Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS

MATI BATANG OTAK (MBO)

Tugas Ini Disusun Sebagai Salah Satu Persyaratan Menjalankan Kepaniteraan


Klinik Senior Bagian Neurologi

Disusun oleh:
Siti Rodiana Hasibuan (71160891763)
Dian Febiola (
Nabella Reza (

Pembimbing
Dr. Luhu A. Tapiheru, Sp.S.

SMF ILMU NEUROLOGI RUMAH SAKIT UMUM HAJI


MEDAN
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah Subhana Wata’ala
yang telah memberikan rahmat serta karunianya, akhirnya kami dapat
menyelesaikan Laporan kasus ini tepat pada waktunya dan sebaik-baiknya dalam
rangka melengkapi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu
Neurologi di RSUHM dengan judul “Mati Batang Otak (MBO)”.
Dalam penyusunan tugas ini, kami mendapatkan banyak masukan bantuan
dan juga bimbingan serta pengarahan dari berbagai pihak baik dalam bentuk moril
maupun materil. Untuk itu dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada dokter pembimbing dr. Luhu A. Tapiheru Sp.S.
yang telah memberikan banyak bimbingan kepada kami selama penulis
melaksanakan KKS di Bagian Ilmu Neurologi Rumah Sakit Haji Medan.
Semoga penyusunan laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu kedokteran khususnya.
Akhirul kalam kami menyadari bahwa tulisan ini jauh dari kata sempurna, adapun
kami menerima kritikan saran berupa lisan maupun tulisan selama membangun.

Medan, Januari 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ....................................................................................... i

DAFTAR ISI ......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................1

1.1 Latar Belakang .....................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................2


2.1 Anatomi dan Fisiologi Otak.................................................................2
2.2 Definisi Mati............................................................................. ...........5
2.3 Definisi Mati Batang Otak ...................................................................6
2.4 Etiologi ................................................................................................7
2.5 Patofisiologi .........................................................................................8
2.6 Kriteria Mati Batang Otak ...................................................................9
2.7 Penetapan Diagnosa Mati Batang Otak..............................................12

BAB III LAPORAN KASUS ..........................................................................21


BAB IV KESIMPULAN ...................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................40
BAB I
PENDAHULUAN

Sebelum sekitar tahun 1950, definisi atas kematian cukup jelas, yakini saat
detak jantung dan pernafasan berhenti terjadi. Namun kemudian berbagai tehnik
ditemukan untuk mempertahankan detak jantung dan pernafasan walaupun pasien
telah mati, sehingga muncul persepsi baru. Kematian didefinisikan sebagai
hilangnya fungsi otak dan bukan fungsi jantung dan paru.
Penggunaan ventilator mekanik untuk menangani henti nafas telah
mengubah rangkaian perjalanan gangguan neurologis terminal. Saat ini fungsi
vital dapat dipertahankan secara “buatan”, meskipun fungsi otak telah berhenti.
Hal tersebut pada akhirnya berimplikasi terhadap definisi kematian secara medis,
yang kemudian memunculkan suatu konsep kematian batang otak sebagai
penanda kematian. Seorang dokter harus memahami benar konsep kematian
batang otak, karena hal ini di antaranya dapat bermakna.
Kriteria untuk kematian otak sendiri berevolusi seiring waktu. Pada tahun
1959, Mollaret dan Goulon memperkenalkan istilah “irreversible coma” atau
koma ireversibel, untuk mendeskripsikan keadaan ini dari 23 orang pasien yang
berada dalam kondisi koma, kehilangan kesadaran, refleks batang otak, respirasi,
serta menunjukan hasil elektroesensefalogram yang datar. Pada tahun 1968,
komite adhoc di Harvard Medical School meninjau ulang definisi kematian otak
dan mendefinisikan koma ireversibel atau kematian otak sebagai tidak adanya
respon dan reseptivitas, pergerakan dan pernafasan, refleks batang otak, serta
adanya koma yang penyebabnya telah di identifikasi. Pada tahun 1976, The
Conference of Medical Royal Colleges di inggris menyatakan bahwa kematian
otak adalah hilangnya fungsi batang otak yang komplet dan ireversibel.
Diagnosis mati batang otak (MBO) dan petunjuknya dapat dilihat pada
fatwa IDI tentang MBO. Diagnosa MBO mempunyai komponen utama,
komponen pertama terdiri dari pemenuhan prasyarat-prasyarat dan komponen
kedua adalah tes klinis fungsi batang otak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Dan Fisiologi Otak


Sistem saraf mengoordinasi dan mengorganisasi fungsi semua sistem
tubuh. Jaringan yang begitu rumit dalam bentuk reseptor-reseptor yang saling
terkait dengan neurotransmitter ini merupakan sebuah sistem yang dinamis.
Sistem ini mengendalikan dan mengatur setiap fungsi mental dan fisik. Sistem
saraf terdiri dari sistem saraf pusat, yang meliputi otak dan medula spinalis, dan
sistem saraf perifer, yang terdiri atas nervus kranialis dan nervus spinalis.
Otak terdiri dari empat bagian yaitu serebrum, serebelum, struktur primitif,
dan batang otak. Masing-masing dari keempat bagian ini berperan sebagai pusat
pengaturan untuk suatu mekanisme yang berbeda, tetapi tetap merupakan suatu
sistem yang saling terintegrasi dan memiliki hubungan keterkaitan yang kuat

1. Serebrum
Terdiri dari dua hemisfer, kanan dan kiri, yang dihubungkan oleh korpus kalosum.
Setiap hemisfer dibagi menjadi empat lobus berdasarkan patokan anatomi dan
perbedaan fungsinya. Lobus-lobus ini diberi nama sesuai nama tulang kranial
yang menutupinya :
 Lobus frontalis, mempengaruhi kepribadian, penilaian, kemampuan
berpikir abstrak, perilakus sosial, ekspresi bahasa, dan gerakan.
 Lobus temporalis, mengendalikan pendengaran, pemahaman bahasa, dan
menyimpan serta mengingat memori (meskipun memori disimpan di
seluruh otak).
 Lobus parietalis, menginterpretasi dan mengintegrasi rasa, yang meliputi
rasa nyeri, suhu dan sentuhan, juga menginterpretasi ukuran, bentuk, jarak,
dan tekstur.
 Lobus oksipitalis, terutama berfungsi dalam menginterpretasi stimulus
visual.
2. Serebelum
Serebelum berperan dalam mempertahankan tonus otot, mengoordinasi gerakan
otot, dan mengendalikan keseimbangan
3. Struktur Primitif
1. Diensefalon, struktur di bawah hemisfer serebri yang terdiri dari talamus
dan hipotalamus. Talamus berperan dalam kesadaran akan rasa nyeri,
skrining untuk semua stimulus yang datang, dan pemfokusan perhatian.
Sedangkan hipotalamus mengontrol dan mempengaruhi suhu tubuh, selera
makan, keseimbangan air, sekresi hipofisis, emosi dan fungsi otonom yang
meliputi siklus tidur dan bangun.
2. Sistem limbik, struktur yang terletak di bagian dalam dari lobus temporalis
ini berperan dalam memulai dorongan primitf (rasa lapar, agresi, dan
pembangkitan nafsu seksual serta emosi) dan menyaring semua pesan
sensorik yang berjalan menuju ke korteks serebri.
3. RAS (Reticular Activating System), jalinan difus dari neuron yang
hipereksital dan menyebar seperti kipas dari batang otak hingga korteks
serebri. Bagian ini berfungsi menyaring semua informasi sensorik yang
datang dan menyalurkannya ke daerah otak yang tepat untuk diinterpretasi.
Aktivitas dari RAS juga menstimulasi keadaan terjaga.
4. Batang Otak
Bagian-bagian batang otak dari atas ke bawah adalah :
 Mesensefalon, berperan dalam mengantarai refleks auditorius dan visual.
 Pons, berfungsi menghubungakan serebelum dengan serebrum dan
mesensefalon dengan medula oblongata, selain itu pons mengandung satu dari
beberapa pusat pernapasan.
 Medula oblongata, berperan terutama dalam mengatur fungsi respirasi,
vasomotor dan kardiak.
Batang otak mengandung 10 nuklei dari 12 pasang nervus kranialis yang
mempersarafi daerah wajah dan leher. Fungsi dan komponen tiap-tiap saraf ini dapat
dilihat pada gambar berikut:

