Anda di halaman 1dari 38

PAPER SPINAL CORD INJURY

Kepaniteraan Klinik Bedah Orthopaedic


RS Royal Prima Medan

Disusun Oleh :
Novitasari Raja guk-guk (1333070100)

Pembimbing :
DR. Dr. Adrian Khu, Sp.OT, FICS

KEPANITERAAN KLINIK BEDAH ORTHOPEADIC


UNIVERSITAS PRIMA INDONESIA
FAKULTAS KEDOKTERAN
RSU ROYAL PRIMA
MEDAN
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan tanggal :

Nilai :

Pembimbing

DR. Dr. Adrian Khu, Sp.OT, FICS

[Type text] Page 2


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Paper yang berjudul “Spinal Cord
Injury” yang disusun dalam rangka untuk memenuhi persyaratan mengikuti
kepaniteraan senior bagian Bedah Orthopeadic di RSU. Royal Prima Medan.
Terima kasih kepada dokter pembimbing DR. Dr. Adrian Khu, Sp.OT, FICS ,
yang telah membimbing, mengarahkan, dan memberikan ilmu kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa paper ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu
penulis mengharapkan kritik serta saran. Semoga dengan adanya paper ini dapat
memberikan manfaat dan menambah pengetahuan semua pihak.

Medan, Juni 2018

Penulis

[Type text] Page 2


DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... i


KATA PENGANTAR ............................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................... 1


BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 1
2.1. Anatomi .......................................................................................... 1
2.2. Definisi ........................................................................................... 12
2.3. Epidemiologi .................................................................................. 12
2.4. Klasifikasi ....................................................................................... 13
2.5. Diagnosis ........................................................................................ 17
2.6. Penatalaksanaan .............................................................................. 23
2.7. Komplikasi ..................................................................................... 33

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ iii

[Type text] Page 2


BAB 1

PENDAHULUAN

Cedera saraf tulang belakang (SCI) adalah kondisi medis yang kompleks dan
mengganggu kehidupan. Secara historis, telah dikaitkan dengan tingkat kematian
yang sangat tinggi. Namun hari ini, di negara-negara berpenghasilan tinggi, SCI
dapat dilihat lebih sedikit sebagai akhir yang berharga atau kehidupan produktif
dan lebih sebagai tantangan pribadi dan sosial yang dapat berhasil diatasi.
Perubahan ini mencerminkan penyediaan medis yang lebih baik, yang berarti itu
orang dapat bertahan hidup, hidup dan berkembang setelah cedera. Misalnya,
orang yang mengembangkan SCI sekarang dapat memperoleh manfaat dari
peningkatan tanggap darurat, intervensi kesehatan dan rehabilitasi yang efektif,
dan teknologi seperti respirator dan kursi roda yang sesuai, bersama dengan
layanan sosial yang lebih luas dan lingkungan yang lebih mudah diakses.
Akibatnya, kehidupan dapat disimpan dan berfungsi bisa dimaksimalkan. Banyak
orang dengan SCI sekarang dapat mengantisipasi tidak hanya hidup yang lebih
panjang, tetapi juga kehidupan yang lebih penuh dan lebih produktif, daripada
yang mereka lakukan telah ada di generasi sebelumnya. Di negara-negara
berpenghasilan rendah situasinya sangat berbeda. SCI traumatik sering tetap
merupakan kondisi terminal. Di negara-negara berpenghasilan rendah, dan di
banyak yang berpenghasilan menengah, ketersediaan alat bantu berkualitas seperti
kursi roda sangat terbatas, layanan medis dan rehabilitasi sangat minim, dan
peluang untuk berpartisipasi dalam semua bidang kehidupan pribadi dan sosial
dibatasi. Kemiskinan membuat hidup lebih sulit lagi bagi orang-orang dengan
SCI. Namun fakta bahwa kemajuan dramatis semacam itu terjadi kelangsungan
hidup dan partisipasi telah terlihat di negara-negara berpenghasilan tinggi secara
relatif waktu singkat harus menjadi alasan untuk optimis untuk bagian lain Dunia.
Dengan tanggapan kebijakan yang tepat, harus dimungkinkan untuk hidup,
berkembang dan berkontribusi dengan SCI di mana pun di dunia.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI

Medulla spinalis merupakan organ berbentuk silindris yang dimulai dari foramen
magnum di tulang tengkorak sampai dengan dua pertiga seluruh panjang kanal
vertebralis (dibentuk dari seluruh foramen vertebralis), berkesinambungan dengan
medulla oblongata di otak, dan bagian terujung dari medulla spinalis terletak di
batas bawah vertebra lumbar pertama pada orang dewasa dan batas bawah
vertebra lumbar ketiga pada anak-anak. Medulla spinalis dikelilingi oleh 3 lapisan
meninges, antara lain dura mater, araknoid mater, dan pia mater. Selain itu, likuor
cerebrospinalis (LCS) yang berada dalam rongga subaraknoid juga memberikan
perlindungan tambahan bagi medulla spinalis.

Medulla spinalis terdiri dari 31 segmen, antara lain 8 segmen servikal, 12 segmen
torakal, 5 segmen lumbar, 5 segmen sakral, dan 1 segmen koksigeal (Gambar 4).
Nervus spinalis keluar dari setiap segmen medulla spinalis tersebut (berjumlah 31
pasang nervus spinalis) dan terdiri dari motor atau anterior roots
(radiks) dan sensory atau posterior root. Penamaan nervus spinalis dilakukan
berdasarkan daerah munculnya nervus tersebut melalui kanal vertebralis. Nervus
spinalis C1 sampai C7 muncul dari atas kolumna vertebralis C1-C7, sedangkan
C8 diantara kolumna vertebralis C7-T1. Nervus spinalis lainnya muncul dari
bawah kolumna vertebralis yang bersangkutan.

