Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS

MANAJEMEN FISIOTERAPI GANGGUAN FUNGSI GERAK


EKSTREMITAS SUPERIOR DAN INFERIOR SINISTRA E.C
HEMIPARESE STROKE NON HEMORAGIK SEJAK 2 BULAN LALU

OLEH :

PRATIWI NURUL IMANSARI R 0241 72 039

PROGRAM STUDI PROFESI FISIOTERAPI


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018

i
ii

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus Profesi Fisioterapi dengan judul Manajemen Fisioterapi Gangguan Fungsi
Gerak Ekstremitas Superior dan Inferior Sinistra e.c Hemiparese Stroke Non Hemoragik
Sejak 2 Bulan lalu

pada April 2018.

Mengetahui,

Clinical Educator Clinical Instructor

Immanuel Maulang, S.Ft, Physio, M.Kes Taufik Hidayat, S.Ft, Physio


1

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL....................................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN......................................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1


A. Anatomi Sistem Saraf Pusat.................................................................... 1
BAB II PATOFISIOLOGI......................................................................................... 5
A. Definisi Stroke........................................................................................ 5
B. Epidemiologi Stroke................................................................................ 6
C. Patomekanisme Stroke............................................................................ 6
D. Etiologi.................................................................................................... 8
E. Tanda dan Gejala Stroke......................................................................... 8
F. Letak Kelumpuhan Pada Stroke.............................................................. 9
G. Komplikasi Stroke non Hemoragik......................................................... 10
BAB III MANAJEMEN FISIOTERAPI..................................................................... 11
A. Proses Pengukuran dan Pemeriksaan Fisioterapi..................................... 11
B. Diagnosis Fisioterapi............................................................................... 13
C. Problem, Planning dan Program Pemeriksaan Fisioterapi....................... 13
D. Evaluasi dan Modifikasi Fisioterapi........................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 16
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Anatomi Sistem Saraf Pusat

Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak yang dibentuk oleh
mesensefalon, pons, dan medulla oblongata. Bila kalvaria dan dura mater
disingkirkan, di bawah lapisan arachnoid mater kranialis dan pia mater kranialis
terlihat gyrus, sulkus, dan fisura korteks serebri. Sulkus dan fisura korteks serebri
membagi hemisfer serebri menjadi daerah lebih kecil yang disebut lobus (Moore &
Argur, 2007).

Gambar 1. Bagian-bagian Otak


(Sumber: Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2004)

Seperti terlihat pada gambar di atas, otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1. Serebrum (Otak Besar)
Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua
hemisfer. Hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh
sebelah kiri dan hemisfer kiri berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh
sebelah kanan. Masing-masing hemisfer terdiri dari empat lobus. Bagian
lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai
parit disebut sulkus. Keempat lobus tersebut masing-masing adalah lobus
frontal, lobus parietal, lobus oksipital dan lobus temporal (CDC, 2004).
a. Lobus parietal merupakan lobus yang berada di bagian tengah serebrum.
Lobus parietal bagian depan dibatasi oleh sulkus sentralis dan bagian
2

belakang oleh garis yang ditarik dari sulkus parieto-oksipital ke ujung


posterior sulkus lateralis (Sylvian). Daerah ini berfungsi untuk menerima
impuls dari serabut saraf sensorik thalamus yang berkaitan dengan
segala bentuk sensasi dan mengenali segala jenis rangsangan somatik
(Ellis, 2006).
b. Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling depan
dari serebrum. Lobus ini mencakup semua korteks anterior sulkus sentral
dari Rolando. Pada daerah ini terdapat area motorik untuk mengontrol
gerakan otot-otot, gerakan bola mata; area broca sebagai pusat bicara;
dan area prefrontal (area asosiasi) yang mengontrol aktivitas intelektual
(Ellis, 2006).
c. Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus
oksipital oleh garis yang ditarik secara vertikal ke bawah dari ujung atas
sulkus lateral. Lobus temporal berperan penting dalam kemampuan
pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara
(Ellis, 2006).
d. Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan lobus temporal.
Lobus ini berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan
manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap
oleh retina mata (Ellis, 2006).
Apabila diuraikan lebih detail, setiap lobus masih bisa dibagi menjadi
beberapa area yang punya fungsi masing-masing, seperti terlihat pada
gambar di bawah ini.
3

Gambar 2. Area Otak


(http://apbrwww5.apsu.edu)

