah serangan, kecuali terjadi perdarahan.19,20

Tujuan rehabilitasi fase akut yaitu untuk meminimalkan disabilitas akibat stroke dan
mengoptimalkan pemulihan fungsional dengan memberikan intervensi rehabilitasi medic
yang dapat membantu perbaikan perfusi otak dan mencegah komplikasi yang terjadi akibat
stroke dan efek imobilitas serta menetapkan mobilisasi dini sesuai kondisi medis.9,10

Target rehabilitasi fase akut adalah memberikan penanganan awal sehingga tidak
memperburuk terjadinya gangguan perfusi di otak serta meminimalkan disabilitas yang
terjadi pada penderita stroke. 19,20

Rehabilitasi fase akut yaitu meliputi manajemen disfagia, manajemen afasia, pencegahan
pressure ulcer, pencegahan jatuh, pencegahan nyeri dan deprivasi sensori, dan pencegahan
nyeri serta Deep Vein Thrombosis (DVT). 21
Tidak ada perbedaan signifikan mengenai rehabilitasi pada pasien stroke hemoragik dan
non hemoragik namun tindakan rehabilitasi latihan pasif dapat dimulai 2-3 hari setelah
serangan pada stroke iskemik dan pada stroke hemoragik dapat dimulai setelah 1 minggu.
Serta menurut Guideline manajemen awal stroke oleh America Heart Association 2018,
tindakan rehabilitasi dibawah 24 jam setelah serangan tidak direkomendasikan untuk
dilakukan22. Dengan tingginya dependan terhadap orang lain maka tindakan yang dapat
dilakukan yaitu: 19,20

A. Head To Bed Position.

Menurut penelitian Gregoria, dkk pada tahun 2019, elevasi kepala 30˚ dapat meningkatkan
aliran darah otak pada penderita stroke iskemik dibandingkan kepala yang diposisikan
0˚ pada 24 jam awal setelah serangan stroke.(Gregoria). Sedangkan belum ada
penelitian yang mengemukakan mengenai efek posisi kepala pada 24 jam awal setelah
serangan stroke pada penderita stroke hemoragik23. Elevasi kepala bermanfaat untuk
mencegah regurgitasi dan pneumonia aspirasi119.
B. Bed Proper Positioning

Bed proper positioning dilakukan untuk mencegah kontraktur dan ulkus akibat imobilisasi.
Teknik ini sebaiknya dilakukan 72 jam setelah serangan stroke. Ubah posisi tidur
setiap 2 jam pada siang hari, dan setiap 4 jam pada malam hari.19
1. Pengaturan posisi tidur terlentang

Letakkan bantal di bawah bahu dan hip joint sehingga terjadi retraksi sendi bahu dan
panggul. Posisi yang diharapkan yaitu protraksi shoulder, abduksi dan eksternal
rotasi shoulder, ekstensi siku, supinasi lengan bawah, ekstensi pergelangan tangan,
jari-jari abduksi dan ekstensi, protraksi tungkai, semifleksi dan internal rotasi hip
joint, lutut semifleksi, serta kepala posisi netral atau kearah sisi yang sehat.
2. Pengaturan posisi tidur miring ke sisi sehat

Posisi tidur miring penuh, bahu yang lemah dalam keadaan protraksi dengan diganjal
bantal hingga lengan bawah dan lengan harus lurus. Tungkai semifleksi dengan
kaki yang lemah berada di depan kaki yang sehat kemudian diganjal bantal
diantara kedua paha
3. Pengaturan posisi tidur miring ke sisi sakit

Bahu yang lemah tidak boleh tertindih dan harus agak terdorong ke depan, tungkai
yang sehat semifleksi pada hip dan lutut terletak di depan tungkai yang lemah,
serta tungkai yang lemah ekstensi pada hip dan semi fleksi pada lutut.

C. Penggunaan Orthosis untuk Mengembalikan Fungsional Sendi

Penggunaan orthosis bertujuan untuk mengurangi spastisitas dan nyeri, memperbaiki


fungsi, dan sebagai kompensasi keamanan serta mencegah kontraktur dan deformitas
dengan mempertahankan posisi ekstremitas dalam posisi anatomis untuk
mempertahankan posisi sendi di posisi normal atau mendekati normal. Prinsip
penggunaan orthose yaitu memberikan kelebihan dari durasi efektivitas karena dapat
dapat dipasang beberapa jam dan tidak membutuhkan orang lain untuk
menjaga24.Orthosis yang biasanya digunakan yaitu resting hand splint dan resting
ankle splint.Resting hand splint untuk mencegah pergelangan tangan dan jari-jari yang
hemiplegik sedangkan resting ankle splint digunakan pada pasien nonambulatori.
Resting ankle splint digunakan saat malam, pada posisi plantigrade (pergelangan kaki
berada 90° dan subtalar pada posisi netral).19,20

