Anda di halaman 1dari 63

LAPORAN KASUS PROFESI FISIOTERAPI

MANAJEMEN FISIOTERAPI GANGGUAN AKTIVITAS


FUNGSIONAL BERUPA MUSCLE WEAKNESS, STIFFNES,
DAN GANGGUAN KESEIMBANGAN E.C. POST NON
HEMORAGIC STROKE SEJAK
3 TAHUN YANG LALU

OLEH :

Naurah Nadhifah, S.FT


R024191008

PROGRAM STUDI PROFESI FISIOTERAPI


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2020
HALAMAN PERSETUJUAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menerangkan bahwa mahasiswa berikut :

Nama : Naurah Nadhifah , S.Ft

NIM : R024191008

Adalah benar telah menyelesaikan telaah kasus dengan judul Gangguan


aktivitas fungsional berupa muscle weakness, stiffnes, dan gangguan
keseimbangan e.c. post Non Hemoragic Stroke sejak 3 tahun yang lalu’ pada
klinik Physio Sakti dan telah mendiskusikannya dengan pembimbing.

Makassar, 17 Februari 2020

Mengetahui,

Clinical Instructor Clinical Educator

Dr. H. Djohan Aras, S.Ft., Physio., M.Kes A.Besse Ahsaniyah, S.Ft., Physio., M.Kes

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah

melimpahkan rahmat dan anugerah-nya, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan

kasus ini sebagai pembuka pintu menyelesaikan studi, laporan kasus berjudul

“Manajemen Fisioterapi Gangguan aktivitas fungsional berupa muscle weakness,

stiffnes, dan gangguan keseimbangan e.c. post Non Hemoragic Stroke sejak 3 tahun

yang lalu’.

Sholawat dan taslim semoga tercurah atas Nabi Muhammad SAW beserta

keluarga dan sahabat-sahabatnya. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan laporan

kasus ini masih banyak kekurangan dan keterbatasan, namun berkat do’a, bimbingan,

arahan dan motivasi dari berbagai pihak, kami mampu menyelesaikan satu tahapan

menyelesaikan studi. Harapan kami semoga laporan kasus yang diajukan ini dapat

diterima dan diberi kritikan serta masukan yang dapat semakin memperbaiki laporan

kasus ini.

Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmatnya kepada kami dan semua

pihak yang telah membantu dalam menyusun laporan kasus ini, besar harapan dan

do’a kami agar kiranya laporan kasus ini dapat diterima.

Makassar, Februari 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................. ii


KATA PENGANTAR ........................................................................................ iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... vi
BAB I .................................................................................................................. 7
PENDAHULUAN ............................................................................................... 7
1.1 LATAR BELAKANG ........................................................................... 7
1.2 ANATOMI ............................................................................................. 9
1.3 FISIOLOGI ......................................................................................... 13
BAB II ............................................................................................................... 19
ANALISIS KEPUSTAKAAN BERDASARKAN KASUS ................................ 19
2.1 Kerangka Teori ......................................................................................... 19
2.2. Definisi Stroke......................................................................................... 20
2.3 Etiologi..................................................................................................... 24
2.4 Epidemiologi ............................................................................................ 30
2.5 Patomekanisme......................................................................................... 32
2.6 Manifestasi Klinik .................................................................................... 36
2.7 Pemeriksaan dan Penegakan Diagnosis ..................................................... 39
2.8 Diagnosa Banding..................................................................................... 42
2.9 Penatalaksaan Fisioterapi .......................................................................... 42
2.10 Kerangka Mind Mapping Teknologi Fisioterapi ..................................... 46
BAB III.............................................................................................................. 47
MANAJEMEN FISIOTERAPI .......................................................................... 47
3.1 Proses Pengukuran Dan Pemeriksaan Fisioterapi ...................................... 47
3.2 Diagnosis Fisioterapi ................................................................................ 53

iv
3.3 Problem Fisioterapi .................................................................................. 53
3.4 Tujuan Fisioterapi..................................................................................... 53
3.5 Program Fisioterapi .................................................................................. 54
3.6 Evaluasi .................................................................................................... 55
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 56
LAMPIRAN ...................................................................................................... 59

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bagian-Bagian Otak....................................................................... 9

Gambar 2. Area-Area Otak ............................................................................. 11

Gambar 3. Klasifikasi Stroke ......................................................................... 20

Gambar 4. Prevalensi Stroke .......................................................................... 32

vi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Manusia pastinya makhluk yang memerlukan gerak dan berpindah

tempat. Aktivitas pergerakan normal sangat di perlukan dalam menunjang

kegiatan sehari-hari. Pergerakan yang dilkukan baik secara volunter maupun

involunter dipengaruhi oleh interaksi orgenisme dengan sekitarnya.

Gangguan gerak pada manusia dapat disebabkan oleh beberapa penyakit

dimana salah satunya adalah stroke (Irawan, 2014).

Terjadinya stroke akan memunculkan gejala berupa gangguan fungsi otak

yang dapat menimbulkan kematian maupun kelainan yang menetap lebih dari

24 jam akibat gangguan vaskuler. Stroke adalah cedera sub akut pada otak

dimana serangan terjadi secara mendadak dan berat yang akan berdampak

kematian jaringan di otak secara permanaen.

Irawan (2014) mengungkapkan bahwa 80% penderita stroke mempunyai

defisit neuromotor sehingga memberikan gejala kelumpuhan sebelah badan

dengan tingkat kelemahan bervariasi dari yang lemah hingga berat,

kehilangan sensibilitas, kegagalan sistem koordinasi, perubahan pola jalan

hingga terganggu keseimbangan. Masalah-masalah yang ditimbulkan oleh

stroke bagi kehidupan manusia sangatlah kompleks (Irfan, 2010). Sedangkan,

bagi penderita stroke itu sendiri aktivitas berjalan merupakan hal yang sangat

penting untuk mendukung aktivitas sehari-hari. Akibat adanya gangguan vital

otak, maka penderita stroke melakukan aktivitas berjalan dengan pola yang

abnormal ( Irawan, 2014).

7
Untuk melakukan aktivitas berjalan dan menyangga tubu, kaki merupakan

bagian penting tubuh, sehingga jika terjadi kelainan pada kaki maka aktivitas

sehari-hari akan terhambat (Bima, 2010). Adanya gangguan gaya gerak kaki

bukan hanya menimbulkan kesulitan berjalan tetapi juga menyebabkan

mudah lelah mudah jatuh dan pola jalan yang abnormal. Pergelangan kaki

serta gerakan pangkal paha memainkan bagian penting dalam membentuk

gaya jalan yang dihasilkan oleh otot-otot kaki. Penderita stroke kerap

mengalami kesulitan mengangkat pergelangan kaki (dorsofleksi). Halm ini

akan mempengaruhi kemampuan untuk melakukan aktivtas sehari-hari

sehingga kualitas hidup penderita stroke menjadi tergantung terhadap orang

lain (Levina, 2010).

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pelayanan stroke yang

terorganisasi dalam unit stroke akan menurunkan kematian, menurrunkan

angka kecatatan , dan memperbaiki stastus fungsional pasien stroke.

Penelitian yang dilakukan pada 1484 pasien stroke menunjukkan bahwa ada

perbedaab dalam pola pemberian anti platelet, anti kougulan, pelayanan

fisioterapi, dan terapi wicara antar berbagai pusat pelayanan stroke ( Belda et

al., 2011).

Fokus dari penanganan fisioterapi adalah memperbaiki masalah gerak

yang terkait dengan fungsional pada kondisi stroke, seperti halnya

permasalahan kemandirian dalam berjalan. Terapi latihan adalah metode yang

paling umum digunakan untuk mengatasi masalah mobilitas fisik setelah

kerusakan otak. Berbagai model terapi yang dapat diberikan pada pasien

stroke seperti motode Rood, metode Johnstone, metode brunnstorm, metode

8
bobath, metode Proprioceptive Neuromuscular Facilitation ( PNF), dan

metode Motor Learning Programe (MRP) yang menggunakan pendekatan

motor control dan motor learning (Irawan, 2014).

1.2 ANATOMI
Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak yang dibentuk oleh

mesensefalon, pons, dan medulla oblongata. Bila kalvaria dan duramater

disingkirkan, di bawah lapisan arachnoid mater kranialis dan piamater kranialis

terlihat gyrus, sulkus, dan fisura korteks serebri. Sulkus dan fisura korteks serebri

membagi hemisfer serebri menjadi daerah lebih kecil yang disebut lobus (Moore

& Argur, 2007).

Gambar 1 Bagian-bagian Otak

Sumber: Brain Anatomy, 2017

Seperti terlihat pada gambar di atas, otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1. Cerebrum (Otak Besar)
Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari

dua hemisfer. Hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol bagian

tubuh sebelah kiri dan hemisfer kiri berfungsi untuk mengontrol

bagian tubuh sebelah kanan. Masing-masing hemisfer terdiri dari

9
empat lobus. Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian

lekukan yang menyerupai parit disebut sulkus. Keempat lobus

tersebut masing-masing adalah lobus frontal, lobus parietal, lobus

oksipital dan lobus temporal (Ellis, 2006) yaitu :

a. Lobus parietal merupakan lobus yang berada di bagian

tengah serebrum. Lobus parietal bagian depan dibatasi oleh

sulkus sentralis dan bagian belakang oleh garis yang ditarik dari

sulkus parieto-oksipital ke ujung posterior sulkus lateralis

(Sylvian). Daerah ini berfungsi untuk menerima impuls dari

serabut saraf sensorik thalamus yang berkaitan dengan segala

bentuk sensasi dan mengenali segala jenis rangsangan somatic.

b. Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling

depan dari cerebrum. Lobus ini mencakup semua korteks

anterior sulkus sentral dari Rolando. Pada daerah ini

terdapat area motorik untuk mengontrol gerakan otot-otot,

gerakan bola mata, area broca sebagai pusat bicara, dan area

prefrontal (area asosiasi) yang mengontrol aktivitas intelektual.

c. Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari

lobus oksipital oleh garis yang ditarik secara vertikal ke bawah

dari ujung atas sulkus lateral. Lobus temporal berperan penting

dalam kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan

bahasa dalam bentuk suara.

10
d. Lobus oksipital Lobus ini berhubungan dengan rangsangan

visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan

interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata.

Apabila diuraikan lebih detail, setiap lobus masih bisa dibagi

menjadi beberapa area yang punya fungsi masing-masing, seperti terlihat

pada gambar di bawah ini.

Gambar 2 Area-area Otak

Sumber: Zhou, 2015

2. Cerebelum (Otak Kecil)


Cerebelum atau otak kecil adalah komponen terbesar kedua

otak. cerebelum terletak di bagian bawah belakang kepala, berada

di belakang batang otak dan di bawah lobus oksipital, dekat dengan

ujung leher bagian atas. cerebelum adalah pusat tubuh dalam

mengontrol kualitas gerakan. cerebelum juga mengontrol banyak

fungsi otomatis otak, diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh,

mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh.

Selain itu, cerebelum berfungsi menyimpan dan melaksanakan

serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan

11
mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan

mengunci pintu dan sebagainya (Florensya & Ardikal, 2013).

