Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS PROFESI FISIOTERAPI

MANAJEMEN FT GANGGUAN TUMBUH KEMBANG


E.C. CEREBRAL PALSY SPASTIK POST TRAUMA

OLEH :

FAHRUL RINJA, S.FT.

R024172010

PROGRAM STUDI PROFESI FISIOTERAPI


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018

i
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus Profesi Fisioterapi di Mother And Child Bagian Fisioterapi

RSUP Wahidin Sudirohusodo dengan judul Manajemen Fisioterapi

Gangguan Tumbuh Kembang Et Causa Cerebral Palsy Spastik Post Trauma

Desember 2018

Mengetahui,

Clinical Instructor Clinical Instructor

Tiwi Marannu, S.Ft., Physio Bustaman Wahab, S.Ft., Physio., MM.Kes

Clinical Educator

Nahdiah Purnamasari, S.Ft,Physio., M.Kes

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL.......................................................................................................
........................................................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................................
.......................................................................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................
......................................................................................................................................iii
BAB I ANATOMI DAN FISIOLOGI.............................................................................
.......................................................................................................................................1
A. ANATOMI SISTEM SARAF PUSAT.........................................................................
...............................................................................................................................1
B. KONSEP PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN..............................................
...............................................................................................................................8
BAB II PATOFISIOLOGI..............................................................................................
.....................................................................................................................................11
A. Definisi Cerebral Palsy........................................................................................
11
B. Etiologi Cerebral Palsy........................................................................................
11
C. Epidemiologi........................................................................................................
13
E. Manifestasi Klinis Dan Klasifikasi.......................................................................
15
F. Patomekanisme.....................................................................................................
18
G. Prognosis..............................................................................................................
20
BAB III MANAJEMEN FISIOTERAPI.........................................................................
.....................................................................................................................................21
A. Proses Pengukuran dan Pemeriksaan Fisioterapi.................................................
21
B. Diagnosis Fisioterapi............................................................................................
27
C. Problem, Planning, dan Program Fisioterapi........................................................
27
2
D. Home Programe....................................................................................................
27
E. Evaluasi Dan Modifikasi Fisioterapi....................................................................
29
F. Kemitraan..............................................................................................................
30
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................
.....................................................................................................................................31

3
BAB I
ANATOMI FISIOLOGI

A. Anatomi Sistem Saraf Pusat


Sistem saraf adalah salah satu organ yang berfungsi untuk
menyelenggarakan kerja sama yang rapi dalam organisasi dan koordinasi
kegiatan tubuh. Dengan bantuan saraf kita dapat menerima suatu rangsangan
dari luar kerja otot. Sistem saraf dalam tubuh dapat dibagi menjadi dua yaitu
sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat meliputi otak dan
medulla spinalis (Harsono, 2013).
1. Otak
Otak terletak dalam rongga kranium (tengkorak), terdiri atas semua
bagian sistem saraf pusat (SSP) diatas korda spinalis. Otak terdiri dari sel-
sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang dikenal sebagai glia,
cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang memiliki jumlah
neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi diantara berbagai
neuron berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar
2% (sekitar 1,4 kg) dari berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi sekitar
20% oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam darah arterial (Harsono,
2013). Otak harus menerima lebih kurang satu liter darah per menit, yaitu
sekitar 15% dari darah total yang dipompa oleh jantung saat istirahat agar
berfungsi normal. Suplai darah ke otak melalui dua pasang arteri, yaitu
arteri vertebralis (kanan dan kiri) dan arteri karotis interna (kanan dan
kiri). Arteri vertebralis menyuplai darah ke area belakang dan area bawah
dari otak, sampai di tempurung kepala dan arteri karotis interna menyuplai
darah ke area depan dan area atas otak. Cabang-cabang dari arteri
vertebralis dan arteri karotis interna bersatu membentuk sirkulus willisi.
Sistem ini memungkinkan pembagian darah di dalam kepala untuk
mengimbangi setiap gerakan leher jika aliran darah dalam salah satu
pembuluh nadi leher mengalami kegagalan (Harsono, 2013).
Ada dua hemisfer di otak yang memiliki masing-masing fungsi.
Fungsi-fungsi dari otak adalah pusat gerakan atau motoric, pusat

1
sensibilitas, sebagai area broca atau pusat bicara motoric, sebagai area
Wernicke atau pusat bicara sensoris, sebagai area visuosensoris, dan otak
kecil yang berfungsi sebagai pusat koordinasi serta batang otak yang
merupakan tempat jalan serabut-serabut saraf ke target organ (Hayes,
2017).
Jika terjadi kerusakan atau gangguan di otak maka akan
mengakibatkan kelumpuhan pada anggota gerak, gangguan bicara, serta
gangguan dalam pengaturan nafas dan tekanan darah. Gejala diatas
biasanya terjadi karena adanya serangan stroke (Hayes, 2017).
Otak merupakan bagian utama dari sistem saraf, dengan komponen
bagiannya adalah:
1) Cerebrum
Cerebrum merupakan bagian otak yang terbesar yang terdiri
dari sepasang hemisfer kanan dan kiri dan tersusun dari korteks.
Korteks ditandai dengan sulkus (celah) dan girus (Untari, 2012).
Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus, yaitu:
a) Lobus frontalis
Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual
yang lebih tinggi, seperti kemampuan berpikir abstrak dan nalar,
bicara (area broca di hemisfer kiri), pusat penghidu, dan emosi.
Bagian ini mengandung pusat pengontrolan gerakan volunter di
gyrus presentralis (area motorik primer) dan terdapat area asosiasi
motorik (area premotor). Pada lobus ini terdapat daerah broca
yang mengatur ekspresi bicara, lobus ini juga mengatur gerakan
sadar, perilaku sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif (Untari,
2012).
b) Lobus temporalis
Lobus temporalis temporalis mencakup bagian korteks
serebrum yang berjalan ke bawah dari fisura laterali dan sebelah
posterior dari fisura parieto-oksipitalis (Sholiha, 2016). Lobus ini
berfungsi untuk mengatur daya ingat verbal, visual, pendengaran
dan berperan dlm pembentukan dan perkembangan emosi.

2
c) Lobus parietalis
Lobus Parietalis merupakan daerah pusat kesadaran
sensorik di gyrus postsentralis (area sensorik primer) untuk rasa
raba dan pendengaran (Untari, 2012).
d) Lobus oksipitalis
Lobus oksipitalis berfungsi untuk pusat penglihatan dan
area asosiasi penglihatan: menginterpretasi dan memproses
rangsang penglihatan dari nervus opticus dan mengasosiasikan
rangsang ini dengan informasi saraf lain dan memori (Untari,
2012)
e) Lobus limbic
Lobus limbik berfungsi untuk mengatur emosi manusia,
memori emosi dan bersama hipothalamus menimbulkan
perubahan melalui pengendalian atas susunan endokrin dan
susunan otonom (Untari, 2012).

