Anda di halaman 1dari 32

PATOFISIOLOGI TERJADINYA GANGGUAN FUNGSI

KOGNITIF PADA ANAK STUNTING

Dosen Pengampu : Dr. Rostika Flora, S.Kep., M.Kes., AIFO


Disusun Oleh : Kelompok 3
Anggota Kelompok :
1. Amalia Wardani (NIM : 10021381924079)
2. Amiranda ( NIM : 10021381924060)
3. Indah Listari S. (NIM : 10021281924045)
4. Nurilla Ardiningrum (NIM : 10021381924078)
5. Utiya Alfa Hikmah (NIM : 10021281924048)

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


PRODI GIZI
TAHUN 2019/2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah anak pendek (stunting) merupakan salah satu permasalahan
gizi yang dihadapi di dunia, khususnya di negara-negara miskin dan
berkembang. Stunting menjadi permasalahan karena berhubungan dengan
meningkatnya risiko terjadinya kesakitan dan kematian, perkembangan otak
suboptimal sehingga perkembangan motorik terlambat dan terhambatnya
pertumbuhan mental. Stunting merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan
(growth faltering) akibat akumulasi ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung
lama mulai dari kehamilan sampai usia 24 bulan.
Menurut World Health Organization, stunting dapat menyebabkan
perkembangan kognitif atau kecerdasan, motorik, dan verbal berkembang
secara tidak optimal, peningkatan risiko obesitas dan penyakit degeneratif
lainnya, peningkatan biaya kesehatan, serta peningkatan kejadian kesakitan
dan kematian. Anak yang memiliki tingkat kecerdasan yang tidak maksimal
akibat stunting pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi,
meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar ketimpangan di suatu negara.
Perkembangan kognitif merupakan aspek yang berfokus pada
keterampilan berpikir, termasuk belajar, pemecahan masalah, rasional, dan
mengingat yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan siswa di sekolah.
Berdasarkan penelitian oleh Solihin (2013) melalui uji korelasi diketahui
bahwa tinggi badan balita menurut umur (TB/U) berhubungan positif dengan
tingkat perkembangan kognitif, dimana diperoleh r sebesar 0.272 dan p-value
sebesar 0.020. Penelitian ini menyatakan bahwa balita yang lebih tinggi
memiliki tingkat perkembangan kognitif yang semakin tinggi. Tinjauan
pustaka ini bertujuan untuk meninjau pengaruh stunting terhadap
perkembangan kognitif dan prestasi belajar.
Berdasarkan peninjauan, didapatkan hasil bahwa terdapat pengaruh
stunting terhadap perkembangan kognitif dan prestasi belajar. Pada kondisi
stunting dapat terjadi gangguan pada proses pematangan neuron otak serta
perubahan struktur dan fungsi otak yang dapat menyebabkan kerusakan
permanen pada perkembangan kognitif. Kondisi ini menyebabkan
kemampuan berpikir dan belajar anak terganggu dan pada akhirnya
menurunkan tingkat kehadiran dan prestasi belajar. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa terdapat pengaruh stunting terhadap perkembangan
kognitif dan kecerdasan.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep dasar anatomi otak?

2. Bagaimana konsep dasar fisiologi otak?

3. Bagaimana fungsi otak tengah, kanan, dan kiri?

4. Bagaimana cara pengukuran anak stunting?

5. Pengaruh stunting terhadap kognitif anak?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui konsep dasar anatomi otak.

2. Mengetahui konsep dasar fisiologi otak.

3. Mengetahui fungsi otak tengah, kanan dan kiri.

4. Mengetahui cara pengukuran anak stunting.

5. Mengetahui pengaruh stunting terhadap kognitif anak.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologoi Otak

2.1.1 OTAK

Otak adalah organ vital yang terdiri dari 100 - 200 miliar sel aktif yang saling
berhubungan dan bertanggung jawab atas fungsi mental dan intelektual kita. Otak
terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron.

Otak diibaratkan seperti komputer yang mengatur organ-organ dalam tubuh


manusia. Jaringan otak dibungkus oleh selaput otak dan tulang tengkorak yang kuat.
Berat otak orang dewasa sekitar 1400 gram, setengah padat, dan berwarna kelabu
kemerahan.

Otak mengapung dalam suatu cairan yang berkerja sebagai penyerap goncangan
ketika kepala manusia mengalami goncangan. Selaput otak adalah pembungkus otak
dari sumsum tulang belakang untuk melindungi struktur saraf.

Selaput otak terdiri dari tiga bagian, yaitu durameter, araknoidea, dan piameter.
Otak terdiri dari otak besar, otak tengah, otak kecil, dan batang otak.

1. Otak besar (serebrum)

Otak besar memiliki dua belahan, yaitu hemisfer kiri dan hemisfer kanan
yang dihubungkan oleh masa substansia alba yang juga disebut korpus
oksipitalis. Serebrum terdiri dari:

a) Korteks serebri

Korteks serebral berisi sirkuit neuronal yang beresonansi untuk konsepsi


dan pembentukan perintah motorik. Dua sistem paralel dari jalur turun
berasal dari korteks serebral: sistem piramidal dan ekstrapiramidal. Secara
klinis, sistem ini dipertimbangkan bersama karena lesi di dalam korteks
hampir selalu melibatkan keduanya. Sistem-sistem ini secara fungsional
berbeda, dan harus dipertimbangkan secara terpisah. 