Fungsi motor dari nervus-nervus spinalis antara lain, C1-C2 menginervasi otot-
otot leher, C3-C5 membentuk nervus phrenikus yang mempersarafi diafragma,
C5-T1 mempersarafi otot-otot ekstremitas atas, segmen torakal mempersarafi
otot-otot torakoabdominal, dan L2-S2 mempersarafi otot-otot ekstremitas bawah.
Beberapa dermatom penting yang memberikan gambaran untuk fungsi sensorik
dari nervus spinalis, antara lain C2-C3 untuk bagian posterior kepala-leher, T4-5
untuk daerah areola mamae, T10 untuk umbilikus, bagian ekstremitas atas: C5

[Type text] Page 2


(bahu anterior), C6 (ibu jari), C7 (jari telunjuk dan tengah), C8 (jari kelingking),
T1 (bagian medial antebrakii), T2 (bagian medial dari brakialis), T2/T3 (aksila),
bagian ekstremitas bawah: L1 (bagian anterior dan medial dari femoralis), L2
(bagian anterior dari femoralis), L3 (lutut), L4 (medial malleolus), L5 (dorsum
pedis dan jari 1-3), S1 (jari 4-5 dan lateral malleolus), S3/Co1 (anus).

Medulla spinalis terdiri dari dua substansia, antara lain substansia kelabu (gray
matter) yang terletak internal dan substansia alba (white matter) yang terletak
secara eksternal.Secara umum, substansia alba terdiri dari traktus ascending
(sensorik) dan descending (motorik), sedangkan substansia kelabu dapat dibagi
menjadi 10 lamina atau 3 bagian (kornu anterior, posterior, dan lateral) yang
tersusun dari nukleus-nukleus yang berperan dalam potensi aksi neuron-neuron
(Gambar 4 dan 5).

[Type text] Page 2


Gambar 1. Anatomi Medulla Spinalis
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending
and Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition.
Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84

Gambar 2. Gambar penampang melintang dari medulla spinalis setinggi


midservikal
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending
and Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition.
Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84

Gambaran perjalanan sensorik dari nervus sensorik perifer sampai menuju ke


pusat sensorik di korteks serebral dapat dilihat pada Gambar 6. Traktus sensorik
(ascending tracts) dari medulla spinalis mencakup, antara lain traktus
spinotalamik lateral yang membawa sensorik untuk nyeri dan temperatur (Gambar
7), anterior spinotalamik untuk perabaan (kasar/ crude touch) dan tekanan
(Gambar 8), traktus kolumna dorsalis (posterior white column) untuk raba halus

[Type text] Page 2


(two-point discrimination), fungsi proprioseptif dan getaran (Gambar 9), dan
traktus-traktus lainnya seperti, spinocerebellar (posterior dan anterior),
cuneocerebellar, spinotectal, spinoreticular, spinotectal, dan spino-olivary.

Gambar 3. Gambaran umum perjalanan rangsang sensorik dari sistem saraf


perifer sampai pusat sensorik di korteks serebral (First-order
neuron sampai third-order neuron).
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending
and Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition.
Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84

[Type text] Page 2


Gambar 4. Traktus spinotalamik lateral
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending
and Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition.
Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84

[Type text] Page 2


Gambar 5. Traktus spinotalamik anterior
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending
and Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition.
Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84

[Type text] Page 2


Gambar 6. Traktus kolumna dorsalis (posterior white column)
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending
and Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition.
Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84

[Type text] Page 2


Gambaran perjalanan rangsang motorik melalui traktus motorik (descending
tract) dari pusat motor di girus presentral ke efektor (otot) dapat dilihat pada
Gambar 10. Traktus motorik dari medulla spinalis mencakup, antara lain traktus
kortikospinal (anterior dan lateral) untuk gerakan otot volunter dan yang
membutuhkan ketepatan (Gambar 11), rubrospinal untuk fasilitasi aktivitas otot-
otot fleksor dan menghambat otot ekstensor (atau otot antigravitasi),
vestibulospinal untuk fasilitasi otot-otot ekstensor dan menghambat otot fleksor
terutama untuk tujuan menjaga postur dan keseimbangan, dan olivospinal (fungsi
belum diketahui).

[Type text] Page 2


Gambar 7. Traktus kortikospinal anterior dan lateral
Gambar dikutip dari: Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending
and Descending Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition.
Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84

[Type text] Page 2


Pengetahuan akan perjalanan traktus-traktus (terutama mengenai pada level mana
terjadi decusatio) yang ada dalam substansia alba medulla spinalis akan
memberikan pengertian yang komprehensif mengenai manifestasi klinis pasien-
pasien dengan trauma medulla spinalis. Persepsi raba halus, proprioseptif, dan
getaran (dari traktus kolumna dorsalis) tidak mengalami penyilangan
(decusatio) sebelum rangsang tersebut mencapai medulla oblongata, sedangkan
traktus spinotalamik lateral dan anterior menyilang dalam 3 level segmen tempat
rangsang tersebut masuk. Di sisi lain, traktus motorik utama (kortikospinal)
mengalami decusatio pada level medulla oblongata. Hal ini menyebabkan adanya
lesi pada traktus kortikospinal atau kolumna dorsalis menyebabkan paralisis
motor ipsilateral (untuk kortikospinal) dan hilangnya persepsi raba halus,
proprioseptif, dan getaran pada ipsilateral dari lesi tersebut. Sebaliknya, lesi pada
traktus yang membawa persepsi nyeri, suhu, tekanan, dan raba kasar
menyebabkan hilangnya persepsi tersebut pada daerah kontralateral dari lesi.

Selain traktus untuk fungsi sensorik dan motorik, medulla spinalis juga berperan
dalam fungsi otonom. Fungsi saraf simpatis dipengaruhi oleh saraf kranialis T1-
L3 (torakolumbal), sedangkan fungsi saraf parasimpatis pada S2-S4. Lesi medulla
spinalis pada daerah yang bersangkutan dapat menyebabkan gangguan saraf
otonom sesuai dengan tingkat lesinya. Salah satu korelasi klinis dari fungsi saraf
simpatis yang terganggu akibat dari lesi lebih tinggi dari T6 adalah neurogenic
shock akibat hilangnya tonus simpatis pada pembuluh darah arteri, sedangkan
gangguan miksi dan disfungsi ereksi akibat gangguan tonus parasimpatis.

Perfusi dari medulla spinalis terdiri dari 1 arteri spinalis anterior dan 2 arteri
spinalis posterior. Arteri spinalis anterior memberikan suplai darah 2/3 bagian
anterior dari medulla spinalis. Adanya lesi pada pembuluh darah tersebut
menyebabkan disfungsi dari traktus kortikospinal, spinotalamik lateral, dan jalur
otonom (paraplegia, hilangnya persepsi nyeri dan temperatur, dan disfungsi
otonom). Arteri spinalis posterior secara utama memberikan suplai darah untuk
kolumna dorsalis dan substansia kelabu bagian posterior. Kedua arteri tersebut
muncul dari arteri vertebralis. Beberapa cabang radikuler dari aorta torakalis dan
abdominalis memberikan perdarahan kolateral bagi medulla spinalis.

