Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

“ Penanganan Kegawatdaruratan Kasus Trauma Spinal “

Disusun Oleh :

Eka Putri Kumala Dewi P07220219087


Nurul Alifah P07220219031
Raisyah Chairunnisyah P07220219036
Simanullang , Yuliana Dortauli P07220219119

KELOMPOK 14

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES KALTIM
PRODI PENDIDIKAN NERS
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya, penyusunan makalah ini dapat terselesaikan. Makalah yang berjudul “
Penanganan Kegawatdaruratan Kasus Trauma Spinal “ ini, disusun sebagai salah satu
tugas mata kuliah Keperawatan Kegawatdaruratan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada bapak. Yang telah membimbing kami
dalam menyelesaikan tugas makalah ini serta berbagai sumber referensi dan anggota
yang ikut membantu baik langsung maupun tidak langsung.
Setelah mempelajari makalah ini, diharapkan mahasiswa keperawatan dapat
memahami dan dapat menerapkan konsep yang telah dijelaskan dalam makalah ini.
Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu
kami mengharap kritik dan saran dari berbagai pihak yang bersifat membangun sehingga
makalah ini akan sempurna.

Samarinda , 20 September 2021

Kelompok 14

i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..............................................................................................i
Daftar Isi........................................................................................................ii
Bab I Pendahuluan.......................................................................................1
A. Latar belakang............................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................2
C. Tujuan.........................................................................................................2
Bab II Pembahasan.......................................................................................4
A. Patofisiologi , Farmakologi spinal ..........................................................4
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan spinal...............................................4

C. Pencegahan spinal.................................................................................... 5
D. Persiapan . Penatalaksanaan , Pemeriksaan diagnostic spinal................... 6
E. Simulasi Pendidikan Kesehatan spinal............................................................8
F. Hasil Penelitian Trauma Spinal............................................................................9
G. Evidence Based Practice pada Cedera Spinal.................................................... 10

Bab III Penutup..........................................................................................14


A. Kesimpulan..............................................................................................14
B. Saran.........................................................................................................14
Daftar Pustaka

ii
2

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya seorang individu memerlukan


interaksi atau dengan kata lain memerlukan suatu hubungan sosial dengan masyarakat
disekitarnya, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik dalam segi biologis, psikologis
dan juga kebutuhan sosialnya. Berinteraksi berarti seorang individu harus berhubungan
dengan manusia lainnya baik langsung maupun tidak langsung, jika secara langsung
mereka akan saling bertemu satu sama lain. Pada aktifitas inilah seseorang individu
dapat tertular penyakit yang diderita manusia lain, salah satunya adalah Tuberculosis.
Jika tuberculosis ini menjangkit daerah tulang belakang maka akan mengakibatkan
terjadinya spinal cord injuri yang dapat mengakibatkan kelumpuhan.
Spinal cord injury adalah suatu kerusakan pada medulla spinalis akibat trauma atau
non trauma yang akan menimbulkan gangguan pada sistem motorik, sistem sensorik dan
vegetatif. Kelainan motorik yang timbul berupa kelumpuhan atau gangguan gerak dan
fungsi otot-otot, gangguan sensorik berupa hilangnya sensasi pada area tertentu sesuai
dengan area yang dipersyarafi oleh level vertebra yang terkena, serta gangguan sistem
vegetatif berupa gangguan pada fungsi bladder, bowel dan juga adanya gangguan fungsi
sexual. Meskipun penyebab yang sering terjadi pada spinal cord injury ini adalah trauma
seperti fraktur vertebra yang biasanya disebabkan karena kecelakaan lalu lintas, jatuh
dari ketinggian, kecelakaan dalam olahraga, terbentur keras & kecelakaan dalam
bekerja. Namun ada juga yang karena infeksi yang menyerang pada collumna vertebralis
sehingga dapat merusak medulla spinalis. Fisioterapi dapat berperan sejak fase awal
terjadinya trauma sampai pada tahap rehabilitasi.
Pada penderita SCI kerusakan yang terjadi pada medulla spinalis 1 bersifat
permanen, karena seperti yang kita ketahui bahwa setiap kerusakan pada sistem saraf
maka tidak akan terjadi regenerasi dari sistem saraf tersebut dengan kata lain sistem
tersebut akan tetap rusak walaupun ada regenerasi akan kecil sekali peluangnya.
Berdasarkan hal tersebut maka intervensi yang diberikan oleh fisioterapi pun bertujuan
3

untuk meningkatkan kemandirian pasien dengan kemampuan yang dimilikinya untuk


memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Spinal cord injury merupakan salah satu kasus
yang cukup besar menimpa masyarakat kota pada masa sekarang ini. Apabila kasus ini
tidak ditangani secara cepat dan tepat dapat mengakibatkan penurunan kualitas hidup
seseorang atau bahkan kematian. Seseorang yang mengalami spinal cord injury
seringkali mengalami ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,
bekerja, bersosialisasi, dan kehilangan rasa percaya diri yang semuanya itu jika tidak
diatasi dapat membawa penderita tersebut mengalami masalah yang lebih besar lagi
yang menurunkan kualitas hidupnya, juga dapat berakibat kepada keluarga, serta
orangorang disekitarnya.

1.2 tujuan
Tujuan dalam pembuatan makalah ini meliputi dua bagian yaitu :

1.2.1 Tujuan umum :


- Menjadikan makalah ini sebagai sumber referensi bacaan.
- Memberikan pengetahuan peran perawat dalam rehabilitasi pada pasien dengan
masalah dan spinal cord injuri (termasuk bowel syndrome)
- Menambah wawasan tentang cara peran perawat dalam rehabilitasi pada pasien
dengan masalah dan spinal cord injuri (termasuk bowel syndrome)

1.2.2 Tujuan khusus :


- Memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah rehabilitasi keperawatan.

1.3 Rumusan Masalah


Rumusan masalah akan dikaji dalam makalah yang berjudul peran perawat dalam
rehabilitasi pada pasien dengan masalah dan spinal cord injuri (termasuk bowel
syndrome) adalah menjelaskan defenisi spinal injuri, epidemiologi, anatomi, etiologi,
patifisiologi, pemeriksaan penunjang, jenis cedera spinal cord injuri, efek dari spinal
cord injuri, tingkatan spinal cord injuri dan penatalaksaan spinal cord injuri.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Patofisiologi 
Patofisiologi spinal cord injury (cedera spinal) menjelaskan dua mekanisme cedera
yaitu cedera primer, kerusakan awal akibat cedera mekanis. Serta cedera sekunder,
cedera yang terjadi akibat cedera primer yang ditandai dengan perdarahan, edema,
dan iskemia.

 Cedera Primer
Cedera primer pada medula spinalis dapat bersifat komplit ataupun inkomplit. Hal
ini disebabkan oleh cedera mekanik, berupa :

 Kompresi
 Distraksi
 Laserasi
 Transeksi

Cedera tersebut menyebabkan kerusakan pada akson, pembuluh darah, ataupun 


membran sel. Kebanyakan, cedera meninggalkan ”subpial rim” dari akson
terdemielinisasi atau tidak terdemielinisasi yang berpotensi untuk terjadinya
regenerasi. Selain itu, timbul edema akut pada medula yang berkontribusi terhadap
kejadian iskemia pada medula spinalis. Fase-fase ini menyerupai patofisiologi
molekuler pada cedera otak traumatik.