Gambar 1.1 Lobus dari cerebrum, dilihat dari atas dan samping

(Sumber : White, 2008)

2) Cerebellum
Otak kecil (cerebellum) mempunyai fungsi utama dalam
koordinasi terhadap otot dan tonus otot, keseimbangan dan posisi tubuh.

3
Bila ada rangsangan yang merugikan atau berbahaya maka gerakan
sadar yang normal tidak mungkin dilaksanakan. Otak kecil juga
berfungsi mengkoordinasikan gerakan yang halus dan luwes.
3) Brainstem
Brainstem atau batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau
rongga kepala bagian dasar dan memanjang sampai medulla spinalis.
(CDC, 2004). Brainstem berfungsi untuk mengatur seluruh proses
kehidupan yang mendasar. Berhubungan dengan diensefalon diatasnya
dan medulla spinalis dibawahnya. Strukturstruktur fungsional batang
otak yang penting adalah jaras asenden dan desenden traktus
longitudinalis antara medulla spinalis dan bagian-bagian otak, anyaman
sel saraf dan 12 pasang saraf cranial. Secara garis besar brainstem
terdiri dari tiga segmen, yaitu mesensefalon, pons dan medulla
oblongata (Hayes, 2017)
a. Mesecenphalon (Otak Tengah)
Mesecenphalin membentuk wilayah tengah otak dan
merupakan bagian penting dari sistemsaraf pusat mesecephalon
melakukan sejumlah tugas individu sangat penting yaitu bangun
atau tidur, kecemasan, kontrol motor, pendengaran, penglihatan,
pengaturan suhu. Pada ujung anterior, terhubung dengan otak
depan dan diujung posterior melekat metencephalon (pons),
sehingga di tempatkan didekat pusat otak (Hayes, 2017).
b. Medulla Oblongata
Medulla oblongata menghubungkan pons yang terletak di
superior dengan medulla spinalis yang terletak diinferior.
Pertemuan medulla oblongata dan medulla spinalis terletak
ditempat pangkal radiks anterior dan posterior nervus spinalis
cervicalis pertama, yang kira-kira terletak setinggi foramen
magnum. Medulla oblongata berbentuk kerucut, ujung yang lebar
mengarah ke superior. Medulla oblongata terletak di bagian bawah
batang otak. Panjangnya sekitar 2,5 cm dan terletak dapat dibawah
cranium diatas foramen magnum. Medulla oblongata adalah titik

4
awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri badan menuju bagian
kanan badan, begitu juga sebaliknya. Medulla mengontrol fungsi
otomatis otak, seperti detak jantung, sirkulasi darah, pernafasan,
dan pencernaan (Hayes, 2017)
Pada tiap-tiap sisi fissure mediana terdapat tonjolan ang disebut
pyramis, terdiri dari berkas serabut saraf, serabut dulla
corticospinalis, yang berasal dari sel-sel saraf yang besar di dalam
gyrus precentrakis cirtex ceebri. Pyramis mengecil diinferior, dan
di tempat ini, sebagian besar serabut-serabut desendens menyilang
ke sisi kontralateral membentuk decussatio pyramidum. Fibrae
arcuatae externae anteriores merupakan sebagian kecil serabut saraf
yang muncul dari fissure mediana anterior di atas decussatio
pyramidum danberjaln ke lateral di permukaan medulla oblongata
masuk ke cerebellum. Posterolateral terhadap pyramis adalah olive,
merupakan peninggian berbenuk oval yang disebabkan oleh nuclei
Olivares inferioses yang terletak dibawahnya. Posterior terhadap
olive terdapt pedunculus cerebellaris inferior yang menghubungkan
medulla oblongata dengan cerebellum. Di dalam suclus, di antara
olive dan pedunculus cerebellaris inferior keluar radix nervi
dlossopharyngeus (Hayes, 2017).
c. Pons
Struktur utama dibagian atas dari batang otak yang disebut
pons. Pons berada didepan serebelum, di bawah otak tengah. Pons
terdiri atas serat saraf yang membentuk jembatan antara dua
hemisfer serebelum, dan sera yang melalui antara posisi otak yang
lebih tinggi dan medulla spinalis. Pons bertugas untuk
menghubungkan alur sensoris dari medulla spinalis ke thalamus
dan otak kecil. Pons memiliki dua peran, yang pertama adalah
regulasi pernapasan. Dipons, ada struktur yang disebut pusat
pneumotaxic. Pons mengontrol jumlah udara napas dan napas per
menit, yang dikenal sebagai tingkat pernapasan. Selain itu, pons
terlibat dalam transmisi sinyal ke dan dari struktur lain diotak,

5
seperti otak atau otak kecil. Pons merupakan stasiun pemancar
yang mengirimkan data ke pusat otak bersama dengan formasi
reticular pons juga terlibat dalam sensasi seperti pendengaran, rasa,
dan keseimbangan. Akhirnya, pons juga terlibat dalam regulasi
tidur nyenyak maupun terjaga (Yunivitasari, 2014).
2. Medulla spinalis
Merupakan bagian susunan saraf pusat mulai dari foramen
magnum tengkorak ke bawah sepanjang lebih kurang 45cm (18 inci)
sampai setinggi vertebra lumbal (VL1) dan dikelilingi serta dilindungi oleh
tulang vertebra dan meningens (duramater, araknoid, piamater). Medula
spinalis tersusun dari 31 pasang saraf spinalis yaitu : 8 pasang saraf
cervical, 12 pasang saraf thorakal, 5 pasang saraf lumbal, 5 pasang saraf
sacral, 1 pasang saraf cocsigeal (Sugiritama dkk, 2015).
Setiap saraf yang keluar dari foramen intervertebralis akan
diditribusikan sebagai saraf segmental tubuh. Radiks semua saraf caudal
terhadap konus terminalis akan membentuk seutas saraf yang disebut
“cauda equina”. Setiap saraf memiliki radik anterior dan posterior. Pada
radiks anterior berisi serabut-serabut eferen yang 68 berasal dari columna
grisea ventralis dan lateralis. Sedangkan pada radiks posterior berisi
serabut-serabut aferen yang berasal dari sel-sel saraf ganglion spinalis.
Menurut Sherwood L, (2001) medulla spinalis terdiri dari inti
bagian dalam berupa substantia grisea, yang dikelilingi oleh pembungkus
luar berupa substantia alba. Substantia grisea berisikan sel-sel saraf dan
prossesusnya, neuroglia dan pembuluh darah, terlihat sebagai pilar
berbentuk huruf H dengan columna grisea anterior dan posterior.
Sedangkan substantia alba terdiri dari serabut-serabut saraf, neuroglia,dan
pembuluh darah. Substantia alba mengelilingi substantia grisea dan
warnanya yang putih disebabkan oleh proporsi yang besar serabut saraf
bermielin. Susunan traktus-traktus serat saraf sebagai berikut:
a. Traktus Asenden
1) Traktus dalam columna alba posterior terdiri dari fasciculus
gracilis dan cutaneus yang merupakan dua traktus asenden yang