A. Beberapa area dalam korteks bertanggung jawab untuk menghasilkan


perintah motorik.

(1) motorik primer menempati korteks frontal, tepat di depan sulkus


sentral. Ini diatur secara topografi, dengan area kortikal yang mengontrol
otot-otot tangan dan wajah menempati lebih banyak ruang daripada area
kortikal yang mengontrol otot-otot tungkai dan belalai.
(2) area motor tambahan terletak di permukaan medial korteks, dan juga
memiliki representasi lengkap dari seluruh tubuh.

(3) area motor sekunder menempati bagian dari lobus parietal, tepat di
seberang sulkus sentral dari daerah area motorik primer yang mengontrol
otot-otot wajah. Neuron-neuron di area ini memengaruhi gerakan di kedua
sisi tubuh.

B. Semua area kortikal ini mengirimkan proyeksi ke kedua sistem motor


yang menurun.

(1) akson dari sistem piramidal berjalan langsung dari asal mereka di
korteks ke tujuan mereka di sumsum tulang belakang.

(a) Namun, mereka juga mengirim serat kolateral ke semua area


sistem kontrol motor dan, dengan demikian, mengomunikasikan
perintah motorik mereka ke ganglia basalis, otak kecil, dan batang
otak.

(b) Sel-sel kortikal yang sinapsis langsung kranial berfungsi


mengendalikan otot-otot wajah melakukan fungsi yang sama seperti
neuron saluran piramidal dan, tus, dianggap sebagai bagian dari
sistem piramidal.

(c) Sistem saluran piramidal bertanggung jawab untuk


mengendalikan otot yang membuat gerakan presisi. Ini termasuk otot
yang menggerakkan jari dan tangan serta otot yang menghasilkan
bicara.

(2) Akson dari sistem ekstrapiramidal berakhir pada neuron relay dalam
batang otak. Neuron-neuron ini mempengaruhi sumsum tulang belakang
melalui traktus ulospinalis retik. 

b) Basal ganglia
Basal Ganglia adalah nuklei yang saling terhubung dengan serebrum
dan tidak terkoneksi langsung dengan sumsum tulang belakang. Ini
menunjukkan bahwa fungsi utama Basal Ganglia adalah untuk membantu
korteks motorik dalam menghasilkan perintah yang berkaitan dengan
mengendalikan kelompok otot proksimal selama gerakan. misalnya, ketika
tangan digunakan untuk menulis di papan tulis, otot-otot besar lengan dan
bahu digunakan untuk memegang tangan pada posisi yang tepat untuk
menulis.

Hemisfer otak dibagi dalam beberapa lobus atau daerah berdasarkan posisinya
ditulang kranium. Lobus tersebut antara lain:

a) Lobus Frontalis

Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi intelektual yang lebih


tinggi, seperti kemampuan berpikir abstrak dan nalar, bicara (area broca di
hermisfer kiri), pusat penghidit dan emosi. Bagian ini mengandung pusat
pengontrolan gerakan volunter di gyrus presentralis (area motorik primer)
dan terdapat area asosiasi motorik (area premotor). Pada lobus ini terdapat
daerah broca yang mengatur ekspresi bicara, lobus ini juga mengatur
gerakan sadar, perilaku sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif (Purves dkk,
2004).

b) Lobus Temporalis

Lobus temporalis mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan ke


bawah dari fisura lateral dan sebelah posterior dari fisura parieto-oksipitalis
(White, 2008). Lobus ini berfungsi untuk mengatur daya ingat verbal, visual,
pendengaran dan berperan dalam pembentukan dan perkembangan emosi.

c) Lobus Parietalis

Lobus Parietalis merupakan daerah pusat kesadaran sensorik di gyrus


post sentralis (area sensorik primer) untuk rasa raba dan pendengaran
(White, 2008).

d) Lobus Oksipitalis

Lobus oksipitalis berfungsi untuk pusat penglihatan dan area asosiasi


penglihatan: menginterpretasi dan memproses rangsang penglihatan dari
nervus optikus dan mengasosiasikan rangsang ini dengan informasi saraf lain
dan memori (White, 2008).

2. Diensefalon

Diensefalon menghubungkan otak besar kebatang otak. Diensefalon terdiri


dari wilayah utama sebagai berikut:

A. Talamus

Talamus adalah stasiun relay untuk impuls saraf sensorik bertolak dari
sumsum tulang belakang untuk otak besar. Beberapa impuls saraf diurutkan dan
dikelompokkan disini sebelum dikirim ke otak besar. Beberapa sensasi seperti
nyeri, tekanan, dan suhu dievaluasi disini juga.

B. Epitalamus

Ephitalamus mengandung kelenjar pineal. Kelenjar pineal secretes melatonin


yaitu hormon yang membantu mengatur biologi jam siklus tidur-bangun.

