Disusun Oleh :
Novitasari Raja guk-guk (1333070100)
Pembimbing :
DR. Dr. Adrian Khu, Sp.OT, FICS
Nilai :
Pembimbing
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Paper yang berjudul “Spinal Cord
Injury” yang disusun dalam rangka untuk memenuhi persyaratan mengikuti
kepaniteraan senior bagian Bedah Orthopeadic di RSU. Royal Prima Medan.
Terima kasih kepada dokter pembimbing DR. Dr. Adrian Khu, Sp.OT, FICS ,
yang telah membimbing, mengarahkan, dan memberikan ilmu kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa paper ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu
penulis mengharapkan kritik serta saran. Semoga dengan adanya paper ini dapat
memberikan manfaat dan menambah pengetahuan semua pihak.
Penulis
PENDAHULUAN
Cedera saraf tulang belakang (SCI) adalah kondisi medis yang kompleks dan
mengganggu kehidupan. Secara historis, telah dikaitkan dengan tingkat kematian
yang sangat tinggi. Namun hari ini, di negara-negara berpenghasilan tinggi, SCI
dapat dilihat lebih sedikit sebagai akhir yang berharga atau kehidupan produktif
dan lebih sebagai tantangan pribadi dan sosial yang dapat berhasil diatasi.
Perubahan ini mencerminkan penyediaan medis yang lebih baik, yang berarti itu
orang dapat bertahan hidup, hidup dan berkembang setelah cedera. Misalnya,
orang yang mengembangkan SCI sekarang dapat memperoleh manfaat dari
peningkatan tanggap darurat, intervensi kesehatan dan rehabilitasi yang efektif,
dan teknologi seperti respirator dan kursi roda yang sesuai, bersama dengan
layanan sosial yang lebih luas dan lingkungan yang lebih mudah diakses.
Akibatnya, kehidupan dapat disimpan dan berfungsi bisa dimaksimalkan. Banyak
orang dengan SCI sekarang dapat mengantisipasi tidak hanya hidup yang lebih
panjang, tetapi juga kehidupan yang lebih penuh dan lebih produktif, daripada
yang mereka lakukan telah ada di generasi sebelumnya. Di negara-negara
berpenghasilan rendah situasinya sangat berbeda. SCI traumatik sering tetap
merupakan kondisi terminal. Di negara-negara berpenghasilan rendah, dan di
banyak yang berpenghasilan menengah, ketersediaan alat bantu berkualitas seperti
kursi roda sangat terbatas, layanan medis dan rehabilitasi sangat minim, dan
peluang untuk berpartisipasi dalam semua bidang kehidupan pribadi dan sosial
dibatasi. Kemiskinan membuat hidup lebih sulit lagi bagi orang-orang dengan
SCI. Namun fakta bahwa kemajuan dramatis semacam itu terjadi kelangsungan
hidup dan partisipasi telah terlihat di negara-negara berpenghasilan tinggi secara
relatif waktu singkat harus menjadi alasan untuk optimis untuk bagian lain Dunia.
Dengan tanggapan kebijakan yang tepat, harus dimungkinkan untuk hidup,
berkembang dan berkontribusi dengan SCI di mana pun di dunia.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ANATOMI
Medulla spinalis merupakan organ berbentuk silindris yang dimulai dari foramen
magnum di tulang tengkorak sampai dengan dua pertiga seluruh panjang kanal
vertebralis (dibentuk dari seluruh foramen vertebralis), berkesinambungan dengan
medulla oblongata di otak, dan bagian terujung dari medulla spinalis terletak di
batas bawah vertebra lumbar pertama pada orang dewasa dan batas bawah
vertebra lumbar ketiga pada anak-anak. Medulla spinalis dikelilingi oleh 3 lapisan
meninges, antara lain dura mater, araknoid mater, dan pia mater. Selain itu, likuor
cerebrospinalis (LCS) yang berada dalam rongga subaraknoid juga memberikan
perlindungan tambahan bagi medulla spinalis.