6
besar yang menyalurkan informasi sensibilitas proprioseptif,
getaran, dan diskriminasi taktil.
2) Traktus dalam columna alba lateralis, terdiri dari :
(a) Traktus spinocerebellaris posterior, berfungsi menyalurkan
informasi dan kontribusi tambahan reseptor rasa raba dan
tekanan. Informasi ini memungkinkan cerebellum untuk
berpartisipasi dalam pengendalian gerakan volunteer.
(b) Traktus cerebellaris anterior, berfungsi menyalurkan
informasi dan kontribusi tambahan reseptor rasa raba dan
tekanan. Informasi ini memungkinkan cerebellum untuk
berpartisipasi dalam pengendalian gerakan involunter.
(c) Traktus spinothalamicus lateralis,berfungsi menyalurkan
informasi yang berkaitan dengan sensibilitas nyeri dan suhu.
(d) Traktus spinotectalis, berkaitan dengan suatu lintasan
asenden reflek spinovisual.
(e) Traktus posterolateralis, terbentuk dari serabut bagian lateral
radiks posterior, yang terbagi menjadi cabang asenden dan
desenden.
(f) Traktus spinoretikularis yang merupakan campuran dengan
traktus spinothalamicus lateralis.
(g) Traktus spinoolivarius, berfungsi menyalurkan informasi dari
organ kulit dan proprioseptif.
3) Traktus dalam columna alba anterior : traktus spinothalamicus
anterior terletak dibagian medial radik saraf anterior dan
berfungsi untuk menyalurkan sensibilitas taktil dan tekanan.
b. Traktus Desenden
1) Traktus columna alba posterior
2) Traktus columna alba lateralis
(a) Traktus corticospinalis, merupakan lintasan motorik yang
penting yang berkaitan dengan gerakan volunteer
(b) Traktus rubrospinalis, berfungsi menyalurkan impuls yang
berkaitan dengan aktivitas otot.

7
(c) Traktus reticulispinalis lateralis, berperan penting dalam
aktivitas otot.
(d) Serabut-seabut autonomic decenden, berfungsi dalam
pengendalian fungsi visceral.
(e) Traktus olivispinalis, fungsi tepatnya tidak
diketahui,kendatipun dapat berhubungan dengan aktivitas
otot.
3) Traktus columna alba anterior
(a) Traktus corticospinalis anterior, berkaitan dengan gerak
volunteer
(b) Traktus vestibulospinalis, berfungsi menyalurkan informasi
yang berkaitan dengan pengendalian keseimbangan ke sel-
sel corn grisea anterior dan karena itu berhubungan dengan
pengendalian tonus otot
(c) Traktus tectospinalis, membentuk bagian dari lintasan
reflex saraf yang berhubungan dengan rotasi kepala dan
pergerakan lengan sebagai respon terhadap stimulus visual.
(d) Serabut reticulospinalis, tersebar diseluruh columna
anterior dan berkaitan dengan fungsi motorik.

B. Konsep Pertumbuhan dan Perkembangan


1. Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbuhan (growth) adalah perubahan yang bersifat kuantitatif,
yaitu bertambahnya jumlah, ukuran, dimensi pada tingkat sel, organ,
maupun individu. Anak tidak hanya bertambah besar secara fisik,
melainkan juga ukuran dan struktur organ-organ tubuh dan otak. Sebagai
contoh, hasil dari pertumbuhan otak adalah anak mempunyai kapasitas
lebih besar untuk belajar, mengingat, dan mempergunakan akalnya. Jadi
anak tumbuh baik secara fisik maupun mental. Pertumbuhan fisik dapat
dinilai dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang
(cm, meter) umur tulang, dan tanda-tanda seks sekunder. Menurut Karl E
Garrison, pertumbuhan adalah perubahan individu dalam bentuk ukuran

8
badan, perubahan otot, tulang, kulit, rambut dan kelenjar (Sarayati,
2016).
Pengertian perkembangan secara termitologis adalah proses
kualitatif yang mengacu pada penyempurnaan fungsi sosial dan
psikologis dalam diri seseorang dan berlangsung sepanjang hidup
manusia. Menurut para ahli perkembangan merupakan serangkaian
perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan
dan pengalaman, terdiri atas serangkaian perubahan yang bersifat
kualitatif dan kuantitatif (E.B Harlock dalam Syamsusbahri, 2013),
dimaksudkan bahwa perkembangan merupakan proses perubahan
individu yang terjadi dari kematangan (kemampuan seseorang sesuai usia
normal) dan pengalaman yang merupakan interaksi antara individu
dengan lingkungan sekitar yang menyebabkan perubahan kualitatif dan
kuantitatif (dapat diukur) yang menyebabkan perubahan pada diri
individu tersebut. Perkembangan merupakan hasil interaksi kematangan
susunan saraf pusat dengan organ yang dipengaruhinya, misalnya
perkembangan sistem neuromuscular, kemampuan bicara, emosi dan
sosialisasi (Sarayati, 2016).
2. Aspek Pertumbuhan dan Perkembangan
a. Aspek pertumbuhan
Untuk menilai pertumbuhan anak dilakukan pengukuran
antopometri, pengukuran antopometri meliputi pengukuran berat
badan, tinggi badan (panjang badan), lingkar kepala, lingkar lengan
atas, dan lingkar dada (Sarayati, 2016).
Pengukuran berat badan digunakan untuk menilai hasil
peningkatan atau penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh,
pengukuran tinggi badan digunakan untuk menilai status perbaikan
gizi disamping faktor genetik, sedangkan pengukuran lingkar kepala
dimaksudkan untuk menilai pertumbuhan otak. Pertumbuhan otak
kecil (mikrosefali) menunjukkan adanya reterdasi mental, apabila
otaknya besar (volume kepala meningkat) terjadi akibat

9
penyumbatan cairan serebrospinal. Pada umur 6 bulan lingkar kepala
rata-rata adalah 44 cm (Sarayati, 2016).
b. Aspek Perkembangan
1. Motorik kasar (gross motor) merupakan keterampilan meliputi
aktivitas otot-otot besar seperti gerakan lengan, duduk, berdiri,
berjalan dan sebagainya.
2. Motorik halus (fine motor skills) merupakan keterampilan fisik
yang melibatkan otot kecil dan koordinasi mata dan tangan yang
memerlukan koordinasi yang cermat. Perkembangan motorik
halus mulai memiliki kemampuan menggoyangkan jari-jari kaki
menggambar dua tau tiga bagian, menggambar orang,
melambaikan tangan dan sebagainya.
3. Bahasa (Languange) adalah kemampuan untuk memberikan
respon terhadap suara, mengikuti perintah dan berbicara spontan,
berkomunikasi.
4. Sosialisasi dan kemandirian merupakan aspek yang berhubungan
dengan kemampuan mandiri (makan sendiri, membereskan
mainan selesai bermain), berpisah dengan ibu/pengasuh anak,
bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.

