Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Undang-Undang Kesehatan No. 26 Tahun 2009. Kesehatan

adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang

memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan

ekonomis. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan atau serangkaian

kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintregasi dan berkesinambung

untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan, pengobatan penyakit,

dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan masyarakat ( PERMENKES

NO. 161 Tahun 2010).

Pelayanan kesehatan adalah upaya yang diselenggarakan sendiri/secara

bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan

kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan

kesehatan program, keluarga, kelompok ataupun masyarat. Tenaga kesehatan

memiliki peranan penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan

yang maksimal kepada masyarakat agar masyarakat mampu untuk

meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat sehingga

akan terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tinggi sebagai investasi bagi

pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan

ekonomi serta sebagai salah satu unsure kesejahteraan umum ( UU No. 36,

2014).
Faktor genetik merupakan dasar dalam mencapai hasil akhir proses

tumbuh kembang anak. Melalui instruksi genetik yang terkandung di dalam

sel telur yang telah dibuahi dapat ditentukan kualitas dan kuatintas

pertumbuhan. Ditandai dengan intensitas dan kecepatan pembelahan, derajat

sensitivitas jaringan terhadap rangsangan, umur pubertas, dan berhentinya

pertumbuhan tulang. Dinegara maju, gangguan pertumbuhan sering

disebabkan oleh faktor genetik. Dinegara yang sedang berkembang, sering

disebabkan gangguan pertumbuhan selain faktor genetik juga faktor

lingkungan yang kurang memadai untuk tumbuh kembang anak yang optimal,

bahkan dapat menyababkan kematian anak sebelum umur balita (Ngastiyah,

2005).

Dystrophy muscular duchenne (DMD) adalah kelainan seks-linked

terjadi pada 1 : 4000 kelahiran bayi laki-laki. Gen pada kromosom X

mengendalikan sintesis protein sitoskeletal distrofi muscular baru terjadi

hampir 30% kasus. Tidak adanya distrofi pada otot skeletal dan jantung

menyebabkan gangguan pada masukkan kalsium, overproduksi oksigen

reaktif, dan destruksi otot oleh kerusakan oksidan (Judith M. Sondheirmer,

2013).

Kelainan protein distropi merupakan penyakit DMD. Biasanya anak-anak

yang menderita distrophy jenis duchenne di bawa ke dokter karena sering

jatuh, dan kalau sudah jatuh tidak dapat berdiri dengan cepat. Kelemahan otot

tungkai pada anak-anak tersebut tidak memungkinkan mereka bangkit secara

wajar. Sikap duduk di lantai dan kemudian berdiri dilakukannya dengan cara
yang khas, pertama mereka menempatkan lengan dilantai sebagaimana anak

hendak merangkak, kemudian tungkai diluruskan dan tangan bergerak setapak

demi setapak kearah kaki, setelah kaki terpegang, kedua tangan memanjat

tungkai, demikianlah akhirnya tubuh dapat digerakkan Gejala yang sering

terjadi adalah kelemahan otot, sering jatuh, berjalan lambat, gangguan

keseimbangan, kontraktur otot, kelainan rangka dan otot. Onsetny dimulai

pada usia 3 dan 5 tahun dan kelainan ini memburuk dengan cepat.

Kebanyakan anak laki-laki yang terkena akan kehilangan kemampuan berjalan

pada usia mendekati 12 tahun (pujidwi, 2014). Dengan gejala yang

ditimbulkan maka anak yang terkena DMD akan mengalami gangguan

aktivitas fungsional.

Fisioterapi adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan

kepada individu atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan

memulihkan gerak dan fungsi sepanjang rentang kehidupan dengan

menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik,

elektroterapi dan mekanis), fungsi dan komunikasi. Fasilitas pelayanan

Kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya

pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitative

yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat

(PERMENKES NO. 80 Tahun 2013).

Dengan adanya keluhan-keluhan yang ditimbulkan pada kondisi pasien

dystrophy muscular duchenne, maka fisioterapi dapat berperan dalam

membantu untuk mengatasi problematika pada dystrophy muscular duchenne


dengan menggunakan modalitas infrared dan terapi latihan (streching ,

strengthening dan balance exercise).

Infrared atau infra merah merupakan sinar elektromagnetik yang

memiliki panjang gelombang lebih dari cahaya yang terlihat yakni antara

770nm – 1mm, dengan tujuan untuk pemanasan struktur musculoskeletal yang

terletak superficial dengan daya penetrasi 0,8-1mm. Fungsi dari infrared

adalah untuk vasodilatasi, membantu proses metabolisme, rileksasi,

meningkatkan daya regang atau ekstensibilitas jaringan lunak (Sujatno Dkk,

1993).

Terapi Latihan adalah gerakan tubuh, postur atau aktivitas fisik yang

dilakukan secara sistematis dan terencana gune memberikan manfaat bagi

pasien untuk memperbaiki atau mencegah gangguan, meningkatkan,

mengembalikan atau menambah fungsi fisik, mencegah atau mengurangi

faktor risiko terkait kesehatan, dan mengoptimalkan kondisi kesehatan,

kebugaran (Carolyn Kisner dan Lynn Allen, 2017)

Stretching exercise merupakan suatu bentuk terapi yang di susun untuk

mengulur struktur jaringan lunak yang mengalami pemendekan secara

patologis dan dengan dosis tertentu dapat menambah range of motion.

Stretching dilakukan ketika pasien dalam keadaan rileks, menggunakan gaya

dari luar, dilakukan secara manual atau dengan bantuan alat untuk menambah

panjang jaringan yang memendek. Diharapkan dengan rileks tersebut dapat

mengurangi spastisitas ( Kisner & Colby,1996).


Strengthening exercise adalah latihan penguatan yang dilakukan untuk

membantu pasien meningkatkan fungsi dari otot. Tujuan akhirnya adalah

meningkatkan kekuatan, ketahanan dan menjaga meningkatkan lingkup gerak

sendinya (KTI Ardi Sularso, 2016).

Balance exercise merupakan salah satu metode fisioterapi untuk

meningkatkan balance ditulang belakang dengan cara mengaktifkan otot-otot

stabilitas postural untuk menimbulkan respon otot-oto postural yang sinergis,

sehingga terjadi stabilisasi dari otot-otot trunk (gatti, 2012).

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis berkeinginan untuk

mengetahui manfaat infrared dan terapi latihan pada penderita dystrophy

muscular duchenne. Sehingga penulis tertarik untuk mengangkat judul karya

tulis ilmiah yaitu “PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS

DYSTROPHY MUSCULAR DUCHENNE DENGAN MODALITAS

INFRARED DAN TERAPI LATIHAN.”

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dikemukakan diatas dapat diperoleh

beberapa rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apakah infrared dan terapi latihan dapat meningkatkan aktivitas

fungsional pada kondisi dystrophy muscular duchenne ?

1.3 Tujuan Penulisan

Dalam rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, muncul

beberapa tujuan yang hendak dicapai oleh penulis antara lain :


1. Tujuan umum

Untuk memenuhi syarat akademik guna menyelesaikan program

studi DIII fisioterapi.

2. Tujuan khusus

1) Untuk mengetahui apakah infrared dan terapi latihan dapat

meningkatkan aktifitas fungsional pada kondisi dystrophy muscular

duchenne.

1.4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang dapat dilihat antara lain sebagai berikut :

1. Bagi penulis

Diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan yang

mendalam, agar lebih memehami dan menambah pengalaman mengenai

kasus dystrophy muscular duchenne .

