Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Seiring dengan berkembang nya ilmu pengajuan dan


kemajuan teknologi saat ini,diharapkan dapat mewujudkan pembangunan
kesehatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan untuk mencapai
kemampuan hidup sehat bagi penduduk agar terwujud kesehatan
masyarakat yang optimal. Fisioterapi adalah bentuk pelayan kesehatan
yang ditujukan kepada individu atau kelompok untuk
mengembangkan,memelihara dan memulihkan gerk dan fungsi tubuh
sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan penanganan secara
manual,gerak,peralatan (fisik,elektroteraupetik dan mekanis),pelatihan
fungsi,dan komunikasi (KEPMENKES RI,2007).

Fisioterapi sebagai salah satu bagian dari unit rehabilitasi


medik berperan penting dan bertanggung jawab dalam upaya peningkatan
derajat kesehatan.Sesuai dengan defenisi fisioterapi yaitu upaya kesehatan
professional yang bertanggung jawab atas kesehatan gerak dan fungsi
individu,keluarga maupun mmasyarakat khususnya dalam gerak
fungsional dilaksanakan terarah dan beriontesi pada masalah dan
menggunakan pendekatan ilmiah serta dilandasi etika profesi yang
mencangkup aspek peningkatan (promotif),pencegah
(preventif),penyembuhan (kuratif),pemulihan dan pemeliharaan
(rehabilitatif) (Soenarno,2000).

Salah satu penyakit yang ditangani fisioterapi adalah Bell’s


palsy yang merupakan lesi pada nervus VII cranialis (n.fasialis) perifer.
Bells palsy mengakibatkan kelumpuhan otot-otot wajah yang bersifat
akut,dimana penyebabnya tidak diketahui dan umunya unilateral.Kasus ini
merupakan kasus menarik untuk diperbincangkan,disamping masih
didapatkan laporan bahwa 10-15 % pasien Bell’palsy belum
tersembuhkan dengan baik,dan juga masih terdapat kontroversi yang

1
berkembang tentang definisi,etiologi,evaluasi,dan terapinya
(Lumbatobbing,2006).

Bell’palsy menimbukan berbagai tingkat gangguan yaitu


impairment seperti kelemahan otot wajah,gangguan rasa pada
lidah,asimetris wajah,spasme otot wajah,functional limitation seperti
gangguan makan,gangguan minum,gangguan menutup mata,gangguan
ekspresi,dan participation of restriction seperti menarik diri dari
masyarakat Karena gangguan ekspresi (Sidharta,2000).

Bell’palsy dapat terjadi pada pria ataupun wanita pada


semua umur,namun lebih sering dijumpai pada kelompok umur 20 sampai
dengan 50 tahun.Di Amerika Serikat angka kejadian Bell’palsy kira-kira
23 per 100.000 tiap tahun,tapi hasil penelitian pada umumnya
menunjukkan angka kejadian 15-30 per 100.000 tiap tahun.Angka kejadian
terendah ditemukan pada usia kurang dari 10 tahun dan angka kejadian
tertinggi ditemukan pada usia kurang dari 60 tahun (Talavera,2006).

Sedangkan di Indonesia,insiden Bell’palsy secara pasti sulit


ditentukan.Data yang dikumpulkan dari 4 buah rumah sakit di Indonesia
didapatkan frekuensi Bell’palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus
neuropati dan terbanyak pada usia 21-30 tahun,peluang untuk terjadi pada
wanita dan pria sama.Tidak diaapatkan perbedaan insiden antara iklim
panas maupun dingin,tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya
riwayat terpapar udara dingin atau angina berlenihan (Annsilva,2010).

Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’palsy terjadi proses


inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal,di sekitar
foramen stilomastoideus.Bell’palsy hamper selalu terjadi secara
unilateral.Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih
dapat terjadi paralysis bilateral.Penyakit ini dapat berulang atau
kambuh.Patofisiologinya belum jelas,tetapi salah satu teori menyebutkan
terjadi proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan

2
peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf
tersebut pada saat melalui tulang temporal.

Penalatalaksanaan Bell’palsy sendiri masih sering mengundang


kontroversi bukan hanya dalam bidang medis tapi juga dalam bidang
fisioterapi,seperti dengan modalitas fisioterapi yang bias digunakan untuk
mengatasi masalah-masalah tersebut di atas antara lain: (1) dengan
pemanasan :sinar infrared (Infra Red),Short Wave Diarthermi
(SWD),Micro Wave Diathermi (MWD), (2)stimulasi listrik Electrical
Stimulation): Interrupted Direct Current (IDC), faradisasi (3) Massage, (4)
terapi latihan. Beberapa ahli merekomendasikan penggunaan
kortikosteroid dan obat-obatan antivirus pada 48 jam pertama setelsh onset
(Ginsberg,2008).

Dari berbagai pengantar di atas penulis mencoba untuk sedikit


memberikan rasioalisasi konsep-konsep dasar dari sisi fisioterapi berupa
efek fisiologis dan terapeutik dari modalitas-modalitas fisioterapi yang
umunya diberikan pada kasus Bell’palsy,dengan harapan akan dapat
memberikan modalitas fisioterapi umunya yaitu berupa Sinar Infra Merah
(Infra Red),Faradik,massage dan terapi latihan.

Untuk melancarkan sirkulasi darah modalitas yang digunakan


adalah sinar infra merah (Infrared) merupakan pancaran gelombang
elektromagnetik.Sinar infra merah mempunyai frekuensi 7 x 1014 Hz dan
panjang gelombang 700-15.000 nm bertujuan untuk meningkatkan proses
metabolisme pada lapisan superficial kulit sehingga pemberian oksigen
dan nutrisi kepada jaringan yang lebih diperbaiki,kenaikan temperature
selain membantu terjadinya relaksasi juga akan meningkatkan kemampuan
otot untuk berkontraksi,membantu vasodilatasi pembuluh darah kapiler
dan arteriol yang akan terjadi segera setelah penyinaran (Sujatno,2002).

