Dosen:
Sumbara, S. Kep., Ners., M. Kep
Disusun:
Kelompok 2, Kelas B Kecil
1. Dapid Arian AK.1.16.011
2. Elih Nurrul Hasanah AK.1.16.016
3. Ghina Nur Maulida AK.1.16.022
4. Ismi Latifah Martin AK.1.16.026
5. Lisna Widiyanti AK.1.16.031
6. Lisnasari AK.1.16.032
7. Siska Komariyah AK.1.16.048
Tim Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan.........................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan.......................................................................................2
BAB II TINJAUAN TEORI..................................................................................3
2.1 Anatomi Fisiologi Otak...............................................................................3
2.2 Konsep Trauma Otak................................................................................20
2.3 Definisi Hematoma Epidural....................................................................35
2.4 Epidemiologi.............................................................................................36
2.5 Patofisiologi..............................................................................................37
2.6 Diagnosis...................................................................................................39
2.7 Gambaran Klinis Perdarahan Epidural.....................................................39
2.8 Pemeriksaan Penunjang............................................................................42
2.9 Penatalaksanaan........................................................................................51
2.10 Asuhan Keperawatan Berdasarkan Teori................................................58
BAB III PEMBAHASAN....................................................................................69
3.1 Asuhan Keperawatan Kasus......................................................................69
3.2 Analisis Jurnal..........................................................................................76
BAB IV PENUTUP..............................................................................................78
4.1 Kesimpulan...............................................................................................78
4.2 Saran..........................................................................................................78
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................79
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2. Apa yang dimaksud Trauma Kepala?
3. Apa yang dimaksud Hematoma Epidural?
4. Apa yang menyebabkan terjadinya Hematoma Epidural?
5. Bagaimana proses terjadinya Hematoma Epidural?
6. Apa saja manifestasi Hematoma Epidural?
7. Bagaimana penatalaksanaan Hematoma Epidural?
8. Bagaiamana pemeriksaan Hematoma Epidural?
9. Bagaimana asuhan keperawatan secara teori pada Hematoma Epidural?
2.2.2 Epidemiologi
Secara global insiden cedera kepala meningkat dengan tajam
terutama karena peningkatan penggunaankendaraan bermotor. WHO
memperkirakan bahwa pada tahun 2020 kecelakaan lalu lintas akan
menjadi penyebab penyakit dan trauma ketiga terbanyak di dunia. Di
Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum
tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan
sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang
(CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera
kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun.
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera
kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%- 9% lainnya disebabkan
tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi (Irwana,2009).
2.2.3 Etiologi
Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera
yang terjadi akibat benturan langsung maupun tidak langsung, dan cedera
sekunder yaitu cedera yang terjadi akibat cedera saraf melalui akson
meluas, hipertensiintrakranial, hipoksia, hiperkapnea / hipotensi sistemik.
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi (Hickey,
2003).
2.2.4 Mekanisme Cedera Kepala
Berdasarkan Advenced Trauma Life Support (ATLS) tahun 2004,
klasifikasi berdasarkan mekanismenya, cedera kepala dibagi menjadi:
1. Cedera kepala tumpul, biasanya disebabkan oleh kecelakaan
kendaraan bermotor, jatuh ataupun terkena pukulan benda tumpul.
2. Cedera kepala tembus, biasanya disebabkan oleh luka tusukan, atau
luka tembak.
2.2.5 Klasifikasi
a. Cedera kepala berdasarkan tingkat keparahan
Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan
menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) yang diciptakan oleh
Jennet dan Teasdale pada tahun 1974. GCS yaitu suatu skala untuk
menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan kelainan
neurologis yang terjadi. Ada 3 aspek yang dinilai yaitu reaksi
membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal respons), dan
reaksi lengan serta tungkai (motor respons).
Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan
nilai GCS atau tingkat keparahan, yaitu:
1) Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13, tidak terdapat
kelainan berdasarkan CT scan otak, tidak memerlukan tindakan
operasi, lama dirawat di rumah sakit < 48 jam.
2) Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan
kelainan pada CT scan otak, memerlukan tindakan operasi untuk
lesi intrakranial, dirawat di rumah sakit setidaknya 48 jam.
3) Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu > 48 jam setelah
trauma, score GCS < 9 (George, 2009).
b. Cedera Kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pencahnya
tengkorak atau luka penetrasi. Besarnya cedera kepala pada tipe ini
ditentukan oleh velositas, masa dan bentuk dari benturan. Kerusakan
otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk ke
dalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel
otak akibat benda tajam/ tembakan. Cedera kepala terbuka
memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak
c. Cedera Kepala Tertutup
Benturan cranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah
goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang
bergerak cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan dalam
otak cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: komusio
(gegar otak), kontusio (memar), dan laserasi (Brunner & Suddarth,
2001; Long,1990)
Adapun Klasifikasi Cedera Kepala menurut Arif Muttaqin, 2008:
a) Cedera Kepala Primer
Cedera Kepala Primer mencakup: Fraktur tulang, cedera fokal,
cedera otak difusa, yang masing-masing mempunyai mekanisme
etiologis dan fatofisiologis yang unik.
b) Kerusakan Otak Sekunder
Cedera kepala berat seringkali menampilkan gejala
abnormalitas/gangguan sistemik akibat hipoksia dan hipotensi,
dimana keadaan-keadaan ini merupakan penyebab yang sering
pada kerusakan otak sekunder.
c) Edema Serebral
Tipe yang terpenting pada kejadian cedera kepala adalah edema
vasogenik dan edema iskemik
d) Pergeseran Otak (Brain Shift)
Adanya sat massa yang berkembang membesar (Haematoma,
abses atau pembengkakan otak) disemua lokasi dalam kavitas Intra
Kranial, biasanya akan menyebabkan pergerakan dan distorsi otak.
2.2.6 Morfologi
Berdasarkan morfologinya, cedera kepala dapat dibagi menjadi:
1. Fraktur Kranium
Fraktur kranium diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomisnya,
dibedakan menjadi fraktur calvaria dan fraktur basis cranii.
Berdasarkan keadaan lukanya, dibedakan menjadi fraktur terbuka yaitu
fraktur dengan luka tampak telah menembus duramater, dan fraktur
tertutup yaitu fraktur dengan fragmen tengkorak yang masih intak
(Sjamsuhidajat, 2010).
2. Perdarahan Epidural
Hematom epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga
tengkorak dan gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai
lensa cembung. Biasanya terletak di area temporal atau temporo parietal
yang disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat fraktur
tulang tengkorak (Sjamsuhidajat, 2010).
3. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan
epidural. Robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks cerebri
merupakan penyebab dari perdarahan subdural. Perdarahan ini biasanya
menutupi seluruh permukaan hemisfer otak, dan kerusakan otak lebih
berat dan prognosisnya jauh lebih buruk bila dibandingkan dengan
perdarahan epidural (Sjamsuhidajat, 2010).
4. Contusio dan perdarahan intraserebral
Contusio atau luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan
subkutan dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah
meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan
berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila otak
menekan tengkorak. Contusio cerebri sering terjadi di lobus frontal dan
lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari
otak. Contusio cerebri dapat terjadi dalam waktu beberapa jam atau
hari, berubah menjadi perdarahan intraserebral yang membutuhkan
tindakan operasi (Sjamsuhidajat, 2010).
5. Commotio cerebri
Commusio cerebri atau gegar otak merupakan keadaan pingsan
yang berlangsung kurang dari 10 menit setelah trauma kepala, yang
tidak disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin akan mengeluh
nyerikepala, vertigo, mungkin muntah dan pucat (Sjamsuhidajat, 2010).
6. Fraktur basis cranii
Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat
menimbulkan fraktur pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk
rumah sakit dengan kesadaran yang menurun, bahkan tidak jarang
dalam keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa hari. Dapat
tampak amnesia retrogade dan amnesia pascatraumatik. Gejala
tergantung letak frakturnya:
1) Fraktur fossa anterior.
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau
kedua mata dikelilingi lingkaran “biru” (Brill Hematom atau
Racoon’s Eyes), rusaknya Nervus Olfactorius sehingga terjadi
hyposmia sampai anosmia.
2) Fraktur fossa media
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur
memecahkan arteri carotis interna yang berjalan di dalam sinus
cavernous sehingga terjadi hubungan antara darah arteri dan darah
vena (A-V shunt).
3) Fraktur fossa posterior
Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur
dapat melintas foramen magnum dan merusak medula oblongata
sehingga penderita dapat mati seketika (Ngoerah, 1991).