C. Hipotalamus

Hipotalamus mengatur berbagai kegiatan tubuh yang penting. Hipotalamus


mengontrol sistem saraf otonom dan mengatur emosi, perilaku, lapar, haus, suhu
tubuh, dan jam biologis. Hal ini juga menghasilkan dua hormon (ADH dan
oksitoksin) dan melepaskan berbagai hormon yang mengontrol hormon produksi
di kelenjar hipofisis anterior.

Struktur berikut ini disertakan dan dihubungkan dengan hipotalamus.


a) Badan mammillary menyampaikan sensasi penciuman

b) Infundibulum menghubungkan kelenjar pituitari ke hipotalamus

c) Chiasma optik lewat diantara hipotalamus dan kelenjar hipofisis

d) Batang otak menghubungkan diesenfalon ke sumsum tulang belakang.


Batang otak menyerupai sumsum tulang belakang, terdiri dari materi
berwarna putih yang mengelilingi inti materi abu-abu. Batang otak terdiri
dari empat wilayah, yang semuanya menyediakan koneksi antara berbagai
bagian dari otak dan antara otak dan sumsum tulang belakang.

3. Otak tengah (Mesenfalon)

Otak tengah berada diantara pons varolli dan hemisfer serebri. Bagian dorsal
dari otak tengah terdiri dari dua kolikulus superior yang berhubungan dengan
sistem penglihatan, dan dua kolikulus inferior yang berhubungan dengan
pendengaran. Fungsi mesenfalon antara lain:

a) Merangsang daerah quadrigeminus yang menyebabkan dilatasi pupil dan


gerakan konjugasi mata ke arah yang berlawanan dengan tempat
perangsangan.

b) Menimbulkan gejala yang menyebabkan paralisis gerakan mata ke atas.

c) Mengontrol pendengaran.

4. Otak kecil (serebelum)

Terletak dibagian belakang kepala dekat leher. Otak kecil berfungsi untuk
mengkoordinasi gerakan otot secara sadar, posisi tubuh, dan keseimbangan.
Secara umum, otak kecil adalah pusat keseimbangan, jika otak kecil ini rusak,
maka gerakan otot manusia berpotensi tidak dapat berkerja optimal.
Serebelum berhubungan erat dengan kontrol saraf motorik. Pemindahannya
tidak menghasilkan defisit dalam funtion emosional atau intelektual tetapi
menyebabkan perbedaan besar dalam kemampuan untuk menghasilkan gerakan
yang halus dan terkoordinasi. Fungsi otak kecil tampaknya terkait dengan kontrol
waktu, durasi, dan kekuatan suatu gerakan. Adapun anatomi fisiologisnya :

a) Dua celah transversus membagi otak kecil menjadi tiga lobus yaitu lobus
anterior, posterior, dan flocculonodular. Lobus ini telah berkembang pada
waktu yang berbeda selama evolusi.

1) Lobus tertua, lobus flocculonodular, disebut archicerebellum.

2) Selanjutnya untuk berevolusi adalah lobus anterior, yang disebut


paleocerebellum.

3) Lobus terakhir yang berkembang adalah lobus posterior, yang disebut


neocerebellum.             

b) Gambaran lain dari otak kecil didasarkan pada koneksi yang dibuatnya
dengan Komponen lain dalam sistem kontrol motorik.                

1) seluruh lobus anterior, dan bagian-bagian lobus posterior yang


menerima informasi dari sumsum tulang belakang, disebut
spinocerebellum.             

2) sisa lobus posterior menerima inputnya dari korteks serebral dan,


dengan demikian, disebut serebrocerebellum.             

3) Lobus flocculonodular secara fungsional terkait dengan alat vestibular


dan disebut vestibulocerebellum.           

5. Batang otak (Turunkus serebri)

Batang otak terletak di depan otak kecil dan dibawah otak besar, serta
menjadi penghubung di antara keduanya. Batang otak berfungsi untuk mengatur
refleks fisiologis, seperti denyut jantung, suhu tubuh, tekanan darah, kecepatan
bernapas, dan lain sebagainya.

Batang otak berisi medula oblongata, pons, otak tengah, dan bagian dari
diencephalon. Sirkuit neuron dalam area Anda mengontrol banyak fungsi
fisiologis termasuk tekanan darah, pernapasan, suhu tubuh, tidur, dan
bangun. Selain itu, pembentukan retikula dan nuklei vestibular merupakan
komponen penting dari sistem kontrol motorik. Formasi reticular adalah stasiun
relai untuk semua perintah motorik kecuali yang berjalan langsung ke sumsum
tulang belakang melalui piramida meduler. Fungsi normal, Formasi reticular
menerima dan memodifikasi perintar motorik ke otot proksimal dan otot aksial
dalam tubuh dan terlibat dalam kinerja semua aktivitas motorik kecuali gerakan-
gerakan halus yang dilakukan oleh otot-otot distal di jari-jari dan tangan.
Pembentukan retikular juga bertanggung jawab untuk mempertahankan bentuk
postur normal.