2. Serebelum (Otak Kecil)


Serebelum atau otak kecil adalah komponen terbesar kedua otak.
Serebelum terletak di bagian bawah belakang kepala, berada di belakang
batang otak dan di bawah lobus oksipital, dekat dengan ujung leher bagian
atas. Serebelum adalah pusat tubuh dalam mengontrol kualitas gerakan.
Serebelum juga mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya:
mengatur sikap atau posisi tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi
otot dan gerakan tubuh. Selain itu, serebelum berfungsi menyimpan dan
melaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan
mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu
dan sebagainya (Clark, 2005).
3. Batang Otak
Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala
bagian dasar dan memanjang sampai medulla spinalis. Batang otak
bertugas untuk mengontrol tekanan darah, denyut jantung, pernafasan,
kesadaran, serta pola makan dan tidur. Bila terdapat massa pada batang
otak maka gejala yang sering timbul berupa muntah, kelemahan otat wajah
baik satu maupun dua sisi, kesulitan menelan, diplopia, dan sakit kepala
ketika bangun (CDC, 2004).
Batang otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a. Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah bagian
teratas dari batang otak yang menghubungkan serebrum dan serebelum.
Saraf kranial III dan IV diasosiasikan dengan otak tengah. Otak tengah
berfungsi dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan
mata,pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran
(Moore & Argur, 2007).
b. Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada diantara midbrain
dan medulla oblongata. Pons terletak di fossa kranial posterior. Saraf
Kranial (CN) V diasosiasikan dengan pons (Moore & Argur, 2007).
c. Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari batang
otak yang akan berlanjut menjadi medulla spinalis. Medulla oblongata
4

terletak juga di fossa kranial posterior. CN IX, X, dan XII disosiasikan


dengan medulla, sedangkan CN VI dan VIII berada pada perhubungan
dari pons dan medulla (Moore & Argur, 2007).
5

BAB II
PATOFISIOLOGI

A. Definisi Stroke
Stroke merupakan penyakit yang terjadi karena terganggunya peredaran darah
otak yang dapat menyebabkan kematian jaringan otak sehingga mengakibatkan
kelumpuhan bahkan kematian pada penderita stroke, stroke dibagi menjadi dua jenis
yaitu stroke hemoragik dan stroke non hemoragik (Batticaca, 2008). Menurut World
Health Organization (WHO) dalam Muttaqin (2011) stroke didefinisikan sebagai
penyakit yang disebabkan oleh gangguan peredarah darah diotak yang terjadi secara
mendadak dengan tanda dan gejala klinik baik lokal maupun global yang berlangsung
selama 24 jam atau lebih yang dapat menyebabkan kematian. Stroke Hemoragik
merupakan perdarahan yang terjadi karena pecahnya pembuluh darah pada daerah
otak tertentu dan strokenon hemoragik merupakan terhentinya sebagaian atau
keseluruhan aliran darah ke otak akibat tersumbatnya pembuluh darah otak (Wiwit,
2010).

Gambar 3. Klasifikasi Stroke


(Sumber: Gynn, Patofisiologi Stroke 2011)
6

B. Epidemologi Stroke
Jumlah penderita penyakit stroke di Indonesia tahun 2013 berdasarkan diagnosis
tenaga kesehatan (nakes) diperkirakan sebanyak 1.236.825 orang (7,0‰), sedangkan
berdasarkan diagnosis nakes/gejala diperkirakan sebanyak 2.137.941 orang (12,1‰).
Berdasarkan diagnosis nakes maupun diagnosis/ gejala, Provinsi Jawa Barat memiliki
estimasi jumlah penderita terbanyak yaitu sebanyak 238.001 orang (7,4‰) dan
533.895 orang (16,6‰), sedangkan Provinsi Papua Barat memiliki jumlah penderita
paling sedikit yaitu sebanyak 2.007 orang (3,6‰) dan 2.955 orang (5,3‰).

