Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

Stroke Batang Otak

Penulis :
Nandini (130100398)

Supervisor:
dr. Iskandar Nasution, FINASM, Sp.S

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SYARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP. HAJI ADAM MALIK
MEDAN
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan kasih
dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah
dengan judul “Stroke Batang Otak”.

Penyelesaian penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai


pihak. Penulis menyadari dalam penyelesaian makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritikan yang
membangun dari semua pihak di masa yang akan datang.

Akhir kata, penulis berharap kiranya makalah ini dapat memberikan manfaat
dan sumbangsih bagi institusi dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya
tentang Stroke Batang Otak.

Medan, 16 November 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i

DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................................. 1

1.1. Latar Belakang ........................................................................................................ 1

1.2. Tujuan ..................................................................................................................... 2

1.3. Manfaat ................................................................................................................... 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................ 3

2.1. Neuroanatomi Batang Otak..................................................................................... 3

2.2. Vaskularisasi Batang Otak ...................................................................................... 6

2.3. Etiopatogenesis Stroke Batang Otak ....................................................................... 7

2.3.1. Stroke Iskemik .................................................................................................... 7

2.3.2. Stroke Hemoragik ............................................................................................... 8

2.4. Manifestasi Klinis Stroke Batang Otak ................................................................. 10

2.5. Penegakan Diagnosis Stroke ................................................................................. 15

2.6. Penatalaksanaan Terapi Umum Stroke ................................................................. 17

2.7. Prognosis ............................................................................................................... 21

BAB 3 KESIMPULAN ................................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 23

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Berdasarkan definisi WHO (World Health Organization) stroke adalah
manifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal maupun global, yang
berlangsung dengan cepat, berlangsung lebih dari 24 jam, atau berakhir dengan
kematian, tanpa ditemukannya penyebab selain daripada gangguan vaskular.1
prevalensi stroke serta kematian akibat stroke ternyata lebih banyak didapati di
negara dengan penghasilan menegah ke bawah, yaitu sekitar 70% dan 87 %.2
Di dunia, 15 juta orang menderita stroke setiap tahunnya; sepertiga meninggal
dan sisanya cacat permanen. Pada tahun 2010 stroke merupakan penyakit penyebab
kematian ke empat di UK setelah kanker, penyakit jantung, dan gangguan
pernapasan, dan menyebabkan hamper 50.000 kematian.3
Berdasarkan data terbaru dan hasil Riset Kesehatan Dasar 2013, stroke
merupakan penyebab kematian utama di Indonesia. Prevalensi stroke di
Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7,0 per 1000
dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan atau gejala sebesar 12,1 per 1000. Jadi,
sebanyak 57,9% penyakit stroke telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan.4
Stroke batang otak memiliki gejala yang kompleks, dan bisa jadi sulit untuk
didiagnosa. Seseorang bisa memiliki keluhan vertigo, pusing dan gangguan
keseimbangan yang berat tanpa tanda-tanda khas dari stroke itu sendiri – seperti
lemah anggota tubuh pada satu sisi. Stroke batang otak juga dapat memberikan
klinis berupa diplopia, bicara tidak utuh dan penurunan kesadaran.
Sama halnya seperti stroke pada umumnya, stroke batang otak menghasilkan
defisit neurologis dan penyembuhan dalam spektrum yang luas. Seseorang yang
memiliki defisit neurologis yang minimal ataupun kompleks sangat bergantung
pada lokasi mana dibagian batang otak yang terkena lesi, perluasan lesi dan
seberapa cepat tatalaksana diberikan. Faktor risiko stroke batang otak pada
dasarnya sama dengan stroke pada umumnya: hipertensi, diabetes melitus, merokok
dan fibrilasi atrium. Sama halnya dengan stroke pada bagian otak lainnya, stroke
batang otak bisa dikarenakan 2 hal, yaitu sumbatan ataupun perdarahan. Penyebab

1
2

lesi lainnya bisa dikarenakan trauma pada arteri yang sangat jarang terjadi karena
perubahan pergerakan leher dan kepala secara tiba-tiba.5

1.2. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menguraikan teori-teori
mengenai stroke batang otak, mulai dari neuroanatomi batang otak, vaskularisasi
batang otak, definisi stroke dan patofisiologi stroke, manifestasi klinis, tatalaksana
dan prognosisnya. Penyusunan makalah ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan
pelaksanaan kegiatan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1.3. Manfaat
Penyusunan makalah ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan
pemahaman penulis serta pembaca khususnya peserta P3D untuk lebih memahami
dan mengenal stroke batang otak.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Neuroanatomi Batang Otak


Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian
dasar dan memanjang sampai medulla spinalis. Batang otak terdiri dari tiga bagian,
yaitu:6
a. Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah bagian teratas
dari batang otak yang menghubungkan serebrum dan serebelum.
Mesensefalon dibagi menjadi 3 segmen, yaitu tectum, tegmentum dan crus
cerebri, yang masing-masing memiliki fungsi untuk penglihatan dan
pendengaran, formatio reticularis dan untuk transmisi akson upper motor
neuron. Saraf kranial III dan IV diasosiasikan dengan otak tengah.
b. Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada diantara midbrain dan
medulla oblongata. Pons terletak di fossa kranial posterior. Saraf Kranial
(CN) V diasosiasikan dengan pons.
c. Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari batang otak
yang akan berlanjut menjadi medulla spinalis. Medulla oblongata terletak
juga di fossa kranial posterior. CN IX, X, dan XII disosiasikan dengan
medulla, sedangkan CN VI dan VIII berada pada perhubungan dari pons dan
medulla.
Secara fisiologi, mesensefalon merupakan bagian pendek dari batang otak
yang berisi aquedikus sylvius, beberapa traktus serabut saraf asenden dan desenden
dan berfungsi dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran
pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran. Formatio reticularis
merupakan area yang penting pada mesensefalon karena memiliki lower motor
neuron, terlibat dalam jaras desensitisasi nyeri, sistem kesadaran, dan memiliki
locus ceruleus yang terlibat dalam modulasi kesadaran dan refleks otonom. Pons
merupakan mata rantai penghubung yang penting pada jaras kortikosereberalis
yang menyatukan hemisfer serebri dan serebelum. Medula oblongata merupakan
pusat refleks yang penting untuk jantung, vasokonstriktor, pernafasan, bersin,
batuk, menelan, pengeluaran air liur dan muntah.7