Secara seluler, beberapa menit setelah cedera, terjadi peningkatan sitokin


termasuk tumor necrosis factor alpha (TNF-α) dan interleukin 1-beta (IL-1β).
Selanjutnya, terjadi pembuangan cadangan glutamat dan disfungsi transporter astrosit
glutamat yang menyebabkan meningkatnya kadar sitotoksik glutamat. Periode ini
dikenal dengan immediate phase, yang dapat bertahan hingga 2 jam pasca cedera.

13
 Cedera Sekunder

Cedera sekunder dimulai setelah cedera primer berlangsung. Proses patologis ini
didasari oleh berbagai mekanisme yang menyebabkan kekurangan energi akibat
gangguan perfusi seluler dan iskemia. Cedera sekunder dibagi menjadi tiga fase,
yaitu:

 Fase Akut

Fase akut berlangsung dalam 48 jam pertama. Kerusakan vaskularisasi,


perdarahan dan iskemia terjadi dalam fase ini. Gangguan mikrosirkulasi tersebut
mengakibatkan perubahan patologik seperti disregulasi ionik, eksitotoksisitas,
produksi radikal bebas dan respon inflamasi yang berlebihan menyebabkan
kerusakan lebih lanjut pada neuron dan glial.

 Fase Subakut/Intermediate

Periode subakut diperkirakan terjadi hingga dua minggu setelah cedera.


Karakteristik dari fase ini adalah respons fagositosis untuk membersihkan debris
seluler dan proliferasi aktif dari astrosit yang membentuk scar yang mencegah
regenerasi aksonal. Meskipun begitu, proliferasi astrosit berperan penting dalam
homeostasis ionik dan pembentukan kembali sawar darah otak, sehingga
membatasi imunitas sel dan edema.

 Fase Kronik

Fase intermediate diikuti oleh fase kronik yang ditandai dengan maturasi dan
stabilisasi scar astrositik, pembentukan syrinx dan kavitas, dan degenerasi
wallerian (degenerasi akson di bagian distal cedera). Sekuele jangka panjang
meliputi nyeri kronik dan spastisitas. Target terapi pada periode ini adalah

14
remyelinisasi dan plastisitas sistem saraf.

Farmakologi
Tujuan farmakoterapi pada cedera spinal adalah meningkatkan fungsi motorik dan
sensorik.
Penggunaan methylprednisolone sebagai terapi utama cedera spinal akut masih
kontroversial. Beberapa studi melaporkan adanya efek samping terkait pemberian
methylprednisolone dosis tinggi, seperti perdarahan gastrointestinal dan
kecenderungan peningkatan adverse event lainnya. The Congress of Neurological
Surgeons (CNS) menyatakan pemberian terapi steroid hanya boleh dilakukan jika
efek samping lebih kecil dibanding manfaat klinis.
Pada pasien acute spinal cord injury (cedera spinal akut) dengan defisit neurologi,
pemberian methylprednisolone dosis tinggi 8 jam pasca cedera terbukti
meningkatkan pemulihan neurologi dan mengurangi efek sekunder dari cedera
spinal akut. Dosis yang dianjurkan adalah methylprednisolone 30 mg/kgBB
diberikan secara bolus intravena selama 15 menit, diikuti jeda 45 menit dan
dilanjutkan maintenance 5,4 mg/kkgBB/jam selama 24 jam kemudian.
methylprednisolone dipercaya dapat mengurangi edema, mencegah deplesi kalium
intraseluler dan menghambat peroksidasi lipid.
Pemberian obat analgetik menjadi modalitas penting dalam manajemen nyeri.
Analgetik yang disetujui Food and Drug Administration (FDA) dalam manajemen
nyeri neuropatik terkait cedera spinal adalah pregabalin.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


Pengkajian Keperawatan
Data Subyektif
1. Riwayat Penyakit Sekarang : a) Mekanisme Cedera b) Kemampuan Neurologi c)
Status Neurologi d) Kestabilan Bergerak
2. Riwayat Kesehatan Masa Lalu : a) Keadaan Jantung dan pernapasan b) Penyakit

15
Kronis Data Obyektif 1. Airway - adanya desakan otot diafragma dan interkosta
akibat cedera spinal sehingga mengganggu jalan napas 2. Breathing - Pernapasa
dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan dinding dada 3. Circulation -
Hipotensi (biasanya sistole kurang dari 90 mmhg), Bradikardi, Kulit teraba hangat
dan kering, Poikilotermi (Ketidakmampuan mengatur suhu tubuh, yang mana suhu
tubuh bergantung pada suhu lingkungan) 4. Disability - Kaji Kehilangan sebagian
atau keseluruhan kemampuan bergerak, kehilangan sensasi, kelemahan otot

1. Pengkajian secara umum


- Pastikan imobilisasi spinal tetap terjaga selama proses pengkajian untuk
meminimalkan potensial terjadinya cedera lanjutan
- Kaji dan atasi masalah airway breathing dan circulation
- Manajemen airway dijaga dalam aligment netral
- Evaluasi breathing atau pernafasan

2. Pengkajian sirkulasi :
- cari tanda pendarahan yang terjado bersamaan pada area abdomen atau
retroperitoneal
- fraktur pelvis atau tulang panjang penyebab utama kehilangan darah
- cek tanda –tanda pada warna kulit sebagai indikasi perfusi
- kaji tingkat kesadaran
- pemeriksaan punggung pasien dengan teknik logroll tetap menjga
aligament spinal cek nyeri tekan ,eksmosis dan luka terbuka ,kaji tonus
otot spingter dan adanya “anal wink”(kontraksi spingter sebagai respons
terhadap stimulus seperti tusukan kecil pada bagian proksimal )
-
3. Pengkajain neurologis
- Kaji fungsi motoric dengan enam point American spinal injury
asociaation scale :
0 tidak ada kontraksi atau pergerakan
1 minimal pergerakan

16
2 pergerakan aktif tetapi tidak melawan gravitasi
3 pergerakan aktif melawan gravitasi
4 pergerakan aktif melawan tahanan
5 pergerakan aktif melawan tahanan penuh
o Bandingkan ekstermitas atas dan bawah kanan dan kiri
o Kaji tonus rectum
o Kaji ulang dengan jarak yang frekuen

4. Pengkajian fungsi sensorik


- Tentukan level terendah sensasi terhadap sentuhan halus(kapas atau kain
halus , dan tusukan halus (jarum atau patahan cotton bud )
- Pastikan pasien selalu menutup mata selama pengkajian
- Kaji propriosepsi ( kesadaran dimana tubuh berada dengan
menggerakkan jempol naik atau turun dan minta pasien untuk
mengidentifikasi posisi
- Dokumentasi keluhan pasien adanya kejut listrik sepanjang tulang
belakang

5. Pengkajian tendon dan reflex patologis


- Catat adanya reflex patlogis :
Tanda Hoffman (positif apabila dengan menggerakkan atau menekan
kuku jari tengah menyebabkan konraksi (fleksi) jari telunjuk dan ibu jari
Refleks Babinski ( ibu jari kaki bergerak keatas dan jari lain menyebae
sebagai respons dari stimulus telapak kaki bagian bawah .

Diagnosa Keperawatan
1) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi ditandai dengan
dispnea,terdapat otot bantu napas
2) Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan penyumbatan aliran
darah ditandai dengan bradikardi, nadi teraba lemah, terdapat sianosis, akral teraba

17
dingin, CRT > 2 detik, turgor tidak elastis, kelemahan, AGD abnormal
3) Nyeri akut berhubungan dengan gangguan neurologis
4) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular ditandai
dengan paralisis dan paraplegia pada ekstremitas.
5) Kerusakan eliminasi urine berhubungan dengan kerusakan sensori motorik
ditandai dengan kehilangan kontrol dalam eliminasi urine.
6) Risiko decera berhubungan dengan penurunan kesaradaran.