Teknik dengan menggunakan arus listrik untuk mengaktifkan saraf


penggerak otot dan ekstremitas yang diakibatkan oleh kelumpuhan akibat
cedera tulang belakang (SCI),cedera kepala,stroke dan gangguan

3
neurologis lainnya.Salah satunya gangguan pada nervus cranialis VII
(saraf facialis) di daerah tulang temporal,di sekitar foramen
stilomastoideus yakni arus faradic.Arus faradic adalah arus bolak balik
yang tidak simetris yang mempunyai durasi 0.01-1 ms dengan frekuensi
50-100 cy/detik Akademi Fisioterapi Surakarta,1998).Arus ini sa;ah satu
arus yang digunakan dalam stimulasi listrik.Stimulasi faradic diberikan
pada kasus Bellpalsy agar melatih memperbaiki otot wajah yang lemah
dan mencegah atropi.

Terapi latihan dengan menggunakan cermin (mirror exercise)


merupakan salah satu latihan yang menngunakan cermin yang
pelaksanaannya menggunakan latihan gerakan-gerakan pada wajah baik
secara aktif maupun pasif. Pada kondisi Bell’s palsy, latihan yang
dilakukan di depan cermin akan memberikan biofeedback. Latihan yang
dapat diberikan pada pasien antara lain mengangkat alis, mengkerutkan
alis, mengerutkan dahi, menutup mata, tersenyum dan bersiul. Pada saat
inilah merupakan waktu yang tepat untuk membangun motivasi dan
kepercayaan diri pasien.

Massage merupakan suatu istilah yang digunakan untuk


menggambarkan suatu manipulasi yang dilakukan dengan tangan pada
jaringan lunak tubuh dengan prodsedur manual atau mekanik yang
diberikan dengan tujuan menghasilkan efek fisiologis dan teraupetik bagi
tubuh. Efek terpenting yang didapatkan dari massage pada kondisi Bell’s
palsy adalah massage secara perlahan dan gentle akan mengaktifkan
sirkulasi dan nutrisi dalam jaringan sehingga mempertahankan fleksibilitas
jaringan tersebut dan juga akan meningkatkan elastisitas jaringan.

Untuk mengatasi hal itu dibutuhkan peran fisioterapi.Karena itu


penulis tertarik untuk mengangkat judul makalah ini
“PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KONDISI
BELL’PALSY DENGAN MODALITAS INFRARED(IR), ARUS
FARADIK, MASSAGE DAN TERAPI LATIHAN”

4
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan masalah yang timbul pada kondisi Bell’palsy maka


penulis ingin mengetahui hal berikut :

1.2.1 Apakah pemberian sinar infra red dapat mengurangi spasme otot
pada kondisi Bells palsy?
1.2.2 Apakah pemberian arus paradik dapat melatih otot-otot yang
paralisis pada kondisi Bell palsy?
1.2.3 Apakah pemberian terapi latihan dapat meningkatkan kekuatan otot
wajah pada kondisi Bells palsy?
1.2.4 Apakah pemberian massage dapat memelihara fisiologi otot,
memelihara kaku pada wajah, dan mencegah spasme pada kondisi
Bells palsy?

1.3 Tujuan Penulisan

Dalam penulisan makalah ini yang ingin dicapai penulis meliputi


tujuan umum dan tujuan khusus,yaitu sebagai berikut:

1.3.1 Untuk mengetahui pengaruh pemberian sinar infrared dalam


mengurangi spasme pada kondisi Bells palsy.
1.3.2 Untuk mengetahui pengaruh pemberian arus paradik dalam melatih
otot-otot yang paralisis pada kondisi Bells palsy
1.3.3 Untuk mengetahui pengaruh pemberian terapi latihan dalam
membantu peningkatan kekuatan otot wajah pada kondisi Bells
palsy.
1.3.4 Untuk mengetahui pengaruh pemberian massage dalam memelihara
fisiologi otot, memelihara kaku pada wajah, dan mencegah spasme
kondisi Bell’s palsy.

5
1.4 Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
Menambah pengetahuan dan wawasan mengenai kondisi Bell’palsy dan
upaya penangannya.
2. Bagi Fisioterapis
Menambah informasi kepada fisioterapis untuk dapat mengaplikasikan
metode intervensi pada kondisi Bell’palsy.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan mahasiswa sebagai calon fisioterapi dapat mengambil manfaat
dan informasi terbaru tentang penanganan kondisi Bell’palsy sehingga
dijadikan bahan bacaan dan referensi.
4. Bagi Masyarakat
Memberikan informasi bagi masyarakat tentang Bell’palsy dan upaya-
upaya pencegahannya.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Kasus


2.1.1 Definisi
Bell’s palsy adalah kelumpuhan wajah sebelah yang timbul
mendadak akibat lesi saraf fasialis dan mengakibatkan distorsi
wajah yang khas. Dengan kata lain Bell’s palsy merupakan suatu
kelainan pada saraf wajah yang menyebabkan kelemahan atau
kelumpuhan tiba-tiba pada otot di satu sisi wajah (Cipto, 2009)
Kelumpuhan saraf facialis lebih sering terjadi dibandingkan saraf
cranialis lainnya. Hal ini disebabkan oleh karena saraf facialis
merupakan saraf yang panjang dan dalam perjalanannya melalui
saluran-saluran (kanal) tulang yang sempit dan beberapa tempat
saraf tersebut berdinding tipis, sehingga mudah mengalami
kerusakan.
Penyakit Bell’s palsy ini bisa sembuh dengan sendirinya,
setelah melalui masa akut selama 7 hari. Bila pada masa itu pasien
mendapatkan terapi kortikosteroid, kemungkinan pasien akan
sembuh total lebih cepat dan tanpa menginggalkan cacat. Seperti
halnya penyakit stroke, pasien Bell’s palsy juga disarankan
ditangani dalam waktu 72 jam, karena hasil penelitian
menunjukkan hasil klinis yang buruk bila ditangani setelah 72 jam.
Penanganan terhadap penyakit ini juga harus berhati-hati, karena
bila tidak, maka syaraf yang seharusnya mempunyai kemampuan
memperbaiki diri, akan mengalami pertumbuhan syaraf yang salah.