D. Transfer Bertahap

Transfer sebaiknya tidak dilakukan dengan segera. Transfer dapat dilakukan pada hari 2-3
pada pasien stroke non hemoragik dan setelah 1 minggu pada pasien hemoragik
dengan mempertimbangkan adanya perubahan tekanan darah pada saat transfer
dilakukan.25
Hal yang perlu diperhatikan saat memulai transfer yaitu19,20
a. Tetap monitor tanda vital

Setiap saat memperhatikan tekanan darah pasien sewaktu dilakukan tindakan


rehabilitasi. Apabila terdapat perubahan tekanan darah dan nadi yang signifikan
ketika pasien digerakkan, maka kembalikan pasien ke posisi semula. Tekanan
darah dan nadi yang berubah signifikan apabila terjadi penurunan atau kenaikan
tekanan darah sistolik ±10 – 20 mmHg dan tekanan darah diastolik ±10 mmHg dari
tekanan darah semula. Juga nadi yang mengalami penurunan atau kenaikan sebesar
±20% dari nadi awal.
b. Pada saat duduk sanggah lengan pasien,

c. Setelah duduk lakukan latihan keseimbangan dan lakukan assessmen risiko jatuh15
d. Hindari traksi lengan saat transfer
E Manajemen Disfagia
Kerusakan saraf kranial terutama saraf kranial trigeminal, fasialis, glosofaringeal, vagal,
dan hipoglosus yang dialami pasien stroke dapat berakibat pada disfagia
stroke.Disfagia stroke merupakan kondisi klinis yang ditandai dengan adanya
kesulitan ataupun rasa tidak nyaman saat menelan sesaat setelah mengalami serangan
stroke baik akibat stroke perdarahan, stroke iskemik, maupun stroke
hipotensif.Insidensi terjadinya disfagia stroke adalah sekitar 14%-94%.7 Tingginya
angka insidensi tersebut berdampak pada peningkatan risiko aspirasi cairan maupun
makanan kedalam saluran pernafasan yang dapat meningkatkan risiko pneumonia
sehingga masa perawatan pasien dapat menjadi lebih panjang disertai kemungkinan
komplikasi lainnya. Berdasarkan penelitian oleh Ahmad, dkk pada tahun 2017
manajemen disfagia dapat menurunkan risiko aspirasi dan tidak ada perbedaan
manajemen disfagia pada stroke hemoragik maupun nonhemoragik.26

Untuk pasien dengan disfagia berdasarkan status fungsi menelan pada saat masuk, tiga
jenis program rehabilitasi yang dapat digunakan: 1) non feeding, 2) fasilitasi dan
pemberian makan, dan 3) pemberian makan progresif. Salah satu tujuan terapi
disfagia adalah membuat individu menjadi mandiri dalam keterampilan makan.27
1. Program non-feeding dirancang sebagai program stimulasi untuk pasien akut awal,
dalam rangka mempersiapkan mereka untuk makan nanti. Ini mencakup teknik
desensitisasi (stroking, applying pressure, atau stretching) untuk memfasilitasi
respons menelan, mengisap, dan respon intraoral yang normal.
2. Program fasilitasi dan pemberian makanan menggunakan sejumlah kecil makanan
konsistensi puree untuk mempromosikan pola makan normal.
3. Akhirnya, program pemberian makan progresif menggunakan teknik khusus untuk
membantu pasien mengembangkan daya tahan menelan dengan secara sistematis
meningkatkan jumlah asupan oral.
Beberapa teknik yang digunakan untuk manajemen disfagia fase akut yaitu: 281Latihan Oral
Motor
Pasien diminta untuk mendorong spatel menggunakan lidah selama 1 detik.Latihan ini
berguna untuk melatih elevasi dan lateralisasi lidah.
a. Teknik Postural

Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa perubahan postur kepala dan tubuh dapat
mengeliminasi terjadinya aspirasi pada penderita disfagia.Sebaiknya terapis harus
mengetahui secara tepat gangguan anatomi dan fisiologik yang dialami penderita
sebelum menentukan postur yang tepat. Beberapa teknik postural yang digunakan
yaitu: chin down atau chin tuck, chin up, head rotation, head tilt, dan lying down.
b. Modifikasi volume dan kecepatan pemberian makanan

Pemberian makanan dalam jumlah terlalu banyak dan terlalu cepat akan menyebabkan
terkumpulnya bolus di dalam laring dan menyebabkan aspirasi sedangkan
pemberian makanan dalam jumlah sedikit dan secara lambat akan mengurangi
terjadinya aspirasi.
c. Compensatory Swallowing Manuver