3
4

Dengan demikian, batang otak merupakan bagian terpenting dalam mengatur


proses kehidupan yang mendasar berhubungan dengan 7 fungsi terutama batang
otak, sebagai berikut.8
a. Berperan penting dalam fungsi sensorik, motorik dan refleks.
b. Traktus spinothalamus – merupakan traktus sensorik penting yang melewati
batang otak.
c. Fasciculi cuneatus dan gracilis dan traktus spinoreticular – traktus sensorik
dimana terminasi aksonnya berada di lapisan gray matter batang otak.
d. Traktus kortikospinal dan reticulospinal – dua traktus utama yang berada di
lapisan white matter batang otak.
e. Nuclei di medulla – merupakan pusat refleks
i. Fungsi utama terpenting : kardiak, vasomotorik, dan pusat pernafasan.
ii. Refleks nonvital : muntah, batuk, bersin dan lain sebagainya.
f. Pons – berfungsi untuk refleks yang dimediasi oleh nervus kranial V, VI, VII,
dan VIII. Pons juga berperan sebagai pneumotaxic centers yang berperan
untuk regulasi respirasi.
g. Midbrain – sebagai pusat untuk refleks tertentu nervus kranialis.

Tabel 2.1 Fungsi Saraf Kranial pada Batang Otak.


5

Gambar 2.1 Nuclei Saraf Kranial pada Batang Otak.


6

2.2. Vaskularisasi Batang Otak

Gambar 2.2 Vaskularisasi Batang Otak.

Otak diperdarahi oleh dua pasang arteri yaitu arteri karotis interna dan arteri
vertebralis. Dalam rongga kranium, keempat arteri ini saling berhubungan dan membentuk
sistem anastomosis, yaitu sirkulus Willisi. Arteri Vertebralis merupakan suplai pembuluh
darah terutama pada batang otak, yaitu cabang pertama dari arteri subklavia. Arteri
vertebralis akan bergerak keatas melewati suatu foramen pada prosesus transversus
vertebra servikalis 6, terbentang dibelakang prosesus artikularis superior C1, dan akan
memasuki kranium melalui foramen magnum, dan akan bergabung pada bagian inferior
pons dengan arteri vertebralis yang berlawanan membentuk arteri basilar. Salah satu
percabangan arteri vertebralis, yaitu medullary branches, dikenal juga sebagai arteri
bulbaris, merupakan pembuluh darah yang akan memperdarahi medulla oblongata.
Posterior inferior cerebellar artery (PICA) merupakan cabang terbesar dari arteri
vertebralis. Pada batang otak, arteri ini memperdarahi bagian medial dan inferior nukleus
vestibularis, pendunkel cerebellum inferior, nucleus ambiguous, serabut intra-axial nervus
IX dan X, dan segmen traktus spinotalamikus dan nukleus nervus V.
Arteri basilar berada pada dasar tulang tengkorak. Arteri ini bergerak keatas dari
gabungannya dengan arteri vertebralis pada bagian inferior pons sampai pinggir superior
pons. Pada level ini, arteri basilar terbagi dua membentuk 2 asteri serebral posterior.
7

Cabang pontin keluar dari sudut kanan ke-2 arteri basilar dan memperdarahi pons dan
bagian otak lainnya yang berbatasan. Superior cerebellar artery (SCA) berasal dari divisi
arteri basilar dan arteri ini memperdarahi pons bagian rostral dan lateral sama seperti
traktus spinotalamikus dan pedunkel cerebellar superior.9

2.3. Etiopatogenesis Stroke Batang Otak


Berdasarkan etiologi, stroke batang otak dapat dikarenakan penyumbatan maupun
perdarahan; diklasifikasikan menjadi:
1. Stroke Iskemik
a. Trombus
b. Emboli
2. Stroke Hemoragik
a. Perdarahan Intraserebral
b. Perdarahan Subarakhnoid
Faktor risiko stroke adalah faktor yang menyebabkan seseorang menjadi lebih rentan
atau mudah terkena stroke. Faktor risiko terutama yang sangat berkontribusi terhadap
kejadian stroke, yaitu hipertensi, merokok, diabetes melitus, kelainan jantung, dan kolestrol.
Faktor risiko stroke dapat dikelompokan menjadi 2, secara garis besar yaitu :13
1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah
a. Umur
b. Jenis kelamin
c. Keturunan/genetik
2. Faktor risiko yang dapat diubah
a. Tingkah laku (merokok, diet [lemak, garam berlebih, asam urat, kolestrol, low
fruit diet], alkoholik, obat-obatan [narkotika, obat antikoagulan, antiplatelet, pil
kontrasepsi])
b. Faktor risiko fisiologis (hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus, infeksi,
penyakit autoimun, obesitas, gangguan ginjal, kelainan hematologi, anomaly
pembuluh darah)