Cerebral Blood Flow


Seperti jaringan tubuh yang lain, otak sangat bergantung pada aliran darah
yang memadai untuk nutrisi dan pembuangan sisa-sisa metabolismenya. Suplai
darah arteri ke otak merupakan suatu jalinan pembuluh-pembuluh darah yang
bercabang-cabang, berhubungan erat satu dengan yang lain sehingga dapat
menjamin suplai darah yang adekuat untuk sel. Otak manusia hanya mengambil
porsi 2% dari berat badan orang dewasa, tetapi memerlukan 20% dari pemakaian
oksigen seluruh tubuh. Jaringan otak sangat rentan, otak memerlukan paling
banyak energi yang seluruhnya berasal dari metabolime aerob glukosa, akan tetapi
tidak dapat menyimpan cadangan glukosa dan oksigen untuk kebutuhannya,
sehingga otak mutlak memerlukan aliran darah yang bersifat konstan dan kontinu.
Sehubungan dengan hal ini, pembuluh darah yang menyuplai otak memiliki
kemampuan autoregulasi, yaitu kemampuannya untuk menyesuaikan lumennya
pada ruang lingkupnya sedemikian rupa sehingga aliran darah tetap adekuat,
walaupun tekanan perfusi berubah.

2.2 Definisi Mati


Mati klinis adalah henti nafas (tidak ada gerakan nafas spontan) ditambah
henti sirkulasi (jantung) total dengan semua aktivitas otak terhenti, tetapi tidak
ireversible. Pada masa ini kematian klinis dapat diikuti dengan pemulihan semua
fungsi organ vital termasuk fungsi otak normal, asalkan diberikan terapi yang
optimal.
Mati biologis (kematian semua organ) selalu mengikuti mati klinis bila
tidak dilakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau bila upaya resusitasi dihentikan.
Mati biologis merupakan proses nekrotitasi semua jaringan, dimulai dengan
neuron otak yang menjadi nekrotik setelah kira2-kira 1 jam tanpa sirkulasi, diikuti
oleh jantung, ginjal, paru, dan hati yang menjadi nekrotik selama beberapa jam
atau hari.
Mati serebral (kematian korteks) adalah kerusakan ireversible serebrum,
terutama neokorteks. Mati otak (MO, kematian otak total) adalah mati serebral
ditambah dengan nekrosis sisa otak lainnya, termasuk serebelum, otak tengah, dan
batang otak.
Mati sosial (status vegetatif yang menetap, sindroma apalika) merupakan
kerusakan berat ireversible pada pasien yang tetap tidak sadar dan tidak responsif,
tetapi mempunyai elektroensefalogram (EEG) aktif dan beberapa reflek yang
utuh. Ini harus dibedakan dari mati serebral yang hasil EEG nya tenang dan dari
mati otak, dengan tambahan ketiadaan semua refleks saraf otak dan upaya nafas
spontan. Pada keadaan vegetatif mungkin terdapat siklus sadar-tidur.
2.3 Definisi Mati Batang Otak
Walaupun mudah dimengerti sebagai suatu konsep, namun mendefinisikan
kematian otak dalam kata-kata sangat sulit. Pada panduan Australian and new
zealand intensive care society (ANZICS) yang dipublikasikan pada tahun 1993,
kematian otak didefinisikan sebagai berikut. “ Istilah kematian otak harus
digunakan untuk merujuk pada berhentinya semua fungsi otak secara ireversible,
dan hilangnya respon refleks batang otak dan fungsi pernafasan pusat secara
ireversible, atau berhentinya aliran darah intra kranial secara ireversible ”.
Menurut kriteria komite adhoc Harvard tahun 1968, kematian otak
didefinisikan oleh beberapa hal. Yang pertama, adanya otak yang tidak berfungsi
lagi secara permanen, yang ditentukan dengan tidak adnya resepsi dan respon
terhadap rangsang, tidak adanya pergerakan nafas, dan tidak adanya refleks-
refleks, yaitu
Respon pupil terhadap cahaya terang, pergerakan okuler pada uji
pergelangan kepala dan uji kalori, refleks berkedip, aktivitas postural (misalnya
deserebrasi), refleks menelan, menguap, dan bersuara, refleks kornea, refleks
faring, refleks tendon dalam, dan refleks terhadap rangsang plantar. Yang kedua
adalah data konfirmasi yaitu EEG yang isoelektris. Kedua tes tersebut diulangi 24
jam setelah tes pertama, dengan syarat tanpa adanya hipotermia (suhu 32,2 0 C)
atau pemberian depresan sistem saraf pusat seperti barbiturat. Menurut Uniform
Determination of Death Act, seseorang dinyatakan mati otak apabila mengalami
1. Terhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi secara ireversible dan
2. Terhentinya semua fungsi otak secara keseluruhan, termasuk batang otak
secara ireversible. Terhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi dinilai dari tidak
adanya denyut jantung dan usaha nafas, serta pemeriksaan EKG dan uji apnea.
Terhentinya fungsi otak dinilai dari adanya keadaan koma serta hilangnya
fungsi batang otak berupa absennya refleks-refleks.
Menurut panduan yang digunakan di Amerika Serikat, kematian otak
didefinisikan sebagai hilangnya semua fungsi otak secara ireversible, termasuk
batang otak. Tiga temuan penting dalam kematian otak adalah koma, hilangnya
refleks batang otak dan apnea. Diagnosis kematian batang otak merupakan
diagnosis klinis. Tidak diperlukan pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis
(pemeriksaan tes refleks batang otak dan apnea) dapat dilaksanakan secara
adekuat. Apabila temuan klinis yang sesuai dengan kriteria kematian batang otak
atau pemeriksaan konfirmatif yang mendukungdiagnosis kematian batang otak
tidak dapat diperoleh, diagnosis kematian batang otak tidak dapat ditegakan.
Sebagai hilangnya seluruh fungsi otak, termasuk fungsi batang otak, secara
ireversibel. Tiga tanda utama manifestasi kematian batang otak adalah koma
dalam, hilangnya seluruh refleks batang otak, dan apnea. Seorang pasien yang
telah ditetapkan mengalami kematian batang otak berarti secara klinis dan legal-
formal telah meninggal dunia. Hal ini dituangkan dalam pernyataan IDI tentang
Mati dalam SK PB IDI No.336/PB IDI/a.4 tertanggal 15 Maret 1988 yang disusul
dengan SK PB IDI No.231/ PB.A.4/07/90. Dalam fatwa tersebut dinyatakan
bahwa seorang dikatakan mati, bila fungsi pernafasan dan jantung telah berhenti
secara pasti atau irreversible, atau terbukti telah terjadi kematian batang otak.
Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak diperlukan
pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis (termasuk pemeriksaan refleks
batang otak dan tes apnea) dapat dilaksanakan secara adekuat. Apabila temuan
klinis yang sesuai dengan kriteria kematian batang otak atau pemeriksaan
konfirmatif yang mendukung diagnosis kematian batang otak tidak dapat
diperoleh, diagnosis kematian batang otak tidak dapat ditegakkan.