Manuver menelan dirancang untuk menempatkan bagian tertentu dari proses menelan
normal dibawah kontrol volunter yang meliputi:
- Effortful swallow: (fase oral) bertujuan memperbaiki gerakan dasar lidah ke arah
posterior selama fase faringeal. Penderita diminta untuk menelan dengan
menggerakan lidah ke arah posterior secara kuat untuk membantu perjalanan
bolus melewati rongga faring.
- Supraglotic swallow: (fase faringeal) bertujuan menutup pita suara sebelum dan
selama proses menelan sehingga melindungi trakea dari aspirasi. Makanan atau
minuman di tempatkan dalam mulut, penderita diminta untuk menarik napas
dalam kemudian ditahan, lalu penderita menelan 1-2 kali sambil tetap menahan
napas, dan batuk dengan segera setelah menelan.

- Super-supraglotic swallow: (fase faringeal) dirancang untuk menutup pintu


masuk jalan napas secara volunter dengan mengangkat kartilago aritenoid ke
anterior, ke bagian dasar dari epiglotis sebelum dan selama proses menelan serta
menutup erat pita suara palsu.
- Mandehlson maneuever: (fase esophageal) penderita diminta untuk merasakan
adanya sesuatu bergerak pada bagian dalam lehernya saat menelan, kemudian
melakukan proses menelan kembali (menggunakan dry swallow atau dengan 1
ml air) tetapi diminta untuk menahan gerakan tadi selama 3-5 detik, kemudian
menelan dan rileks.
d. Terapi Latihan

Terapi latihan digunakan untuk menguatkan otot-otot, meningkatkan lingkup gerak


sendi (LGS) dan koordinasi dari mulut, rahang, bibir, lidah, palatum, dan pita
suara. Terapi latihan yang biasanya digunakan antara lain: latihan LGS rahang,
latihan penguatan otot lidah, latihan adduksi pita suara, dan latihan metode
Shaker.
E. Lakukan latihan full ROM secara pasif lalu menjadi aktif pada seluruh sendi
minimal sekali sehari untuk mencegah kontraktur dengan pola stretching-
strengthening-endurance

Latihan fisik dapat menurunkan volume infark, peningkatan plastisitas neuron,


meningkatkan angiogenesis, peningkatan reaktifitas vasomotor serebral, peningkatan
biogenesis mitokondria, penurunan permeabilitas sawar darah otak, peningkatan
regulasi kolinergi sehingga dengan latihan dapat terjadi peningkatan aktivitas otak
akibat perbaikan perfusi ke otak yang dapat memengaruhi outcome fungsional
pasien29.
Latihan pasif dapat dimulai 2-3 hari setelah serangan pada stroke iskemik dan pada stroke
hemoragik dapat dimulai setelah 1 minggu. Latihan ini berfungsi agar tidak terjadi
kontraktur dan kekakuan otot.19,20. Latihan ini dilakukan minimal sekali sehari dan
diharapkan dilakukan secara kontinyu baik bagi pasien maupun caregiver untuk
menstimulasi neuromuscular yang terdampak stroke.30,31
a. Latihan gerak pasif ekstremitas atas32

Posisi pasien selama diberikan latihan gerak pasif adalah tidur telentang, sedangkan
posisi terapis berada disamping bed pasien dekat dengan sisi yang
sakit.Pengulangan gerakan pada saat latihan adalah 8 kali hitungan 2 kali
pengulangan.Berikut ini adalah beberapa gerakan yang diberikan selama terapi.
Latihan gerak pasif pada pergelangan tangan dan jari. Pelaksanaanya yaitu terapis
memegang tangan pasien yang lumpuh, satu tangan terapis memegang diatas
pergelangan pasien dan tangan yang satunya mengenggam tangan pasien dari sisi
jari kelingking yang lumpuh kemudian terapis menggerakkan jari-jari pasien
dengan membuka dan menutup (mengenggam dan membuka) jari-jari secara
bersamaan, kemudian menggerakkan pergelangan tangan pasien kearah fleksi,
ekstensi pergelangan tangan, radial deviasi dan ulnar deviasi.
Dilajutkan dengan latihan gerak pasif pada siku, satu tangan terapis memegang pada
pergelangan tangan pasien yang lumpuh sedangkan tangan satunya memegang
pada siku pasien, dengan gentle terapis menggerakkan lengan bawah pasien kearah
fleksi dan ekstensi kemudian gerakkan kearah supinasi dan pronasi.

