Disusun Oleh :
KELOMPOK 14
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya, penyusunan makalah ini dapat terselesaikan. Makalah yang berjudul “
Penanganan Kegawatdaruratan Kasus Trauma Spinal “ ini, disusun sebagai salah satu
tugas mata kuliah Keperawatan Kegawatdaruratan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada bapak. Yang telah membimbing kami
dalam menyelesaikan tugas makalah ini serta berbagai sumber referensi dan anggota
yang ikut membantu baik langsung maupun tidak langsung.
Setelah mempelajari makalah ini, diharapkan mahasiswa keperawatan dapat
memahami dan dapat menerapkan konsep yang telah dijelaskan dalam makalah ini.
Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu
kami mengharap kritik dan saran dari berbagai pihak yang bersifat membangun sehingga
makalah ini akan sempurna.
Kelompok 14
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..............................................................................................i
Daftar Isi........................................................................................................ii
Bab I Pendahuluan.......................................................................................1
A. Latar belakang............................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................2
C. Tujuan.........................................................................................................2
Bab II Pembahasan.......................................................................................4
A. Patofisiologi , Farmakologi spinal ..........................................................4
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan spinal...............................................4
C. Pencegahan spinal.................................................................................... 5
D. Persiapan . Penatalaksanaan , Pemeriksaan diagnostic spinal................... 6
E. Simulasi Pendidikan Kesehatan spinal............................................................8
F. Hasil Penelitian Trauma Spinal............................................................................9
G. Evidence Based Practice pada Cedera Spinal.................................................... 10
ii
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1.2 tujuan
Tujuan dalam pembuatan makalah ini meliputi dua bagian yaitu :
A. Patofisiologi
Patofisiologi spinal cord injury (cedera spinal) menjelaskan dua mekanisme cedera
yaitu cedera primer, kerusakan awal akibat cedera mekanis. Serta cedera sekunder,
cedera yang terjadi akibat cedera primer yang ditandai dengan perdarahan, edema,
dan iskemia.
Cedera Primer
Cedera primer pada medula spinalis dapat bersifat komplit ataupun inkomplit. Hal
ini disebabkan oleh cedera mekanik, berupa :
Kompresi
Distraksi
Laserasi
Transeksi
13
Cedera Sekunder
Cedera sekunder dimulai setelah cedera primer berlangsung. Proses patologis ini
didasari oleh berbagai mekanisme yang menyebabkan kekurangan energi akibat
gangguan perfusi seluler dan iskemia. Cedera sekunder dibagi menjadi tiga fase,
yaitu:
Fase Akut
Fase Subakut/Intermediate
Fase Kronik
Fase intermediate diikuti oleh fase kronik yang ditandai dengan maturasi dan
stabilisasi scar astrositik, pembentukan syrinx dan kavitas, dan degenerasi
wallerian (degenerasi akson di bagian distal cedera). Sekuele jangka panjang
meliputi nyeri kronik dan spastisitas. Target terapi pada periode ini adalah
14
remyelinisasi dan plastisitas sistem saraf.
Farmakologi
Tujuan farmakoterapi pada cedera spinal adalah meningkatkan fungsi motorik dan
sensorik.
Penggunaan methylprednisolone sebagai terapi utama cedera spinal akut masih
kontroversial. Beberapa studi melaporkan adanya efek samping terkait pemberian
methylprednisolone dosis tinggi, seperti perdarahan gastrointestinal dan
kecenderungan peningkatan adverse event lainnya. The Congress of Neurological
Surgeons (CNS) menyatakan pemberian terapi steroid hanya boleh dilakukan jika
efek samping lebih kecil dibanding manfaat klinis.
Pada pasien acute spinal cord injury (cedera spinal akut) dengan defisit neurologi,
pemberian methylprednisolone dosis tinggi 8 jam pasca cedera terbukti
meningkatkan pemulihan neurologi dan mengurangi efek sekunder dari cedera
spinal akut. Dosis yang dianjurkan adalah methylprednisolone 30 mg/kgBB
diberikan secara bolus intravena selama 15 menit, diikuti jeda 45 menit dan
dilanjutkan maintenance 5,4 mg/kkgBB/jam selama 24 jam kemudian.
methylprednisolone dipercaya dapat mengurangi edema, mencegah deplesi kalium
intraseluler dan menghambat peroksidasi lipid.
Pemberian obat analgetik menjadi modalitas penting dalam manajemen nyeri.
Analgetik yang disetujui Food and Drug Administration (FDA) dalam manajemen
nyeri neuropatik terkait cedera spinal adalah pregabalin.