2.2.7 Patofisiologi
Mekanisme cedera kepala dapat berlangsung peristiwa coup dan
contrecoup. Lesi coup merupakan lesi yang diakibatkan adanya benturan
pada tulang tengkorak dan daerah disekitarnya. Lesi contrecoup
merupakan lesi di daerah yang letaknya berlawanan dengan lokasi
benturan. Akselerasi - deselerasi terjadi akibat kepala bergerak dan
berhenti mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas
antara tulang tengkorak dan otak menyebabkan tengkorak bergerak lebih
cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak
memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang
berlawanan dari benturan (PERDOSSI, 2007).
Mekanisme utama pada cedera kepala ringan adalah shear strain.
Kekuatan rotasional dapat timbul sekalipun pada kecelakaan yang
dianggap tidak berarti dan tidak perlu adanya cedera coup dan contrecoup
yang jelas. Hal ini menimbulkan regangan pada akson-akson dengan
akibat gangguan konduksi dan hilangnya fungsi. Perubahan-perubahan
tersebut diatas dikenal sebagai Diffuse Axonal Injury (Iskandar, 2002).
Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur,
misalnya kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah,
perdarahan, edema dan gangguan biokimia otak seperti penurunan
adenosis tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler. Patofisiologi cedera
kepala dapat terbagi atas dua proses yaitu cedera kepala primer dan cedera
kepala sekunder, cedera kepala primer merupakan suatu proses
biomekanik yang terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan dapat
memberi dampak kerusakan jaringan otak. Pada cedera kepala sekunder
terjadi akibat dari cedera kepala primer, misalnya akibat dari hipoksemia,
iskemia dan perdarahan.
Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada
epidural hematoma, berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan
durameter, subdura hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang
antara durameter dengan subaraknoid dan intra cerebral, hematoma adalah
berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral. Kematian pada penderita
cedera kepala terjadi karena hipotensi karena gangguan autoregulasi,
ketika terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi jaringan cerebral dan
berakhir pada iskemia jaringan otak. (Tarwoto, 2007).
Patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Cedera Primer
Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang
tengkorak, robek pembuluh darah (hematom), kerusakan jaringan otak
(termasuk robeknya duramater, laserasi, kontusio).
2. Cedera Sekunder
Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut
melampaui batas kompensasi ruang tengkorak.
Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak
tertutup dan volumenya tetap. Volume dipengaruhi oleh tiga
kompartemen yaitu darah, liquor, dan parenkim otak. Kemampuan
kompensasi yang terlampaui akan mengakibatkan kenaikan TIK yang
progresif dan terjadi penurunan Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang
dapat fatal pada tingkat seluler.
Cedera Sekunder dan Tekanan Perfusi :
CPP = MAP – ICP
CPP : Cerebral Perfusion Pressure
MAP : Mean Arterial Pressure
ICP : Intra Cranial Pressure
Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak.
Iskemia otak mengakibatkan edema sitotoksik – kerusakan seluler
yang makin parah (irreversibel). Diperberat oleh kelainan
ekstrakranial hipotensi/syok, hiperkarbi, hipoksia, hipertermi, kejang,
dll.
3. Edema Sitotoksik
Kerusakan jaringan (otak) menyebabkan pelepasan berlebih sejenis
Neurotransmitter yang menyebabkan Eksitasi (Exitatory Amino Acid
a.l. glutamat, aspartat). EAA melalui reseptor AMPA (N-Methyl D-
Aspartat) dan NMDA (Amino Methyl Propionat Acid) menyebabkan
Ca influks berlebihan yang menimbulkan edema dan mengaktivasi
enzym degradatif serta menyebabkan fast depolarisasi (klinis kejang-
kejang).
4. Kerusakan Membran Sel
Dipicu Ca influks yang mengakitvasi enzym degradatif akan
menyebabkan kerusakan DNA, protein, dan membran fosfolipid sel
(BBB breakdown) melalui rendahnya CDP cholin (yang berfungsi
sebagai prekusor yang banyak diperlukan pada sintesa fosfolipid
untuk menjaga integritas dan repair membran tersebut). Melalui
rusaknya fosfolipid akan meyebabkan terbentuknya asam arakhidonat
yang menghasilkan radikal bebas yang berlebih.
5. Apoptosis
Sinyal kemaitan sel diteruskan ke Nukleus oleh membran bound
apoptotic bodies terjadi kondensasi kromatin dan plenotik nuclei,
fragmentasi DNA dan akhirnya sel akan mengkerut (shrinkage).
2.2.9 Komplikasi
Komplikasi akibat cedera kepala:
1) Gejala sisa cedera kepala berat: beberapa pasien dengan cedera kepala
berat dapat mengalami ketidakmampuan baik secara fisik (disfasia,
hemiparesis, palsi saraf cranial) maupun mental (gangguan kognitif,
perubahan kepribadian). Sejumlah kecil pasien akan tetap dalam status
vegetatif.