3. Batang Otak
Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga

kepala bagian dasar dan memanjang sampai medulla spinalis. Batang

otak bertugas untuk mengontrol tekanan darah, denyut jantung,

pernafasan, kesadaran, serta pola makan dan tidur. Bila terdapat

massa pada batang otak maka gejala yang sering timbul berupa

muntah, kelemahan otat wajah baik satu maupun dua sisi, kesulitan

menelan, diplopia, dan sakit kepala ketika bangun (Pearce, 2016).

Batang otak terdiri dari tiga bagian, yaitu (Florensya &

Ardikal,2013):

a. Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga midbrain) adalah

bagian teratas dari batang otak yang menghubungkan

cerebrum dan cerebelum. Saraf kranial III dan IV

diasosiasikan dengan otak tengah. Otak tengah berfungsi

dalam hal mengontrol respon penglihatan,

gerakan mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan

tubuh dan pendengaran.

b. Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada diantara

midbrain dan medulla oblongata. Pons terletak di fossa

kranial posterior. Saraf Kranial (CN) V diasosiasikan dengan

pons.

12
c. Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari

batang otak yang akan berlanjut menjadi medulla spinalis.

Medulla oblongata terletak juga di fossa kranial posterior. CN

IX, X, dan XII disosiasikan dengan medulla, sedangkan CN VI

dan VIII berada pada perhubungan dari pons dan medulla.

1.3 FISIOLOGI
1. Sistem Peredaran Darah Otak

Darah mengangkut zat asam, makanan dan substansi lainnya yang

diperlukan bagi fungsi jaringan hidup yang baik. Kebutuhan otak sangat

mendesak dan vital, sehingga aliran darah yang konstan harus terus

dipertahankan. Suplai darah arteri ke otak merupakan suatu jalinan

pembuluh-pembuluh darah yang bercabang-cabang, berhubungan erat satu

dengan yang lain sehingga dapat menjamin suplai darah yang adekuat untuk

sel (Wilson et.al 2002 dalam Alfiyah, 2018).

a. Peredaran Darah Arteri

Suplai darah ini dijamin oleh dua pasang arteri, yaitu arteri vertebralis dan

arteri karotis interna, yang bercabang dan beranastosmosis membentuk

circulus willisi.Arteri karotis interna dan eksterna bercaban dari arteri

karotis komunis yang berakhir pada arten serebri anterior dan arteri serebri

medial. Di dekat akhir arteri karotis interna, dari pembuluh darah ini keluar

arteri communicans posterior yang bersatu kearah kaudal dengan arteri

serebri posterior. Arteri serebri anterior saling berhubungan melalui arteri

communicans anterior. Arteri vertebralis kiri dan kana n berasal dari

arteria subklavia sisi yang sama. Arteria subklavia kanan merupakan cabang

13
dari arteria inominata, sedangkan arteri subklavia kiri merupakan cabang

langsung dari aorta. Arteri vertebralis memasuki tengkorak melalui foramen

magnum, setinggi perbatasan pons dan medula oblongata. Kedua arteri ini

bersatu membentuk arten basilaris (Wilson et.al 2002 dalam Alfiyah, 2018).

b. Peredaran Darah Vena

Aliran darah vena dari otak terutama ke dalam sinus-sinus duramater,

suatu saluran pembuluh darah yang terdapat di dalam struktur duramater.

Sinus-sinus duramater tidak mempunyai katup dan sebagian besar berbentuk

triangular. Sebagian besar vena cortex superfisial mengalir ke dalam sinus

longitudinalis superior yang berada di medial. Dua buah vena cortex yang

utama adalah vena anastomotica magna yang mengalir ke dalam sinus

longitudinalis superior dan vena anastomotica parva yang mengalir ke dalam

sinus transversus. Vena-vena serebri profunda memperoleh aliran darah dari

basal ganglia (Wilson et.al 2002 dalam Alfiyah, 2018).

2. Sistem Sensorik
Sistem sensorik yang kita miliki, mampu menerima sejumlah besar

informasi dari lingkungan. Rangsangan mencapai tubuh dalam berbagai

bentuk energi seperti elektromagnetik (rangsangan visual) atau energi

mekanik (rangsangan taktil). Berbagai reseptor sensorik atau sensor untuk

rangsangan ini secara klasik terdapat pada organ mata, telinga, kulit, lidah,

dan hidung sedangkan pada permukaan tubuh maupun didalam tubuh

terdapat pada propiosensor dan organ vestibular (keseirnbangan). Jalur

sistem sensorik ini memiliki empat elemen stimulasi yaitu modalitas,

intensitas, durasi dan lokalisasi. Setiap jenis sensor adalah memiliki stimulus

14
unik yang spesifik atau mampu membangkitkan modalitas sensorik tertentu

seperti penglihatan, suara, sentuhan, getaran, suhu, nyeri, rasa, bau, juga

posisi tubuh dan gerakan lain-lain. Masing-masing modalitas memiliki

submodalitas seperti rasa yang bisa manis ataupun pahit dan lain-lain

(Guyton & Hall, 2006).

Dimana potensi sensor itu perlahan-lahan beradaptasi menjadi sebanding

dengan intensitas stimulus (P sensor atau tonik sensor). Sensor merespon

dengan beradaptasi secara cepat hanya pada awal dan akhir dari stimulus.

Pada proses sentral pada fase pertama impuls inhibisi dan stimulasi

berkonduksi ke saraf pusat yang terintegrasi untuk meningkatkan kontras

rangsangan.

Dalam hal ini impuls stimulasi yang berasal dari sensor yang berdekatan

dilemahkan pada prosesnya (lateral inhibition). Pada fase kedua sebuah

kesan rangsangan sensorik mengambil bentuk dalam tingkat yang rendah

dari korteks sensoris dan hal ini merupakan langkah pertama fisiologi

sensorik secara subjektif. Kesadaran adalah sarat utama dalam proses ini.

Kesan sensorik akan diikuti dengan interpretasi dan hasil tersebut disebut

sebagai sebuah persepsi. Yang didasarkan pada pengalaman dan alasan dan

tunduk pada interpretasi individu (Guyton & Hall, 2006).

Sistem sensorik somatik menerima informasi primer dari reseptor

eksteroseptif dan proprioseptif. Didapatkan 4 subkelas mayor dari sensasi

somatik, yaitu (Lumbangtobing, 2015) :

15
a. Sensasi nyeri, yang dicetuskan oleh rangsang yang dapat menciderai

(noxious)

b. Sensasi suhu (termal), terdiri dari rasa panas dan rasa dingin

c. Rasa (sensasi) sikap, dicetuskan oeh perubahan mekanis di otot dan

persendian serta mencakup rasa sikap anggota gerak serta gerakan anggota

gerak (kinesthesia)

d. Sensasi (rasa) tekan, dicetuskan oleh stimulasi mekanis yang diber ikan

pada permukaan tubuh.

3. Sistem Motorik

Menurut Guyton dan Hall (2006), tentang bagian motorik dari sistem

saraf (efektor) menjelaskan bahwa peran terakhir yang paling penting dari

sistem saraf adalah untuk mengontrol berbagai kegiatan tubuh.

Hal ini dicapai dengan mengendalikan kontraksi yang tepat dari kerangka

otot-otot pada seluruh tubuh, kontraksi dari otot polos dalam organ internal,

dan sekresi zat kimia aktif oleh kedua kelenjar eksokrin dan endokrin di

banyak bagian tubuh. Kegiatan ini secara kolektif disebut fungsi motorik dari

sistem saraf, otot dan kelenjar yang disebut sebagai efektor karena mereka

merupakan struktur anatomi yang sebenarnya melakukan fungsi yang didikte

oleh sinyal saraf.

Hal ini menunjukkan bahwa axis saraf motorik kerangka dari sistem saraf

untuk mengontrol kontraksi otot rangka. Operasi sejajar dengan surnbu

ini merupakan sistem lain yang berbeda, yang disebut sistem saraf otonom

untuk mengendalikan otot halus, kelenjar, dan sistem internal tubuh lainnya.

Otot rangka dapat dikendalikan dari banyak tingkatan pada sistem saraf

16
pusat termasuk sumsung tulang belakang, subtansi reticular pada medula,

batang otak, dan mesenchepalon, basal ganglia, serebellum, dan korteks

motorik. Masing-masing area tersebut memainkan peran sendiri secara

spesifik, area yang lebih rendah terutama berkaitan dengan sistem otonom,

respon otot seketika untuk rangsangan sensorik, dan pada area yang lebih

tinggi untuk gerakan otot kompleks yang sengaja dikendalikan oleh proses

berpikir otak (Guyton & Hall, 2006).

Gerak volunter sederhana atau kompleks dapat dilaksanakan hanya oleh

struktur motor di otak besar, terutama korteks. Area korteks tepat di depan

sulcus sentralis adalah korteks motorik primer. Korteks motorik merupakan

asal dari neuron motorik atas (Upper Motor Neuron-UMN) milik jaras

kortikobulbar dan kortikospinal yang turun melalui kapsula interna dan jaras

(traktus) motorik, untuk meneruskan ke neuron motor bawah di batang otak

dan korda spinalis. Serabut kortikobulbar mengatur gerakan otot dalam

kepala (mata, wajah, lidah), serabut kortikospinal mengatur gerakan

dibadan dan tungkai.Neuron motorik merupakan sel saraf yang berfungsi

untuk membawa impuls dari otak atau sumsum tulang belakang menuju ke

efektor (otot atau kelenjar dalam tubuh). Neuron dendrit ini disebut neuron

penggerak karena neuron motor dendritnya berhubungan dengan akson lain,

sedangkan aksonnya berhubungan dengan efektor yang berupa otot atau

kelenjar.

Terdapat banyak jaras motorik yang turun dari korteks serebri dan batang

otak. Akan tetapi, untuk mengklasifikasi gangguan gerakan volunter, maka

UMN dapat dianggap sama dengan neuron yang badan selnya terletak di

17
korteks motorik dan akson-aksonnya berjalan dalam traktus kortikospinal

(piramidalis) untuk bersinaps dengan sel-sel kornuanterior. Neuron-neuron

ini dianggap sebagai substrat anatomis untuk inisiasi gerakan yang terencana,

terutama gerakan yang halus atau kompleks (Ginsberg, 2008).

Menurut Ginsberg (2008), lesi UMN juga berhubungan dengan pola

kelemahan yang khas. Lesi UMN lebih berhubungan dengan gerakan

volunter dan bukan otot secara terpisah-pisah, dimana UMN berada pada

tingkat organisasi sistem saraf yang lebih tinggi. Terminologi UMN pada

anggota gerak adalah kelemahan pada distribusi piramidalis. Dimana akan

terjadi kelemahan ekstensor yang lebih berat daripada fleksor, sedangkan

pada ekstremitas bawah kelemahan fleksor lebih berat. Sehingga, pada

pasien yang menderita hemiparesis setelah serangan stroke pada satu sisi

hemisfer serebri biasanya mengalami fleksi lengan dan ekstensi kaki pada

sisi kontralateral dari lesi.