b. Latihan gerak pasif ekstremitas bawah32

Posisi pasien tetap tidur terlentang dan terapis berada disamping pasien dekat dengan
sisi yang lumpuh.Latihan dimulai dari kaki, terapis memegang jari jari pasien
kemudian secara bersamaan digerakkan kearah fleksi dan ekstensi jari jari kaki,
dilanjutkan dengan gerakan inversi dan eversi serta gerak plantar fleksi dan dorsal
fleksi pergelangan kaki.
Latihan gerak pasif pada sendi lutut dan sendi panggul dilakukan secara bersamaan,
satu tangan terapis memegang tumit pasien yang lumpuh sedangkan tangan yang
satunya memegang dibawah lutut, kemudian terapis menggerakkan tungkai kearah
fleksi dan ekstensi panggul disertai dengan fleksi dan ekstensi pada sendi lutut
kemudian menggerakkan abduksi dan adduksi sendi panggul, kemudian digerakkan
kearah sirkumduksi.
F. Latihan Nafas Dalam21
Posisi yang tetap pada imobilisasi dan akumulasi sekret pada alveoli dapat menyebabkan
atelektasis dan pneumonia.Latihan nafas dalam dikerjakan bila penderita sudah
kooperatif.
Prosedur :
1. Persiapkan penderita serileks mungkin dan demonstrasikan cara bernafas yang
benar
2. Letakkan tangan anda pada otot rectus abdominis sedikit dibawah tepi costa
anterior
3. Minta penderita bernafas pelan tapi dalam melalui hidung hingga perut
mengembang
4. Kemudian penderita disuruh mengeluarkan nafas pelan-pelan melalui mulut.
5. Penderita dimint mengulangi perintah diatas 3-4 kali.
6. Setelah itu penderita disuruh menempelkan tangannya di rectus abdominis dan
suruh merasakan gerakannya
7. Lakukan latihan nafas dalam berbagai posisi (duduk, berdiri, jalan)
G. Pencegahan Deep Venous Thrombosis22

Tidak ada perbedaan intervensi profilaksis mekanik terhadap pencegahan DVT pada
stroke nonhemoragik dan hemoragik, yang membedakan adalah profilaksis
farmakologi untuk pencegahan DVT.
a. Stroke hemoragik dapat diberikan low molecular weight heparin (LMWH)
enoxaparin 20 mg setelah 48 jam setelah muncul gejala
b. Stroke nonhemoragik dapat diberikan unfractionated heparin (UFH) setelah 48 jam
setelah muncul gejala

Insidens terjadinya DVT meningkat dapat disebakan oleh beberapa hal yaitu derajat parese
tungkai, gangguan gait, spastisitas otot, dan penggunaan ortotik untuk mencegahnya
dapat diberikan cilostazol yang berperan mencegah mikroinjuri endotel
vena.Profilaksis mekanik yang dianjurkan yaitu intermitten pneumatic compression
yang dipadukan dengan elastic stocking. Penggunaan graduated compression stocking
(GCS) juga tidak dianjurkan pada stroke fase akut.
2.2Rehabilitasi Fase Subakut
Kondisi hemodinamik pasien pada fase subakut umumnya sudah stabil dan diperbolehkan
untuk kembali ke rumah, fungsi bahasa mulai dapat terperinci, kecuali pasien yang
memerlukan penanganan rehabilitatif yang intensif.. Pada post GPDO (Gangguan
Peredaran Darah Otak) pola kelemahan ototnya menimbulkan hemiplegic posture. Kita
berusaha mencegahnya dengan cara pengaturan posisi dan stimulasi sesuai kondisi
pasien. Pada fase rehabilitasi stroke stadium subakut ini dilakukan antara 2 minggu
sampai dengan 6 bulan pada pasca stroke.21
Tujuan: 21
1. Untuk mengoptimalkan pemulihan neurologis dan reorganisasi saraf,
2. Mencegah timbulnya hemiplegic posture,
3. Melanjutkan terapi fase akut,
4. Terapi latihan dan terapi kelompok untuk meningkatkan kualitas hidup dan
konsep diri,
5. Konseling manajemen diri dan emosi, serta
6. Konseling terapi seksual sebagai dampak disabilitas.