[Type text] Page 2


[Type text] Page 2
Gambar 8 dan 9. Gambar penampang melintang medulla spinalis dengan
arteri spinalis anterior dan gambar perfusi medulla spinalis.
Gambar dikutip dari: Gruener G, Biller J. Spinal Cord Anatomy, Localization,
and Overview of Spinal Cord Syndromes. Continuum: Lifelong Learning Neurol
2008;14(3):11 dan Waxman SG. Chapter 6. The Vertebral Column and Other
Structures Surrounding the Spinal Cord. In: Waxman SG, ed. Clinical
Neuroanatomy. 26th ed. New York: McGraw-Hill; 2010.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=5272198. Accessed October 1,
2013.

2.2. DEFINISI SPINAL CORD INJURY (SCI)


Merupakan Cedera medulla spinalis atau Spinal Cord Injury
(SCI) didefinisikan sebagai cedera atau kerusakan pada medulla spinalis yang
menyebabkan perubahan fungsional, baik sementara maupun permanen, pada
fungsi motorik, sensorik, atau otonom.

2.3. EPIDEMIOLOGI SPINAL CORD INJURY (SCI)

Prevalensi dari penyakit ini adalah persentase dari populasi yang secara
langsung dipengaruhi oleh penyakit itu pada satu titik waktu tertentu. Dari
beberapa variasi studi memberikan tingkat pravalensi antara 130 dan 1.1124 per
juta.

Cedera ini umumnya melibatkan pria dewasa muda dengan rentang usia
rata-rata 28 tahun (terutama antara 16-30 tahun). Hampir seluruh pasien cedera
medulla spinalis (80,6%) adalah pria (perbandingan rasio pria: wanita yaitu 4:1)
karena resiko yang lebih tinggi terhadap kecelakaan lalu lintas, kekerasan, jatuh,
dan cedera yang berhubungan dengan rekreasi (seperti diving). Tingkat mortalitas
yang tinggi (50%) pada cedera medula spinalis umumnya terjadi pada saat kondisi
kecelakaan awal, sedangkan tingkat mortalitas bagi pasien yang masih bertahan
hidup dan dilarikan ke rumah sakit adalah 16%. Tingkat harapan hidup pada
pasien dengan cedera medulla spinalis menurun secara drastis apabila

[Type text] Page 2


dibandingkan pada populasi normal dan tingkat mortalitas jauh lebih tinggi tahun
pertama, apabila dibandingkan di tahun-tahun berikutnya.

2.4. KLASIFIKASI

Seperti yang telah disinggung pada sub-bab sebelumnya, shok spinal atau
fase tidak adanya aktivitas medulla spinalis (penurunan fungsi motorik, sensorik,
refleks dan otonom) terjadi pasca-cedera hebat pada medulla spinalis. Durasi shok
spinal bervariasi dari periode 48 jam sampai 6-8 minggu. Pada fase shok spinal,
tidak mungkin seorang tenaga kesehatan dapat menilai status neurologis
sesungguhnya (akibat cedera) dari pasien tersebut. Status neurologis hanya dapat
dinilai setelah fase tersebut selesai dimana diagnosis dari cedera komplit atau
inkomplit dari medulla spinalis dapat ditegakkan.

Menurut American Spinal Injury Association (ASIA), cedera medulla


spinalis komplit didefinisikan sebagai cedera yang melibatkan seluruh segmen
sakral dari medulla spinalis yaitu S4 dan S5 (fungsi sensorik dan motorik tidak
ada sama sekali), sedangkan cedera inkomplit tidak melibatkan dua segmen sakral
tersebut (fungsi S4-S5 masih ada antara fungsi motorik dan atau sensorik) dan
dapat masuk dalam salah satu dari 4 sindrom klasik medulla spinalis (Anterior
cord syndrome, posterior cord syndrome, central cord syndrome, dan Brown-
Sequard syndrome) ataupun gabungan dari sindrom-sindrom tersebut.

[Type text] Page 2


11

Gambar 10. Sindrom klasik medulla spinalis. (a) central cord syndrome, (b)
anterior cord syndrome, (c) brown sequard syndrome, dan (d) posterior cord
syndrome
Gambar dikutip dari: Kaye AH. Chapter 16. Spinal Injuries. In: Kaye AH.
Essential Neurosurgery. 3rd Edition. Victoria, Blackwell Publishing. 2005. p. 225-
33

A. Pada lesi komplit atau complete cord transection terjadi disrupsi dari
traktus sensorik (termasuk traktus spinotalamik anterior dan lateral),
motorik (kortikospinal anterior dan lateral), dan fungsi otonom dari level
lesi kebawah. Pada complete cord transection, terdapat dua fase, meliputi
fase arefleksia (fase shok spinal) dan fase hyperrefleksia.
Presentasi klinis pada fase arefleksia untuk pasien dengan lesi
komplit adalah tetraplegia (gangguan atau hilangnya fungsi motorik dan
atau sensorik pada segmen servikal dari medulla spinalis karena adanya
kerusakan elemen saraf dalam kanal spinalis yang melibatkan kelemahan
pada keempat ekstremitas, dan organ-organ pelvis), paraplegia (gangguan
atau hilangnya fungsi motorik dan atau sensorik pada segmen torakal,
lumbal, atau sakral (tetapi tidak servikal) akibat dari kerusakan elemen

[Type text] Page 2


saraf dalam kanal spinalis (sebagaimana didefinisikan oleh International
Standards for Neurological Classification of Spinal Cord Injury revisi
2011 yang dipublikasikan oleh ASIA), arefleksia, anestesia pada level
dibawah lesi, shok neurogenik (hipotensi dan hipotermia tanpa takikardia
kompensasi), gangguan nafas (pada lesi servikal atas), hilangnya tonus
rektum dan buli-buli, retensio urin dan usus menyebabkan ileus,
dan priapism. Pada fase hiperrefleksia, seluruh aktifitas refleks kembali
dan meningkat tonusnya. Babinski sign (dorsifleksi dari ibu jari), refleks
achilles, patellar, bulbocavernous, dan refleks lainnya akan kembali dan
meningkat. Refleks miksi dan defekasi akan meningkat dan tidak dapat
dikendalikan.