2.3.1. Stroke Iskemik


Stroke Iskemik merupakan tanda klinis hilangnya fungsi neurologis otak secara tiba-
tiba akibat terbatas atau terhentinya sirkulasi darah terhadap area pada otak.10 Pada stroke
iskemik, berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan hipoksemia daerah regional otak
dan menimbulkan reaksi–reaksi berantai yang berakhir dengan kematian sel–sel otak dan
unsur–unsur pendukungnya. Stroke iskemik terjadi akibat oklusi vaskular pada otak
8

sehingga menghasilkan daerah iskemik di wilayah vaskular yang terkena. Keadaan iskemik
menyebabkan sel otak menjadi hipoksia dan kehabisan ATP. Tanpa adanya ATP maka
tidak ada energi untuk mengatur aktivitas ion di membran sel dan proses depolarisasi
sel dan berujung kepada kematian sel.11
Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti (core) dengan
tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini akan menjadi nekrotik dalam
waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Di luar daerah core iskemik terdapat daerah
penumbra iskemik. Sel– sel otak dan jaringan pendukungnya belum mati akan tetapi sangat
berkurang fungsi–fungsinya dan menyebabkan juga defisit neurologis. Tingkat iskemiknya
semakin ke perifer semakin ringan. Daerah penumbra iskemik inilah yang menjadi sasaran
terapi stroke iskemik akut agar dapat direperfusi dan sel-sel otak berfungsi kembali.
Reversibilitas tergantung pada faktor waktu dan jika tidak terjadi reperfusi, daerah
penumbra dapat berangsur-angsur mengalami kematian.12
Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara bertahap, yaitu:13
1. Tahap 1 :
a. Penurunan aliran darah
b. Pengurangan O2
c. Kegagalan energi
d. Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostasis ion
2. Tahap 2 :
a. Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ion
b. Spreading depression
3. Tahap 3 : Inflamasi
Tahap 4 : Apoptosis

2.3.2. Stroke Hemoragik


Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah
otak. Hampir 70% kasus stroke hemoragik terjadi pada penderita hipertensi. Stroke
hemoragik umumnya terjadi pada saat pasien melakukan aktivitas, dan terjadi perdarahan
dan penurunan kesadaran yang bersifat nyata.14
Menurut penyebabnya, stroke hemoragik dapat dibedakan menjadi 2 :
9

a. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral ditemukan pada 10% dari seluruh kasus stroke,
terdiri dari 80% di hemisfer otak dan 20% di batang otak dan serebelum.
Penelitian dengan mikroskop pada penderita hipertensi menunjukkan adanya
degenerasi pembuluh darah otak. Hipertensi arterial dan pertambahan usia
menunjukkan adanya hubungan dengan degenerasi pembuluh darah di daerah
striatal. Bila dinding arteri menjadi lebih tipis, ini disebut mikroaneurisma;
bila dinding arteri menjadi tebal, ini disebut fibrinohialinosis. Hipertensi
arterial yang kronik dapat menyebabkan kedua perubahan tersebut. Proses
patologis ini dapat menyebabkan sumbatan pembuluh darah kecil
(mikroinfark) atau terbentuknya mikroaneurisma yang merupakan penyebab
perdarahan intracerebral (PIS).
Dinding dari arteri median memang diketahui lebih tipis daripada arteri-
arteri kortikal yang letaknya distal. Arteri-arteri kecil ini (small perforating
arteries) didaerah lentikulostriata dan pons masing-masing berasal langsung
dari arteri serebri media dan arteri basilaris, sehingga pada peningkatan
tekanan darah, arteri-arteri ini akan lebih terancam karena peningkatan
tekanan intravaskular ketimbang arteri-arteri kortikal distal yang dilindungi
oleh cabang-cabang sebelumnya.15 Mikroaneurisma lebih sering didapatkan
pada daerah putamen, globus pallidus dan thalamus dan sedikit di daerah
nukleus kaudatus, kapsula interna dan substansia alba. Keadaan ini dapat
menjelaskan mengapa PISH terutama didapatkan diluar kapsula interna yaitu
di daerah putamen dan thalamus (65%), pons (11%), serebelum (8%), dan
substansia alba subkortikal (16%). Sebaliknya perdarahan intraserebral non-
hipertensif terutama didapatkan di daerah substansia alba subkortikal (45%),
substansia grisea bagian dalam (36%), pons 16% dan serebelum (3%).14

b. Perdarahan Subarakhnoid
Perdarahan subarachnoid adalah suatu keadaan dimana terjadi perdarahan
di ruang subarachnoid yang timbul secara primer. Perdarahan ini paling
sering berasal dari pecahnya aneurisma sakuler (berry) atau adanya
10

malformasi arterivenosa (MAV). Aneurisma yang pecah ini berasal dari


sirkulasi Willisi dan cabang-cabangnya yang terdapat di luar parenkim otak.
Pecahnya arteri dan keluarnya darah ke ruang subarakhnoid menyebabkan
TIK meningkat mendadak dan vasospasme pembuluh darah serebri yang
berakibat disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan kesadaran) maupun
fokal (hemiparese, gangguan hemisensorik, afasia dan lainnya). Pecahnya
aneurisma pembuluh darah akan menyebabkan nyeri kepala yang sangat
hebat dan muncul secara tiba-tiba. Hal ini akan diikuti dengan penurunan
kesadaran secara cepat. 16
Perdarahan subaraknoid dapat menyebabkan beberapa masalah serius
lainnya, seperti:
i. Hydrocephalus : Dalam waktu 24 jam, darah yang terakumulasi dalam
ruang subarachnoid akan menyebabkan stagnansi dari pergerakan cairan
cerebrospinal untuk pengosongan menuju vili arachnoid. Hal ini akan
menyebabkan peninggian tekanan intrakranial.
ii. Vasospasme: Sekitar 3 sampai 10 hari setelah pendarahan, akan terjadi
vasokonstriksi pembuluh darah sebagai kompensasi untuk
memberhentikan perdarahan yang terjadi. Hal ini akan membuat
hipoperfusi jaringan otak dan anoxia, sehingga akan berujung pada
kematian sel, seperti pada stroke iskemik.
iii. Perdarahan ulangan : Kadang-kadang rupture kedua bisa terjadi dan
biasanya dalam seminggu.17