Rencana Tindakan

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi ditandai dengan


dispnea,terdapat otot bantu napas

Tujuan keperawatan : setelah diberikan tindakan keperawatan selama 2x15 menit,


diharapkan pola napas pasien efektif dengan kriteria hasil:
a. Pasien melaporkan sesak napas berkurang
b. Pernapasan teratur
c. Takipnea tidak ada
d. Pengembangan dada simetris antara kanan dan kiri
e. Tanda vital dalam batas normal (nadi x/menit, RR x/menit, tekanan darah /60-
90 mmhg, suhu 36,5-37,5 o C)
f. Tidak ada penggunaan otot bantu napas

Intervensi Mandiri :
1. Pantau ketat tanda-tanda vital dan pertahankan ABC R/ : Perubahan pola nafas
dapat mempengaruhi tanda-tanda vital
2. Monitor usaha pernapasan pengembangan dada, keteraturan pernapasan nafas
bibir dan penggunaan otot bantu pernapasan.10 R/ : Pengembangan dada dan
penggunaan otot bantu pernapasan mengindikasikan gangguan pola nafas
3. Berikan posisi semifowler jika tidak ada kontra indiksi R/ : Mempermudah
ekspansi paru

18
4. Gunakan servikal collar, imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah
tulang belakang. R/ : Stabilisasi tulang servikal

Kolaborasi :
1. Berikan oksigen sesuai indikasi R/ : Oksigen yang adekuat dapat menghindari
resiko kerusakan jaringan
2. Berikan obat sesuai indikasi R/ : Medikasi yang tepat dapat mempengaruhi
ventilasi pernapasan Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan
penyumbatan aliran darah ditandai dengan bradikardi, nadi teraba lemah, terdapat
sianosis, akral teraba dingin, CRT > 2 detik, turgor tidak elastis, kelemahan, AGD
abnormal

C. Pencegahan

Cedera spinal terjadi melalui beberapa mekanisme yang berbeda, seperti kecelakaan
lalu lintas, terjatuh, kekerasan, atau aktivitas pada tempat kerja, olahraga bahkan di
rumah.Strategi pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan upaya berdasarkan
etiologinya seperti:

Cedera Trauma

Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan promosi pentingnya keselamatan saat


berkendara dan berolahraga:

Kendaraan bermotor : Menggunakan seat-belt, menggunakan helm, tidak


mengendarai kendaraan dibawah pengaruh alkohol atau obat-obatan terlarang,
mentaati rambu lalu lintas

Olahraga : menggunakan alat pelindung diri yang tepat sesuai dengan jenis
olahraga.

19
Cedera Non Traumatik

Memperkuat bidang kesehatan untuk mencegah risiko cedera spinal nontraumatik


seperti: Pencegahan penyakit: tuberkulosis, HIV, keganasan, osteoartritis, penyakit
kardiovaskular, defisiensi B12, neural tube disease,
Mengurangi komplikasi medis: keamanan prosedur pungsi lumbal
Meningkatkan kesadaran bahwa mencegah cedera spinal jauh lebih baik, melibatkan
berbagai sektor seperti infrastruktur, kesehatan, industri, hukum, olahraga dan
pendidikan terkait berbagai risiko kejadian cedera spinal

D. Persiapan

Pasien dengan cedera spinal sebaiknya dirujuk ke rumah sakit dengan trauma


center yang kompeten. Rumah sakit harus memiliki kemampuan
modalitas neuroimaging  dengan  ketersediaan ahli bedah ortopedi atau bedah saraf
Pada manajemen pre-hospital dianjurkan penggunaan cervical hard collar pada hard
backboard terpasang pada pasien dengan tujuan mobilisasi posisi normal vertebra
(spinal alignment). Namun, beberapa studi mengemukakan penggunaan cervical
collar tidak secara sempurna mengimobilisasi cervical spine (c-spine). Banyak
negara maju dengan manajemen pre-hospital yang baik tidak lagi
menggunakan cervical hard collar dalam transportasi pasien.
Studi menemukan penggunaan cervical hard collar berkepanjangan dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, pressure injury, dan risiko
pneumonia aspirasi pada pasien muntah. Dianjurkan imobilisasi cervical spine (c-
spine) dilakukan dengan cara meletakan pasien dalam posisi terlentang dengan 
menggunakan soft head block atau plester dan handuk tergulung. Namun,
dibutuhkan penelitian lebih lanjut penggunaan cervical hard collar, dibandingkan
dengan soft head block serta plester dan handuk tergulung untuk manajemen pre-
hospital. 

20
Penatalaksanaan

Penatalaksanaan awal spinal cord injury atau cedera spinal berfokus pada


prosedur life-saving sesuai protokol Advanced Trauma Life Support (ATLS®).
Manajemen jalan napas sangat penting terkait komplikasi sistem respirasi yang
menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada cedera spinal dengan
insidensi antara 36% hingga 83%, hal ini disebabkan oleh berkurangnya
kapasitas vital, retensi sekret dan disfungsi otonom. Karena hipotensi dan
iskemia-reperfusi adalah faktor yang diketahui sebagai cedera sekunder, step B
dan C pada protokol ATLS® seperti oksigenasi segera dan penggantian volume
secara agresif sangat penting

Pemeriksaan diagnostic
Radiografi tulang servikal ,Radiografi throkal dan lumbal ,Ct scan , MRI

E. Simulasi Pendidikan Kesehatan Kegawatdaruratan Dengan Memperhatikan


Aspek Legal Dan Etis Pada Kasus Trauma Tulang Belakang

Link video : https://www.youtube.com/watch?v=viWmK3pL8Zs


Link
materihttps://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/62e4b9dd68248244aee
9e0ea266a2050.pdf

TEKNIK MEMINDAHKAN PASIEN

a. Definisi Teknik Memindahkan Pasien


Teknik yang dapat digunakan oleh perawat untuk memberi perawatan pada klien
imobilisasi. Teknik ini membutuhkan mekanika tubuh yang sesuai sehingga
memungkinkan perawat untuk menggerakan, mengangkat atau memindahkan klien
dengan aman dan juga melindungi perawat dari cedera sistem musculoskeletal.

b. Jenis – Jenis Pemindahan Pasien


Teknik pemindahan pada klien termasuk dalam transport pasien, seperti pemindahan

21
pasien dari satu tempat ke tempat lain, baik menggunakan alat transport seperti
ambulance, dan branker yang berguna sebagai pengangkut pasien gawat darurat.

1) Pemindahan klien dari tempat tidur ke brankar


Memindahkan klien dri tempat tidur ke brankar oleh perawat membutuhkan bantuan
klien. Pada pemindahan klien ke brankar menggunakan penarik atau kain yang ditarik
untuk memindahkan klien dari tempat tidur ke branker. Brankar dan tempat tidur
ditempatkan berdampingan sehingga klien dapat dipindahkan dengan cepat dan mudah
dengan menggunakan kain pengangkat. Pemindahan pada klien membutuhkan tiga
orang pengangkat

2) Pemindahan klien dari tempat tidur ke kursi


Perawat menjelaskan prosedur terlebih dahulu pada klien sebelum pemindahan. Kursi
ditempatkan dekat dengan tempat tidur dengan punggung kursi sejajar dengan bagian
kepala tempat tidur. Emindahan yang aman adalah prioritas pertama, ketika
memindahkan klien dari tempat tidur ke kursi roda perawat harus menggunakan
mekanika tubuh yang tepat.