2.1.2 Anatomi Fungsional


a. Nervus Facialis
Nervus facialis adalah saraf kranialis ke-7 berperan besar
dalam mengatur ekspresi dan indra perasa dikulit wajah

7
manusia. Nervus facialis memiliki 2 komponen utama.
Komponen yang lebih besar merupakan murni saraf motorik dan
berperan dalam persarafan otot ekspresi wajah. Komponene ini
yang merupakan nervus facialis sesungguhnya. Akan tetapi
dalam perjalanan komponen besar terdapat komponene yang
lebih tipis yang disebut nervus intermedius. Nervus intermedius
mengandung serabut saraf visceral dan serabut afreren somatic.
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
1) Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah
kecuali m levator palpebrae (N.II), otot platisma, stilohioid,
digastrikus bagian posterior dan stapedius ditelinga tengah.
2) Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang dating dari
nucleus salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus
glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus
paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan
lakrimalis.
3) Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat
pengecap di dua pertiga bagian lidah depan.
4) Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa
sushu dan rasa raba dari sebagian daerah kulit dan mukosa
yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.

Nevus facialis utamanya berperan dalam memasok impuls


untuk otot otot ekspresi wajah. Disamping itu nervus fascialis
juga berfungsi sebagai penyalur sensasi dari bagian anterior
lidah dan rongga mulut serta melalui persarafan parasimpatis
saraf facialis, kelenjar saliva, lakrimal, hidung dan kelenjar
palatine bisa menghasilkan secret.

Otot-otot bagian atas wajah disarafi dari 2 sisi. Maka


terdapat perbedaan gejala kelumpuhan saraf VII tipe sentral
dengan tipe perifer. Pada gangguan nervus facialis tpe perifer
semua otot sesisi wajah lumpuh. Pada gangguan tipe ini letak

8
lesi berada di inti atau serabut saraf sedangkan tipe sentral letak
lesi pada traktus piramidalis atau korteks mototrik. Pada
gangguan tipe sentral sekitar mata dan dahi yang mendapat
persarafan dari 2 sisi tidak lumpuh tetapi yang lumpuh bagian
bawah wajah.bagian inti motorik yang mengurus wajah bagian
bawah disarafi dari korteks motorik kontralateral sedangkan
wajah bagian atas disarafi dari kedua sisi korteks motorik atau
bilateral.

Gambar 2.1 Sumber hennykartika.wordpress.com

9
b. Otot-otot wajah
Otot-otot wajah seperti otot lain, memiliki sifat-sifat
fisiologis sebagai berikut: (1) irritability, kemampuan menerima
rangsang, (2) conductivity, kemampuan meneruskan rangsang ke
seluruh sel-sel otot, (3) contractility, kemampuan untuk
berkontraksi, (4) elasticity, kemampuan kembali setelah
mengalami penguluran, (5) extensibility, kemampuan untuk
mengulur tanpa mengalami kerusakan (Keith, 2002).
Otot pada wajah beserta fungsi dan hampir semua
berorigo pada tulang cranium dan berinsertio pada kulit wajah
dapat dilihat pada table dibawah ini:

Tabel 2.1 Otot-otot wajah yang dipersarafi nervus VII


No Nama Otot Origo Insertio Fungsi Persarafan
Margo supra Galea Mengangkat alis,
1 M. Frontalis N. Temporalis
orbitalis oporneurotica mengerutkan dahi
M. Mendekatkan N.
Os. Frontale Kulit alis
2 Corrugator kedua pangkal Zigomatikum,
pars nasalis mata
supercilli alis N. Temporalis
N.
Tulang Mengernyitkan Zigomatikum,
3 M. Procerus Kulit glabella
dorsumnasi hidung N. Temporal
dan N. Buccal
M. Maxilla,
N. facialis,
Orbicularis proefrontalis, Disekeliling Menutup kelopak
4 N. Temporalis,
oculli pars sudut mata aditus orbitae mata
N. Zigomatici
orbitalis medial
Diatas akar Tendon Mengembangkan
5 M. Nasalis N. facialis
denscanicus diatas hidung cuping hidung
M. Di atas os
Mengempiskan
6 Depressor incivus Tulang rawan N. Facialis
cuping hidung
septi tengah

10
M. levator Dari otot-otot Ala nasi dan
Mengangkat bibir
7 labii arbicularis labium N. Facialis
ke atas
superior oculli superior
M. Angulus oris
Dasar Menarik ujung
8 Depressor dan labium N. facialis
mandibula mulut ke bawah
anguli oris inferior
M. Os,
Zigomatiku Zigomaticum N. Facialis,
9 Angulus oris Tersenyum
m major, facies N. Zigomatici
minor lateralis
Tersenyum
M. Levator Maxilla, Otot labium N. Facialis,
10 sampai bibir
angulis oris fossa camina superior N. Zigomatici
terangkat
N. facialis,
Sebutan pars
M. Commisurra N. Zigomatici,
11 marginalis Bersiul
Orbicularis labiorum N. Mandibular,
pars labialis
N. Buccal
Corpus
M. Meniup sambil N. Facialis,
12 mandibulae, Angulus oris
Buccinator menutup mulut N Buccal
maxilla
Jugum
alveolare
13 M. Mentalis bagian bawah Kulit dagu Mengangkat dagu N. Facialis
lateral dens
insivicus
Serabut post
berinsertio
Fascia di atas
pada
M. Pectoralis Menarik dagu ke
14 M. Platisma mandibula N. Facialis
mayor dan bawah
dan bersatu
deltoideus
dengan otot
sekitar mulut