A. Medulla Oblongata

Memuat sistem sensorik (naik) dan motorik (menurun). Pusat peredaran


darah mengatur denyut jantung dan diameter pembuluh darah. Area medullary
rhythmicity (bersama dengan pons) mengatur pernafasan. Berisi gracile nucleus,
cuneate nucleus, gustatory nucleus, cochlear nucleui, dan vestibular nuclei
(komponen jalus sensorik ke otak). Inferior olivary nucleus memberikan
instruksi yang akan digunakan oleh otak kecil untuk menyesuaikan aktivitas otot
saat mempelajari keterampilan motorik yang baru. Nukleus lainnya
mengkoordinir muntah, mengunyah, bersin, batuk, dan cegukan. Terdapat asal
nukleus bagi nervus kranial VIII, IX, X, XI, dan XII. Reticular formation ( juga
berada di pons, otak tengah, dan diencephalon) berfungsi dalam hal kesadaran
dan gairah.

B. Pons

Memuat sistem sensorik dan motorik. Pontine nuclei menyampaikan impuls


nervus yang berasal dari area motorik pada korteks otak besar kepada otak kecil.
Terdapat vestibular nuclei (bersama dengan medulla) yaitu merupakan bagian
dari jalur keseimbangan ke otak. Area penumotaxic area opneustic (bersama
dengan medulla) membantu untuk mengendalikan pernafasan. Terdapat asal
nukleus bagi nervus kranial V, VI, VII, dan VIII.

2.1.2 Fungsi Otak Kanan dan Otak Kiri

Empat perbedaan pokok otak kanan dan otak kiri menurut (Pink, 2008: 32-33)
yaitu :

1) Belahan otak sebelah kiri mengontrol bagian tubuh sebelah kanan; belahan

otak sebelah kanan mengontrol bagian tubuh sebelah kiri.

2) Belahan otak sebelah kiri bersifat berurutan; belahan otak sebelah kanan

bersifat simultan.

3) Belahan otak sebelah kiri mengkhususkan pada teks; belahan otak sebelah

kanan pada konteks.

4) Belahan otak sebelah kiri menganalisa rincian-rincian; belahan otak sebelah

kanan mensintesiskan keseluruhan perspektif tentang sesuatu.

A. Kinerja Otak Kiri

a) Kemampuan dalam logika (berfikir logis)

Logika yang dimaksud dalam konteks ini ialah proses kompleks dan
unik dari sekian banyak unsur kepastian yang menghasilkan sesuatu unsur
kepastian juga (logis: pasti).

b) Kemampuan berbahasa (berbicara, menulis, dan membaca)


Kemampuan atau fungsi yang kedua dari otak kiri ialah kemampuan
berbicara atau lebih umumnya kemampuan dalam bahasa. Bahasa yang
dimaksud dalam konteks ini ialah penggunaan kata-kata, baik oral maupun
verbal.

c) Kemampuan berpikir linier, sistematis, dan rasional

Linier merupakan suatu cara berpikir dimana apa yang dipikirkan selalu
searah. Misalnya, apabila kaita masuk ke dalam suatu ruangan yang gelap maka
kita tidak akan bisa melihat. Semakin gelap semakin tidak dapat melihat.
Berfikir linier selalu melihat suatu hubungan berjalan searah. Sedangkan
sistematis merupakan proses berpikir di mana berpikir merupakan tahapan, dari
tahap yang paling awal, kemudian dan kahir. Dalam berpikir sistematis tidak
diperkenankan melewati satu tahapan dalam berpikir (loncat-loncat). Dan
adapun yang dimaksud dengan rasional ialah berpikir dengan menggunakan
rasio sebagai dasar berpikirnya.

d) Dua kemampuan lain: Detail dan analisis

Berpikir detail merupakan berpikir dimana apa yang terpikir pada bagian

yang rinci, kemudian kita telah secara spesifik dan mendalam. Dalam melihat
suatu masalah, biasanya ia menganalisis secara mendalam dan rinci. Orang-
orang dengan dominan pada belahan otak kiri biasanya merupakan pemikir yang
sangat serius dengan mengaitkan pada logika dan penalaran yang rasional.
Sedangkan analisis berada ada cara atau metode menyampaikannya. Sebelum
menyampaikan segala sesuatu. Otak kita akan melakukan analisis-analisis dari
berbagai informasi yang ada di dalam memori, setelah itu baru
menyampaikannya.

B. Kinerja Otak Kanan

a) Kemampuan kreativitas, seni dan warna


Otak kanan secara mengejutkan juga mempunyai kekuatan kreatif yang bisa
dibangkitkan oleh imaji pra-linguistik yang tidak membutuhkan kata-kata
sebagai media tak langsung. Otak kanan dapat melakukan lebih dari pada
merekam atau mencatat informasi. Otak kanan juga meningkatkan kreativitas
secar dramatis dan mampu menginspirasi datangnya ide-ide inovatif yang luar
biasa.

b) Kemampuan khayalan, musik dan bentuk atau ruang

Otak kanan biasanya disebut dengan memori imaji.

c) Kemampuan emosi.

Kemampuan otak kanan ini merupakan kemampuan yang unik dari yang
lain. Karena tingkat emosionalnya yang sangat tinggi dibandingkan dengan
orang yang berotak kiri.

d) Kemampuan sosialisasi

Memang pada otak kiri mampu dalam hal berbahasa, akan tetapi
kemampuan otak kanan tidak kalah pentingnya. Oleh karena otak kanan ini
memiliki kemampuan sosialisai yang tinggi terhadap masyarakat. Gampang
bergaul dan bekerja sama dengan orang sekitar sehingga jiwa gotogroyong orang
yang memiliki kemampuan otak kanan lebih baik di bandingkan dengan otak
kiri.