2. Bagi Fisioterapi

Dapat menambah informasi, pedoman dan acuan bagi fisioterapi

serta memberikan pemahaman tentang kasus dystrophy muscular

duchenne.

3. Bagi Pendidikan

Dapat bermanfaat bagi dunia kesehatan sebagai referensi dan

informasi tentang kasus muscular dystrophy duchenne.


4. Bagi institusi kesehatan

Dapat bermanfaat bagi ilustrasi kesehatan agar menambah

informasi pedoman dan acuan dalam menangani kasus dystrophy muscular

duchenne.

5. Bagi Masyarakat

Untuk memberikan wawasan dan mempublikasikan informasi tentang

kasus dystrophy muscular duchenne.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diskripsi Kasus

2.1.1 Definisi

Distrofi otot adalah nama kelompok penyakit yang di dapat

secara genetik yang menyebabkan atrofi otot progresif secara bertahap.

Distrofi otot Duchenne (Muscular dystrophy duchenne), yang juga

disebut distrofi otot yang paling umum dan paling berat pada anak-

anak. Distrofi otot Duchenne merupakan gangguan resesif terkait-X

yang terutama mengenai anak laki-laki. Insidennya adalah 1 dari 3.300

pria. Sepertiga anak yang mengalami DMD dapat memiliki mutasi baru

(Sharon Axon dan Terry Fuguate, 2014).

Distrofi otot Duchenne terjadi akibat mutasi gen yang memberi

informasi genetik distrofin. Distrofin, suatu produk protein otot skeletal,

dibutuhkan sebagai stabilisator membrane otot. Distrofi tidak

ditemukan pada anak yang mengalami DMD, otot skeletal dan otot

jantung merupakan otot yang paling sering terkena distrofi otot

Duchenne (Sharon Axon dan Terry Fuguate, 2014). Destruksi otot

menyebabkan pembengkakan dan kelemahan otot tungkai pada usia 5-6

tahun, ketidakmampuan berjalan pada usia belasan tahun, dan kematian


akibat dari kegagalan jantung atau infeksi atau ainsufisuensi respiratorik

pada usia pertengahan duapuluhan (Judith M. Sondheimer, 2013).

2.1.2 Anatomi Fisiologi

Gen adalah unit dasar heriditer semua sifat. Gen menempati

lokasi khusus pada kromosom (untai DNA yang panjang dan kontinu

yang membawa informasi genetik) dan menentukan karatristik fisik dan

mental organisme. Pada manusia, setia sel somatik (sel yang

membentuk tubuh organisme) memiliki 46 kromosom, 22 pasang

kromosom nonseks (autosom) dan 1 pasang kromosom seks. Genotip

adalah penyusun genetik khusus pada individu, secara internal

mengkodekan informasi yang dapat diwariskan dan merujuk ke alel

tertentu. Manusia mewariskan dua gen, satu gen dari setiap orang tua,

oleh sebab itu satu alel berasal dari ibu dan satu lagi dari ayah. Alel ini

dapat sama untuk karateristik (homozigot) atau berbeda (heterozigot).

Jika dua alel berbeda, satu alel yang dominan biasanya memperlihatkan

fenotipe (karateristik luar individu) individu (Terri Kyle dan Susan

Carman, 2016).

Setiap kromosom terdiri dari banyak sekali segmen fungsional yang

disebut gen. Gen merupakan satuan informasi tersimpan yang

membimbing pelaksanaan fungsi sel tertentu, yang pada gilirannya

menuntun pembentukan ciri khusus seorang individu atau suatu spesies.

Sifat dan fungsi sebuah sel tergantung pada protein yang dihasilkan.

Protein merupakan unsur pokok yang penting bagi tubuh kita. Mereka
membentuk sebagian substansi antar sel. Enzim, hormon dan antibody

juga protein. Jadi sel satu berbeda dengan sel lain karena perbedaan

protein yang menyusunnya. Kromosom mengatur perkembangan dan

berfungsinya sel dengan menentukan jenis protein yang akan dibentuk

(Jaypee, 1988).

Kromosom terdiri atas asam nukleat yang disebut asam

deoksiribonukleat (DNA), dan semua informasi disimpan dalam

molekul substansi ini. Bila diperlukan, informasi ini membimbing

aktivitas sel dengan menghasilkan protein yang dibutuhkan. Setiap

kromosom merupakan struktur panjang yang mengandung sangat

banyak molekul DNA. Langkah-langkah sintesis suatu protein dapat

disimpulkan sebagai berikut :

1. Kedua benang untai DNA berpisah sehingga unjung-ujung basa yang

tadinya terikat pada benang satunya sekarang bebas.

2. Sebuah molekul RNA mesenjer dibuat dengan memakai salah satu

benang DNA sebagai pembimbing (atau cetakan), sedemikian rupa

sehingga basa guanine dibentuk berhadapan dengan basa

sitosinbennag DNA, sitosin dibentuk berhadap dengan timin, dan

urasil deibentuk berhadapan dengan adenine. Dengan cara demikian

kode urutan asam amino disampaikan dari DNA kromosom pada

RNA mesenjer. Peristiwa (proses) ini disebut transkripsi. Bagian

benang RNA mesejer yang mengandung kode untuk satu asam

amino disebut kodon.


3. Molekul RNA mesejer sekarang melepaskan diri dari benang DNA

dan berpindah tempat dari inti masuk ke dalam sitiplasma.

4. Di dalam sitoplasma, RNA mesejer melakat pada ribosom.

5. Seperti telah disebutkan tadi, di dalam sitoplasma terdapat bentuk

RNA lain yang disebut RNA transfer. Sebenarnya terdapat lebih

kurang dua puluh jenis RNA transfer yang berbeda, masing-masing

sesuai untuk satu asam amino. Pada satu sisi RNA transfer terikat

sebuah asam amino, pada sisi lain ia memiliki kode terdiri atas basa

yang bersifat komplemeter (pelengkap) terhadap kode basa asam

amino pada RNA mesejer. Dibawah pengaruh ribosom, beberapa

satuan RNA transfer, berikut asam aminonya tersusun sepanjang

benang RNA mesejer kode pada RNA mesejer itu . peristiwa ini

disebut translasi.

6. Asam-asam amino sekarang terangkai membentuk sebuah rantai

polipeptida. Dari keterangan di atas dijelaskan bahwa asam amino

tersusun tepat sama seperti urutan kode pada RNA mesejer yang

pada gilirannya merupakan cetakan kode sebuah molekul DNA.

Rantai asam amino yang terbentuk membentuk rantai polipeptida.

Protein dibentuk oleh gabungan rantai polipeptida (Jaypee, 1988).


a. Pewarisan Autosom Resesif

Pewarisan autosom resesif terjadi ketika dua salinan gen

mutan atau tidak normal dalam kondisi homozigot diperlukan untuk

menghasilkan fenotipe. Dua gen yang tidak normal diperlukan untuk

individu menujukkan tanda dan gejala gangguan. Kedua orang tua

dari anak yang terkena pasti carrier gen heterozigot (secara klinis

normal tapi membawa gen) (conley, 2016 ; Robin, 2007).

b. Penentuan Seks

Sifat kelamin dari anak sudah ditentukan pada waktu

fertilisasi dan bukan oleh sel telur, melainkan oleh sel sperma.