18
BAB II

ANALISIS KEPUSTAKAAN BERDASARKAN KASUS

2.1 Kerangka Teori

19
2.2. Definisi Stroke
Stroke merupakan penyakit yang terjadi karena terganggunya

peredaran darah otak yang dapat menyebabkan kematian jaringan otak

sehingga mengakibatkan kelumpuhan bahkan kematian pada penderita

stroke, stroke dibagi menjadi dua jenis yaitu stroke hemoragik dan stroke

non hemoragik (Batticaca, 2008). Menurut World Health Organization

(WHO) dalam Muttaqin (2011) stroke didefinisikan sebagai penyakit yang

disebabkan oleh gangguan peredaran darah diotak yang terjadi secara

mendadak dengan tanda dan gejala klinik baik lokal maupun global yang

berlangsung selama 24 jam atau lebih yang dapat menyebabkan kematian.

Stroke Hemoragik merupakan perdarahan yang terjadi karena pecahnya

pembuluh darah pada daerah otak tertentu dan stroke non hemoragik

merupakan terhentinya sebagaian atau keseluruhan aliran darah ke otak

akibat tersumbatnya pembuluh darah otak (Wiwit, 2010).

Gambar 3. Klasifikasi Stroke

Sumber: Caplan, 2009

Secara luas stroke diklasifikasikan menjadi stroke iskemik yang

dapat ditemukan dalam 80-85% kasus stroke, serta stroke hemoragik yang

dapat ditemukan dalam 15-20% sisa stroke (Goldszmidt & Caplan, 2013).

20
Penentuan diagnosis stroke iskemik ataupun stroke hemoragik dapat

dilakukan dengan pemeriksaan Head CT Scan yang merupakan pemeriksaan

pasti untuk stroke (Gofir, 2009). Stroke dapat disebabkan oleh dislipidemia.

Dislipidemia merupakan jumlah lipid yang abnormal di dalam darah, seperti

adanya peningkatan kadar kolesterol total, peningkatan trigliserida, ataupun

penurunan kadar High Density Lipoprotein (HDL) (Khan et al., 2014).

Secara garis besar stroke berdasarkan patologinya dapat dibagi

menjadi stroke perdarahan (haemorhagic stroke) dan stroke non-perdarahan

(non haemorhagic stroke).

a. Hemorrhagic Stroke (HS)

Perdarahan intracerebrum ke dalam jaringan otak (parenkim) paling

sering terjadi akibat cedera vaskular yang dipicu oleh hipertensi dan ruptur

salah satu dari banyak arteri kecil yang menembus jauh ke dalam jaringan

otak. Biasanya perdarahan di bagian dalam jaringan otak menyebabkan

defisit neurologik fokal yang cepat dan memburuk secara progresif dalam

beberapa menit sampai kurang dari 2 jam (Ramadhanis, 2012). Stroke

perdarahan dibagi lagi menjadi dua yaitu:

1) Perdarahan intraserebral (PIS)

Perdarahan intraserebral disebabkan karena adanya pembuluh

darah intraserebral yang pecah sehingga darah keluar dari pembuluh

darah dan masuk ke dalam jaringan otak. Keadaan tersebut

menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial atau intraserebral

sehingga terjadi penekanan pada pembuluh darah otak sehingga

21
menyebabkan penurunan aliran darah otak dan berujung pada kematian

sel sehingga mengakibatkan defisit neurologi (Sasmika, 2016).

Perdarahan intraserebral (PIS) adalah perdarahan yang primer

berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan

disebabkan oleh trauma. Perdarahan ini banyak disebabkan oleh

hipertensi dan penyakit darah seperti hemofilia (Sasmika, 2016).

2) Perdarahan subarakhnoid (PSA)

Masuknya darah ke ruang subarakhnoid disebabkan oleh robeknya

aneurisma. Penyebab pecahnya aneurisma berhubungan dengan

ketergantungan dinding aneurisma yang bergantung pada diameter dan

perbedaan tekanan di dalam dan di luar aneurisma. Setelah pecah,

darah merembes ke ruang subarakhnoid dan menyebar ke seluruh otak

dan medula spinalis bersama cairan serebrospinalis. Darah ini selain

dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, juga dapat

melukai jaringan otak secara langsung oleh karena tekanan yang tinggi

saat pertama kali pecah, serta mengiritasi selaput otak (Ramadhanis,

2012).

b. Non Hemorrhagic Stroke (NHS)

Non hemorrhagic stroke (NHS) atau stroke iskemik terjadi

karena aliran darah ke otak berkurang karena sumbatan sehingga

oksigen yang sampai ke otak juga berkurang. Iskemik otak terjadi bila

aliran darah ke otak kurang dari 20 ml per 1000 gram otak per menit

(Junaidi, 2011).

22
Stroke iskemik secara umum diakibatkan oleh aterotrombosis

pembuluh darah serebral, baik yang besar maupun yang kecil. Pada

stroke iskemik, penyumbatan bisa terjadi di sepanjang jalur pembuluh

darah arteri yang menuju ke otak. Suatu ateroma (endapan lemak) bisa

terbentuk di dalam pembuluh darah arteri karotis sehingga

menyebabkan berkurangnya aliran darah. Keadaan ini sangat serius

karena setiap pembuluh darah arteri karotis dalam keadaan normal

memberikan darah ke sebagian besar otak. Endapan lemak juga bisa

terlepas dari dinding arteri dan mengalir di dalam darah kemudian

menyumbat arteri yang lebih kecil (Yueniwati, 2016). Stroke iskemik

dapat diklasifikasikan menjadi:

1) Transient Ischemic Attack (TIA):

Serangan stroke sementara yang gejala defisit neurologisnya hanya

berlangsung kurang dari 24 jam.

2) Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND):

Kelainan atau gejala neurologis akan menghilang antara lebih dari

24 jam sampai dengan 21 hari.

3) Progressing stroke atau stroke in evolution:

Gejala klinisnya secara bertahap akan berkembang dari yang

ringan sampai semakin berat.

4) Stroke komplit atau completed stroke:

Defisit neurologis yang sudah menetap dan sudah tidak

berkembang lagi.

23
2.3 Etiologi
Penyakit stroke sering dianggap sebagai penyakit monopoli orang tua.

Dulu, stroke hanya terjadi pada usia tua mulai 60 tahun, namun sekarang

mulai usia 40 tahun seseorang sudah memiliki risiko stroke, meningkatnya

penderita stroke usia muda lebih disebabkan pola hidup, terutama pola makan

tinggi kolesterol. Berdasarkan pengamatan di berbagai rumah sakit, justru

stroke di usia produktif sering terjadi akibat kesibukan kerja yang

menyebabkan seseorang jarang olahraga, kurang tidur, dan stres berat yang

juga jadi faktor penyebab (Dourman, 2013).

Gaya hidup sering menjadi penyebab berbagai penyakit yang menyerang

usia produktif, karena generasi muda sering menerapkan pola makan yang

tidak sehat dengan seringnya mengkonsumsi makanan tinggi lemak dan

kolesterol tapi rendah serat. Selain banyak mengkonsumsi kolesterol, mereka

mengkonsumsi gula yang berlebihan sehingga akan menimbulkan kegemukan

yang berakibat terjadinya penumpukan energi dalam tubuh (Dourman, 2013).

Stroke Hemoragik, yang merupakan sekitar 15% sampai 20% dari semua

stroke, dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur

sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subarakhnoid atau langsung ke

dalam jaringan otak.

Sedangkan faktor risiko yang dapat dimodifikasi merupakan faktor

yang dapat dicegah terjadinya stroke dimana faktor risiko ini dipengaruhi oleh

banyak hal terutama perilaku sehai-hari antara lain stres, hipertensi, DM,

merokok, kadar kolesterol dalam darah yaitu :

24
1. Faktor yang Tidak Dapat Dimodifikasi

a. Usia

Stroke dapat terjadi pada semua orang dan pada semua usia,

termasuk anak-anak. Kejadian penderita stroke iskemik biasanya

berusia lanjut (60 tahun keatas) dan resiko stroke meningkat seiring

bertambahnya usia dikarenakan mengalaminya degeneratif organ-

organ dalam tubuh (Nurafif et al/, 2013). Sedangkan menurut Pinzon

dan Asanti (2010) stroke dapat terjadi pada semua usia, namun lebih

dari 70% stroke terjadi pada usia di atas 65 tahun. Perubahan struktur

pembuluh darah karena penuaan dapat menjadi salah satu faktor terjadi

serangan stroke (Masood et al., 2010).

b. Jenis Kelamin

Pria memiliki kecenderungan lebih besar untuk terkena stroke pada

usia dewasa awal dibandingkan dengan wanita dengan perbandingan

2:1. Insiden stroke lebih tinggi terjadi pada laki laki daripada

perempuan dengan rata-rata 25%-30% Walaupun para pria lebih rawan

daripada wanita pada usia yang lebih muda, tetapi para wanita akan

menyusul setelah usia mereka mencapai menopause. Hal ini, hormon

merupakan yang berperan dapat melindungi wanita sampai mereka

melewati masa-masa melahirkan anak (Burhanuddin et al., 2012).

Usia dewasa awal (18 sampai 40 Tahun) perempuan memiliki

peluang yang sama juga dengan laki-laki untuk terserang stroke. Hal

ini membuktikan bahwa resiko laki-laki dan perempuan untuk

terserang stroke pada usia dewasa awal adalah sama. Pria memiliki

25
risiko terkena stroke iskemik atau perdarahan intra sereberal lebih

tinggi sekitar 20% daripada wanita. Namun, wanita memiliki resiko

perdarahan subaraknoid sekitar 50%. Sehingga baik jenis kelamin laki-

laki maupun perempuan memiliki peluang yang sama untuk terkena

stroke pada usia dewasa awal 18 sampai 40 Tahun (Handayani, 2013).

2. Faktor yang Dapat Dimodifikasi

a. Stres

Pengaruh stres yang dapat ditimbulkan oleh faktor stres pada

proses aterisklerosis melalui peningkatan pengeluaran hormon seperti

hormon kortisol, epinefrin, adernalin dan ketokolamin. Dikeluarkanya

hormon kartisol, hormon adernalin atau hormon kewaspadaan lainya

secara berlebihan akan berefek pada peningkatan tekanan darah dan

denyut jantung. Sehingga bila terlalu sering dapat merusak dinding

pembuluh darah dan menyebabkan terjadinya plak. Jika sudah

terbentuk plak akan menghambat atau berhentinya peredaran darah ke

bagian otak sehingga menyebabkan suplai darah atau oksigen tidak

adekuat (Junaidi, 2011).

b. Hipertensi

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah di atas normal

dimana tekanan darah sistolik diatas 140 mmHg dan tekanan distolik

diatas 90 mmHg. Hipertensi dapat mengakibatkan pecahnya maupun

menyempitnya pembuluh darah otak, sedangkan penyempitan

pembuluh darah dapat mengurangi suplai darah otak dan menyebabkan

kematian sel-sel otak. Hipertensi mempercepat pengerasan dinding

26
pembuluh darah arteri dan mengakibatkan penghancuran lemak pada

sel otot polos sehingga mempercepat proses aterosklerosis melalui efek

penekanan pada sel endotel atau lapisan dalam dinding arteri yang

berakibat pembentukan plak pada pembuluh darah semakin cepat

(Junaidi, 2011).