10
BAB II
PATOFISIOLOGI

A. Definisi Cerebral Palsy


Cerebral Palsy pertama kali dijelaskan pada tahun 1862 oleh seorang
ahli bedah ortopedi bernama william James Little. Sebuah gangguan motorik
yang di sebabkan oleh kerusakan yang tidak progresif pada perkembangan
otak (Jan, 2006).
Cerebral Palsy adalah suatu keadaan kerusakan jaringan otak yang
kekal dan tidak progresif. Terjadi pada waktu masih muda (sejak di lahirkan)
dan merintangi perkembangan otak normal dengan gambaran klinis dapat
berubah selama hidup dan menunjukkan kelainan dalam sikap dan pergerakan,
disertai kelainan neurologis berupa kelumpuhan spastis, gangguan ganglia
basalis dan serebellum serta kelainan mental (Jan, 2006).

B. Etiologi Cerebral Palsy


Cerebral palsy adalah kondisi neurologis yang di sebabkan oleh cedera
pada otak yang terjadi sebelum perkembangan otak sempurna. Karena
perkembangan otak berlangsung selama dua tahun pertama. Cerebral palsy
dapat di sebabkan oleh cedera otak yang terjadi selama periode prenatal,
perinatal, dan postnatal. 70- 80% kasus cerebral palsy diperoleh selama masa
prenatal dan sebagian besar penyebab tidak di ketahui (Jan, 2006).
Lebih dari 50 % penyebab cerebral palsy tidak diketahui. Etiologi dapat di
klasifikasikan berdasarkan waktu dari gangguan selama masa prenatal,
perinatal, ddan postnatal. Sistem klasifikasi etiologi yang lain berdasarkan
penyebab sebenarnya seperti kongenital (syndrome, malformasi,
developmental) atau acquired (trauma, infeksi, hypoxia, iskemik, infeksi
TORCH, dll). Perinatal asphyxia hanya sekitar 8-15% dari seluruh kasus
cerebral palsy dan kasus cerebrial palsy pada masa postnatal sekitar 12-21%
(Jan, 2006).
1. Pranatal :

11
a) Inheritance : Jika di duga lebih dari satu kasus cerebral palsy
ditemukan pada saudara kandung. Terjadinya lebih dari satu kasus
cerebral palsy pada satu keluarga tidak membuktikan adanya kondisi
genetic. Penyebabnya mungkin lesi otak perinatal sebagai komplikasi
persalinan (persalinan prematur) yang dapat terjadi lebih dari satu kali
pada ibu yang sama.
b) Infeksi : jika ibu mengalami infeksi organisme yang dapat menembus
plasenta dan menginfeksi janin, proses ini meyebabkan prenatal brain
injury. Infeksi janin tersering adalah syphilis, toxoplasmosis, rubella,
cytomegalic . semua dapat menyebabkan gejala dan tanda akut pada
neonatus di ikuti dengan kerusakan otak permanen saat masa kanak-
kanak. Di dominasi temuan retardasi mental tapi gangguan gerak juga
dapat muncul.
c) Komplikasi lain selama kehamilan : komplikasi selama kehamilan
seperti episode anoxia, radiasi x-ray, intoksikasi maternal dapat
mempengaruhi fetus. Jika terjadi kondisi yang menyebabkan gangguan
pada otak fetus , biasanya akan terjadi retardasi yang biasanya di
kombinasi dangan cerebral palsy
2. Perinatal :
a) Anoxia : penyebab tersering cerebral palsy adalah masih trauma
otak yang terjadi selama periode perinatal meskipun insiden
menurun terus menerus dengan peningkatan pelayanan obsetri dan
neonatal care. Anoxia dapat terjadi seketika sebelum atau setelah
kelahiran. Resiko meningkat jika proses persalinan mengalami
komplikasi seperti posisi abnormal janin atau disproporsional
antara pelvis ibu dan kepala janin menyebabkan partus lama.
b) Perdarahan intrakranial : kondisi yang sama yang dapat
menyebabkan anoxia juga dapat menyebabkan perdarahan
intracranial. Ini dapat terdiri dari perdarahan berat dari sinus
venosus, biasanya akibat sobekan tentorium cerebelli. Perdarahan
dapat berlokasi di dalam otak dan menyebabkan cerebral palsy.

12
c) Premature : bayi kurang bulan mempunyai kemungkinan menderita
perdarahan otak lebih banyak di bandingkan bayi cukup bulan.
Karena pembuluh darah, enzim, faktor pembekuan darah dan lain-
lain masih belum sempurna.
d) Jaundice : jaundice selama periode neonatal dapat menyebabkan
kerusakan otak permanen dengan cerebral palsy akibat masuknya
bilirubin ke ganglia basal.
e) Purulent meningitis : meningitis purulent dimana pada periode
perinatal biasanya akibat bakteri gram negatif yang dapat
menyebabkan cedera otak dengan komplikasi cerebral palsy
f) Expansive hidrochepalus
3. Postnatal :
Beberapa cedera otak yang terjadi selama periode postnatal
dari perkembangan otak dapat menyebabkan serebral palsy. Contohnya
trauma yang menyebabkan kecelakaan fisik trauma kepala, meningitis,
enchepalitis.

C. Epidemiologi
Cerebral palsy adalah masalah umum yang terjadi di seluruh dunia,
insidennya 2-2,5 dari tiap 1000 kehidupan neonatus. Ketika William Little
pertama kali mendeskripsikan cerebral palsy, dia sudah mengaitkan faktor
resiko terjadinya cerebral palsy adalah akibat terjadinya trauma lahir, dan
pandangan ini sudah di pertahankan selama beberapa dekade. Kemajuan
manajemen neonatus dan perawatan obstetric belum menunjukkan penurunan
kejadian cerebral palsy. Sebaliknya, dengan penurunan angka kematian bayi
sebenarnya telah terjadi peningkatan insiden dan keparahan dari cerebral
palsy. Insiden pada bayi premature lebih tinggi di banding bayi cukup bulan
(Munkur, 2005).
Cerebral palsy di tandai dengan adanya gangguan motorik dan dapat
menunjukkan adanya disfungsi mental. Pada tahun 2001, United Cerebral
Palsy Foundation memperkirakan bahwa 764.000 anak dan dewasa di United
States didiagnosis carrier cerebral palsy, dengan kata lain di perkirakan 8000