Target yang akan dicapai adalah memulihkan sebagian atau seluruh kapabilitas fisik, sensorik
atau mental pasien yang berkurang atau hilang akibat penyakit stroke. Melalui upaya
rehabilitasi, diharapkan kemampuan motorik, kognitif, visual dan koordinasi para
penderita stroke dapat pulih sehingga tingkat kemandirian mereka pun secara berangsur
meningkat. Dengan demikian, seiring dengan meningkatnya kemampuan dan tingkat
kemandirian mereka, kualitas hidup penderita stroke akan meningkat pula.21
Latihan pada fase subakut ini yaitu meliputi latihan berdiri dan berjalan, latihan ketahanan
(berlatih melempar bola masuk kekeranjang, main catur, bowling kecil, dan mengayuh
sepeda statik), terapi kognitif, latihan mengeja dan berbicara, dan terapi latihan dengan
modalitas seperti electrical stimulation.34,35
Berikut terapi yang dapat dilakukan:
1. Motor recovery

Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk melatih fungsi motoric dengan prinsip
latihan gerak, penguatan, latihan keseimbangan, dan kontrol postural:
a. Latihan Neurodevelopmental (NDT), digunakan untuk menormalkan tonus otot
dan mencegah spastisitas berlebihan menggunakan reflex-inhibiting posturs
b. Functionally oriented exercise, dapat dilakukan seperti latihan transfer dan
ambulasi dini
c. Repetitive task-oriented , menilai kemampuan aktivitas pasien yang berulang,
seperti berpakaian.
d. Terapi penguatan motoric pada extremitas superior dapat dilakukan Neuromuscular
Electrical Stimulation (NMES) pada motor impairment yang berat. Stimulasi
elektrik ini dapat menstimulasi depolarisasi motor neuron dan aktivasi subsekuen
otot yang berperan36
2. Mobilisasi9,10
a. Latihan berdiri: tahapan latihan berdiri melalui jalur: lying (baring)-
rolling(tengkurap)-propping(tengkurap secara kuadripedal bertumpu pada kedua
siku dan lutut)-kneeling-sitting-standing (dibantu caranya latihan berdiri dari posisi
duduk). Syarat latihan berdiri hanya bila MMT otot ekstremitas bawah 3 ke atas
dan sudah mencapai keseimbangan duduk.
b. Latihan berjalan: faktor penting yang dapat memepengaruhi kemampuan berjalan
yaitu kelemahan, keseimbangan, kordinasi, orientasi spasial, dan fungsi kognitif.
Latihan berjalan dapat dilakukan parallel bars dan walker bertujuan untuk melatih
keseimbangan, simetri, dan toleransi berdiri.
c. Latihan transfer, gait training dengan berjalan partially body weight supported
treadmill (PBWSTT). Pada gait training dibutuhkan 2 hingga 3 terapis. Terapis
pertama menyangga tungkai yang lemah mengikuti siklus gait normal, terapis
kedua berdiri di belakang pasien menyangga pelvis untuk mencegah side-swinging.
3. Aphasia19

Strategi dan teknik yang dapat dilakukan yaitu terapi intonasi, verbal encourage,
conversational coaching, dan membaca gerakan mulut. Keberhasilan terapi untuk
aphasia dinilai dari kemampuan komunikasi individu. Beberapa pendekatan terapi
aphasia yaitu:
a. Language-oriented treatment
b. Direct stimulus–response treatment
c. Treatment of aphasic perseveration
d. Visual action therapy
e. Oral reading for aphasia
f. Conversational coaching
g. Promoting aphasic communicative effectiveness
h. Computerized visual communication (using alternative communication
systems)
i. Programmatic combinations of approaches
j. Augmentative communication devices
4. Gangguan Makan

Pada pasien stroke kemungkinan untuk menderita kekurangan gizi menjadi lebih besar
disebabkan beberapa faktor seperti disfagia, hilang nafsu makan, malnutrisi
sebelumnya, dan reaksi katabolik tubuh sebagai kompensasi keadaan medis pasien.19,20
Mendeteksi adanya disfagia dapat dilakukan melalui pemeriksaan sederhana sebagai
berikut:
1. Pasien mampu memahami tujuan dan kooperatif.
2. Posisikan pasien duduk tegak. Apabila belum ada
keseimbanganduduk,perludiberikantunjanganbantalan agar dapat mempertahankan
posisi duduk denganbaik.
3. Berikan satu sendok teh (5ml)air dingin, mintapasien untuk menelan dengan
kepala sediki tmenunduk.
4. Perhatikan apakah pasien mampu menutup bibir saat mencobamenelan.
5. Lihat atau lakukan palpasi dengan meletakan jari pada laring, rasakan apakah
terjadi elevasi laring yang menunjukanterjadinyaprosesmenelan.Monitorapakah
ada keterlambatan atau terjadi proses menelan yang inkomplit.
6. Minta pasien untuk menyuarakan huruf“aaaa.”Monitor suara yang terdengar kering
atau basah/serak.
7. Minta pasien berusaha membatukkan lendir, ulangi menyuarakan huruf aaa.
Monitor kembalibagaimana suara yang terdengar.
Apabila pasien tidak dapat menelan atau suara menjadi basah, maka makan dan minum
per oral harus dihentikan.Pasien memerlukan pemeriksaan fungsi menelan lebih lanjut
dengan VFSS (video fluorosgraphic swallow study) atau FEES (fiberoptic endoscopic
evaluationof swal lowing) dan pemberian makanan tidak diberikan secara peroral
terlebih dahulu dan dapat dilakukan terapi berupa:19,20
a. Perubahan postur dan posisi untuk menelan
b. Belajar maneuver menelan
c. Dan mengubah jumlah serta konsistensi makanan
d. Penelitian Simonelli, dkk pada tahun 2019 menunjukkan adanya perbaikan
gejala pada pasien stroke sub akut yang mengalami orofaringeal disfagia berat
yang menjadikan peluang pneumonia aspirasi dan malnutri menjadi lebih besar
dengan stimulasi elektrik NeuroMuscular Electrical Stimulation (NMES) yang
diberikan 5 kali seminggu selama 8 minggu.37
5. Shoulder pain9