B. Sindrom lesi inkomplit


1. Central Cord syndrome (CCS) atau Schneider syndrome merupakan
salah satu sindrom lesi inkomplit dari medulla spinalis yang paling
umum dan terjadi akibat cedera hiperekstensi pada daerah servikal
dengan kompresi medulla spinalis oleh osteophyte secara anterior dan
ligamentum flavum secara posterior. Sindrom ini merupakan akibat
dari proses patologi yang terjadi di dalam dan sekitar kanal sentralis
sehingga pada lesi awal (lesi kecil) hanya traktus spinotalamik yang
mengalami penyilangan pada daerah tersebut saja yang terlibat
(Gambar 22). Seiring dengan meluasnya lesi ke lateral,traktus
kortikospinal akan terlibat dan menyebabkan kelemahan motorik yang
lebih bermakna di ekstremitas atas dibandingkan ekstremitas bawah
(tekanan sentral menyebabkan lesi lebih berat pada traktus yang lebih
medial yaitu traktus kortikospinal untuk ekstremitas atas). Penurunan
fungsi sensorik umumnya minimal, berbentuk shawl-like (seperti syal)
atau nonspesifik dan terjadi dibawah lesi. Disfungsi buli-buli yang
menyebabkan retensio urin terjadi pada beberapa kasus.

[Type text] Page 2


Gambar 11. Central Cord Syndrome
Gambar dikutip dari: Gruener G, Biller J. Spinal Cord Anatomy,
Localization, and Overview of Spinal Cord Syndromes. Continuum:
Lifelong Learning Neurol 2008;
2. Anterior Cord Syndrome atau Anterior Spinal Artery
Syndrome merupakan sindroma klinis pada cedera medulla spinalis
akibat retropulsi dari tulang atau diskus yang mengakibatkan kompresi
dan mengganggu perfusi dari medulla spinalis anterior (anterior spinal
artery). Hal ini menyebabkan kerusakan pada traktus kortikospinal dan
spinotalamik, tetapi tidak pada traktus kolumna dorsalis (perfusi utama
berasal dari posterior spinal artery). Sindrom ini umumnya terjadi
setelah cedera fleksi atau kompresi (axial loading). Adanya kelemahan
motorik, dan sensorik pada beberapa level dibawah level motorik tanpa
adanya gangguan bermakna pada fungsi proprioseptif, raba halus, dan
getaran sugestif mengarahkan diagnosis pada anterior cord syndrome.

3. Posterior cord syndrome merupakan cedera pada daerah posterior


medulla spinalis yang menyebabkan hilangnya fungsi proprioseptif,
getaran, dan two-point discrimination. Sindrom ini jarang terjadi pada
TSCI, dan seringnya terasosiasi dengan multiple sclerosis.Adanya

[Type text] Page 2


tanda Romberg yang positif, gaya jalan ataksik (atau stomping), dan
tanda Lhermitte yang positif merupakan tanda utama dari sindrom ini.

4. Brown-Séquard’s syndrome (BSS) terjadi karena hemisection dari


medulla spinalis akibat trauma tembus (baik karena pisau maupun luka
tembak) atau fraktur tulang belakang. Kondisi ini jarang terjadi, dan
umumnya datang dengan presentasi berupa parase motorik ipsilateral
dibawah lesi, hilangnya fungsi sensorik untuk nyeri, temperatur, dan
raba pada kontralateral dari lesi, dan hilangnya fungsi proprioseptif
ipsilateral dari lesi.

Conus medullaris syndrome melibatkan level T11-L1. Sindrom ini terjadi akibat
cedera pada thorakolumbal yang menyebabkan fragmen tulang atau diskus
mengkompresi daerah medulla spinalis. Adanya disfungsi miksi dini dan saddle-
type anesthesia, kelemahan flaccid ekstremitas bawah yang simetris, nyeri
minimal (bila dibandingkan dengan nyeri hebat pada cauda equina
syndrome) membedakan sindrom ini dengan cauda equina syndrome.

Spinal cord concussion mengakibatkan adanya hilangnya atau penurunan fungsi


medulla spinalis secara sementara. Patofisiologi terjadinya masih belum jelas,
namun dianggap menyerupai cerebral concussion. Penyembuhan terjadi dalam 6
jam sampai 48 jam.

[Type text] Page 2


2.5. DIAGNOSIS
2.5.1 Evaluasi klinis

Evaluasi klinis pada pasien dengan CMS membutuhkan penilaian status


neurologis lengkap, namun serupa dengan pasien trauma lainnya evaluasi klinis
awal dilakukan observasi primer. Pada observasi primer, ABC (Airway,
Breathing, Circulation) dinilai terlebih dahulu. Setelah ketiga aspek tersebut
dinilai stabil, maka penilaian status neurologis baru dilaksanakan (Disability).

Dugaan terhadap adanya CMS didapatkan melalui anamnesis yang menyeluruh


baik mengenai mekanisme trauma dan gejala yang berhubungan dengan trauma
pada daerah spinal (umumnya nyeri) dan adanya defisit motorik atau sensorik.
Selain itu, CMS akut harus diduga apabila ditemukan adanya gejala otonom
(retensio urin, konstipasi, ileus, hipotermia, hipotensi, bradikardia), defisit
motorik (hemiplegia, tetraplegia, paraplegia), dan sensorik (hemianestesia,
hemihipestesia). Penggunaan Kriteria NEXUS (the National Emergency X-
Radiography Utilization Study) Low-Risk Criteria atau CCR (The Canadian C-
Spine Rule) digunakan untuk mengidentifikasikan resiko rendah kemungkinan
terjadinya cedera servikal pada pasien trauma. NEXUS Low-Risk
Criteriameliputi, tidak adanya nyeri tekan pada daerah garis tengah posterior
(posterior midline cervical-spine tenderness), tidak adanya tanda-tanda
intoksikasi (alkohol), kesadaran normal (GCS 14 kebawah dianggap tidak
normal), tidak ada defisit neurologis fokal (setelah pemeriksaan neurologis
lengkap), dan tidak ada cedera yang nyeri dan mendistraksi (fraktur, nyeri
visceral, crush injury, luka bakar, dan nyeri lainnya), sedangkan
kriteria CCR dapat dilihat pada Gambar 23.