Perbedaan antara sel pria dan wanita terletak pada sex kromosom :

1. Sel pria mempunyai sepasang seks kromosom yang berlainan jadi

22 pasang kromosom biasa dan X kromosom dan Y seks

kromosom.

2. Sel wanita mempunyai sek kromosom yang sama jadi 22 pasang

kromosom biasa dan 2 buah X seks kromosom.

Dalam proses pematangan dari ovum dan spermatozoa

terjadilah pembagian reduksi, pembagian sedemikian rupa hingga

sel-sel yang baru hanya mempunyai separuh dari jumlah kromosom

biasa. Dengan demikian sel telur yang matang mempunyai 22 buah

kromosom biasa dan X kromosom. Sedangkan, Sel sperma dengan

22 kromosom biasa dengan X kromosom dan sel sperma dengan 22

kromosom biasa dengan Y kromosom.


Jika spermatozoon dengan 22 buah kromosom biasa dan

sebuah kromosom X membuahi sel telur maka terjadilah zygot

dengan 44 kromosom dan 2 buah X kromosom, nyatalah bahwa

zygot ini akan menjadi anak perempuan. Jika spertozoon dengan 22

buah kromosom biasa dan sebuah Y kromosom membuahi sel telur,

maka terjadilah zygot dengan 44 kromosom biasa, sebuah X

kromosom dan Y kromosom, maka zygot ini akan menjadi laki-laki

(Prof. Sulaiman Sastrawinata, 1983).

c. Pewaris Terkait X

Gangguan yang diwariskan terkait X adalah gangguan yang

berkaitan dengan perubahan gen pada kromosom X. Gangguan ini

berbeda dengan gangguan autosom. Jika pria mewariskan perubahan

gen terkait X, ia akan memperlihatkan kondisi. Hal ini karena pria

hanya memiliki satu kromosom X yang dimilikinya akan

diekspresikan (kromosom Y tidak membawa alel normal untuk

mengompensasi gen yang berubah tersebut). Karena wanita

mewariskan dua kromosom X, mereka dapat heterozigot atau

homozigot untuk semua alel. Oleh sebab itu, gangguan terkait X

pada wanita diekspresikan sama seperti gangguan autosom (Terri

Kyle dan Susan Carman, 2016).

Lebih banyak pria yang terkena daripada wanita karena

semua gen pada kromosom X pria akan diekpresikan karena pria

memiliki satu kromosom X (Robin, 2007). Selain itu, wanita


biasanya akan memerlukan dua kromosom X yang tidak normal

untuk menujukkan penyakit dan satu kromosom X yang normal dan

satu kromosom tidak normal untuk menjadi carrier penyakit. Tidak

ada transmisi pria ke pria (karena tidak ada kromosom X dari pria

diwariskan ke anak laki-laki), tetapi semua pria yang terkena dengan

gangguan X akan memiliki anak perempuan yang carrier terhadap

gangguan. Jika wanita adalah carrier gangguan , 25% berpeluang

akan mengenai anak laki-laki, 25% berpeluang anak perempuan akan

jadi carrier, 25% peluang akan memiliki anak yang tidak terkena

gangguan, dan 25% peluang anak perempuan akan menjadi normal

(conley, 2010).

d. Abnormalitas Kromosom

Kebanyakkan abnormalitas kromosom terjadi akibat

kesalahan pada sel telur dan sel sperma. Oleh sebab itu, abnormalitas

terjadi pada setiap sel tubuh. Beberapa abnormalitas dapat terjadi

setelah fertlisasi, selama pembelahan sel mitosis, dan menyebabkan

mosaikisme. Mosaikisme atau bentuk mosaik adalah ketika

abnormalitas kromosom tidak terlihat pada setiap sel, hanya

beberapa sel atau jaringan membawa abnormalitas.

Abnormalitas struktur kromosom biasanya terjadi ketika ada

kerusakan atau kehilangan bagian satu atau lebih kromosom, dan

selama proses perbaikan, ujung yang rusak bersatu kembalisecara

tidak tepat. Abnormalitas struktur biasanya menyebabkan materi


genetik yang terlalu banyak atau terlalu sedikit. Gangguan struktur

kromosom bisa terjadi pada beberapa bentuk. Delesi terjadi ketika

satu bagian kromosom lepas, yang menyebabkan kehilangan bagian

kromosom tersebut. Duplikasi terlihat ketika satu bagian kromosom

berduplikasi dan segmen kromosom tambahan muncul. Inversi

terjadi ketika bagian kromosom terbelah atau patah pada dua titik

dan terbalik. Pada inversi, tidak ada kehilangan atau penambahan

materi kromosom dan carrier tergolong normal secara fenotip, tetapi

mereka tidak memilki tingkatan resiko untuk keguguran dan anak

memiliki kromosom normal (Descartes & carroll, 2007).

2.1.3 Epidemiologi

Insiden dystrophy muscular duchenne 1 kasus dari 3.500

kelahiran bayi laki-laki. Bentuk paling sering dari penyakit ini adalah x-

linked resesif, 70% dari kasus pria dengan kelainan ini mewarisi

mutasinya dari ibu yang membawa satu salinan gen dmd tetapi hampir

30% kasus terjadi mutasi spontan. Oleh karena itu hampir sepertiga

laki-laki dengan dystrophy muskular duchenne tidak memiliki riwayat

keluarga mungkin merupakan hasil germinal mosaicism pada

kromosom X (suatu mutasi yang muncul sebelum kelahiran ibu),

dimana ibu adalah karir, tetapi tidak ada anggota keluarga lain yang

terkena muscular dystrophy duchenne . kemungkinan lain adalah ibu

atau ayah memiliki gonadal mosaicism, suatu mutasi baru pada sel-sel

bibir maternal atau peternal. Dystrophy muscular duchenne merupakan


bentuk yang paling banyak dan paling dikenal diantara muscular,

dimana gejala dapat terlihat pada usia 3-5 tahun atau sebelum usia 12

tahun (Iskandar Syarif dan Widiasteti, 2009).

2.1.4 Etiologi

Pada dystrophy muscular duchenne terjadi mutasi pada gen

dystropin pada kromosom X berupa delesi, duplikasi dan mutasi titik,

sehingga tidak dihasilkan protein dystrophy atau terjadi defisiensi dan

kelainan struktur dystropin. Kira-kira 60% pasien dystrophy muscular

duchenne terjadi mutasi secara delesi dan 40% merupakan mutasi-

mutasi kecil penduplikasian (Iskandar syarif dan Widiasteti, 2009).

2.1.5 Patogenesis

Gen untuk dystrophy muscular duchenne terletak pada lengan

pendek (Xp) komponen X tepatnya pada Xp21, meliputi 86 exon yang

membuat hanya 0,6% dari seluruh gen tersebut sisanya terdiri dari

intron. Gen ini 10 kali lebih besar dari tiap-tiap gen lain yang

dikarakterkan saat ini dan terdiri dari 2 juta pasangan dasar, produknya

dinamakan dystropin (Iskandar syarif dan Widiasteti, 2009).

Dystropin merupakan protein dengan jumlah sedikit yang

membentuk 0,002% dari total protein sitoskeletal dengan globular

amino seperti tangkai terpusat dan globular carboxy. Dystropin terletak

pada permukaan dalam sarcolemma, berkumpul sebagai homotetramer

yang dihubungkan dengan aktin pada amino terminus dan dengan

glikoprotein pada carboxy terminus. Dystropin berperan dalam


memberikan kekuatan otot dan kestabilan membran otot (Iskandar

syarif dan Widiasteti, 2009).