2.4 Etiologi
Kematian otak ditandai dengan koma, apneu dan hilangnya semua refleks
batang otak. Diagnosis klinis ini pertama kali disampaikan dalam kepustakaan
kedokteran pada tahun 1959 dan kemudian digunakan dalam praktik kedokteran
pada dekade berikutnya pada bidang trauma klinis yang spesifik. Penyebab umum
kematian otak termasuk trauma, perdarahan intrakranial, hipoksia, overdosis obat,
tenggelam, tumor otak primer, meningitis, pembunuhan dan bunuh diri. Dalam
kepustakaan lain, hipoglikemia jangka panjang disebut sebagai penyebab
kematian otak
2.5 Patofisiologi
Patofisiologi penting terjadinya kematian otak adalah peningkatan hebat
tekanan intrakranial (TIK) yang disebabkan perdarahan atau edema otak. Jika TIK
meningkat mendekati tekanan darah arterial, kemudian tekanan perfusi serebral
(TPS) mendekati nol, maka perfusi serebral akan terhenti dan kematian otak
terjadi. Aliran darah normal yang melalui jaringan otak pada orang dewasa rata-
rata sekitar 50 sampai 60 milimeter per 100 gram otak permenit. Untuk seluruh
otak kira-kira beratnya 1200-1400 gram terdapat 700 sampai 840 ml/menit.
Penghentian aliran darah ke otak secara total akan menyebabkan hilangnya
kesadaran dala waktu 5 sampai 10 detik. Hal ini dapat terjadi karena tidak ada
pengiriman oksigen ke sel-sel otak yang kemudian langsung menghentikan
sebagian metabolismenya. Aliran darah ke otak yang terhenti untuk tiga menit
dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang bersifat ireversible. Sedikitnya
terdapat tiga faktor metabolik yang memberi pengaruh kuat terhadap pengaturan
aliran darah serebral. Ketiga faktor tersebut adalah konsentrasi karbon dioksida,
konsentrasi ion hidrogen dan konsentrasi oksigen.
Peningkatan karbon dioksida maupun hidrogen akan meningkatkan aliran
darah serebral, sedangkan penurunan konsentrasi oksigen akan meningkatan
aliran darah serebral. Faktor-faktor iskemia dan nekrotik pada otak oleh karena
kurangnya aliran oksigen ke otak menyebabkan terganggunya fungsi dan struktur
otak, baik itu secara reversible atau ireversible. Percobaan pada binatang
menunjikan aliran darah otak dikatakan kritis apabila aliran darah otak 23 ml/100
mg/menit (normal 55 ml/100 mg/menit). Jika dalam waktu singkat aliran darah
otak ditambahkan di atas 23 ml, maka kerusakan fungsi otak dapat diperbaiki.
Pengurangan aliran darah otak dibawah 8-9 ml/100 mg/menit akan menyebabkan
infark, tergantung lamanya. Dikatakan hipoperfusi jika aliran darah otak antara 8-
23 ml/100 mg/menit. Jika jumlah darah yang mengalir ke dalam otak tersumbat
secara parsial, maka daerah yang bersangkutan langsung menderita karena
kekuranghan oksigen. Daerah tersebut dinamakan daerah iskemik. Di wilayah itu
didapati (1). tekanan perfusi yang rendah, (2). PO 2 turun, (3). CO 2 dan asam
laktat tertimbun. Autoregulasi dan pengaturan vasomotor dalam daerah tersebut
bekerja sama untuk menanggulangi keadaan iskemik itu dengan mengadakan
vasodilatasi maksimal. Pada umumnya, hanya pada perbatasan daerah iskemik
saja bisa dihasilkan vasodilatasi kolateral, sehingga daerah perbatasan tersebut
dapat diselamatkan dari kematian. Tetapi pusat dari daerah iskemik tersebut tidak
dapat teratasi oleh mekanisme autoregulasi dan pengaturan vasomotor. Disitu
akan berkembang proses degrenerasi yang ireversible. Semua pembuluh darah di
bagian pusat daerah iskemik itu kehilangan tonus, sehingga berada dalam keadaan
vasoparalisis. Keadaan ini masih dapat diperbaiki, oleh karena sel-sel otot polos
pembuluh darah bisa bertahan dalam keadaan anoksik yang cukup lama. Tetapi
sel-sel saraf daerah iskemik itu tidak bisa tahan lama. Pembengkakan sel dengan
pembengkakan serabut saraf dan selubung mielinnya (edema serebri) merupakan
reaksi degeneratif dini. Kemudian disusul dengan diapedesis eritrosit dan leukosit.
Akhirnya sel-sel akan musnah. Yang pertama adalah gambaran yang sesuai
dengan keadaan iskemik dan yang terakhir adalah gambaran infark.
Adapun pada hipoglikemia, mekanisme yang terjadi sifatnya umum.
Hipoglikemia jangka panjang menyebabkan kegagalan fungsi otak. Berbagai
mekanisme dikatakan terlibat dalam patogenesisnya, termasuk pelepasan glutamat
dan aktivasi reseptor glutamat neuron, produksi spesies oksigen reaktif, pelepasan
zinc neuron, aktifasi poli (ADP-ribose) polymerase dan transisi permeabilitas
mitokondria.