11
Gambar 2.2. Sumber Jaringanikatdanfungsinya.jimdo.com

c. Tulang muka atau wajah


Tulang muka atau wajah pada kepala manusia terdirir
dari 14 tulang. Keempat belas tulang yang membentuk muka
atau wajah tersebut adalah 2 maxsila atau tulang rahang atas,
dan madibula atau tulang rahang bawah, 2 zigomaticus atau
tulang pipi, 2 nassal atau tulang hidung, 2 lakrimal atau tulang
air mata, 2 palatinus atau tulang langit-langit, tulang vomer
serta 2 nassal konka inferior. Tulang muka atau wajah yang
ada pada kepala manusia sangat kompleks tetapi tetap nampak

12
elegan serta harmonis. Tulang-tulang tersebut berfungsi untuk
membantu saat makan, mengekpresikan wajah, membantu saat
bernapas, saat menangis dan saat berbicara (Mardani, 20013).

d. Vaskularisasi pada wajah


1) Arteri pada wajah (pembuluh nadi)
Wajah menerima darah dari arteri facialis, arteri
temporalis superfisialis, arteri transfersa facialis, dan asrteri
supraorbitalis dan supratroklearis.
a) Arteri facialis dan arteri temporalis superfisialis yang
merupakan cabang dari arteri karotis ekterna yang
melampaui submandibularis, berkelok ke atas sudut
mulut dan ditutupi oleh m.platisma. selanjutnya berjalan
sepanjang sisi hidung beranastomosis dengan arteri
oftalmika. Cabang-cabangnya adalah:
 Arteri submetalis memperdarahi dagu dan bibir
bawah
 Arteri labialis inferior memperdarahi bibir bawah
 Arteri labialis superior memperdarahi septum dan
bibir atas
 Arteri ranus lateralis nasal memperdarahi kulit pada
dosrsumnasi dan sisi hidung
b) Arteri temporalis superfisialis merupakan cabang caris
eksterna yang berawal dari grandula parotis naik ke
depan aurikula untuk memperdarahi kulit kepala.
c) Arteri transversa facialis merupakan cabang dari arteri
temporalis superficialis dari glandula paritidea dan
berjalan ke depan melintasi pipi tepat di atas duktus
parotideus.
d) Arteri supraorbitalis dan supratroklearis merupakan
cabang arteri oftalmika yang memperdarahi kulit dahi.

13
2) Vena pada wajah (pembuluh balik)
Vena facialis terbentuk pada sudut medial mata,
menyatu dengan supraorbitalis dan vena supratroklearis
dan berhubungan dengan vena oftalmika superior melalui
vena supraorbitalis dengan perantara vena oftalmika
superior, vena facialis di hubungkan dengan sinus
kavernosus. Vena ini menyilang di antara grandula
submandibular dan bermuara ke dalam vena jugularis.
Vena profunda facialis bergabung dengan sinus
kavernosus melalui vena oftalmika superior. Vena
transversa facialis, bergabung dengan vena temporalis
superfisialis didalam glandula parotis.
2.1.3 Etiologi
Penyebab kelumpuhan nervus facialis umumnya dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
a) Idiopatik
Bell’s palsy secara pasti belum dapat diketahui penyebabnya,
akan tetapi ada beberapa teori yang berhubungan dengan etiologi
Bell’s palsy antara lain:
1) Teori infeksi Virus Herpes zoster
Beberapa kasus Bell’s palsy masih belum diketahui
penyebabnya, tapi pada tahun 1995 penelitian Dr. Shingo
Murakami dkk, dihasilkan penyebab Bell’s palsy yang
frekuensinya terbesar adalah Herpes Simplex Virus Tipe I
(HSV-I), mungkin tercatat 60%-70% kasus (Diels,2006).
Bell’s palsy terjadi karena reaktivasi dari HSV I,
setelah terjadi infeksi akut primer, HSV terdiam di dalam
ganglion sensoris. Virus ini akan berakyivasi ketika daya
tahan tubuh menurun sehingga terjadi neuritis dan diikuti
peradangan dan terjadi gangguan vaskularisasi dan akirnya
timbul degenerasi di nervus VII perifer pemicu aktifnya
(stress, kurang tidur, trauma fisik, infeksi pernafasan

14
bagian atas, dan lain-lain) maupun dalam waktu yang lama
(penyakit kronis, sindroma autoimmune, dan lain-lain)
(Talavera, 2005).

2) Teori Iskemia Vaskuler


Menurut teori ini, terjadinya gangguan sirkulasi
darah di kanalis falopii, secara tidak langsung
menimbulkan paralisis pada nervus facialis. Kerusakan
yang ditimbulkan berasal dari tekanan daraf perifer
terutama berhubungan dengan oklusi dari pembuluh darah
yang mengaliri saraf tersebut, bukan akibat dari tekananan
langsung pada sarafnya.
Kemungkinan terdapat respon simpatis yang
berlebihan sehingga terjadi spasme antrioral atau statis
vena pada bagian bawah canalis facialis, sehingga
menimbulkan oedema sekunder yang selanjutnya
menambah kompresi terhadap suplai darah, menambah
iskemia dan menjadikan parese nervus facialis (Sabirin,
2001).

3) Teori Herediter
Willbrand (1974) dikutip oleh J.Sabirin (2001)
mendapatkan 6% penderita Bell’s palsy yang kasusnya
herediter. Ini mungkin karena kanalis fallopi yang sempit
disekitar foramen stylomastoideus yang herediter (pada
keturunan atau keluarga tersebut), sehingga menyebabkan
predisposisi untuk terjadinya parese facialis.

b) Kongenital
Bell’s palsy juga biasanya terjadi karena bawaan lahir.
Hal ini biasa disebabkan oleh karena sindroma moebius atau
karena trauma lahir (pendarahan intracranial/patah tulang

15
tengkorak). Keduanya terjadi pada saat proses kelahiran anak
(Cipto, 2009).

c) Riwayat Udara Dingin


Bell’s palsy memang sangat erat kaitannya dengan
cuaca dingin. Untuk itu, sebaiknnya menghindari terpaan angin
secara langsung pada bagian tubuh. Orang yang duduk dekat
jendela kendaraan, kereta api, dituran di atas lantai dengan
menempelkan sebelah pipi di lantai, sesudah bepergian jauh
dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka berpotensi
mengalami Bell’s palsy (Pranata, 2011).
Menurutnya orang yang berada di dalam ruangan pun
belum tentu terhindar dariu potensi penyakit ini. Bell’s palsy
juga bisa menyerang orang yang bekerja di ruangan ber AC
secara langsung. Maksudnya, jika AC tersebut memberikan
hawa dingin secara merata tidak perlu dikhawatirkan. Namun,
jika angin ditimbulkan AC hanya terpusat pada satu tempat, itu
bisa menimbulkan penyakit tersebut.

