Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

SINDROM-SINDROM DAN TRAUMA MEDULA SPINALIS

Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Bhayangkara Tk.I R. Said Sukanto

Disusun Oleh :
Sarah Salsabilla Gaeahanny
2120111148

Pembimbing :
dr. Dini Adriani, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK.I R. SAID SUKANTO
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN VETERAN JAKARTA
PERIODE 24 OKTOBER – 25 NOVEMBER 2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan karunia-
Nya penulis dapat menyelesaikan makalah Referat yang berjudul “Sindrom-Sindrom dan Trauma
Medula Spinalis”. Makalah ini merupakan salah satu syarat dalam memenuhi tugas
Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Penyakit Saraf RS Bhayangkara Tk.I R. Said Sukanto.
Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Dini Adriani, Sp.S selaku pembimbing yang
telah membimbing dan meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran sehingga makalah ini dapat
tersusun dengan baik. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada orang tua dan
seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan makalah ini.
Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat dalam menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan tema penulisan. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah
ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun agar dapat menjadi lebih baik di kemudian hari.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini dapat memenuhi tujuan
penulisan dan bermanfaat bagi semua pihak.

Jakarta, 31 Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
I. Latar Belakang .............................................................................................................. 1
II. Tujuan ...........................................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


I. Anatomi Medula Spinalis ............................................................................................. 2
II. Fisiologi Medula Spinalis (Jaras Utama) ......................................................................4
III. Definisi Trauma Medula Spinalis.................................................................................. 6
IV. Epidemiologi.................................................................................................................. 6
V. Etiologi.......................................................................................................................... 7
VI. Klasifikasi..................................................................................................................... 7
VII. Manifestasi Klinis....................................................................................................... .10
VIII. Tata Laksana.................................................................................................................16
IX. Prognosis..................................................................................................................... 19

BAB III PENUTUP


I. Kesimpulan ..................................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................22

iii
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Medula spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat (SSP). Medula spinalis
bersama dengan saraf spinalisnya menyediakan fungsi inervasi sensorik, motorik, dan
otonom terhadap ekstremitas dan batang tubuh.1 Trauma medula spinalis adalah cedera
pada tulang belakang baik terjadi secara langsung maupun tidak langsung, yang
menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan neurologis,
dapat menyebabkan kecacatan menetap atau kematian.2
Gejala-gejala dapat bervariasi mulai dari nyeri, paralisis, sampai terjadinya
inkontinensia berhubungan dengan lokasi kerusakan medula spinalis. Kerusakan medula
spinalis dapat dibagi menjadi tingkat inkomplit dengan gejala-gejala yang tidak berefek
pada pasien sampai tingkat komplit dimana pasien mengalami kegagalan fungsi total3.
Insiden cedera medula spinalis yaitu 40-80 kasus baru per 1 juta populasi setiap
tahunnya. Ini berarti bahwa setiap tahun sekitar 250.000-500.000 orang mengalami
cedera medula spinalis. Penelitian terakhir menunjukkan 90% kejadian cedera medula
spinalis disebabkan oleh trauma seperti kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh (25%),
olahraga (10%), atau kecelakaan kerja. Angka mortalitas didapatkan sekitar 48% dalam
24 jam pertama. Sekitar 80% meninggal di tempat kejadian oleh karena vertebra
servikalis memiliki risiko trauma paling besar, dengan level tersering C5, diikuti C4, C6,
kemudian T12, L1, dan T10.3
Kerusakan medula spinalis tersering oleh penyebab traumatik, disebabkan
dislokasi, rotasi, axial loading, dan hiperfleksi atau hiperekstensi medula spinalis atau
kauda ekuina. Terapi pada kasus cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk
meningkatkan dan mempertahankan fungsi sensorik dan motorik.3

II. Tujuan
1. Mengetahui dasar anatomi serta jaras utama medula spinalis
2. Mengetahui definisi, etiologi, serta epidemiologi trauma medula spinalis
3. Mengetahui klasifikasi berikut gejala klinis, serta penatalaksanaan trauma medula
spinalis