Medulla spinalis terdiri dari 31 segmen, antara lain 8 segmen servikal, 12 segmen
torakal, 5 segmen lumbar, 5 segmen sakral, dan 1 segmen koksigeal (Gambar 4).
Nervus spinalis keluar dari setiap segmen medulla spinalis tersebut (berjumlah 31
pasang nervus spinalis) dan terdiri dari motor atau anterior roots
(radiks) dan sensory atau posterior root. Penamaan nervus spinalis dilakukan
berdasarkan daerah munculnya nervus tersebut melalui kanal vertebralis. Nervus
spinalis C1 sampai C7 muncul dari atas kolumna vertebralis C1-C7, sedangkan
C8 diantara kolumna vertebralis C7-T1. Nervus spinalis lainnya muncul dari
bawah kolumna vertebralis yang bersangkutan.
Fungsi motor dari nervus-nervus spinalis antara lain, C1-C2 menginervasi otot-
otot leher, C3-C5 membentuk nervus phrenikus yang mempersarafi diafragma,
C5-T1 mempersarafi otot-otot ekstremitas atas, segmen torakal mempersarafi
otot-otot torakoabdominal, dan L2-S2 mempersarafi otot-otot ekstremitas bawah.
Beberapa dermatom penting yang memberikan gambaran untuk fungsi sensorik
dari nervus spinalis, antara lain C2-C3 untuk bagian posterior kepala-leher, T4-5
untuk daerah areola mamae, T10 untuk umbilikus, bagian ekstremitas atas: C5
Medulla spinalis terdiri dari dua substansia, antara lain substansia kelabu (gray
matter) yang terletak internal dan substansia alba (white matter) yang terletak
secara eksternal.Secara umum, substansia alba terdiri dari traktus ascending
(sensorik) dan descending (motorik), sedangkan substansia kelabu dapat dibagi
menjadi 10 lamina atau 3 bagian (kornu anterior, posterior, dan lateral) yang
tersusun dari nukleus-nukleus yang berperan dalam potensi aksi neuron-neuron
(Gambar 4 dan 5).
Selain traktus untuk fungsi sensorik dan motorik, medulla spinalis juga berperan
dalam fungsi otonom. Fungsi saraf simpatis dipengaruhi oleh saraf kranialis T1-
L3 (torakolumbal), sedangkan fungsi saraf parasimpatis pada S2-S4. Lesi medulla
spinalis pada daerah yang bersangkutan dapat menyebabkan gangguan saraf
otonom sesuai dengan tingkat lesinya. Salah satu korelasi klinis dari fungsi saraf
simpatis yang terganggu akibat dari lesi lebih tinggi dari T6 adalah neurogenic
shock akibat hilangnya tonus simpatis pada pembuluh darah arteri, sedangkan
gangguan miksi dan disfungsi ereksi akibat gangguan tonus parasimpatis.
Perfusi dari medulla spinalis terdiri dari 1 arteri spinalis anterior dan 2 arteri
spinalis posterior. Arteri spinalis anterior memberikan suplai darah 2/3 bagian
anterior dari medulla spinalis. Adanya lesi pada pembuluh darah tersebut
menyebabkan disfungsi dari traktus kortikospinal, spinotalamik lateral, dan jalur
otonom (paraplegia, hilangnya persepsi nyeri dan temperatur, dan disfungsi
otonom). Arteri spinalis posterior secara utama memberikan suplai darah untuk
kolumna dorsalis dan substansia kelabu bagian posterior. Kedua arteri tersebut
muncul dari arteri vertebralis. Beberapa cabang radikuler dari aorta torakalis dan
abdominalis memberikan perdarahan kolateral bagi medulla spinalis.
Prevalensi dari penyakit ini adalah persentase dari populasi yang secara
langsung dipengaruhi oleh penyakit itu pada satu titik waktu tertentu. Dari
beberapa variasi studi memberikan tingkat pravalensi antara 130 dan 1.1124 per
juta.
