Anda di halaman 1dari 28

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN REFERAT

MARET 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

VARICELLA TANPA KOMPLIKASI

Oleh :

Dewi Syartika (10550 54014 17)

Annias Nur Mutia (10550 54018 17)

Pembimbing :

dr. Hj. Muji Iswanty, S.H., M.H., Sp.KK

(Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik bagian

Ilmu Penyakit Dalam)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2018

i
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan, bahwa:

Nama : Dewi Syartika

Annisa Nur Mutia

NIM : 10550 54014 17

10550 54018 17

Judul Laporan Kasus : Varicella Tanpa Komplikasi

Telah menyelesaikan Referat dalam rangka Kepanitraan Klinik di Bagian

Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Maret 2018

Pembimbing,

(dr. Hj. Muji Iswanty, S.H., M.H., Sp.KK)

ii
I. PENDAHULUAN

Varicella adalah suatu penyakit infeksi akut primer oleh virus Varicella Zoster
yang menyerang kulit, mukosa dan selaput lendir, klinis terdapat gejala konstitusi,
kelainan kulit polimorf ditandai oleh adanya vesikel-vesikel, terutama berlokasi di
bagian sentral tubuh. Sinonimnya adalah cacar air, chicken pox.1 Varicella merupakan
penyakit infeksi virus akut dan cepat menular. Penyakit ini merupakan hasil infeksi
primer pada penderita yang rentan.2
Varicella merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus Varicella
Zoster. Virus Varicella Zoster merupakan virus DNA yang mirip dengan virus Herpes
Simpleks. Pada hakekatnya varicella memberikan gambaran penyakit yang berat dan
peradangan yang lebih jelas disbanding dengan penyakit herpes simpleks. Virus
tersebut dapat pula menyebabkan herpes zoster. Kedua penyakit ini mempunyai
manifestasi klinis yang berbeda.3,4 Varicella pada umumnya menyerang anak,
sedangkan herpes zoster atau shingles merupakan suatu reaktivasi infeksi endogen
pada periode laten VZV umumnya menyerang orang dewasa atau anak yang
menderita defisiensi imun.5
Virus Varicella Zoster dapat menyebabkan 2 jenis, yaitu infeksi primer dan
sekunder. Varicella (chicken pox) merupakan suatu bentuk infeksi primer virus
Varicella Zoster yang pertama kali pada individu yang berkontak langsung dengan
virus tersebut sedangkan infeksi sekunder/rekuren (karena persistensi virus) disebut
Herpes Zoster/shingles.3
Virus Varicella Zoster masuk kedalam tubuh dan menyebabkan terjadinya
infeksi primer, setelah ada kontak dengan virus tersebut akan terjadi varicella.
Kemudian setelah penderita varicella (infeksi primer) sembuh, mungkin virus itu
tetap ada dalam bentuk laten (tanpa ada manifestasi klinis) pada dasar akar ganglia
dan nervus spinalis. Virus tersebut dapat menjadi aktif kembali dalam tubuh individu
dan menyebabkan terjadinya Herpes Zoster.4

3
II. EPIDEMIOLOGI
Varicella tersebar kosmopolit (di seluruh dunia), dapat mengenai semua
golongan umur, termasuk neonates (varicella kongenital). Tetapi tersering menyerang
terutama anak-anak, tetapi dapat juga menyerang orang dewasa. Bila terjadi pada
orang dewasa, umumnya gejala konstitusi lebih berat. Transmisi penyakit ini
berlangsung secara aerogen. Varicella sangat mudah menular terutama melalui kontak
langsung, droplet atau aerosol dari lesi vesikuler di kulit ataupun melalui saluran
nafas, dan jarang melalui kontak tidak langsung. Masa penularannya, pasien dapat
menularkan penyakit selama 24-48 jam sebelum lesi kulit timbul sampai semua lesi
timbul krusta/keropeng, biasanya kurang lebih 6-7 hari dihitung dari timbulnya gejala
erupsi di kulit. Penyakit ini cepat sekali menular pada orang-orang di lingkungan
penderita. Seumur hidup seseorang hanya satu kali menderita varicella. Serangan
kedua mungkin berupa penyebaran ke kulit pada herpes zoster.1,2,4,6
Varicella dapat terjadi di sepanjang tahun. Di Negara Barat, prevalensi
kejadian varicella tergantung dari musim (musim dingin dan awal musim semi lebih
banyak). Di Indonesia belum pernah dilakukan penelitian, agaknya penyakit virus
menyerang pada musim peralihan. Angka kejadian di Negara kita belum pernah
diteliti, tetapi di Amerika dikatakan kira-kira 3,1-3,5 juta kasus dilaporkan tiap
tahun.4,5