2.2 Pengukuran Stunting

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak akibat dari kekurangan gizi
kronis yang terjadi sejak bayi dalam kandungan sampai usia 2 tahun atau lebih
dikenal dengan 1000 HPK sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Berdasarkan
Standar Antropometri Kementrian Kesehatan Indonesia anak stunting adalah anak
balita dengan nilai Z-score indeks PB/U kurang dari -2SD dan sangat pendek bila Z-
score indeks PB/U kurang dari -3SD.

Mendiagnosa stunting dengan mengukur panjang badan menurut umur (PB/U)


untuk anak di bawah 2 tahun atau tinggi badan menurut umur (TB/U) untuk anak usia
2 tahun sampai 5 tahun dan menggunakan standar IMT di usia sekolah. Kemudia kita
dapat menentukan seseorang apakah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat
pendek). Indonesia menggunakan Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak
yang tertuang dalam Keputusan Mentri Kesehatan Nomor
1995/MENKES/SK/XII/2010.

Pengukuran stunting pada usia batita biasanya menggunakan metode PB/U yaitu
standar panjang badan menurut umur dan pengukuran panjang badan dilakukan
dengan cara posisi anak telentang, pada usia balita pengukuran stunting dapat
dilakukan dengan metode TB/U yaitu standar tinggi badan menurut umur dan
pengukuran tinggi badan dilakukan dengan cara posisi anak berdiri, dan untuk
pengukuran stunting pada usia sekolah biasanya menggunakan metode IMT/U yaitu
indeks masa tubuh menurut umur.

Pada pengukuran antropometri kita dapat melihat pada ambang batas (Z-score)
berdasarkan indeks terhadap kategori status gizi.

Indeks Kategori Status gizi Ambang Batas (Z-score)

Panjang Badan menurut Sangat pendek <-3 SD


Umur (PB/U) atau Tinggi
Pendek -3 SD sampai dengan <-3 SD
Badan menurut Umur
(TB/U) Anak Umur 0-60 Normal -2 SD samapi dengan 2 SD

Bulan Tinggi >2 SD

Indeks Masa Tubuh Sangat kurus <-3 SD


menurut Umur (IMT/U)
Kurus -3 SD sampai dengan <-3 SD
Anak umur 0-60 bulan
Normal -2 SD samapi dengan 2 SD

Gemuk >2 SD

Indeks Masa Tubuh Sangat kurus <-3 SD


menurut Umur (IMT/U)
Kurus -3 SD sampai dengan <-2 SD
Anak Umur 5-18 Tahun
Normal -2 SD samapi dengan 1 SD

Gemuk >1 SD samapai dengan 2 SD

Obesitas >2 SD

 Tabel terhadap nilai ambang batas (Z-score)

1. Tabel Standar Panjang Badan menurut Unur (PB/U) Anak Laki-laki Umur 0-24
Bualan
2. Tabel Standar Panjang Badan menurut Unur (PB/U) Anak Perempuan Umur 0-24
Bulan
3. Tabel Standar Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) Anak Laki-laki Umur 24-60
Bulan
4. Tabel Standar Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) Anak Perempuan Umur 24-60
Bulan
5. Tabel Standar Indeks Masa Tubuh menurut Umur (IMT/U) Anak Laki-laki Umur
5-18 Tahun
6. Tabel Standar Indeks Masa Tubuh menurut Umur (IMT/U) Anak Perempuan
Umur 5-18 Tahun
 Berikut contoh pengukuran stunting berdasarkan PB/U dan TB/U

secara umum, rumus perhitungan Z-score adalah

Z-score    =  

Nilai simpang baku rujukan disini maksudnya adalah selisih kasus dengan
standar +1 SD atau -1 SD. Jadi apabila PB/U atau TB/U pada kasus lebih besar
daripada median, maka nilai simpang baku rujukannya diperoleh dengan mengurangi
+1 SD dengan median. Tetapi jika PB/U atau TB/U kasus lebih kecil daripada
median, maka nilai simpang baku rujukannya menjadi median dikurangi dengan -1
SD. 
Contoh :

Seorang anak laki-laki berumur 26 bulan dengan tinggi badan 90 cm dan berat badan
15 kg, dan seorang anak laki-laki dengan umur 11 bulan dengan panjang badan 68 cm
serta berat badan 5 kg. Dari data tersebut analisislah keterkaitan antara PB/U dan
TB/U dengan stunting?

Jawab :

Umur Simpang Baku

-3 SD -2 SD -1 SD Median +1 SD +2 SD +3
SD

11 67,6 69,9 72,2 74,5 76,9 79,2 81,5


Bulan

26 79,3 82,5 85,6 88,8 92 95,2 98,3


Bulan

Karena panjang badan nyata pada bayi usia 11 bulan diatas lebih kecil dibandingkan
dengan nilai mediannya, maka dari itu nilai simpang baku rujukannya diperoleh
dengan mengurangi median dengan nilai simpang baku -1 SD. Sehingga perhitungan
z score menjadi :

z score = -2,82 (status gizi pendek).