Gambar 4. Jumlah Penderita Penyakit Stroke di Indonesia


Sumber : Diolah berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar 2013, Badan Litbangkes Kementrian
Kesehatan RI dan Data Penduduk Sasaran, Pusdatin Kementrian Kesehatan RI

C. Patomekanisme Stroke
Stroke non hemoragik erat hubungannya dengan plak arterosklerosis yang dapat
mengaktifkan mekanisme pembekuan darah sehingga terbentuk trombus yang dapat
disebabkan karena hipertensi (Muttaqin, 2011). Trombus dapat pecah dari dinding
pembuluh darah dan akan terbawa sebagai emboli dalam aliran darah mengakibatkan
7

terjadinya iskemia jaringan otak dan menyebabkan hilangnya fungsi otak secara akut
atau permanen pada area yang teralokasi (Guyton & Hall, 2007).
Iskemia pada otak akan merusak jalur motorik pada serebrum (Potter & Perry,
2005). Iskemia pada otak juga mengakibatkan batang otak yang mengandung nuclei
sensorik dan motorik yang membawa fungsi motorik dan sensorik mengalami
gangguan sehingga pengaturan gerak seluruh tubuh dan keseimbangan terganggu
(Guyton & Hall, 2007).
Area di otak yang membutuhkan sinyal untuk pergerakkan dan koordinasi otot
tidak ditrasmisikan ke spinal cord, saraf dan otot sehingga serabut motorik pada
sistem saraf mengalami gangguan untuk mengontrol kekuatan dan pergerakan serta
dapat mengakibatkan terjadinya kecacatan pada pasien stroke (Frasel dkk, 2008 dalam
Fitriani, 2016). Iskemia pada otak juga dapat mengakibatkan terjadinya defisit
neurologis (Smeltzer & Bare, 2010).

Gambar 5. Patomekanisme Stroke


(Sumber: Colby, Patofisiologi Stroke 2009)
8

D. Etiologi Stroke
Stroke disebabkan oleh plak arteriosklerotik yang terjadi pada satu atau lebih
arteri yang memberi makanan ke otak yang mengaktifkan mekanisme pembekuan
darah dan menghambat aliran darah diarteri, sehingga menyebabkan hilangnya fungsi
otak secara akut pada area yang teralokasi (Guyton & Hall, 2007). Stroke non
hemoragik terjadi pada pembuluh darah yang mengalami sumbatan sehingga
menyebabkan berkurangnya aliran darah pada jaringan otak, trombosis otak,
aterosklerosis, dan emboli serebral yang merupakan penyumbatan pembuluh darah
yang timbul akibat pembentukkan plak sehingga terjadi penyempitan pembuluh darah
yang dikarenakan oleh penyakit jantung, diabetes, obesitas, kolesterol, merokok,
stress, gaya hidup, rusak atau hancurnya neuron motorik atas (upper motor neuron),
dan hipertensi (Mutaqqin, 2011).
E. Tanda dan Gejala Stroke
Menurut (Smeltzer & Bare, 2010) stroke menyebabkan berbagai defisit
neurologis, tergantung pada lesi atau pembuluh darah mana yang tersumbat dan
ukuran area yang perfusinya tidak adekuat. Fungsi otak yang rusak tidak dapat
membaik sepenuhnya. Defisit neurologi pada stroke antara lain:
1. Defisit motorik Disfungsi motorik paling umum adalah paralisis pada salah satu
sisi atau hemiplegia karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Diawal tahapan
stroke, gambaran klinis yang muncul adalah paralisis dan hilang atau menurunnya
refleks tendon dalam atau penurunan kekuatan otot untuk melakukan pergerakkan,
apabila refleks tendon dalam ini muncul kembali biasanya dalam waktu 48 jam,
peningkatan tonus disertai dengan spastisitas atau peningkatan tonus otot
abnormal pada ekstremitas yang terkena dapat dilihat.
2. Defisit komunikasi Difungsi bahasa dan komunikasi dapat dimanifestasikan oleh
hal berikut :
a. Kesulitan dalam membentuk kata (disartria), ditunjukkan dengan bicara yang
sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab
untuk menghasilkan bicara.
b. Bicara defektif atau kehilangan bicara (disfasia atau afasia), yang terutama
ekspresif atau reseptif
c. Ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya
(apraksia) seperti terlihat ketika penderita mengambil sisir dan berusaha untuk
menyisir rambutnya.
9