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Anatomi Medula Spinalis


Medula spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat (SSP). Medula spinalis
bersama dengan saraf spinalisnya menyediakan fungsi inervasi sensorik, motorik, dan
otonom terhadap ekstremitas dan batang tubuh. Medula spinalis berada di dalam ruang
kanalis vertebralis yang terletak di dalam kolumna vertebralis, dan merupakan organ
yang bersambungan dengan bagian rostral medula oblongata. Medula spinalis ini
berbentuk silindris dan tersusun secara segmental, dengan area yang bersifat seluler di
bagian tengah (substansia grisea) yang dikelilingi oleh kumpulan traktus serabut saraf
(substansia alba).1
Pada masa kehidupan intrauterin usia 3 bulan, panjang medula spinalis sama dengan
panjang kanalis vertebralis, sedang dalam masa-masa berikutnya kanalis vertebralis
tumbuh lebih cepat dibandingkan medula spinalis sehingga ujung kaudal medula spinalis
berangsur-angsur terletak pada tingkat yang lebih tinggi. Pada saat lahir, ujung kaudal
medula spinalis terletak setinggi tepi kaudal korpus vertebrae lumbalis II. Pada usia
dewasa, ujung kaudal medula spinalis umumnya terletak setinggi tepi kranial korpus
vertebrae lumbalis II atau setinggi diskus intervertebralis antara korpus vertebrae
lumbalis I dan II.4 Sehingga pada orang dewasa, medula spinalis lebih pendek dari
kolumna vertebralis: terletak memanjang mulai dari peralihan kranioservikal hingga
kurang lebih setinggi diskus intervertebralis lumbal pertama dan kedua (L1-L2). Namun
demikian, radiks dari saraf-saraf spinalis masih keluar dari kanalis spinalis dengan urutan
yang sesuai dengan tingkat vertebra.5
Struktur medula spinalis memiliki dua bagian yang melebar yaitu pada tingkat
servikal (C3-T1) yang menginervasi ekstremitas atas; dan pada tingkat lumbal (L1-S3)
yang menginervasi ekstremitas bawah. Terdapat 31 pasang saraf spinalis (8 pasang saraf
servikal, 12 pasang saraf torakal, 5 pasang saraf lumbal, 5 pasang saraf sakral dan 1
pasang saraf koksigeal) yang terletak secara bilateral seperti yang ditunjukkan oleh
gambar 1. Saraf spinalis ini menempel ke medula spinalis melalui radiks ventralis dan
dorsalis yang masing-masing membawa neuron primer aferen dan eferen (neuron aferen
membawa informasi ke SSP; neuron eferen membawa impuls keluar dari SSP). Radiks
ventralis dan dorsalis bergabung membentuk saraf spinalis di dekat foramen
intervertebralis, yaitu tempat saraf spinalis keluar dari kanalis vertebralis. Di ujung

2
medula spinalis (L1/L2), radiks saraf lumalis dan sakralis berjalan secara desenden
mebentuk kauda equina.1

Gambar 1. Anatomi Medula Spinalis6


Medula spinalis orang dewasa memanjang dari korpus vertebra C1 hingga L1 atau
L2. Diameter medula spinalis lebih lebar pada level servikal dan lumbal akibat
peningkatan jumlah neuron motorik pada kornu anterior menuju lengan dan tungkai.
Ujung medula spinalis dinamakan konus medularis. Medula spinalis adalah struktur yang
berkesinambungan dengan medula oblongata pada sisi superior dan konus medularis dan
filum terminale pada sisi inferior. Filum adalah filamen tipis perpanjangan dari konus
medularis. Lesi pada vertebra T12 atau L1 menyebabkan kerusakan medula spinalis level
lumbal. Lesi pada vertebra L2 mengenai konus medularis dan lesi di bawah vertebra L2
mengenai kauda ekuina yang merupakan kumpulan radiks.6
Medula spinalis, sama seperti otak, tersusun dari substansia grisea dan substansia
alba. Substansia alba tersusun dari jaras-jaras aferen dan eferen dari traktus-traktus.
Terdapat tiga jaras penting pada substansia alba. Dua jaras asendens utama adalah jaras
spinotalamikus dan kolumna dorsalis. Jaras terakhir adalah jaras kortikospinal lateral

3
yang membawa fungsi motorik.6 Sementara, substansia grisea tersusun dari berbagai
jenis neuron-neuron: mayoritas neuron motorik pada kornu anterior, mayoritas neuron
otonom pada kornu lateralis, dan mayoritas neuron somatosensorik pada kornu posterior
yang berpartisipasi dalam berbagai jaras aferen.5 Substansia grisea adalah suatu area yang
berbentuk seperti kupu-kupu atau huruf H. Area ini mengandung badan sel neuron
beserta percabangan dendritnya. Di area ini terdapat banyak serat-serat saraf yang tidak
berselubung myelin serta banyak mengandung kapiler-kapiler darah. Hal inilah yang
mengakibatkan area ini berwarna lebih gelap. Substansia grisea dapat dibagi ke dalam 10
lamina atau 4 bagian, yaitu:
1. Kornu anterior/dorsalis, yang mengandung serat saraf motorik, terdiri atas lamina
VIII, IX dan bagian dari lamina VII
2. Kornu posterior/ventcalis, yang membawa serat-serat saraf sensorik, terdiri atas
lamina l-IV
3. Kornu intermedium, yang membawa serat-serat saraf asosiasi, terdiri atas lamina
VII
4. Kornu lateral, merupakan bagian dari kornu intermedium yang terdapat pada
segmen torakal dan lumbal yang membawa serat saraf simpatis6.

Gambar 2. Penampang Lintang Medula Spinalis dengan Jaras Utama6


Lesi medula spinalis kadang dapat mengenai substansi alba saja (mis., lesi pada
kolumna posterior) atau hanya mengenai substansi grisea saja (mis., poliomielitis akut),
tetapi lebih sering mengenai keduanya.5

II. Fisiologi Medula Spinalis (Jaras Utama)


Perjalanan serabut saraf dalam medula spinalis terbagi menjadi dua, jalur desenden
dan jalur asenden. Jalur desenden terdiri dari traktus kortikospinalis lateralis, traktus

4
kortikospinalis anterior, traktus vetibulopsinalis, traktus rubrospinalis, traktus
retikulospinalis, traktus tektospinalis, fasikulus longitudinalis medianus. Jalur asenden
antara lain sistem kolumna dorsalis, traktus spinothalamikus, traktus spinocerebellaris
dorsalis, traktus spinocerebellar ventralis, dan traktus spinoretikularis.4
Jalur desenden sebagian besar berfungsi untuk mengatur gerakan motoris, baik yang
disadari ataupun mengatur derajat refleks. Jalur asenden lebih merupakan pembawa
masukan dari berbagai kualitas ke dalam otak, mulai informasi rasa nyeri, suhu, getaran,
raba, dan posisi tubuh. Jalur - jalur ini memiliki susunan tertentu di dalam medula
spinalis. Terdapat banyak jalur saraf (traktus) di dalam medula spinalis4.