15
Kronis Data Obyektif 1. Airway - adanya desakan otot diafragma dan interkosta
akibat cedera spinal sehingga mengganggu jalan napas 2. Breathing - Pernapasa
dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan dinding dada 3. Circulation -
Hipotensi (biasanya sistole kurang dari 90 mmhg), Bradikardi, Kulit teraba hangat
dan kering, Poikilotermi (Ketidakmampuan mengatur suhu tubuh, yang mana suhu
tubuh bergantung pada suhu lingkungan) 4. Disability - Kaji Kehilangan sebagian
atau keseluruhan kemampuan bergerak, kehilangan sensasi, kelemahan otot
2. Pengkajian sirkulasi :
- cari tanda pendarahan yang terjado bersamaan pada area abdomen atau
retroperitoneal
- fraktur pelvis atau tulang panjang penyebab utama kehilangan darah
- cek tanda –tanda pada warna kulit sebagai indikasi perfusi
- kaji tingkat kesadaran
- pemeriksaan punggung pasien dengan teknik logroll tetap menjga
aligament spinal cek nyeri tekan ,eksmosis dan luka terbuka ,kaji tonus
otot spingter dan adanya “anal wink”(kontraksi spingter sebagai respons
terhadap stimulus seperti tusukan kecil pada bagian proksimal )
-
3. Pengkajain neurologis
- Kaji fungsi motoric dengan enam point American spinal injury
asociaation scale :
0 tidak ada kontraksi atau pergerakan
1 minimal pergerakan
16
2 pergerakan aktif tetapi tidak melawan gravitasi
3 pergerakan aktif melawan gravitasi
4 pergerakan aktif melawan tahanan
5 pergerakan aktif melawan tahanan penuh
o Bandingkan ekstermitas atas dan bawah kanan dan kiri
o Kaji tonus rectum
o Kaji ulang dengan jarak yang frekuen
Diagnosa Keperawatan
1) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi ditandai dengan
dispnea,terdapat otot bantu napas
2) Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan penyumbatan aliran
darah ditandai dengan bradikardi, nadi teraba lemah, terdapat sianosis, akral teraba
17
dingin, CRT > 2 detik, turgor tidak elastis, kelemahan, AGD abnormal
3) Nyeri akut berhubungan dengan gangguan neurologis
4) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular ditandai
dengan paralisis dan paraplegia pada ekstremitas.
5) Kerusakan eliminasi urine berhubungan dengan kerusakan sensori motorik
ditandai dengan kehilangan kontrol dalam eliminasi urine.
6) Risiko decera berhubungan dengan penurunan kesaradaran.
Rencana Tindakan
Intervensi Mandiri :
1. Pantau ketat tanda-tanda vital dan pertahankan ABC R/ : Perubahan pola nafas
dapat mempengaruhi tanda-tanda vital
2. Monitor usaha pernapasan pengembangan dada, keteraturan pernapasan nafas
bibir dan penggunaan otot bantu pernapasan.10 R/ : Pengembangan dada dan
penggunaan otot bantu pernapasan mengindikasikan gangguan pola nafas
3. Berikan posisi semifowler jika tidak ada kontra indiksi R/ : Mempermudah
ekspansi paru
18
4. Gunakan servikal collar, imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah
tulang belakang. R/ : Stabilisasi tulang servikal
Kolaborasi :
1. Berikan oksigen sesuai indikasi R/ : Oksigen yang adekuat dapat menghindari
resiko kerusakan jaringan
2. Berikan obat sesuai indikasi R/ : Medikasi yang tepat dapat mempengaruhi
ventilasi pernapasan Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan
penyumbatan aliran darah ditandai dengan bradikardi, nadi teraba lemah, terdapat
sianosis, akral teraba dingin, CRT > 2 detik, turgor tidak elastis, kelemahan, AGD
abnormal
C. Pencegahan
Cedera spinal terjadi melalui beberapa mekanisme yang berbeda, seperti kecelakaan
lalu lintas, terjatuh, kekerasan, atau aktivitas pada tempat kerja, olahraga bahkan di
rumah.Strategi pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan upaya berdasarkan
etiologinya seperti:
Cedera Trauma
Olahraga : menggunakan alat pelindung diri yang tepat sesuai dengan jenis
olahraga.
19
Cedera Non Traumatik
D. Persiapan
20
Penatalaksanaan
Pemeriksaan diagnostic
Radiografi tulang servikal ,Radiografi throkal dan lumbal ,Ct scan , MRI
21
pasien dari satu tempat ke tempat lain, baik menggunakan alat transport seperti
ambulance, dan branker yang berguna sebagai pengangkut pasien gawat darurat.