Mutasi gen yang terjadi pada muscular dystrophy duchenne

adalah delesi dan duplikasi. Fenotip muscular dystrophy duchenne tidak

selalu berhubungan dengan ukuran delesi pada gen dystropin, tetapi

sangat berpengaruh pada sintesis dystropin. Delesi merusak cadon

triplet sehingga delesi merubah konsep pembacaan, terjadi penghentian

premature condon dan sintesis dytropin terhenti dan mengalami

degradasi, menghasilkan molekul protein kecil terpotong tanpa carboxy

terminal (Iskandar syarif dan Widiasteti, 2009).

Dystropin merupakan bagian dari kompleks protein sarkolemma

dan gliko-protein. Kompleks dystropin glikoprotein dapat menghasilkan

stabilitas sarkolemma, dimana kompleks ini dikenal sebagai dystropin-

associated protein (DAP) dan protein-associated glycoprotein (DAG).

Bagian yang terpenting lainnya pda kompleks ini adalah dystroglycan,

suatu glikoprotein yang diberkaitan dengan matriks ekstraseluler

merosim. Jika terjadi defisiensi salah satu bagian kompleks tersebut

akan menyebabkan terjadinya abnormalitas pada komponen lainnya.

Kehilangan dytropin bersifat paralel dengan kehilangan DAP dan

penghancuran kompleks dystroglycan. Perubahan ini menyebabkan

sarkolemma menjadi lemah dan mudah hacur saat otot berkontraksi.

Kehilangan dystropin juga menyebabkan kehilangan dystroglycan dan

sarcoglycan, sehingga membuat sarcolemma semakin rapuh. Proses ini


berlangsung secara terus menerus sepanjang hidup penderita. Selain itu,

akibat kerapuhan membrane otot memungkinkan kebocoran komponen

sitoplasmik seperti ceratine kinase dan peningkatan masuknya 𝑐𝑎2+

yang mengawali sejumlah aspek patologis dari peristiwa yang

menyebabkan nekrosis dan fibrosis otot. Kekurangan dystropin juga

mengakibatkan gangguan pada trasmisi tekanan normal dan tekanan

lebih besar ditempatkan pada miofibrillar dan protein membran yang

menyebabkan kerusakan otot selama kontraksi (Iskandar syarif dan

Widiasteti, 2009).

2.1.6 Gambaran Klinis

Kelemahan dan atrofi otot awal mulai terjadi pada otot

proksimal, terutama pada pinggul, bahu, dan tulang belakang, dan

terjadi antara usia 3-5 tahun. Anak laki-laki yng mengalami distrofi otot

Duchenne menujukkan ketidakmampuan untuk bangun dari posisi

terlentang, kesulitan dalam berlari, berlompat, gaya berjalan bergoyang-

goyang, kesulitan dalam menaiki tangga, dan sering jatuh. Anak

tersebut mengalami kesulitan untuk bangun dari posisi duduk atau

jongkok dilantai dan mengembangkan gaya Gowers (cara berjalan yaitu

mengangkat tungkai untuk diluruskn secara bertahap dalam posisi

berdiri). Antara usia 8-12 tahun, anak laki-laki mulai menggunakan

kursi roda sepanjang hari. Meskipun fungsi distrofi pada otak tidak

diketahui, banyak anak laki-laki yang mengalami distrofi otot

Duchenne membutuhkan bantuan tambahan dalam melakukan


akademik. Kurvutura tulangbelakang yang memerlukan stabilisasi

melalui pembedahaan biasanya 3-4 tahun setelah anak mengalami

ambulasi. Kontraktur sendi pada ekstermitas bawah berkembang dan

kaki mengambil posisi ekoinovarus yang khas. Kemampuan untuk

melakukan perawatan diri berkurang pada masa pertengahan remaja

karena anak laki-laki kehilangan fungsi ekstermitas atasnya. Anak

tersebut sering membutuhkan ventilasi dibantu nocturnal. Pada akhirnya

semua otot tubuh mengalami distrofi, yaitu otot pada sistem pernapasan

(otot orofaring, diafragma, dan otot-otot pernapasan) dan otot

kardiovaskular. Kematian biasanya terjadi akibat komplikasi paru atau

jantung (Sharon Axton dan Terry Fugate, 2014).

2.1.7 Komplikasi

Komplikasi yang disebabkan oleh dystrophy muscular duchenne

adalah :

a. Dekompensasi jantung dan kardiomiopati

b. Infeksi paru-paru

c. Osteoporosis

d. Obesitas

e. Kontraktur

f. Skoliosis

g. Lordosis

h. Kifosis
2.1.8 Diagnosa Banding

Banyak kondisi yang dapat menyebabkan kelemahan otot

dikarenakan kurangnya dystrophin suatu otot.

a. Distrofi muscular becker

Distrofi muscular becker merupakan bentuk yang kurang berat

dengan ekspresi persial gen distrofi.

b. Distrofi muscular fascioscapulohumeral

Distrofi muscular fasioskapulohumeral mengenai kedua jenis

kelamin sama banyaknya.

c. Distrofi muscular gelang kaki

Distrofi muscular gelang tungkai mengenai kedua jenis

kelamin pada usia 8-15 tahun (Judith M. Sondheimer, 2013 ).

2.1.9 Prognosis

prognosis adalah gambaran mengenai beberapa aspek penyakit

(hudaya, 2002 dalam Adhia Farras Faudayani 2016). Prognosis pada

pasien dystrophy muscular duchenne ini dapat dilihat dari beberapa

aspek meliputi :

a. Qua Ad Vitam

Adalah mengenai hidup dan matinya penderita, Qua Ad

Vitam dinyatakan kurang baik, karena keadaan dystrophy muscular

duchenne mengancam jiwa penderita.

b. Qua Ad Sanam
Adalah mengenai kesembuhan penderita, Qua Ad Sanam

dinyatakan kurang baik karena proses penyembuhan dystrophy

muscular duchenne bisa menyebabkan komplikasi.

c. Qua Ad Cosmeticam

Adalah yang berhubungan dengan cosmeticam, Qua Ad

Cosmeticam dinyatakan kurang baik karena mengganggu

penampilan penderita.

d. Qua Ad Fungsionam

Adalah menyangkut fungsional penderita, Qua Ad

Fungsionam dinyatakan kurang baik karena mengganggu

fungsional penderita.

2.1.10 Objek yang dibahas

Berdasarkan problematika fisioterapi di atas maka objek yang

akan dibahas adalah sebagai berikut :

a. ADL ( aktifitas Fungsional)

Indeks barthel atau barthel scale adalah skala ordinal yang

digunakan untuk mengukur performance (kinerja) dalam activities

of daily Living (ADL). Setiap item performance dinilai pada skala

ini dengan 0-10 poin untuk setiap variabel.

Test dan pengukuran ini menggunakan sepuluh variabel

yang menggambarkan ADL dan mobilitas. Jumlah skor yang tinggi

dikaitkan dengan kemungkinan lebih besar untuk dapat mandiri.


Sebaliknya, jumlah rendah yang dikaitkan dengan kemungkinan

besar untuk membutukan bantuan.

1. Prosedur Test

a. Tujuan

Untuk memperoleh tingkat kemampuan dan ketergantungan

pasien/klien dalam melakukan activities of daily living

(ADL).

b. Persiapan alat

Pastikan instrument Barthel Index scale telah tersedia.

c. Persiapan pasien

Jelaskan prosedur test kepada pasien untuk mengurangi

kecemasan pasien serta untuk memastikan pasien kooperatif

dan fokus.

d. Teknik Operasioanl Barthel Index Test

 Pilih score point untuk pertanyaan yang paling

mendekati tingkat kemampuan terkini pasien untuk

setiap 10 item variabel, dengan member tanda checklis.