3) Pemindahan pasien ke posisi lateral atau prone di tempat tidur

c. Jenis-Jenis dari Transportasi Pasien


Transportasi pasien pada umumnya terbagi atas dua: Transportasi gawat darurat dan
kritis

1) Transportasi Gawat Darurat:


Setelah penderita diletakan diatas tandu (atau Long Spine Board bila diduga
patah tulang belakang) penderita dapat diangkut ke rumah sakit. Sepanjang
perjalanan dilakukan Survey Primer, Resusitasi jika perlu.
Tulang yang paling kuat ditubuh manusia adalah tulang panjang dan yang paling
kuat diantaranya adalah tulang paha (femur). Otot-otot yang beraksi pada tulang
tersebut juga paling kuat. Dengan demikian maka pengangkatan harus dilakukan

22
dengan tenaga terutama pada paha dan bukan dengan membungkuk angkatlah
dengan paha, bukan dengan punggung. Panduan dalam mengangkat penderita
gawat darurat.
a. Kenali kemampuan diri dan kemampuan pasangan kita.
b. Diangkat secara bersama dan bila merasa tidak mampu jangan dipaksakan 7
c. Ke-dua kaki berjarak sebahu kita, satu kaki sedikit didepan kaki sedikit
sebelahnya
d. Berjongkok, jangan membungkuk, saat mengangkat
e. Tangan yang memegang menghadap kedepan
f. Tubuh sedekat mungkin ke beban yang harus diangkat. Bila terpaksa jarak
maksimal tangan dengan tubuh kita adalah 50 cm
g. Jangan memutar tubuh saat mengangkat
h. Panduan diatas berlaku juga saat menarik atau mendorong penderita

2) Transportasi Pasien Kritis


Pasien kritis adalah pasien dengan disfungsi atau gagal pada satu atau lebih
sistem tubuh, tergantung pada penggunaan peralatan monitoring dan terapi.
Transport intra hospital pasien kritis harus mengikuti beberapa aturan, yaitu:

1. Koordinasi sebelum transport


• Informasi bahwa area tempat pasien akan dipindahkan telah siap untuk
menerima pasien tersebut serta membuat rencana terapi
• Dokter yang bertugas harus menemani pasien dan komunikasi antar dokter dan
perawat juga harus terjalin mengenai situasi medis pasien
• Tuliskan dalam rekam medis kejadian yang berlangsung selama transport dan
evaluasi kondisi pasien

2. Profesional beserta dengan pasien: 2 profesional (dokter atau perawat) harus


menemani pasien dalam kondisi serius.
• Salah satu profesional adalah perawat yang bertugas, dengan pengalaman CPR
atau khusus terlatih pada transport pasien kondisi kritis

23
• Profesioanl kedua dapat dokter atau perawat. Seorang dokter harus
menemanipasien dengan instabilitas fisiologik dan pasien yang membutuhkan
urgent action

3. Peralatan untuk menunjang pasien


• Transport monitor
• Blood presure reader
• Sumber oksigen dengan kapasitas prediksi transport, dengan tambahan
cadangan30 menit
• Ventilator portable, dengan kemampuan untuk menentukan volume/menit,
pressure FiO2 of 100% and PEEP with disconnection alarm and high airway
pressure alarm.
• Mesin suction dengan kateter suction
• Obat untuk resusitasi: adrenalin, lignocaine, atropine dan sodium bicarbonate
• Cairan intravena dan infus obat dengan syringe atau pompa infus dengan
baterai
• Pengobatan tambahan sesuai dengan resep obat pasien tersebut

4. Monitoring selama transport.


Tingkat monitoring dibagi sebagai berikut:
Level 1= wajib, Level 2= Rekomendasi kuat, Level 3= ideal
• Monitoring kontinue: EKG, pulse oximetry (level 1)
• Monitoring intermiten: Tekanan darah, nadi, respiratory rate (level 1 pada
pasien pediatri, Level 2 pada pasien lain).

d. Jenis – jenis alat pemindahan pasien :

1) Long spine board


Sebuah papan belakang, juga dikenal sebagai papan tulang panjang (LSB),
longboard, spineboard, atau papan, adalah sebuah perangkat penanganan pasien
digunakan terutama dalam pra-rumah sakit, dirancang untuk immobilisasi gerakan dari

24
pasien dengan cedera tulang belakang atau anggota badan yang diduga. Long Spine
Board terutama diindikasikan dalam kasus trauma di mana tenaga medis atau
penyelamatan percaya bahwa ada kemungkinan cedera tulang belakang (Nelson &
Baptiste, 2004; Nursingtimes, 2012). LSB biasanya terbuat dari bidai kayu yang keras
atau benda yang sintetis yang tidak akan menyerap darah dengan panjang sekitar 2
meter.

2) Tandu Sekop (Scoop Stretcher)


Alternatif melakukan modifikasi teknik log roll adalah dalam penggunaan scoop
stretcher untuk transfer penderita. Penggunaan yang tepat alat ini akan mempercepat
transfer secara aman dari long spine board ke tempat tidur. Sebagai contoh alat ini dapat
digunakan untuk transfer penderita dari satu alat traspor ke alat lain atau ke tempat
khusus misalnya meja ronsen. Setelah penderita ditransfer dari backboard ke tempat
tidur dan scoop stretcher dilepas, penderita harus di reimobilisasi secara baik ke
ranjang/tandu.

Scoop stretcher bukan merupakan alat untuk membawa atau transportasi,


melainkan alat untuk mengangkat dan memindahkan. Proses pengangkatan sebaiknya
dilakukan oleh empat petugas dengan berada pada masing-masing sisi tandu.

e. Teknik/prosedur Memindahkan Pasien


1. Memindahkan pasien dari brankar ke Tempat Tidur /sebaliknya
1) Menjelaskan prosedur pemindahan
2) Atur brankar / Tempat Tidur dalam kondisi terkunci
3) Berdiri di sisi kanan atau kiri pasien
4) Kemudian masukkan tangan ke bawah tubuh pasien
5) Silangkan tangan pasien di atas dada
6) Pasien diangkat oleh sekurang-kurangnya 2 - 3 orang perawat (sesuai kebutuhan)
7) Ketiga perawat berdiri disisi sebelah kanan pasien :
 Perawat I (paling tinggi) dan berdiri di bagian kepala sebagai pemberi istruksi).
 Perawat II berdiri di bagian pinggang

25
 Perawat III berdiri di bagian kaki

8) Lengan kiri perawat I berada di bawah kepala/leher dan pangkal lengan pasien,dan
lengan kanan dibawah punggung pasien
9) Lengan kiri perawat II dibawah pinggang pasien, lengan kanan dibawah bokong
pasien.
10) Kedua lengan perawat III mengangkat seluruh tungkai pasien.
11) Setelah siap, salah seorang perawat memberi aba-aba untuk bersama-sama
mengangkat pasien.
12) Dengan langkah bersamaan, berjalan menuju ke tempat tidur / brankar yang telah
disiapkan.
13) Setelah pasien berada di atas TT/brankar, posisi pasien diatur, selimut dipasang atau
dirapikan.