13
bayi dan neonatus di tambah 1200 hingga 1500 anak pra-sekolah didiagnosis
dengan cerebral palsy tiap tahun di united states (Krigger, 2006).
Seperti di ketahui bahwa insiden cerebral palsy di seluruh dunia adalah
sekitar 2-2,5 tiap 1000 kelahiran hidup. Dimana hal ini sangat terkait dengan
usia kehamilan, terjadi pada 1 dari 20 bayi premature yang masih hidup.
Penting untuk di catat bahwa, meskipun prematuritas adalah faktor resiko
yang paling umum terhadap terjadinya cerebral palsy, sebagian besar anak-
anak yang terkena dampak jangka panjang. Meskipun terjadi penurunan
tingkat kelahiran dengan asfiksia dari 40/100.000 pada tahun 1979 menjadi
11/100.000 pada tahun 1996, namun tidak tampak terjadinya penurunan
prevalensi cerebral palsy. Faktanya, prevalensi cerebral palsy di USA malah
meningkat dari 20% (dari 1,9-2,3/1000 lahir hidup) diantara tahun 1960 dan
1986 (Jan, 2006).
Insiden cerebral palsy dan jumlah kasus baru yang terjadi selama
beberapa periode terakhir sangat bervariasi dan berbeda berdasarkan kriteria,
waktu dan study komunitas. Angka dari 1 hingga 3 kasus tiap 1000 bayi lahir
hidup telah di jadikan acuan. Angka akurat tersebut hanya dapat diperoleh di
kebanyak Negara berkembang . Di Denmark angka kejadian sekitar 3/1000 di
awal tahun 1950 turun menjadi 2/1000 di pertengahan tahun 60-an (Glenting
1973). Di swedia antara tahun 1954 dan 1970 penurunan drastic tercatat dari
2,24 menjadi 1,34/1000 (Jan, 2006).
Prevalensi dari cerebral palsy adalah jumlah kasus yang muncul
selama beberapa tahun terakhir. Itu menunjukkan pengukuran cerebral palsy
lebih berguna berdasarkan tingkat prevalensi umur yang spesifik. Prevalensi
kelahiran mengindikasikan jumlah dari kasus cerebral palsy per 1000 neonatal
hidup. Prevalensi dari cerebral palsy pada umur berikutnya bisa berbeda,
setelah beberapa anak cerebral palsy mengalami kematian dan klinik dari
waktu ke waktu sehingga dapat berakibat pada penetapan diagnosis yang
berbeda (Jan, 2006).

14
D. Manifestasi Klinis Dan Klasifikasi
Tanda awal cerebral palsy, biasanya terlihat pada usia kurang dari tiga
tahun. Orang tua mulai mencurigai ketika fungsi motorik anak tidak normal.
Bayi dengan cerebral palsy sering mengalami keterlambatan perkembangan,
misalnya pada usia enambulan belum bisa tengkurap. Sebagian mengalami
abnormalitas tonus otot. Penurunan tonus otot/hipotonia membuat bayi
tampak lemah dan lemas, kadang floppy. Peningkatan tonus otot/hipertonia
membuat bayi tampak kaku. Pada sebagian kasus, bayi pada periode awal
tampak hipotonia dan selanjutnya berkembang menjadi hipertonia setelah dua
sampai tiga bulan pertama. Anak-anak palsi serebral dapat pula menunjukan
postur abnormal pada satu sisi tubuh (Fitriadi, 2014).
Element penting gangguan motorik pada cerebral palsy adalah
munculnya reaksi postural primitive atau reflex, seperti reflex tonus leher,
assimetris dan simetris, reflex moro, dan reaksi berjalan dan penempatan
otomatis. Berat dan persisten nya reaksi tersebut beberapa hal berhubungan
dengan berat dan tipe dari cerebral palsy. Faktor penting lainnya dalam hal
pengklasifikasian seorang anak dengan cerebral palsy adalah ada dan beratnya
kecacatan yang di sebabkan oleh gangguan motorik. Oleh karena itu retardasi
mental dan epilepsy biasa terjadi pada anak dengan cerebral palsy dan
kecacatan bisa menjadi lebih gawat dari gangguan motorik itu sendiri dalam
hal terbatasnya potensi untuk perbaikan fungsional (Fitriadi, 2014).
Gangguan motorik pada cerebral palsy dapat dibagi berdasarkan :
1. Disfungsi Motorik
a. Spastisitas : lokasi lesi yang menyebabkan spastisitas terutama pada
traktus kortikospinal. Pada spastisitas terjadi peningkatan konstan
pada tonus otot, peningkatan reflex otot kadang di sertai klonus (reflex
peregangan otot yang meningkat) dan tanda Babinski positif. Tonic
neck reflex muncul lebih lama dari normal namun jarang terlihat jelas,
dan reflex neonatus lainnya menghilang pada waktunya. Hipertonik
permanent dan tidak hilang selama tidur. Peningkatan tonus otot tidak
sama pada sesuatu gabungan otot. Lengan adduksi, siku dan
pergelangan tangan flexi, tangan pronasi, jari flexi dengan jempol

15
melintang di telapak tangan. kaki adduksi, panggul dan lutut flexi,
kaki plantar-flexi dengan tapak kaki berputar ke dalam. Golongan
spastisitas ini meliputi 2/3-3/4 penderita cerebral palsy.
Bentuk kelumpuhan spastisitas tergantung kepada letak dan besarnya
kerusakan, yaitu :
1) Monoplegia/monoparesis : kelumpuhan keempat anggota gerak
tetapi salah satu anggota gerak lebih hebat dari yang lainnya.
2) Hemiplegia/hemiparesis : kelumpuhan lengan dan tungkai di pihak
yang sama.
3) Diplegia/diparesis : kelumpuhan keempat anggota gerak tetapi
tungkai lebih hebat daripada tangan.
4) Tetraplegia/tetraparesis : kelumpuhan keempat anggota gerak,
tetapi lengan lebih atau sama hebatnya dibandingkan dengan
tungkai.
b. Perubahan tonus otot : lokasi lesi yang menyebabkan ketidaknormalan
tonus otot terutama pada brain stem. Bayi pada golongan ini pada usia
bulan pertama tampak flaksid dan berbaring dengan posisi seperti
katak terlentang dan mudah di kelirukan dengan bayi dengan kelainan
motor neuron menjelang umur 1 tahun barulah terjadi perubahan tonus
otot daari rendah hingga tinggi. Bila dibiarkan berbaring tampak
flaksid dan sikap seperti katak terlentang namun bila dirangsang atau
mulai diperiksa tonus ototnya berubah menjadi spastis .reflex otot
normal atau sedikit meningkat dan klonus jarang ditemukan. Tanda
Babinski bisa positif maupun tidak. Karakteristik dari cerebral palsy
tipe ini adalah reflex neonatus dan tonic neck reflex menetap, kadang
terbawa hingga masa kanak-kanak. Reflex tonus otot dan reflex moro
sangat jelas. Sindrom dari perubahan tonus otot dapat disertai dengan
choreoathetosis dan ataxia. Sekitar 10-25 persen anak dengan cerebral
palsy mengalami sindrom ini.
c. Choreoathetosis : lokasi lesi utama yang menyebabkan kelainan ini
adalah ganglia basalis. 5-25 persen anak dengan cerebral palsy
menunjukkan choreoathethosis. Anak dengan choreoathetosis