2.4. Manifestasi Klinis Stroke Batang Otak


Sindroma batang otak tidak pernah disertai gejala defisit kortikal atau defek
lapang pandang. Sindroma medulla oblongata lateral (Wallenberg) merupakan
sindroma yang paling sering terjadi pada sindroma batang otak, disebabkan oleh
oklusi arteri vertebralis atau arteri serebralis posterior inferior. Perlu diperiksa
adanya :
a. Pada daerah ipsilateral lesi: rasa baal pada wajah, ataksia anggota gerak,
sindrom horner (miosis, ptosis, anhidrosis), nyeri sekitar mata.
11

b. Sisi kontralateral lesi: gangguan sensasi suhu dan nyeri (tusuk) pada lengan
dan tungkai.
c. Vertigo: mual, hiccups, suara parau, kesulitan menelan dan diplopia.
Bila lesi bersifat tipikal, dengan pengobatan suportif biasanya memberikan
hasil yang baik. Hati-hati kemungkinan aspirasi karena adanya kesulitan menelan.
Sebagian besar lesi batang otak terletak di pons :
a. Bila lesi terletak pada pons bagian medial, terdapat kelemahan dan
ophtalmoplegia internuclear atau kelumpuhan gerak (gaze) bola mata dengan
gangguan sensorik ringan.
b. Gangguan sensorik menonjol jika lesi terletak pada pons bagian lateral dan
tegmental.
c. Gejala serebelar ipsilateral lesi terjadi pada lesi pons bagian lateral.
d. Topis pada stroke daerah pons ditentukan dengan melihat saraf kranial mana
yang terlibat. Saraf fasialis (nervus VII) terletak pada pons bagian bawah, dan
bila proses melibatkan daerah tersebut akan menyebabkan kelumpuhan nervus
VII (sentral dan perifer) sesisi lesi. Bila proses terletak pada bagian yang lebih
tinggi terjadi kelumpuhan nervus VII sentral kontralateral lesi. Saraf
trigeminalis (nervus V) terletak pada pons bagian tengah, bila proses
melibatkan daerah tersebut akan mengakibatkan hilangnya refleks kornea dan
sensorik wajah sesisi lesi. Jaras nervus V yang kebawah keluar dari pons
bagian tengah ke medulla oblongata bagian bawah, oleh karenanya gangguan
sepanjang jaras tersebut mengakibatkan gangguan sensasi suhu dan nyeri
(tusul) wajah ipsilateral lesi. Pada lesi pons bagian atas, terdapat gangguan
sensorik dan nyeri pada wajah dan anggota gerak kontralateral lesi. Pada lesi
batang otak dibawah pons bagian atas, sensasi nyeri dan suhu hilang pada
wajah sesisi lesi dan anggota gerak kontralateral lesi. Inti dari saraf kokhlearis
(nervus VIII) terletak pada pons bagian bawah dan oleh karenanya pada lesi
pons akan terjadi tuli sesisi lesi dan vertigo.
e. Stroke pada mesensefalon (midbrain) sering melibatkan saraf kranial III atau
intinya dan pedunculus serebri, ipsilateral oftalmoparesis dan hemiplegia
kontralateral lesi (sindroma Weber).
12

Bila defisit pada stroke batang otak terbatas pada satu daerah anatomi, pada
umumnya dianggap bahwa prosesnya hanya melibatkan satu cabang sistem basilaris.
Bila defisit neurologis yang terjadi melibatkan daerah yang luas, proses yang terjadi
mungkin pada arteria basilaris itu sendiri atau merupakan dampak oklusi sistem
basilaris.18
Gejala neurologis lainnya berupa sindroma-sindroma dapat muncul ketika
terjadi stroke pada arteri vertebrobasilar, yang merupakan pembuluh darah utama
yang memperdarahi batang otak.
1. Wallenberg syndrome
Sindrom ini paling sering dikarenakan oklusi pada arteri vertebra, atau yang
paling jarang pada posterior inferior cerebellar artery (PICA). Pasien akan
datang dengan keluhan mual, muntah, dan vertigo. Gejala klinis ipsilateralnya
berupa :
a. Ataxia dan dysmetria.
b. Sindroma horner.
c. Nyeri wajah dan hilangnya sensasi pada suhu.
d. Berkurangnya refleks kornea karena kerusakan pada traktus spinal dan
nucleus nervus V.
e. Nystagmus.
f. Hipoakusis.
g. Disartria.
h. Disfagia.
i. Paralisis faring, palatum dan pita suara.
j. Hilangnya fungsi pengecapan (kena pada nucleus atau serabut saraf kranial
IX dan X)
Gejala kontralateralnya berupa hilangnya sensasi nyeri dan suhu pada tubuh
dan ekstremitas, menunjukkan terlibatnya traktus spinotalamikus lateral.
Takikardia dan dyspnoe (nucleus dorsalis saraf X) dan mioklonus palatum,
faring dan diafragma dapat dijumpai.
13