Cedera ini umumnya melibatkan pria dewasa muda dengan rentang usia
rata-rata 28 tahun (terutama antara 16-30 tahun). Hampir seluruh pasien cedera
medulla spinalis (80,6%) adalah pria (perbandingan rasio pria: wanita yaitu 4:1)
karena resiko yang lebih tinggi terhadap kecelakaan lalu lintas, kekerasan, jatuh,
dan cedera yang berhubungan dengan rekreasi (seperti diving). Tingkat mortalitas
yang tinggi (50%) pada cedera medula spinalis umumnya terjadi pada saat kondisi
kecelakaan awal, sedangkan tingkat mortalitas bagi pasien yang masih bertahan
hidup dan dilarikan ke rumah sakit adalah 16%. Tingkat harapan hidup pada
pasien dengan cedera medulla spinalis menurun secara drastis apabila
2.4. KLASIFIKASI
Seperti yang telah disinggung pada sub-bab sebelumnya, shok spinal atau
fase tidak adanya aktivitas medulla spinalis (penurunan fungsi motorik, sensorik,
refleks dan otonom) terjadi pasca-cedera hebat pada medulla spinalis. Durasi shok
spinal bervariasi dari periode 48 jam sampai 6-8 minggu. Pada fase shok spinal,
tidak mungkin seorang tenaga kesehatan dapat menilai status neurologis
sesungguhnya (akibat cedera) dari pasien tersebut. Status neurologis hanya dapat
dinilai setelah fase tersebut selesai dimana diagnosis dari cedera komplit atau
inkomplit dari medulla spinalis dapat ditegakkan.
Gambar 10. Sindrom klasik medulla spinalis. (a) central cord syndrome, (b)
anterior cord syndrome, (c) brown sequard syndrome, dan (d) posterior cord
syndrome
Gambar dikutip dari: Kaye AH. Chapter 16. Spinal Injuries. In: Kaye AH.
Essential Neurosurgery. 3rd Edition. Victoria, Blackwell Publishing. 2005. p. 225-
33
A. Pada lesi komplit atau complete cord transection terjadi disrupsi dari
traktus sensorik (termasuk traktus spinotalamik anterior dan lateral),
motorik (kortikospinal anterior dan lateral), dan fungsi otonom dari level
lesi kebawah. Pada complete cord transection, terdapat dua fase, meliputi
fase arefleksia (fase shok spinal) dan fase hyperrefleksia.
Presentasi klinis pada fase arefleksia untuk pasien dengan lesi
komplit adalah tetraplegia (gangguan atau hilangnya fungsi motorik dan
atau sensorik pada segmen servikal dari medulla spinalis karena adanya
kerusakan elemen saraf dalam kanal spinalis yang melibatkan kelemahan
pada keempat ekstremitas, dan organ-organ pelvis), paraplegia (gangguan
atau hilangnya fungsi motorik dan atau sensorik pada segmen torakal,
lumbal, atau sakral (tetapi tidak servikal) akibat dari kerusakan elemen
Conus medullaris syndrome melibatkan level T11-L1. Sindrom ini terjadi akibat
cedera pada thorakolumbal yang menyebabkan fragmen tulang atau diskus
mengkompresi daerah medulla spinalis. Adanya disfungsi miksi dini dan saddle-
type anesthesia, kelemahan flaccid ekstremitas bawah yang simetris, nyeri
minimal (bila dibandingkan dengan nyeri hebat pada cauda equina
syndrome) membedakan sindrom ini dengan cauda equina syndrome.