2.2. Bagan etiologi Bell’s palsy (Arief, 2013)

Udara dingin

Lapisan endothelium pembuluh darah


rusak

Proses trandusi

Foramen sternocledomastoideus
bengkak

16
Nervus facialis terjepit

Otot-otot wajah mengalami


kelemahan/kelumpuhan

2.1.4 Patologi
Apapun sebagai etiologi Bell’s palsy, proses akhir yang
dianggap bertanggung jawab atas gejala klinik Bell’s palsy adalah
proses oedema yang selanjutnya menyebabkan kompresi nervus
facialis. Gangguan atau kerusakan pertama adalah endothelium
dari kapiler menjadi oedema dan permeabilitas kapiler meningkat,
sehingga dapat terjadi kebocoran kapiler kemudian terjadi oedema
pada jaringan sekitarnya dan akan terjadi gannguan aliran darah
sehingga terjadi hipoksia dan asidosis yang mengakibatkan
kematian sel. Kerusakan sel ini mengakibatkan hadirnya enzim
proteolitik, terbentuknya pebtida-pebtida toksik dan pengaktifan
kinin dan kallikrein sebagai hancurnya nucleus dan lisosom. Jika
dibiarkan dapat terjadi kerusakan jaringan yang prmanen
(Annsilva, 2010).

2.1.5 Tanda dan Gejala


Bell’s palsy memiliki gejala yang berbeda-beda pada
sebagian orang. Kelumpuhan yang terjadi pada salah satu sisi
wajah bisa dijelaskan sebagai kelumpuhan sebagian (kelemahan
otot ringan) atau sebagai kelumpuhan total (tidak ada gerakan sama
seekali). Mulut serta kelopak mata juga akan terpengaruh akibat
Bell’s palsy. Kedua bagian ini akan kesulitan dibuka dan ditutup.

17
Pada pasien Bell’s palsy tanda dan gejala klinisnya
biasanya timbul secara mendadak, pada awalnya pasien merasakan
kelainan pada mulutnya saat bangun tidur, menggosok gigi,
berkumur, minum, atau berbicara. Terdapat nyeri yang bervariasi
disekitar telinga atau styloid dan mastoid ipsilateral, kemudian
diikuti kelemahan otot-otot wajah dalam waktu beberapa jam atau
hari. Tanda dan gejala klinik pada Bell’s palsy tergantung letak dan
tempat yang terkena.

2.1.6 Prognosis
Pasien bell’s palsy pada umumnya mempunyai prognosis
yang bagus, kira-kira 80-90% pasien akan sembuh tanpa timbul
gejala sisa dalam 6 minggu sampai 3 bulan. Pada pasien yang
berumur 60 tahun atau lebih kira0kira 40% akan mengalami
penyembuhan secara lengkap dan mempunyai angka sequel atau
gejala sisa yang lebih tinggi. Pasien yang berusia 30 tahun atau
kurang mengalami kesembuhan 10-15% dan kemungkinan untuk
timbul gejala sisa lebih kecil (Talavera, 2005).
Factor resiko yang dapat mempengaruhi prognosis Bell’s
palsy antara lain adalah: (a) usia dari pasirn, pada usia lanjut
kemungkinan terjadi kontraktur dari otot-otot wajah yang
mengalami kelumpuhan akan lebih besar dibanding dengan
penderita usia muda. Pada usia lanjut proses penyembuhannnya
juga lebih lama dibanding pada penderita usia muda, (b) derajat
kelumpuhan, pada kelumpuhan yang komplit akan lebih lama
proses penyembuhannya, (c) saat pemberian terapi (Talavera,
2005)

2.1.7 Diagnose Banding


Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut
lokasi lesi sentral dan perifer.

18
1. Kelainan sentral dapat merupakan:
a. stroke bila disertai kelemahan anggota gerak sisi yang
sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri
kontralateral.
b. kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai
perubahan mental status atau riwayat kanker dibagian
tubuh lainnya.
c. sklerosis multipel bila disertai kelainan neurologis lain
seperti hemiparesis atau neuritis optika; dan trauma bila
terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii,
atau terdapat riwayat trauma sebelumnya.
2. Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan : Suatu otitis
media supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang
dalam kavum timpani dan foto mastoid menunjukkan suatu
gambaran infeksi;
a. Herpes zoster otikus bila ditemukan adanya tuli perseptif,
tampak vesikel yang terasa amat nyeri di pinna dan/atau
pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan titer antibodi
virus varicella-zoster
b. Sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis
bilateral dan akut
c. Kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda
patognomonik berupa gangguan gerak mata kompleks dan
kelemahan otot orbikularis okuli bilateral
d. Tumor serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan
nervus kranialis V dan VIII
e. Tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah
(angulus mandibula)
f. Sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris, perembesan
kelenjar limfe hilus, uveitis, parotitis, eritema nodosa, dan
kadang hiperkalsemia.
2.1.8 Objek yang dibahas