2) Kebocoran cairan serebrospinal: bila hubungan antara rongga
subarachnoid dan telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur
basis cranii hanya kecil dan tertutup jaringan otak maka hal ini tidak
akan terjadi. Eksplorasi bedah diperlukan bila terjadi kebocoran cairan
serebrospinal persisten.
3) Epilepsi pascatrauma: terutama terjadi pada pasien yang mengalami
kejang awal (pada minggu pertama setelah cedera), amnesia
pascatrauma yang lama, fraktur depresi kranium dan hematom
intrakranial.
4) Hematom subdural kronik.
5) Sindrom pasca concusio : nyeri kepala, vertigo dan gangguan
konsentrasi dapat menetap bahkan setelah cedera kepala ringan.
Vertigo dapat terjadi akibat cedera vestibular (konkusi labirintin)
(Adams, 2000).
Perubahan
Hipoksia - Bersihan jln
perfusi jaringan nafas
Perubahan - Obstruksi jln
sirkulasi CSS Gangguan nafas
Gangguan
neurologis fokal - Dyspnea
fungsi otak
- Henti nafas
- Perubahan
Peningkatan TIK - Mual muntah pola nafas
- Papilodema
- Pandangan kabur
- Penurunan fungsi
pendengaran
Girus medialis lobus - Nyeri kepala Defisit Neurologis
temporalis tergeser
Messenfalon teretekan
Resiko injuri
immobilisasi
Ganggua
n Cemas
Kompresi medulla
oblongata
Resiko gangguan
integritas kulit
Kurangnya
perawatan diri
2.3 Definisi Hematoma Epidural
Hematom epidural atau lebih dikenal dengan istilah Epidural hematoma
(EDH) adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang paling sering terjadi
karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi oleh tulang tengkorak yang kaku
dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna sebagai pembungkus
yang di sebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus
vena, dan membentuk periosteum tabula interna. Ketika seorang mendapat
benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk suatu lubang,
pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari
pembuluh darah yang mengelilingi otak dan dura,ketika pembuluh darah
mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura dan
tulang tengkorak, keadaan inlah yang di kenal dengan sebutan epidural
hematoma.
Perdarahan epidural adalah adanya darah di ruang epidural, pada
perdarahan epidural intrakranial didapatkan perdarahan antara tabula interna
tulang tengkorak dan duramater. Perdarahan epidural 90% terjadi karena fraktur
kranium di regio temporal dan parietal. Perdarahan epidural atau epidural
hematom (EDH) biasanya disebabkan oleh rupturnya arteri meningea media,
vena atau sinus dural.
EDH adalah salah satu jenis perdarahan intrakranial yang paling sering
terjadi karena fraktur tulang tengkorak oleh karena adanya cedera mekanik
(trauma kepala). Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi
baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer
atau permanen. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
2.4 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan
hematoma epidural dan sekitar 10% mengakibatkan koma. Secara Internasional
frekuensi kejadian hematoma epidural hampir sama dengan angka kejadian di
Amerika Serikat. Orang yang beresiko mengalami EDH adalah orang tua yang
memiliki masalah berjalan dan sering jatuh. 60 % penderita hematoma epidural
adalah berusia dibawah 20 tahun, dan jarang terjadi pada umur kurang dari 2
tahun dan di atas 60 tahun. Angka kematian meningkat pada pasien yang berusia
kurang dari 5 tahun dan lebih dari 55 tahun.Lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibanding perempuan dengan perbandingan 4:1. Tipe- tipe : 1. Epidural
hematoma akut (58%) perdarahan dari arteri. 2. Subacute hematoma (31%) 3.
Cronic hematoma (11%) perdarahan dari vena.
Perdarahan ini jarang terjadi pada pasien usia di atas 60 tahun,
kemungkinan karena duramater melekat lebih kuat ke tabula interna. Hal ini pula
menerangkan bahwa kebanyakan hematoma epidural terjadi di bagian temporal,
karena pada lokasi tersebut perlekatan duramater pada tulang tengkorak lebih
lemah dibanding pada lokasi lainnya.Sedangkan pada anak dan bayi lebih sering
terjadi hematoma epidural bifrontal yang berasal dari vena. Beberapa literatur
mengatakan hematoma epidural relatif jarang terjadi pada anak berusia di bawah
2 tahun, dan tampaknya hal ini disebabkan karena pada usia tersebut tulang
tengkorak relatif lebih lentur dari orang dewasa.