Biasanya berkaitan dengan adanya motor impairment, sensory impairment, lama


hemiplegi, dan peningkatan ROM shoulder.Pada penderita stroke, kelemahan otot
memungkinkan terjadinya subluksasi bahu akibat pergeseran caput humerus ke fossa
glenoid. Beberapa penyebab nyeri bahu pada penderita stroke yaitu:
a. Kapsulitis
b. Subluksasi
c. Impengiment syndrome
d. Rotator cuff injury
e. Bicipital tendonitis
f. Complex regional pain syndrome type 1
g. Brachial plexopathy
h. Axillary neuropathy
i. Suprascapular neuropathy
j. Myofacial pain
k. Spastisitas
l. Kontraktur jaringan

Terapi yang dapat dilakukan untuk mencegah yaitu melatih ROM shoulder atau dapat
dilakukan NMES pada otot deltoid dan supraspinatus untuk mengurangi subluksasi
bahu dan mengurangi nyeri.
6. Gangguan berkemih

Gangguan berkemih pada pasien stroke dapat berupa retensi urin maupun inkontinensia
akibat dari gangguan pada saraf yang mengatur otot detrusor dan sfingter
uretra.Terapi yang dapat dilakukan yaitu melatih untuk tidak berkemih sebelum tanda
untuk berkemih muncul atau bisa jeda berkemih selama 2-3 jam. Selain itu bisa
diberikan terapi farmakologi seperti tamsulosin pada inkontinensia dan pemasangan
kateter urin pada penderita retensi urin.19,20
7. Depresi dan gangguan mood

Dapat dilakukan intervensi melalui edukasi, motivasi, dukungan keluarga, serta konseling.
Terapi yang dilakukan berupa Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dengan beberapa
teknik, diantaranya: teknik diversi (pengalihan), membuat daftar aktivitas yang akan
dilakukan, activity rating logs, cognitive rehearsal, role play, dan melibatkan keluarga
dan sosial dalam kegiatan sehari-hari35
8. Komplikasi respirasi

Pada imobilisasi lama terdapat beberapa efek negaif terhadap sistem respirasi termasuk
menurunkan tidal volume, menurunkan FVC dan FEV1, potensi untuk mendapatkan
penyakit paru restriktif yang permanen, dan cenderung mucus berada pada saluran
pernapasan bawah sehingga hal tersebut akan berefek pada low respiratory endurance
atau ketahanan otot paru- paru yang rendah, dalam managemen hal ini dapat
dilakukan perbaikan postur tubuh saat bernafas dan endurance exercise seperti
respiratory exercise sehingga dapat membantu perbaikan ketahanan otot paru.
2.1. Rehabilitasi Fase Kronik38

Program latihan untuk stroke fase kronis tidak banyak berbeda dengan fase
sebelumnya.Hanya dalam fase inisirkuit-sirkuit gerak/aktivitas sudah terbentuk,
membuatpembentukan sirkuit baru menjadi lebih sulit dan lambat. Hasil latihan masih
tetap dapat berkembang bila ditujukan untuk memperlancar sirkuit yang telah terbentuk
sebelumnya,membuat gerakan semakin baik dan penggunaan tenaga semakin efisien.
Latihan yang dilakukan yaitu latihan endurans dan penguatan otot yang dilakukan
bertahap dan terus ditingkatkan sampai pasien dapat mencapai aktivitas aktif yang
optimal.
Tujuan dari program latihan fase kronis ini yaitu untuk mengoptimalkan kemampuan
fungsional pasien, mempertahankan kemampuan fungsional yang telah dicapai,
mengoptimalkan kualitas hidup pasien, dan mencegah komplikasi.
Targetnya membuat gerakan semakin baik dan penggunaan tenaga semakin efisien.
Latihan endurans dan penguatan otot secara bertahap terus ditingkatkan, sampai pasien dapat
mencapai aktivitas aktif yang optimal.Tergantung pada beratnya stroke, hasil luaran
rehabilitasi dapat mencapai berbagai tingkat seperti:
a. Mandiri penuh dan kembali ke tempat kerja seperti sebelum sakit,
b. Mandiri penuh dan bekerja namun alih pekerjaan yang lebih ringan sesuai kondisi,
c. Mandiri penuh namuntidak bekerja,
d. Aktivitas sehari-hari perlu bantuan minimal dari orang lain atau
e. Aktivitas sehari-hari sebagian besar atau sepenuhnya dibantu orang lain