3. Defisit persepsi sensori


Gangguan persepsi sensori merupakan ketidak mampuan untuk
menginterpretasikan sensasi. Gangguan persepsi sensori pada stroke meliputi :
a. Disfungsi persepsi visual, karena gangguan jaras sensori primer diantara mata
dan korteks visual. Kehilangan setengah lapang pandang terjadi sementara atau
permanen (homonimus hemianopsia). Sisi visual yang terkena berkaitan
dengan sisi tubuh yang paralisis. Kepala penderita berpaling dari sisi tubuh
yang sakit dan cendrung mengabaikan bahwa tempat dan ruang pada sisi
tersebut yang disebut dengan amorfosintesis. Pada keadaan ini penderita hanya
mampu melihat makanan pada setengah nampan, dan hanya setengah ruangan
yang terlihat.
b. Gangguan hubungan visual-spasial yaitu mendapatkan hubungan dua atau lebih
objek dalam area spasial sering terlihat pada penderita dengan hemiplegia kiri.
Penderita tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan
untuk mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.
c. Kehilangan sensori, karena stroke dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau
berat dengan kehilangan propriosepsi yaitu kemampuan untuk merasakan
posisi dan gerakan bagian tubuh serta kesulitan dalam menginterpretasikan
stimuli visual, taktil, dan auditorius.
4. Defisit fungsi kognitif dan efek psikologi Disfungsi ini ditunjukkan dalam lapang
pandang terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa, dan kurang motivasi yang
menyebabkan penderita ini menghadapi masalah stress dalam program
rehabilitasi.
5. Defisit kandung kemih Kerusakan kontrol motorik dan postural menyebabkan
penderita pasca stroke mengalami ketidakmampuan menggunakan urinal,
mengalami inkontinensia urinarius sementara karena konfusi. Tonus otot
meningkat dan refleks tendon kembali, tonus kandung kemih meningkat, dan
spastisitas kandung kemih dapat terjadi.

F. Letak Kelumpuhan Pada Stroke


Letak kelumpuhan pada pasien stroke non hemoragik yaitu :
1. Kelumpuhan sebelah kiri (hemiparesis sinistra) Kelemahan atau kelumpuhan
tubuh sebelah kiri disebabkan karena adanya kerusakan pada sisi sebelah kanan
10

otak. Penderita dengan kelumpuhan sebelah kiri sering kehilangan memori visual
dan mengabaikan sisi kiri. Penderita memberikan perhatian hanya kepada sesuatu
yang berada dalam lapang pandang yang dapat dilihat (Harsono, 2009).
2. Kelumpuhan sebelah kanan (hemiparesis dextra) Kelemahan atau kelumpuhan
tubuh sebelah kanan disebabkan karena adanya kerusakan pada sisi sebelah kiri
otak. Penderita biasanya mempunyai kekurangan dalam kemampuan komunikasi
verbal. Persepsi dan memori visual motornya sangat baik, sehingga dalam melatih
perilaku tertentu harus dengan cermat diperhatikan tahap demi tahap secara visual.
Gunakan lebih banyak bahasa tubuh saat berkomunikasi (Harsono, 2009).
3. Kelumpuhan kedua sisi (paraparesis) Terjadi karena adanya arterosklerosis yang
menyebabkan adanya sumbatan pada kanan dan kiri otak yang dapat
mengakibatkan kelumpuhan satu sisi dan diikuti satu sisi lainnya (Markam, 2008).

G. Komplikasi Stroke Non Hemoragik


Menurut (Smeltzer & Bare, 2010) komplikasi stroke meliputi hipoksia serebral,
penurunan aliran darah serebral, dan embolisme serebral.
1. Hipoksia serebral Fungsi otak bergantung pada kesediaan oksigen yang
dikirimkan ke jaringan. Hipoksia serebral diminimalkan dengan pemberian
oksigenasi adekuat ke otak. Pemberian oksigen, mempertahankan hemoglobin
serta hematokrit akan membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan.
2. Penurunan aliran darah serebral Aliran darah serebral bergantung pada tekanan
darah, curah jantung, dan integrasi pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat
cairan intravena, memerbaiki aliran darah dan menurunkan viskositas darah.
Hipertensi atau hipotensi perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada aliran
darah serebral dan potensi meluasnya area cedera.
3. Emolisme serebral Terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium. Embolisme
akan menurunkan aliran darahke otak dan selanjutnya akan menurunkan aliran
darah ke serbral. Disritmia dapat menimbulkan curah jantung tidak konsisten,
disritmia dapat menyebabkan embolus serebral dan harus segera diperbaiki.
11

BAB III
MANAJEMEN FISIOTERAPI

A. Proses Pengukuran dan Pemeriksaan Fisioterapi


Anamnesis Umum
Nama : Tn. I. S
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 53 tahun
Alamat : Jl. Toddopuli 5
Pekerjaan : PNS
Agama : Islam
Hobi : Main tenis
Tekanan darah : 120/90 mmHg.
Denyut nadi : 84 kali/menit (irama regular).