19
a. Penurunan kekuatan otot (kelemahan otot-otot wajah)
Penurunan kekuatan otot-otot dapat disebabkan oleh
adanya nyeri, jika terjadi dalam waktu yang panjang maka
akan mengakibatkan otot dalam keadaan inaktivitas atau
digunakan tidak maksimal sehingga elastisitasnya akan
berkurang dan terjadi penurunan kekuatan otot. Juga dapat
disebabkan karena denervasi oleh nervus facialis yang
penyebab umumnya adalah oedema yang menekan nervus
facialis sehingga menghambat fungsi nervus facialis.
Untuk penilaian kekuatan otot-otot wajah digunakan
skala Daniel and Worthinghom’s Manual Muscle Testing yang
meliputi empat tingkatan penilaian yaitu:
a. Nilai 0 (zero) : tidak ada kontraksi yang tampak
b. Nilai 1 (trace) : kontraksi minimal
c. Nilai 3 (fair) : kontraksi sampai dengan simetris sisi
normal dengan maksimal
d. Nilai 5 (normal) : kontraksi penuh, terkpntrol dan simetris

b. Penurunan kemampuan fungsional


Adanya kelemahan otot-otot wajah yang mengeliminasi
gerakan tertentu menimbulkan pembatasan gerak kearah dan
posisi tertentu, sehingga memungkinkan terjadinya penurunan
kemampuan fumgsional otot-otot wajah. Penilaian kemampuan
fungsional otot wajah dengan skala Ugo fisch dinilai dalam 5
posisi, yaitu saat istirahat, mengerutkan dahi, menututp mata,
tersenyum, bersiul. Pada tersebut dinilai simetris atau tidaknya
antara sisi sakit dengan sisi yang sehat (Lumbantobing, 2009).
Ada 4 penilaian dalam persentase untuk posisi tersebut antara
lain:
a) 0% (zero) : Asimetris komplit, tidak ada gerakan volunteer
sama sekali

20
b) 30% (poor) : Simetris ringan, kesembuhan cenderung
asimetris, ada gerakan volunteer
c) 70% (fair) : Simetris sedang. Kesembuhan cenderung
normal
d) 100% (normal) : Simetris komplit (normal)
Angka persentase masing-masing posisi harus dirubah
menjadi score dengan criteria sebagai berikut:
1) Saat istirahat : 20 point
2) Mengerutkan dahi : 10 point
3) Menutup mata : 30 point
4) Tersenyum : 30 point
5) Bersiul : 10 point

2.2 Deskripsi Problematika Fisioterapi


Berdasarkan gambaran klinis diatas, maka dapat kita simpulkan
problematika fisioterapi pada kasus Bell’s palsy adalah:
a) Impariment
Merupakan gangguan abnormalitas yang bersifat sementara atau
menetap yang mengenai pada system organ. Keterbatasan fisik
(impairment) yang dijumpai pada pasien dengan kondisi Bell’s palsy
kiri ini adalah: (1) adanya penurunan kekuatan otot-otot wajah sisi kiri,
(2) potensial terjadinya atrofi pada otot wajah sisi kiri, (3) potensial
terjadinya spasme otot pada sisi wajah kanan (sehat) oleh karena
kontraksi terus menerus pada sisi yang sehat, (4) potensial terjadinya
kontraktur otot wajah sisi kanan.

b) Fungsional limitation
Adanya gangguan fungsi atau keterbatasan fungsi yang
disebabkan oleh impairment yang berhubungan dengan motorik.
Adanya keterbatasan fungsi seperti mata kiri tidak bisa menutup rapat,

21
berkumur dan minum mengalami kebocoran, makanan cenderung
mengumpul disisi kiri saat mengunyah oleh karena kelemahan otot
wajah pada sisi kiri.

2.3 Teknologi Intervensi Fisioterapi


Modalitas yang dipilih untuk mengurangi problematika fisioterapi
dalam kasus Bell’s palsy adalah sinar Infra Merah (Infra Red), Arus Faradik
(Faradisasi), massage dan latihan menggunakan cermin (mirror exercise).
1. Sinar Infra Merah (Infra Red)
Sinar infra merah adalah pancaran gelpmbang electromagnetic
dengan panjang gelombang 700-15.00 nm dan frekuensi 7 1014 -400 
1014 Hz.
a. Efek fisiologis
1) Meningkatkan metabolisme
Dengan adanya panas atatu meningkatnya temperature
proses metabolisme akan terjadi pada lapisan superficial kulit
akan meningkat sehingga pemberian oksigen dan nutrisi
kepada jaringan lebih diperbaiki, begitu juga pengeluaran
sampah-sampah pembakaran.
2) Vasodilatasi pembuluh darah
Vasodilatasi pembuluh darah kapiler dan arteriole akan
terjadi segera setelah senyinaran. Kulit akan mengadakan
reaksi dan berwarna kemerah-merahan yang disebut dengan
erythema.
Untuk ini mekanisme vasomotor mengadakan reaksi
dengan jalan pelebaran pembuluh darah sehingga jumlah panas
dapat diratakan keseluruh jaringan lewat sirkulasi darah.
Dengan sirkulasi darah yang meningkat, maka pemberian
nutrisi dan oksigen kepada jaringan akan ditingkatkan,
sehingga pemeliharaan jaringan menjadi lebih baik.
3) Pigmentasi

22
Penyinaran yang berulang-ulang dengan sinar infra
merah dapat menimbulkan pigmentasi pada tempat yang
disinari.
4) Pengaruh terhadap saraf sensoris
Mild heating mempunyai pengaruh teraupetik terhadap
ujung-ujung sraaf sensoris, sedangkan stringer heating justru
dapat menimbulkan iritasi.
5) Pengaruh terhadap jaringan otot
Kenaikan temperature membantu terjadi rileksasi otot,
pemanasan juga akan mengaktifkan terjadinya pembungan
sisa-sisa metabolisme.
6) Destruksi jaringan
Penyinaran yang diberikan dapat menimbulkan
kenaikan temperature jaringan yang cukup tinggi dan
berlangsung dalam waktu yang lam sehingga diluar toleransi
jaringan penderita.
7) Meningkatkan temperature tubuh
Penyinaran infra merah akan memanasi jaringan
superficial, kemiduan diteruskan keseluruh tubuh, maka
disamping terjadi pemerataan panas juga akan terjadi
penurunan tekanan darah sistemik oleh karena adanya panas
akan merangsang pusat pengatur panas yang akan terjadi
dengan jalan dilatasi bersifat general.
8) Mengaktifkan kerja kelenjar keringat
Pengaruh rangsangan panas yang dibawa ujung-ujung
saraf sensoris dapat mengaktifkan kerja kelenjar keringat.