22
dengan tenaga terutama pada paha dan bukan dengan membungkuk angkatlah
dengan paha, bukan dengan punggung. Panduan dalam mengangkat penderita
gawat darurat.
a. Kenali kemampuan diri dan kemampuan pasangan kita.
b. Diangkat secara bersama dan bila merasa tidak mampu jangan dipaksakan 7
c. Ke-dua kaki berjarak sebahu kita, satu kaki sedikit didepan kaki sedikit
sebelahnya
d. Berjongkok, jangan membungkuk, saat mengangkat
e. Tangan yang memegang menghadap kedepan
f. Tubuh sedekat mungkin ke beban yang harus diangkat. Bila terpaksa jarak
maksimal tangan dengan tubuh kita adalah 50 cm
g. Jangan memutar tubuh saat mengangkat
h. Panduan diatas berlaku juga saat menarik atau mendorong penderita
23
• Profesioanl kedua dapat dokter atau perawat. Seorang dokter harus
menemanipasien dengan instabilitas fisiologik dan pasien yang membutuhkan
urgent action
24
pasien dengan cedera tulang belakang atau anggota badan yang diduga. Long Spine
Board terutama diindikasikan dalam kasus trauma di mana tenaga medis atau
penyelamatan percaya bahwa ada kemungkinan cedera tulang belakang (Nelson &
Baptiste, 2004; Nursingtimes, 2012). LSB biasanya terbuat dari bidai kayu yang keras
atau benda yang sintetis yang tidak akan menyerap darah dengan panjang sekitar 2
meter.
25
Perawat III berdiri di bagian kaki
8) Lengan kiri perawat I berada di bawah kepala/leher dan pangkal lengan pasien,dan
lengan kanan dibawah punggung pasien
9) Lengan kiri perawat II dibawah pinggang pasien, lengan kanan dibawah bokong
pasien.
10) Kedua lengan perawat III mengangkat seluruh tungkai pasien.
11) Setelah siap, salah seorang perawat memberi aba-aba untuk bersama-sama
mengangkat pasien.
12) Dengan langkah bersamaan, berjalan menuju ke tempat tidur / brankar yang telah
disiapkan.
13) Setelah pasien berada di atas TT/brankar, posisi pasien diatur, selimut dipasang atau
dirapikan.
26
3. Memindahkan Pasien Dengan Cara Log Roll
Log roll adalah sebuah teknik yang digunakan untuk memiringkan klien yang
badannya setiap saat dijaga pada posisi lurus sejajar (seperti sebuah batang kayu).
Contohnya untuk klien yang mengalami cidera spinal. Asuhan yang benar harus
dilakukan untuk mencegah cidera tambahan. Teknik ini membutuhkan 2-5 perawat.
Untuk klien yang mengalami cidera servikal, seorang perawat harus mempertahankan
kepala dan leher klien tetap sejajar (Berman, 2009).
Tujuan dari Log roll yaitu untuk mempertahankan alignment anatomis yang
benar dalam usaha untuk mencegah kemungkinan cedera neurologis lebih lanjut dan
mencegah penekanan area cedera.
27
1. Jelaskan prosedur pada pasien dengan mempertimbangkan status kesadaran klien
dan minta klien untuk tetap berbaring dan menunggu bantuan. Pastikan colar
terpasang dengan benar.
2. Jika mungkin, pastikan peralatan seperti kateter indwelling, kateter interkosta,
ventilator tube dan lain-lain pada posisinya untuk mencegah overekstensi dan
kemungkian tertarik keluar selama perubahan posisi.
3. Jika klien diintubasi atau terpasang tracheostomy tube, suction jalan nafas
sebelum log roll dianjurkan, untuk mencegah batuk yang mugkin menyebabkan
malalignment secra anatomis selama prosedur log roll.
4. Tempat tidur harus diposisikan sesuai tinggi badan penolong yang menahan kepala
dan penolong lainnya.
5. Klien harus dalam posisi supine dan alignment secara anatomis selama prosedur
log roll.
6. Tangan proksimal klien harus diaduksi sedikit untuk menghindari berpindah ke
peralatan monitor misalnya selang intravena perifer. Tangan distal klien harus
diekstensikan dengan alignment pada thorak dan abdomen, atau tekuk kearah dada
klien jika mungkin misalnya jika tangan cedera. Satu bantal harus ditepatkan
diantara kaki-kaki klien.
7. Penolong 1, bantu menahan bagian atas badan klien, tempatkan satu tangan
melampaui bahu klien untuk menopang area dada posterior, dan tangan yang lain
melingkari paha klien.
8. Penolong 2, bantu menahan abdomen dan tangan bawah klien, bertumpuk dengan
penolong 1 untuk menempatkan satu tangan di bawah punggung klien, dan tangan
lainnya melingkari betis klien.