Latihan fase kronis yaitu meliputi Locomotor Training Program yang terdiri dari latihan
berjalan di treadmill dan Home Exercise Program yang terdiri dari latihan kekuatan,
latihan keseimbangan, latihan berjalan setiap har
BAB III

PENUTUP

Stroke merupakan suatu kondisi kesehatan yang dapat mempengaruhi individu dan orang-
orang sekitar individu yang sakit sehingga membutuhkan penanganan untuk meminimalisasi
kecacatan akibat penyakit stroke dan membantu penderita untuk mengoptimalkan kembali
aktivitas dan interaksinya dengan keluarga maupun masyarakat.Penilaian dan pendekatan
rehabilitasi yang dianjurkan pada pasien dipengaruhi oleh beberapa faktor sehingga
pemilihan rehabilitasi yang tepat membantu penderita mencapai fungsi terbaiknya yang
terbagi atas 3 fase yaitu fase akut, fase subakut, dan fase kronik.Tim rehabilitasi menyediakan
beberapa jenis terapi, seperti; latihan mobilisasi dini, stimulasi sensorik, terapi wicara,
manajemen urinaria yang baik, dll. Dengan edukasi yang baik dan dukungan keluarga, pasien
diharapkan termotivasi dan memiliki semangat untuk mengikuti setiap tahapan rehabilitasi
yang telah dijadwalkan
REFERENSI

6 Dwita Oktaria, Sabrina Fazriesa. Efektivitas Akupunktur untuk Rehabilitasi Stroke.


2017. Fakultas kedokteran universitas Lampung. Vol. 6. no. 2

7. Bindawas SM, Vennu VS. Stroke rehabilitation. A call to action in Saudi


Arabia. Neurosciences (Riyadh). 2016;21(4):297-305. doi:10.17712/nsj.2016.4.20160075

8 Smith, W.S., Hauser, S.L., Easton, J.D., 2001. Cerebrovascular Dissease. New
York.
9 Price, S.A, Wilson, L.M., 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Volume 2. 6th ed. Jakarta : EGC pp 1105-32
10 AHA, Emelia J, Benjamin, Michael J, et. al. 2017. Heart Disease and Stroke
Statistics—2017 Update: A Report from The American Heart. Circulation.
11 Feigin, V., 2006 ; stroke ; PT Buana Ilmu Populer, Jakarta.
12 Noback.R.Charles. The Human Nervous System – Structure and Funtion 6th ed .
Humana Press; 2005
13 Purves. 2004 . Neuroscience: Third Edition Massachusetts, Sinauer Associates, Inc.
14 White, S (2008) Assessing the Nation’s Health Literacy. American Medical
Association Foundation, Amerika Seikat

15 Smeltzer ,S.C.,& Bare,B.G.(2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner


& Suddarth(Volume 3) (Edisi 8). Jakarta : Penerbit Buku EGC
16 Diah M. . Ischemic Stroke : Symptoms, Risk Factors, and Prevention. Medika
Tadulako : Jurnal Ilmiah Kedokteran , Vol. 6 No. 1 .2019.

17 Novita T.A., Ramli H, Vonny N. Gambaran Hasil Pemeriksaan CT Scan Kepala Pada Penderita
Stroke Hemoragik Di Bagian Radiologi FK. UNSRAT/SMF Radiologi Blu RSUP PROF. DR. R. D.
KANDOU
18 Scott E., Philip B. Prevention and Treatment of Ischemic Stroke. Philadelphia, Elsevier Inc. 2004.
19 Randall L. Braddom. Physical Medicine & Rehabilitation 4th Edition.
Philadelphia:Elsevier. 2011
20 Frontera Walter R. et al. Delisa JA ed. Rehabilitation Medicine Principles and
Practice 5th ed. Philadelphia: Lippincottraven. 2010. Chapterb23 p:552-571
21 Fuath, A. (2015). Physical Activity and Exercise After Stroke. One Day Seminar:
Stroke, 73-89.