III. ETIOLOGI
Varicella disebabkan oleh Varicella Zoster Virus (VZV). Penamaan virus ini
memberi pengertian bahwa infeksi primer virus ini meyebabkan penyakit varicella,
sedangkan reaktivasi menyebabkan herpes zoster. Varicella Zoster Virus (VZV)
termasuk kelompok virus herpes dengan ukuran diameter kira-kira 140–200 nm.1,2,6
Varicella-Zooster virus diklasifikasikan sebagai herpes virus alfa karena
kesamaannya dengan prototipe kelompok ini yaitu virus herpes simpleks. Inti virus
disebut Capsid, terdiri dari protein dan DNA dengan rantai ganda, yaitu rantai pendek
(S) dan rantai panjang (L) dan membentuk suatu garis dengan berat molekul 100 juta
4
yang disusun dari 162 capsomer dan sangat infeksius. Genom virus mengkode lebih
dari 70 protein, termasuk protein yang merupakan sasaran imunitas dan timidin
kinase virus, yang membuat virus sensitif terhadap hambatan oleh asiklovir dan
dihubungkan dengan agen antivirus.7
VZV dapat pula menyebabkan Herpes Zoster. Kedua penyakit ini mempunyai
manifestasi klinis yang berbeda. Kontak pertama dengan virus ini akan menyebabkan
varicella, oleh karena itu varicella dikatakan infeksi akut primer, kemudian setelah
penderita varicella tersebut sembuh, mungkin virus itu tetap ada di akar ganglia
dorsal dalam bentuk laten (tanpa ada manifestasi klinis) dan kemudian VZV
diaktivasi oleh trauma sehingga menyebabkan Herpes Zoster.4,5,7
VZV dapat ditemukan dalam cairan vesikel dan dalam darah penderita
varicella sehingga mudah dibiakan dalam media yang terdiri dari fibroblast paru
embrio manusia.4

Gambar 3.1 Struktur partikel virus varicella-zooster


Sumber : http://www.bio-rad.com

IV. PATOFISIOLOGI
Varicella disebabkan oleh VZV yang termasuk dalam famili virus herpes.
Virus masuk ke dalam tubuh manusia melalui mukosa saluran napas bagian atas dan

5
orofaring (percikan ludah, sputum). Multiplikasi virus di tempat tersebut diikuti oleh
penyebaran virus dalam jumlah sedikit melalui darah dan limfe (viremia primer).
Virus VZV dimusnahkan/ dimakan oleh sel-sel sistem retikuloendotelial, di sini
terjadi replikasi virus lebih banyak lagi (pada masa inkubasi). Selama masa inkubasi
infeksi virus dihambat sebagian oleh mekanisme pertahanan tubuh dan respon yang
timbul (imunitas nonspesifik).2,5
Pada sebagian besar individu replikasi virus lebih menonjol atau lebih
dominan dibandingkan imunitas tubuhnya yang belum berkembang, sehingga dalam
waktu dua minggu setelah infeksi terjadi viremia sekunder dalam jumlah yang lebih
banyak. Hal ini menyebabkan panas dan malaise, serta virus menyebar ke seluruh
tubuh lewat aliran darah, terutama ke kulit dan membrane mukosa. Lesi kulit muncul
berturut-berturut, yang menunjukkan telah memasuki siklus viremia, yang pada
penderita yang normal dihentikan setelah sekitar 3 hari oleh imunitas humoral dan
imunitas seluler VZV. Virus beredar di leukosit mononuklear, terutama pada limfosit.
Bahkan pada varicella yang tidak disertai komplikasi, hasil viremia sekunder
menunjukkan adanya subklinis infeksi pada banyak organ selain kulit.2
Respon imun penderita menghentikan viremia dan menghambat berlanjutnya
lesi pada kulit dan organ lain. Imunitas humoral terhadap VZV berfungsi protektif
terhadap varicella. Pada orang yang terdeteksi memiliki antibodi serum biasanya
tidak selalu menjadi sakit setelah terkena paparan eksogen. Sel mediasi imunitas
untuk VZV juga berkembang selama varicella, berlangsung selama bertahun-tahun,
dan melindungi terhadap terjadinya resiko infeksi yang berat.3
Reaktivasi pada keadaan tubuh yang lemah sebagian idiopatik tanpa diketahui
penyebabnya, sebagian simptomatik (defisiensi imun melalui penyakit system imun,
neoplasia, supresi imun).3
V. GEJALA KLINIS
Masa inkubasi penyakit ini berlangsung 14 sampai 21 hari. Masa inkubasi
dapat lebih lama pada pasien dengan defisiensi imun dan pada pasien yang telah