2. Dejerine syndrome
Sindroma ini merupakan lesi yang jarang terjadi sebagai akibat oklusi pada
arteri vertebra dan percabangannya menuju arteri spinal anterior (pyramid,
lemniscus medial dan terkadang nervus XII). Gejalanya termasuk paresis
ipsilateral lidah dengan deviasi kearah lesi (lesi nervus XII tipe LMN),
hemiplegia kontralateral tanpa melibatkan daerah wajah (traktus kortikospinal),
dan hilangnya sensasi getar dan propiosepsi ipsilateral (lemniscus medial).
3. Locked-in syndrome
Sindroma ini akan muncul ketika adanya infark di daerah pons bagian ventral
atas. Sindroma ini bisa terjadi ketika ada oklusi pada segmen medial dan
proksimal dari arteri basiler atau bisa terjadi akibat perdarahan pada regio yang
terlibat. Sindroma ini juga bisa disebabkan karena adanya trauma, myelinolysis
pontin sentral, ensefalitis ataupun tumor. Lesi bilateral pada pontin bagian
ventral yang melibatkan traktus kortikospinal dan kortikobulbar akan
menyebabkan quadriplegia. Pasien jadi tidak bisa berbicara, menggerakan wajah
(kerusakan pada traktus kortikobulbar), ataupun melihat ke sisi lainnya
(pergerakan mata secara horizontal tidak bisa dilakukan karena lesi yang
mengenai nucleus saraf kranial VI secara bilateral). Karena bagian tegmentum
tidak terkena, maka pasien tetap memiliki kesadaran terhadap sekelilingnya.
Pergerakan yang hanya bisa dilakukan terbatas pada menggerakan mata secara
vertical dan mengedipkan mata. Koma bisa terjadi jika lesi mengenai daerah
tegmentum pontin secara bilateral atau mengenai formasio retikularis pada
mesensefalon.
4. Top-of-the-basilar syndrome
Sindroma ini merupakan manifestasi dari iskemia yang terjadi pada batang
otak dan diensefalon karena adanya oklusi pada arteri basilar rostral; oklusi ini
sering terjadi karena emboli. Pasien akan mengalami perubahan secara tiba-tiba
pada tingkat kesadarannya, bingung, amnesia dan gangguan visual
(hemianopsia, cortical blindness, color dysnomia). Keterlibatan saraf kranial III
ditandai dengan penurunan refleks cahaya (diensefalon), dan fixed pupils
14

midposition (mesensefalon). Abnormalitas lainnya termasuk kelemahan, deficit


sensori, dan postur tubuh.
5. Internuclear ophthalmoplegia
Secara klinis, kelainan ini merupakan horizontal gaze palsy yang terjadi
akibat adanya lesi pada batang otak yang merusak medial longitudinal fasciculus
(MLF) antara nucleus kranial VI dan III, terutamanya di daerah pons. Karena
pergerakan horizontal membutuhkan koordinasi antara ipsilateral saraf kranial
III dan kontralateral saraf kranial VI, maka gangguan pada MLF ini akan
menyebabkan ketidakmampuan mata ipsilateral terhadap lesi untuk aduksi dan
mata kontralateralnya untuk abduksi nystagmus ketika melihat ke sisi
berlawanan dari bagian yang terkena.
6. Millard-Gubler syndrome
Sindroma ini muncul setelah terjadinya infark paramedian pada pons dan
mengakibatkan palsy ipsilateral pada rektus lateralis saraf kranial VI dengan
klinis diplopia, paresis komplit pada wajah (palsy unilateral saraf kranial VII)
dan hemiparesis kontralateral (keterlibatan traktus kortikospinal) tanpa
mengenai wajah.
7. Raymond-Cestan syndrome
Sindroma ini muncul karena obstruksi arteri basilar bagian percabangan
circumferensialnya. Oklusi ini memberikan gambaran berupa ataxia ipsilateral,
intention tremor (keterlibatan pedunculus cerebellar bagian medial dan
superior), kelemahan mastikasi dan hilangnya sensori pada wajah (mengenai
traktus dan nuclei saraf V) dan kehilangan seluruh modalitas sensori
kontralateral (karena kerusakan pada lemniscus medial dan traktus
spinotalamikus) dengan atau tanpa melibatkan hemiparesis dan kelemahan
wajah (traktus kortikospinal).
8. Foville syndrome
Sindroma ini muncul akibat lesi pada dorsal tegmentum pons bagian bawah.
Pasien akan mengalami paresis ipsilateral pada seluruh wajah (nucleus dan
serabut saraf kranial VII), horizontal gaze palsy pada bagian ipsilateral dan
hemiplegia kontralateral (traktus kortikospinal) tanpa melibatkan wajah.
15

9. Weber syndrome
Sindroma ini muncul karena adanya oklusi pada perforating branches arteri
basilar pada bagian median dan/atau paramedian. Gambaran klinisnya meliputi
palsy ipsilateral saraf kranial III, ptosis dan midriasis (kerusakan pada serabut
saraf parasimpatis nervus III) dengan kontralateral hemiplegia. Kelemahan pada
wajah bagian bawah (traktus kortikospinal dan kortikobulbar) dapat dijumpai.
10. Benedikt syndrome
Sindroma ini muncul akibat lesi pada tegmentum mesensefalon karena
adanya oklusi cabang paramedian dari arteri basiler, PCA ataupun keduanya.
Pasien akan menunjukan palsy oculomotor ipsilateral, ptosis, dan midriasis
(seperti pada weber syndrome), bersamaan dengan pergerakan involuntary
kontralateral.19