[Type text] Page 2


Gambar 12. The Canadian C-Spine Rule
Gambar dikutip dari: Stiell et al. The Canadian C-Spine Rule versus the NEXUS
Low-Risk Criteria in Patients with Trauma. N Eng J Med 2003;349:2510-8

Pemeriksaan klinis neurologis lengkap dan detil (fungsi motorik, sensorik, dan
fungsi sfingter) diperlukan untuk melihat perjalanan klinis dari CMS. Praktik
klinik yang umum dilakukan adalah mendefinisikan CMS sesuai
dengan International standards for neurological classification of spinal cord
injury yang dikeluarkan oleh ASIA (Gambar 24). Langkah-langkah dalam
penilaian status neurologis berturut-turut, antara lain menentukan level sensorik
untuk sisi kanan dan kiri dengan key sensory points, menentukan level motorik
dengan key motor muscles, menentukan single neurological level, menentukan
apakah cedera komplit atau inkomplit berdasarkan ada-tidaknya sacral
sparing, dan terakhir menentukan ASIA impairment scale. Level sensorik
didefinisikan sebagai dermatom intak yang paling kaudal untuk fungsi nyeri dan
raba kasar (memiliki nilai 2/normal/intak), fungsi sensorik pada level dibawahnya

[Type text] Page 2


tidak normal. Nilai level sensorik pada kanan dan kiri mungkin memiliki
perbedaan, sehingga nilai keduanya harus ditentukan. Level motorik ditentukan
dengan mengevaluasi key muscle paling rendah dengan kekuatan minimal 3
(dalam posisi telentang), dengan fungsi motorik pada segmen diatas level tersebut
memiliki kekuatan 5. Single Neurological Level ditentukan dengan level
neurologik paling rostral (paling atas) diantara 4 level yang ditemukan (level
sensorik dan motorik kanan, level sensorik dan motorik kiri).

Pemeriksaan bulbocavernous reflex (BCR) atau Osinski reflex merupakan


pemeriksaan refleks yang penting untuk menentukan muncul dan selesainya
periode dari shok spinal. Reflex ini melibatkan level S2-S4 medulla spinalis.
Tidak adanya BCR tanpa adanya CMS pada bagian sakral mengindikasikan
adanya shok spinal, dan umumnya refleks ini akan kembali pertama kali setelah
periode shok spinal berakhir. Tidak adanya sacral sparingsetelah BCR kembali
mengindikasikan bahwa cedera komplit dari CMS. Di sisi lain tidak adanya BCR
pada keadaan dimana diduga tidak terjadi shok spinal, mengindikasikan adanya
lesi pada cedera pada conus medullaris atau cauda equina.

[Type text] Page 2


Gambar 13. Metode ASIA dalam mengklasifikasikan CMS
Gambar dikutip dari: Kirshblum et al. International standards for neurological
classification of spinal cord injury (Revised 2011). J Spinal Cord Med
2011;34(6):535-46

[Type text] Page 2


2.5.2 Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi dengan standar yang tinggi merupakan aspek krusial dalam
mendiagnosis cedera spinal. Plain x-ray posisi lateral dan anteroposterior
merupakan pemeriksaan yang fundamental untuk mendiagnosis cedera spinal,
sedangkan pemeriksaan CT dan MRI dapat digunakan untuk evaluasi lebih lanjut.
Pemeriksaan CT-Scan jauh lebih superior dibandingkan plain x-ray karena dapat
melihat dari potongan sagittal, koronal, atau potongan lainnya sesuai dengan
keinginan. Namun, apabila CT-Scan tidak tersedia, plain x-ray tetap memberikan
gambaran penting untuk screening dari fraktur dan dislokasi. Pemeriksaan MRI
yang normal memperbolehkan dilepasnya collar support dan mobilisasi dini, hal
ini dikarenakan MRI servikal dapat memperlihatkan setiap cedera pada daerah
servikal dari medulla spinalis, kompresi dari radiks, herniasi diskus, dan cedera
pada ligamen dan jaringan lunak.

Pemeriksaan foto x-ray pada daerah servikal harus melibatkan seluruh tulang dari
servikal (C1-C7) dan bagian atas dari T1 untuk menghindari tidak
teridentifikasinya cedera pada segmen bawah servikal, apabila masih tidak dapat
melibat bagian cervico-thoracic junction (CTJ) dapat digunakan swimmer’s
view atau traksi lengan. Interpretasi dari gambaran radiologi x-ray servikal dapat
dilakukan dengan “ABCs”, alignment, bones, cartilages, dan soft tissues.
Alignment ditelusuri menggunakan 4 garis utama seperti pada Gambar 25
(perbedaan >3,5 mm antara vertebra satu dengan yang lainnya dianggap
abnormal, dibawah <5mm unilateral facet dislocation dan diatasnya
bilateral), bone dilihat apakah adanya fraktur atau tidak (tipe
fraktur), cartilage dinilai adanya displacement dari facet joints dan pelebaran
diskus intervertebralis, dan soft tissues dinilai adanya pelebaran anterior dari
tulang belakang (nilai normal untuk lebar jaringan prevertebral C4 keatas adalah ?
1/3 lebar korpus vertebra tersebut, dan C4 kebawah ?100% lebarnya).

[Type text] Page 2


Gambar 14. Garis Alignment dari gambaran lateral
Gambar dikutip dari: Grundy D, Swain A, Morris A. Chapter 3. Radiological
Investigations. In: Grundy D, Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. 4th edition.
BMJ Publishing Group, London. 2002. p. 11-6

2.6. PENATALAKSANAAN

Kerusakan medulla spinalis akibat dari cedera primer umumnya tidak dapat
diperbaiki sehingga seluruh usaha dikerahkan untuk mencegah terjadinya
kerusakan lebih lanjut yang belum terjadi (sekunder) dan komplikasi-komplikasi
dari cedera tersebut. Prinsip utama dari tatalaksana CMS, antara lain mencegah
kerusakan sekunder dari CMS, reduksi dan stabilisasi dari cedera (tulang dan
ligamen), mencegah dan menangani komplikasi dari CMS, dan
rehabilitasi. Berdasarkan waktu penanganannya tatalaksana CMS dibagi menjadi
dua fase, antara lain fase pra-rumah sakit dan fase di rumah sakit.