16
memiliki gangguan pergerakan dengan karakteristik pergerakan yang
tidak disadari dan sikap yang abnormal. Pasien biasanya flaccid pada
6 bulan pertama lahir dan kadang di salah diagnosiskan dengan
gangguan motor unit. Gerakan yang tidak disadari dan kelainan sikap
biasanya berkembang selama pertengahan tahun kedua. Refleks
neonatus kadang tampak, spastisitas dan ataxia bisa ditemukan.
Kecacatan motorik kadang berat, kelainan postur mengganggu fungsi
normal eksremitas.
d. Ataxia : lokasi lesi utama yang menyebabkan kelainan ini adalah
cerebellum. 1-15 persen anak dengan cerebral palsy menunjukkan
ataxia. Pasien dengan kondisi ini biasanya flaccid ketika bayi dan
menunjukkan perkembangan retardasi motorik. Menjelang akhir tahun
pertama ketika mereka memulai menjangkau suatu objek dan
mencoba berdiri, itu mulai tampak dan mereka tidak seimbang.
Ketidaknormalan akibat rendahnya tonus otot menetap hingga kanak-
kanak. Reflex otot normal dan reflex neonatus hilang sesuai umur
normal.
e. Bentuk campuran : choreoathetosis di sertai spastisitas atau dengan
sindrom perubahan tonus adalah tipe campuran yang paling sering
dari disfungsi motorik, tapi semua jenis kombinasi dapat terjadi.
2. Disfungsi Nonmotorik
a. Gangguan perkembangan mental : hal ini ditemukan pada sekitar
setengah dari seluruh pasien cerebral palsy. Perkembangan mental
harus selalu di nilai dengan perhatian besar pada anak dengan
retardasi perkembangan motorik. Kecacatan motorik harus selalu
dapat dimengerti dan latih potensi terbaik anak sebelum
perkembangan intelektual mereka di evaluasi. Tipe lain dari gangguan
perkembangan motorik bisa terlihat pada anak dengan cerebral palsy,
beberapa dari mereka menunjukkan gejala perhatian yang mudah
teralih, kurang konsentrasi, gelisah, dan prilaku tidak di duga.

17
b. Konvulsi : konvulsi adalah gambaran klinik yang kompleks, biasanya
pada anak tetraparesis dan hemiparesis Pemeriksaan
electroencephalogram harus di lakukan pada kondisi tersebut.
c. Retardasi pertumbuhan : retardasi pertumbuhan terlihat pada semua
jenis gangguan pergerakan. retardasi pertumbuhan paling signifikan
pada hemiparesis, ukuran tangan, kaki, kuku yang tidak sama adalah
tanda diagnostic yang penting.
d. Gangguan sensorik : gangguan sensasi adalah hal biasa yang di
temukan pada hemiparesis.
e. Gangguan penglihatan : paling sering adalah strabismus yang biasa di
temukan pada pasien dengan spastic diparesis. Katarak terlihat
utamanya pada anak dengan asphyxia pada periode perinatal yang
berat, scar setelah koreoretinitis terlihat pada anak dengan infeksi
fetus.
f. Gangguan pendengaran : di temukan 5-10 persen dari seluruh anak
yang menderita cerebral palsy. gangguan pendengaran ditemukan
paling banyak pada anak dengan choreoathetosis dan syndrome
perubahan tonus otot.
g. Kesulitan berbicara : dapat ringan hingga berat. Pada choreoathetosis
biasanya pergerakan involunter juga mempengaruhi bibir dan otot
lidah.

E. Patomekanisme
Cerebral Palsy terjadi karena adanya kerusakan pada sel-sel
otak yang berfungsi untuk mengontrol pergerakan otot. Ketika sel-sel
tersebut mati, maka tidak ada lagi impuls yang diteruskan ke sel otot.
Ataupun hilangnya kontrol pada otot dapat terlihat pada gejala-gejala yang
terdapat pada penderita Cerebral Palsy. Lesi otak pada suatu paralisis otak
walaupun bersifat permanen tetapi tidak progresif. Hilangnya fungsi neuron
otak menyebabkan terjadinya pelepasan sistem kontrol yang menyebabkan
beban berlebihan dan disebut release phenomenon. Gambaran lesi otak

18
pada anak-anak dibagi berdasarkan luas dan lokasi lesi, termasuk pada
korteks motoris serebral, ganglia basalis atau serebelum (Muliati, 2011).
Kelainan neuropatologik yang terjadi tergantung pada berat dan
ringannya kerusakan Jadi kelainan neuropatologik yang terjadi sangat
kompleks dan difus yang bisa mengenai korteks motorik traktus
piramidalis daerah paraventrikuler ganglia basalis, batang otak dan
serebelum (Muliati, 2011).
Infeksi otak dapat mengakibatkan perlengketan meningen, sehingga
terjadi obstruksi ruangan subaraknoid dan timbul hidrosefalus. Perdarahan
dalam otak bisa meninggalkan rongga yang berhubungan dengan ventrikel.
Trauma lahir akan menimbulkan kompresi serebral atau perobekan
sekunder. Trauma lahir ini menimbulkan gejala yang irreversibel. Lesi
irreversibel lainnya akibat trauma adalah terjadi sikatriks pada sel-sel
hipokampus yaitu pada kornu ammonis, yang akan bisa mengakibatkan
bangkitan epilepsi (Muliati, 2011).
Patofisiologi dari palsi serebral sangat berkaitan dengan proses
perkembangan otak manusia dan hal-hal yang dapat mempengaruhi
perkembangan tersebut. Perkembangan otak manusia dan waktu puncak
terjadinya meliputi berikut (Fitriadi, 2014):
1. Neurulasi primer – Minggu 3-4 kehamilan
2. Perkembangan Prosensefalik – Bulan 2-3 kehamilan
3. Proliferasi neuronal – Bulan 3-4 kehamilan
4. Migrasi neuronal – Bulan 3-5 kehamilan
5. Organisasi – Bulan 5 dari kehamilan sampai bertahun-tahun pasca
kelahiran
6. Mielinisasi – Lahir sampai bertahun-tahun pasca kelahiran Penelitian
kohort telah menunjukan peningkatan risiko pada anak yang lahir sedikit
prematur atau postterm (42 minggu) dibandingkan dengan anak yang
lahir pada 40 minggu.

19
F. Prognosis
Di Negara yang telah maju misalnya inggris dan skandinvia terdapat 20-
25 % penderita cerebral palsy sebagai buruh penuh dan 30-50-% butuh
penanganan dan perawatan di institute cerebral palsy. Prognosis pada
penderita dengan gejala motorik ringan adalah baik. Makin banyak gejala
penyertanya dan makin berat gejala motoriknya makin buruk prognosisnya.
Komplikasi seperti retardasi mental, epilepsy, gangguan pendengaran dan
visual (Fitriadi, 2014).
Anak-anak dengan cerebral palsy berat dan keterbelakangan mental juga
kadang mengalami epilepsy dan beresiko tinggi mengalami chest infection,
status epilepticus dan masalah lainnya. Cerebral palsy berat juga
menyebabkan prognosis yang buruk pada pasien yang lebih tua. Perkiraan
yang tepat dari kelangsungan hidup dari cerebral palsy berat sangat sulit, tapi
yang penting adalah perencanaan untuk kebutuhan pasien dan keperluan
tujuan medikolegal (Fitriadi, 2014).