6
menerima pengobatan pasca paparan dengan produk yang mengandung antibodi
terhadap varicella.1
Perjalanan penyakit dibagi menjadi 2 stadium yaitu stadium prodromal dan
stadium erupsi. Stadium prodromal yaitu 24 jam sebelum kelainan kulit timbul,
terdapat gejala seperti demam, malaise, kadang-kadang terdapat kelainan
scarlatinaform atau morbiliform. Stadium erupsi dimulai dengan terjadinya papul
merah, kecil, yang berubah menjadi vesikel yang berisi cairan jernih dan mempunyai
dasar eritematous. Permukaan vesikel tidak memperlihatkan cekungan ditengah
(unumbilicated).4
Gejala klinis mulai gejala prodromal, yakni demam yang tidak terlalu tinggi,
malaise dan nyeri kepala, kemudian disusul timbulnya erupsi kulit berupa papul
eritematosa yang dalam waktu beberapa jam berubah menjadi vesikel. Bentuk vesikel
ini khas berupa tetesan embun (tear drops). Vesikel akan berubah menjadi keruh
(pustul) dalam waktu 24 jam dan kemudian pecah menjadi krusta. Biasanya vesikel
menjadi kering sebelum isinya menjadi keruh. Sementara proses ini berlangsung,
dalam 3-4 hari erupsi tersebar disertai perasaan gatal. Timbul lagi vesikel-vesikel
yang baru di sekitar vesikula yang lama, sehingga menimbulkan gambaran polimorfi.
Stadium erupsi yang seperti ini disebut sebagai stadium erupsi bergelombang.1,2,4

Gambar 5.1 Gambaran ruam pada infeksi virus varicella zoster


Sumber : http://health.howstuff works.com

7
Penyebaran terutama di daerah badan dan kemudian menyebar secara
sentrifugal ke muka dan ekstremitas, serta dapat menyerang selaput lendir mata,
mulut, dan saluran napas bagian atas. Jika terdapat infeksi sekunder terdapat
pembesaran kelenjar getah bening regional. Penyakit ini biasanya disertai gatal.1
Pada anak kecil jarang terdapat gejala prodromal. Sementara pada anak yang
lebih besar dan dewasa, munculnya erupsi kulit didahului gejala prodromal. Ruam
yang seringkali didahului oleh demam selama 2-3 hari, kedinginan, malaise,
anoreksia, sakit kepala, nyeri punggung, dan pada beberapa pasien dapat disertai
nyeri tenggorokan dan batuk kering.3
Pada pasien yang belum mendapat vaksinasi, ruam dimulai dari muka dan
skalp, dan kemudian menyebar secara cepat ke badan dan sedikit ke ekstremitas. Lesi
baru muncul berturut-turut, dengan distribusi terutama di bagian sentral. Ruam
cenderung padat kecil-kecil di punggung dan antara tulang belikat daripada skapula
dan bokong dan lebih banyak terdapat pada medial daripada tungkai sebelah lateral.
Tidak jarang terdapat lesi di telapak tangan dan telapak kaki, dan vesikula sering
muncul sebelumnya dan dalam jumlah yang lebih besar di daerah peradangan, seperti
daerah yang terkena sengatan matahari.8

Gambar 5.2 Gambaran orang yang terkena infeksi varicella


Sumber : http://www.emedicinehealth.com

8
Gambar 5.3 Infeksi varicella pada penderita dengan imunisasi
Sumber : http://www.emedicinehealth.com

Gambaran dari lesi varicella berkembang secara cepat, yaitu lebih kurang dari
12 jam, dimana mula-mula berupa makula eritematosa yang berkembang menjadi
papul, vesikel, pustul, dan krusta. Vesikel dari varicella berdiameter 2-3 mm, dan
berbentuk elips, dengan aksis panjangnya sejajar dengan lipatan kulit. Vesikel
biasanya superfisial dan berdinding tipis, dan dikelilingi daerah eritematosa sehingga
tampak terlihat seperti “embun di atas daun mawar”. Cairan vesikel cepat menjadi
keruh karena masuknya sel radang, sehingga mengubah vesikel menjadi pustul. Lesi
kemudian mengering, mula-mula di bagian tengah sehingga menyebabkan umbilikasi
dan kemudian menjadi krusta. Krusta akan lepas dalam 1-3 minggu, meninggalkan
bekas bekas cekung kemerahan yang akan berangsur menghilang. Apabila terjadi
superinfeksi dari bakteri maka dapat terbentuk jaringan parut. Lesi yang telah
menyembuh dapat meninggalkan bercak hipopigmentasi yang dapat menetap selama
beberapa minggu/bulan. 6