Sedangkan untuk balita usia 26 bulan, nilai simpang baku rujukan diperoleh dengan
mengurangi nilai simpang baku pada +1 SD dengan mediannya. Hal ini dikarenakan
tinggi badan nyata (90 cm) lebih besar daripada nilai mediannya (88,8). Z score :

z score = 0,38 (status gizi normal).

Dapat disimpulkan bahwa anak laki-laki yang berusia 11 bulan dengan panjang
badan 68 cm mengalami stunting karena Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO),
anak dikatakan stunting jika tinggi badan atau panjang badan menurut usianya di
bawah minus 2 standar deviasi dari median Standar Pertumbuhan Anak WHO.

2.3 Hubungan stunting dengan otak (perkembangan fungsi kognitif)

Stunting sering dihubungkan dengan kualitas anak tersebut. Hasil penelitian


menunjukkan bahwa kurang gizi pada anak usia dini, salah satunya tercermin dari
keadaan stunting, berdampak pada rendahnya kemampuan kognitif dan nilai IQ yang
diasumsikan dengan rendahnya kemampuan belajar dan pencapaian prestasi di
sekolah. Stunting dapat menyebabkan anak kehilangan IQ sebesar 5-11 poin (World
Bank, 2006). Penelitian lain mengungkapkan bahwa anak yang tidak dapat mengejar
pertumbuhan yang optimal sejak dimulai dari 1000 hari pertama kelahiran akan
memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap lemahnya perkembangan kognitif.
Kemampuan kognitif yang lemah akan berdampak buruk pada prestasi di sekolah,
sehingga menghasilkan pekerja buruh rendah dan produktivitas rendah di tahap
kehidupan selanjutnya (Martorell, 2010).
BAB III

TINJAUAN KASUS

A. Stunting pada Anak di Bawah Tiga Tahun

WHO mendeskripsikan stunting sebagai kegagalan dalam pencapaian


pertumbuhan linier yang disebabkan oleh kondisi kesehatan yang tidak optimal atau
gizi yang kurang. Stunting dapat disebabkan oleh tidak adekuatnya konsumsi
makanan bergizi yang mengandung protein, kalori, dan vitamin, terutama vitamin D.
Sementara itu, penelitian di Nepal menunjukkan bahwa bayi dengan berat badan lahir
rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk menjadi stunting. Penelitian oleh
Al‐Ansori (2013) menemukan bahwa faktor risiko kejadian stunting pada anak usia
12–24 bulan adalah status ekonomi keluarga, riwayat ISPA, dan kurangnya asupan
protein. Faktor lingkungan memberi pengaruh terhadap kejadian stunting hingga 90%
dan pengaruh faktor keturunan sebesar 10%. Riset WHO menyatakan bahwa peran
lingkungan seperti kesadaran masyarakat untuk memberikan asupan gizi yang
adekuat pada 1000 hari pertama kehidupan bayi akan sangat mempengaruhi seorang
anak untuk bisa tumbuh tinggi.

Penelitian dilakukan oleh Pantaleon (2015) dengan sampel penelitian


sebanyak 100 anak berusia 6-23 bulan yang terdiri dari 50 anak stunting dan 50 anak
tidak stunting. Melalui analisis data menggunakan uji chi-square dan regresi logistik
dengan confident interval (CI) 95%, didapatkan hasil bahwa anak yang stunting lebih
banyak memiliki perkembangan kognitif kurang (12%) jika dibandingkan dengan
anak yang tidak stunting (8%). Sementara itu, berdasarkan hasil uji statistik diperoleh
nilai p= 0,505 yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara stunting
dengan perkembangan kognitif anak di bawah dua tahun. Dalam Makalah Utama
Bidang 5 Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi XI 2018 oleh Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia disebutkan bahwa stunting di awal kehidupan seorang anak
dapat menyebabkan kerusakan permanen pada perkembangan kognitif, yang diikuti
dengan perkembangan motorik dan intelektual yang kurang optimal sehingga
cenderung dapat menimbulkan konsekuensi terhadap pendidikan, pendapatan, dan
produktivitas pada masa dewasa sehingga berpotensi menurunkan pertumbuhan
ekonomi. Pendapat lain dikemukakan oleh Chang et al. (2002) bahwa stunting
berhubungan dengan perkembangan kognitif yang terlihat pada kemampuan
aritmatika, mengeja, membaca kata dan membaca komprehensif sehingga anak
stunting mencapai pendidikan lebih rendah jika dibandingkan dengan anak-anak
normal. Penelitian Kar et al. (2007) mengemukakan bahwa anak kurang gizi yang
tercermin dalam keadaan stunting memiliki masalah pada pemusatan perhatian,
memori, pembelajaran dan kemampuan visuospasial. Stunting tidak hanya
berpengaruh pada perkembangan kognitif pada tahap tertentu, tetapi juga pada tahap
yang lebih tinggi sehingga menghasilkan gangguan kognitif jangka panjang. Menurut
Papalia, perkembangan kognitif adalah pola perubahan dalam kemampuan mental
yang meliputi kemampuan belajar, pemusatan perhatian, berfikir, kreatifitas, dan
bahasa. Menurut Hanushek dan Woessmann, perbaikan gizi pada 1000 Hari Pertama
Kehidupan (1000 HPK) yaitu sejak janin dalam kandungan hingga usia 2 tahun
merupakan kunci untuk menurunkan kejadian stunting, meningkatkan kemampuan
kognitif dan memperbaiki capaian pendidikan yang pada akhirnya dapat memicu
pertumbuhan ekonomi.