20
BAB III

MANAJEMEN FISIOTERAPI

A. Proses dan Pengukuran Fisioterapi


Anamnesis Umum
Nama : An. MA
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 3 tahun
Alamat : Makassar
Agama : Islam

C : Chief of Complain
Kelemahan pada keempat ekstremitas
H : History Taking
Anak dengan kondisi kelemahan pada keempat ekstremitas sejak 2,5
tahun yang lalu. Anak lahir normal dan cukup bulan. Selama hamil, ibu baik
baik saja dan tidak mengonsumsi obat serta menjalani persalinan yang normal.
Ketika usia 10 bulan, anak pernah jatuh dan lehernya terjerat tali ayunan,
badan biru, orang tua sempat berpikir sudah meninggal dan sempat kejang
tanpa didahului demam sebelumnya.
Anak dilarikan ke rumah sakit, dan anak sempat koma di NICU selama 3
minggu. Setelah keluar dari rumah sakit, anak menjalani pengobatan rawat
jalan.
Anak mau makan dan minum. Untuk aktivitas buang air besar dan buang
air kecil cukup bagus.
Orang tua pasien terlambat memberikan penanganan fisioterapi, dan
pada saat usia 2 tahun baru menjalani fisioterapi.
Saat ini kemampuan anak hanya bisa dalam posisi terlentang, untuk
berguling respon tidak konsisten (kadang bisa kadang tidak), headlifting
cukup bagus. Tidak mampu duduk, merangkak, dan berdiri. Pergelangan
kedua kaki dan tangan kaku. Dan merupakan anak kedua dari dua bersaudara.
Anak pertama normal. Fungsi pendengaran baik dan ketika mendengar suara,

21
akan mencari sumber suara. Dan untuk saat ini belum mampu berbicara papa
mama dan objektif.

A : Asymmetric
a. Inspeksi statis
1) Anak cenderung cemas
2) Anak datang dengan kedua siku tertekuk dan kedua tangan mengepal
3) Tampak kedua siku cenderung pronasi
4) Posisi kedua ankle cenderung plantarfleksi
b. Inspeksi dinamis
1) Anak datang dengan digendong olah ibunya
2) Anak mampu mengangkat kepala dengan baik
3) Anak mampu merespon sumber suara
4) Tampak gerakan kedua tangan dan kaki kaku
c. PFGD
Ekstremitas Dextra Sinistra :

Dextra Aktif Pasif TIMT


Sinistra
Shoulder
Fleksi Terbatas Terbatas Tidak
mampu
Ekstensi Terbatas Terbatas Tidak
mampu
Abduksi Terbatas Terbatas Tidak
mampu
Adduksi Terbatas Terbatas Tidak
mampu
Endorotasi Terbatas Terbatas Tidak
mampu
Eksorotasi Terbatas Terbatas Tidak
mampu

22
Elbow
Fleksi Terbatas Terbatas Tidak
mampu
Ekstensi Terbatas Terbatas Tidak
mampu
Supinasi Terbatas Terbatas Tidak
mampu
Pronasi Terbatas Terbatas Tidak
mampu
Wrist
Palmar Terbatas Terbatas Tidak
fleksi mampu
Dorsal Terbatas Terbatas Tidak
fleksi mampu
Ulnar Terbatas Terbatas Tidak
deviasi mampu
Radial Terbatas Terbatas Tidak
deviasi mampu
Hip
Fleksi Terbatas Terbatas Tidak
mampu
Ekstensi Terbatas Terbatas Tidak
mampu
Abduksi Terbatas Terbatas Tidak
mampu
Adduksi Terbatas Terbatas Tidak
mampu
Endorotasi Terbatas Terbatas Tidak
mampu
Eksorotasi Terbatas Terbatas Tidak
mampu

23
Knee
Fleksi Terbatas Terbatas Tidak
mampu
Ekstensi Terbatas Terbatas Tidak
mampu
Ankle
Plantar Terbatas Full ROM Tidak
fleksi mampu
Dorsal Terbatas Terbatas Tidak
fleksi mampu
Inversi Terbatas Terbatas Tidak
mampu
Eversi Terbatas Terbatas Tidak
mampu

d. Palpasi :

1) Suhu : normal
2) Kontur kulit : normal
3) Oedem : (-)
4) Tenderness : (-)

R : Restrictive

a. Limitasi ROM : ROM ekstremitas superior dan inferior


bilateral
b. Limitasi ADL : Terbatas (rolling, sitting, crawling,
standing, dan walking)
c. Limitasi pekerjaan : (-)
d. Limitasi rekreasi : Terbatas (bermain)

24
T : Tissue Impairment

a. Musculotendinogen : muscle weakness ekstremitas superior dan


inferior bilateral, muscle contracture m. fleksor wrist, m. Pronator
teres, m. Gastrocnemius bilateral.
b. Osteoarthrogen : (-)
c. Neurogen : upper motor neuron lession (SSP)
d. Psikogen : kecemasan

S : Specific Test
1. Tanda Vital
Hasil : (Tekanan Darah: 90/60 mmHg, Denyut Nadi: 100x/menit)
IP : Tanda-tanda vital normal
2. Usia kalender : 3 tahun
Usia tumbuh kembang : 3 bulan
3. Skala Asworth
Hasil : Nilai 3
IP : Peningkatan tonus otot lebih nyata sepanjang sebagian
besar ROM, tapi sendi masih mudah digerakkan.
4. Tes sensorik (dermatom; kasar-halus, panas-dingin)
Hasil : Hipersensasi
IP : Terdapat indikasi gangguan fungsi sensorik
5. Refleks Fisiologi (Biceps, Achilles pes refleks, Knee pes refleks)
Hasil : Hiperrefleks
IP : Terdapat indikasi gangguan refleks (sistem saraf pusat)
6. Manual Muscle Test
Hasil : (upper extremity bilateral: 1, lower extremity bilateral: 1)
IP : Terdapat indikasi adanya kelemahan pada otot upper dan
lower extremity bilateral
7. Myotome Test
Hasil : (upper extremity bilateral : tidak mampu), (lower
extremity bilateral : tidak mampu)

25
IP : Terdapat indikasi gangguan myotome pada level upper
dan lower extremity bilateral
8. Tes Koordinasi
Hasil : Kurang baik
IP : Terdapat indikasi gangguan koordinasi
9. Tes Kognitif
Hasil : kurang baik
IP : Terdapat indikasi gangguan kognitif
10. Palpasi
Hasil : Hipertonus pada ekstremitas superior dan inferior bilateral
IP : Terdapat indikasi gangguan tonus
11. Tes Kontrol Motorik (Kepala, Badan, Tangan, dan Kaki)
Hasil : (kontrol kepala : cukup baik, kontrol tangan : tidak
mampu, kontrol badan : tidak mampu, kontrol kaki : tidak mampu)
IP : Terdapat indikasi gangguan kontrol motorik tangan, badan
dan kaki

12. Muscle Lenght Test


Hasil : + m. Fleksor wrist, m. Pronator teres, m. Gastrocnemius
bilateral
IP : Terdapat indikasi kontraktur m. Fleksor, m. Pronator
teres, m. Gastrocnemius bilateral
13. Refleks Patologis
Hasil : (Babinsky sign : +, Glabela sign : +)
IP : Terdapat indikasi gangguan refleks
14. Clonus Test
Hasil : + ankle clonus
IP : terdapat indikasi adanya gangguan upper motor neuron
level

26
B. Diagnosis Fisioterapi
Adapun diagnosis fisioterapi yang dapat ditegakkan dari hasil proses
pengukuran dan pemeriksaan tersebut, yaitu:
“Gangguan tumbuh kembang berupa berguling, duduk,
merangkak, berdiri dan berjalan akibat kelemahan otot, limitasi ROM,
dan gangguan keseimbangan e.c. cerebral palsy post trauma dengan usia
tumbang 3 bulan dan usia kalender 3 tahun”.

