KELOMPOK VII :
1
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kami berbagai macam
nikmat, sehingga aktivitas hidup ini banyak diberikan keberkahan.Dengan kemurahan yang telah
diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa sehingga kami menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Ucapkan terimakasih tidak lupa kami hanturkan kepada dosen dan teman-teman yang
banyak membantudalam penyusunan laporan makalah kelompok dengan materi “SARAF
KRANIAL FASIALIS” pada mata kuliah KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II. Kami
menyadari di dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Masih banyak
kekurangan yang harus diperbaiki, baik dari segi tata bahasa maupun dalam hal perbuatan.
Oleh karena itu, kami memohon kritik dan saran untuk kami agar bisa lebih baik lagi dalam
membuat karya tulis ini.Harapan kami mudah-mudahan apa yang akan kami susun ini bisa
memberikan manfaat untuk diri kami sendiri, teman-teman, maupun orang lain.
Kelompok VII
2
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan .........................................................................................................................1
1.2.1 Tujuan Umum .................................................................................................................1
1.2.2 Tujuan Khusus ................................................................................................................2
3
BAB 1
PENDAHULUAN
Saraf kranial dinamai dengan nama spesifik atau dengan angka Romawi. Pemeriksaan
saraf penting dilakukan karena dua alasan. Pertama, saraf kranial III sampai XII berawal dari
batang otak. Menguji saraf-saraf kranial ini dapat memberikan informasi mengenai batang
otak dan jaras terkait. Kedua, tiga refleks melibatkan saraf kranial yang disebut refleks
protektif (refleks kornea, muntah, dan batuk). (Black & Hawks, 2014).
Saraf fasialis utamanya berperan dalam memasok impuls untuk otot-otot ekspresi wajah.
Disamping itu saraf fasialis juga berfungsi sebagai penyalur sensasi dari bagian anterior lidah
dan rongga mulut. Melalui persarafan parasimpatis saraf facialis, kelenjar saliva,lakrimal,
hidung dan kelenjar palatina bisa menghasilkan secret. Saraf fasialis berasal dari sudut
cerebellopontine bagian lateral dari persimpangan pontomedullary. Memiliki dua akar saraf
yang berdekatan yakni motor root (lebih besar, lebih medial) dan saraf intermedius (lebih
kecil, lebih lateral), disebut saraf intermedius karena ditemukan di antara dua saraf yang
lebih besar (akar utama VII dan VIII). Nervus intermedius memiliki serat parasimpatis dan
sensorik dan yang awalnya merupakan bagian dari saraf VIII. (Iskandar, 2004)
Nervus facialis sebenarnya terdiri dari serabut motorik, tetapi dalam perjalananya ke tepi
nervuls intermedius menggabungkan padanya. Nervus intermedius tersusun oleh serabut
sekretomotorik untuk glandula salivatorius dan serabut yang menghantarkan impuls
pengecap dari 2/3 bagian deran lidah. Nervus facialis merupakan saraf cranial yang
mempersarafi otot ekspressi wajah dan menerima sensorik dari lidah, dalam perjalanannya
bekerja sama dengan nervus karnialis yang lain, karena itu dimasukkan ke dalam mix cranial
nerve. (Iskandar, 2004)
4
1.2.2 Tujuan Khusus
1.2.2.1 Untuk Mengetahui Anatomi Saraf Kranial Fasialis
1.2.2.2 Untuk Mengetahui Fisiologi Saraf Kranial Fasialis
1.2.2.3 Untuk Mengetahui Klinis Patologis Lesi Nervus Fasialis
1.2.2.4 Untuk Mengetahui Kelainan Saraf Kranial Fasialis
1.2.2.5 Untuk Mengetahui Pemeriksaan Saraf Kranial Fasialis
5
BAB II
LANDASAN TEORI
6
Gambar 1. Anatomi Fasialis
(Sumber Munilson, Edward, dan Rusdi. 2015)
Di dalam tulang temporal, saraf fasialis memberikan 3 cabang penting yaitu
nervus petrosus superior mayor yang memberikan rangsangan untuk sekresi pada
kelenjar lakrimal, nervus stapedius yang mensarafi muskulus stapedius dan korda timpani
yang memberikan serabut perasa pada dua pertiga lidah bagian depan (Munilson,
Edward, dan Rusdi, 2015).