Pemeriksaan klinis neurologis lengkap dan detil (fungsi motorik, sensorik, dan
fungsi sfingter) diperlukan untuk melihat perjalanan klinis dari CMS. Praktik
klinik yang umum dilakukan adalah mendefinisikan CMS sesuai
dengan International standards for neurological classification of spinal cord
injury yang dikeluarkan oleh ASIA (Gambar 24). Langkah-langkah dalam
penilaian status neurologis berturut-turut, antara lain menentukan level sensorik
untuk sisi kanan dan kiri dengan key sensory points, menentukan level motorik
dengan key motor muscles, menentukan single neurological level, menentukan
apakah cedera komplit atau inkomplit berdasarkan ada-tidaknya sacral
sparing, dan terakhir menentukan ASIA impairment scale. Level sensorik
didefinisikan sebagai dermatom intak yang paling kaudal untuk fungsi nyeri dan
raba kasar (memiliki nilai 2/normal/intak), fungsi sensorik pada level dibawahnya
Pemeriksaan radiologi dengan standar yang tinggi merupakan aspek krusial dalam
mendiagnosis cedera spinal. Plain x-ray posisi lateral dan anteroposterior
merupakan pemeriksaan yang fundamental untuk mendiagnosis cedera spinal,
sedangkan pemeriksaan CT dan MRI dapat digunakan untuk evaluasi lebih lanjut.
Pemeriksaan CT-Scan jauh lebih superior dibandingkan plain x-ray karena dapat
melihat dari potongan sagittal, koronal, atau potongan lainnya sesuai dengan
keinginan. Namun, apabila CT-Scan tidak tersedia, plain x-ray tetap memberikan
gambaran penting untuk screening dari fraktur dan dislokasi. Pemeriksaan MRI
yang normal memperbolehkan dilepasnya collar support dan mobilisasi dini, hal
ini dikarenakan MRI servikal dapat memperlihatkan setiap cedera pada daerah
servikal dari medulla spinalis, kompresi dari radiks, herniasi diskus, dan cedera
pada ligamen dan jaringan lunak.
Pemeriksaan foto x-ray pada daerah servikal harus melibatkan seluruh tulang dari
servikal (C1-C7) dan bagian atas dari T1 untuk menghindari tidak
teridentifikasinya cedera pada segmen bawah servikal, apabila masih tidak dapat
melibat bagian cervico-thoracic junction (CTJ) dapat digunakan swimmer’s
view atau traksi lengan. Interpretasi dari gambaran radiologi x-ray servikal dapat
dilakukan dengan “ABCs”, alignment, bones, cartilages, dan soft tissues.
Alignment ditelusuri menggunakan 4 garis utama seperti pada Gambar 25
(perbedaan >3,5 mm antara vertebra satu dengan yang lainnya dianggap
abnormal, dibawah <5mm unilateral facet dislocation dan diatasnya
bilateral), bone dilihat apakah adanya fraktur atau tidak (tipe
fraktur), cartilage dinilai adanya displacement dari facet joints dan pelebaran
diskus intervertebralis, dan soft tissues dinilai adanya pelebaran anterior dari
tulang belakang (nilai normal untuk lebar jaringan prevertebral C4 keatas adalah ?
1/3 lebar korpus vertebra tersebut, dan C4 kebawah ?100% lebarnya).
2.6. PENATALAKSANAAN
Kerusakan medulla spinalis akibat dari cedera primer umumnya tidak dapat
diperbaiki sehingga seluruh usaha dikerahkan untuk mencegah terjadinya
kerusakan lebih lanjut yang belum terjadi (sekunder) dan komplikasi-komplikasi
dari cedera tersebut. Prinsip utama dari tatalaksana CMS, antara lain mencegah
kerusakan sekunder dari CMS, reduksi dan stabilisasi dari cedera (tulang dan
ligamen), mencegah dan menangani komplikasi dari CMS, dan
rehabilitasi. Berdasarkan waktu penanganannya tatalaksana CMS dibagi menjadi
dua fase, antara lain fase pra-rumah sakit dan fase di rumah sakit.
Prinsip penanganan awal pada umumnya serupa pada pra-rumah sakit maupun di
rumah sakit yaitu prinsip Advance Trauma Life Support yang mengutamakan
survei primer ABCD (Airway, Breathing, Circulation, dan Disability) untuk
merestorasi tanda-tanda vital dan survei sekunder. Survei sekunder pada fase ini
umumnya hanya fokus terhadap gejala dan tanda klinis CMS (nyeri di leher atau
punggung, nyeri tekan pada tulang belakang, paraplegia/tetraplegia, paraesthesia,
inkontinensia, priapism, peningkatan temperatur dari kulit atau eritema).Titik
utama yang membedakan penanganan pra-rumah sakit dengan di rumah sakit
adalah tindakan imobilisasi dari tulang belakang serta memindahkan pasien ke
unit gawat darurat (UGD) rumah sakit.