2.6 Kriteria Mati Batang Otak


Pada tahun 1959 Mollaret dan Goulon memperkenalkan istilah coma de
passé (koma irreversibel) dalam menggambarkan 23 pasien koma dengan
hilangnya kesadaran, refleks batang otak, respirasi dan dengan hasil
elektroensefalogram (EEG) yang mendatar. Pada tahun 1968, sebuah komite
Adhoc pada Fakultas Kedokteran Harvard meninjau kembali defenisi kematian
otak dan kemudian diartikan sebagai koma ireversibel atau kematian otak, yaitu
adalah tidak adanya respon terhadap stimulus, tidak ada gerakan napas, tidak
adanya refleks batang otak dan koma yang penyebabnya sudah diketahui, kondisi
tersebut menetap sekurang-kurangnya 6 sampai 24 jam.
Pada tahun 1971 Mohandas dan Chou menggambarkan kerusakan batang
otak sebagai komponen penting dari kerusakan otak yang berat. Konferensi
perguruan tinggi Medical Royal dan fakultas-fakultas yang ada di dalamnya di
Kerajaan Inggris pada tahun 1976, menerbitkan sebuah pernyataan mengenai
diagnosis kematian otak dimana kematian otak diartikan sebagai hilangnya fungsi
batang otak secara lengkap dan ireversibel. Pernyataan ini memberikan pedoman
yang termasuk di dalamnya perbaikan dalam uji apnea dan memusatkan perhatian
pada batang otak sebagai pusat dari fungsi otak. Tanpa batang otak ini, tidak ada
kehidupan. Pada tahun 1981 komisi presiden untuk studi masalah etik dalam
kedokteran biomedis juga penelitian tentang perilaku menerbitkan pedomannya.
Dokumen tersebut merekomendasikan kegunaan tes konfirmasi untuk mengurangi
durasi waktu yang dibutuhkan untuk observasi dan merekomendasikan periode
24jam bagi pasien dengan gangguan anoksia dan kemudian menyingkirkan syok
sebagai syarat untuk menentukan kematian otak. Akhir-akhir ini, Akademi
Neurologi Amerika memberikan kasus berdasarkan bukti dan menyarankan
adanya pemeriksaan-pemeriksaan dalam praktek. Laporan ini secara spesifik
mengarah kepada adanya peralatan-peralatan pemeriksaan klinis dan tes
konfirmasi validitas serta adanya deskripsi tentang uji apnea dalam
praktek.Sehubungan dengan dibutuhkannya konsep kematian otak, maupun
metode terstruktur suatu diagnosis, beragam kriteria telah diterbitkan. Beberapa
diantaranya.
1. Kriteria Harvard
Kunci perkembangan diagnosis kematian otak diterbitkan “Kriteria Harvard”,
kunci diagnosis tersebut adalah:
 Tidak bereaksi terhadap stimulus noksius yang intensif (unresponsive coma).
 Hilangnya kemampuan bernapas spontan.
 Hilangnya refleks batang otakdan spinal.
 Hilangnya aktivitas postural seperti deserebrasi.
 EEG datar.
 Hipotermia dan pemakaian depresan seperti barbiturat harus disingkirkan.
Kemudian, temuan klinis dan EEG harus tetap saat evaluasi sekurang
kurangnya 24 jam kemudian
2. Kriteria Minnesota
Pengalaman klinis dengan menggunakan kriteria Harvard yang disarankan
mungkin sangat terbatas. Hal ini menyebabkan Mohandes dan Chou mengusulkan
“Kriteria Minnesota” untuk kematian otak. Yang dihilangkan dari kriteria ini
adalah tidak dimasukkannya refleks spinalis dan aktivitas EEG karena masih
dipandang sebagai sebuah pilihan pemeriksaan untuk konfirmasi, elemen kunci
kriteria Minnesota adalah:
 Hilangnya respirasi spontan setelah masa 4 menit pemeriksaan.
 Hilangnya refleks otak yang ditandai dengan: pupil dilatasi, hilangnya refleks
batuk, refleks kornea dan siliospinalis, hilangnya doll’s eye movement,
hilangnya respon terhadap stimulus kalori dan hilangnya refleks tonus leher.
 Status penderita tidak berubah sekurang-kurangnya dalam 12 jam.
 Proses patologis yang berperan dan dianggap tidak dapat diperbaiki.
Pertimbangan utama dalam mendiagnosis kematian otak adalah sebagai berikut:
 Hilangnya fungsi serebral.
 Hilangnya fungsi batang otak termasuk respirasi spontan.
 Bersifat ireversibel.
Hilangnya fungsi serebral ditandai dengan berkurangnya pergerakan
spontan dan berkurangnya respon motorik dan vokal terhadap seluruh rangsang
visual, pendengaran dan kutaneus. Refleks-refleks spinalis mungkin saja ada.
EEG merupakan indikator berharga dalam kematian serebral dan banyak lembaga
kesehatan yang memerlukan pembuktian Electro Cerebral Silence (ECS), yang
juga disebut EEG datar atau isoelektrik. Dikatakan EEG datar apabila tidak ada
perubahan potensial listrik melebihi 2 mikroVolt selama dua kali 30 menit yang
direkam setiap 6 jam. Perlu ditekankan bahwa tidak adanya respon serebral dan
EEG datar tidak selalu berarti kematian otak. Akan tetapi, keduanya dapat terjadi
dan bersifat reversible pada keadaan hipotermia dan intoksikasi obat-obatan
hipnotik-sedatif. Fungsi-fungsi batang otak dianggap tidak ada jika tidak terdapat
reaksi pupil terhadap cahaya, tidak terdapat refleks kornea, vestibulo-ocular,
orofaringeal atau trakea. Tidak ada respon deserebrasi terhadap stimulus noksius
dan tidak ada pernapasan spontan. Untuk kepentingan dalam praktek, apnea
absolut dikatakan terjadi pada pasien, jika pasien tersebut tidak melakukan usaha
untuk menolak penggunaan alat respirasi setidaknya selama 15 menit. Sebagai tes
akhir, pasien dapat dilepaskan dari respirator lebih lama beberapa menit untuk
memastikan bahwa PCO 2 arteri meningkat di atas ambang untuk merangsang
pernapasan spontan. Jika hasil pemeriksaan memperlihatkan bahwa semua fungsi
otak hilang, maka pemeriksaan harus diulang dalam waktu 6 jam untuk
memastikan bahwa keadaan pasien bersifat ireversibel. Jika riwayat dan
pengamatan komprehensif yang sesuai terhadap prosedur penggunaan obat-obatan
tidak ada, maka observasi selama periode 72 jam mungkin dibutuhkan untuk
memperoleh reversibilitas walaupun jarang terjadi dalam praktek, studi perfusi
serebral menunjukkan terhentinya sirkulasi intrakranial secara sempurna
menyebabkan terjadinya kematian otak.