2.1.2 Fisiologi
Secara anatomis saraf fasialis merupakan saraf kranial terpanjang yang berjalan di
dalam tulang temporal, sehingga sebagian besar kelainan saraf fasialis terletak di dalam
tulang temporal. Dalam perjalannnya di dalam tulang temporal, saraf fasialis dibagi
dalam 3 segmen, yaitu segmen labirin, segmen timpani, dan segmen mastoid. Segmen
labirin adalah bagian terpendek yang memiliki panjang 2-4 mm terletak di antara akhir
kanal akustikus internus dan ganglion genikulatum. Segmen timpani panjangnya kira-kira
12 mm terletak di antara bagian distal ganglion genikulatum dan berjalan ke arah
posterior telinga tengah, kemudian naik ke arah tingkap lonjong dan stapes, lalu turun dan
kemudian terletak sejajar kanalis semisirkularis horizontal. Segmen mastoid merupakan
segmen terpanjang panjangnya 1,5- 2 cm berjalan mulai dari dinding medial dan superior
kavum timpani, selanjutnya berjalan ke arah kaudal menuju foramen stilomastoid. Setelah
keluar dari dalam tulang mastoid, saraf fasialis menuju kelenjar parotis dan membagi diri
untuk mensarafi otot-otot wajah (Munilson, Edward, dan Rusdi, 2015).
2.1.3 Klinis Patologis Lesi Nervus Fasialis
Gangguan kontralateral dari traktus kortikonuklearis seperti infark mengakibatkan
otot dahi tetap utuh yang disebut dengan paralisis sentral. Tetapi jika lesi terjadi di
nukleus nervus fasialis maka semua otot fasial ipsilateral lesi akan mengalami paralisis
perifer
Berikut ini perbedaan lesi nervus fasialis perifer dan sentral, gambar:
7
Gambar 11. Perbedaan lesi perifer dan sentral nervus fasialis1
Gambar 12. Perbedaan terjadinya lesi perifer dan sentral nervus fasialis
Lesi pada nukleus fasialis biasanya terjadi karena stroke atau tumor. Serabut di
serebelopontin dapat rusak akibat meningitis basalis, neuroma akustik, meningioma,
kelainan A basilaris
Nukleus fasialis juga menerima impuls dari talamus yang mengarahkan gerakan
ekspresi emosional otot wajah. Selain itu juga berhubungan dengan ganglia basalis. Jika
bagian dari sistem piramidal ini yang terkena lesi maka akan terjadi penurunan ekspresi
wajah (hipomimia atau amimia) seperti pada penyakit Parkinson, atau reaksi hiperkinetik
yang menyebabkan spasme mimetik fasial atau blefarospasme. Hubungan dengan talamus
dan ganglia basalis tersebut tidak diketahui secara terperinci
8
Bells palsi merupakan lesi idiopatik pada nervus fasialis yang terjadi pada 25 dari
100.000 orang per tahunnya. Karakteristiknya berupa paresis flasid dari semua otot wajah
(termasuk otot dahi), tergantung lokasi lesinya.
Gambar 13. Bells palsi tidak dapat menutup mata pada sisi yang sakit
Pemberian prednisolon 1mg/kg/ hari selama 5 hari menunjukkan perbaikan klinis
pada Bells palsi. Beberapa kasus penyembuhan sempurna tanpa defisit neurologis.
Beberapa di antaranya mengalami kontraktur pada wajah atau gerakan abnormal
asesorius (sinkinesia). Sinkinesia adalah otot otot tidak dapat digerakkan satu persatu,
selalu timbul gerakan bersama, misalnya jika disuruh menutup mata maka sudut mulut
pun terangkat, jika disuruh menggembungkan pipi mata ikut merapat. Fenomena
crocodile tears merupakan fenomena unik yang terjadi di mana terjadinya lakrimasi
involunter ketika pasien makan. Hal ini dapat terjadi karena serat saraf yang tadinya
menuju ke glandula salivatorius mengalami degenerasi dan mengakibatkan berubahnya
haluannya menuju ke glandula lakrimal, sehingga impuls yang menginduksi saliva
mengakibatkan terjadinya lakrimasi. Kontraktur pada wajah dapat dilihat dengan plika
nasolabial yang lebih jelas pada sisi yang sakit akibat tertariknya otot (Tobing, 2007)
9
Gambar 10. Lokasi lesi nervus fasialis beserta klinisnya
Lesi herpes zoster kutaneus otikus merupakan gangguan yang terjadi pada serat
somatik aferen nervus fasialis. Lesi herpes zoster juga dapat menyerang ganglion
geniculatum sehingga terjadi nyeri di telinga dan muka, serta paresis fasialis (sindrom
Ramsay Hunt) (Tobing, 2007)
10
Gambar 11. Ramsay Hunt syndrome
Lesi nervus fasialis dapat pula terjadi pada kanalis fasialis berupa otitis media,
mastoiditis, kolesteatom, fraktur tulang temporal. Tic fasialis disebabkan oleh spasme
otot fasialis
2.1.4 Kelainan
Karena keberadaannya yang ada dalam tulang temporal maka saat tulang temporal
mengalami cedera saraf fasialis beresiko terganggu, dan gangguan yang dpat muncul
iyalah :
1. Paralisis saraf fasialis merupakan salah satu komplikasi dari fraktur tulang temporal
disamping adanya gangguan pendengaran, kebocoran cairan serebrospinal, stenosis
kanalis akustikus eksternus, terbentuknya kolesteatom dan cedera vaskuler. Terdapat
beberapa klasifikasi fraktur temporal. Pada tahun 1926, Ulrich seperti dikutip oleh
March dan Meyers pertama kali membagi fraktur tulang temporal menjadi 2, yaitu
fraktur longitudinal dan transversal. Klasifikasi lainnya adalah berdasarkan keterlibatan
kapsul otik. Fraktur yang tidak melibatkan kapsul otik berjalan anterolateral dari kapsul
otik akibat benturan di daerah temporoparietal. Sedangkan fraktur yang melibatkan
kapsul otik terjadi akibat benturan pada daerah oksipital yang berjalan melintasi kapsul
11
otik sehingga merusak koklea dan labirin. Sampai saat ini klasifikasi menurut Ulrich
yang paling sering dipakai (Munilson, Edward, dan Rusdi. 2015).