22 Powers WJ, Rabinstein AA, Ackerson T, Adeoye OM, Bambakidis NC, Becker K,
Biller J, Brown M, Demaerschalk BM, Hoh B, Jauch EC,
23 Gregori-Pla C, Blanco I, Camps-Renom P, et al. Early microvascular cerebral blood
flow response to head-of-bed elevation is related to outcome in acute ischemic
stroke. J Neurol. 2019;266(4):990-997. doi:10.1007/s00415-019-09226-y
24 Thibaut A, Chatelle C, Ziegler E, Bruno MA, Laureys S, Gosseries O. Spasticity after
stroke: physiology, assessment and treatment. Brain Inj. 2013;27(10):1093-1105.
doi:10.3109/02699052.2013.804202
25 Bösel J. Blood pressure control for acute severe ischemic and hemorrhagic
stroke. Curr Opin Crit Care. 2017;23(2):81-86.
doi:10.1097/MCC.0000000000000394
26 Bayu, B; Nuraeni, A; Arifin, MZ. Difference in The Effectiveness of Swallowing
Therapy Based on Demographical Characteristics of Patients Dysphagia Stroke.
Jurnal Keperawatan Klinis dan Komunitas Vol 1(2). 2017.
27 Iruthayah, J. Dysphagia Rehabilitation. EBSR Heart Stroke Foundation Canadian
Partnership for Stroke Recovery. 2015
28 Pandaleke, Sengkey, Angliadi. Rehabilitasi Medik pada Penderita Disfagia. Jurnal
Biomedik (JBM), Volume 6, Nomor 3. November 2014, hlm. 157-164
29 Pin-Barre C, Laurin J. Physical Exercise as a Diagnostic, Rehabilitation, and
Preventive Tool: Influence on Neuroplasticity and Motor Recovery after
Stroke. Neural Plast. 2015;2015:608581. doi:10.1155/2015/608581
30 Thibaut A, Chatelle C, Ziegler E, Bruno MA, Laureys S, Gosseries O. Spasticity after
stroke: physiology, assessment and treatment. Brain Inj. 2013;27(10):1093-1105.
doi:10.3109/02699052.2013.804202
31 Hosseini, ZS; Gohari, M; Peyrovi, H. Motor Function of People with Stroke: a
Randomized Controlled Trial.Journal Of Caring Science Vol 8. 2019. DOI:
10.15171/jcs.2019.006
32 Hosseini ZS, Peyrovi H, Gohari M. The Effect of Early Passive Range of Motion
Exercise on Motor Function of People with Stroke: a Randomized Controlled Trial. J
Caring Sci. 2019;8(1):39-44. Published 2019 Mar 1. doi:10.15171/jcs.2019.006
33 Khan M T, Ikram A, Saeed O, et al. (December 23, 2017) Deep Vein Thrombosis in
Acute Stroke - ASystemic Review of the Literature. Cureus 9(12): e1982. DOI
10.7759/cureus.1982
34 Cabanas-Valdés R, Bagur-Calafat C, Girabent-Farrés M, Caballero-Gómez FM,
Hernández-Valiño M, Urrútia Cuchí G. The effect of additional core stability
exercises on improving dynamic sitting balance and trunk control for subacute stroke
patients: a randomized controlled trial. Clin Rehabil. 2016;30(10):1024-1033.
doi:10.1177/0269215515609414
35 Ian I Kneebone. Cognitive and Behavioral Practice, Volume 23, Issue 1. 2016, 99-
109. http://dx.doi.org/10.1016/j.cbpra.2015.02.001
36 Stein C, Fritsch CG, Robinson C, Sbruzzi G, Plentz RD. Effects of Electrical
Stimulation in Spastic Muscles After Stroke: Systematic Review and Meta-Analysis
of Randomized Controlled Trials. Stroke. 2015;46(8):2197-2205.
doi:10.1161/STROKEAHA.115.009633
37 Simonelli M, Ruoppolo G, Iosa M, et al. A stimulus for eating. The use of
neuromuscular transcutaneous electrical stimulation in patients affected by severe
dysphagia after subacute stroke: A pilot randomized controlled
trial. NeuroRehabilitation. 2019;44(1):103-110. doi:10.3233/NRE-182526
38 Vistamehr A, Kautz SA, Bowden MG, Neptune RR. The influence of locomotor
training on dynamic balance during steady-state walking post-stroke. J Biomech.
2019;89:21-27. doi:10.1016/j.jbiomech.2019.04.002

Anda mungkin juga menyukai