Gambar 3. Berbagai Traktus pada Medula Spinalis4


A. Jaras Spinotalamikus (Nyeri dan Suhu)
Serabut saraf yang membawa sensasi nyeri dan suhu masuk dari radiks posterior
dan bersinaps dengan neuron orde kedua di kornu dorsalis. Akson kemudian
menyebrang ke sisi kontralateral dan bergabung dengan jaras spinotalamikus menuju
talamus. Jaras ini berada pada sisi anterolateral medula spinalis.
Lesi pada jaras spinotalamikus satu sisi menyebabkan hilangnya rasa nyeri dan
suhu di bawah level lesi sisi kontralateral.6
B. Kolumna Dorsalis atau Posterior (Propioseptif dan vibrasi)
Serabut saraf yang membawa informasi propioseptif dan vibrasi masuk dari
radiks posterior dan tidak bersinaps namun bergabung dengan jaras kolumna
posterior ipsilateral yang berada pada sisi posteromedial, kemudian naik bersinaps
dengan nukleus gracilis dan kuneatus pada medula oblongata bagian bawah. Neuron

5
orde kedua menyebrang di medula oblongata ke sisi kontralateral membentuk
lemnikus medialis dan naik menuju talamus.
Lesi pada kolumna dorsalis pada satu sisi menyebabkan hilangnya fungsi
propioseptif dan rasa vibrasi di bawah level lesi sisi ipsilateral.6
C. Traktus Kortikospinal (Jaras Motorik)
Traktus kortikospinal sebagai UMN mulai dari area moyotik di korteks serebri
kemudian akson UMN turun dan berkumpul membentuk korona radiata dan kapsula
interna. Hampir sebagian besar akson jaras motorik menyebrang pada dekusasio
piramidalis yang terletak di medula oblongata kemudian turun pada bagian lateral
medula spinalis yang disebut sebagai jaras kortikospinal lateral. Akson dari jaras ini
masuk pada kornu anterior medula spinalis dan bersinaps pada badan sel LMN atau
sel kornu anterior. Oleh karena itu, tanda dan gejala kelemahan motorik dapat
dibedakan menjadi kelemahan UMN atau LMN. Keduanya memiliki perbedaan
tanda dan gejala klinis yang mendasar sehingga membantu dalam menentukan
diagnosis topis.
Lesi pada traktus kortikospinal satu sisi medula spinalis menyebabkan
kelemahan motorik tipe UMN sisi ipsilateral (hemi- atau monoparesis spastik,
klonus, peningkatan refleks tendon dalam, dan refleks plantar ekstensor).6

III. Definisi Trauma Medula Spinalis


Trauma medula spinalis (TMS) adalah cedera pada tulang belakang baik langsung
maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga
menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau
kematian.2

IV. Epidemiologi
a. Insiden cedera medula spinalis menunjukkan terdapat 40- 80 kasus baru per 1 juta
populasi setiap tahunnya. Ini berarti bahwa setiap tahun sekitar 250.000-500.000
orang mengalami cedera medula spinalis.
b. Penelitian terakhir menunjukkan 90% kejadian cedera medula spinalis disebabkan
oleh adalah trauma seperti kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh (25%), olahraga (10%),
atau kecelakaan kerja.7
c. Angka mortalitas didapatkan sekitar 48% dalam 24 jam pertama. Sekitar 80%
meninggal di tempat kejadian oleh karena vertebra servikalis memiliki risiko trauma

6
paling besar, dengan level tersering C5, diikuti C4, C6, kemudian T12, L1, dan
T10.7,8
d. Kematian akibat TMS sekitar 12-16 kali lebih besar dibanding trauma lain.
Kebanyakan kematian akibat TMS terjadi dalam waktu 24 jam setelah masuk rumah
sakit (RS) dan terutama terjadi pada TMS dengan trauma multipel.4
e. Kerusakan medula spinalis tersering oleh penyebab traumatik, disebabkan dislokasi,
rotasi, axial loading, dan hiperfleksi atau hiperekstensi medula spinalis atau kauda
ekuina3.

V. Etiologi
Trauma medula spinalis (spinal cord injury) adalah trauma langsung atau tidak
langsung terhadap medula spinalis yang menyebabkan kerusakan medula spinalis.
Mekanisme terjadinya dapat dikarenakan :
a. Fraktur vertebra/dislokasi
b. Luka penetrasi/tembus
c. Perdarahan epidural/subdural
d. Trauma tidak langsung
e. Trauma intramedular/kontusio2

VI. Klasifikasi
1. ASIA/IMSOP
Metode klasifikasi menurut American Spinal Injury Association (ASIA)/
International Medical Society of Paraplegia (IMSOP) berdasarkan hubungan antara
kelengkapan dan level cedera dengan defisit neurologis yang timbul.2