2. Memindahkan pasien dengan tarikan Selimut atau alas


1) Atur brankar dalam posisi terkunci pada tiap sisinya dan dekatkan dan sejajarkan
dengan tempat tidur atau brankar atau stretcher yang akan digunakan selanutnya.
2) Satu perawat berada disisi tempat tidur, sedangkan posisi dua perawat yang lain di
samping brankar
3) Gunakan pengalas dibawah tubuh klien untuk media mengangkat dapat berupa
selimut maupun alas brankar
4) Silangkan tangan pasien didepan dada untuk mencegah terjepit
5) Perawat yang berada di sisi tempat tidur siap memegang dan mendorong pasien
6) Dua perawat lain yang berada di samping brankart memulai aba-aba secara
bersamaan dan mengangkat/ menarik pengalas di bawah tubuh pasien dan pasien hingga
mencapai tempat tidur satunya. Apabila pasien dalam kondisi cedera berat ataupun
fraktur yang luas maupun memiliki bobot tubuh yang sedikit berlebih anjurkan minimal
terdapat 4 perawat yang masing-masing berada pada sisi kepala, samping kanan kiri dan
kaki.
7) Jauhkan brankar
8) Baringkan pasien ke kiri atau kanan dan tarik pengalas atau selimut.
9) Atur posisi pasien hingga merasa nyaman

26
3. Memindahkan Pasien Dengan Cara Log Roll
Log roll adalah sebuah teknik yang digunakan untuk memiringkan klien yang
badannya setiap saat dijaga pada posisi lurus sejajar (seperti sebuah batang kayu).
Contohnya untuk klien yang mengalami cidera spinal. Asuhan yang benar harus
dilakukan untuk mencegah cidera tambahan. Teknik ini membutuhkan 2-5 perawat.
Untuk klien yang mengalami cidera servikal, seorang perawat harus mempertahankan
kepala dan leher klien tetap sejajar (Berman, 2009).
Tujuan dari Log roll yaitu untuk mempertahankan alignment anatomis yang
benar dalam usaha untuk mencegah kemungkinan cedera neurologis lebih lanjut dan
mencegah penekanan area cedera.

Prosedur log roll diimplementasikan pada tahapan-tahapan manajemen pasien


trauma termasuk:
 Sebagai bagian dari primary and secondary survey untuk memeriksa tulang
belakang klien.
 Sebagai bagian dari proses pemindahan dari dan ke tempat tidur (seperti di
radiologi)
 Untuk pemberian perawatan collar servikal atau area tertekan
 Memfasilitasi fisioterapi dada dan lain-lain.

Sedikitnya empat orang penolong dibutuhkan untuk membantu dalam prosedur


log roll dengan tugas sebagai berikut:
 Satu penolong untuk menahan kepala klien
 Dua penolong untuk menahan dada, abdomen dan lengan bawah. Tambahan satu
orang mungkin juga akan dibutuhkan pada saat melakukan log roll klien trauma
yang gemuk, tinggi atau memiliki cedera pada lengan bawah.
 Satu penolong melakukan prosedur yang dibutuhkan (misalnya pengkajian
tulang belakang klien).

Langkah-langkah Log roll

27
1. Jelaskan prosedur pada pasien dengan mempertimbangkan status kesadaran klien
dan minta klien untuk tetap berbaring dan menunggu bantuan. Pastikan colar
terpasang dengan benar.
2. Jika mungkin, pastikan peralatan seperti kateter indwelling, kateter interkosta,
ventilator tube dan lain-lain pada posisinya untuk mencegah overekstensi dan
kemungkian tertarik keluar selama perubahan posisi.
3. Jika klien diintubasi atau terpasang tracheostomy tube, suction jalan nafas
sebelum log roll dianjurkan, untuk mencegah batuk yang mugkin menyebabkan
malalignment secra anatomis selama prosedur log roll.
4. Tempat tidur harus diposisikan sesuai tinggi badan penolong yang menahan kepala
dan penolong lainnya.
5. Klien harus dalam posisi supine dan alignment secara anatomis selama prosedur
log roll.
6. Tangan proksimal klien harus diaduksi sedikit untuk menghindari berpindah ke
peralatan monitor misalnya selang intravena perifer. Tangan distal klien harus
diekstensikan dengan alignment pada thorak dan abdomen, atau tekuk kearah dada
klien jika mungkin misalnya jika tangan cedera. Satu bantal harus ditepatkan
diantara kaki-kaki klien.
7. Penolong 1, bantu menahan bagian atas badan klien, tempatkan satu tangan
melampaui bahu klien untuk menopang area dada posterior, dan tangan yang lain
melingkari paha klien.
8. Penolong 2, bantu menahan abdomen dan tangan bawah klien, bertumpuk dengan
penolong 1 untuk menempatkan satu tangan di bawah punggung klien, dan tangan
lainnya melingkari betis klien.
9. Dengan aba-aba dari penolong panahan kepala, klien diputar secara alignment
anatomis denga tindakan yang lembut.
10. Penyelesaian aktivitas, penolong penahan kepala akan memberi aba-aba untuk
mengembalikan klien pada posisi lateral dengan bantal penahan. Klien harus
ditingggalkan dalam posisi alignment anatomis yang benar setiap waktu.

F. Hasil Penelitian Trauma Spinal

28
Hasil pencarian elektronik dari basis data sumber PubMed, Embase, dan Cochrane
didapatkan 949 artikel yang berhubungan dengan kata kunci. Sedangkan pada
pencarian manual jurnal sumber jurnal lain dengan bahasa Indonesia tidak
didapatkan artikel yang relevan. Setelah dilakukan eliminasi dari duplikasi judul
serta relevansi dari judul artikel dan abstrak, didapatkan artikel sebanyak 176
artikel. Selanjutnya dilakukan eksklusi pada artikel yang tidak memenuhi kriteria
inklusi, yaitu data yang tidak mencantumkan atau tidak mengevaluasi secara
lengkap status neurologis pasien, penelitian yang tidak membahas tentang trauma
pada servikal atau membahas gabungan dengan level vertebra yang lain, dan
penelitian yang tidak membagi tindakan pembedahan dekompresi. Tiga penelitian
yang diuji berasal dari Amerika Serikat, Kanada, dan Pakistan, diterbitkan pada
tahun 1991 sampai 2014, terdiri dari 2 penelitian kohort prospektif dan 1 penelitian
kohort retrospektif. Jumlah pasien yang terlibat pada tindakan pembedahan
dekompresi dini kurang dari 24 jam adalah 193 pasien, sedangkan jumlah pasien
yang terlibat pada tindakan dekompresi tertunda lebih dari 24 jam adalah 196 pasien
. Dilakukan evaluasi perbaikan status neurologis dari ketiga studi tersebut. Dari total
193 orang dilakukan tindakan pembedahan dekompresi dini kurang dari 24 jam,
didapatkan sejumlah 122 pasien mengalami perbaikan status neurologis, Sedangkan
pada 196 orang dilakukan pembedahan dekompresi tertunda lebih dari 24 jam,
didapatkan sejumlah 98 pasien yang mengalami perbaikan status neurologis.
Penilaian bias dari publikasi antar literatur dengan analisis funnel plot tidak dapat
kami lakukan karena jumlah literatur yang terlalu sedikit. Meskipun demikian, dari
uji variabilitas didapatkan homogenitas diantara literatur

G. Trend dan Isu dalam Keperawatan Gawat Darurat


a.       CPR / RJP
Resusitasi jantung paru-paru atau CPR adalah tindakan pertolongan pertama
pada orang yang mengalami henti napas karena sebab-sebab tertentu. CPR bertujuan
untuk membuka kembali jalan napas yang menyempit atau tertutup sama sekali. CPR
sangat dibutuhkan bagi orang tenggelam, terkena serangan jantung, sesak napas, karena
syok akibat kecelakaan, terjatuh, dan sebagainya.