2.7 Penetapan Diagnosa Mati Batang Otak


Pemeriksaan neurologis klinis tetap menjadi standar untuk penentuan
kematian otak dan telah diadopsi oleh sebagian besar negara-negara di dunia.
Pemeriksaan pasien yang diduga telah mengalami kematian otak harus dilakukan
dengan teliti. Deklarasi tentang kematian otak tidak hanya menuntut dilakukannya
tes neurologis namun juga identifikasi penyebab koma, keyakinan akan kondisi
ireversibel, penyingkiran tanda neurologis yang salah ataupun faktor-faktor yang
dapat menyebabkan kebingungan, interpretasi hasil pencitraan neurologis, dan
dilakukannya tes laboratorium tambahan yang dianggap perlu. Diagnosis
kematian otak terutama ditegakkan secara klinis. Tidak ada tes lain yang perlu
dilakukan apabila pemeriksaan klinis yang menyeluruh, meliputi kedua tes refleks
batang otak dan satu tes apnea, memberikan hasil yang jelas. Apabila tidak
ditemukan temuan klinis, atau uji konfirmasi, yang lengkap yang konsisten
dengan kematian otak, maka diagnosis tersebut tidak dapat ditegakkan.
Pemeriksaan neurologis untuk menentukan apakah seseorang telah mengalami
kematian otak atau tidak dapat dilakukan hanya apabila persyaratan berikut
dipenuhi. Pemeriksaan neurologis untuk menentukan apakah seseorang telah
mengalami kematian otak atau tidak dapat dilakukan hanya apabila persyaratan
berikut dipenuhi:
 Penyingkiran kondisi medis yang dapat mengganggu penilaian klinis,
khususnya gangguan elektrolit, asam – basa, atau endokrin.
 Tidak adanya hipotermia parah, didefinisikan sebagai suhu tubuh lebih kurang
atau sama dengan 32 o C.
 Tidak adanya bukti intoksikasi obat, racun, atau agen penyekat
neuromuskuler.
Menurut panduan sertifikasi kematian otak yang diterapkan di Hong Kong,
yang mengacu pada beberapa referensi seperti Medical Royal Colleges in United
Kingdom dan Austalian and New Zealand Intensive Care Society, sebelum
mempertimbangkan diagnosis kematian otak, harus diperiksa kondisi-kondisi
serta kriteria eksklusi.
Pertama-tama, harus ditemukan kondisi cedera otak berat yang konsisten
dengan proses terjadinya kematian otak (yang biasanya dikonfirmasi dengan
pencitraan otak). Tidak boleh ada keraguan bahwa kondisi yang dialami pasien
diakibatkan oleh kerusakan struktural otak yang tidak dapat diperbaiki. Diagnosis
dari kelainan yang dapat menimbulkan kematian otak harus ditegakkan dengan
jelas. Diagnosis tersebut dapat jelas terlihat beberapa jam setelah kejadian
intrakranial primer seperti cedera kepala berat, perdarahan intrakranial spontan,
atau setelah pembedahan otak. Namun, saat kondisi pasien disebabkan oleh henti
jantung, hipoksia, atau insufisiensi sirkulasi yang berat tanpa periode anoksia
serebri yang jelas, atau dicurigai mengalami embolisme udara atau lemak otak
maka penegakan diagnosis akan memakan waktu lebih lama.
Kondisi kedua yang dapat menjadi pertimbangan untuk menegakkan
diagnosis kematian otak adalah pasien yang apneu dan menggunakan bantuan
ventilator. Pasien tidak responsif dan tidak bernafas secara spontan. Obat
penyekat neuromuskuler atau lainnya harus dieksklusi dari penyebab kondisi
tersebut. Penyebab koma lain yang harus dieksklusi adalah obat depresan atau
racun. Riwayat penggunaan obat harus secara hati-hati diperiksa. Periode
observasi tergantung pada farmakokinetik dari obat yang digunakan, dosis yang
digunakan, dan fungsi hepar serta ginjal pasien. Apabila diperlukan, tes darah dan
urin serta level serum dilakukan. Bila ada keraguan tentang adanya efek dari
opioid atau benzodiazepine, maka obat antagonis yang tepat harus diberikan.
Stimulator saraf tepi harus digunakan untuk mengkonfirmasi intak tidaknya
konduksi neuromuskuler apabila pasien menggunakan obat pelemas otot (muscle
relaxant). Hipotermia primer juga menjadi kriteria eksklusi. Suhu pasien
direkomendasikan harus di atas 35o C sebelum dilakukan uji diagnostik. Selain
itu, harus disingkirkan juga kondisi gangguan metabolik dan endokrin, serta
hipotensi arteri.
Langkah-langkah penetapan kematian batang otak meliputi hal-hal
berikut:
1. Evaluasi kasus koma
Penentuan kematian batang otak memerlukan identifikasi kasus koma
ireversibel beserta penyebab koma yang paling mungkin. Cedera kepala berat,
perdarahan intraserebral hipertensif, perdarahan subarachnoid, jejas otak hipoksik-
iskemik, dan kegagalan hepatic fulminan adalah merupakan penyebab potensial
hilangnya fungsi otak yang bersifat ireversibel.
Dokter perlu menilai tingkat dan reversibilitas koma, serta potensi
berbagai kerusakan organ. Dokter juga harus menyingkirkan berbagai factor
perancu, seperti intoksikasi obat, blockade neuromuskular, hipotermia, atau
kelainan metabolik lain yang dapat menyebabkan koma namun masih berpotensi
reversible. Dokter memastikan bahwa tidak terdapat respon motorik dan mata tidak
membuka, ketika suatu stimulus nyeri diberikan pada kuku jari atau saraf
supraorbital.
2. Penilaian klinis awal refleks batang otak
Penentuan kematian batang otak memerlukan penilaian fungsi otak oleh
minimal dua orang klinisi dengan interval waktu pemeriksaan beberapa jam. Tiga
temuan penting pada kematian batang otak adalah koma dalam, hilangnya seluruh
reflex batang otak, dan apnea. Pemeriksaan apnea (tes apnea) secara khas
dilakukan setelah evaluasi reflex batang otak.
1. Pupil asimetris
Pupil yang besar, unreactive, disebabkan oleh adanya lesi pada saraf
okulomotor ipsilateral, dapat pula karena pre-existing Adie’s pupil. Pupil yang
kecil, lambat berdilatasi terdapat pada Horner syndrome.
2. Reaksi pupil terhadap cahaya
Harus mempergunakan cahaya yang kuat karena respons pupil dapat lambat
pada pasien tidak sadar (cahaya oftalmoskop kurang adekuat). Pupil yang tidak
mengalami konttriksi jika diberikan stimulus cahaya menandakan adanya lesi
pada N.II atau N.III. Respon direct didapatkan ketika kita memberikan
rangsang cahaya pada mata yang ingin diperiksa, dan mendapatkan ketika kita
melihat respon pada pupil mata yang tidak diberi stimulus.
3. Posisi atau pergerakan mata
Posisi dan pergerakan mata ditentukan oleh saraf III, IV dan VI. Pada posisi
primer, lesi yang mengenai saraf tertentu dapat menghasilkan posisi juling
(dysconjugate gaze). Aktivitas kejang dapat menimbulkan conjugate gaze yang
simetris intermitten dengan arah kontralateral lesi, sedangkan lesi destruksi
lobus fronta dapat menghasilkan conjugate gaze ke sisi lesi. Nistagmus jarang
terlihat, namun gerakan seperti nistagmus dapat timbul pada status epileptikus.
4. Roving eye movements
Merupakan gerakan bola mata berupa gerakan lambat dari satu sisi ke sisi yang
lain, kelopak mata tertutup, dan mungkin disertai posisi mata yang divergen
ringan dari aksis okuler. Gerakan ini biasanya terjadi pada tidur normal atau
pada pasien koma ringan, fungsi batang otak normal dan tidak menunjukkan
suatu lokasi lesi tertentu.
5. Doll’s eye movements
Kepala digerakkan dari satu sisi ke sisi lainnya dan dari atas kebawah. Refleks
okulosefalik dan reflex vestibulosefalik secara normal seharusnya menjaga
posisi mata meskipun terdapat gerakan kepala, sehingga mata bergerak pada
arah yang berbeda dengan pergerakan kepala. Bila pergerakan kepala telah
sempurna, mata bergerak kembali ke posisi semula. Horizontal doll’head eye
movements yang abnormal menunjukkan adanya lesi yang mengenai N.
Okulomotor (III), N. Abdusens (VI) dan pons. Vertical doll’s head eye
movements yang abnormal menunjukkan lesi yang mengenai N. III, IV dan
midbrain.
6. Tes kalorik
Merupakan test untuk memeriksa fungsi batang otak disebut juga test reflex
okulovestibuler. Cara: pasien dibaringkan dengan tubuh bagian atas dan kepala
membentuk sudut 30% dengan bidang horizontal, kemudian disuntukkan 50-
100 cc air dingin pada salah satu telinga, yang akan berefek sama jika kepala
digerakkan ke sisi yang berlawanan, mata pasien akan menghadap pada sisi
dimana air dimasukkan. Posisi mata ini akan bertahan beberapa waktu. Jika
hasil pemeriksaan negatif, kemungkinan terdapat lesi pada pons, medulla dan
pada kasus yang jarang pada lesi N. III, N.IV, N.VI, atau N. VIII.
7. Refleks kornea
Pemeriksaan ini bermanfaat untuk menentukan prognosis dan lokasi lesi.
Refleks kornea yang negatif biasanya disebabkan lesi yang mengenai N.
Trigeminus (V), pons atau N. Fasialis (VII). Meringis terhadap nyeri trigeminal
dilakukan dengan cara menggosok dengan kuat anterior telinga atau pada
supraorbital ridge. Timbulnya meringis dapat bermanfaat untuk mendeteksi
kelumpuhan upper motor saraf VII.
8. Gag Reflex
Dapat dilakukan pemeriksaan dengan melakukan tes reflex muntah dan batuk,
yang tergantung dari jalur N glosofaringeal (IX) dan N. Vagus (X) ke medulla
dan kemudian ke N. X.
Penilaian klinis terhadap reflex batang otak dikerjakan secara menyeluruh.
Nervus cranialis yang diperiksa ditunjukkan dengan angka romawi; garis panah
utuh menunjukkan jaras aferen; garis panah terputus menunjukkan jaras eferen.
Hilangnya respon menyeringai atau mata tidak membuka terhadap rangsang
tekanan dalam pada kedua condyles setinggi temporomandibular joint (afferent n.
V dan efferent N. VII), hilangnya reflex kornea terhadap rangsang sentuhan tepi
kornea mata (n. V dan n. VII), hilangnya reflex cahaya (N. II dan N. III),
hilangnya respon oculovestibular kearah sisi stimulus dingin oleh air es (N. VIII
dan N. III dan N. VI), hilangnya reflex batuk terhadap rangsangan pengisapan
yang dalam pada trachea (N. IX dan n. X).
3. Tes Apnea
Secara umum, tes apnea dilakukan setelah pemeriksaan refleks batang otak
yang kedua. Tes apnea dapat dilakukan apabila kondisi prasyarat terpenuhi, yaitu:
 Suhu tubuh ≥ 36,5 °C atau 97,7 °F
 Euvolemia (balans cairan positif dalam 6 jam sebelumnya)
 PaCO 2 normal (PaCO 2 arterial ≥ 40 mmHg)
 PaO 2 normal (pre-oksigenasi arterial PaO 2 arterial ≥ 200 mmHg)
Setelah syarat-syarat tersebut terpenuhi, dokter melakukan tes apnea dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Pasang pulse-oxymeter dan putuskan hubungan ventilator
2. Berikan oksigen 100%, 6 L/menit ke dalam trakea (tempatkan kanul setinggi
carina)
3. Amati dengan seksama adanya gerakan pernafasan (gerakan dinding dada
atau abdomen yang menghasilkan volume tidal adekuat)
4. Ukur PaO2, PaCO2, dan pH setelah kira-kira 8 menit, kemudian ventilator
disambungkan kembali.
5. Apabila tidak terdapat gerakan pernafasan, dan PaCO 2 ≥ 60 mmHg (atau
peningkatan PaCO 2 lebih atau sama dengan nilai dasar normal), hasil tes
apnea dinyatakan positif (mendukung kemungkinan klinis kematian batang
otak).
6. Apabila terdapat gerakan pernafasan, tes apnea dinyatakan negatif (tidak
mendukung kemungkinan klinis kematian batang otak) .
7. Hubungkan ventilator selama tes apnea apabila tekanan darah sistolik turun
sampai 90 mmHg (atau lebih rendah dari batas nilai normal sesuai usia pada
pasien 18 tahun), atau pulse-oxymeter mengindikasikan adanya desaturasi
oksigen yang bermakna, atau terjadi aritmia kardial.
 Segera ambil sampel darah arterial dan periksa analisis gas darah.
 Apabila PaCO2 ≥ 60 mmHg atau peningkatan PaCO2 ≥ 20 mmHg di atas
nilai dasar normal, tes apnea dinyatakan positif.
 Apabila PaCO2 60 mmHg atau peningkatan PaCO2 < 20 mHg diatas
nilai dasar normal, hasil pemeriksaan belum dapat dipastikan dan perlu
dilakukan tes konfirmasi.
Diskoneksi ventilator dan penggunaan oksigenasi apneak difusi (apneic
diffusion oxygenation) memerlukan syarat tertentu. Suhu tubuh harus ≥36.5 °C,
tekanan darah sistolik harus ≥90 mmHg, dan keseimbangan cairan harus positif
selama enam jam. Setelah pre-oksigenasi (fraksi oksigen insprasi harus 1.0 selama
10 menit), tingkat ventilasi harus dikurangi. Ventilator harus diputus apabila PaO2
arterial mencapai ≥200 mmHg, atau apabila PaCO2 arterial mencapai ≥40 mmHg.
Pipa oksigen harus berada pada carina (menghantarkan oksigen 6 liter per
menit).Dokter harus mengamati dinding dada dan abdomen untuk mengamati
adanya gerakan pernafasan selama 8-10 menit, dan harus mengawasi pasien
terhadap adanya perubahan fungsi vital. Apabila PaO2 arterial ≥60mmHg, atau
terdapat peningkatan > 20 mmHg dari nilai dasar yang normal, makates apnea
dinyatakan positif.
4. Pemeriksaan Konfirmatif Jika Terdapat Indikasi
Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak diperlukan
pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis termasuk pemeriksaan refleks batang
otak dan tes apnea dapat dilaksanakan secara adekuat. Beberapa pasien dengan
kondisi tertentu seperti cedera servikal atau kranium, instabilitas kardiovaskular,
atau faktor lain yang menyulitkan dilakukannya pemeriksaan klinis untuk
menegakkan diagnosis kematian batang otak, perlu dilakukan tes konfirmatif.
Pemilihan tes konfirmatif yang akan dilakukan sangat tergantung pada
pertimbangan praktis, mencakup ketersediaan, kemanfaatan, dan kerugian yang
mungkin terjadi. Beberapa tes konfirmatif yang biasa dilakukan antara lain:
a. Angiography (conventional, computerized tomographic, magnetic
resonance, dan radionuclide) : kematian batang otak ditegakkan apabila
tidak terdapat pengisian intraserebral (intracerebral filling) setinggi
bifurkasio karotis atau sirkulus Willisi.
b. Elektroensefalografi (EEG) : kematian batang otak ditegakkan apabila
tidak terdapat aktivitas elektrik setidaknya selama 30 menit.
c. Nuclear brain scanning : kematian batang otak ditegakkan apabila tidak
terdapat ambilan (uptake) isotop pada parenkim otak dan atau vasculature,
bergantung teknik isotop (hollow skull phenomenon).
d. Somatosensory evoked potentials : kematian batang otak ditegakkan
apabila tidak terdapat respon N20-P22 bilateral pada stimulasi nervus
medianus.
e. Transcranial doppler ultrasonography : kematian batang otak ditegakkan
oleh adanya puncak sistolik kecil (small systolic peaks) pada awal sistolik
tanpa aliran diastolik (diastolic flow) atau reverberating flow,
mengindikasikan adanya resistensi yang sangat tinggi (very high vascular
resistance) terkait adanya peningkatan tekanan intrakranial yang besar.
5. Periode interval observasi
 Sampai dengan usia 2 bulan, periode interval observasi 48 jam
 Usia lebih dari 2 bulan -1 tahun, periode interval observasi 24 jam
 Usia lebih dari 1 tahun -18 tahun, periode interval observasi 12 jam
 Usia 18 tahun ke atas, periode interval observasi berkisar 6 jam
BAB III
LAPORAN KASUS