2.5 Patofisiologi
Perdarahan epidural biasanya karena fraktur di daerah temporoparietal.
Penyebab utamanya adalah trauma kapitis atau fraktur kranium. Fraktur yang
paling ringan adalah fraktur linear namun gaya destruktifnya lebih kuat, bisa
timbul fraktur yang berupa bintang (stelatum), atau fraktur impresi yang dengan
kepingan tulangnya menusuk ke dalam ataupun fraktur yang merobek dura dan
sekaligus melukai jaringan otak (laserasio). Perdarahan epidural yang terjadi
ketika pembuluh darah ruptur biasanya arteri meningea media kemudian darah
mengalir ke dalam ruang potensial antara duramater dan tulang kranium
sedangkan pada perdarahan subdural terjadi akibat trauma kepala hebat, seperti
perdarahan kontusional yang mengakibatkan rupture bridging vein yang terjadi
dalam ruangan subdural.
Fraktur kranium terjadi pada 85-95% kasus dewasa, jarang terjadi pada
anak-anak-anak karena plastisitas pada kranium yang masih imatur. Laserasi
arteri maupun vena menyebabkan perluasan perdarahan yang cepat. Manifestasi
kronis atau tertunda dapat terjadi bila perdarahan berasal dari vena. Perluasan
perdarahan atau hematom tidak melewati suture line karena duramater melekat
ketat, hanya pada sebagian kecil kasus yang sedikit melewati suture line.
Perdarahan epidural intrakranial sebagian besar berasal dari rupturnya
arteri meningea media (66%), meskipun arteri etmoidalis anterior mungkin bisa
terlibat dalam cedera kepala di daerah frontal, sinus transversus atau sinus
sigmoid pada cedera oksipital, dan sinus sagital superior pada trauma verteks.
Perdarahan epidural intrakranial bilateral terjadi 2-10% dari semua kasus
perdarahan epidural akut pada orang dewasa tetapi sangat jarang terjadi pada
anak-anak. Perdarahan epidural pada fossa posterior mencapai 5% dari semua
kasus perdarahan epidural.
Perdarahan epidural spinal dapat terjadi spontan atau akibat trauma minor,
seperti pungsi lumbal atau anestesi epidural. Perdarahan epidural spinal dapat
berhubungan dengan antikoagulan, trombolisis, diskrasia darah, koagulopati,
trombositopenia, neoplasma, atau malformasi vaskuler. Pleksus vena peridural
biasanya terlibat, meskipun perdarahan dari arteri juga terjadi. Aspek dorsal di
daerah thorakal atau lumbal yang paling umum terkena, dengan ekspansi
terbatas pada beberapa tingkat vertebra.
Penyebab perdarahan epidural baik intrakranial maupun spinal dapat
dibagi menjadi trauma dan non trauma. Penyebab trauma sering berupa benturan
tumpul pada kepala akibat serangan, terjatuh, atau kecelakan lain; trauma
akselerasi-deselerasi dan gaya melintang. Selain itu perdarahan epidural
intrakranial pada bayi baru lahir dapat terjadi akibat distosia, ektraksi forseps,
dan tekanan kranium berlebihan pada jalan lahir. Penyebab non trauma
perdarahan epidural diantaranya adalah obat antikoagulan, agen trombolisis,
lumbal pungsi, anesthesia epidural, koagulopati, penyakit hepar dengan
hipertensi portal, kanker, alkholisme kronik malformasi vascular, herniasi
diskus, penyakit paget pada tulang, valsava manuever. Gangguan sinus venosus
dura (sinus transversum atau sigmoid) oleh fraktur dapat menyebabkan
perdarahan epidural di fossa posterior sedangkan gangguan sinus sagitalis
superior dapat menyebabkan perdarahan epidural pada vertex. Sumber
perdarahan epidural yang non arterial diantaranya adalah venous lakes, dipoic
veins, granulatio arachnoid dan sinus petrosus.
2.6 Diagnosis
Diagnosis perdarahan epidural ditegakkan berdasarkan anamnesa,
gambaran klinis, pemeriksaan fisik, imaging dan data laboratorium.
Diagnosis banding perdarahan epidural intrakranial yang perlu
disingkirkan diantaranya adalah perdarahan subdural, abses epidural, perdarahan
intracerebral, epilepsi post traumatik, ensefalopati karena intoksikasi alkohol.