2.5. Penegakan Diagnosis Stroke


Diagnosis stroke dibuat berdasarkan anamnesis, gejala klinis dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan laboratorium berperan dalam beberapa hal
antara lain untuk menyingkirkan gangguan neurologis lain, mendeteksi penyebab
stroke, dan menemukan keadaan komorbid.
1. Anamnesa
Pada penderita dengan gangguan serebrovaskular, risiko yang mungkin
didapat adalah TIAs, hipertensi, dan diabetes. Pada wanita, penggunaan kontrasepsi
oral dapat berhubungan dengan arteri cerebral dan penyakit bendungan vena,
khususnya jika terdapat hipertensi dan riwayat merokok. Beberapa gejala/tanda
yang mengarah kepada diagnosis stroke antara lain hemiparesis, gangguan sensorik
satu sisi tubuh, hemianopia atau buta mendadak, diplopia vertigo, afasia, disfagia,
disartria, ataksia, kejang atau penurunan kesadaran yang keseluruhannya terjadi
secara mendadak.
2. Pemeriksaan Klinis
a. Tekanan darah harus diperiksa mengetahui jika adanya didapati
hipertensi.
16

b. Pemeriksaan pada retina dengan ophthalmosopic dapat menemukan bukti


embolisasi pada sirkulasi anterior dalam bentuk sisa material emboli yang
tampak pada pembuluh darah retina.
3. Pemeriksaan penunjang
a. CT scan
Pada kasus stroke, CT scan dapat membedakan stroke infark dan stroke
hemoragik. Pemeriksaan CT scan kepala merupakan gold standar untuk
menegakan diagnosis stroke.20
b. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Secara umum pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) lebih
sensitive dibandingkan CT scan. MRI mempunyai kelebihan mampu
melihat adanya iskemik pada jaringan otak dalam waktu 2-3 jam setelah
onset stroke non hemoragik. MRI juga digunakan pada kelainan medulla
spinalis. Kelemahan alat ini adalah tidak dapat mendeteksi adanya emboli
paru, udara bebas dalam peritoneum dan fraktur. Kelemahan lainnya
adalah tidak bisa memeriksa pasien yang menggunakan protese logam
dalam tubuhnya, preosedur pemeriksaan yang lebih rumit dan lebih
lama, serta harga pemeriksaan yang lebih mahal.21
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien yang diduga mengalami stroke perlu dilakukan pemeriksaan
laboratorium. Parameter yang diperiksa meliputi kadar glukosa darah,
elektrolit, analisa gas darah, hematologi lengkap, kadar ureum, kreatinin,
enzim jantung, prothrombin time (PT) dan activated partial
thromboplastin time (aPTT). Pemeriksaan kadar glukosa darah untuk
mendeteksi hipoglikemi maupun hiperglikemi, karena pada kedua keadaan
ini dapat dijumpai gejala neurologis. Pemeriksaan elektrolit ditujukan
untuk mendeteksi adanya gangguan elektrolit baik untuk natrium, kalium,
kalsium, fosfat maupun magnesium. Pemeriksaan analisa gas darah juga
perlu dilakukan untuk mendeteksi asidosis metabolik. Hipoksia dan
hiperkapnia juga menyebabkan gangguan neurologis. Prothrombin time
(PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTT) digunakan untuk
17

menilai aktivasi koagulasi serta monitoring terapi. Dari pemeriksaan


hematologi lengkap dapat diperoleh data tentang kadar hemoglobin, nilai
hematokrit, jumlah eritrosit, leukosit, dan trombosit serta morfologi sel
darah. Polisitemia vera, anemia sel sabit, dan trombositemia esensial
adalah kelainan sel darah yang dapat menyebabkan stroke.22

2.6. Penatalaksanaan Terapi Umum Stroke14


1. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
- Letakkan kepala pasien pada posisi 300, kepala dan dada pada satu
bidang; ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap
bila hemodinamik sudah stabil.
-
Pemantauan secara terus menerus terhadap status neurologis, nadi,
tekanan darah, suhu tubuh, dan saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam,
pada pasien dengan defisit neurologis yang nyata.
-
Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen
95%. Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia. Pasien stroke
iskemik akut yang nonhipoksia tidak mernerlukan terapi oksigen.
2. Stabilisasi Hemodinamik
- Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pernberian
cairan hipotonik seperti glukosa).
- Optimalisasi tekanan darah
Bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan cairan sudah mencukupi,
maka obat-obat vasopressor dapat diberikan secara titrasi seperti
dopamin dosis sedang/ tinggi, norepinefrin atau epinefrin dengan
target tekanan darah sistolik berkisar 140 mmHg. Pemantauan jantung
(cardiac monitoring) harus dilakukan selama 24 jam pertama
setelah serangan stroke iskemik. Bila terdapat adanya penyakit jantung
kongestif, segera atasi (konsultasi Kardiologi).
3. Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)
Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema serebral
harus dilakukan dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda
neurologis pada hari-hari pertama setelah serangan stroke.
18

Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial


meliputi :
- Tinggikan posisi kepala 20o-30o
- Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular.
- Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
- Hindari hipertermia
- Jaga normovolernia
- Osmoterapi atas indikasi:
 Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi setiap 4 -
6 jam dengan target ≤ 310 mOsrn/L. Osmolalitas sebaiknya
diperiksa 2 kali dalam sehari selama pemberian osmoterapi. Kalau
perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1 mg/kgBB/IV.
4. Pengendalian Kejang
Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20 mg dan
diikuti oleh fenitoin, loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan
maksimum 50 mg/menit. Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat
di ICU.21,24,25
5. Pengendalian Suhu Tubuh
Setiap penderita stroke yang disertai demam harus diobati dengan
antipiretika dan diatasi penyebabnya. Berikan Asetaminofen 650 mg bila

suhu lebih dari 38,5oC. Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi,
harus dilakukan kultur dan hapusan (trakea, darah dan urin) dan diberikan
antibiotik. Jika memakai kateter ventrikuler, analisa cairan serebrospinal
harus dilakukan untuk mendeteksi meningitis. Jika didapatkan meningitis,
maka segera diikuti terapi antibiotik.
6. Penatalaksanaan Medis Lain
Pemantauan kadar glukosa darah sangat diperlukan. Hiperglikemia (kadar
glukosa darah >180 mg/dl) pada stroke akut harus diobati dengan titrasi
insulin. Target yang harus dicapai adalah normoglikemia. Hipoglikemia
berat (<50 mg/dl) harus diobati dengan dekstrosa 40% intravena atau
19

infuse glukosa 10-20%. Jika gelisah lakukan terapi psikologi, kalau perlu
berikan minor dan mayor tranquilizer seperti benzodiazepine short acting
atau propofol bisa digunakan analgesic dan antimuntah sesuai indikasi.
Hati-hati dalam menggerakkan, penyedotan lendir, atau memandikan
pasien karena dapat mempengaruhi TIK. Kandung kemih yang penuh
dikosongkan, sebaiknya dengan kateterisasi intermiten. Pemberian
antiplatelet Aspirin dengan dosis awal 325 mg dalam 24 sampai 48 jam
setelah awitan stroke dianjurkan untuk setiap stroke iskemik akut. Aspirin
tidak boleh digunakan sebagai pengganti tindakan intervensi akut pada
stroke, seperti pemberian rtPA intravena.
Pemakaian obat-obatan neuroprotektor belum menunjukkan hasil yang
efekif, sehingga sampai saat ini belum dianjurkan. Namun, citicolin
sampai saat ini masih memberikan manfaat pada stroke akut. Penggunaan
citicolin pada stroke iskemik akut dengan dosis 2x1000 mg intravena 3
hari dan dilanjutkan dengan oral 2x1000 mg selama 3 minggu dilakukan
dalam penelitian ICTUS (International Citicholin Trial in Acute Stroke,
ongoing). Selain itu, pada penelitian yang dilakukan oleh PERDOSSI
secara multisenter, pemberian Plasmin oral 3 x 500 mg pada 66 pasien
di 6 rumah sakit pendidikan di Indonesia menunjukkan efek positif pada
penderita strke akut berupa perbaikan motorik.
7. Penatalaksanaan Hipertensi
Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar
15% (sistolik maupun diastolik) dalam 24 jam pertama setelah awitan
apabila tekanan darah sistolik (TDS) ≥220 mmHg atau tekanan darah
diastolik (TDD) ≥120 mmHg, Mean Arterial BloodPressure (MAP) ≥ 130
mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu 30 menit), atau
didapatkan infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta gagal ginjal..
Pada pasien stroke iskemik akut yang akan diberi terapi trombolitik
(rtPA), tekanan darah diturunkan hingga TDS <185 mmHg dan TDD <110
mmHg. Selanjutnya, tekanan darah harus dipantau hingga TDS <180
mmHg dan TDD <105 mmHg selama 24 jam setelah pemberian rtPA.Obat
20

yang direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa


(fentolamin), penyekat reseptor beta (labetalol, esmolol), penyekat ACE
(enalaprilat), atau antagonis kalsium (nikardipin, diltiazem).24,25
8. Penatalaksanaan Hipotensi Pada Stroke Akut
Hipotensi arterial pada stroke akut berhubungan dengan buruknya
keluaran neurologis, terutama bila TDS <100 mmHg atau TDD <70
mmHg.Oleh karena itu, hipotensi pada stroke akut harus diatasi dan dicari
penyebabnya, terutama diseksi aorta, hipovolemia, perdarahan, dan
penurunan cardiac output karena iskemia miokardial atau aritmia.
Penggunaan obat vasopresor dapat diberikan dalam bentuk infuse dan
disesuaikan dengan efek samping yang akan ditimbulkan seperti
takikardia. Obat-obat vasopressor yang dapat digunakan antara lain,
fenilephrin, dopamine, dan norepinefrin. Pemberian obat-obat tersebut
diawali dengan dosis kecil dan dipertahankan pada tekanan darah optimal,
yaitu TDS berkisar 140 mmHg pada kondisi akut stroke.
9. Penatalaksanaan Stroke Hemoragik
Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume hematoma >30
mL, perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan klinis
cenderung memburuk.
Algoritme penatalaksanaan hipertensi pada perdarahan intraserebral:
- Sistolik >230mmHg atau diastolik >140mmHg dapat diberikan
nitroprusside
- Sistolik >180- 230mmHg atau Diastolik >105-140mmHg atau MABP
≥130mmHg dapat diberikan labetalol, esmolol, enalapril atau preparat
intravena lainnya yang dapat dititrasi seperti diltiazem, lisinopril dan
verapamil.
- Sistolik <180mmHg atau Diastolik <105mmHg hindari penggunaan
antihipertensi.
- Pertahankan tekanan perfusi serebral >70mmHg.
Tindakan operatif ditujukan untuk mengurangi efak massa serta
mengurangi efek neurotoksik dari bekuan darah. Dengan kemajuan teknik
21

operatif, angka kematian semakin rendah dibandingkan dengan


menggunakan modalitas medikamentosa. Mortalitas pada suatu penelitian
pada perdarahan intraserebral yang dilakukan operatif pada 12 jam setelah
onset sekitar 18%. Perdarahan pada daerah pons, medula oblongata dan
mesensefalon tidak dilakukan tindakan operatif.