b. Efek teraupetik
1) Mengurangi rasa sakit
Mild heating menimbulkan efek sedative pada
superficial sensori nerve ending, stronger heating dapat

23
menyebabkan counter irritation yang akan menimbulkan
pengurangan nyeri.
2) Rileksasi otot
Rilekasasi otot mudah dicapai bila jaringan otot dalam
keadaan hangat dan rasa nyeri tidak ada.
3) Meningkatkan suplai darah
Adanya kenaikan temperature akan menaikkan
vasodilatasi, yang akan menyebabkan terjadinya peningkatan
darah kejaringan setempat.
4) Menghilangkan sisa-sisa hasil metabolisme
Penyinaran didaerah yang luas akan mengaktifkan
glandula gudoifera diseluruh badan, sehingga dengan demikian
akan meningkatkan pembunangan sisa-sisa hasil metabolisme
melalui keringat.

c. Indikasi
1) Kondisi peradangan setelah subacute, sperti kontusio, muscle
strain, muscle sparain, trauma sinovatis.
2) Arthritis seperti rheumatoid arthritis, osteoarthritis, myalgia,
lumbago, neuralgia, neuritis.
3) Gangguan sirkulasi darah seperti tromboplebitis.
4) Penyakit kulit.
5) Persiapan execise dan massage.
d. Kontra indikasi
1) Daerah dengan insufisiensi pada darah.
2) Gangguan sensibilitas kulit
Pasien dengan gangguan sensasi kulit tidak akan
merasakan apa-apa sehingga tidak dapat diberikan efek panas
sinar infra merah.
3) Adanya kecendrungan terjadi pendarahan.
2. Arus Faradic
a) Definisi

24
Arus faradic adalah arus listrik bolak-balik yang tidak
simetris yang mempunyai durasi 0.01-1 ms dengan frekuensi 50-
100 cy/detik.
b) Modifikasi
Arus faradic pada umumnya dimodifikasi dalam bentuk
surged atau interrupted (terputus-putus), bentuk surged faradic
dapat diperoleh dari mesin-mesin modern. Pengontrol durasi
surged sebaiknya terpisah dengan pengontrol interval sehingga
diperoleh kontraksi yang efektif dari masing-masing penderita.
Bentuk-bentuk surged juga bermacam-macam antara lain
trapezoid, triangular, saw tooth, dan sebagainya.
c) Efek fisiologis
Efek fisiologis terhadap sensoris akan menimbulkan rasa
tertusuk halus dan efek vasodilatasi dangkal, sedangkan efek
terhadap motorik adalah kontraksi tetanik yang akan lebih mudah
menimbulkan kontraksi. Arus faradic lebih enak bagi pasien karena
durasinya pendek.
d) Efek teraupetik
a. Fasilitasi kontraksi otot.
Apabila otot mengalami kesulitan untuk mengadakan
kontraksi, stimulasi elektris dapat membantunya terutama
kontraksi otot yang terhambat oleh nyeri atau injury yang
baru, dimana stimulasi dapat memberikan fasilitas lewat
mekanisme muscle spindle.
b. Medidik kembali kerja otot.
Stimulasi faradic diberikan untuk mendapatkan
kontraksi dan membantu memperbaiki perasaan gerak,
sehingga stimulasi diberikan untuk menimbulkan gerakan
yang normal. Stimulasi ini merupakan permulaan latihan-
latihan aktif.
c. Melatih otot-otot yang paralysis.

25
Pada kasus saraf perifer, impuls dari otak tidak
sampai pada otot yang disarafi. Akibatnya kontraksi
voluntary hilang. Apabila saraf belum mengalami degerasi,
stimulasi dengan arus faradic dapat digunakan untuk melatih
otot-otot yang paralisis.
d. Penguatan dan hypertrofi otot-otot.
Untuk mendapatkan penguatan dan hipertrofi, otot
perlu berkontraksi dalam jumlah yang cukup serta beban
(tahanan). Kelenturan-kelenturan tersebut harus dipenuhi
bila stimulasi dimaksudkan untuk penguatan. Apanila suatu
otot sangat lemah berat dari bagian tubuh yang bergerak
memberikan cukup beban. Dalam hal ini stimulasi dapat
meningkatkan kekuatan otot.
e. Memperbaiki aliran darah dan lymfe.
Aliran darah dapat dipelancar oleh adanya
pemompaan dari otot yang berkontraksi dan relaksasi. Efek
yang ditimbulkan akan diperoleh secara maksimal dengan
mengguanakan arus faradic.
f. Mencegah dan melepaskan perlengketan jaringan.
Apabila terjadi offusi kedalam jaringan maka
perlengketan jaringan akan mudah terjadi. Perlengketan
tersebut dapat dicegah dengan selalu mengerakan struktur-
struktur di daerah tersebut. Jika latihan-latihan aktif tidak
memungkinkan, stimulation electrical dapat diberikan.
Perlengkatan terjadi dapat dibebankan dan diulur dengan
kontraksi otot.
e) Metode pelaksanaan arus faradic
1. Simulasi secara group
Pada metode ini semua otot dari suatu group otot
berkontraksi bersama. Satu elektroda dipasang pada nerve
trunk atau daerah origo, sedangkan satu lagi dipasang pada
daerah motor point atau ujung dari muscle belly. Semua otot