Pada perdarahan epidural spinal diagnosis banding yang perlu disingkirkan
diantaranya perdarahan medulla spinalis, abses epidural spinal, ankylosing
spondylitis, spondilosis, polineuropati.
2.8.4 Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang penting dikerjakan diantaranya
1. Darah lengkap : penting untuk menilai kadar trombosit dan hematokrit
terkait perdarahan non traumatik juga menilai adanya penanda infeksi
untuk menyingkirkan diagnose banding
2. Faal hemostasis : penting untuk menilai ada tidaknya gangguan
koagulopati
3. Serum elektrolit, tes fungsi ginjal, tes fungsi hepar, kadar glukosa
darah juga perlu diperiksa untuk menemukan adanya komplikasi
metabolik perdarahan epidural intrakranial maupun spinal
4. Toksikologi dan kadar alkohol dalam darah juga perlu diperiksa
terkait penyebab trauma kepala dan adanya sindroma putus obat
5. Golongan darah : penting untuk persiapan transfusi dan tindakan
operatif darurat.
2.9 Penatalaksanaan
Untuk keadaan gawat darurat, lakukan Langkah-langkah yang dikenal
sebagai ABCDE (airway and C-spine control, breathing, circulation and
hemorrhage control, disability, exposure/environment). Pertama harus dinilai
adalah kelancaran jalan napas. Ini meliputi pemeriksaan adanya sumbatan jalan
napas yang dapat disebabkan benda asing, adanya fraktur mandibula atau
kerusakan trakea/larings. Harus diperhatikan pula secara cermat mengenai
kelainan yang mungkin terdapat pada vertebra servikalis dan apabila ditemukan
kelainan, harus dicegah gerakan yang berlebihan pada tempat ini dan diberikan
alat bantu. Pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap jalan napas
bersih, walaupun demikian penilaian ulang terhadap airway harus tetap
dilakukan.
Telinga didekatkan ke mulut dan hidung penderita sambil menjaga jalan
napas tetap terbuka. Kemudian pada saat yang sama mengamati dada penderita
dengan cara look, listen, and feel.
1. Lihat (Look). Apakah penderita mengalami agitasi atau kesadarannya
menurun. Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh
kekurangan oksigenasi dan dapat dilihat dengan melihat pada kuku dan kulit
sekitar mulut. Lihat adanya retraksi dan penggunaan otot-otot napas
tambahan yang apabila ada merupakan bukti tambahan adanya gangguan
airway.
2. Dengar (listen). Adanya suara-suara abnormal. Pernapasan yang berbunyi
(napas tambahan) adalah pernapasan yang tersumbat. Suara mendengkur
(snoring), berkumur (gurgling) dan bersiul (crowing sound, stridor)
mungkin berhubungan dengan sumbatan parsial pada faring atau laring.
Penderita yang melawan dan berkata-kata kasar (gaduh gelisah) mungkin
mengalami hipoksia dan tidak boleh dianggap karena keracunan/mabuk.
3. Raba (feel). Lokasi trakea dan dengan cepat menentukan apakah trakea ada
ditengah.Juga merasakan adanya atau tidaknya hembusan nafas penderita.
Pasanglah alat bantu jalan napas orofaring (bila ada) pada penderita,
kemudian pasang kantung nafas sungkup muka. Bila terjadi di lapangan dan
tanpa peralatan, lakukan dengan manipulasi dengan cara mulut ke mulut (mouth-
to-mouth), mulut ke hidung (mouth-to-nose) pada trauma maksilo-fasial dan saat
mulut korban sulit dibuka atau mulut ke stoma trakeostomi. Letakkan tangan
kanan penolong di dagu dan tangan kiri penolong memencet kedua lubang
hidung korban, sehingga lobang hidung tertutup rapat. Dengan demikian
keadaan korban menjadi “mulut menganga, dagu terangkat, kepala fleksikan”.
Lakukan napas buatan sebanyak 2 kali secara perlahan, tiap ventilasi
waktunya sekitar 2 detik. Pemberian bantuan napas bisa dilakukan dengan cara :
1. Ventilasi Mouth to Mouth
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan yang biasanya muncul adalah :
1. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat
napas di otak.
2. Tidakefektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan
penumpukan sputum.
3. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak.
4. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran
(soporos - coma).
5. Resiko infeksi sehubungan dengan adanya trauma jaringan.
6. Gangguan pemenuhan nutrisi sehubungan dengan penurunan tingkat
kesadaran
C. Intervensi Keperawatan
a. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat
napas di otak.