C : Chief of complaint
Ada sumbatan di otak.
H : History taking
1. Terjadi sejak hampir 2 bulan yang lalu.
2. Awalnya klien tiba-tiba merasa lemah di tubuh kiri saat bekerja karena
kecapean.
3. Sudah dirawat di RS selama 5 hari, dokter mengatakan terkena stroke ringan.
4. Diberi obat oleh dokter dan setelah meminum obat ada efek merasa leih baik.
5. Klien telah melakukan CT-Scan hasilnya ada penyumbatan di otak.
6. Awal terkena pasien merasa lemah namun sekarang sudah kuat tapi kurang
seimbang sehingga masih takut kemana-mana, takut jatuh.
7. Tidak ada riwayat penyakit.
8. Aktivitas toleting, dressing dibantu dan sholat dalam keadaan duduk.
9. Pekerjaan dan hobi terganggu. Namun tetap ada kompensasi dari kantor
10. 4 hari setelah serangan stroke, klien sulit berbicara fasih.
11. Ada keluhan lain yaitu kesulitan berbicara dan osteoarthritis dextra.
12

A: Assymetry
1. Inspeksi Statis :
a. Ekspresi wajah agak cemas.
b. Agak membungkuk
2. Inspeksi Dinamis :.
a. Gait analysis bermasalah
3. Quick Test : Dapat mengambil benda, menyisir
4. Palpasi :
a. Suhu : DBN
b. Kontur kulit : Spastik
c. Oedem : (-)
d. Tenderness : (-)
5. PFGD : Gerakan pada shoulder, elbow, wrist, hip, knee, ankle (sinistra) pada
gerakan aktif, pasif, TIMT : DBN

R : Restrictive
1. ROM : -
2. Pekerjaan : terbatas
3. ADL : limitasi toileting, dressing, praying
4. Rekreasi : terbatas

T : Tissue impairment and psychological prediction


1. Psikogen : Kecemasan
2. Neurogen : Sistem saraf pusat
3. Musculotendinogen : Spastik.

S: Specific test
1. MMT
a. Ekstremitas superior dan inferior dextra : 5
b. Ekstremitas superior dan inferior sinistra : 4
2. Tes sensorik : normal
3. Sirkumerensia : 50/50
4. Single leg stand : 30 s/20 s
5. Bridging tes : mampu
13

6. Tes koordinasi : normal

B. Diagnosis Fisioterapi
Adapun diagnosis fisioterapi yang dapat ditegakkan dari hasil proses pengukuran dan
pemeriksaan tersebut, yaitu:
“Gangguan fungsi gerak pada ekstremitas superior dan inferior sinistra berupa
kelemahan otot, gangguan keseimbangan, spastik e.c hemiparese non hemoragik stroke sejak
2 bulan yang lalu.”

C. Problem, Planning, dan Program Fisioterapi


Adapun problem dan planning fisioterapi yang dapat diuraikan berdasarkan hasil
proses pengukuran dan pemeriksaan tersebut, yaitu:
1. Problem:
a. Primer:
a) Gangguan keseimbangan
b. Sekunder:
a) Cemas
b) Spastik
c) Kelemahan otot
d) Kesulitan berbicara
e) Gangguan postur
c. Kompleks:
a) Gangguan ADL walking, toileting, dressing, praying

2. Planning:
a. Tujuan jangka panjang:
a) Mengajarkan gerakan ADL walking, toileting, dressing, praying
b. Tujuan jangka pendek:
a) Mengurangi gangguan psikis dan kecemasan.
b) Mengurangi spastik.
c) Meningkatkan kekuatan otot.
d) Memperaiki postur.
e) Memperbaiki gangguan keseimbangan.
f) Memperbaiki gangguan bicara.
14

1. Program:
No. PROBLEM FISIOTERAPI MODALITAS TERPILIH DOSIS
1 Gangguan psikis dan Komunikasi terapeutik F : 1x/hari
kecemasan. I : sesering mungkin
T : Wawancara
T : selama pasien fokus
2 Spastik Pre-Eleminary F : 1x/hari
I : sebatas toleransi pasien
T : Local
T : 10 menit