9
Vesikel juga terdapat di mukosa mulut, hidung, faring, laring, trakea, saluran
cerna, kandung kemih, dan vagina. Vesikel di mukosa ini cepat pecah sehingga
seringkali terlihat sebagai ulkus dangkal berdiameter 2-3 mm.6

Gambar 5.4 Lesi dengan spektrum luas


Sumber : Straus, Stephen E. Oxman, Michael N. Schmader, Kenneth E.
Varicella. In: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine; seventh
edition, vol 1 and 2. 2008. P.1885-1895.

Gambaran khas dari varicella adalah adanya lesi yang muncul secara simultan
(terus-menerus), di setiap area kulit, dimana lesi tersebut terus berkembang. Suatu
prospective study menunjukkan rata-rata jumlah lesi pada anak yang sehat berkisar
antara 250-500. Pada kasus sekunder karena paparan di rumah gejala klinisnya lebih
berat daripada kasus primer karena paparan di sekolah, hal ini mungkin disebabkan
karena paparan di rumah lebih intens dan lebih lama sehingga inokulasi virus lebih
banyak.5
Demam biasanya berlangsung selama lesi baru masih timbul, dan tingginya
demam sesuai dengan beratnya erupsi kulit. Jarang di atas 39oC, tetapi pada keadaan
yang berat dengan jumlah lesi banyak dapat mencapai 40,5 oC. Demam yang
berkepanjangan atau yang kambuh kembali dapat disebabkan oleh infeksi sekunder

10
bakterial atau komplikasi lainnya. Gejala yang paling mengganggu adalah gatal yang
biasanya timbul selama stadium vesikuler.7
Infeksi yang timbul pada trimester pertama kehamilan dapat menimbulkan
kelainan kongenital, sedangkan infeksi yang timbul beberapa hari menjelang
kelahiran dapat menyebabkan varicella kongenital pada neonatus.1
Karena kemungkinan mendapat varicella pada masa kanak-kanak sangat
besar, maka varicella jarang ditemukan pada wanita hamil (0,7 tiap 1000 kehamilan).
Diperkirakan 17% dari anak yang dilahirkan wanita yang mendapat varicella ketika
hamil akan menderita kelainan bawaan berupa bekas luka di kulit (cutaneous scars),
berat badan lahir rendah, hypoplasia tungkai, kelumpuhan dan atrofi tungkai, kejang,
retardasi mental, korioretinitis, atrofi kortikal, katarak atau kelainan mata lainnya.
Angka kematian tinggi. Bila seorang wanita hamil mendapat varicella dalam 21 hari
sebelum ia melahirkan, maka 25% dari neonatus yang dilahirkan akan
memperlihatkan gejala varicella kongenital pada waktu dilahirkan sampai berumur 5
hari. Biasanya varicella yang timbul berlangsung ringan dan tidak mengakibatkan
kematian. Sedangkan bila seorang wanita hamil mendapat varicella dalam waktu 4-5
hari sebelum melahirkan, maka neonatusnya akan memperlihatkan gejala varicella
kongenital pada umur 5-10 hari. Disini perjalanan penyakit varicella sering berat dan
menyebabkan kematian sebesar 25-30%. Mungkin ini ada hubungannya dengan
kurun waktu fetus berkontak dengan varicella dan dialirkannya antibody itu melalui
plasenta kepada fetus.4

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Gambaran histopatologi yaitu vesikula terdapat dalam epidermis, terbentuk
akibat ‘degenerasi balon’, sangat sukar dibedakan dari kelainan pada herpes zoster
dan herpes simpleks.5,6
Lesi pada varicella dan herpes zoster tidak dapat dibedakan secara
histopatologi. Pada pemeriksaan menunjukkan sel raksasa berinti banyak dan sel
epitel yang mengandung badan inklusi intranuklear yang asidofilik.8

11
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan percobaan Tzanck dengan cara membuat
sediaan hapus yang diwarnai, dimana bahan pemeriksaan diambil dari kerokan dari
dasar vesikel yang muncul lebih awal, kemudian diletakkan di atas object glass, dan
difiksasi dengan ethanol atau methanol, dan diwarnai dengan pewarnaan
hematoxylin-eosin, Giemsa, Papanicolaou, atau pewarnaan Paragon. Hasilnya akan
didapati sel datia berinti banyak.1

Gambar 6.1 Sel raksasa berinti banyak


Sumber : Straus, Stephen E. Oxman, Michael N. Schmader, Kenneth E.
Varicella. In: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine; seventh
edition, vol 1 and 2. 2008. P.1885-1895.