Intervensi Rasional
Mandiri
1) Hitung pernapasan pasien 1) Pernapasan yang cepat dari
dalam satu menit. pasien dapat menimbulkan
alkalosis respiratori dan
pernapasan lambat
meningkatkan tekanan Pa Co2
dan menyebabkan asidosis
respiratorik.
Kolaborasi
6) Lakukan pengisapan lendir 6) Pengisapan lendir tidak selalu
dengan waktu kurang dari 15 rutin dan waktu harus dibatasi
detik bila sputum banyak. untuk mencegah hipoksia.
GENERAL IMPRESSION
Keluhan Utama :
Mekanisme Cedera :
Keluarga Klien menuturkan bahwa Klien tidak sadarkan diri kurang lebih selama 2
jam sebelum masuk rumah sakit karena kecelakaan lalu lintas ditabrak motor. Terdapat
luka di daerah kepala akibat benturan keras, jejas di darah mata dan pipi, kebiruan di
daerah lingkaran mata. Serta perdarahan di Ekstremitas Bawah Kanan.
Orientasi (Tempat, Waktu, dan Orang) : Baik Tidak Baik, ... ... ...
Diagnosa Keperawatan:
Inefektif airway b/d Muntah
Diagnosa Keperawatan:
1. Inefektif pola nafas b/d
Retraksi Dada yang ditandai
BREATHING
dengan Frekuensi Nafas 32 x/
Menit
Intervensi :
Keluhan Lain : … …
1. Berikan posisi head up 30
derajat
2. Periksa kesadaran dann GCS
tiap 5 menit
Diagnosa Keperawatan:
EXPOSURE
1. Kerusakan integritas jaringan
b/d Gangguan Suplai Darah
yang ditandai dengan
Kebiruan di Lingkaran Mata,
dan Jejas di daerah mata Pipi
Deformitas : Ya Kriteria Hasil : … … …
Tidak Contusio : Ya
Tidak Abrasi : Ya Setelah dilakukan tindakan
Tidak Penetrasi : Ya Keperawatan selama 10 Menit
Tidak Laserasi : Ya
Tidak Edema : Ya Kerusakan Integritas Jaringan
Tidak dapat teratasi.
Intervensi :
Keluhan Lain: 1. Perawatan luka
Terdapat luka di daerah kepala akibat benturan keras, 2. Kompres Dingin
jejas di daerah mata dan pipi, kebiruan di daerah
lingkaran mata. Serta perdarahan di Ekstremitas
Bawah Kanan. Terdapat Retraksi Dada, Pernafasan
Cuping Hidung. Klien Pucat, Akral Hangat, Pupil
anisokor.
Diagnosa Keperawatan:
ANAMNESA
SECONDARY SURVEY
Intervensi :
Keluarga Klien menuturkan bahwa Klien tidak 1. … … …
sadarkan diri kurang lebih selama 2 jam sebelum 2. … … …
Alergi :
Medikasi :
Riwayat Penyakit Sebelumnya:
SECONDARY SURVEY
Makan Minum Terakhir:
Even/Peristiwa Penyebab:
Keluarga Klien menuturkan bahwa Klien mengalami
kecelakaan lalu lintas ditabrak motor.
Tanda Vital :
TD : 100/ 60 mmHg N : 65 x/ Menit
S: 37,6OC RR : 32 x/ menit
Dada:
Inspeksi: Terdapat Retraksi Dada, RR: 32 x/ menit
Palpasi ... ...
Perkusi ... ...
Auskultasi ... ...
Abdomen:
Inspeksi ... ...
Palpasi ... ...
Perkusi ... ...
Auskultasi ... ...
Pelvis:
Inspeksi ... ...
Palpasi ... ...
Ektremitas Atas/Bawah:
Inspeksi: Perdarahan di Ekstremitas Bawah
Kanan Palpasi ... ...
Punggung :
Inspeksi ... ...
Palpasi ... ...