Exercise therapy F : 1x/hari


I : 10 hit/5 rep
T : Stretching
T : 2 menit
F : 1x sehari
I : 8 hit/5 rep
Exercise therapy T : strengthening
T : 2 menit
3. m. weakness
F : 1x sehari
I : 5 rep
Exercise therapy (ADL)
T : PNF tangan
T : 3 menit
4. Keseimbangan dan Exercise therapy F : 1x/hari
stabilitas I : 8 hit/5 rep
T : bridging + aproksimasi
T : 2 menit
Exercise therapy F : 1x/hari
I : 10 rep
T : Single leg stand, staility
exc
T : 5 menit
5. Gangguan berbicara Speech therapy F : 1x/hari
I : 10 rep
T : Mengucapkan hur vokal
T : 10 menit
6. Gangguan ADL Exercise therapy F : 1x/hari
I : 10 rep
T : Walking exc +
aproksimasi
T : 10 menit

Exercise therapy F : 1x sehari


15

I : Program
T : Static bycicle
T : 5 menit
F : 1 x sehari
I : 5 rep
7. Relaksasi Breathing Exc
T : deep breathing
T : 2 menit

D. Evaluasi dan Modifikasi Fisioterapi


Adapun hasil evaluasi dan modifikasi terhadap program fisioterapi yang telah
diberikan pada klien tersebut, adalah sebagai berikut :
1. Evaluasi Sesaat :
No
Problem Sebelum Intervensi Setelah 1 Kali Intervensi
.
5/4 (superior) 5/4 (superior)
1 MMT
5/4 (inferior) 5/4 (inferior)

2. Evaluasi Berkala :
No
Problem Sebelum Intervensi Setelah 2 Kali Intervensi
.
1 Singel leg stand 26/23 25/16
5/4 (superior) 5/4 (superior)
2 MMT
5/4 (inferior) 5/4 (inferior)

2. Edukasi :
Pasien diajarkan cara bangun di tempat tidur dengan cara posisi miring, rutin
melakukan self stretching, dan latihan berbicara.
3. Modifikasi :
Modifikasi Program disesuaikan dengan hasil evaluasi yang didapatkan dari
perkembangan hasil terapi yang dicapai oleh pasien. Modifikasi dapat berupa
peningkatan dosis atau modifikasi jenis latihan. Modifikasi program FT yang dapat
diberikan berupa :
a. Approksimasi: latihan untuk memelihara stabilitas lumbopelvic klien.
b. Latihan dengan ball.
c. Latihan penguatan dengan karet sport.
d. Aktif Breathing Exercise, Deep Breathing Exercise, dan modifikasi positioning
untuk merelaksasikan.
e. Active stretching saat olahraga ringan.
16

DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbangkes Kementrian Kesehatan RI dan Data Penduduk Sasaran, Pusdatin
Kementrian kesehatan RI. Data Riset kesehatan Dasar 2013.
Batticaca, F. B. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Centers for Disease Control and Prevention. 2004. Data collection of primary central nervous
system tumors. National Program of Cancer Registries Training Materials. Atlanta,
Georgia : U.S. Department of Health and Human Services Centers for Disease Control
and Prevention. Pp. 16-25.
Clark RK. 2005. Anatomy and Understanding the Human Body Physiology. London : Jones
and Barlett Publishers. Pp. 204-205.
Ellis H. 2006. Clinical Anatomy Elevent Edition. US : Blackwell Publishing. Pp. 349-352.
Fitriani, N.L.E.T. 2016. Pengaruh Stimulasi Dua Dimensi Terhadap Kekuatan Otot
Ekstremitas Atas Pasien Stroke Non Hemoragik Di Rsup Sanglah Denpasar. Bachelor
thesis, Universitas Udayana. Bali.
Guyton A.C. and J.E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC.
Harsono. 2009. Kapita Selekta Neurologi. Cetakan ketujuh. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
Markam S. 2009. Penuntun Neurologi. Tangerang : Binarupa Aksara.
Moore, K.L dan Agur AMR. 2002. Anatomi Klinis Dasar. alih bahasa, Hendra Laksman.
(Ed) Vivi Sadikin dan Virgi Saputra. Jakarta: EGC. Hlm 361-364.
Muttaqin, Arif. 2011. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Potter, P.A, Perry, A.G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan
Praktik. Edisi 4. Jakarta : EGC.
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., & Cheever, K.H. 2010. Brunner And Suddarth’s
Text Book Of Medical Surgical Nursing. 11th ed. Lippincott Williams & Wilkins, Inc.
Wiwit, S. 2010. Stroke & Penanganannya. Jogjakarta : Katahati.

Anda mungkin juga menyukai