I. STATUS PASIEN
IDENTITAS PRIBADI

Nama : Ny. Ajla Rodiyah Siregar

Umur : 45 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Suku Bangsa : Mandailing

Agama : Islam

Alamat : Jl. Bubu. Gg. Sanggup No 3 Lk II Medan Tembung

Status : Menikah

Pekerjaan : IRT

Tanggal Masuk : 03-01-2019 Pukul: 07.02 Wib

II. ANAMNESIS

(Alloanamnesa)

Keluhan Utama : Nyeri Kepala

Telaah : Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Haji Medan dengan keluhan nyeri
kepala sejak tadi pagi sekitar jam 06.00 Wib saat bangun tidur. Terjadi
penurunan kesadaran sesaat setelah sebelumnya pasien masih dalam keadaan
sadar saat diberi tindakan di IGD, nyeri kepala terasa berdenyut (+), terasa hoyong
(+), demam (-), mual (+), muntah (+). Riwayat sebelumnya pasien memang sering
mengeluhkan nyeri kepala yang dirasakan hilang timbul. Riwayat Hipertensi (+),
BAB (+), BAK (+).

Riwayat penyakit terdahulu : Hipertensi(+), Kolesterol(+), Diabetes Melitus(+)


Riwayat penggunaan obat : (-)

ANAMNESA TRAKTUS

Traktus Sirkulatorius : Hipertensi (+), Kolesterol (+)

Traktus Respiratorius : Sesak nafas (-), Batuk (-)

Traktus Digestivus : Mual (+), muntah (+)

Traktus Urogenitalis : Miksi (+), Defekasi (+)

Penyakit Terdahulu dan Kecelakaan : pernah terjatuh dan kepala terbentur

Intoksikasi dan Obat-obatan : Disangkal

ANAMNESA KELUARGA

Faktor Herediter : Ayah dan Ibu Hipertensi

Faktor Familier : Pasien merupakan anak ketujuh dan kakak abangnya memiliki
riwayat hipertensi

Lain-lain : Tidak dijumpai

ANAMNESA SOSIAL

Kelahiran dan Pertumbuhan : Normal

Imunisasi : Tidak ingat

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : IRT

Perkawinan dan Anak : Menikah, 2 Anak


III. PEMERIKSAAN JASMANI

PEMERIKSAAN UMUM

TTV saat di IGD TTV

Tekanan Darah : 250/110 mmHg Tekanan Darah : 65/40 mmHg

Nadi : 80 x/i Nadi : 126 x/i

Frekuensi Nafas : 20 x/i Frekuensi Nafas : 14 x/i

Temperatur : 37 C Temperatur : 37 C

Kulit dan Selaput Lendir : Dalam batas normal SpO2 : 100 %

Kelenjar Getah Bening : Dalam batas normal

Persendian : Dalam batas normal

KEPALA DAN LEHER

Bentuk dan Posisi : Dalam batas normal

Pergerakan : Tidak dijumpai

Kelainan Panca Indera : Dijumpai

Rongga Mulut dan Gigi : Dalam batas normal

Kelenjar Parotis : Dalam batas normal

Desah : Tidak dijumpai

Dan lain-lain : Tidak ada kelainan

RONGGA DADA DAN ABDOMEN

RONGGA DADA

Inspeksi : Simetris kanan = kiri


Palpasi : Vocal fremitus normal

Perkusi : Sonor dikedua lapangan paru

Auskultasi : Vesikuler dikedua lapangan paru

RONGGA ABDOMEN

Tidak dilakukan pemeriksaan

GENITALIA

Toucher : Tidak dilakukan pemeriksaan

STATUS NEUROLOGI

SENSORIUM : Koma, E1V1M1 = 3

KRANIUM

Bentuk : Normocephali

Fontanella : Tertutup, Keras

Palpasi : Tidak dilakukan pemeriksaan

Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan

Auskultasi : Tidak dilakukan pemeriksaan

Transiluminasi : Tidak dilakukan pemeriksaan

PERANGSANGAN MENINGEAL

Kaku Kuduk : Tidak dilakukan pemeriksaan

Tanda Kernig : Tidak dilakukan pemeriksaan

Tanda Lasegue : Tidak dilakukan pemeriksaan


Tanda Brudzinski I : Tidak dilakukan pemeriksaan

Tanda Brudzinski II : Tidak dilakukan pemeriksaan

PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL

Muntah : (+)