9. Dengan aba-aba dari penolong panahan kepala, klien diputar secara alignment
anatomis denga tindakan yang lembut.
10. Penyelesaian aktivitas, penolong penahan kepala akan memberi aba-aba untuk
mengembalikan klien pada posisi lateral dengan bantal penahan. Klien harus
ditingggalkan dalam posisi alignment anatomis yang benar setiap waktu.
28
Hasil pencarian elektronik dari basis data sumber PubMed, Embase, dan Cochrane
didapatkan 949 artikel yang berhubungan dengan kata kunci. Sedangkan pada
pencarian manual jurnal sumber jurnal lain dengan bahasa Indonesia tidak
didapatkan artikel yang relevan. Setelah dilakukan eliminasi dari duplikasi judul
serta relevansi dari judul artikel dan abstrak, didapatkan artikel sebanyak 176
artikel. Selanjutnya dilakukan eksklusi pada artikel yang tidak memenuhi kriteria
inklusi, yaitu data yang tidak mencantumkan atau tidak mengevaluasi secara
lengkap status neurologis pasien, penelitian yang tidak membahas tentang trauma
pada servikal atau membahas gabungan dengan level vertebra yang lain, dan
penelitian yang tidak membagi tindakan pembedahan dekompresi. Tiga penelitian
yang diuji berasal dari Amerika Serikat, Kanada, dan Pakistan, diterbitkan pada
tahun 1991 sampai 2014, terdiri dari 2 penelitian kohort prospektif dan 1 penelitian
kohort retrospektif. Jumlah pasien yang terlibat pada tindakan pembedahan
dekompresi dini kurang dari 24 jam adalah 193 pasien, sedangkan jumlah pasien
yang terlibat pada tindakan dekompresi tertunda lebih dari 24 jam adalah 196 pasien
. Dilakukan evaluasi perbaikan status neurologis dari ketiga studi tersebut. Dari total
193 orang dilakukan tindakan pembedahan dekompresi dini kurang dari 24 jam,
didapatkan sejumlah 122 pasien mengalami perbaikan status neurologis, Sedangkan
pada 196 orang dilakukan pembedahan dekompresi tertunda lebih dari 24 jam,
didapatkan sejumlah 98 pasien yang mengalami perbaikan status neurologis.
Penilaian bias dari publikasi antar literatur dengan analisis funnel plot tidak dapat
kami lakukan karena jumlah literatur yang terlalu sedikit. Meskipun demikian, dari
uji variabilitas didapatkan homogenitas diantara literatur
29
Namun yang perlu diperhatikan khusus untuk korban pingsan karena kecelakaan,
tidak boleh langsung dipindahkan karena dikhawatirkan ada tulang yang patah. Biarkan
di tempatnya sampai petugas medis datang. Berbeda dengan korban orang tenggelam
dan serangan jantung yang harus segera dilakukan CPR.
Chain of survival merupakan suatu serial tindakan yang harus dilakukan pada
pasien yang mengalami henti jantung. Chain of survival terdiri dari lima unsur,yakni:
pengenalan dini henti jantung, pemberian CPR secara dini, pemberian defibrilator
sesegera mungkin, penatalaksanaan ALS (Advance Life Support), dan perawatan pasca
henti jantung.
Rantai kehidupan (chain survival) terdiri dari beberapa tahap berikut ini (AHA,
2010):
1. Mengenali sedini mungkin tanda-tanda cardiac arrest dan segera mengaktifkan
2. panggilan gawat darurat (Emergency Medical Services)
3. Segera melakukan RJP dengan tindakan utama kompresi dada
4. Segera melakukan defibrilasi jika ada indikasi
5. Segera memberi bantuan hidup lanjutan (advanced life support)
6. Melakukan perawatan post cardiac arrest
b. Indikasi
1. Pasien henti nafas
Henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernafasan dari
korban atau pasien. Henti nafas merupakan kasus yang harus dilakukan tindakan
Bantuan Hidup Dasar. Henti nafas terjadi dalam keadaan seperti: Tenggelam atau lemas,
stroke, obstruksi jalan nafas, epiglotitis, overdosis obat-obat, tersengat listrik, infark
miokard, tersambar petir, koma akibat berbagai macam kasus.
2. Pasien henti jantung
Pada saat terjadi henti jantung, secara langsung akan terjadi henti sirkulasi. Henti
sirkulasi ini akan dengan cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan oksigen.
Pernafasan yang terganggu merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung. Henti
jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba disertai kebiruan atau pucat,
pernafasan berhenti atau satu-satu, dilatasi pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya
dan pasien tidak sadar (Suharsono, T., & Ningsih, D. K., 2008).