Menurut Burhanuddin (2012) mengemukakan hipertensi sering

disebut sebagai penyebab utama terjadinya stroke. Hal ini disebabkan

peningkatan tekanan darah dapat menyebabkan pecahnya pembuluh

darah yang dapat mengakibatkan terjadinya stroke. Hipertensi

menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah karena adanya

tekanan darah yang melebihi batas normal dan pelepasan kolagen.

Endotel yang terkelupas menyebabkan membran basal bermuatan

positif menarik trombosit yang bermuatan negatif sehingga terjadi

agregasi trombosit. Selain itu, terdapat pelepasan trombokinase

sehingga menyebabkan gumpalan darah yang stabil dan bila pembuluh

darah tidak kuat lagi menahan tekanan darah yang tinggi akan berakibat

fatal pecahnya pembuluh darah pada otak maka terjadilah stroke.

c. Diabetes Mellitus

Diabetes melitus mer up ak a n sa la h sat u pe m ic u ya n g

mempercepat terjadinya arteriskelorosis baik pada pembuluh darah

kecil maupun pembuluh darah besar atau pembuluh darah otak dan

jantung. Kadar glukosa darah akan menghambat aliran darah

dikarenakan pada kadar gula darah tinggi terjadinya pengentalan

darah sehingga menghambat aliran darah ke otak. Hiperglikemia dapat

27
menurunkan sintesis prostasiklin yang berfungsi melebarkan saluran

arteri, meningkatkanya pembentukan trombosis dan menyebabkan

glikolisis protein pada dinding arteri (Wang et al., 2013).

Diabetes melitus juga dapat menimbulkan perubahan pada sistem

vaskular (pembuluh darah dan jantung), diabetes melitus mempercepat

terjadinya aterosklerosis yang lebih berat, lebih tersebar sehingga risiko

penderita stroke meninggal lebih besar.

Pasien yang memiliki riwayat diabetes melitus dan menderita

stroke mungkin diakibatkan karena riwayat diabetes melitus

diturunkan secara genetik dari keluarga dan diperparah dengan pola

hidup yang kurang sehat seperti banyak mengkonsumsi makanan yang

manis dan makanan siap saji yang tidak diimbangi dengan berolahraga

teratur atau cenderung malas bergerak (Burhanuddin et al., 2012).

d. Hiperkolestrolemia

Secara alamiah tubuh kita lewat fungsi hati membentuk kolesterol

sekitar 1000 mg setiap hari dari lemak jenuh. Selain itu, tubuh banyak

dipenuhi kolesterol jika mengkonsumsi makanan berbasis hewani,

kolesterol inilah yang menempel pada permukaan dinding pembuluh

darah yang semakin hari semakin menebal dan dapat menyebabkan

penyempitan dinding pembuluh darah yang disebut aterosklerosis. Bila

di daerah pembuluh darah menuju ke otot jantung terhalang karena

penumpukan kolesterol maka akan terjadi serangan jantung. Sementara

bila yang tersumbat adalah pembuluh darah pada bagian otak maka

sering disebut stroke (Burhanuddin et al., 2012). Kolestrol merupakan

28
zat di dalam aliran darah di mana semakin tinggi kolestrol semakin

besar kolestrol tertimbun pada dinding pembuluh darah. Hal ini

menyebabkan saluran pembuluh darah menjadi lebih sempit sehingga

mengganggu suplai darah ke otak. Hiperkolestrol akan meningkatkanya

Low Density Lipid (LDL-lemak jahat) yang akan mengakibatkan

terbentuknya aterosklerosis yang kemudian diikuti dengan penurunan

elastisitas pembuluh darah yang akan menghambat aliran darah

(Junaidi, 2011).

e. Merokok

Merokok adalah salah satu faktor resiko terbentuknya lesi

aterosklerosis yang paling kuat. Nikotin akan menurunkan aliran darah

ke ekstremitas dan meningkatkan frekuensi jantung atau tekanan darah

dengan menstimulasi sistem saraf simpatis. Merokok dapat

menurunkan elastisitas pembuluh darah yang disebabkan oleh

kandungan nikotin di rokok dan terganggunya konsentrasi fibrinogen,

kondisi ini mempermudah terjadinya penebalan dinding pembuluh

darah dan peningkatan kekentalan darah (Burhanuddin et al, 2012).

Aterosklerosis dapat menyebabkan pembuluh darah menyempit

dan aliran darah yang lambat karena terjadi viskositas (kekentalan).

Sehingga dapat menimbulkan tekanan pembuluh darah atau

pembekuaan darah pada bagian dimana aliran melambat dan

menyempit. Merokok meningkatkan juga oksidasi lemak yang berperan

pada perkembangan aterosklerosis dan menurunkan jumlah HDL

(kolestrol baik) atau menurunkan kemampuan HDL dalam

29
menyingkirkan kolesterol LDL yang berlebihan (Burhanuddin et al.,

2012).

f. Konsumsi Alkohol

Alkohol merupakan faktor resiko untuk stroke iskemik dan

kemungkinan juga terkena serangan stroke hemoragik. Minuman

beralkohol dalam waktu 24 jam sebelum serangan stroke merupakan

faktor resiko untuk terjadinya perdarahan subarakhnoid. Alkohol

merupakan racun untuk otak dan apabila seseorang mengkonsumsi

alkohol akan mengakibatkan otak akan berhenti berfungsi

(Burhanuddin et al., 2012).

2.4 Epidemiologi
Kasus stroke di Indonesia banyak terjadi pada penduduk tua, namun

dalam beberapa kasus terakhir terdapat peningkatan kasus stroke pada usia

remaja dan produktif berkaitan dengan peningkatan perilaku berisiko terhadap

stroke. Perbandingan kasus stroke pada penduduk muda dan penduduk usia 65

tahun adalah 3: 10 atau sekitar 28% kasus stroke dialami oleh penduduk muda

(Tjikoe dkk., 2014).

Jumlah penderita penyakit stroke di Indonesia tahun 2013 berdasarkan

diagnosis tenaga kesehatan (nakes) diperkirakan sebanyak 1.236.825 orang

(7,0%), sedangkan berdasarkan diagnosis nakes/gejala diperkirakan sebanyak

2.137.941 orang (12,1%). Berdasarkan diagnosis nakes maupun diagnosis/

gejala, Provinsi Jawa Barat memiliki estimasi jumlah penderita terbanyak yaitu

sebanyak 238.001 orang (7,4%) dan 533.895 orang (16,6%), sedangkan

Provinsi Papua Barat memiliki jumlah penderita paling sedikit yaitu sebanyak

30
2.007 orang (3,6%) dan 2.955 orang (5,3%) (Badan Litbangkes Kementrian

Kesehatan RI dan Data Penduduk Sasaran, Pusdatin Kementrian kesehatan RI.,

2013).

Tabel 1. Jumlah Penderita Penyakit Stroke di Indonesia

% Estimasi
Diagnosis
Nakes Diagnosis/ Estimasi Jumlah
No. Provinsi
Gejala (D/G) Jumlah Absolut (D/G)
Absolut (D)
1 Aceh 10,8 14,.9 34.313 47.339
2 Sumatera Utara 10,3 16,9 92.078 151.080
3 Sumatera Barat 9,7 14,6 33.249 50.045
4 Riau 9,7 14,6 39.839 59.964
5 Jambi 9,2 14,5 21.276 33.534
6 Sumatera Selatan 9,1 16,0 49.865 87.676
7 Bengkulu 8,3 12,3 10.369 15.366
8 Lampung 7,7 12,3 42.815 68.393
9 Kep. Bangka Belitung 7,7 10,0 7.275 9.448
10 Kep. Riau 7,6 8,5 10.404 11.636
11 DKI Jakarta 7,4 12,2 56.309 92.833
12 Jawa Barat 7,4 16,6 238.001 533.895
13 Jawa Tengah 7,1 17,9 171.035 431.201
14 DI Yogyakarta 7,0 9,4 19.440 26.106
15 Jawa Timur 6,6 10,5 190.449 302.987
16 Banten 6,6 12,0 53.289 96.888
17 Bali 6,2 12,1 19.022 37.123
18 NTB 6,0 10,3 19.216 32.988
19 NTT 5,9 15,5 18.388 48.307
20 Kalimantan Barat 5,8 8,2 17.821 25.195
21 Kalimantan Tengah 5,3 8,9 8.524 14.313
22 KalimantanSelatan 3,2 7,8 14.156 21.234
23 Kalimantan Timur 5,1 9,6 14.043 26.434
24 Sulawesi Utara 4,8 8,8 8.154 14.950
25 Sulaweai Tengah 4,6 10,7 8.561 19.913
26 Sulawesi Selatan 4,5 9,6 25.825 55.094
27 Sulawesi Tenggara 4,2 5,2 6.466 8.005
28 Gorontalo 4,2 12,1 3.170 9.132
29 Sulawesi Barat 4,2 8,7 3.363 6.966
30 Maluku 4,2 5,8 4.459 6.158
31 Maluku Utara 3,7 5,4 2.657 3.878
32 Papua Barat 3,6 5,3 2.007 2.955
33 Papua 2,3 9,4 4.943 20.200

31
INDONESIA 7,0 12,1 1.236.825 2.137.941

Sumber :Diolah berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar 2013, Badan Litbangkes Kementrian
Kesehatan RI dan Data Penduduk Sasaran, Pusdatin Kementrian Kesehatan RI

Peningkatan signifikan
Menurut dari kasus
data riskesdas stroke,
2018, disajikan
prevalensi dalam
stoke grafik
dadi berikut:
tahun 2013 ke 2018

Gambar 4. Prevalensi stroke permil berdasarkan diagnosis pada penduduk umur > 15 tahun
menurut provinsi, 2013-2018.
Sumber: Diolah berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar 2018, Badan Litbangkes Kementrian
Kesehatan RI dan Data Penduduk Sasaran, Pusdatin Kementrian Kesehatan RI.

Dari grafik diatas, dapat dilihat bahwa setiap povinsi yang terdaftar

memiliki prevalensi penyakit stroke lebih tinggi di setiap daerah pada tahun

2018, dibandingkan kasus stroke yang terjadi tahun 2013. Peningkatan

tertinggi terjadi pada provinsi Kalimantan timur dengan 14.7 permil.

2.5 Patomekanisme
Setiap kondisi yang menyebabkan perubahan perfusi darah pada otak

akan menyebabkan keadaan hipoksia. Hipoksia yang lama dapat

menyebabkan iskemik pada otak. Iskemik yang terjadi pada waktu yang

singkat kurang dari 10-15 menit dapat menyebabkan defisit sementara dan

bukan defisit permanen. Sedangkan iskemik yang terjadi dalam waktu yang

lama dapat menyebabkan kematian sel permanen dan mengakibatkan infark

32
pada otak. Setiap defisit fokal permanen akan bergantung pada daerah otak

mana yang terkena. Daerah otak yang terkena akan menggambarkan

pembuluh darah otak yang terkena. Pembuluh darah yang paling sering

mengalami iskemik adalah arteri serebral tengah dan arteri karotis interna.

Defisit fokal permanen dapat tidak diketahui jika klien pertama kali

mengalami iskemik otak total yang dapat teratasi (Batticaca, 2008).

Jika aliran darah ke tiap bagian otak terhambat karena disebabkan

trombus atau emboli, maka mula terjadi kekurangan suplai oksigen ke

jaringan otak. Kekurangan oksigen dalam waktu satu menit dapat

menunjukkan gejala yang dapat pulih seperti kehilangan kesadaran.