B. Stunting pada Anak di Bawah Umur Lima Tahun

Lima tahun pertama usia anak-anak merupakan suatu masa atau tahapan umur
yang menentukan kualitas manusia pada usia selanjutnya. Periode kritis anak sampai
usia dua tahun pertama merupakan periode window of opportunity yang
membutuhkan dukungan gizi, stimulus khusus, dan intervensi. Masalah Kurang
Energi Protein (KEP) sebagai salah satu masalah gizi utama yang terjadi pada balita
sangat berpengaruh pada proses tumbuh kembang anak. Pendek atau stunting adalah
retardasi pertumbuhan linier dengan defisit dalam panjang atau tinggi badan sebesar
kurang dari -2 SD Z–Skor, menurut baku rujukan pertumbuhan (WHO/NCHS) di
Indonesia permasalahan stunted merupakan hal yang umum terjadi (ACC/SCN
2000). Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, prevalensi nasional balita
pendek (stunted) dan balita sangat pendek (severe stunted) adalah 35.6% (terdiri dari
18.5% sangat pendek dan 17.1% pendek). Kejadian stunting menjadi masalah
kesehatan masyarakat karena berhubungan dengan meningkatnya risiko terjadinya
kesakitan, perkembangan motorik terlambat, dan terhambatnya pertumbuhan mental
(Waterlow & Schurch 1994 dalam ACC/SCN 2000).

Dampak kekurangan gizi pada anak menyebabkan menurunnya


perkembangan otak yang juga dapat berdampak pada rendahnya kecerdasan,
kemampuan belajar, kreativitas, dan produktivitas anak. Beberapa penelitian
mengenai dampak kurang gizi pada anak terhadap aspek perkembangan kognitif dan
bahasa yang pernah diteliti oleh Watanabe et al. (2005) menemukan pengaruh yang
signifikan dari intervensi gizi dan stimulasi pada peningkatan skor tes kognitif anak
stunted. Mendez dan Adair (1999) di Filipina menemukan bahwa anak yang pendek
sejak lahir sampai usia 2 tahun memiliki skor kognitif yang rendah dibandingkan
dengan anak yang normal. Hizni et al. (2009) menyatakan balita stunted memiliki
risiko keterlambatan perkembangan bahasa lebih tinggi.

Perkembangan kognitif balita normal memiliki rata-rata presentase skor


perkembangan balita sedikit lebih tinggi daripada baita normal. Terdapat perbedaan
yang signifikan (p<0.05) perkembangan bahasa pada balita normal dan stunted.
Kejadian stunting merupakan dampak terburuk dari kekurangan gizi yang dialami
pada saat kehamilan maupun dua tahun pertama usia anak yang merupakan periode
window of opportunity, akan mengakibatkan kerusakan pada tumbuh kembang otak
yang bersifat permanen. Anak yang stunting pada usia 2 tahun berpengaruh pada
penurunan skor kognitif pada usia berikutnya (Hizni et al. 2009).

Perkembangan kognitif balita normal memiliki rata-rata persentase skor


perkembangan balita sedikit lebih tinggi (67%) daripada balita normal (55%).
Sebanyak 31.4% pada kelompok status gizi normal memiliki skor perkembangan
kognitif kategori tinggi/baik, sementara hanya 8.6% balita stunted yang memiliki
skor kognitif yang tinggi. Namun demikian, sebanyak 68.6% kelompok balita stunted
dan 45.7% kelompok balita normal memiliki skor perkembangan kognitif yang
rendah.

Pada Indikator pengukuran kognitif masing-masing tugas menggambarkan


dimensi-dimensi perkembangan kognitif, tahap pre-operational (2—7 tahun),
pemahaman anak tentang benda di sekitarnya dilakukan melalui kegiatan simbolik
berupa kata atau gambar yang digunakan, dalam pemahaman tata ruang anak diminta
untuk menunjukkan peta jalan atau maze untuk menemukan tikus, sementara anak
sudah mulai mengerti mengenai dasar pengelompokan satu dimensi, seperti atas
kesamaan benda sehingga anak diminta untuk mengkategorikan benda berdasarkan
ukuran, warna, dan bentuk serta terdapat pemahaman sebab akibat.