30
c. Alur Basic Life Support
1. Tahapan persiapan
Sebelum melakukan resusitasi maka harus dilakukan beberapa prosedur berikut pada
pasien (AHA, 2010):
Memastikan kondisi lingkungan sekitar aman bagi penolong
Memastikan kondisi kesadaran pasien
Penolong harus segera mengkaji dan menentukan apakah korban sadar/tidak. Penolong
harus menepuk atau menggoyang bahu korban sambil bertanya dengan jelas: ‘Hallo,
Pak/ Bu! Apakah anda baik-baik saja?’.Jangan menggoyang korban dengan kasar karena
dapat mengakibatkan cedera. Juga hindari gerakan leher yang tidak perlu pada kejadian
cedera kepala dan leher.
Mengaktifkan panggilan gawat darurat
Jika korban tidak berespon, segera panggil bantuan. Jika ada orang lain disekitar korban,
minta orang tersebut untuk menelpon ambulans dan ketika menelpon memberitahukan
hal-hal berikut:
Lokasi korban
Apa yang terjadi pada korban
Jumlah korban
Minta ambulans segera datang
Memastikan posisi pasien tepat
Agar resusitasi yang diberikan efektif maka korban harus berbaring pada permukaan
yang datar, keras, dan stabil. Jika korban dalam posisi tengkurap atau menyamping,
maka balikkan tubuhnya agar terlentang. Pastikan leher dan kepala tersangga dengan
baik dan bergerak bersamaan selam membalik pasien.
2. Fase-fase RJP (Resusitasi Jantung Paru) Sesuai Algoritma AHA 2010
a. Basic life support (BLS) atau tunjangan hidup dasar
Pada tahun 2010, American Heart Association (AHA) mengeluarkan panduan terbaru
penatalaksanaan CPR. Berbeda dengan panduan sebelumnya, pada panduan terbaru ini
AHA mengubah algoritma CPR dari ABC menjadi CAB.
Circulation (C)
31
Mengkaji nadi/ tanda sirkulasi Ada tidaknya denyut jantung korban/pasien dapat
ditentukan dengan meraba arteri karotis di daerah leher korban/ pasien, dengan dua atau
tiga jari tangan (jari telunjuk dan tengah) penolong dapat meraba pertengahan leher
sehingga teraba trakhea, kemudian kedua jari digeser ke bagian sisi kanan atau kiri kira-
kira 1–2 cm raba dengan lembut selama 5–10 detik. Jika teraba denyutan nadi, penolong
harus kembali memeriksa pernapasan korban dengan melakukan manuver tengadah
kepala topang dagu untuk menilai pernapasan korban/ pasien. Jika tidak bernapas
lakukan bantuan pernapasan, dan jika bernapas pertahankan jalan napas.
Melakukan kompresi dada Jika telah dipastikan tidak ada denyut jantung luar,dilakukan
dengan teknik sebagai berikut :
Menentukan titik kompresi (center of chest): Cari possesus xypoideus pada sternum
dengan tangan kanan, letakkan telapak tangan kiri tepat 2 jari diatas posseus xypoideus.
Melakukan kompresi dada
Kaitkan kedua jari tangan pada lokasi kompresi dada, luruskan kedua siku dan pastikan
mereka terkunci pada posisinya, posisikan bahu tegak lurus diatas dada korban dan
gunakan berat badan anda untuk menekan dada korban sedalam minimal 2 inchi (5 cm),
lakukan kompresi 30x dengan kecepatan minimal 100x/menit atau sekitar 18 detik. (1
siklus terdiri dari 30 kompresi: 2 ventilasi). Lanjutkan sampai 5 siklus CPR, kemudian
periksa nadi carotis, bila nadi belum ada lanjutkan CPR 5 siklus lagi. Bila nadi teraba,
lihat pernafasan (bila belum ada upaya nafas) lakukan rescue breathing dan check nadi
tiap 2 menit.
Airway (A) Tindakan ini bertujuan mengetahui ada tidaknya sumbatan jalan napas oleh
benda asing. Buka jalan nafas dengan head tilt-chin lift/ jaw thrust. Jika terdapat
sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau sumbatan berupa cairan dapat dibersihkan
dengan jari telunjuk atau jari tengah yang dilapisi dengan sepotong kain (fingers weep),
sedangkan sumbatan oleh benda keras dapat dikorek dengan menggunakan jari telunjuk
yang dibengkokkan. Mulut dapat dibuka dengan teknik Cross Finger, dimana ibu jari
diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk pada mulut korban.