29
Namun yang perlu diperhatikan khusus untuk korban pingsan karena kecelakaan,
tidak boleh langsung dipindahkan karena dikhawatirkan ada tulang yang patah. Biarkan
di tempatnya sampai petugas medis datang. Berbeda dengan korban orang tenggelam
dan serangan jantung yang harus segera dilakukan CPR.
Chain of survival merupakan suatu serial tindakan yang harus dilakukan pada
pasien yang mengalami henti jantung. Chain of survival terdiri dari lima unsur,yakni:
pengenalan dini henti jantung, pemberian CPR secara dini, pemberian defibrilator
sesegera mungkin, penatalaksanaan ALS (Advance Life Support), dan perawatan pasca
henti jantung.
Rantai kehidupan (chain survival) terdiri dari beberapa tahap berikut ini (AHA,
2010):
1.      Mengenali sedini mungkin tanda-tanda cardiac arrest dan segera mengaktifkan
2.      panggilan gawat darurat (Emergency Medical Services)
3.      Segera melakukan RJP dengan tindakan utama kompresi dada
4.      Segera melakukan defibrilasi jika ada indikasi
5.      Segera memberi bantuan hidup lanjutan (advanced life support)
6.      Melakukan perawatan post cardiac arrest
b.      Indikasi
1.      Pasien henti nafas
Henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernafasan dari
korban atau pasien. Henti nafas merupakan kasus yang harus dilakukan tindakan
Bantuan Hidup Dasar. Henti nafas terjadi dalam keadaan seperti: Tenggelam atau lemas,
stroke, obstruksi jalan nafas, epiglotitis, overdosis obat-obat, tersengat listrik, infark
miokard, tersambar petir, koma akibat berbagai macam kasus.
2.      Pasien henti jantung
Pada saat terjadi henti jantung, secara langsung akan terjadi henti sirkulasi. Henti
sirkulasi ini akan dengan cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan oksigen.
Pernafasan yang terganggu merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung. Henti
jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba disertai kebiruan atau pucat,
pernafasan berhenti atau satu-satu, dilatasi pupil tak bereaksi terhadap rangsang cahaya
dan pasien tidak sadar (Suharsono, T., & Ningsih, D. K., 2008).

30
c.       Alur Basic Life Support
1.      Tahapan persiapan
Sebelum melakukan resusitasi maka harus dilakukan beberapa prosedur berikut pada
pasien (AHA, 2010):
         Memastikan kondisi lingkungan sekitar aman bagi penolong
         Memastikan kondisi kesadaran pasien
Penolong harus segera mengkaji dan menentukan apakah korban sadar/tidak. Penolong
harus menepuk atau menggoyang bahu korban sambil bertanya dengan jelas: ‘Hallo,
Pak/ Bu! Apakah anda baik-baik saja?’.Jangan menggoyang korban dengan kasar karena
dapat mengakibatkan cedera. Juga hindari gerakan leher yang tidak perlu pada kejadian
cedera kepala dan leher.
      Mengaktifkan panggilan gawat darurat
Jika korban tidak berespon, segera panggil bantuan. Jika ada orang lain disekitar korban,
minta orang tersebut untuk menelpon ambulans dan ketika menelpon memberitahukan
hal-hal berikut:
  Lokasi korban
  Apa yang terjadi pada korban
  Jumlah korban
  Minta ambulans segera datang
      Memastikan posisi pasien tepat
Agar resusitasi yang diberikan efektif maka korban harus berbaring pada permukaan
yang datar, keras, dan stabil. Jika korban dalam posisi tengkurap atau menyamping,
maka balikkan tubuhnya agar terlentang. Pastikan leher dan kepala tersangga dengan
baik dan bergerak bersamaan selam membalik pasien.

2.      Fase-fase RJP (Resusitasi Jantung Paru) Sesuai Algoritma AHA 2010
a.      Basic life support (BLS) atau tunjangan hidup dasar
Pada tahun 2010, American Heart Association (AHA) mengeluarkan panduan terbaru
penatalaksanaan CPR. Berbeda dengan panduan sebelumnya, pada panduan terbaru ini
AHA mengubah algoritma CPR dari ABC menjadi CAB.
      Circulation (C)

31
Mengkaji nadi/ tanda sirkulasi Ada tidaknya denyut jantung korban/pasien dapat
ditentukan dengan meraba arteri karotis di daerah leher korban/ pasien, dengan dua atau
tiga jari tangan (jari telunjuk dan tengah) penolong dapat meraba pertengahan leher
sehingga teraba trakhea, kemudian kedua jari digeser ke bagian sisi kanan atau kiri kira-
kira 1–2 cm raba dengan lembut selama 5–10 detik. Jika teraba denyutan nadi, penolong
harus kembali memeriksa pernapasan korban dengan melakukan manuver tengadah
kepala topang dagu untuk menilai pernapasan korban/ pasien. Jika tidak bernapas
lakukan bantuan pernapasan, dan jika bernapas pertahankan jalan napas.
Melakukan kompresi dada Jika telah dipastikan tidak ada denyut jantung luar,dilakukan
dengan teknik sebagai berikut :
  Menentukan titik kompresi (center of chest): Cari possesus xypoideus pada sternum
dengan tangan kanan, letakkan telapak tangan kiri tepat 2 jari diatas posseus xypoideus.
  Melakukan kompresi dada
Kaitkan kedua jari tangan pada lokasi kompresi dada, luruskan kedua siku dan pastikan
mereka terkunci pada posisinya, posisikan bahu tegak lurus diatas dada korban dan
gunakan berat badan anda untuk menekan dada korban sedalam minimal 2 inchi (5 cm),
lakukan kompresi 30x dengan kecepatan minimal 100x/menit atau sekitar 18 detik. (1
siklus terdiri dari 30 kompresi: 2 ventilasi). Lanjutkan sampai 5 siklus CPR, kemudian
periksa nadi carotis, bila nadi belum ada lanjutkan CPR 5 siklus lagi. Bila nadi teraba,
lihat pernafasan (bila belum ada upaya nafas) lakukan rescue breathing dan check nadi
tiap 2 menit.
  Airway (A) Tindakan ini bertujuan mengetahui ada tidaknya sumbatan jalan napas oleh
benda asing. Buka jalan nafas dengan head tilt-chin lift/ jaw thrust. Jika terdapat
sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau sumbatan berupa cairan dapat dibersihkan
dengan jari telunjuk atau jari tengah yang dilapisi dengan sepotong kain (fingers weep),
sedangkan sumbatan oleh benda keras dapat dikorek dengan menggunakan jari telunjuk
yang dibengkokkan. Mulut dapat dibuka dengan teknik Cross Finger, dimana ibu jari
diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk pada mulut korban.
  Breathing (B) Bantuan napas dapat dilakukkan melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung
atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan) dengan cara memberikan
hembusan napas sebanyak 2 kali hembusan, waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali

32
hembusan adalah 1,5–2 detik dan volume udara yang dihembuskan adalah 7000–1000ml
(10ml/kg) atau sampai dada korban/pasien terlihat mengembang. Penolong harus
menarik napas dalam pada saat akan menghembuskan napas agar tercapai volume udara
yang cukup. Konsentrasi oksigen yang dapat diberikan hanya 16 – 17%. Penolong juga
harus memperhatikan respon dari korban/pasien setelah diberikan bantuan napas.