 Index seharusnya digunakan sebagai catatan apa yang

tidak mampu dilakukan oleh pasien, bukan untuk catatan

tentang apa yang pasien bisa lakukan.

 Gunakan semua informasi yang bisa diperoleh, baik dari

laporan pasien sendiri, dari pihak keluarga pasien yang


mengetahui benar kemampuan pasien, atau hasil

obsevasi pemeriksaan.

 Lihat bagian pedoman untuk informasi rinci tentang

scoring dari interpretasi

 Catat hasil pengkuran barthel index pada medical record

pasien.

Tabel 2.1 Barthel Index

No Aktivitas Score

1 Feeding (makan dan minum)

 Tidak dapat dilakukan sendiri 0

 Membutuhkan bantuan dalam beberapa hal. 5

 Dapat melakukan sendiri atau mandiri. 10

2. Bathing (mandi)

 Bergantung sepenuhnya. 0

 Dapat melakukan sendiri atau mandiri. 5

3. Grooming (dandan)

 Membutuhkan bantuan perawatan personal. 0

 Mandiri (membersihkan wajah, marapikan 5

rambut, menggosok gigi, mencukur, dll)

4. Dressing (berpakaian)

 Bergantung sepenuhnya. 0
 Memerlukan bantuan, tapi tidak sepenuhnya. 5

 Mandiri (termasuk mengancing baju,memakai 10

ritsleting, mengikat tali sepatu

5. Fecal (buang air besar)

 Inkotinensi (atau perlu diberikan pencahar) 0

 Kadang terjadi inkontinensi 5

 Bisa mengontrol agar tidak inkontinensi. 10

6. Urinary (buang air kecil)

 Inkontinensi atau memerlukan katerisasi. 0

 Kadang terjadi inkontinesasi. 5

 Bisa mengontrol agar tidak Inkontinesasi. 10

7. Toileting ( ke kamar kecil atau wc)

 Bergantung sepenuhnya 0

 Memerlukan bantuan, tapi tidak sepenuhnya. 5

 Mandiri (termasuk membuka dan menutup, 10

memakai pakaian, membersihkan dengan lap).

8. Transferring (dari bed ke kursi dan kembali ke bed)

 Tidak mampu, tidak ada keseimbangan duduk. 0

 Memerlukan bantuan satu atau dua orang, 5

dapat duduk.

 Memerlukan bantuan minimal (verbal atau 10

fisik)
 Mandiri sepenuhnya 15

9. Walking ( pada semua level permukaan)

 Immobile atau >50 yard 0

 Menggunakan kursi roda secara mandiri, 5

termasuk mendatangi orang 50>yard.

 Berjalan dengan bantuan seseorang(verbal atau 10

fisik) >50 yard.

 Mandiri sepenuhnya (tidak membutuhkan 15

bantuan termasuk tongkat).

10. Climbing strairs (menaiki anak tangga)

 Tidak mampu. 0

 Memerlukan bantuan (verbal, fisik dengan alat 5

bantu).

 Mandiri sepenuhnya. 10

sumber (Djohan Aras Dkk, 2016)

Interpretasi hasil penilaian adalah sebagai berikut :

1. 0-10 : ketergantungan penuh

2. 21-61 : ketergantungan berat

3. 62-90 : ketergantungan moderat

4. 91-99 : ketergantungan ringan


5. 100 : mandiri

2.2 Problematika Fisioterapi

Dipandang dari segi fisioterapi muscular dystrophy duchnenne

menimbulkan bebrapa problem fisioterspi sebagai berikut :

2.2.1 Impermaint

Impermaint adalah gangguan kapasitas fisik yang berhubungan

dengan aktifitas fungsional dasar dalam kasus ini impermaintnya

disebabkan oleh kelemahan otot pada tungkai bawah.

2.2.2 Fungsional Limitation

Hambatan fungsioanal objektif yang berhubungan dengan

aktifitas sehari-hari pasien akibat penyakit yang diderita yaitu adanya

keterbatasan dalam melakukan aktifitas sehari-hari seperti berdiri,

berjalan.

2.2.3 Disabiliti

Disabiliti adalah suatu problem yang berupa terlambatnya atau

ketidakmampuan penderita untuk kembali melakukan aktifitas yang

berhubungan dengan masyarakat seperti bermain dengan teman

sebaya.

2.3 Terknologi Inteverensi Fisioterapi

Teknologi intevensi fisioterapi yang digunakan untuk menangani

permasalahan yang ada pada kondisi dystrophy muscular duchenne dapat

menggunakan modalitas infrared dan terapi latihan (stretching exercise,

strengthening exercise, dan balance exercise).


2.3.1 Infrared

1. Pengertian

Pancaran gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang

7.700 – 4 juta Amstrong.Berdasarkan panjang gelombang maka

infrared dapat diklasifikan menjadi :

a. Gelombang panjang (non – penetrating)

Panjang gelombang di atas 12.000 A sampai dengan

150.000 A, daya penetrasi sinar ini hanya sampai kepada lapisan

superficial epidermis, yaitu sekitar 0,5 mm.

b. Gelombang Pendek

Panjang gelombang antara 7.700 – 12.000 A. daya

penetrasi lebih dalam dari yang gelombang panjang, yaitu sampai

sub cutan kira – kira dapat mempengaruhi secara langsung

terhadap pembuluh darah kapiler, pembuluh darah lymphe, ujung –

ujung saraf dan struktur lain dibawah kulit.

2. Efek traupetik

a. Relief of pain ( mengurangi rasa sakit)

Ada beberapa pendapat mengenai mekanisme pengurangan

rasa nyeri, yaitu :

1) ikut terbuang sehingga rasa nyeri berkurang.


2) Rasa nyeri bisa juga karena adanya pembengkakan,

sehingga dengan pengaruh pemberian mild heating, maka

terjadi pengurangan nyeri disebabkan oleh adanya efek

sedative pada superficial sensory nerve ending.

3) Apabila diberi stronger heating, maka akan terjadi counter

irritation yang menimbulkan penguranga nyeri

4) Rasa nyeri ditimbulkan oleh karena adanya akumulasi sisa –

sisa hasil metabolism yang disebut zat “p” yang menumpuk

dalam jaringan. Dengan adanya sinar infra red akan

memperlancar sirkulasi darah, maka pengurangan odema

(bengkak) akan berkurangan seiring dengan pengurangan

nyeri.

b. Muscle relaxation (relaksasi otot)

Relaksasi akan lebih mudah dicapai bila jaringan otot

dalam keadaan hangat dan rasa nyeri tidak ada. Oleh karena

itu, suhu tubuh yang meningkatkan akan menghilangkan

spasme dan membuat rileksasi otot.

c. Meningkatkan supply darah

Adanya kenaikan temperatur akan menimbulkan

vasodilatasi sehingga terjadi peningkatan supply darah ke

jaringan setempat yang bermanfaat untuk penyembuhan luka

dan pencegahan infeksi pada jaringan superficial.


d. Menghilangkan sisa – sisa metabolisme

Penyinaran di daerah yang luas akan mengaktifkan

glandula gudoifera (kelanjar keringat) di seluruh tubuh, maka

akan terjadi peningkatan pembuangan sisa metabolism melui

keringat.