7
Klasifikasi tingkat dan keparahan trauma medula spinalis ditegakkan pada saat
72 jam sampai 7 hari setelah trauma. Klasifikasi menurut ASIA/IMSOP dibagi
berdasarkan :
a. Berdasarkan impairment scale
1) Tipe Komplit (Grade A) : Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai S4-
S5
2) Tipe Inkomplit (Grade B) : Fungsi sensorik terganggu tapi fungsi motorik
terganggu sampai segmen sakral S4-S5
3) Tipe Inkomplit (Grade C) : Fungsi motorik terganggu di bawah level, tapi
otot-otot motorik utama* masih punya kekuatan < 3.
4) Tipe Inkomplit (Grade D) : Fungsi motorik terganggu di bawah level, otot-
otot motorik utama* punya kekuatan > 3.
5) Normal : (Grade E) : Fungsi motorik dan sensorik normal.
*) Otot-otot utama :
- Lengan : otot fleksor (elbow flexors), otot ekstensor tangan (wrist
extensors), otot ekstensor (elbow extensors), otot fleksor jari-jari
(finger flexors – distal phalanx of middle finger), abduktor jari-jari
(finger abductors – little finger).
- Tungkai : otot fleksor panggul (hip flexors), otot ekstensor lutut (knee
extensors), otot dorsofleksi pergelangan kaki (ankle dorsiflexors), otot

8
panjang ekstensor jari-jari (long toe extensors), otot fleksor plantar
pergelangan kaki (ankle plantar flexors).
b. Berdasarkan tipe dan lokasi trauma
1) Complete spinal cord injury (Grade A)
(a) Unilevel
(b) Multilevel
2) Incomplete spinal cord injury (Grade B, C, D)
(a) Cervico medullary syndrome
(b) Central cord syndrome
(c) Anterior cord syndrome
(d) Posterior cord syndrome
(e) Brown sequard syndrome
(f) Conus medullary syndrome
3) Complete Cauda Equina Injury (Grade A)
4) Incomplete Cauda Equina Injury (Grade B, C, D)
2. Sindroma Trauma Spinal
a. Brown Sequard Syndrome (Hemicord)
1) Kausa utama : trauma tembus, kompresi ekstrinsik
2) Gejala dan tanda klinis :
- Paresis UMN ipsilateral di bawah lesi dan LMN setinggi lesi
- Gangguan eksteroseptif (nyeri & suhu) kontralateral
- Gangguan propioseptif (raba dan tekan) ipsilateral
b. Sindroma Spinalis Anterior
1) Kausa utama : cedera yang menyebabkan HNP pada T4-T6
2) Gejala dan tanda klinis :
- Paresis LMN setinggi lesi, UMN dibawah lesi
- Dapat disertai disosiasi sensibilitas
- Gangguan eksteroseptif, propioseptif normal
- Disfungsi sfingter
c. Sindroma Spinalis Sentral Servikal
1) Kausa utama : hematomielia
2) Gejala dan tanda klinis :
- Paresis lengan > tungkai

9
- Gangguan sensorik bervariasi (disestesia/hiperestesia) di ujung distal
lengan
- Disosiasi sensibilitas
- Disfungsi miksi, defekasi, atau seksual
d. Sindroma Spinalis Posterior
1) Kausa utama : trauma, infark A. spinalis posterior
2) Gejala dan tanda klinis :
- Paresis ringan
- Gangguan eksteroseptif (nyeri/parestesia) pada punggung, leher, dan
bokong
- Gangguan propioseptif bilateral
e. Sindroma Konus Medullaris
1) Kausa utama : trauma lower sacral cord
2) Gejala dan tanda klinis :
- Gangguan motorik ringan, imetris, tidak ada atropi
- Gangguan sensorik saddle anestesi, muncul lebih awal, bilateral, ada
disosiasi sensibilitas
- Nyeri jarang, relatif ringan, simetris, bilateral pada daerah perineum
dan paha
- Reflex Achilles (-)
- Reflex Patella (+)
- Disfungsi sphincter terjadi dini dan berat
- Reflex bulbocavernosus dan anal (-)
- Gangguan ereksi dan ejakulasi
f. Sindroma Cauda Equina
1) Kausa utama : Cedera akar saraf lumbosakral
2) Gejala dan tanda klinis :
- Gangguan motorik sedang sampai berat, asimetris, dan atropi
- Gangguan sensibilitas saddle anestesi, asimetris, disosiasi sensibilitas
(-)
- Nyeri menonjol, hebat, timbul dini, radikular, asimetris
- Gangguan reflex bervariasi
- Gangguan sphincter timbul lambat, jarang berat, reflex jarang
terganggu, disfungsi seksual jarang2.

10
VII. Manifestasi Klinis
1. Central Cord Syndrome
Central Cord Syndrome (CCS) adalah suatu kumpulan gejala akibat adanya
cedera pada segmen servikal medula spinalis. Sindroma ini ditandai oleh adanya
kelemahan pada ekstremitas atas dan bawah disertai oleh gangguan sensori dan
berkemih. CCS sering terjadi pada orang tua, namun dapat juga terjadi pada golongan
usia dewasa muda.
CCS paling sering terjadi akibat injuri inkomplit pada bagian sentral segmen
servikal medula spinalis, paling sering pada segmen sevikal bagian tengah hingga
bagian bawah. Kasus CCS di masyarakat sering terjadi melalui mekanisme injuri
hiperekstensi pada penderita spndylosis servikal. Mekanisme injuri ini
mengakibatkan kerusakan yang paling parah pada bagian sentral medula spinalis dan
kerusakan yang lebih ringan pada bagian perifer dari medula spinalis.