[Type text] Page 2


2.6.1 Penanganan pra-rumah sakit

Prinsip penanganan awal pada umumnya serupa pada pra-rumah sakit maupun di
rumah sakit yaitu prinsip Advance Trauma Life Support yang mengutamakan
survei primer ABCD (Airway, Breathing, Circulation, dan Disability) untuk
merestorasi tanda-tanda vital dan survei sekunder. Survei sekunder pada fase ini
umumnya hanya fokus terhadap gejala dan tanda klinis CMS (nyeri di leher atau
punggung, nyeri tekan pada tulang belakang, paraplegia/tetraplegia, paraesthesia,
inkontinensia, priapism, peningkatan temperatur dari kulit atau eritema).Titik
utama yang membedakan penanganan pra-rumah sakit dengan di rumah sakit
adalah tindakan imobilisasi dari tulang belakang serta memindahkan pasien ke
unit gawat darurat (UGD) rumah sakit.

Diperkirakan sampai 25% dari CMS mengalami perburukan setelah trauma


terjadi, baik ketika dalam perjalanan ke rumah sakit atau dalam penanganan awal
(4% diakibatkan karena tidak adanya tindakan imobilisasi yang adekuat).
Mobilisasi dengan perhatian khusus dan penggunaan teknik tertentu sangat
krusial pada pasien CMS karena dapat memperburuk cedera yang dialami pasien.
Posisi netral (anatomis), stabilisasi dengan rigid collar ditambah dengan karung
pasir (sandbags) atau bolster di kedua sisi leher dan wajah, spinal board,
penggunaan metode log-roll dan spinal lift untuk memindahkan pasien dengan
minimum 4 penolong merupakan teknik-teknik untuk imobilisasi tulang belakang
agar tidak mengalami cedera lebih lanjut. Tindakan imobilisasi terus
dipertahankan sampai pasien terbukti tidak mengalami CMS. Dalam literatur,
umumnya apabila MRI sudah menyatakan tidak ada kelainan pada daerah tulang
belakang maka penggunaan collar sudah dapat dilepas.

Survei primer (ABCD) secara cepat untuk merestorasi setiap tanda-tanda vital
yang ada merupakan tindakan yang harus dilakukan sejak pertama kali
menemukan pasien trauma, kemudian disusul dengan survei sekunder secara cepat
untuk melihat gejala dan tanda klinis untuk CMS. Seperti yang telah dibahas
sebelumnya, pasien dengan CMS dapat mengalami respiratory
insufficiency akibat dari lesi CMS yang tinggi (parese nervus phrenikus) dan syok

[Type text] Page 2


neurogenik yang menyebabkan hipotensi sehingga tatalaksana awal untuk
mencegah kerusakan sekunder akibat hipoksia dan hipotensi tersebut harus
dideteksi dan ditangani secara cepat dan adekuat. Intubasi harus dilakukan bila
memang dibutuhkan, tidak hanya untuk memberikan oksigenasi yang adekuat,
tetapi juga untuk mempertahankan patensi jalan napas. Pada pasien CMS yang
tidak stabil membutuhkan dokter atau paramedis yang berpengalaman dalam
teknik intubasi orotrakeal tanpa melakukan tindakan hiperekstensi dari leher
karena tindakan tersebut dapat memperparah CMS dan menyebabkan
kematian. Adanya penemuan dari tekanan sistolik dibawah 90 mmHg dan
bradikardia (nadi dibawah 60 kali/menit) menandakan terjadinya syok neurogenik
(hipovolemik bila takikardia). Syok neurogenik diatasi dengan pemasangan dua
IV line large bore (16-18 G), pemberian cairan isotonis, penggunaan vasopressor
(norepinefrin) dan atropine untuk meningkatkan nadi.

2.6.2 Penanganan di rumah sakit

Penanganan di rumah sakit mencakup seluruh sistem yang mungkin mengalami


komplikasi dari CMS, yaitu mulai dari sistem respiratorik, kardiovaskular,
urologi, gastrointestinal, kulit, sampai tindakan reduksi baik non-operatif maupun
operatif.

A. Penanganan awal

Prinsip awal saat menerima pasien di UGD rumah sakit umumnya sama, yaitu
ditindaklanjuti sesuai penanganan trauma (ATLS) yaitu survei primer dan
sekunder. Apabila pada saat diterima di rumah sakit belum dilakukan tindakan
imobilisasi tulang belakang, maka tindakan awal yang harus dilakukan adalah
tindakan imobilisasi. Hal yang berbeda dengan penanganan pra-rumah sakit
adalah pada pemeriksaan neurologis harus dilakukan secara lengkap (apabila
tanda-tanda vital ABC sudah stabil). Pemeriksaan neurologis yang lengkap
dilakukan sesuai International Standards for Neurological Classification of Spinal
Cord Injury revisi 2011 yang dipublikasikan oleh ASIA. Pada saat pemeriksaan
neurologis awal dapat ditentukan level ketinggian lesi, lesi komplit atau

[Type text] Page 2


inkomplit, dan ada-tidaknya fase shok spinal. Pemeriksaan radiologi kemudian
dilakukan untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan terjadinya CMS.

B. Penanganan spesifik untuk komplikasi-komplikasi CMS

1. Sistem respiratorik

Komplikasi pada traktus respirasi merupakan penyebab morbiditas dan mortailitas


utama pada pasien CMS. Lesi yang berkatian langsung dengan fungsi pernapasan
adalah lesi setingkat C5 keatas, sedangkan lesi pada tingkat torakal hanya
mengganggu fungsi batuk dan lesi di lumbal tidak mempengaruhi sama sekali.
Pasien dengan lesi diatas C5 sebaiknya diintubasi dan menggunakan ventilasi
mekanik karena penurunan fungsi respirasi secara gradual dapat terjadi. Fungsi
respirasi harus dimonitor secara ketat dengan memeriksa saturasi oksigen,
kapasitas vital (vital capacity/VC) paru, dan analisa gas darah berkala. Retensi
sputum umumnya terjadi dalam beberapa hari setelah cedera diakibatkan
gangguan pada fungsi batuk yang efektif, hal ini akan menyebabkan atelectasis
dan pneumonia. Chest physiotherapy, assisted cough dan latihan nafas secara
reguler dapat mencegah atelektasis dan infeksi paru.