26
dari grup otot berkontraksi bersama sehingga sangat efektif
untuk mendidik otot yang bekerja secara group.
2. Stimulasi motor point
Keuntungan mengguanakan metode motor point adalah
masing-masing otot berkontraksi sendiri-sendiri dan
kontraksinya optimal. Sedangkan kerugian metode ini ialah
apabila otot yang dirangsang banyak. Maka sulit untuk
mendapatkan jumlah kontraksi yang cukup untuk masing-
masing otot.
3. Mekanisme arus faradic pada Bell’s palsy
Stimulasi faradic atau arus listrik bolak-balik yang tidak
simetris dengan durasi 0.01-1 ms frekuensi 50-100 cy/detik.
Arus ini akan menimbulkan rasa tertusuk halus dan kontraksi
tetanik akan lebih mudah membuat otot wajah yang mengalami
kelemahan atau kelimpuhan untuk berkontraksi. Namun, hal
ini hanya dapat diberikan pada kondisi Bell’s palsy sesudah
melewati masa akut. Pada prinsipnya harus menimbulkan
kontraksi otot, sehingga akan merangsang golgi tendon akan
siinformasikan melaui afferent ke susuna saraf pusat sehingga
akan mengkontribusikan fasilitasi dan inhibisi.
Rangsangan elektris yang diulang-ulang akan
memberikan informasi ke “supra spinal mechanism” sehingga
terjadi pola gerak terintegrasi dan menjadi gerakan-gerakan
pola fungsional. Hal ini akan membantu meningkatkan
kekuatan otot wajah pada kondisi Bell’s palsy.

Gambar 2.3 Sumber therapypoints.com

27
3. Masaage
a) Definisi
Massage adalah suatu istilah yang digunakan untuk
menunjukkan suatu manipulasi yang dilakukan dengan tangan yang
ditujukan pada jaringan lunak tubuh, untuk tujuan untuk
mendapatkan efek baik pada jaringan saraf, otot, maupun sirkulasi
(Gertrude, 1952).
b) Teknik-teknik massage
Ada beberapa teknik massage, seperti: stroking, efflurage,
petrissage, kneading, finger kneading, picking up, tapping friction
dan tapotemen (hacking, claping, beating, pounding). Pada kasus
Bell’s palsy teknik massage yang diberikan yaitu stroking, efflurage,
dinger kneading dan tapping. Stroking atau gosokan ringan adalah
manipulasi yang ringan dan halus dengan menggunakan seluruh
permukaan kedua belah tangan dan arah gerakannya tidak tentu.
Efek stroking adalah penenangan dan mengurangi rasa nyeri
(Tappan, 1988).

28
Effleurage adalah manipulasi gosokan dengan penekanan
yang ringan dan halus dengan menggunakan seluruh permukaan
tangan, sebaiknya diberikan dari dagu ke atas ke pelipis dan dari
tengah dahi turun ke bawah menuju ke telinga. Ini harus dikerjakan
secara gentle dan menimbulkan rangsangan pada otot-otot wajah.
Efek dari effelurage adalah membantu pertukaran zat-zat dengan
mempercepat peredaran darah dan limfe yang letaknya dangkal,
menghambat proses peradangan.
Finger kneading adalah pijatan yang dilakukan dengan jari-
jari dengan cara memberikan tekanan dan gerakan melingkar,
diberikan keseluruh otot wajah yang terkena lesi dengan arah
gerakan menuju ketelinga. Efek dari finger kneading adalah
memperbaiki peredaran darah dan memelihara tonus otot.
Tapping adalah manipulasi yang diberikan dengan tapukan
yang ritmis dengan kekuatan tertentu, untuk didaerah wajah
dilakukan dengan ujung-ujung jari. Efek dari tapping adalah
merangsang jaringan dan otot untuk berkontraksi.

c) Aplikasi massage
Pemberian massage wajah pada kondisi Bell’s palsy
bertujuan untuk mencegah terjadinya pelengketan jaringan dengan
cara memberikan penguluran pada jaringan yang superficial yakni
otot-otot wajah. Dengan pemberian masaage wajah ini akan terjadi
peningkatan vaskularisasi dengan mekanisme pumping action pada
vena sehingga memperlancar sirkulasi darah dan limfe. Efek
rileksasi dapat dicapai dan elastisitas otot dapat tetap terpelihara
serta mencegah timbulnya perlengketan jaringan dan kontraktur otot
dapat dicegah (Douglas, 1902).
Massage dilakukan 5-10 menit. Massage ini membantu
mempertahankan tonus otot wajah agar tidak kaku.
d) Indikasi massage

29
Beberapa kondisi yang merupakan indikasi
pemberian massage, antara lain: spasme otot, nyeri,
oedema, kasus-kasus perlengketan jaringan, kelemahan otot
jaringan, dan kasus-kasus kontraktur.

e) Kontra indikasi massage


Massage tidak selalu dapat diberikan pada semua
kasus, ada beberapa kondisi yang merupakan kontra
indikasi pemberian massage, yaitu: darah yang mengalami
infeksi, penyakit-penyakit dengan gangguan sirkulasi,
seperti: tromboplebitis, arteriosclerosis berat, adanya tumor
ganas, daerah peradangan akut, jerawat akut, sakit gigi, dan
luka bakar.

4. Latihan menggunakan cermin (Mirror exercise)


Mirror exercise merupakan salah satu bentuk terapi latihan
yang menggunakan cermin yang pelaksanaannya menggunakan
latihan gerakan-gerakan pada wajah baik secara aktif maupun
pasif. Pada kondisi Bell’s palsy, latihan yang dilakukan didepan
cermin akan memberikan biofeedback, yang dimaksud dengan
biofeedback adalah mekanisme control suatu system biologis
dengan memasukkam kembali keluaran yang dihasilkan dari
system biologis tersebut, dengan tujuan akhir untuk memperoleh
keluaran baru yang lebih menguntungkan system tersebut
(Widowati, 1993).
Selain itu dengan latihan didepan cermin pasien dapat
dengan mudah mengontrol dan mengoreksi gerakan yang
dilakukan. Latihan yang dapat diberikan pada pasien antara lain:
mengangkat alis, mengerutkan dahi, menutup mata, tersenyum dan
bersiul.

30

Anda mungkin juga menyukai