Gambar 4. Injury Hiperkestensi pada Segmen Servikal Medula Spinalis4


Injuri pada area ini mengakibatkan kerusakan pada traktus spinothalamic
lateralis dan traktus kortikospinalis. Gangguan motorik maupun sensorik pada CCS
terjadi akibat pola laminasi traktus corticospinal dan traktus spinothalamic yang khas
pada medula spinalis. Traktus spinothalamic lateralis memiliki susunan laminasi
dengan pola somatotopik, dimana serat-serat yang berasal dari segmen sakral terletak
paling dorsolateral selanjutnya disusul oleh serat dari segmen lumbal dan torakal dan
terakhir serat pada segmen servikal terletak paling ventromedial. Karena CCS
disebabkan oleh injuri pada bagian sentral, maka serat-serat dari bagian servikal yang
mengalami injuri parah sedangkan serat-serat dari bagian sakral tidak mengalami
injuri. Kerusakan inkomplit pada traktus ini mengakibatkan hilangnya kemampuan

11
sensorik hingga batas-batas tertentu dalam hal pengantaran impuls rasa nyeri dan
suhu. Selain itu, kerusakan pada traktus ini dapat mengakibatkan hilangnya
kemampuan motorik yang berhubungan dengan rasa penuh pada kandung kemih,
keinginan untuk miksi, rasa nyeri pada kandung kemih, urethra dan ureter, sehingga
pada CCS terjadi disfungsi kandung kemih.
Kerusakan traktus kortikospinalis dapat mengakibatkan hilangnya kemampuan
untuk mengadakan pergerakan di bawah kemauan terutama pada bagian distal
ekstremitas baik atas maupun bawah. Karena tipe laminasi traktus corticospinal
dimana serat-serat yang melayani tangan terletak lebih medial daripada serat-serat
yang melayani kaki, maka injuri inkomplit di sentral segmen servikal medula spinalis
akan mengakibatkan kelemahan pada ekstremitas atas yang lebih parah daripada
ekstremitas bawah. Sendi-sendi yang terletak di sebelah proksimal maupun gerakan-
gerakan yang bersifat kasar bisanya tidak terlalu terpengaruh. Jika terjadi injuri yang
mengakibatkan perdarahan atau trombosis (seperti pada CCS) yang mengenai traktus
ini, maka pada awalnya akan tampak hilangnya tonus pada otot-otot yang
bersangkutan. Setelah beberapa hari atau minggu, tonus pada otot akan kembali
secara berangsur-angsur hingga pada akhirnya justru dapat terjadi spastisitas. Jika
kerusakan serat upper motor neuron yang melayani ekstremitas bawah cukup berat,
refleks babinsky akan positif.4
2. Anterior Cord Syndrome
Anterior cord syndrome terjadi pada bagian ventral spinal cord disebut juga
sebagai contusio servikalis anterior. Anterior cord syndrome sering ditemukan pada
tipe incomplete Spinal Cord Injury (LMS). Schneider, peneliti pertama yang
mendeskripsikan gambaran sindrom ini, menunjukkan pasien dengan paralisis
komplit dan hyperesthesia di level cedera dan masih adanya sensasi sentuh dan
getaran.
Biasanya terjadi karena kompresi arteri yang berjalan di depan medula spinalis,
kompresi ini mungkin disebabkan oleh fragmen tulang atau herniasi diskus yang
besar. Biasanya menimbulkan kehilangan total fungsi motorik di bawah level cedera,
sedangkan fungsi sensor hilangnya inkomplit.
Secara umum sensitivitas terhadap nyeri dan temperatur telah hilang sementara
vibrasi (ditest dengan garpu tala) dan sensasi posisi masih ada. Kerusakan terutama
pada anterior 2/3 medula spinalis dan berhubungan dengan insufisiensi vaskularisasi.

12
Masih terdapat sisa fungsi dari kolumna posterior (sensasi posisi, propiosepsi, dan
vibrasi).4
3. Posterior Cord Syndrome
Posterior cord syndrome terjadi pada bagian belakang spinal cord. Posterior
cord syndrome disebut juga sebagai contusio servikalis posterior. Posterior cord
syndrome sangat jarang ditemukan pada tipe incomplete Spinal Cord Injury (LMS).
Posterior cord syndrome terjadi bila sebuah objek ditekan ke bagian belakang spinal
cord. Posterior cord syndrome juga dihubungkan dengan cedera hiperekstensi
servikal.
Secara klinis pasien memiliki fungsi spinotalamikus yang masih utuh tetapi
kehilangan fungsi traktus kortikospinalis dan posterior column. Pada posterior
column terdapat fasciculus dorsalis. Fasciculus dorsalis terdiri atas fasciculus gracilis
(Goll) dan fasciculus cuneatus (Burdach). Fasikulus ini berfungsi menghantarkan
impuls raba spesifik diskriminatif, proprioseptif dan kinestetik ke talamus dan
akhirnya mencapai korteks serebri. Reseptor rasa raba spesifik terdapat pada
korpusculum Meissner. Impuls-impuls proprioseptif timbul akibat rangsangan pada
reseptor di dalam otot lurik, tendo, sendi, atau capsula articularis. Impuls ini selain
berfungsi propriosepsi (tanpa disadari) juga memberikan keterangan-keterangan
kepada individu yang bersangkutan tentang-posisi dan pergerakan berbagai bagian
tubuh (kinestesi).
Pasien biasanya tetap memiliki kekuatan otot yang masih utuh dan sensasi suhu
dan nyeri, tetapi kesulitan dalam mengkoordinasikan alat gerak. Tidak ada sensasi
getaran atau sensasi posisi. Propriosepsi menghilang oleh karena kerusakan pada
dorsal column.
Berjalan sangat sulit oleh karena kehilangan sensasi getaran. Pada situasi ini
pasien harus melihat ke kakinya untuk memastikan bahwa kakinya berada pada posisi
yang tepat sehingga pasien tidak akan jatuh, sumber lain menyebutkan bahwa
posterior cord syndrome dapat menimbulkan gejala nyeri dan parestesia (sering
bersifat membakar) pada leher, lengan atas, dan dada.