Sakit Kepala : (+)

Kejang : (-)

NERVUS KRANIALIS

NERVUS I Meatus Nasi Dextra Meastus Nasi Sinstra

Normosmia : Anosmia

Anosmia : dijumpai dijumpai

Parosmia : Tidak dijumpai Tidak dijumpai

Hiposmia : Tidak dijumpai Tidak dijumpai

NERVUS II Oculi Dextra (OD) Oculi Sinistra (OS)

Visus : 0

Lapangan Pandang

Normal : (-)

Menyempit : Dijumpai

Hemianopsia : Dijumpai

Scotoma : Dijumpai

Refleks Ancaman : (-)

Fundus Oculi : TDP TDP


Warna : TDP TDP

Batas : TDP TDP

Ekstavasi : TDP TDP

Arteri : TDP TDP

Vena : TDP TDP

NERVUS III, IV, VI Oculi Dextra (OD) Oculi Sinistra (OS)

Gerakan Bola Mata : (-)

Nistagmus : Tidak dijumpai

Pupil : Isokor (5mm) Isokor (5mm)

Bentuk : Bulat Bulat

Refleks cahaya langsung : (-) (-)

Refleks cahaya tak langsung : (-) (-)

Rima Palpebra : 7 mm 7 mm

Deviasi Konjugate : Tidak dijumpai Tidak dijumpai

Fenomena Doll’s Eye : TDP TDP

Strabismus : Tidak dijumpai Tidak dijumpai

NERVUS V Dextra Sinistra

Motorik

Membuka dan Menutup Mulut : (-)

Palpasi otot maseter: (-)

Kekuatan gigitan : (-)


Sensorik

Kulit : Dalam batas normal

Selaput lendir : Dalam batas normal

Refleks kornea

Langsung : (-)

Tidak langsung : (-)

Refleks maseter : (-)

Refleks bersin : (-)

NERVUS VII Dextra Sinistra

Motorik

Mimik : (-) (-)

Kerut kening : (-) (-)

Menutup mata : (-) (-)

Meniup sekuatnya : (-) (-)

Memperlihatkan gigi : (-) (-)

Tertawa : (-) (-)

Sensorik

Pengecapan 2/3 depan lidah : Tidak dilakukan pemeriksaan

Produksi kelenjar ludah : Dalam batas normal

Hiperakusis : Tidak dijumpai

Refleks stapedial : Tidak dilakukan pemeriksaan


NERVUS VIII Dextra Sinistra

Auditorius

Pendengaran : (-) (-)

Test Rinne : TDP TDP

Test Weber : TDP TDP

Test Schwabach : TDP TDP

Vestibularis

Nistagmus : TDP

Reaksi Kalori : TDP

Vertigo : TDP

Tinnitus : TDP

NERVUS IX, X (Glossopharyngeus, Vagus)

Pallatum mole : Tidak dilakukan pemeriksaan

Uvula : Tidak dilakukan pemeriksaan

Disfagia : Tidak dilakukan pemeriksaan

Disartria : Tidak dilakukan pemeriksaan

Disfonia : Tidak dilakukan pemeriksaan

Refleks Muntah : Tidak dilakukan pemeriksaan

Pengecapan 1/3 belakang : Tidak dilakukan pemeriksaan

NERVUS XI (aksesorius) Dekstra Sinistra

Mengangkat bahu : (-) (-)


Fungsi otot Sternokleidomastoideus : (-) (-)

NERVUS XII (Hipoglosus)

Tremor : Tidak dilakukan pemeriksaan

Atrofi : Tidak dilakukan pemeriksaan

Fasikulasi : Tidak dilakukan pemeriksaan

Ujung lidah sewaktu istirahat : Tidak dilakukan pemeriksaan

Ujung lidah sewaktu dijulurkan : Tidak dilakukan pemeriksaan

SISTEM MOTORIK Dextra Sinistra

Trofi : Normotrofi Normotrofi

Tonus : (-) (-)

Kekuatan Otot :

ESD : 0/0/0/0/0 ESS : 0/0/0/0/0

EID : 0/0/0/0/0 EIS : 0/0/0/0/0

Sikap : Berbaring (+)

Gerakan Spontan Abnormal

Tremor : Tidak dijumpai

Khorea : Tidak dijumpai

Ballismus : Tidak dijumpai

Mioklonus : Tidak dijumpai

Atetosis : Tidak dijumpai

Distonia : Tidak dijumpai


Spasme : Tidak dijumpai

Tic : Tidak dijumpai

Dan lain-lain : Tidak dijumpai

TES SENSIBILITAS

Eksteroseptif : nyeri (-) raba (-) suhu (-)

Propioseptif : gerak (-) posisi (-) getar (-) tekan (-)

Fungsi kortikal untuk sensibilatas

Sterognosis : TDP

Pengenalan 2 titik : TDP

Grafestesia : TDP

Barognosis : TDP

REFLEKS

Refleks Fisiologis Dextra Sinistra

Biceps : Tidak dilakukan pemeriksaan

Triceps : Tidak dilakukan pemeriksaan

Radioperiost : Tidak dilakukan pemeriksaan

APR : Tidak dilakukan pemeriksaan

KPR : Tidak dilakukan pemeriksaan

Refleks Patologis Dextra Sinistra

Babinsky : Tidak dilakukan pemeriksaan

Oppenheim : Tidak dilakukan pemeriksaan


Chaddock : Tidak dilakukan pemeriksaan

Gordon : Tidak dilakukan pemeriksaan

Schaeffer : Tidak dilakukan pemeriksaan

Hoffman Tromner : Tidak dilakukan pemeriksaan

Klonus Lutut : Tidak dilakukan pemeriksaan

Klonus Kaki : Tidak dilakukan pemeriksaan

Refleks Primitif : Tidak dilakukan pemeriksaan

KOORDINASI

Lenggang

Bicara : Tidak ada

Menulis : Tidak dilakukan pemeriksaan

Percobaan Apraksia : Tidak dilakukan pemeriksaan

Mimik

Test Telunjuk-telunjuk : Tidak dilakukan pemeriksaan

Tes Telunjuk-hidung : Tidak dilakukan pemeriksaan

Tes Tumit-lutut : Tidak dilakukan pemeriksaan

Tes Romberg : Tidak dilakukan pemeriksaan

VEGETATIF

Vasomotorik : (-)

Sudomotorik : (-)