2.7. Prognosis
Angka mortalitas stroke batang otak mencapai lebih dari 85%. Penderita yang
masih bertahan hidup akan mengalami kecacatan dengan defisit neurologis yang
cukup signifikan. Pasien yang mampu bertahan dengan gejala simtomatis yang
jelas, memiliki risiko stroke ulangan sebesar 10-15%.19
BAB 3
KESIMPULAN

Stroke batang otak memiliki gejala yang kompleks, dan bisa jadi sulit untuk
didiagnosa. Sama halnya dengan stroke pada bagian otak lainnya, stroke batang
otak bisa dikarenakan 2 hal, yaitu sumbatan ataupun perdarahan. Penyebab lesi
lainnya bisa dikarenakan trauma pada arteri yang sangat jarang terjadi karena
perubahan pergerakan leher dan kepala secara tiba-tiba. Stroke batang otak
menghasilkan defisit neurologis dan penyembuhan dalam spektrum yang luas.
Seseorang yang memiliki defisit neurologis yang minimal ataupun kompleks sangat
bergantung pada lokasi mana di bagian batang otak yang terkena lesi, perluasan lesi
dan seberapa cepat tatalaksana diberikan.
Angka mortalitas stroke batang otak mencapai lebih dari 85%. Penderita yang
masih bertahan hidup akan mengalami kecacatan dengan defisit neurologis yang
cukup signifikan. Pasien yang mampu bertahan dengan gejala simtomatis yang
jelas, memiliki risiko stroke ulangan sebesar 10-15%. Skor dari skala koma glasgow
yang rendah berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk dan mortalitas yang
lebih tinggi. Adanya darah dalam ventrikel dan batang otak bisa meningkatkan
resiko kematian dua kali lipat.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. International Task Force for Prevention of


Coronary Heart Disease Stroke. Definition of Stroke established by WHO in
1980. URL http://www.chd-taskforce.de/pdf/sk_stroke_02.pdf; 2014.
2. Feigin VL, Forouzanfar MH, Krishnamurthi R, Mensah GA, Connor M, Bennett
DA, et al.; Global Burden of Diseases, Injuries, and Risk Factors Study 2010
(GBD 2010) and the GBD Stroke Experts Group. Global and regional burden of
stroke during 1990-2010: findings from the Global Burden of Disease Study
2010. Lancet. 2014 Jan 18;383(9913):245–54.
3. Stroke Association. Stroke Statistics. Available from :
http://www.stroke.org.uk/sites/default/files/stroke%20statistics.pdf; 2012.
4. Riskesdas. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Kementerian
Kesehatan RI; 2013.
5. Brain stem stroke. Excerpted and adapted from “surviving a brain stem stroke”,
stroke connection January/February 2003 (science update October, 2012).
Available from :
http://www.strokeassociation.org/strokeorg/aboutstroke/effectsofstroke/brain-
stem-stroke_ucm_310771_article.jsp#menu.
6. Moore KL, Dalley AF, Agur AMR. Moore clinically oriented anatomy. 7th ed.
Philadelphia: Wolters Kluwer, Lippincott Williams & Wilkins. 2014. h. 1053-
75.
7. Price, Sylvia A. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit ed.6. EGC,
Jakarta. 2006.
8. Patton KT, Thibodeau GA. Anatomy and physiology. 9th ed. USA: Elsevier.
2016. h. 474.
9. Zorowitz RD. Infratentorial stroke syndromes. In: Stroke recovery and
rehabilitation. Stein J, et.al. (Editors). New York: Demosmedical. 2009. h. 95-
122.

23
24

10.Jauch, E.C., Stettler, B., Arnold, J.L., et al., 2015. Ischemic Stroke. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/1916852-overview. [Accessed

28thAugust 2016].

11.Putro Y.H. Hubungan Antara Kerusakan Otak pada Stroke Akut dengan
Peningkatan Creatine Phosphokinase. Universitas Diponegoro. Thesis; 2004.

12.Misbach J. 2007. Stroke, Aspek diagnostik, patofisiologi, manajemen. Edisi


pertama. BP FK Universitas Indonesia, Jakarta.

13.Sjahrir, H., 2003. Stroke Iskemik. Medan: Yandira Agung.

14.Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.


Guideline Stroke 2007. Edisi Revisi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia: Jakarta, 2007.
15.Sastrodiningrat, Abdul. Perdarahan Intraserebral Hipertensif Divisi Ilmu Bedah
Saraf Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,
Medan, 2006.
16.Price, A,S, Wilson M. L, 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
penyakit. Alih Bahasa : dr. Brahm U. Penerbit. Jakarta : EGC.
17.Nasissi, Denise. Hemorrhagic Stroke Emedicine. Medscape, 2010.
18.Weiner HL. Levitt LP. Buku saku neurologi. Edisi 5. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC. 2001. h. 44-53.
19.Kaye V. Vertebrobasilar stroke. Updated Feb 10, 2017. Available from :
https://emedicine.medscape.com/article/323409-overview#a7.
20.Rahmawati, E. 2009. Prevalensi stroke iskemik pada pasien rawat inap di RSUP
Fatmawati, [Skripsi]. Jakarta Selatan.
21.Notosiswoyo M. 2004. Pemanfaatan magnetic resonance imaging (MRI)
sebagai sarana diagnose pasien. Media Litbang Kesehatan no.3, vol XIV. hlm: 0
–3
22.Rahajuningsih D S. 2009. Patofisiologi trombosis. Edisi ke – 4. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. hlm 34-45.

Anda mungkin juga menyukai