13
Gambar 5. Gaya Berjalan Tabes Dorsalis4
Prognosis posterior cord syndrome secara umum bersifat baik tetapi prognosis
ambulasi bersifat buruk, dimana banyak pasien mengalami kesulitan berjalan karena
kehilangan propriosepsi, dimana hal ini bermanifestasi sebagai slapping gait (gaya
berjalan pemungut puntung rokok) seperti pada tabes dorsalis. Dalam gaya jalan ini
terlihat bahwa penderita selalu memperhatikan kakinya. Matanya selalu melirik ke
kakinya. Jalannya mengangkang dan serta kakinya diangkat terlalu tinggi dan
dijatuhkan terlalu keras ke lantai. Pada penderita tes Romberg umumnya positif.4
4. Brown Sequard Syndrome
Sindrom Brown Sequard didefinisikan sebagai lesi inkomplit medula spinalis
dengan gambaran paralisis UMN dan hilangnya propriosepsi ipsilateral lesi disertai
hilangnya sensasi raba dan suhu kontralateral lesi. Patofisiologi sindrom Brown
Sequard adalah rusaknya atau hilangnya traktus medula spinalis baik ascenden atau
descenden pada satu sisi medula spinalis. Gambaran klinis sindrom Brown Sequard
bervariasi dari gangguan neurologis ringan sampai berat.
Hasil pemeriksaan fisik pada pasien dengan sindrom Brown Sequard dapat
ditemukan sindrom parsial atau murni. Sindrom Brown Sequard parsial memiliki
gambaran berupa paresis asimetris dengan hipalgesia yang lebih bermakna pada sisi
yang kurang paresis. Gambaran klinis sindrom Brown Sequard murni berhubungan
dengan keadaai berikut:
a. Gangguan pada traktus kortikospinalis lateralis, menyebabkan paralisis
spastik ipsilateral dibawah tingkat lesi, refleks babinski positif pada sisi
ipsilateral terhadap lesi, namun refleks tersebut dan refleks abnormal lain
mungkin tidak ditemukan pada cedera akut.
b. Gangguan pada kolumna posterior, menyebabkan hilangnya kemampuan
membedakan sensasi taktil, getaran, posisi tubuh, posisi sendi, dan
diskriminasi 2 titik ipsilateral pada tingkat di bawah lesi.

14
c. Gangguan pada traktus spinothalamikus lateralis, menyebabkan hilangnya
sensasi nyeri, raba kasar dan suhu pada sisi kontralateral terhadap lesi. Hal
ini biasanya timbul 2-3 segmen dibawah tingkat lesi.
d. Gangguan pada LMN pada tingkat lesi menyebabkan paralisis LMN
ipsilateral pada tingkat lesi.
e. Gangguan pada serabut aferen yang memasuki medula spinalis pada tingkat
lesi dan belum menyilang menyebabkan timbulnya daerah anesthesia pada
kulit pada sisi ipsilateral.4
5. Cauda Equina Syndrome
Kauda equina merupakan kumpulan akar saraf intradural pada ujung medula
spinalis. Kauda merupakan bahasa latin dari ekor, dan equina adalah bahasa latin
untuk kuda, sehingga berarti ekor kuda. Saraf pada region kauda equina meliputi
lumbal bagian bawah dan semua akar saraf sakralis. Sindrom kauda equina
disebabkan oleh penyempitan apapun pada kanalis spinalis yang menekan akar saraf
di bawah level medula spinalis.Gejala sindrom kauda equina meliputi:
a. Low back pain
LBP dapat dibagi menjadi nyeri lokal dan radikular : nyeri lokal secara umum
merupakan nyeri dalam akibat iritasi jaringan lunak dan korpus vertebra; nyeri
radikular secara umum adalah nyeri yang tajam dan seperti ditusuk-tusuk akibat
kompresi radiks dorsalis. Nyeri radikular berproyeksi dengan distribusi sesuai
dermatom.
b. Siatika unilateral atau bilateral
c. Hipoestesi atau anestesi saddle atau perineal
d. Gangguan buang air besar dan buang air kecil
e. Kelemahan motorik ekstremitas bawah dan defisit sensorik
f. Berkurang atau hilangnya refleks ekstremitas bawah
g. Manifestasi buang air kecil pada sindrom kauda equina meliputi retensi, sulitnya
memulai miksi, dan berkurangnya sensasi urethra.
h. Gangguan buang air besar dapat meliputi inkontinensia, konstipasi, hilangnya
tonus dan sensasi anus.4

15
VIII. Tata Laksana
Trauma medula spinalis merupakan keadaan darurat neurologi yang memerlukan
tidakan yang cepat, tepat, dan cermat untuk mengurangi angka kecacatan dan kematian.
Tujuan pengobatan pada trauma medula spinalis adalah :
a. Menjaga sel yang masih hidup agar terhindar dari kerusakan lanjut,
b. Eliminasi kerusakan akibat proses patogenesis sekunder,
c. Mengganti sel saraf yang rusak,
d. Menstimulasi pertumbuhan akson dan koneksitasnya,
e. Memaksimalkan penyembuhan defisit neurologis,
f. Stabilisasi vertebra,
g. Neurorestorasi dan neurorehabilitasi untuk mengembalikan fungsi tubuh.