Sedangkan kekurangan oksigen dalam waktu yang lebih lama dapat

menyebbkan nekrosis mikroskopis neuron-neuron. Area yang mengalam

nekrosis disebut infrak (Batticaca, 2008).

Gangguan peredaran darah otak akan menimbulkan ganguan pada

metabolisme sel-sel neuron, dimana sel-sel neuron tidak mampu menyimpan

glikogen sehingga kebutuhan metabolisme tergantung dari glukosa dan

oksigen yang terdapat pada arteri-arteri yang menuju otak (Batticaca, 2008).

Perdarahan intrakranial termasuk perdarahan ke dalam ruang subarakhnoid

atau ke dalam jaringan otak sendiri. Hpertensi menyebabkan timbulnya

penebalan dan degeneratif pembuluh darah yang dapat menyebabkan

rupturnya arteri serebral sehingga perdarahan menyebar dengan cepat dan

menmbulkan perubahan setempat serta iritasi pada pembuluh darah di otak.

Perdarahan biasanya terhenti karena pembentukan trombus oleh fibrin

trombosis dan oleh tekanan jaringan. Setelah 3 minggu, darah mulai

33
direabsorbsi. Ruptur ulang merupakan resiko serius yang terjadi sekitar 7-10

hari setelah perdarahan pertama (Batticaca, 2008).

Ruptur ulang mengakibatkan terhentinya aliran darah ke bagian

tertentu, menimbulkan iskemk fokal, dan infrak jaringan otak. Hal tersebut

dapat menimbulkan gagar otak dan kehilangan kesadaran, peningkatan

tekanan cairan serebrospinal (CSS), dan dapat menyebabkan gesekan otak

(otak terbelah sepanjang serabut). Perdarahan mengisi ventrikel atau

hematoma yang merusak jaringan otak (Batticaca, 2008). Perubahan sirkulasi

CSS, obstruksi vena, adanya edema dapat meningkatkan tekanan intrakranial

yang membahayakan jiwa dengan cepat. Peningkatan tekanan intrakranial

yang tidak diobati mengakibatkan herniasi unkus atau cerebellum. Di

samping itu, terjadi bradikarda, hipertensi sistemik, dan gangguan pernafasan

(Batticaca, 2008). Darah merupakan bagian yang merusak dan bila terjadi

hemodialisa, darah dapat mengiritasi pembuluh darah, meningen dan otak.

Darah dan vasoaktif yang dilepas mendorong spasme arteri yang

mengakibatkan meurunnya perfusi serebral. Spasme serebri atau vasospasme

bisa terjadi 23 pada hari ke-4 sampai hari ke-10 setelah terjadinya perdarahan

dan menyebabkan konstriksi arteri otak. Vasospasme merupakan komplikasi

yang mengakibatkan terjadinya penurunan fokal neurologis, iskemik otak,

dan infrak (Batticaca, 2008).

Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi di mana saja di

dalam arteri-arteri yang membentuk Sirkulus Willisi: arteria karotis interna

dan sistem vertebrobasilar atau semua cabang-cabangnya. Perlu diingat

bahwa oklusi di suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark di daerah otak

34
yang diperdarahi oleh arteri tersebut. Alasannya adalah bahwa mungkin

terdapat sirkulasi kolateral yang memadai ke daerah tersebut. Proses

patologik yang mendasari mungkin salah satu dari berbagai proses yang

terjadi di dalam pembuluh darah yang memperdarahi otak. Patologinya dapat

berupa (1) keadaan penyakit pada pembuluh itu sendiri, seperti pada

aterosklerosis dan trombosis, robeknya dinding pembuluh, atau peradangan;

(2) berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok

atau hiperviskositas darah; (3) gangguan aliran darah akibat bekuan atau

embolus infeksi yang berasal dari jantung atau pembuluh ekstrakranium; atau

(4) ruptur vaskular di dalam jaringan otak atau ruang subaraknoid (Price et

al., 2006).

Terjadinya gangguan pada peredaran darah di otak mengakibatkan

cedera otak yang terjadi dalam beberapa mekanisme yaitu pecahnya dinding

pembuluh darah yang akan mengakibatkan hemoragik, terjadinya penebalan

pembuluh darah yang mengakibatkan penyempitan sehingga aliran darah tidak

adekuat yang selanjutnya menjadi iskemik, terjadinya pembesaran

sekelompok atau satu pembuluh darah yang akan menekan jaringan otak

(Smeltzer & Bare, 2010).

Terjadinya penyempitan pembuluh darah di otak bermula dari

perubahan pada aliran darah dan menjadi stenosis yang cukup hebat sehingga

melampaui batas krisis yang menjadikanpengurangan darah secara drastis dan

cepat. Obstruksi pada pembuluh darah arteri di otak akan mengakibatkan

reduksi disuatu area jaringan otak normal sehingga masih mempunyai

peredaran darah yang baik akan membatu supalai darah melalui jalur

35
anastomis. Perubahan pada bentuk akibat oklusi pembuluh darah awalnya

ialah gelap pada darah vena, dilatasi arteri, penurunan kecepatan aliran darah

(AHA, 2015).

2.6 Manifestasi Klinik


1. Kelumpuhan Anggota Gerak

Kelumpuhan anggota gerak umum dijumpai pada pasien penderita

stroke. Bila seseorang tiba-tiba merasa kehilangan kekuatan pada salah

satu lengan dan tungkai atau lengan dan tungkai pada satu sisi, pikirkanlah

ini sebagai gejala stroke. Gangguan peredaran darah otak disebelah kanan

akan menyebabkan kelemahan anggota gerak sebelah kiri. Sebaliknya,

gangguan pada otak sebelah kiri akan menyebabkan kelemahan anggota

gerak sebelah kanan (Pinzon & Asanti, 2010).

2. Asimetris Wajah

Asimetris wajah juga merupakan gejala yang sering muncul pada

penderita stroke. Asimetris wajah pada stroke muncul akibat terganggunya

saraf otak nomor 7 di sentral. Asimetris wajah pada stroke bisa berdiri

sendiri atau bersama dengan gejala yang lain, misalnya bicara pelo atau

kelemahan anggota gerak (Pinzon & Asanti, 2010).

3. Gangguan Bicara

Pasien stroke dapat pula menunjukkan gejala bicara tidak jelas

(pelo) atau tidak dapat berbicara (afasia). Hal ini pada umumnya

disebabkan oleh karena kelumpuhan saraf otak nomor 12 atau lobus

frontal-temporal di otak (Pinzon & Asanti, 2010).

36
4. Pusing Berputar

Pusing berputar atau vertigo adalah salah satu gejala stroke. Pusing

berputar dapat disertai dengan gejala mual atau muntah ataupun tidak.

Gangguan pada keseimbangan saraf otak kecil atau serebellum akan

menimbulkan gejala pusing berputar. Gejala pusing berputar dapat pula

disertai dengan gejala lain, misalnya bicara pelo dan gangguan koordinasi

(Pinzon & Asanti, 2010).

5. Nyeri Kepala

Nyeri kepala merupakan keluhan yang umum dijumpai. Hampir

semua orang mengalami nyeri kepala. Pada lebih dari 95% kasus, nyeri

kepala bersifat primer dan dihubungkan dengan ketegangan otot atau

migren. Pada 5% kasus, nyeri kepala disebabkan oleh sakit sekunder

termasuk diantaranya adalah stroke (Pinzon & Asanti, 2010).

6. Penurunan Kesadaran

Kesadaran manusia dipertahankan oleh sebuah sistem di otak yang

disebut ARAS (Asending Reticular Activating System). Sistem ini

berfungsi untuk membuat seseorang tetap terjaga. Pada kasus stroke yang

langsung mengenai pusat sistem kesadaran atau mendesak sistem pusat

kesadaran dapat dijumpai penurunan kesadaran. Kasus stroke dengan

penurunan kesadaran biasanya akibat stroke perdarahan (Pinzon & Asanti,

2010).

Price and Wilson (2006), mengemukakan tanda dan gejala stroke

tergantung pada arteri serebral yang mengalami perdarahan maupun

37
sumbatan yang disebut dengan sindrome neurovaskular. Berikut tanda dan

gejala berdasarkan pembuluh arteri yang terkena :

1. Sindrome Arteri Karotis Interna

Manifestasi yang muncul pada sindrome ini yaitu paralisis

kontralateral pada wajah, lengan dan tungkai, defisit sensori kontra

lateral pada wajah, lengan dan tungkai, afasia (jika hemisfer cenderung

terkena), apraksia, agnosia, unilateral neglect (jika hemisfer non

dominan terkena), homonimous hemianophia (Price and Wilson,

2006).

2. Sindrome Arteri Serebri Media

Arteri serebri media lebih sering mengalami penyumbatan dan

menyebabkan infrak luas pada hemisfer yang diperdarahinya. Gejala

awalnya adalah muntah dan dengan cepat pasien mengalami koma.

Terjadi edema yang luas. Gejala sindrome ini termasuk ; hemiparesis

wajah, lengan dan tungkai sisi kontralateral, lengan lebih berat

dibanding tungkai. Gangguan sensori pada sisi yang sama dengan

hemiparesis, afasia global, dan hemianopsia (kebutaan) (Price and

Wilson, 2006).

3. Sindrom Arteri Serebri Anterior

Sindrom ini lebih jarang terjadi. Gejala utamanya adalah

kebingungan, selain itu ada pula gejala lain sebagai berikut; paralisis

tungkai, gangguan pola jalan, defisit sensorik kontralateral, demensia,

gerakan menggenggam dan reflek patologik (Price and Wilson, 2006).

d. Sindrome arteri posterior Koma, hemiparesis kontra lateral, afasia

38
visual atau buta kata (alteleksia), kelumpuhan saraf kranialis ketiga :

hemianopsis (Price and Wilson, 2006).

4. Sindrom Sistem Vertebrobasiler

Kelumpuhan ekstremitas, ataksia, tremor, vertigo, disfagia,

disartria, sinkop, stupor, koma, pusing, gangguan daya ingat,

disorientasi, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, rasa baal

diwajah, mulut dan lidah (Price and Wilson, 2006).

2.7 Pemeriksaan dan Penegakan Diagnosis


Berikut pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa :

1. Pemeriksaan Fisik

a) Pengukuran Nyeri

Perameter yang penulis gunakan yaitu menggunakan Visual

Analogue Scale (VAS) adalah pengukuran instrumen pengukuran nyeri

yang paling banyak dipakai dalam berbagai studi klinis dan diterapkan

terhadap berbagai jenis nyeri. Terdiri dari satu garis lurus sepanjang 10

cm. Garis paling kiri menunjukkan tidak ada rasa nyeri sama sekali,

sedangkan garis paling kanan menandakan rasa nyeri yang paling buruk.