Gejala klinis fraktur longitudinal tulang temporal meliputi perdarahan dari liang
telinga akibat laserasi kulit liang telinga atau membran timpani, hemotimpanum, fraktur
kanalis akustikus eksternus, tuli konduktif akibat kerusakan rangkaian tulang
pendengaran dan cedera saraf fasialis. Sekitar 20% fraktur longitudinal akan
mengakibatkan cedera pada saraf fasialis. Lokasi saraf fasialis yang terkena biasanya
pada segmen horizontal di distal ganglion genikulatum (Munilson, Edward, dan Rusdi.
2015).
Fraktur transversal meliputi sekitar 20% dari semua fraktur tulang temporal.
Fraktur jenis ini biasanya terjadi akibat benturan pada daerah frontal atau parietal, tetapi
dapat juga terjadi akibat benturan pada daerah oksipital. Garis fraktur berjalan tegak
lurus piramid petrosa, dimulai dari fossa kranii media (dekat foramen laserum dan
spinosum) kemudian melintasi piramid petrosa dan KAI, hingga berakhir di foramen
magnum Pada fraktur transversal, biasanya terjadi kerusakan pada koklea dan struktur
vestibuler yang mengakibatkan tuli sensorineural dan vertigo. Sedangkan cedera pada
saraf fasialis terjadi sekitar 50% kasus. Lokasi cedera biasanya pada daerah kanalis
auditori interna sampai segmen horizontal di distal ganglion genikulatum (Munilson,
Edward, dan Rusdi. 2015).
12
(Sumber Munilson, Edward, dan Rusdi 2015)
2. Bell’s Palsy merupakan suatu kelumpuhan akut nervus fasialis perifer yang tidak
diketahui sebabnya namun paling sering terjadi. Bell’s palsy atau prosoplegia adalah
kelumpuhan fasialis tipe lower motor neuron (LMN) akibat paralisis nervus fasial perifer
yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf
pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya (Aminoff, 1993; Djamil,
2003,Davis,2005 dalam Bahrudin, 2011).
Diperkirakan, penyebab Bell’s palsy adalah virus. Akan tetapi, baru beberapa
tahun terakhir ini dapat dibuktikan etiologi ini secara logis karena pada umumnya kasus
BP sekian lama dianggap idiopatik. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori
menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan
peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada
saat melalui tulang temporal (Mardjono,2003, Davis,2005 Bahrudin, 2011).
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang
mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen
mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi
atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang
dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear,
nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik
primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan
daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer (Mardjono,2003). Pada awalnya,
penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur, menggosok gigi atau
berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan adanya kelainan di daerah mulut
maka penderita biasanya memperhatikannya lebih cermat dengan menggunakan cermin
13
(Djamil, 2003). Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak
dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya
maka bola mata tampak berputar ke ataS (Bell phenomen). Penderita tidak dapat bersiul
atau meniup, apabila berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut yang
lumpuh (Djamil, 2003, Afzal Mir, 2003 dalam Bahrudin, 2011).
14
Gambar 1. Pemeriksaan Fungsi Motorik
(Sumber Munilson, Edward, dan Rusdi. 2015)
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca untuk memahami pembahasan
yang telah kelompok buat.
17
DAFTAR PUSTAKA
18