A. Manajemen Pre-Hospital
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada saat tatalaksana prehospital untuk
mendukung tujuan penyembuhan yang optimal diantaranya adalah :
a. Stabilisasi manual
b. Membatasi fleksi dan gerakan-gerakan lain
c. Penanganan imobilitas vertebra dengan collar neck dan vertebral brace.
B. Manajemen di Unit Gawat Darurat
Tindakan darurat mengacu pada :
1. A (Airway)
Menjaga jalan napas tetap lapang.
2. B (Breathing)
Mengatasi gangguan pernapasan, jika perlu lakukan intubasi endotrakeal (pada
cedera medula spinalis servikal atas) dan pemasangan alat bantu napas supaya
oksigenasi adekuat.
3. C (Circulation)
Memperhatikan tanda-tanda hipotensi, terjadi karena pengaruh pada sistem
saraf ortosimpatis. Harus dibedakan antara :
a. Syok hipovolemik (hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin/basah). Tindakan:
berikan cairan kristaloid (NaCl 0,9% / ringer laktat), kalau perlu dengan koloid
(misal Albumin 5%).

16
b. Syok neurogenik (hipotensi, bradikardia, ekstremitas hangat/kering), pemberian
cairan tidak akan menaikkan tensi (awasi edema paru), maka harus diberi obat
vasopressor :
- Dopamine untuk menjaga MAP > 70
- Bila perlu adrenalin 0,2 mg,
- Dan boleh diulangi 1 jam kemudian
Cairan yang diberikan kristaloid (NaCl 0,9% / ringer laktat) atau koloid (misal
Albumin 5%)
4. Tindakan Selanjutnya
a. Pasang foley catheter untuk monitor hasil urine dan mencegah retensi urine.
b. Pasang pipa nasogastrik (hati-hati pada cedera servikal), dengan tujuan untuk
kepentingan nutrisi enteral serta dekompresi lambung pada distensi.
5. Pemeriksaan Umum dan Neurologis Khusus
a. Jika terdapat fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis :
- Servikal : pasang kerah fiksasi leher, jangan dimanipulasi dan disamping
kanan-kiri leher ditaruh bantal pasir.
- Torakal : lakukan fiksasi (torakolumbal brace)
- Lumbal : fiksasi dengan korset lumbal.
b. Defisit neurologis : berdasar gejala dan tanda klinis sesuai dengan tinggi dan
luas lesi.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium :
- Daraf perifer lengkap
- Urine lengkap
- GDS
- Ureum & kreatinin
- AGD
b. Radiologi
- Foto vertebra posisi AP/Lat dengan sesuai letak lesi.
- CT Scan/MRI jika dengan foto konvensional masih meragukan atau bila
akan dilakukan tindakan operasi.
c. Pemeriksaan lain
- EKG bila terdapat aritmia jantung
7. Pemberian Kortikosteroid

17
a. Bila diagnosis ditegakkan < 3 jam pasca trauma berikan metilprednisolon
30mg/KgBB i.v bolus selama 15 menit, ditunggu selama 45 menit (tidak
diberikan metilprednisolon dalam kurun waktu ini), selanjutnya diberikan infus
terus menerus metilprednisolon selama 23 jam dengan dosis 5,4 mg/KgBB/jam.
b. Bila 3-8 jam, idem, hanya infus metilprednisolon dilanjutkan untuk 47 jam
c. Bila > 8 jam tidak dianjurkan pemberian metislprednisolon.
C. Manajemen di Ruang Rawat
1. Perawatan Umum
a. Lanjutkan A,B,C sesuai keperluan
b. Usahakan suhu badan tetap normal (jika lesi diatas C8, termoregulasi tidak ada)
c. Jika ada gangguan miksi, pasang kondom kateter atau dauer kateter dan jika ada
retensi alvi, berikan laksan/klisma.
2. Pemeriksaan Neurofisiologi Klinik – SSEP
3. Medikamentosa
a. Lanjutkan pemberian metilprednisolon (mencegah proses sekunder)
b. Anti spastisitas otot sesuai keadaan klinis
c. Analgetik
d. Mencegah dekubitus, jika perlu gunakan kasur khusus
e. Mencegah DVT dengan stoking kaki khusus ata fisioterapi, jika perlu dapat
diberikan antikoagulan (heparin atau LMWH)
f. Mencegah proses sekunder (free radical, dll) dengan pemberian antioksidan
(Vit.C, Vit.E)
g. Stimulasi sel saraf dengan pemberian GMI-Ganglioside, dimulai dalam kurun
waktu 72 jam sejak onset sampai dengan 18-32 hari
h. Terapi obat lain sesuai indikasi, seperti antibiotik bila ada infeksi, dll.
4. Operasi
a. Indikasi Operatif
- Terdapat fraktur, pecahan tulang menekan medula spinalis
- Gambaran neurologis progresif memburuk
- Fraktur, dislokasi yang labil
- Terjadi herniasi diskus intervertebralis yang menekan medula spinalis
b. Waktu Operasi
- Waktu operasi antara 24 jam sampai dengan 3 minggu