Survei primer (ABCD) secara cepat untuk merestorasi setiap tanda-tanda vital
yang ada merupakan tindakan yang harus dilakukan sejak pertama kali
menemukan pasien trauma, kemudian disusul dengan survei sekunder secara cepat
untuk melihat gejala dan tanda klinis untuk CMS. Seperti yang telah dibahas
sebelumnya, pasien dengan CMS dapat mengalami respiratory
insufficiency akibat dari lesi CMS yang tinggi (parese nervus phrenikus) dan syok
A. Penanganan awal
Prinsip awal saat menerima pasien di UGD rumah sakit umumnya sama, yaitu
ditindaklanjuti sesuai penanganan trauma (ATLS) yaitu survei primer dan
sekunder. Apabila pada saat diterima di rumah sakit belum dilakukan tindakan
imobilisasi tulang belakang, maka tindakan awal yang harus dilakukan adalah
tindakan imobilisasi. Hal yang berbeda dengan penanganan pra-rumah sakit
adalah pada pemeriksaan neurologis harus dilakukan secara lengkap (apabila
tanda-tanda vital ABC sudah stabil). Pemeriksaan neurologis yang lengkap
dilakukan sesuai International Standards for Neurological Classification of Spinal
Cord Injury revisi 2011 yang dipublikasikan oleh ASIA. Pada saat pemeriksaan
neurologis awal dapat ditentukan level ketinggian lesi, lesi komplit atau
1. Sistem respiratorik
2. Sistem kardiovaskuler
Komplikasi utama yang krusial pada sistem kardiovaskuler akibat CMS adalah
syok neurogenik akibat dari syok spinal. Pada umumnya syok neurogenik terjadi
pada lesi diatas T6 akibat hilangnya dari tonus simpatis. Hilangnya tonus tersebut
menyebabkan vasodilasi dan bradikardia yang menyebabkan hipotensi dan syok.
Syok pada CMS harus dibedakan antara hipovolemik dan neurogenik karena
apabila pada syok neurogenik diberikan terlalu banyak cairan maka akan terjadi
edema paru. Tatalaksana syok neurogenik, antara lain pemberian cairan
IV, vasopressor dengan karakteristik alpha dan beta adrenergik (seperti
norepinefrin, epinefrin, dan dopamine), atropine untuk meningkatkan nadi, dan
hindari hipotermia akibat vasodilasi. Mean Arterial Pressure (MAP) harus
Tromboemboli merupakan salah satu komplikasi yang juga mungkin terjadi pada
pasien paraplegia/tetraplegia akibat CMS. Insiden emboli paru paling tinggi terjadi
pada minggu ke-3 setelah cedera dan merupakan penyebab kematian paling umum
pada pasien CMS yang berhasil selamat setelah tejadinya trauma. Apabila tidak
ada kontraindikasi seperti trauma kapitis atau toraks, stocking
antiembolism digunakan selama 2 minggu pertama setelah trauma dan
penggunaan antikoagulan dimulai dalam 72 jam setelah trauma selama 8-12
minggu (Low molecular weight heparin lebih baik daripada warfarin).
3. Sistem urologi
Setelah terjadinya CMS berat, buli-buli tidak dapat mengeluarkan urin secara
spontan, dan pasien yang tidak ditangani lebih lanjut akan menyebabkan retensio
urin yang berlanjut pada refluks urin dan gagal ginjal. Segera setibanya pasien di
RS harus dilakukan pemasangan kateter Foley. Waktu pulihnya refleks berkemih
bervariasi, umumnya 6-8 minggu, tetapi bisa sampai 1 tahun (ada literatur yang
mengatakan bisa tidak kembali).