2. Sistem kardiovaskuler

Komplikasi utama yang krusial pada sistem kardiovaskuler akibat CMS adalah
syok neurogenik akibat dari syok spinal. Pada umumnya syok neurogenik terjadi
pada lesi diatas T6 akibat hilangnya dari tonus simpatis. Hilangnya tonus tersebut
menyebabkan vasodilasi dan bradikardia yang menyebabkan hipotensi dan syok.
Syok pada CMS harus dibedakan antara hipovolemik dan neurogenik karena
apabila pada syok neurogenik diberikan terlalu banyak cairan maka akan terjadi
edema paru. Tatalaksana syok neurogenik, antara lain pemberian cairan
IV, vasopressor dengan karakteristik alpha dan beta adrenergik (seperti
norepinefrin, epinefrin, dan dopamine), atropine untuk meningkatkan nadi, dan
hindari hipotermia akibat vasodilasi. Mean Arterial Pressure (MAP) harus

[Type text] Page 2


ditargetkan diatas 70 mmHg, waaupun beberapa studi menunjukan MAP > 85
mmHg memberikan prognosis yang lebih baik.

Tromboemboli merupakan salah satu komplikasi yang juga mungkin terjadi pada
pasien paraplegia/tetraplegia akibat CMS. Insiden emboli paru paling tinggi terjadi
pada minggu ke-3 setelah cedera dan merupakan penyebab kematian paling umum
pada pasien CMS yang berhasil selamat setelah tejadinya trauma. Apabila tidak
ada kontraindikasi seperti trauma kapitis atau toraks, stocking
antiembolism digunakan selama 2 minggu pertama setelah trauma dan
penggunaan antikoagulan dimulai dalam 72 jam setelah trauma selama 8-12
minggu (Low molecular weight heparin lebih baik daripada warfarin).

3. Sistem urologi

Setelah terjadinya CMS berat, buli-buli tidak dapat mengeluarkan urin secara
spontan, dan pasien yang tidak ditangani lebih lanjut akan menyebabkan retensio
urin yang berlanjut pada refluks urin dan gagal ginjal. Segera setibanya pasien di
RS harus dilakukan pemasangan kateter Foley. Waktu pulihnya refleks berkemih
bervariasi, umumnya 6-8 minggu, tetapi bisa sampai 1 tahun (ada literatur yang
mengatakan bisa tidak kembali).

Program kateterisasi intermiten dimulai saat fase subakut,


ketika intake dan output cairan mulai stabil. Hal ini dilakukan untuk mencegah
terjadinya infeksi saluran kemih. Namun bila kateter Foley dilepas terlalu dini,
dapat terjadi kerusakan otot detrusor dan refluks karena tekanan pengisian buli-
buli yang tinggi.

Komplikasi CMS pada saluran kemih adalah terjadinya infeksi saluran kemih
(ISK).

ISK simptomatik yang disertai demam, leukositosis, dan pyuria harus diterai
dengan antibiotik yang adekuat selama 7-14 hari, sedangkan infeksi asimtomatik

[Type text] Page 2


tidak perlu diterapi secara rutin. Penerapan metode steril penting dilakukan untuk
pencegahan ISK.

4.Sistem gastrointestinal

Pasien dengan CMS setidaknya harus menerima cairan secara intravena selama 48
jam karena umumnya terjadi ileus paralitik pada CMS berat. Pada kondisi
tersebut, nasogastric tube dipasang (NGT) dan nil per oral (NPO) dilakukan
sampai bising usus kembali normal. Total parenteral nutrition sebaiknya
diberikan. Apabila ileus paralitik terjadi lama, distensi abdomen terjadi dan dapat
menyebabkan gangguan pergerakan diafragma. Ulkus peptikum akut dapat terjadi
dengan perdarahan atau perforasi, walaupun tidak umum terjadi, namun
komplikasi ini berbahaya. Oleh karena itu, pemberian antagonis reseptor H2
atau proton pump inhibitor (PPI) harus dimulai secepatnya dan diberikan minimal
3 minggu setelah trauma.

Evaluasi fungsi defekasi harus dilakukan sejak dini dan penatalaksanaan dimulai
secara agresif segera setelah timbul bising usus dan motilitas usus normal.
Ketinggian lesi menentukan fungsi defekasi, antara lain lesi diatas T12
menyebabkan hiperrefleksia dan spastic dari sfingter ani, sedangkan lesi
dibawahnya menyebabkan arrefleksia dan flaccid dari sfingter tersebut. Metode
pengosongan usus dengan kombinasi supositoria dan stimulasi anorektal,
merangsang pola evakuasi pada kolon distal.

5. Kulit

Ulkus dikubitus akan selalu menjadi komplikasi CMS, oleh karena itu pencegahan
perlu dilakukan sejak dini. Pada fase akut, pasien diposisikan miring kiri-miring
kanan setiap 2 jam untuk mencegah ulkus. Penggunaan matras busa atau air bisa
membantu mengurangi tekanan pada tonjolan tulang, namun posisi pasien harus
tetap diubah tiap 2 jam.

[Type text] Page 2


6. Penggunaan kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid (terutama metilprednisolon dosis tinggi) sekarang ini


mengalami kontroversi. Studi yang dilaksanakan oleh NASCIS 2 (National Acute
Spinal Cord Injury Study) menunjukan pemberian metilprednisolon dosis tinggi
(bolus 30 mg/kgBB dalam 15 menit kemudian dilanjutkan 5,4 mg/kgBB dalam 23
jam) yang dimulai dalam 8 jam setelah CMS tertutup meningkatkan prognosis
neurologis pasien. Studi NASCIS 3 kemudian menambahkan bahwa terapi
metilprednisolon yang dimulai dalam 3 jam setelah trauma harus dilanjutkan
selama 24 jam, sedangkan yang dimulai antara 3-8 jam pasca trauma harus
dilanjutkan selama 48 jam. Consortium for Spinal Cord Medicine tidak
merekomendasikan penggunaan neuroprotektan jenis apapun (steroid, ganglioside
GM-1, gacyclidine, tirilazad dan naloxone) karena bukti klinis peningkatan
prognosis akhir belum didapatkan secara definit.