Kepada pasien dimintakan untuk memberikan garis tegak lurus yang

menandakan derajat beratnya nyeri yang dirasakannya. Pengukuran

dengan VAS pada nilai 0 dikatakan sebagai tidak nyeri, nilai antara 1-3

dinyatakan sebagai nyeri ringan, nilai antara 4-6 dikatakan sebagai nyeri

sedang, nilai antara 7-9 dinyatakan sebagia nyeri berat terkontrol dan

nilai 10 dianggap sebagai nyeri hebat tidak terkontrol (Deldago et al,

2018)

39
b) Pemeriksaan Kekuatan otot

Kekuatan otot dapat diukur dengan manual muscle test (MMT). MMT

telah digunakan selama lebih dari satu abad. Pengukuran ini melibatkan

observasi, palpasi, dan pengaplikasian tahanan oleh pemeriksa untuk

menentukan kekuatan aksi otot. Ada tidaknya gerakan, palpasi dan

observasi digunakan untuk melihat apakah otot-otot berkontraksi

maksimal (Bahannon, 2019).

Tabel 2. Kriteria Kekuatan Otot

Grade Description

0 No muscle action notable by observation or palpation

1 Muscle action observed but no movement noted

1+ With gravity eliminated, movement observed through < 50% of range

2- With gravity eliminated, movement observed through > 50% of range

2 With gravity eliminated, movement observed through full range

2+ Against gravity, movement observed through <50% of range

3- Against gravity, movement observed through >50% of range

3 Against gravity, movement observed through full range and test position held

3+ As 3 but able to hold against minimum break force.

4- As 3 but able to hold against near moderate break force.

4 As 3 but able to hold against moderate break force.

4+ As 3 but able to hold against near maximum break force.

40
5 As 3 but able to hold against maxumum break force.
c) Inspeksi

Inspeksi merupakan suatu pemeriksaan, dimana pemeriksaan

tersebut memlihat pasien secara langsung dan mengidentifikasi tanda –

tanda dari keluhan yang pasien alami. Pemeriksaan inspeksi ada dua,

yaitu secara statis dan dinamis. Inspeksi statis merupakan inspeksi yang

dilakukan saat pasien tidak bergerak atau dalam keadaan diam,

sedangkan inspeksi dinamis merupakan inspeksi yang dilakukan saat

pasien bergerak. Inspeksi secara statis kondisi umum pasien baik,

ekspresi wajah pasien tidak menahan rasa sakit. Inspeksi secara dinamis

terlihat abnormal postur saat berjalan, yaitu pasien memapah tangan

dengan bantuan tangan kiri.

d) Palpasi

Palpasi adalah alat pemeriksaan terampil yang melibatkan sentuhan

fisik untuk menilai berbagai karakteristik fisik seperti detak jantung,

kelainan bentuk tulang, tissue tenderness, suhu jaringan, ketegasan,

bentuk jaringan. Palpasi kulit digunakan untuk menentukan tekstur kulit,

suhu, perbedaan keringat, keratosis, nyeri, dan indurasi. Fisioterapis

menggunakan palpasi untuk mendeteksi perubahan suhu akibat

peradangan yang berhubungan dengan gangguan muskuloskelet (Levine,

2018).

41
e) Pemeriksaan Gerak Dasar

Pemeriksaan gerak adalah pemeriksaan dengan cara melakukan

gerakan yang terdiri dari gerakan pasif, aktif dan isometrik melawan

tahanan.

2.8 Diagnosa Banding


1. Monoplegia : kelemahan atau kelumpuhan otot-otot salah satu anggota

gerakl karena lesi kecil di kapsula interna atau korteks motoric. Istilah

monoplegi tidak digunakan untuk kelumpuhan atau kelemahan

sekelompok otot yang disarafi oleh suatu saraf tepi.

2. Diplegia : kelumpuhan atau kelemahan otot-otot anggota gerak berikut

wajah kedua belah sisi, karena lesi vascular bilateral dikapsula interna

atau korteks motorik.

3. Tetraplegia atau quadriplegia : kelumpuhan atau kelemahan otot-otot

keempat anggota gerak yang biasanya terjadi akibat lesi bilateral atau

transversal di medulla setinggi cervical.

4. Paraplegia : kelumpuhan kedua tungkai akibat lesi bilateral atau

transversal di medulla spinalis di bawah tingkat servikal.

5. Paralis non-neurogik : kelumpuhan atau kelemahan otot karena lesi di

motor end plate atau lesi structural atau biokimiawi pada otot.

2.9 Penatalaksaan Fisioterapi


Pemberian modalitas fisioterapi berbeda, bergantung pada kondisi

pasien dan waktu dari terjadinya cedera. Berikut merupakan protokol dari

penanganan fisioterapi:.

42
a. Elektro Terapi

Elektro terapi yang digunakan pada kondisi ini adalah

Continuous Electro Magnetic 27 MHz (CEM), merupakan arus AC yang

memproduksi energy elektromagnetik dengan panjang gelombang 11,6

meter. Arus ini digunakan untuk menimbulkan efek terapeutik melalui

suatu proses dalam jaringan tubuh. Arus ini menghasilkan energy

internal kinetika di dalam jaringan tubuh sehingga timbul panas; energy

ini akan menimbulkan pengaruh biofisika tubuh misalnya thermosensor

local maupun sentral (kulit dan hipotalamus) dan juga terhadap struktur

persendian. Tujuan yang diharapkan dari arus ini adalah menurunkan

aktifitas noxe sehingga nyeri berkurang, meningkatkan elastisitas

jaringan dan sebagai pendahuluan sebelum diberikan exercise (Aras &

Gondo, 2017).

Adapun penelitian yang dilakukan Alp, et al., 2018 untuk

gangguan pergerakan spastik selama berjalan adalah masalah yang

kompleks karena memiliki banyak komponen yang terkait dengan

perubahan kualitatif dalam sifat mekanik otot, seperti kelemahan dan

peningkatan kekauan otot yang memengaruhi kecepatan dan fungsi

berjalan. Prosedur Whole Body Vibration (WBV) Therapy ditemukan

berguna dalam mengurangi spastik pada otot tungkai pada cerebral palsy

tetapi tidak ada bukti yang cukup mendukung menggunakannya dalam

spastik pasca stroke. WBV diasumsikan menerapkan frekuensi rendah

amplitude rendah (antara 2-4 mm dan 30-50 Hz, resp). Stimulus getaran

menggunakan perangkat amechanical dan menghasilkan input Ia dengan

43
mengaktifkan spindle otot. Input Ia dapat mengubah rangsangan jalur

kortikospinal dengan memodulasi fasilitasi pensinyalan. Hasil ini

diyakini memicu kontraksi otot dengan menstimulasi spindle otot dan

alfa motor neuron yang menghasilkan efek yang mirip dengan latihan

fisik sehingga dimasukkan sebagai metode latihan kekuatan. Osilasi

mekanik yang ditentukan oleh amplitudo dan frekuensi menghasilkan

gaya yang bekerja pada seluruh tubuh. Diasumsikan juga bahwa WBV

amplitude rendah dapat digunakan untuk pelatihan poprioseptif dan

keseimbangan dengan cara meningkatkan fungsi saraf. Bukti

menunjukkan bahwa terapi WBV dengan latihan isometric menjadi

pilihan terapi alternatif dalam rehabilitasi gaya berjalan dan hasil

fungsional pasien dengan spastik otot betis

b. Terapi Manipulasi

Terapi manipulasi yang diberikan adalah gerakan roll and

slidepada gerakan-gerakan sendi bahu yang mengalami keterbatasan.

Tujuan metode ini adalah membebaskan perlengketan pada permukaan

sendi sehingga jarak gerak sendi akan bertambah. Dasar teknik ini

adalah memperhatikan bentuk kedua permukaan sendi dan mengikuti

aturan Hukum Konkaf dan Konveks suatu persendian (Aras & Gondo,

2017).

c. Exercise Therapy

Exercise yang diberikan pada kondisi ini adalah latihan

Resistance Exercise dan Metode Proprioceptive Neuromuscular

44
Fascilitation (PNF) yang bertujuan meningkatkan kekuatan otot baik

manual maupun dengan menggunakan beban (Aras & Gondo, 2017).

Selain itu, diberikan latihan ROM (Range Of Motion). Pada fase awal

diberikan latihan PROMEX (Pasif Range Of Motion) yang bertujuan

untuk memelihara ROM, menjaga mobilitas sendi dan otot,

meminimalkan kontaktur, menjaga elastisitas mekanik otot,

meningkatkan sirkulasi dan dinamika vascular, dan membantu menjaga

kesadaran pasien terhadap gerakan. Pada fase lanjut dapat diberikan

AROMEX (Active Range Of Motion) yang bertujuan menjaga

elastisistas dan kontraktilitas fisiologis otot, menstimulus feedback

sensorik dari otot yang berkontraksimemberikan stimulus untuk

integritas tulang dan otot, meningkatkan sirkulasi dan mencegah

pembentukan thrombus, serta meningkatkan koordinasi dan kemampuan

motorik untuk aktivitas fungsional (Tim Dosen Program Studi

Fisioterapi, 2016).

45
2.10 Kerangka Mind Mapping Teknologi Fisioterapi

46
BAB III

MANAJEMEN FISIOTERAPI

3.1 Proses Pengukuran Dan Pemeriksaan Fisioterapi


Data Umum :
Nama : Ny. NA
Umur : 76 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
Hobi : Memasak
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Pernafasan : 18x/menit
Denyut Nadi : 62x/menit

a. Chief of Complain : Lemah separuh badan sinistra ekstremitas superior dan


inferior
b. History Taking :
No Fisioterapis Pasien
1 Sejak kapan? Sekitar lebih dari 3 tahun yang lalu.

Saat itu pasien sedang tidur dan tiba-tiba


2 Kenapa bisa terjadi?
tidak sadarkan diri

Sudah berapa kali ibu kena


3 Sudah 3 kali
serangan

Ibu tidak bisa melakukan apa-apa, hanya


Apa yang ibu lakukan
4. dapat berbaring di tempat tidur. Dari baring
setelah terkena serangan?
ke tidur juga dibantu oleh susternya

47
Apakah ibu pernah ke
5 Pernah
dokter?

Apakah ibu sedang


6 Iya
mengonsumsi obat?

Apa yang bisa ibu lakukan Tangan bisa digerakkan cuman kesulitan
7
setelah kena serangan? untuk menggenggam

apakah ibu mengalami Tidak. Cuman pendengarannya kurang


8
gangguan berbicara bagus

Apakah ibu memiliki


9 Iya, ada diabetes dan hipertensi
riwayat penyakit lain?

Keluarga dirumah sangat membantu dengan


Bagaimana dukungan
10 memberikan semangat dan juga
keluarga ibu selama sakit?
mengingatkan untuk selalu terapi
Ibu kadang merasakan nyeri pada lutut dan
saat duduk lama seperti dalam kendaraan ibu
11 Apakah ada keluhan lain bu?
merasa pusing dan mual bahkan kadang
sampai muntah

c. Asymetric
1. Inspeksi statis : wajah cemas, bahu asimetris
2. Inspeksi dinamis : Datang dengan menggunakan kursi roda dan dibantu
oleh keluarga naik ke bed
3. Pemeriksaan Fungsi Gerak dasar (PFGD)
Sinistra Aktif Pasif TIMT
Shoulder
Tidak mampu, terbatas, nyeri,
Fleksi Mampu
nyeri elastic endfeel
Full ROM, tidak
Ekstensi Mampu, tidak nyeri nyeri, elastic mampu
endfeel