Pilo-erektor : Tidak dilakukan pemeriksaan


Miksi : (-) Normal

Defekasi : (-) Normal

Potensi dan Libido : Tidak dilakukan pemeriksaan

VERTEBRA
Bentuk
• Normal : Dalam batas normal

• Scoliosis : Tidak dijumpai

• Hiperlordosis : Tidak dijumpai

Pergerakan

• Leher : Tidak dijumpai

• Pinggang : Tidak dijumpai

TANDA PERANGSANGAN RADIKULER Dekstra Sinistra

Laseque : Tidak dilakukan pemeriksaan

Cross Laseque : - Tidak dilakukan pemeriksaan

Tes Lhermitte : TDP TDP

Test Naffziger : TDP TDP

GEJALA - GEJALA SEREBELLAR

Ataksia : Tidak dijumpai

Disartria : Tidak dijumpai

Tremor : Tidak dijumpai

Nistagmus : Tidak dijumpai

Fenomena Rebound : Tidak dijumpai


Vertigo : Tidak dijumpai

Dan lain-lain : Tidak dijumpai

GEJALA - GEJALA EKSTRAPRAMIDAL

Tremor : Tidak dijumpai

Rigiditas : Tidak dijumpai

Bradikinesia : Tidak dijumpai

Dan lain-lain : Tidak ada

FUNGSI LUHUR

Kesadaran : koma

Ingatan Baru : Tidak ada

Ingatan Lama : Tidak ada

Orientasi

Diri : Tidak ada

Tempat : Tidak ada

Waktu : Tidak ada

Situasi : tidak ada

Intelegensia : Tidak ada

Daya Pertimbangan : Tidak ada

Reaksi Emosi : Tidak ada

Afasia : Tidak ada

Apraksia : Tidak ada


Agnosia

Agnosia visual : Tidak dijumpai

Agnosia jari-jari : Tidak dijumpai

Akalkulia : Tidak ada

Disorientasi Kanan-Kiri : Tidak dijumpai

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 03 Januari 2019

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hemoglobin 12,1 g/dL 11.7 – 15.5
Hitung Eritrosit 4,4 5.0 10^6/µL 3,8-5,2
Hitung Leukosit 32.370 /µL 4,000 – 11,000
Hematokrit 35,3 % 35 – 47
Hitung Trombosit 401.000 /µL 150000-440000
Index Eritrosit
MCV 70.9 Fl 80 – 100
MCH 24.3 Pg 26-34
MCHC 34.2 % 32-36
Hitung Jenis Leukosit
Eosinofil 0 % 1-3
Basofil 0 % 0-1
N. Stab 0 % 2-6
N. Seg 92 % 53-75
Limfosit 5 % 20-45
Monosit 2 % 4-8
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah
Glukosa Darah Sewatu 296 mg/dL <140
Fungsi Hati
Bilirubin Total 0,18 mg/dL 0.3-1
Bilirubin Direk 0,09 mg/dL <0.25
ALT (SGPT) 207 U/L <40
Fungsi Ginjal
Ureum 16 mg/dL 20-40
Kreatinin 1,71 mg/dL 0.6-1.1
Elektrolit
Natrium 137 mmol/L 135-155
Kalium 4.0 mmol/L 3.5-5.5
Chlorida 97 mmol/L 98-106

HASIL CT SCAN TANGGAL 03 Januari 2019


Perdarahan intra serebral >100 cc

Kesan :Stoke hemoragik

Hasil RO Thorax

Sinus Costo prenicus normal. Diafragma Kanan letak tinggi (Hepatomegali)

Jantung : CTR >50 %

Paru : Corakan broncho vascular normal, tidak tampak kelainan aktif spesifik dan
patologik

Kesan : Cardiomegali
KESIMPULAN PEMERIKSAAN

Keluhan Utama : Nyeri Kepala

Telaah : Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Haji Medan dengan keluhan nyeri
kepala sejak tadi pagi sekitar jam 06.00 Wib saat bangun tidur. Terjadi
penurunan kesadaran sesaat setelah sebelumnya pasien masih dalam keadaan
sadar saat diberi tindakan di IGD, nyeri kepala terasa berdenyut (+), terasa hoyong
(+), demam (-), mual (+), muntah (+). Riwayat sebelumnya pasien memang sering
mengeluhkan nyeri kepala yang dirasakan hilang timbul. Riwayat Hipertensi (+),
BAB (+), BAK (+).

Riwayat penyakit terdahulu : Hipertensi(+), Kolesterol(+), Diabetes Melitus(+)


Riwayat penggunaan obat : (-)
Sensorium E1V1M1
TTV
Tekanan Darah : 65/40 mmHg
Nadi : 126 x/i
Frekuensi Nafas : 14 x/i
Temperatur : 37 C
SpO2 : 100 %
Pupil isokor diameter (5mm)/(5mm), refleks kornea (-)/(-), test kalorik (-), Gag
refleks (-), posisi dan pergerakan bola mata dan kelopak mata (-)/(-).

DIAGNOSA DIFERENSIAL : a. Stroke Hemoragik

b. Sroke Non Hemoragik

DIAGNOSA FUNGSIONAL : Mati Batang Otak

DIAGNOSA ANATOMI : ICH (Intra cerebral)

DIAGNOSA ETIOLOGIK : Stoke hemoragik


DIAGNOSA KERJA : mati batang otak (MBO) ec Stroke hemoragik

PENATALAKSANAAN

1. Tirah Baring

2. IVFD RL 20 gtt/i

3. Inj. Ranitidine 1 amp/12jam

5. Inj. Citicolin 250 mg/ 12 jam

6. Inj. Furosemide 1 gr/12 jam

7. Valsartan 1x80 mg

8. Amlodipin 1x10 mg

9. Konsul dr Sp.BS
BAB IV
KESIMPULAN

Berbagai teknik yang ditemukan untuk mempertahankan detak jantung dan


pernapasan walaupun pasien telah mati telah memunculkan persepsi baru tentang
definisi kematian sebagai hilangnya fungsi otak dan bukan fungsi jantung dan
paru, dimana kematian dapat ditentukan berdasarkan kriteria neurologis.
Kematian otak kebanyakan diakibatkan oleh cedera kepala berat dan perdarahan
intrakranial. Kriteria untuk kematian otak sendiri berevolusi seiring waktu.
Kematian otak didefinisikan sebagai hilangnya semua fungsi otak secara
ireversibel, termasuk batang otak. Tiga temuan penting dalam kematian otak
adalah koma, hilangnya refleks batang otak, dan apnea. Pada pasien, harus
diperiksa kondisi-kondisi serta kriteria eksklusi. Harus ditemukan kondisi cedera
otak berat yang konsisten dengan proses terjadinya kematian otak, tidak bernafas
secara spontan, dan hasil yang negatif pada pemeriksaan refleks-refleks batang
otak. Jika kematian otak telah didiagnosis berdasarkan kriteria klinis dasar diatas,
dokter dan keluarga harus sadar bahwa kematian otak sama dengan kematian
pasien.
Daftar Pustaka

1. Machado Celixto. Diagnosis of brain death. Neurology Internaional. 2010.


2. Laureys Steven. Death, unconsiousness and the brain; Science and Society;
Nov 2005.
3. Mc Mahan Jeff. Brain death, cortical death and persistent vegetative state;
University of Carolina School of Medicine;
4. Undang-undang Republik Indonesia Tentang Kesehatan; Pasal 117; Tahun
2006.
5. Kowalks, Welsh, Mayer. Buku Ajar Patofisiologi.2011
6. Priece Sylvia A , Wilson M Lorraine. Patofisiologikonsepklinis proses-proses
penyakit. Volume 2 edisi 6. 2005.
7. Hall E Jhon, Guyton & Hall. Buku saku fisiologi kedokteran. Edisi 11.2005
8. Quality Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology,.
Practice Parameters for Determining Brain Death Adults (summary statement),
neurology,1995,45(5)1012-4
9. Guidelines on Diagnosis of Brain Death, Hospital Authory Head Office
Operation Circular No 15. 2003.
10. New York State and New York State Task Force On Life & The Law.
Guidelines for determining brain death, Department of Health, New
York,2011.
11. Wijdicks. Current Concept, The Diagnosis of Brain Death, N Engl J
Med,2001,344(16)
12. Dian, Sofiati, dr. Sp.S. Pemeriksaan Fisisk Dasar Neurologi Berbasis Ilustrai
Kasus. Badung. 2013.
13. Lerner A J. Disorder of consciousness and brain death. Diagnostic criteria in
neurology.
14. Mardjono Mahar, Sidharta Priguna. Neurologi klinis dasar. Jakarta Dian
Rakyat.2004. Hal.280

Anda mungkin juga menyukai