3.      Trauma dada


Trauma dada adalah trauma tajam atau tembus thoraks yang dapat menyebabkan
tamponade jantung, perdarahan, pneumothoraks,
hematothoraks,hematopneumothoraks.Trauma thorax adalah semua ruda paksa pada
thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam atau tumpul.Di dalam
toraks terdapat dua organ yang sangat vital bagi kehidupan manusia, yaitu paru-paru dan
jantung. Paru-paru sebagai alat pernapasan dan jantung sebagai alat pemompa darah.
Jika terjadi benturan atau trauma pada dada, kedua organ tersebut bisa mengalami
gangguan atau bahkan kerusakan.
Dada merupakan rongga bertulang yang terbentuk dari 12 pasang tulang rusuk yang
berhubungan dengan tulang belakang di posterior dan tulang dada di anterior. Saraf dan
pembuluh darah intercostals berjalan sepanjang permukaan inferior pada setiap tulang
rusuk. Permukaan dalam rongga dada dan paru dilapisi selaput tipis, disebut pleura.
Ruang antara dua lapisan pleura normalnya hampa (ruang potensial), bila ruangan ini
berisi udara akan menimbulkan pneumothorax, bila berisi darah akan menimbulkan
hemothorax. Pada orang dewasa, ruangan potensial ini dapat menampung 3 liter cairan
disetiap sisinya. Setiap paru menempati sebelah rongga dada. Di antara 2 rongga dada
terletak mediastinum, yang berisi oleh jantung, aorta, vena kava superior dan inferior,
trakea, bronkus utama dan esophagus. Medulla spinalis dilindungi oleh columna
vertebralis. Diafragma memisahkan organ-organ thorax dari rongga abdomen. Organ
perut bagian atas seperti limpa, hati, ginjal, pancreas dan lambung dilindungi tulang
rusuk bagian bawah.
Bila melakukan evaluasi korban dengan kemungkinan trauma thorax, harus selalu
mengikuti penilaian prioritas secara BTLS untuk menghindari terlewatkannya kondisi
yang mengancam jiwa. Selama survey primer BTLS, carilah cedera yang paling parah

33
terlebih dahulu untuk memberikan kesempatan hidup pada korban tersebut . Seperti
semua penderita trauma lainnya, mekanisme trauma penting diketahui untuk penanganan
penderita trauma dada. Cedera dada meungkin merupakan akibat dari trauma tumpul
atau trauma tajam. Pada trauma tumpul energy yang didistribusikan meliputi area yang
luas dan cedera visceral dapat disebabkan karena deselerasi, robekan, kompresi atau
ledakan. Luka penetrasi biasanya berasal dari tembakan atau tusukan, energy yang
didistribusikan meliputi area yang lebih sempit. Terjangan peluru sering sulit
diperkirakan akibatnya, dan semua yang berada di dalam dada beresikoterkena. Hasil
akhir yang paling sering terjadi pada cedera dada adalah hipoksia jaringan.

G. Evidence Based Practice pada Cedera Spinal

https://pdfcoffee.com/kel-1-3a-makalah-kegawatdaruratan-persyarafan-trauma-
kepala-dan-cidera-spinal-pdf-free.html

Berdasarkan hasil analisis artikel penelitian, ditemukanlah beberapa cara


penanganan pasien dengan cedera tulang belakang di instalasi gawat darurat.
Penatalaksanaan awal adalah dengan melakukan imobilisasi, kemudian lakukan
pengkajian primer dengan memantau ABCDE pasien, melakukan pemeriksaan
penunjang, pemberian terapi obat serta pilihan untuk dilaksanakan tindakan operasi.

Imobilisasi
Melakukan imobilisasi merupakan pilihan utama untuk penanganan pada pasien
multitrauma. Pilihan tindakan imobilisasipun paling disarankan untuk pasien-pasien
dengan cedera tulang belakang. Menurut Debebe, Woldetsadik, Laytin, Azazh, &
Maskalyk (2016) melakukan imobilisasi merupakan pilihan tindakan bagi pasien
dengan cedera tulang belakang. Hal ini didukung oleh hasil penelitian lain menurut
Hood & Considine (2015) yang menyatakan di dalam tinjauan literatur yang
dipublikasikan, bahwa ada yang sebanyak 15 penelitian yang mendukung tindakan
imobilisasi, namun ada juga yang tidak mendukung, yaitu sebanyak 19 hasil
penelitian. Tentunya dalam melaksanakan tindakan imobilisasi, tetap memiliki

34
dampak, yaitu pada hasil neurologis, pencegahan pergerakan, posisi tulang
belakang, mengurangi nyeri atau meningkatkan kenyamanan. Namun, pada
berdasarkan tinjauan literatur yang dilaksanakan, nyatanya tidak ditemukan
penelitian tingkat tinggi yang sudah dipublikasi yang telah menilah keampuhan
imobilisasi tulang belakang, sebab untuk prosedur ini juga memiliki dampak pada
sistem pernapasan, kardiovaskular, cedera lain seperti akibat tertekan. Sehingga
imobilisasi disarankan, tetapi dengan mempertimbangkan kemungkinan cedera
lanjutan atau keuntungan yang lebih besar.
Karena berbagai pertimbangan terkait prosedur imobilisasi, maka melalui hasil
penelitian Larson, Delnat, & Moore (2017) diajukan beberapa hal untuk menjadi
pertimbangan sebelum memutuskan untuk imobilisasi pasien terutama dengan
menggunakan cervical spine bagi pasien trauma, yaitu dengan melakukan
pengkajian kepada pasien trauma berdasarkan kriteria The National Emergency
XRadiography Utilization Study (NEXUS) atau dengan menggunakan kriteria
berdasarkan The Canadian C-Spine Rules (CCSR). Keduanya merupakan alat ukur
atau skrining yang dapat digunakan untuk membantu mengoptimalkan sumber daya,
mengurangi paparan radiasi dan mengurangi biaya yang tidak perlu. Penggunaan
criteria NEXUS untuk memastikan status pasien dalam risiko rendah dengan cara
memastikan tidak ditemukan adanya luka yang mengganggu, tidak ada nyeri di
bagian posterior dari leher, secara neurologis tidak tampak defisit, pasien dalam
keadaan sadar tanpa disertai adanya tanda-tanda keracunan, maka dapat diputuskan
bahwa pasien tidak membutuhkan prosedur pencitraan. Sedangkan kriteria CCSR
memperhitungkan faktor-faktor yang menyebabkan risiko tinggi, diantaranya adalah
pasien lansia, adanya defisit neurologis seperti parastesia, dan juga
memperhitungkan mekanisme injuri yang membutuhkan adanya prosedur
pencitraan. Jika faktor risiko tinggi tidak tampak setelah prosedur pemeriksaan,
maka pemeriksaan untuk faktor risiko rendah yang diutamakan untuk menentukan
apakah pasien perlu menjalani prosedur imobilisasi atau tidak. Perbedaan besar
antara NEXUS dan CCSR adalah perihal mekanisme cedera, namun belum ada
kesepakatan, pedoman mana yang lebih direkomendasikan. Namun, bukan berarti
pendekatan imobilisasi tulang belakang kemudian dikesampingkan, tetapi sebuah

35
penatalaksanaan awal untuk pencegahan cedera lebih lanjut sembari melanjutkan
prosedur pemeriksaan untuk penegakkan diagnosa yang lebih pasti. Selain itu, perlu
dipertimbangkan beberapa hal menurut The National Association of EMS
Physicians and the American College of Surgeons Committee on Trauma tahun
2013 bahwa imobilisasi tulang belakang direkomendasikan bagi pasien dengan
tanda-tanda nyeri dan ketidaknyamanan pada daerah tulang belakang, mengalami
trauma tumpul disertai penurunan kesadaran, keluhan neurologic, adanya tanda
deformitas tulang belakang yang sangat jelas, riwayat mengalami cedera sebagi
dampak dari energy yang tinggi, keracunan atau ketidakmampuan untuk
berkomunikasi, (Kanwar et al., 2015).