3. Efek fisiologis

a. Meningkatkan proses metabolisme

Seperti yang telah dikemukakan oleh hokum Vant’t Hoff

bahwa suatu reaksi kimia akan dapat dipercepat dengan adanya

panas atau kenaikan temperatur akibat pemanasan. Proses

metabolism terjadi pada lapisan superfiscial kulit akan

meningkat sehingga pemberian oksigen da nutrisi kepada

jaringan lebih diperbaiki, begitu juga pengeluaran sisa – sisa

pembakaran.

b. Vasodilatasi pembuluh darah

Dilatasi pembuluh darah kapiler dan arteriolae akan terjadi

segera setelah penyinaran, sehingga kulit akan segera tampak

kemerah –merhan tetapi tidak merata, berkelompok – kelompok

atau seperti bergaris – garis. Reaksi kemerah – merahan pada

kulit disebut juga erythema yaitu disebabkan oleh adanya energy

panas yang diterima ujung –ujung saraf sensoris yang kemudian

mempengaruhi mekanisme pengaturan panas (heat regulating

mechanism).
c. Pigmentasi

Penyinaran yang berulang – ulang dengan sinar infra red

akan menimbulkan pigmentasi pada tempat ysng disinari. Hal

tersebut terjadi karena adanya perusakan pada sebagian sel – sel

darah merah ditempat tersebut.

d. Pengaruh terhadap urat saraf sensorik

Mild heating (pemanasan yang ringan) mempunyai

pengaruh sedative terhadap ujung – ujung saraf sensoris,

sedangkan pemanasan yang berat akan menimbulkan iritasi. Hal

ini disebabkan oleh pengaruh pengaruh ultra violet yang

terkandung didalamnya.

e. Pengaruh terhadap jaringan otot

Kenaikan temperatur disamping membantu proses rileksasi

juga akan meningkatkan kemampuan otot untuk berkontraksi.

Spasme akibat penumpukan asam laktat dan sisa metabolism

juga dapat dihilangkan dengan pemanasan.

4. Aplikasi infrared

a. Persiapan alat

Antara lain meliputi kabelnya, jenis lampu, besarnya watt.

Jenis lampu yang digunakan adalah lampu generator luminous,


gelombang pendek (penetrating), tidak memerlukan waktu

pemanasan.

b. Persiapan penderita

Posisi pasien diatur secomfortable mungkin dan

disesuaikan dengan daerah yang akan diobati. Pasien tidur

terlentang. Daerah tubuh yang akan diobati harus bebas dari

pakaian. Perlu pula diberitahukan kepada penderita mengenai

derajat panas yang semestinya dirasakan, yaitu perasaan hangat

yang nyaman (comfortable) serta dapat ditahannya selama

berlangsungnya pengobatan.

c. Pemasangan lampu pada penderita

Pada dasarnya metode pemasangan lampu diatur

sedemikian rupa sehingga sinar yang berasal dari lampu jatuh

tegak lurus terhadap jaringan yang diobati, baik untuk lampu

luminous maupun non-luminous. Pada kondisi post arthroscopy,

pemasangan lampu infra red diletakkan pada area proksimal

lutut dengan sudut aplikasi tegak lurus 900, jarak penyinaran

lampu antara 35-45 cm.

d. Teknik pelaksanaan radiasi

Waktu penyinaran berkisar antara 10-20 menit dan ini

tergantung pada toleransi serta kondisi penyakitnya.

e. Penentuan dosis
-Intensitas

Intensitas infrared di seuaikan dengan pasien atau toleransi pasien.

Intensitas infrared ada tiga yaitu, hard, middlem dan low.

-Frekuensi terapi

Pada dasarnya terapi dengan menggunakan infrared dapat

digunakan pada keadaan kronis. Pada kondisi kronis di perlukan

frekuensi yang lebih jarang dan durasi yang lebih lama. Pada

kondisi ini terapi dapat dilakukan dua hari sekali selama 6 sampai

12 kali.

-Waktu terapi

Waktu yang di butuhkan untuk terspi biasanya berkisar 5 – 15

menit. Sebagian besar gejala menentukan lamanya terapi selama

beberapa episode tergangtung evaluasi klinis terapis.

-indikasi

1. Arthritis seperti : Rheumatoid arthritis, osteoarthritis, mialgia,

neuritis

2. Gangguan sirkulasi daran, seperti : tromboplebitis, Raynold’s

disease

3. Penyakit kulit, seperti : folliculitis, wound

4. Persiapan exercise dan massage

-kontraindikasi

1. Daerah insufisiensi darah

2. Gangguan sensibilitas
3. Adanya kecenderungan terjadi perdarahan

2.3.2 Streching exercise

Stretching merupakan suatu bentuk terapi yang di susun untuk

mengulur struktur jaringan lunak yang mengalami pemendekan secara

patologis dapat menambah range of motion. Passive stretching

dilakukan ketika pasien dalam keadaan rileks, menggunakan gaya dari

luar, dilakukan secara manual atau dengan bantuan alat untuk

menambah panjang jaringan yang memendek. Diharapkan dengan

rileks tersebut dapat mengurangi dan mencegah spastisitas pada

ekstermitas bawah (KTI Ardi Sularso, 2016).

a. Manfaat sreching

Beberapa manfaat streching antara lain :

1. Mengurangi ketegangan

2. Gerakan lebih mudah dilakukan

3. Memperbaiki sistem sirkulasi dan nutrisi

4. Badan merasa lebih baik dan fit

5. Balance muscle length, body aligment lebih teratur, postur lebih

baik.

b. Indikasi

Beberapa kondisi yang merupakan indikasi pemberian steching

antara lain :

1. Limitasi ROM akibat kontraktur, adhesion, scar formasi.


2. Pemendekan otot, jaringan lunak ataupun kulit.

3. Limitasi ROM yang akan membawa perubahan structural

4. Kontraktur kerena aktifitas sehari-hari

5. Ketegangan otot karena berlawanan lemah

c. Kontraindikasi

Beberapa kontraindikasi stretching yaitu :

1. Adanya nyeri akut saat sendi digerakan atau terulur

2. Gejala hematoma

3. Fraktur

d. Frekuensi

Frekuensi streching yang baik adalah 3-5 kali perminggu,

frekuensi stretching yang sangat efektif dilakukan sebanyak 6 kali

dalam setiap kali pertemuan.

e. Durasi stretching

Banyak literature yang mengajurkan durasi untuk streching

antara 10 hingga 30 detik. Pendapat lain merekomendasikan 12-18

detik dengan alasan rileksasi terjadi pada periode ini. Untuk

melakukan kontraksi otot yang diregangkan selama 10-15 detik,

pastikan ini harus di ulang dua hingga lima kali.

f. Pelaksanaan fisioterapi

Dalam posisi tidur terlentang, pegang telapak kaki satu

dengan tangan kiri dan gunakan tangan satunya memberi tahanan

dilutut, tekan lutut kebawah, tangan yang member tekanan dan


penarikan pada kaki, tahan peregangan selama 8 detik, harus di

lakukan 3-5 kali pengulangan.

2.3.3 Strengthening exercise

Strengthening adalah latihan yang digunakan untuk penguatan

otot dan ketahan otot. Dengan frekuensi manual sedang 3 kali

seminggu, intensitas beban manual sedang tipe strengthening exercise

dengan beban manual, waktu 8 kali hitungan 6 kali repitisi.