Breathing (B) Bantuan napas dapat dilakukkan melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung
atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan) dengan cara memberikan
hembusan napas sebanyak 2 kali hembusan, waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali
32
hembusan adalah 1,5–2 detik dan volume udara yang dihembuskan adalah 7000–1000ml
(10ml/kg) atau sampai dada korban/pasien terlihat mengembang. Penolong harus
menarik napas dalam pada saat akan menghembuskan napas agar tercapai volume udara
yang cukup. Konsentrasi oksigen yang dapat diberikan hanya 16 – 17%. Penolong juga
harus memperhatikan respon dari korban/pasien setelah diberikan bantuan napas.
33
terlebih dahulu untuk memberikan kesempatan hidup pada korban tersebut . Seperti
semua penderita trauma lainnya, mekanisme trauma penting diketahui untuk penanganan
penderita trauma dada. Cedera dada meungkin merupakan akibat dari trauma tumpul
atau trauma tajam. Pada trauma tumpul energy yang didistribusikan meliputi area yang
luas dan cedera visceral dapat disebabkan karena deselerasi, robekan, kompresi atau
ledakan. Luka penetrasi biasanya berasal dari tembakan atau tusukan, energy yang
didistribusikan meliputi area yang lebih sempit. Terjangan peluru sering sulit
diperkirakan akibatnya, dan semua yang berada di dalam dada beresikoterkena. Hasil
akhir yang paling sering terjadi pada cedera dada adalah hipoksia jaringan.
https://pdfcoffee.com/kel-1-3a-makalah-kegawatdaruratan-persyarafan-trauma-
kepala-dan-cidera-spinal-pdf-free.html
Imobilisasi
Melakukan imobilisasi merupakan pilihan utama untuk penanganan pada pasien
multitrauma. Pilihan tindakan imobilisasipun paling disarankan untuk pasien-pasien
dengan cedera tulang belakang. Menurut Debebe, Woldetsadik, Laytin, Azazh, &
Maskalyk (2016) melakukan imobilisasi merupakan pilihan tindakan bagi pasien
dengan cedera tulang belakang. Hal ini didukung oleh hasil penelitian lain menurut
Hood & Considine (2015) yang menyatakan di dalam tinjauan literatur yang
dipublikasikan, bahwa ada yang sebanyak 15 penelitian yang mendukung tindakan
imobilisasi, namun ada juga yang tidak mendukung, yaitu sebanyak 19 hasil
penelitian. Tentunya dalam melaksanakan tindakan imobilisasi, tetap memiliki
34
dampak, yaitu pada hasil neurologis, pencegahan pergerakan, posisi tulang
belakang, mengurangi nyeri atau meningkatkan kenyamanan. Namun, pada
berdasarkan tinjauan literatur yang dilaksanakan, nyatanya tidak ditemukan
penelitian tingkat tinggi yang sudah dipublikasi yang telah menilah keampuhan
imobilisasi tulang belakang, sebab untuk prosedur ini juga memiliki dampak pada
sistem pernapasan, kardiovaskular, cedera lain seperti akibat tertekan. Sehingga
imobilisasi disarankan, tetapi dengan mempertimbangkan kemungkinan cedera
lanjutan atau keuntungan yang lebih besar.
Karena berbagai pertimbangan terkait prosedur imobilisasi, maka melalui hasil
penelitian Larson, Delnat, & Moore (2017) diajukan beberapa hal untuk menjadi
pertimbangan sebelum memutuskan untuk imobilisasi pasien terutama dengan
menggunakan cervical spine bagi pasien trauma, yaitu dengan melakukan
pengkajian kepada pasien trauma berdasarkan kriteria The National Emergency
XRadiography Utilization Study (NEXUS) atau dengan menggunakan kriteria
berdasarkan The Canadian C-Spine Rules (CCSR). Keduanya merupakan alat ukur
atau skrining yang dapat digunakan untuk membantu mengoptimalkan sumber daya,
mengurangi paparan radiasi dan mengurangi biaya yang tidak perlu. Penggunaan
criteria NEXUS untuk memastikan status pasien dalam risiko rendah dengan cara
memastikan tidak ditemukan adanya luka yang mengganggu, tidak ada nyeri di
bagian posterior dari leher, secara neurologis tidak tampak defisit, pasien dalam
keadaan sadar tanpa disertai adanya tanda-tanda keracunan, maka dapat diputuskan
bahwa pasien tidak membutuhkan prosedur pencitraan. Sedangkan kriteria CCSR
memperhitungkan faktor-faktor yang menyebabkan risiko tinggi, diantaranya adalah
pasien lansia, adanya defisit neurologis seperti parastesia, dan juga
memperhitungkan mekanisme injuri yang membutuhkan adanya prosedur
pencitraan. Jika faktor risiko tinggi tidak tampak setelah prosedur pemeriksaan,
maka pemeriksaan untuk faktor risiko rendah yang diutamakan untuk menentukan
apakah pasien perlu menjalani prosedur imobilisasi atau tidak. Perbedaan besar
antara NEXUS dan CCSR adalah perihal mekanisme cedera, namun belum ada
kesepakatan, pedoman mana yang lebih direkomendasikan. Namun, bukan berarti
pendekatan imobilisasi tulang belakang kemudian dikesampingkan, tetapi sebuah
35
penatalaksanaan awal untuk pencegahan cedera lebih lanjut sembari melanjutkan
prosedur pemeriksaan untuk penegakkan diagnosa yang lebih pasti. Selain itu, perlu
dipertimbangkan beberapa hal menurut The National Association of EMS
Physicians and the American College of Surgeons Committee on Trauma tahun
2013 bahwa imobilisasi tulang belakang direkomendasikan bagi pasien dengan
tanda-tanda nyeri dan ketidaknyamanan pada daerah tulang belakang, mengalami
trauma tumpul disertai penurunan kesadaran, keluhan neurologic, adanya tanda
deformitas tulang belakang yang sangat jelas, riwayat mengalami cedera sebagi
dampak dari energy yang tinggi, keracunan atau ketidakmampuan untuk
berkomunikasi, (Kanwar et al., 2015).