48
Full ROM, tidak
Abduksi Mampu, tidak nyeri nyeri, elastic mampu
endfeel
Full ROM, tidak
Adduksi Mampu, tidak nyeri nyeri, elastic mampu
endfeel
Full ROM, tidak
Endorotasi Mampu, tidak nyeri nyeri, elastic mampu
endfeel
Full ROM, tidak
Eksorotasi Mampu, tidak nyeri nyeri, elastic mampu
endfeel
Elbow
Full ROM, tidak mampu
Fleksi Mampu, tidak nyeri
nyeri, soft endfeel
Full ROM, tidak mampu
Ekstensi Mampu, tidak nyeri
nyeri, hard endfeel
Full ROM, tidak
Supinasi Mampu, tidak nyeri nyeri, elastic mampu
endfeel
Full ROM, tidak
Pronasi Mampu, tidak nyeri nyeri, elastic mampu
endfeel
Wrist
Full ROM,
tidak nyeri, mampu
Palmar fleksi Mampu, tidak nyeri
elastic
endfeel
Full ROM,
tidak nyeri, mampu
Dorsal fleksi Mampu, tidak nyeri
elastic
endfeel
Full ROM,
tidak nyeri, mampu
Ulnar deviasi Mampu, tidak nyeri
elastic
endfeel
Full ROM,
Radial tidak nyeri, mampu
Mampu, tidak nyeri
deviasi elastic
endfeel

49
Hip
Full ROM,
tidak nyeri, mampu
Fleksi Mampu, tidak nyeri
elastic
endfeel
Full ROM,
tidak nyeri, mampu
Ekstensi Mampu, tidak nyeri
elastic
endfeel
Full ROM,
tidak nyeri, mampu
Abduksi Mampu, tidak nyeri
elastic
endfeel
Full ROM,
tidak nyeri, mampu
Adduksi Mampu, tidak nyeri
elastic
endfeel
Full ROM,
tidak nyeri, mampu
Endorotasi Mampu, tidak nyeri
elastic
endfeel
Full ROM,
tidak nyeri, mampu
Eksorotasi Mampu, tidak nyeri
elastic
endfeel
Knee
Full ROM,
tidak nyeri, mampu
Fleksi Mampu, tidak nyeri
soft
endfeel
Full ROM,
tidak nyeri, mampu
Ekstensi mampu, tidak nyeri
elastic
endfeel
Ankle
Full ROM,
mampu, tidak nyeri, mampu
Plantar fleksi
tidak nyeri elastic
endfeel

50
Full ROM,
mampu, tidak nyeri, mampu
Dorsal fleksi
tidak nyeri elastic
endfeel
Full ROM,
mampu, tidak nyeri, mampu
Inversi
tidak nyeri elastic
endfeel
Full ROM,
mampu, tidak nyeri, mampu
Eversi
tidak nyeri elastic
endfeel

5. Palpasi
a) Suhu : normal
b) Oedem : tidak ada
c) Tenderness : (+) glenohumeral joint, m. deltoid anterior
d. Restrictive
1. Limitasi ROM : Limitasi ROM aktif dan pasif fleksi shoulder
2. Limitasi ADL : Toileting, dressing, walking, eating
3. Limitasi pekerjaan : terganggu sebagai IRT
4. Limitasi rekreasi : terganggu karena tidak bisa berjalan
e. Tissue Impairment dan Psycogenic Prediction
1. Muskulotendinogen : m. weakness ekstremitas superior dan inferior
sinistra
2. Osteoarthrogen : Stiffnes pada shoulder joint sinistra
3. Neurogen : post non hemoragic stroke
4. Psikogenik : Kecemasan
f. Spesific Test
1. Visual Analog Scale (VAS) (shoulder)
Diam = 0 Gerak = 3 Tekan = 1

2. ROM test joint sinistra

51
Hasil = ROM aktif
S.500.0.1000
F 1500.0.300
T 650.0.500
IP = limitasi pada ROM
3. Hamilton Rating Scale- Anxiety (HRS-A) : 29 (Kecemasan Berat)
4. Manual Muscle Testing (MMT)
a. Ekstremitas superior dekstra :5
b. Ekstremitas superior sinistra : 3+
c. Ekstremitas inferior dekstra :5
d. Ekstremitas inferior dekstra : 3+
5. Tes sensasi : panas dingin : normal
Kasar halus : normal
Diskriminasi 2 titik : normal
IP : Tidak ada indikasi gangguan fungsi sensorik
6. Tes koordinasi : finger to nose : mampu
Finger to finger : mampu
Heel to knee : mampu
IP : Tidak ada indikasi gangguan koordinasi

7. Tes motoric
Hasil : (upper extremity sinistra : mampu), (lower extremity sinistra :
mampu)
IP : tidak terdapat indikasi gangguan myotome pada level upper
dan lower extremity sinistra

8. Tes balancing & stabilizing


Hasil : (Bridging Test : mampu, Balancing and stabilization duduk :
mampu Balancing and stabilization berdiri: kurang mampu, Berjalan:
gait analysis tidak mampu)

52
IP : Terdapat indikasi gangguan keseimbangan dan stabilizing saat
berdiri dan berjalan

9. Indeks Barthel :
Hasil: 35

IP : ketergantungan berat

3.2 Diagnosis Fisioterapi


Adapun diagnosa fisioterapi yang dapat ditegakkan dari hasil proses
pengukuran dan pemeriksaan tersebut, yaitu :
‘Gangguan aktivitas fungsional berupa muscle weakness, stiffnes, dan
gangguan keseimbangan e.c. post Non Hemoragic Stroke sejak 3 tahun yang
lalu’

3.3 Problem Fisioterapi


1. Problem Primer : kelemahan otot
2. Problem Sekunder :
a. nyeri
b. stiffness
c. Cemas
d. Gangguan keseimbangan
e. Limitasi ROM
3. Problem Kompleks : Gangguan ADL toileting, dressing, eating, walking

3.4 Tujuan Fisioterapi


Tujuan jangka panjang : Mengembalikan fungsional ADL
Tujuan jangka pendek :
1. Mengurangi kecemasan
2. Mengurangi nyeri
3. Meningkatkan ROM shoulder joint
4. Meningkatkan kekuatan otot
5. Memperbaiki keseimbangan saat berdiri dan berjalan

53
6. Mengurangi stiffness

3.5 Program Fisioterapi


Problem Modalitas Dosis
No.
Fisioterapi Fisioterapi Fisioterapi
F : 1x/hari
Komunikasi I : Penderita focus
1. Kecemasan
Terapeutik T : Interpersonal (Cooping)
T : Selama tindakan FT
F : 1x/hari
Metabolic Stress Electro Therapy I : 30 cm
2.
Reaction (Infra Red) T : Lokal
T : 10 menit
F : 1x/hari
I : 3 repetisi
3 Nyeri Manual Therapy
T : friction
T : 3 menit
F : 1x/hari
I : 5 repetisi
4 Muscle Weakness Manual Therapy
T : strengthening exercise
T : 5 menit
F : 1x/hari
I : 8 hitungan 3 repetisi
Exercise Therapy
T : Passive ROM Exercise
Keterbatasan Gerak T : 3 menit
5 & stiffnes F : 1x/hari
(Regio Shoulder) I : 8 hitungan 3 repetisi
Manual Therapy T : Traksi Translasi
aproksimasi (Shoulder)
T : 3 menit
F : 1x/hari
Balancing dan I : 8 hitungan 2 repetisi
6 Exercise therapy
stabilization T : Bridging Exercise
T : 2 menit
F : 1x/hari
I :3 repetisi
Exercise therapy
T : PNF Modifikasi
T : 3 menit
7 Gangguan ADL
F : 1x/hari
I : 8 hitungan
Exercise therapy
T : walking exercise
T : 3 menit

54
3.6 Evaluasi
Setelah 1 kali intervensi
No Problem FT Parameter Sebelum Setelah Interpretasi
intervensi intervensi
Nyeri diam
(0)
Nyeri diam (0) Terdapat
nyeri tekan
1 Nyeri VAS nyeri tekan (3) penurunan
(2)
nyeri gerak (1) nyeri
nyeri gerak
(0)
ROM aktif ROM Aktif
Terdapat
Limitasi S.500.0.1000 S.500.0.1300
2 Goniometer peningkatan
ROM F 1500.0.300 F 1500.0.300
ROM
T 650.0.500 T 650.0.500
MMT :
Ekstremitas
Ekstremitas
superior
superior sinistra: Terdapat
Muscle sinistra: 4
3 MMT 3+ peningkatan
weakness Ekstremitas
Ekstremitas kekuatan otot
inferior
inferior sinistra
sinistra: 4
3+
Kecemasan
4. Kecemasan HRS-A 29 (berat) 27 (sedang)
menurun
Tidak ada
Gangguan Indeks perubahan
5. 35 (sedang) 35 (sedang)
ADL Barthel gangguan
ADL

55
DAFTAR PUSTAKA

Agur, Anne & Moore, Keith 2007, Essential Clinic Anatomy, 3rd ed., Lippincott
William & Wilkins, pp. 568-573

Alp, A., Efe, B., Adal, M., Bilgic, A., Ture, S. D., Coskun, S., et al. (2018). The
Impact of Whole Body Vibration Therapy on Spacity and Disability of the
Patients with Poststroke Hemiplegia. Hindawi Rehabilitation Research and
Practice, 1-6.

Aras, D., & Gondo, A. A. (2017). Buku Ajar Mata Kuliah Manajemen Fisioterapi
Neuromuscular dan Psikiatri. Makassar: Universitas Hasanuddin.

Badan Litbangkes Kementrian Kesehatan RI dan Data Penduduk Sasaran, Pusdatin


Kementrian Kesehatan RI. 2013. Data Riset kesehatan Dasar.

Batticaca, F. B. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem


Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Burhanuddin, M., Wahiduddin, Jumriani. 2012. Faktor Risiko Kejadian Stroke pada
Dewasa Awal (18 – 40 tahun). UNHAS Makassar.

Chan C.C.H, Lee T.M.C, Fong K.N.K, Lee C, Wong V. 2002. Cognitive Profile For
Chinese Patient With Stroke. Brain Injury; 16

Dourman. 2013. Waspadai Stroke Usia Muda. Jakarta : Cerdas Sehat

Ellis, Harold. 2006. Clinical Anatomy: Applied Anatomy for Student & Junior
Doctors. 11th edition. USA: Blackwell Publishing.

Feign, Valery. (2006). Panduan Bergambar Tentang Pencegahan dan Pemulihan


Stroke. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.

Florensya, C., & Ardikal. (2013). Anatomi Fisiologi. Jakarta Timur.

56
Ginsberg L., 2008. Lecture Notes Neurology. Jakarta: Erlangga.

Gofir A., 2009. Manajemen Stroke. Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press

Guyton A.C., Hall J.E., 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC

Handayani, F. 2013. Angka Kejadian Serangan Stroke Pada Wanita Lebih Rendah
Daripada Laki-Laki. Jurnal Keperawatan Medical Bedah. Vol 1/ no.
1:2013

Irawan,D.S, 2014. Metode Konvensional, Kinesiotaping, dan Motor Relearnin


Programme Berbeda Efektifitas dalam Perbaikan Pola Jalan Pasien Post
Stroke di Klinik Ontoseno Malang. Sport and Fitnes Journal. Vol.2, No.1.
http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-785-732825581-
3.%20bab%20i.pdf (Diakses pada 18 Februari 2016 pukul 19:20)

Junaidi Iskandar. 2011. Stroke Waspadai Ancamannya. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Kim, J. O., & Lee, B. H. (2017). Effect of Upper Extremity Coordination Exercise
During Standing on Paretic Side on Balance, Gait Ability and Activities of
Daily Living in Persons with Stroke . Physical Therapy Rehhabilitation
Science, 53-58.