2.3.4 Balance Exercise

Tujuan dari tubuh mempertahankan keseimbangan adalah

penyangga tubuh melawan garvitasi dan faktor eksternal lainnya, untuk

mempertahankan pusat masa tubuh dengan bidang tubuh, serta

menstabilisasi bagian tubuh ketika bagian tubuh ketika bagian tubuh

lain bergerak.

BAB III

PENATALAKSANAAN STUDI KASUS

3.1 Pengkajian Fisioterapi


Tanggal pembuatan laporan

Kondisi/kasus : FTA / FTB / FTC / FTE

I. Identitas Anak

Nama anak : An.G

Nama orangtua : Tn. S dan Ny.D

Tanggal lahir : 13 juni 2007

Umur : 10 tahun

Alamat : Bohok

Diagnosa : muscular dystrophy duchenne

II. Riwayat perkembangan

1. Keluhan utama : Orangtua membawa anaknya An.G, laki-

laki, usia 9 tahun, dengan keluhan tidak bisa

berdiri dan berjalan.

2. Riwayat pre natal :Riwayat kehamilan ketiga, usia kehamilan

cukup bulan 37 minggu, usia ibu hamil 30

tahun, tidak ada riwayat keguguran

sebelumnya, selama hamil pemeriksaan

teratur dengan dokter spesialis kandungan,

dan selama kehamilan tidak ada keluhan.

3. Riwayat perinatal : An.G dengan riwayat usia kehamilan 37

Minggu, lahir secara normal, dibantu oleh

tenaga medis. Tidak ada kelainan saat proses

kelahiran.
4. Riwayat post natal : Riwayat perkembangan motorik saat bayi

normal, tapi saat usia 8 tahun An.G sering

terjatuh dan kalau sudah jatuh tidak dapat

berdiri dengan cepat, bila ingin berdiri dari

posisi duduk atau bangun tidur terasa berat,

dan mengalami kesulitan untuk langsung

berdiri, sehingga selalu mengambil posisi

merangkak terlebih dahulu, setelah itu kedua

pantat di angkat tinggi-tinggi dalam waktu

agak lama dan dilanjutkan dengan kedua

tangan memegang lutut seperti harus

memanjat kedua tungkainya. Saat menaiki

tangga An.G berjalan pelan-pelan karena

kaki terasa berat dan tidak kuat. Saat berdiri

An.G cenderung membusungkan dada

dengan pelvic telting posterior. Pada usia 9

tahun Pada tanggal 20 bulan februari 2016

An.G tidak bisa berdiri dan berjalan lagi.

5. Riwayat keluarga : An. G merupakan anak ketiga, dan tidak

ada riwayat gangguan serupa dikeluarga,

penerimaan keluarga baik, dengan kondisi

sosial ekonomi keluarga baik.


III. Pemeriksaan Fisioterapi

1. Kesan umum

a. Kesadaran : Baik

b. Motivasi : Baik

c. Kognitif : Baik

d. Emosi : Emosi

2. Level fungsional

a. Kemampuan : Kemampuan fungsional An.G

adalah mampu duduk sendiri.

b. Ketidakmampuan : Ketidakmampuan fungsional An.G

adalah tidak mampu berdiri dan

berjalan

3. Tonus postural

a. Kepala-leher : Tonus normal

b. Punggung : Tonus normal

c. Ekstermitas atas : Hipotonus karena tangan ketika

bergerak sedikit lambat.

d. Ekstermitas bawah : Hipotonus karena tungkai tidak

mampu menumpu.

4. Pola postural

a. Stabilitas leher : Axis kepala simetris, control kepala

baik, stabilisasi bahu baik, arah

gerakan lengan baik tapi sedikit


melambat, fungsi tangan untuk

meraih dan menggennggam baik.

b. Stabilitas proksimal : Axis pelvic asimetris lebih tinggi

sebelah kanan, setabilisasi abdominal

baik, arah gerak dan aligment

tungkai kurang baik, fungsi tungkai

untuk menumpu kurang baik.

5. Deformitas

a. Kepala-leher : Tidak ada

b. Punggung : Tidak ada

c. Ekstermitas atas : Tidak ada

d. Ekstermitas bawah : Tidak ada

IV. Diagnosa fisioterapi

a. Imperment : Terdapat gangguan pada kromosom

X pada lokus Xp21 yang

bertanggung jawab terhadap

pembentuk protein dystropin otot

yang menyebabkan terjadinya

kelemahan otot, abnormalitas tonus

berupa hipotonus.

b. Limitation : Terdapat keterbatasan dalam


melakukan aktifitas berdiri dan

berjalan serta keterbatasan dalam

melakukan aktifitas bantu diri.

c. Restriction : Terdapat hambatan dalam

melakukan aktifitas sosial berupa

ketidakmampuan bermain dengan

teman sebaya, dan ketidakmampuan

untuk bersekolah,

3.2 PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI

Setelah dilakukan pengkajian data dan diketahui permasalahannya, maka

tindakan selanjutnya adalah pemberian terapi. Untuk kasus Dystrophy

muscular duchenne modalitas yang diberikan adalah infrared dan terapi

latihan.

3.2.1 Terapi 1 Pada Sabtu, Tanggal 11 Maret 2017

a. Infrared

1. Persiapan alat :

1) Pastikan kabel tersambung dengan sumber arus listrik

2) Tekan tombol On pada mesin

3) Kebel tidak boleh kontak dengan lantai dan pasien

2. Persiapan pasien

Pasien terlentang dengan posisi senyaman mungkin dan bagian yang

diterapi bebas dari pakaian.


3. Pelaksanaan terapi

Posisikan alat pada bagian ekstermitas atas ( shoulder, elbow, wrist)

dan ekstermitas bawah (hip, knee, ankle).

4. Dosis

T : Lominus

T: 10 menit

J : 35-45 cm

F : 1x/hari

5. Selama proses terapi sambil mengontrol keadaan panas dari pasien,

setelah selesai terapi matikan alat dan letakan alat ke tempat semula.

Kemudian menjelaskan kepada pasien bahwa terapi untuk infrared

telah selesai dilakukan dan akan dilanjutkan terapi berikutnya yaitu

Stretching.

b. Strecthing exercise

1. Persiapan pasien

Pasien diposisikan tidur terlentang senyaman mungkin

2. Pelaksanaan terapi

1) Gerakan ke dua tungkai secara bergantian secara pasif di tiap

persendian kesegala arah dan tambah penguluran, lakukan

gerakan ini 8 kali pengulangan.

2) Posisikan salah satu tungkai pada posisi knee fleksi, fiksasi pada

bagian knee. Posisikan dorso fleksi ankle dan kemudian terapis


memberi dorongan pada saat dorso fleksi agar terjadi

penguluran, lakukan secara bergantian dengan tungkai satunya.

3) Dudukkan pasien pada posisi jongkok dengan terapis dibelakang

pasien, tahan posisi ini selama 8 detik. Dan ulangi selama 8 kali

pengulangan.

c. Strengthening exercise

1. Persiapan pasien

Pasien diposisikan tidur terlentang senyaman mungkin

2. Pelaksanaan terapi

1) Istruksikan kepada pasien untuk menggerakkan tangan keatas

seperti posisi Tos dengan terapis, bergantian dengan tangan

yang satunya. Lakukan 8 x 8 hitungan pengulangan.

2) Instruksikan untuk melakukan fleksi elbow dan ekstensi elbow

secara bergantian. Ulangi 8 x 8 hitungan pengulangan.