Pengkajian
Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa penting untuk melaksanakan
pengkajian primer dengan memperhitungkan ABCDE yang dimiliki pasien serta
mekanisme cedera yang dialami oleh pasien. Kanwar, Delasobera, Hudson, &
Frohna (2015) dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa setelah pasien
menjalani prosedur imobilisasi, maka penting untuk menjamin stabilitas jalan napas
dan mempertahankan sirkulasi yang baik. Pilihan untuk melakukan jalan napas
definitif tidak begitu disarankan dean menjadi dilemma, terutama saat keputusan
untuk melakukan intubasi yang kemungkinan akan memperburuk kondisi trauma.
Namun, beberapa artikel penelitian di dalam tinjauan sistematis yang dilakukan
Kanwar et al. (2015) memberikan hasil bahwa pilihan untuk melakukan intubasi
setelah pasien diimobilisasi adalah suatu pilihan yang aman dan efektif. Selain itu,
telah dilakukan penelitian dengan model jenazah, yang menyatakan bahwa ketika
dilakukan intubasi, tidak ada pergesaran vertebra terutama pada saat pasien sedang
imobilisasi pada satu garis lurus. Jadi, pilihan untuk membebaskan jalan napas
adalah benar dan penting untuk dilakukan.
Pilihan untuk melakukan intubasi diindikasikan bagi pasien dengan status
imobilisasi dengan berbagai criteria, yaitu adanya obstruksi jalan napas total atau
sangat parah dengan tanda-tanda pembengkakan, adanya tanda luka bakar,
hematoma, trauma maxillofacial, skor GCS < 9 disertai kondisi yang semakin
36
memburuk. Manifestasi lain yang perlu dipertimbangkan adalah kegagalan
pernapasan atau kemungkinan untuk jatuh dalam kondisi gagal napas, cedera
kepala, perubahan perilaku serta adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intra
cranial. Perlu diingat bahwa pemberian oksigen dan mengusahakan pembebasan
jalan napas untuk mendapat suplai oksigen yang lebih besar adalah upaya prioritas
untuk mencegah akibat sekunder dari cedera tulang belakang, (Winter et al., 2017).
Selain mempertahankan kepatenan jalan napas, yang perlu diperhatikan juga adanya
kegagalan napas sebagai akibat dari cedera tulang belakang. Hal inipun menjadi
penyebab kematian yang cukup besar. Perlu diingat bahwa daerah diafragma
dipersyarafi oleh segmen C3 sampai C5 dari spinal cord. Oleh karena itu, jikalau
cedera yang terjadi di atas segemen C3, maka pasien pasti mengalami apnea,
sehingga pilihan untuk membuat airway definitive adalah prioritas untuk
dilaksanakan. Jika cedera terjadi pada segemen C3 sampai C5, maka untuk
kebutuhan ventilasi, pasien memiliki ketergantungan jangka panjang. Jika cedera
terjadi di bawah segmen C5, maka diafragma pasien tetap dalam kondisi normal,
namun berada dalam kondisi gagal napas terutam pada fase awal dari cedera.