Neurologis :
Klien tidak sadarkan diri kurang lebih selama 2 jam
sebelum masuk RS, Hasil Pengkajian GCS: E1M1V1
Kelas B Kelompok 2
3.2 Jurnal Hematoma Epidural
(Terlampir)
Analisa Jurnal
Intervention:
Introduction: The mechanisms of
Hubungan antara faktor-faktor yang
nurse response time in handling head
berkaitan dengan waktu respon dalam
injury patients has an important role on
menangani cedera kepela di IRD RS
the safety and viability of patients in
Umum Prof. Dr. H.M Anwar Makkatutu
reference to the rules of “safety and time
Bantaeng.
saving is life saving”. The purpose of the
study: This study aims to identify factors
that related to the response time in
Comparisson:
handling head injury patient in
emergency department (ED) and to -
determine the most related factor to the
response time. Method: This study was
an observation design and using cross Outcome:
sectional approach. A total sample of 32
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada
emergency department nurses
hubungan tingkat Pendidikan Perawat
participated for this study, in references
dengan waktu tanggap penanganan pasien
to the inclision and exclusion criteria.
cedera kepala dengan nilai p=0,006. Ada
The data were analyzed by using chi-
hubungan lama kerja perawat dengan
square, Fisher’s extract test and logistic
regression. Result: This study found that waktu tanggap penanganan pasien cedera
there were statistical significance kepala dengan nilai p=0,005. Ada
between respon time and level of hubungan pelatihan kegawatdaruratan yang
education (p = 0.006), duration of diikuti Perawat dengan waktu tanggap
working (p = 0.005), medical emergency penanganan pasien cedera kepala dengan
training (p = 0.001), the emergency nilai p=0,001. Ada hubungan fasilitas IRD
department facilities (p = 0.008) and the dengan waktu tanggap penanganan pasien
level of the patient acute condition (p = cedera kepala dengan nilai p=0,008. Ada
0.006). Among the factors, it was found hubungan Tingkat kegawatan pasien
that facilities most related factor to the dengan waktu tanggap penanganan pasien
respon time (OR = 6.945). Conclusion cedera kepala dengan nilai p=0,006. Hasil
and suggestion: It is concluded that there analisis regresi logistik didapatkan variabel
is a relationship between respon time and yang paling berhubungan dengan waktu
education level, work duration of nurses, tanggap adalah fasilitas dengan nilai OR =
medical emergency training, Emergency 6,945 yang artinya fasilitas memiliki
facilities and the patient acute condition hubungan dengan waktu tanggap 6,9 atau 7
in handling head injury patients and kali lebih kuat dibandingkan dengan
facilities are the factors that most related variabel lain yang berhubungan dengan
to the response time handling head waktu tanggap.
injury. It is suggested to the hospital to
complete the emergency room facilities
because the facilities affects the response Time:
time handling head injury patients.
Waktu penelitian pada tanggal 15 Juli
sampai dengan 31 Agustus tahun 2013.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Epidural hematoma adalah perdarahan akut pada lokasi epidural. Fraktur
tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama arteri meningea media
yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara
duramater dan tulang di permukaan dalam os temporale,
Perdarahan yang terjadi menimbulkan epidural hematoma. Desakan oleh
hematom akan melepaskan duramater lebih lanjut dari tulang kepala sehingga
hematom bertambah besar.
Hematoma epidural (EDH) merupakan kumpulan darah di antara
duramater dan tabula interna karena trauma (Gambar-1). Pada penderita
traumatic hematoma epidural, 85-96% disertai fraktur pada lokasi yang sama.
Perdarahan berasal dari pembuluh darah -pembuluh darah di dekat lokasi
fraktur.
4.2 Saran
Dalam pemberian pelayanan kesehatan khususnya asuhan keperawatan
yang baik, serta mengambil keputusan yang bersifat klinis hendaknya mengacu
pada SPO yang dibuat berdasarkan teori-teori dan penelitian terkini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Tanto, Chris. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi IV. Jakarta: Media
Aesculapius.
2. Sjamsuhidajat R, De Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-4.
Jakarta; EGC.
3. Santoso M, Kartadinata H, Yuliani IW, Widjaja WH, Nah YS, Rumawas
MA. 2011. Buku panduan keterampilan medik (skill-lab) semester 4.
Jakarta : Fakultas Kedokteran UKRIDA
4. Amin Z. 2009. Manifestasi klinik dan pendekatan pada pasien dengan
kelainan sistem pernapasan. Dalam: Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I,
penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5 (III). Jakarta: Interna
Publishing.
5. Abdurrahman. 2005. Anamnesis & pemeriksaan fisis. Cetakan ke-3.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
6. Tambunan KL, Ahmadsyah I, Iskandar N, Madjid AS, Sastrosatomo H.
Buku panduan penatalaksanaan gawat darurat. Jilid 1. Jakarta : FKUI.
7. Hisyam B, Budiono E. 2009. Pneumotoraks spontan. Buku Ajar Penyakit
Dalam Jilid III. Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.