3) Posisikan salah satu tungkai knee fleksi, instruksikan untuk

menggerakan kearah luar (abduksi) dan kearah dalam (adduksi)

kemudian terapis memberi tahanan disisi lateral dan medial

knee. Lakukan dalam 8 x 8 hitungan pengulangan, ulangi

dengan kaki yang satunya.

4) Posisikan salah satu tungkai untuk hip fleksi dan knee fleksi,

dengan tangan terapi disisi lateral knee dan telapak kaki.

Instruksikan untuk mendorong kaki kearah depan dengan terapis


memberi tahanan. Lakukan dalam 8 x 8 hitungan pengulangan,

ulangi dengan kaki yang satunya.

d. Balance exercise

1. Persiapan pasien

Pasien duduk diatas bed dengan kaki terjuntai kebawah

2. Persiapan alat

Siapkan Bola bobath

3. Pelaksanaan terapi

1) Pasien duduk diatas bed dengan kaki terjuntai kebawah

dengan memeluk bola bobath, posisi terapis di depan pasien.

Kemudian dorong bola bobath ke kanan, ke kiri, dan

kebelakang agar pasien dapat menjaga keseimbangan dengan

memegang bola bobath saat diberi dorongan.

2) Pasien berdiri di dinding dengan terapis didepan pasien

memegang perut dan lutut agar dapat berdiri dengan lurus

dan tidak terjatuh.

3.2.2 Hari ke 2 selasa, 14 maret 2017

a. Infrared

Dosis : T : Lominus

T: 10 menit

J : 35-45 cm

F : 1x/hari

b. Stretching exercise
Dosis : R : 8 kali pengulangan

F : 1x/hari

c. Strengthening exercise

Dosis : R : 8 x 8 hitungan pengulangan

F : 1x/hari

d. Balance exercise

Dosis : R : 5 kali pengulangan

F : 1x/hari

3.2.3 Hari ke 3 kamis, 16 maret 2017

a. Infrared

Dosis : T : Lominus

T: 10 menit

J : 35-45 cm

F : 1x/hari

b. Stretching exercise

Dosis : R : 8 kali pengulangan

F : 1x/hari

c. Strengthening exercise

Dosis : R : 8 x 8 hitungan pengulangan

F : 1x/hari

d. Balance exercise
Dosis : R : 5 kali pengulangan

F : 1x/hari

3.2.4 Hari ke 4

a. Infrared

Dosis : T : Lominus

T: 10 menit

J : 35-45 cm

F : 1x/hari

b. Stretching exercise

Dosis : R : 8 kali pengulangan

F : 1x/hari

c. Strengthening exercise

Dosis : R : 8 x 8 hitungan pengulangan

F : 1x/hari

d. Balance exercise

Dosis : R : 5 kali pengulangan

F : 1x/hari

3.2.5 Hari ke 5 selasa, 21 maret 2017


a. Ifrared

Dosis : T : Lominus

T: 10 menit

J : 35-45 cm

F : 1x/hari

b. Stretching exercise

Dosis : R : 8 kali pengulangan

F : 1x/hari

c. Strengthening exercise

Dosis : R : 8 x 8 hitungan pengulangan

F : 1x/hari

d. Balance exercise

Dosis : R : 5 kali pengulangan

F : 1x/hari

3.2.6 Hari ke 6 kamis, 23 maret 2017

a. Infrared

Dosis : T : Lominus

T: 10 menit

J : 35-45 cm

F : 1x/hari

b. Stretching exercise
Dosis : R : 8 kali pengulangan

F : 1x/hari

c. Strengthening exercise

Dosis : R : 8 x 8 hitungan pengulangan

F : 1x/hari

d. Balance exercise

Dosis : R : 5 kali pengulangan

F : 1x/hari

3.3 Evaluasi

Evaluasi yang telah disusun dengan kriteria dan parameternya.

Diantara tujuan evaluasi adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan terapi

dan tujuan yang diharapkan menetapkan perlu tidaknya modifikasi atau

merujuk ketenaga kesehatan lain. Evaluasi ini dilakukan setelah intervensi

dilakukan. Adapun komponen-komponen yang perlu dilakukan evaluasi

dalam kasus Dystrophy Muscular Duchenne antara lain :

Tabel 3.1
Pemeriksaan aktivitss ADL dengan Indeks Barthel

No Aktivitas Nilai Hasil

T1 T2 T3 T4 T5 T6

1. Feeding (makan dan minum) 10 10 10 10 10 10

 Tidak dapat dilakukan 0

sendiri

 Membutuhkan bantuan 5

dalam beberapa hal.

 Dapat melakukan sendiri 10

atau mandiri.

2. Bathing (mandi) 5 5 5 5 5 5

 Bergantung sepenuhnya. 0

 Dapat melakukan sendiri 5

atau mandiri.

3. Grooming (dandan) 10 10 10 10 10 10

 Membutuhkan bantuan 0

perawatan personal.

 Mandiri (membersihkan 5

wajah, marapikan rambut,

menggosok gigi, mencukur,

dll)
4. Dressing (berpakaian) 10 10 10 10 10 10

 Bergantung sepenuhnya. 0

 Memerlukan bantuan, tapi

tidak sepenuhnya. 5

 Mandiri (termasuk

mengancing baju,memakai 10

ritsleting, mengikat tali

sepatu

5. Fecal (buang air besar) 10 10 10 10 10 10

 Inkotinensi (atau perlu 0

diberikan pencahar)

 Kadang terjadi inkontinensi 5

 Bisa mengontrol agar tidak

inkontinensi. 10

6. Urinary (buang air kecil) 10 10 10 10 10

 Inkontinensi atau 0

memerlukan katerisasi.

 Kadang terjadi 5

inkontinesasi.

 Bisa mengontrol agar tidak 10

Inkontinesasi.

7. Toileting ( ke kamar kecil atau 5 5 5 5 5 5


wc)

 Bergantung sepenuhnya 0

 Memerlukan bantuan, tapi 5

tidak sepenuhnya.

 Mandiri (termasuk 10

membuka dan menutup,

memakai pakaian,

membersihkan dengan lap).

8. Transferring (dari bed ke kursi 5 5 5 5 5 5

dan kembali ke bed)

 Tidak mampu, tidak ada 0

keseimbangan duduk.

 Memerlukan bantuan satu 5

atau dua orang, dapat

duduk.

 Memerlukan bantuan 10

minimal (verbal atau fisik)

 Mandiri sepenuhnya 15

9. Walking ( pada semua level 0 0 0 0 0 0

permukaan)

 Immobile atau >50 yard 0

 Menggunakan kursi roda 5


secara mandiri, termasuk

mendatangi orang 50>yard.

 Berjalan dengan bantuan 10

seseorang(verbal atau fisik)

>50 yard.

 Mandiri sepenuhnya (tidak 15

membutuhkan bantuan

termasuk tongkat).

10 Climbing strairs (menaiki anak 0 0 0 0 0 0

tangga)

 Tidak mampu. 0

 Memerlukan bantuan 5

(verbal, fisik dengan alat

bantu).

 Mandiri sepenuhnya. 10

3.4 Hasil Evaluasi Akhir

Pasien atas nama An.G usia 10 tahun, dengan diagnosa Dystrophy

Muscular Duchenne mendapat penanganan Infrared dan Terapi latihan di

dapatkan hasil Aktivitas fungsional tidak ada peningkatan.

Anda mungkin juga menyukai