(Winter et al., 2017)
Penatalaksanaan untuk circulation perlu memperhatikan perbedaan antara syok
hipovolemik dengan syok nerogenik. Menurut Kanwar et al., (2015) terdapat
beberapa perbedaan dari syok hipovolemik dan neurogenik, yang didukung juga
dengan hasil penelitian dari Winter et al., (2017) yang menyatakan bahwa syok
hipovolemik dapat disebabkan oleh berbagai penyebab, namun syok neurogenik
terjadi secara khusus pada kondisi cedera tulang belakang. Berbagai tanda dapat
terjadi sesuai dengan bagian spinal yang mengalami cedera. Semakin tinggi posisi
spinal yang cedera, maka semakin luas kerusakan yang dialami oleh pasien. Syok
neurogenik dapat terjadi mulai 24 jam pertama dan bertahan dalam waktu beberapa
minggu setelah itu. Perlu diingat bahwa spinal syok merupakan suatu kondisi
kehilangan refleks sesuai derajat cedera yang dialami oleh tulang belakangyang
menyebabkan kelemahan. Namun, spinal syok bukanlah neurogenik syok, meskipun
spinal syok sering selalu berhubungan dengan syok neurogenik dan kondisi
hipotensi, (Winter et al., 2017).
37
Muskananfola, I.L. 2018. Penanganan Pasien Dengan Cedera Tulang Belakang di
Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit.
Kanwar, R., Delasobera, B. E., Hudson, K., & Frohna, W. (2015). Emergency
department evaluation and treatment of cervical spine injuries. Emergency Medicine
Clinics of North America, 33(2), 241–282.
https://doi.org/10.1016/j.emc.2014.12.002
Debebe, F., Woldetsadik, A., Laytin, A. D., Azazh, A., & Maskalyk, J. (2016). The
Clinical Profile and Acute Care of Traumatic Spinal Cord Injury at a tertiary care
emergency centre in Addis Ababa, Ethiopia.. African Journal of Emergency
Medicine,6(4),180–184. https://doi.org/10.1016/j.afjem.2016.06.001
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari makalah diatas tentang peran perawat dalam rehabilitasi pada pasien dengan
masalah dan spinal cord injuri (termasuk bowel syndrome) dapat kita ambil
kesimpulan bahwa : 1. Spinal Cord Injury (SCI) adalah kerusakan atau trauma pada
sumsum tulang belakang yang mengakibatkan kerugian atau gangguan fungsi
menyebabkan mobilitas dikurangi atau perasaan. 2. Prinsip-prinsip utama
penatalaksaan trauma Spinal : • Immobilasi • Stabilisasi medis • Mempertahankan
posisi normal vetenrata (“spinal aligment”) • Dekompresi dan stabilisasi spinal •
Rehabilisasi 3. Bowel trining dan bladder training Membantu pasien untuk training
dan bladdek melatih bowel terhadap evakuasi interval yang spesifik, dengan tujuan
untuk melatih bowel secara rutin pada pasien yang mengalami gangguan pola
bowel, dilakukan pada pasien yang mengalami masalah eliminasi bowel tidak
teratur
38
14
B. Saran
1. Diharapkan dengan hadirnya makalah ini mahasiswa/i dapat meningkatkan
rasa ingin tahu mengenai isi makalah yang berjudul peran perawat dalam
rehabilitasi pada pasien dengna masalah dan spinal cord injuri(termasuk bowel
syndrome)
2. Diharapkan mahasiswa/i dapat menjadikan makalah ini sebagai reperensi
bacaan dalam mata kuliah rehabilitasi keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT. Spinal cord injury. In: Narayan RK, editor.
Neurotrauma Vol II. Mc-GrawHill. New York. 1996; II;1041-112.
2. Derwenskus J, Zaidat O. Spinal cord injury and related disease. In: Suarez JI, editor.
Critical Care Neurology and Neurosurgery. New Jersey: Humana Pres, 2004;
433-48.
3. Kelompok Studi Neurotraumatologi. PERDOSSI. Konsensus Trauma Kepala dan
Medula Spinalis. 2006.
4. Basuki A. Cedera medula spinalis akut. In: Basuki A, Dian S, editors.
Kegawatdaruratan Neurologi. Bandung: Bagian/UPF Ilmu Penyakit Saraf FK
UNPAD/RSHS, 2010; p. 123-49.
5. Baskin DS. Spinal cord injury. In: Evans RW, editor. Neurology and Trauma. New
York: Oxford University Press, 2006; p. 265-344.
6. Sullivan SJ, Hassan DG. Spinal trauma. In: Manji H, Connolly S, Dorward N, Kitchen
N, Mehta A, Wils A, editors. Maja JPS, Diagnosis dan Penatalaksanaan Cedera
Servikal... 189 Neurotrauma. Oxford American Handbook of Neurology.
Philadelphia: Oxford University Press, 2010; p. 356- 65.