18
- Tindakan operatif awal (< 24 jam) lebih bermakna menurunkan perburukan
neurologis, komplikasi, dan keluaran skor motorik satu tahun paska trauma.
c. Konsultasi ke bagian bedah saraf/spinal ortopedik berdasarkan indikasi.
D. Neurorestorasi dan Neurorehabilitasi
a. Tujuan :
1. Memberikan penerangan & pendidikan kepada pasien dan keluarga mengenai
trauma medula spinalis.
2. Memaksimalkan kemampuan mobilisasi & self-care (latihan mandiri) dan/atau
latih langsung jika diperlukan.
3. Mencegah komorbiditas (kontraktur, dekubitus, infeksi paru, dll)
b. Tindakan :
1. Fisioterapi
2. Terapi okupasi
3. Latihan miksi dan defekasi rutin
4. Terapi psikologis
c. Rehabilitasi cedera spinal servikal
Merupakan suatu kegiatan rehabilitasi dari hanya berbaring di tempat tidur
menuju kehidupan berkomunitas (rehabilitation from bedside to community).
1. Penyembuhan (Recovery)
a. Penyembuhan dapat terjadi karena adanya neuroplastisitas
b. Penyembuhan fungsi dinilai dengan FIM (Functional Independence
Measure), terdapat 18 items.
2. Rehabilitasi
Definisi WHO : Rehabilitasi ialah suatu proses progresif, dinamis,
dalam waktu yang terbatas bertujuan untuk meningkatkan kualitas individu
yang mengalami gangguan secara optimal dalam bidang mental, fisik, kognitif,
dan sosial.
Rehabilitasi cedera medula spinalis merupakan suatu pelayanan
kesehatan profesional yang bersifat multi-disiplin, yang dimulai sejak fase akut,
secara terus menerus dan ekstensif, lalu melakukan pelayanan khusus selama
fase sub-akut meliputi : perawatan, terapi fisik, terapi kerja, menjaga
pernapasan dan obat-obatan, istirahat dan rekreasi, psikologi, latihan
mengendarai mobil, pelayanan nutrisi, latihan wicara, dll. Kemudian

19
rehabilitasi dilanjutkan supaya pasien dapat kembali ke dalam lingkungan
komunitasnya dan dapat berperan seusai dengan keadaan fisiknya yang baru.2

IX. Prognosis
Prognosis tergantung pada :
a. Lokasi lesi (lesi servikal atas prognosis lebih buruk)
b. Luas lesi (komplit/inkomplit)
c. Tindakan dini (prehospital dan hospital)
d. Trauma multipel
e. Faktor penyulit (komorbiditas).2

20
BAB III
PENUTUP

I. Kesimpulan
Sebagai bagian dari sistem saraf pusat, medulla spinalis merupakan salah satu organ
saraf yang vital pada tubuh manusia. Trauma yang mengenai tulang belakang dapat
menyebabkan trauma pada medulla spinalis yang akan mengganggu fungsi dari
medulla spinalis. Trauma medulla spinalis dapat diklasifikasikan menjadi beberapa
kelompok dan dibedakan menjadi sindrom-sindrom berdasarkan kemampuan fungsional
medulla spinalis yang tersisa. Trauma medulla spinalis menyebabkan kompresi,
regangan, edema, dan gangguan sirkulasi pada medulla spinalis dan organ sekitarnya
sehigga fungsi medulla spinalis (motorik, sensorik, otonom, dan reflek) terganggu
tergantung letak lesi yang terjadi. Penatalaksanaan trauma medulla spinalis harus
dilakukan secara tepat dan hati hati mengingat kegawatdaruratan yang terjadi. Tata
laksana trauma medula spinalis meliputi manajemen pre-hospital, mobilisasi, saat di
rumah sakit, dan rehabilitasi fungsi medulla spinalis.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Ross. 2017. Crash Course Sistem Saraf (Indonesia Edition). 4th ed. Elsevier.
2. PERDOSSI. 2006. Konsensus nasional penanganan trauma kapitis dan trauma medula
spinalis. Jakarta: Prikarsa Utama.
3. Maditias, G., & Berawi, K. Diagnosis dan Tatalaksana Trauma Medula. Spinalis. J.
Medula Unila; 2017. 7(2): 48-49
4. Mahadewa, Tjokarda G.B., Sri Maliawan. 2009. Diagnosis dan Tatalaksana
Kegawatdaruratan Tulang Belakang. Edisi 1. Jakarta : Sagung Seto.
Baehr, M.
5. & Frotscher, M. 2019. Diagnosis Topik Neurologi : Anatomi, Fisiologi, Tanda,
dan Gejala. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
6. Yogarajah, M. 2015. Crash Course Neurology (Indonesia Edition). 4th ed. Elsevier.
7. Basuki A. Cedera medula spinalis akut. Dalam: Basuki A, Dian S, editors. 2010.
Kegawatdaruratan neurologi. Bandung: Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK
UNPAD/RSHS. hlm. 123-49.
8. The International Spinal Cord Society. International perspectives on spinal cord injury
(ISCOS). Geneva: WHO; 2013.

22

Anda mungkin juga menyukai