Komplikasi CMS pada saluran kemih adalah terjadinya infeksi saluran kemih
(ISK).
ISK simptomatik yang disertai demam, leukositosis, dan pyuria harus diterai
dengan antibiotik yang adekuat selama 7-14 hari, sedangkan infeksi asimtomatik
4.Sistem gastrointestinal
Pasien dengan CMS setidaknya harus menerima cairan secara intravena selama 48
jam karena umumnya terjadi ileus paralitik pada CMS berat. Pada kondisi
tersebut, nasogastric tube dipasang (NGT) dan nil per oral (NPO) dilakukan
sampai bising usus kembali normal. Total parenteral nutrition sebaiknya
diberikan. Apabila ileus paralitik terjadi lama, distensi abdomen terjadi dan dapat
menyebabkan gangguan pergerakan diafragma. Ulkus peptikum akut dapat terjadi
dengan perdarahan atau perforasi, walaupun tidak umum terjadi, namun
komplikasi ini berbahaya. Oleh karena itu, pemberian antagonis reseptor H2
atau proton pump inhibitor (PPI) harus dimulai secepatnya dan diberikan minimal
3 minggu setelah trauma.
Evaluasi fungsi defekasi harus dilakukan sejak dini dan penatalaksanaan dimulai
secara agresif segera setelah timbul bising usus dan motilitas usus normal.
Ketinggian lesi menentukan fungsi defekasi, antara lain lesi diatas T12
menyebabkan hiperrefleksia dan spastic dari sfingter ani, sedangkan lesi
dibawahnya menyebabkan arrefleksia dan flaccid dari sfingter tersebut. Metode
pengosongan usus dengan kombinasi supositoria dan stimulasi anorektal,
merangsang pola evakuasi pada kolon distal.
5. Kulit
Ulkus dikubitus akan selalu menjadi komplikasi CMS, oleh karena itu pencegahan
perlu dilakukan sejak dini. Pada fase akut, pasien diposisikan miring kiri-miring
kanan setiap 2 jam untuk mencegah ulkus. Penggunaan matras busa atau air bisa
membantu mengurangi tekanan pada tonjolan tulang, namun posisi pasien harus
tetap diubah tiap 2 jam.
Setelah parameter sistemik sudah stabil, maka perhatian diarahkan pada stabilisasi
dan alignment dari tulang belakang dan medulla spinalis. Setiap CMS yang tidak
stabil harus distabilkan untuk mencegah adanya kerusakan lebih lanjut akibat
pergerakan dan juga melepaskan kompresi medulla spinalis. Pasien dengan CMS
daerah servikal dapat ditangani dengan menggunakan skeletal traction untuk
mereduksi dislokasi, melepaskan kompresi pada medulla spinalis pada burst
fracture, dan splint tulang belakang. Skeletal traction untuk mengembalikan atau
mempertahankan alignment yang normal merupakan metode yang cepat dan
efektif. Beberapa alat yang dapat digunakan, antara lain spring-loaded
tongs (Gardner-Wells), cone, dan university of Virginia (Gambar 26 dan Gambar
27). Beban yang digunakan tergantung adanya dislokasi atau tidak. Pada fraktur
tanpa dislokasi, beban yang digunakan umumnya 3-5 kg, sedangkan pada
dislokasi digunakan peningkatan berat 4 kg setiap 30 menit (sampai total 25 kg)
dalam posisi leher dalam keadaan fleksi. Pasien harus diperiksa status neurologis
nya setiap peningkatan beban, dan beban traksi harus dikurangi secepatnya bila
Cedera Medulla spinalis pada daerah torakolumbal terjadi umumnya karena gaya
fleksi-rotasi. Penanganan konservatif dapat dilakukan pada daerah tersebut yaitu
dengan postural reduction di ranjang (Gambar 29). Pada kondisi tertentu
dibutuhkan fiksasi internal pada fraktur-dislokasi yang tidak stabil untuk
mencegah kerusakan medulla spinalis dan radiksnya.