7. Terapi reduksi non-operatif dan operatif

Setelah parameter sistemik sudah stabil, maka perhatian diarahkan pada stabilisasi
dan alignment dari tulang belakang dan medulla spinalis. Setiap CMS yang tidak
stabil harus distabilkan untuk mencegah adanya kerusakan lebih lanjut akibat
pergerakan dan juga melepaskan kompresi medulla spinalis. Pasien dengan CMS
daerah servikal dapat ditangani dengan menggunakan skeletal traction untuk
mereduksi dislokasi, melepaskan kompresi pada medulla spinalis pada burst
fracture, dan splint tulang belakang. Skeletal traction untuk mengembalikan atau
mempertahankan alignment yang normal merupakan metode yang cepat dan
efektif. Beberapa alat yang dapat digunakan, antara lain spring-loaded
tongs (Gardner-Wells), cone, dan university of Virginia (Gambar 26 dan Gambar
27). Beban yang digunakan tergantung adanya dislokasi atau tidak. Pada fraktur
tanpa dislokasi, beban yang digunakan umumnya 3-5 kg, sedangkan pada
dislokasi digunakan peningkatan berat 4 kg setiap 30 menit (sampai total 25 kg)
dalam posisi leher dalam keadaan fleksi. Pasien harus diperiksa status neurologis
nya setiap peningkatan beban, dan beban traksi harus dikurangi secepatnya bila

[Type text] Page 2


terjadi perburukan status neurologis. Selain itu, halo traction dapat digunakan
sebagai alat alternatif dari skeletal traction (Gambar 28).

Gambar 15. Macam-macam Skeletal traction Cone (kiri), Gardner-


Wells (kanan atas), dan University of Virginia (kanan bawah).
Gambar dikutip dari: Grundy D, Swain A. Chapter 5. Early Management and
Complications – II. In: Grundy D, Swain A. ABC of Spinal Cord Injury.
4th edition. BMJ Publishing Group, London. 2002. p. 21-4

[Type text] Page 2


Gambar 16. Gardner-Wells tongs
Gambar dikutip dari: Gambar dikutip dari: Freidberg SR, Magge SN. Chapter
60. Trauma to the Spine and Spinal Cord. In: Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ,
Baker RA. Netter’s Neurology. 2nd edition. Elsevier, Saunders. 2012. p.562-71

Cedera Medulla spinalis pada daerah torakolumbal terjadi umumnya karena gaya
fleksi-rotasi. Penanganan konservatif dapat dilakukan pada daerah tersebut yaitu
dengan postural reduction di ranjang (Gambar 29). Pada kondisi tertentu
dibutuhkan fiksasi internal pada fraktur-dislokasi yang tidak stabil untuk
mencegah kerusakan medulla spinalis dan radiksnya.

Gambar 17. Penanganan konservatif pada CMS daerah torakolumbal


Gambar dikutip dari: Grundy D, Swain A. Chapter 5. Early Management and
Complications – II. In: Grundy D, Swain A. ABC of Spinal Cord Injury.
4th edition. BMJ Publishing Group, London. 2002. p. 21-4

[Type text] Page 2


Banyak kontroversi mengenai penanganan secara operatif pada pasien
CMS. Kerusakan pada medulla spinalis umumnya terjadi sewaktu terjadinya
trauma sehingga tidak mengherankan bahwa tidak banyak bukti perubahan fungsi
neurologis yang bermakna terjadi setelah penanganan operatif dekompresi akut
dari tulang belakang. Indikasi umum dilakukan intervensi operatif, antara lain
perburukan dari defisit neurologis (indikasi absolut) yang ditunjukan dari adanya
lesi kompresi dengan menggunakan CT-Scan atau MRI, pasien dengan CMS
inkomplit yang tidak mengalami perbaikan dan hasil pencitraan menunjukan
adanya lesi kompresi (dipertimbangkan), luka terbuka akibat luka tembak atau
tusuk untuk mengeluarkan benda asing, dan untuk kepentingan stabilisasi
(terutama karena instabilitas hebat dengan lesi inkomplit, tidak bisa
dilakukannya closed reduction, dan agar tirah baring tidak terlalu lama).

[Type text] Page 2


DAFTAR PUSTAKA
1. Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and Spinal
Cord. In: Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netter’s
Neurology. 2nd edition. Elsevier, Saunders. 2012. p.562-7.
2. National Spinal Cord Injury Statistical Center. Spinal Cord Injury Facts
and Figures at a Glance. Birmingham, Alabama. 2012. Downloaded
from: https://www.nsisc.uab.edu.
3. Baron BJ, McSherry KJ, Larson, Jr. JL, Scalea TM. Chapter 255. Spine
and Spinal Cord Trauma. In: Tintinalli JE, Stapczynski JS, Cline DM, Ma
OJ, Cydulka RK, Meckler GD, eds.Tintinalli’s Emergency Medicine: A
Comprehensive Study Guide. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2011.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=6389092. Accessed
September 30, 2013.
4. Snell RS. Chapter 4. The Spinal Cord and the Ascending and Descending
Tracts. In: Snell RS. Clinical Neuroanatomy. 7th Edition. Lippincott
Williams & Wilkins, Philadelphia. 2010. p. 133-84.
5. Gondim FAA, Gest TR. Topographic and Functional Anatomy of the
Spinal Cord. Emedicine Medscape
2013. http://emedicine.medscape/article/1148570-overview#showall.
6. Chin LS. Spinal Cord Injuries. Emedicine Medscape
2013. http://emedicine.medscape.com/article/793582-overview#showall.
7. Sheerin F. Spinal Cord Injury: Causation and Pathophysiology. Emerg
Nurse 2005; 12(9):29-38.
8. Gondim FAA. Spinal Cord Trauma and Related Diseases. Emedicine
Medscape 2013. http://emedicine.medscape.com/article/1149070-
overview#a0199.
9. Kaye AH. Chapter 16. Spinal Injuries. In: Kaye AH. Essential
Neurosurgery. 3rdEdition. Victoria, Blackwell Publishing. 2005. p. 225-33.
10. Kirshblum et al. International standards for neurological classification of
spinal cord injury (Revised 2011). J Spinal Cord Med 2011;34(6):535-46.
11. Gruener G, Biller J. Spinal Cord Anatomy, Localization, and Overview of
Spinal Cord Syndromes. Continuum: Lifelong Learning
Neurol 2008;14(3):11.
12. Stiell et al. The Canadian C-Spine Rule versus the NEXUS Low-Risk
Criteria in Patients with Trauma. N Eng J Med 2003;349:2510-8.
13. Grundy D, Swain A, Morris A. Chapter 3. Radiological Investigations. In:
Grundy D, Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. 4th edition. BMJ
Publishing Group, London. 2002. p. 11-6.
14. Swain A, Grundy D. Chapter 4. Early Management and Complications – I
In: Grundy D, Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. 4th edition. BMJ
Publishing Group, London. 2002. p. 17-20.
15. Grundy D, Swain A. Chapter 5. Early Management and Complications –
II. In: Grundy D, Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. 4th edition. BMJ
Publishing Group, London. 2002. p. 21-4

[Type text] Page 2

Anda mungkin juga menyukai