Pengkajian
Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa penting untuk melaksanakan
pengkajian primer dengan memperhitungkan ABCDE yang dimiliki pasien serta
mekanisme cedera yang dialami oleh pasien. Kanwar, Delasobera, Hudson, &
Frohna (2015) dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa setelah pasien
menjalani prosedur imobilisasi, maka penting untuk menjamin stabilitas jalan napas
dan mempertahankan sirkulasi yang baik. Pilihan untuk melakukan jalan napas
definitif tidak begitu disarankan dean menjadi dilemma, terutama saat keputusan
untuk melakukan intubasi yang kemungkinan akan memperburuk kondisi trauma.
Namun, beberapa artikel penelitian di dalam tinjauan sistematis yang dilakukan
Kanwar et al. (2015) memberikan hasil bahwa pilihan untuk melakukan intubasi
setelah pasien diimobilisasi adalah suatu pilihan yang aman dan efektif. Selain itu,
telah dilakukan penelitian dengan model jenazah, yang menyatakan bahwa ketika
dilakukan intubasi, tidak ada pergesaran vertebra terutama pada saat pasien sedang
imobilisasi pada satu garis lurus. Jadi, pilihan untuk membebaskan jalan napas
adalah benar dan penting untuk dilakukan.
Pilihan untuk melakukan intubasi diindikasikan bagi pasien dengan status
imobilisasi dengan berbagai criteria, yaitu adanya obstruksi jalan napas total atau
sangat parah dengan tanda-tanda pembengkakan, adanya tanda luka bakar,
hematoma, trauma maxillofacial, skor GCS < 9 disertai kondisi yang semakin

36
memburuk. Manifestasi lain yang perlu dipertimbangkan adalah kegagalan
pernapasan atau kemungkinan untuk jatuh dalam kondisi gagal napas, cedera
kepala, perubahan perilaku serta adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intra
cranial. Perlu diingat bahwa pemberian oksigen dan mengusahakan pembebasan
jalan napas untuk mendapat suplai oksigen yang lebih besar adalah upaya prioritas
untuk mencegah akibat sekunder dari cedera tulang belakang, (Winter et al., 2017).
Selain mempertahankan kepatenan jalan napas, yang perlu diperhatikan juga adanya
kegagalan napas sebagai akibat dari cedera tulang belakang. Hal inipun menjadi
penyebab kematian yang cukup besar. Perlu diingat bahwa daerah diafragma
dipersyarafi oleh segmen C3 sampai C5 dari spinal cord. Oleh karena itu, jikalau
cedera yang terjadi di atas segemen C3, maka pasien pasti mengalami apnea,
sehingga pilihan untuk membuat airway definitive adalah prioritas untuk
dilaksanakan. Jika cedera terjadi pada segemen C3 sampai C5, maka untuk
kebutuhan ventilasi, pasien memiliki ketergantungan jangka panjang. Jika cedera
terjadi di bawah segmen C5, maka diafragma pasien tetap dalam kondisi normal,
namun berada dalam kondisi gagal napas terutam pada fase awal dari cedera.
(Winter et al., 2017)
Penatalaksanaan untuk circulation perlu memperhatikan perbedaan antara syok
hipovolemik dengan syok nerogenik. Menurut Kanwar et al., (2015) terdapat
beberapa perbedaan dari syok hipovolemik dan neurogenik, yang didukung juga
dengan hasil penelitian dari Winter et al., (2017) yang menyatakan bahwa syok
hipovolemik dapat disebabkan oleh berbagai penyebab, namun syok neurogenik
terjadi secara khusus pada kondisi cedera tulang belakang. Berbagai tanda dapat
terjadi sesuai dengan bagian spinal yang mengalami cedera. Semakin tinggi posisi
spinal yang cedera, maka semakin luas kerusakan yang dialami oleh pasien. Syok
neurogenik dapat terjadi mulai 24 jam pertama dan bertahan dalam waktu beberapa
minggu setelah itu. Perlu diingat bahwa spinal syok merupakan suatu kondisi
kehilangan refleks sesuai derajat cedera yang dialami oleh tulang belakangyang
menyebabkan kelemahan. Namun, spinal syok bukanlah neurogenik syok, meskipun
spinal syok sering selalu berhubungan dengan syok neurogenik dan kondisi
hipotensi, (Winter et al., 2017).

37
Muskananfola, I.L. 2018. Penanganan Pasien Dengan Cedera Tulang Belakang di
Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit.
Kanwar, R., Delasobera, B. E., Hudson, K., & Frohna, W. (2015). Emergency
department evaluation and treatment of cervical spine injuries. Emergency Medicine
Clinics of North America, 33(2), 241–282.
https://doi.org/10.1016/j.emc.2014.12.002
Debebe, F., Woldetsadik, A., Laytin, A. D., Azazh, A., & Maskalyk, J. (2016). The
Clinical Profile and Acute Care of Traumatic Spinal Cord Injury at a tertiary care
emergency centre in Addis Ababa, Ethiopia.. African Journal of Emergency
Medicine,6(4),180–184. https://doi.org/10.1016/j.afjem.2016.06.001

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari makalah diatas tentang peran perawat dalam rehabilitasi pada pasien dengan
masalah dan spinal cord injuri (termasuk bowel syndrome) dapat kita ambil
kesimpulan bahwa : 1. Spinal Cord Injury (SCI) adalah kerusakan atau trauma pada
sumsum tulang belakang yang mengakibatkan kerugian atau gangguan fungsi
menyebabkan mobilitas dikurangi atau perasaan. 2. Prinsip-prinsip utama
penatalaksaan trauma Spinal : • Immobilasi • Stabilisasi medis • Mempertahankan
posisi normal vetenrata (“spinal aligment”) • Dekompresi dan stabilisasi spinal •
Rehabilisasi 3. Bowel trining dan bladder training Membantu pasien untuk training
dan bladdek melatih bowel terhadap evakuasi interval yang spesifik, dengan tujuan
untuk melatih bowel secara rutin pada pasien yang mengalami gangguan pola
bowel, dilakukan pada pasien yang mengalami masalah eliminasi bowel tidak
teratur

38
14

B. Saran
1. Diharapkan dengan hadirnya makalah ini mahasiswa/i dapat meningkatkan
rasa ingin tahu mengenai isi makalah yang berjudul peran perawat dalam
rehabilitasi pada pasien dengna masalah dan spinal cord injuri(termasuk bowel
syndrome)
2. Diharapkan mahasiswa/i dapat menjadikan makalah ini sebagai reperensi
bacaan dalam mata kuliah rehabilitasi keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT. Spinal cord injury. In: Narayan RK, editor.
Neurotrauma Vol II. Mc-GrawHill. New York. 1996; II;1041-112.
2. Derwenskus J, Zaidat O. Spinal cord injury and related disease. In: Suarez JI, editor.
Critical Care Neurology and Neurosurgery. New Jersey: Humana Pres, 2004;
433-48.
3. Kelompok Studi Neurotraumatologi. PERDOSSI. Konsensus Trauma Kepala dan
Medula Spinalis. 2006.
4. Basuki A. Cedera medula spinalis akut. In: Basuki A, Dian S, editors.
Kegawatdaruratan Neurologi. Bandung: Bagian/UPF Ilmu Penyakit Saraf FK
UNPAD/RSHS, 2010; p. 123-49.
5. Baskin DS. Spinal cord injury. In: Evans RW, editor. Neurology and Trauma. New
York: Oxford University Press, 2006; p. 265-344.
6. Sullivan SJ, Hassan DG. Spinal trauma. In: Manji H, Connolly S, Dorward N, Kitchen
N, Mehta A, Wils A, editors. Maja JPS, Diagnosis dan Penatalaksanaan Cedera
Servikal... 189 Neurotrauma. Oxford American Handbook of Neurology.
Philadelphia: Oxford University Press, 2010; p. 356- 65.

Anda mungkin juga menyukai