C. Problem, Planning, dan Program Fisioterapi

Adapun problem dan planning fisioterapi yang dapat diuraikan


berdasarkan hasil proses pengukuran dan pemeriksaan tersebut, yaitu:
1. Problem:
a. Primer : kelemahan otot ekstremitas superior dan inferior
bilateral
b. Sekunder : kecemasan, limitasi ROM, kontraktur m. Fleksor
wrist, m. Pronator teres, m. Gastrocnemius bilateral
c. Kompleks : limitasi ADL (rolling, sitting, crawling, standing,
dan walking), gangguan keseimbangan dan koordinasi.
2. Planning:
e. Tujuan jangka panjang:
1) Meningkatkan kemampuan ADL
2) Meningkatkan keseimbangan dan koordinasi
f. Tujuan jangka pendek:
1) Mengurangi kecemasan
2) Meningkatkan kekuatan otot
3) Meningkatkan ROM
4) Mengatasi kontraktur m. Fleksor wrist, m. Pronator teres, m.
Gastrocnemius bilateral

27
3. Program
No. PROBLEM MODALITAS DOSIS
FISIOTERAPI FISIOTERAPI
1 Kecemasan Manual therapy F : 1x/hari
I : 3x sehari
T : stimulasi taktil
T : 2 menit
2 Muscle Exercise therapy F : 1x/hari
contracture I : 15 hit 3 rep
T : stretching
T : 5 menit
3 Limitasi ROM Exercise therapy F : 1x/hari
I : 8 hit 3 rep
T : PROMEX
T : 5 menit
Manual therapy F : 1x/hari
I : 8 hit 3 rep
T : Mobilisasi lumbal
T : 2 menit
4 Muscle weakness Exercise therapy F : 1x/hari
I : 30%-60% pressure
T : Massage dan NMT
T : 5 menit
Exercise therapy F : 1x/hari
I : 8 hit 3 rep
T : Strengthening exc
T : 5 menit
5 Gangguan Exercise therapy F : 1x/hari
Balancing & I : 8 hit 3 rep
Koordinasi T : Bridging
T : 3 menit
F : 1x/hari

28
I : 8 hit 3 rep
T : Stabilizing-balancing in
sitting position
T : 3 menit
Exercise therapy F : 1x/hari
I : 8 hit 3 rep
T : Approksimasi
T : 2 menit
7 Limitasi ADL Exercise therapy F : 1x/hari
I : 8 hit 3x rep
T : rolling, crawling, sitting
exercise.
T : 3 menit

D. Home Program
Orang tua diedukasi untuk melakukan latihan-latihan di rumah berupa
latihan duduk, latihan berguling, latihan merangkak, bridging, penguluran otot
– otot fleksor wrist, melakukan gerakan-gerakan pasif pada regio shoulder,
elbow, wrist, hip, knee, dan ankle.

E. Evaluasi dan Modifikasi Fisioterapi


Adapun hasil evaluasi dan modifikasi terhadap program fisioterapi
yang telah diberikan pada klien tersebut, adalah sebagai berikut:
1. Evaluasi
No Problem FT Parameter Setelah 1 kali intervensi Interpretasi
Sebelum Setelah
intervensi intervensi
1 Muscle Manual Upper extremity Upper extremity Tidak terdapat
weakness muscle test :1 :1 peningkatan
Lower extremity Lower kekuatan otot
:1 extremity : 1
2 Muscle Muscle length + + Tidak terdapat

29
contracture test penurunan
kontraktur
3 Limitasi ADL Observasi Tidak mampu Tidak mampu Tidak terdapat
peningkatan
ADL

2. Modifikasi
Mengikuti perubahan patofisiologi dan hasil evaluasi, sehingga
apabila prognosis menunjukkan penurunan spastisitas maka jenis latihan
dan dosis latihan dapat ditingkatkan jika kondisi makin membaik.

F. Kemitraan
Melakukan kolaborasi/kemitraan dalam rangka memberikan layanan
prima kepada pasien, di antaranya dengan dokter spesialis neurologi dan
dokter tumbuh kembang.

DAFTAR PUSTAKA

30
Aras, Djohan. 2013. Buku Ajar Proses dan Pengukuran Fisioterapi. Makassar:
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Fitriadi, Yogi, Sareharto, Tun Paksi, Istiadi. 2014. Pengaruh Penyuluhan Tentang
Palsi Cerebral Terhadap Pengetahuan Masyarakat Umum. Semarang:
Universitas Diponegoro.
Harsono, 2013. Buku Ajar Neurologi Klinis. Cetakan kelima. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Hayes, C, Hardian, Hardian. 2017. Pengaruh Brain Training Terhadap Tingkat
Inteligensia Pada Kelompok Usia Dewasa Muda. Semarang: Universitas
Diponegoro.

Imron, Ali, dkk. 2017. Panduan praktek klinis fisioterapi. Jakarta: Ikatan
Fisioterapi Indonesia

Jan, MMS. 2006. Cerebral Palsy: Comprehensive Review and Updates. Ann
Saudi Med

Krigger K W. 2006. Cerebral Palsy: An Overview. American Family


Physician.Volume 73.

Muliati. 2011. Gambaran Pemberian Terapi NDT pada Pasien CP berdasarkan


Level Kemampuan Fungsional. Skripsi tidak diterbitkan. Makassar:
Program Studi S1 Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makassar.
Munkur N, C S. 2005. Cerebral Palsy-Definition, Classification, Etiology and
Early Diagnosis.Indian Journal Pediatric,Volume 72.Untari, I. 2012.
Kesehatan Otak Modal Dasar Hasilkan SDM Handal. Surakarta: Stikespku
Sarayati, Safirah. 2016. Analisis Faktor Perilaku Seksual Pada Anak SD Di SDN
Dukuh Kupang II -489 Kecamatan Dukuh Pakis Kelurahan Kupang
Surabaya. Surabaya: Universitas Airlangga.
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia: dari sel ke sistem. Jakarta. EGC.
Sholiha, AA. 2016. Korelasi Antara Volume Perdarahan Intraserebral Dengan
Nilai Indeks Barthel pada Stroke Hemoragik. Semarang: Universitas Diponegoro
Yunivitasari, ED. 2014. Karakteristik Klinik Dan Histopatologi Tumor Otak Di
Dua Rumah Sakit Di Kota Bandar Lampung. Lampung: Universitas Lampung.

31

Anda mungkin juga menyukai