Madhuranga, P. V., Mathangasinghe, Y., & Anthony, D. J. (2019). Improving


Balance with Wobble Board Exercise in Stroke Patients : Single-Blind,
Randomized Clinical Trial. Taylor and Francis Group, 1-11.

Mattioli, F. (2019). The Clinical Management and Rehabilitation of Post Stroke


Aphasia in Italy : Evidence From The Literature and Clinical Experience.
Neurological Science, 1-6.

Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC Jilid 2. Jakarta: EGC

Levine, Peter G. 2009. Stronger After Stroke: Panduan Lengkap dan Efektif Terapi
Pemulihan Stroke. Alih bahasa: Rika Iffiati Farihah. Jakarta: Etera.

57
Pinzon R., Asanti L. 2010. Awas Stroke! Pengertian, gejala, tindakan, perawatan,
dan pencegahan. Yogyakarta Andi: 1-4.

Rabzadeh, S., Goljaryan, S., Salahzadeh, Z., Oskouei, A. E., & Somee, A. S. (2018).
Effects Of A Task-Oriented Exercise Program n Balance in Patientswith
Hemiplegia Following Stroke. Iranian Red Crescent Medical Journal, 1-7.

Tanaka, N., Matsushita, S., Sonoda, Y., Maruta, Y., Fujitaka, Y., Sato, M., et al.
(2018). Effect of Stride Management Assist Gait Training for Poststroke
Hemiplegia: A Single Center, Open-Label, Randomized Controlled TRial.
Journal of Stroke and Cerebrovascular Disease, 1-10.

Tim Dosen Program Studi Fisioterapi. (2016). Buku Ajar Mata Kuliah Terapi
Latihan. Makassar: Universitas Hasanuddin.

Tjikoe,A & Loho.2014. Gambaran Hasil Ct Scan Kepala Pada Penderita Dengan
Klinis Stroke Non-Hemoragik Di Bagian Radiologi Fk. Unsrat / Smf
Radiologi Blu Rsup Prof. Dr. R. D Kandou Manado Periode Januari 2011-
Desember 2011 Jurnal E-Clinic (Ecl), Volume 2, Nomor 3, November 2014

Yadav, R., Kuma, S., Aafreen, & Yadav, S. (2018). Robotic Tilt Tanle Exercise
Versus Conventional Exercise In Rehabilitation of Hemiplegic Patients.
International Journal Of Therapy and Rehabilitation, 475-480.

Yoseph Cahyo Bagaskoro. 2016. Hubungan Lokasi Lesi Stroke Non-Hemoragik


Dengan Tingkat Depresi Pasca Stroke. Semarang : Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro.

58
LAMPIRAN

Lampiran 1 : Hamilton Depression Scale


No. Kemampuan Penilaian Nilai

1. Keadaan Perasaan Sedih 0 : Tidak ada


(sedih, putus asa, tak 1 : Perasaan ini hanya ada bila ditanya
berdaya, tak berguna) 2 : Perasaan ini ditanyakan secara verbal
3 : spontan
Perasan yang nyata tanpa komunikasi verbal, 2
misalnya ekspresi wajah, bentuk, suara, dan
4 : kecenderungan menangis
Pasien menyatakan perasaan yang
sesunguhnya ini dalam komunikasi baik
verbal maupun non verbal secara spontan
2. Perasaan Bersalah 0 : Tidak ada
1 : Menyalahkan diri sendiri dan merasa sebagai
penyebab penderitaan orang lain
2 : Ada ide-ide bersalah atau renungan tentang
kesalahan masa lalu
3 : 0
Sakit ini sebagai hukuman, waham bersalah,
dan berdosa
4 :
Ada suara-suara kejaran atau tuduhan dan
halusinasi pengihatan tentang hal-hal yang
mengancamnya

3. Bunuh Diri 0 : Tidak ada


1 : Merasa hidup tidak ada gunanya
2 : Mengharapkan kematian atau pikiran-pikiran 0
lain ke arah itu
3 : Ada ide-ide bunuh diri atau langkah-langkah
ke arah itu
4. Gangguan Pola Tidur 0 : Tidak ada
(Initial Insomnia) 1 : Ada keluhan, kadang-kadang sukar masuk 0
tidur. Misalnya >30 menit baru masuk tidur
2 : Ada keluhan, tiap malam sukar masuk tidur
5. Gangguan Pola Tidur 0 : Tidak ada
(Middle Insomnia) 1 : Pasien merasa gelisah dan terganggu
sepanjang malam 0
2 : Terganggu sepanjang malam (bangun dari
tempat tidur kecuali buang air kecil)

59
6. Gangguan Pola Tidur 0 : Tidak ada
(Late Insomnia) 1 : Bangun saat dini hari tetapi dapat tidur lagi 0
2 : Bangun saat dini hari tetapi tidak dapat tidur
lagi
7. Kerja dan Kegiatan- 0 : Tidak ada
kegiatannya 1 : Berfikir tidak mampu, keletihan/ kelemahan
yang berkaitan dengan kegiatan kerja/ hobi
2 : Hilangnya minat terhadap pekerjaan/ hobi 2
3 : Berkurangnya waktu untuk aktivitas sehari-
hari atau produktivitas menurun
4 : Tidak bekerja karena sakitnya
8. Kelambanan 0 : Normal
(lambat dalam berfikir, 1 : Sedikit lamban dalam wawancara
berbicara, gagal 2 : Jelas lamban dalam wawancara
berkonsentrasi, dan 3 : Sukar diwawancarai; stupor (diam sama 0
aktivitas motorik sekali)
menurun)

9. Kegelisahan 0 : Tidak ada


1 : Kegelisahan ringan
2 : Memainkan tangan jari-jari, rambut, dan lain-
3 : lain 1
4 : Bergerak terus, tidak dapat duduk dengan
tenang
Meremas-remas tangan, menggigit kuku,
menarik-narik rambut, menggigt bibir
10. Kecemasan Sakit/nyeri pada otot, kaku, kedutan otot; gigi
(Ansietas somatik) gemeretak; suara tidak stabil; tinnitus
(telinga berdenging); penglhatan kabur; muka
merah atau pucat; perasaan ditusuk-tusuk.
0 : Tidak ada 0
1 : Ringan
2 : Sedang
3 : Berat
4 : Ketidakmampuan
11. Kecemasan 0 : Tidak ada
(Ansietas psikis) 1 : Ketegangan subyektif dan mudah tersinggung
2 : Mengkhawatirkan hal-hal kecil 2
3 : Sikap kekhawatiran yang tercermin di wajah
atau pembicaraaannya
4 : Ketakutan yang diutarakan tanpa ditanya

60
12. Gejala Somatik 0 : Tidak ada
(Pencernaan) 1 : Nafsu makan berkurang tetapi dapat makan
tanpa dorongan teman, merasa penutnya
2 : penuh 1
Sukar makan tanpa bantuan teman,
membutuhkan pencahar untuk buang air
besar atau obat-obatan untuk saluran
pencernaan
13. Gejala Somatik 0 : Tidak ada
(Umum) 1 : Anggota gerak, punggung, atau kepala terasa
berat 1
2 : Sakit punggung, kepala dan otot-otot,
hilangnya kekuatan dan kemampuan
14. Kotamil Sering buang air kecil terutama malam hari di
(Genital) kala tidur, tidak haid, darah haid sedikit
sekali, tidak ada gairah seksual, ereksi hilang,
0 : impotensi 0
1 : Tidak ada
2 : Ringan
Berat
15. Hipokondriasis 0 : Tidak ada
(Keluhan somatic fisik 1 : Dihayati sendiri
yang berpindah-pindah) 2 : Preokupasi (keterpakuan) mengenai kesehtan
sendiri 1
3 : Sering mengeluh membutuhkan pertolongan
orang lain
4 : Delusi hipokondriasi
16. Kehilangan Berat Badan 0 : Tidak ada
1 : Beratbadan berkurang berhubungana dengan
penyakitnya sekarang 0
2 : Jelas penurunan berat badan
3 : Tak terjelaskan lagi penurunan berat badan
17. Insight 0 : Mengetahui dirinya sakit dan cemas
(Pemahaman diri) 1 : Mengetahui sakit tapi berhubungan dengan
penyebab iklim, makanan, kerja berlebihan, 0
virus, perlu istirahat, dll
2 : Menyangkan bahwa ia sakit
18. Variasi Harian Adakah perubahan keadaaan yang
memburuk pada waktu malam atau pagi
0 : Tidak ada 0
1 : Buruk saat pagi
2 : Buruk saat malam

61
19. Depersonalisasi 0 : Tidak ada
(Perasaan Diri Berubah) 1 : Ringan
Dan Derelisiasi 2 : Sedang 1
(Perasaan tidak nyata – 3 : Berat
tidak realistis) 4 : Ketidakmampuan
20. Gejala Paranoid 0 : Tidak ada
1 : Kecurigaan
2 : Pikiran dirinya menjadi pusat perhatian 0
3 : peristiwa kejadian diluar tertuju pada dirinya
(ideas refence)
Waham (delusi) dikejar/ diburu
21. Gejala Obsesi dan 0 : Tidak ada
Kompulsi 1 : Ringan 0
2 : Berat
TOTAL NILAI 9

Interpretasi :
0 - 7 = Normal
8 - 13 = Depresi ringan Total Nilai :9
14 - 18 = Depresi sedang Interpretasi : Depresi sedang
19 - 22 = Depresi berat
> 23 = Depresi sangat berat

Lampiran 2 : Skala Penilaian Visual Analoque Sqale

Kriteria penilaian (Rumus Bourjone):


0 : Tidak Nyeri
1-3 : Nyeri Ringan
4-6 : Nyeri Sedang
7-9 : Nyeri Berat
10 : Nyeri Sangat Berat

Lampiran 3 : Skala Manual Muscle Test (Nilai Otot)

Nilai/ Kategori Interpretasi

62
Skor

5 Normal Full ROM, menahan tahanan maksimum

4 Baik Full ROM, menahan tahanan sedang

Full ROM, melawan gravitasi dan mampu


3+ Cukup +
melawan tahanan minimum

3 Cukup Full ROM melawan gravitasi

Full ROM tanpa pengaruh gravitasi, lebih


3- Cukup -
dari setengah ROM melawan gravitasi

Full ROM tanpa pengaruh gravitasi, kurang


2+ Lemah +
dari setengan ROM melawan gravitasi

2 Lemah Full ROM tanpa pengaruh gravitasi

2- Lemah - Parsial ROM tanpa pengaruh gravitasi

Sedikit kontraksi (Inspeksi atau Palpasi),


1 Sangat Lemah
tanpa ada gerakan sendi

Tidak ada kekuatan


0 Tidak ada kontraksi sama sekali
sama sekali

63

Anda mungkin juga menyukai