Sebaran penguasaan perkembangan kognitif balita, pada usia balita rentang


umur 30—41 bulan anak balita stunted terdapat 73.1% dan 41.7% anak balita normal
yang tidak mampu menyebutkan 1—4 jenis warna. Sementara pada aspek
perkembangan kognitif lainnya, anak stunted tidak mampu menjodohkan warna
(15.4%), membedakan ukuran objek (11.5%), menyebutkan jenis kelamin (36.4%)
dan memasangkan gambar dikenal (3.8%), sedangkan pada anak balita normal aspek
perkembangan kognitif tadi semuanya mampu dilakukan dan hanya 8.3% anak balita
normal yang tidak mampu menyebutkan jenis kelamin. Anak balita normal hampir
separuh lebih dikategorikan mampu dalam menjodohkan warna (54.2%),
memasangkan gambar yang dikenal (54.2%) serta sebagian besar mampu
menyebutkan jenis kelamin (95.8%), sedangkan hanya 3.8% anak balita stunted yang
mampu menjodohkan warna.

C. Stunting pada anak usia sekolah

Pertumbuhan cepat terjadi pada waktu bayi diikuti penurunan laju


pertumbuhan pada anak pra sekolah dan anak usia sekolah. Rata‐ rata kenaikan berat
badan di usia ini sekitar 1,8‐ 2,7 kg setahun, sedangkan tinggi badan kurang lebih 7,6
cm setahun pada anak antara satu tahun sampai tujuh tahun, kemudian meningkat
sebanyak 5,1 cm setahun hingga awal pertumbuhan cepat pada usia remaja. Anak
usia sekolah mempunyai laju pertumbuhan fisik yang lambat tetapi konsisten, terus
menerus memperoleh pendewasaan dalam keterampilan motorik serta menunjukkan
peningkatan yang berarti dalam keterampilan kognitif, sosial dan emosional.  
Kebiasaan makan yang terbentuk pada usia ini, serta jenis makanan yang disukai dan
tidak disukai, merupakan dasar bagi pola konsumsi makanan dan asupan gizi  anak
pada usia selanjutnya. Anak usia sekolah mempunyai banyak akses terhadap uang,
warung, penjaja makanan di lingkungan sekolah, toko swalayan, yang menyebabkan
terbukanya pula akses terhadap makanan yang kurang terjamin nilai gizinya. Status
Gizi anak didasarkan pada   Indikator BB/U. Status gizi anak berdasarkan indikator
TB/U menggambarkan status gizi yang bersifat kronis, merupakan akibat keadaan
kurang gizi dalam waktu yang panjang. Indikator TB/U dinyatakan dalam tinggi
badan normal, pendek dan sangat pendek. Anak yang termasuk katagori sangat
pendek (stunting) pada tahun 2010 sebanyak 18,5% dan yang pendek 17,1%, bila
keduanya digabungkan dan menjadi angka 35,6%, merupakan masalah nasional yang
serius ( Rosaria, 2012 ).  

Penelitian yang dilakukan oleh Sa’adah (2014) terhadap 120 siswa kelas 1-5
Sekolah Dasar Negeri 01 Guguk Malintang Kota Padang Panjang mengenai
hubungan status gizi dengan prestasi belajar. Berdasarkan uji analisis dengan chi-
square, didapatkan p= 0,020 (p < 0,05) untuk status gizi wasting dan p = 0,005 (p <
0,05) untuk status gizi stunting. Hal ini menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara
status gizi dengan prestasi belajar, baik status gizi wasting maupun stunting. Hasil
penelitian ini didukung oleh penelitian Ijarotimi dan Ijadunola di Nigeria, yang
menemukan bahwa anak dengan kekurangan gizi akan mengalami perubahan pada
metabolisme yang berdampak pada kemampuan kognitif dan kemampuan otak. Hal
ini diakibatkan karena kurangnya asupan nutrisi pada anak seperti kekurangan energi
protein akan berefek pada fungsi hipokampus dan korteks otak dalam membentuk
dan menyimpan memori.

Penelitian oleh Sorhaindo dan Feinstein di London menyatakan bahwa


terdapat hubungan antara status gizi dengan prestasi belajar. Dalam penelitiannya,
ditemukan fakta bahwa gizi buruk yang dialami anak akan mempengaruhi sistem
imun sehingga anak lebih mudah menderita penyakit infeksi. Keadaan tersebut dapat
mempengaruhi kehadiran anak di sekolah sehingga anak cenderung tertinggal dalam
proses pembelajaran dan mempengaruhi hasil belajar. Disamping itu, status gizi
kurang menyebabkan perkembangan otak yang tidak sempurna yang akan
menyebabkan gangguan pada perkembangan kognitif, perkembangan IQ, dan
kemampuan belajar yang pada akhirnya berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa.

Keadaan kurang gizi yang yang lebih berat dan kronis tidak hanya
mengganggu pertumbuhan (stunting), tetapi juga menyebabkan jumlah sel dalam otak
berkurang dan terjadi ketidakmatangan serta ketidaksempurnaan organisasi biokimia
dalam otak. Keadaan ini dapat berpengaruh terhadap perkembangan kecerdasan anak.
Kekurangan gizi pada masa lampau akan menyebabkan perubahan metabolisme di
dalam otak terutama jika terjadi saat golden period (3 tahun) pertumbuhan dan
perkembangan otak anak. Hal ini akan menyebabkan ketidakmampuan otak untuk
berfungsi normal.

DAFTAR PUSTAKA
Bullock, John dkk. 1984. The National Medical Series for Independent Study
Physiology. Pennsylvania. Harwal Publishing Company Media.

Anda mungkin juga menyukai