Di samping itu Varicella zoster virus (VZV) polymerase chain reaction (PCR)
adalah metode pilihan untuk diagnosis varicella. VZV juga dapat diisolasi dari kultur
jaringan, meskipun kurang sensitif dan membutuhkan beberapa hari untuk
mendapatkan hasilnya. Bahan yang paling sering digunakan adalah isolasi dari cairan
vesikuler. VZV PCR adalah metode pilihan untuk diagnosis klinis yang cepat. Real-
time PCR metode tersedia secara luas dan merupakan metode yang paling sensitif dan
spesifik dari tes yang tersedia. Hasil tersedia dalam beberapa jam. Jika real-time PCR
tidak tersedia, antibodi langsung metode (DFA) neon dapat digunakan, meskipun

12
kurang sensitif dibanding PCR dan membutuhkan pengambilan spesimen yang lebih
teliti.5
Berbagai tes serologi untuk antibodi terhadap varicella tersedia secara
komersial termasuk uji aglutinasi lateks (LA) dan sejumlah enzyme-linked
immunosorbent tes (ELISA). Saat ini tersedia metode ELISA, dan ternyata tidak
cukup sensitif untuk mampu mendeteksi serokonversi terhadap vaksin, tetapi cukup
kuat untuk mendeteksi orang yang memiliki kerentanan terhadap VZV. ELISA
sensitif dan spesifik, sederhana untuk melakukan, dan banyak tersedia secara
komersial. Di samping itu LA juga tersedia secara sensitif, sederhana, dan cepat untuk
dilakukan. LA agak lebih sensitif dibandingkan ELISA komersial, meskipun dapat
menghasilkan hasil yang positif palsu, dan dapat menyebabkan kegagalan untuk
mengidentifikasi orang-orang yang tidak terbukti memiliki imunitas terhadap
varicella. Dimana salah satu dari tes ini akan berguna untuk skrining kekebalan
terhadap varicella.5

VII. DIAGNOSIS
Varicella biasanya mudah didiagnosa berdasarkan gambaran klinis yaitu
penampilan dan perubahan pada karakteristik dari ruam yang timbul, terutama apabila
ada riwayat terpapar varicella 2-3 minggu sebelumnya.9
Varicella khas ditandai dengan erupsi papulovesikuler setelah fase prodromal
ringan atau bahkan tanpa fase prodromal, dengan disertai panas dan gejala
konstitusi ringan. Gambaran lesi bergelombang, polimorfi dengan penyebaran
sentrifugal. Sering ditemukan lesi pada membrane mukosa. Penularannya
berlangsung cepat.2
Diagnosis laboratorik sama seperti pada herpes zoster yaitu dengan
pemeriksaan sediaan hapus secara Tzanck (deteksi sel raksasa dengan banyak
nucleus/inti), pemeriksaan mikroskop electron cairan vesikel (deteksi virus secara
langsung) dan material biopsi (kultur), dan tes serologik (meningkatnya titer).2,3

13
VIII. DIAGNOSIS BANDING
Varicella dapat dibedakan dengan beberapa kelainan kulit, antara lain harus
dibedakan dengan variola. Pada variola, penyakit lebih berat, memberi gambaran lesi
monomorf, dan penyebarannya sentripetal dimulai dari bagian akral tubuh, yakni
telapak tangan dan telapaka kaki, baru ke badan.1,2
Bedakan juga dengan herpes zoster. Pada herpes zoster lesi monomorf, nyeri,
biasanya unilateral. Pada herpes zoster juga sama-sama biasanya didahului oleh fase
prodromal, setelah fase prodromal sering disertai dengan rasa nyeri, perubahan pada
kulit terjadi pada setengah bagian badan (unilateral) dan berbentuk garis berkaitan
dengan daerah dermatom dengan lesi yang berupa gelembung-gelembung kecil yang
berkelompok di aatas dasar eritematosa. Dapat terjadi perkembangan yang berat yang
meliputi keterlibatan mata (Zoster trigeminus I), mukosa mulut (Zoster trigeminus II,
III), telinga bagian dalam (Zoster oticus). Herpes zoster pada penderita insufisiensi
imun atau tumor, terapi resisten dengan bahaya terjadi efek generalisasi pada kulit
dan manifestasi ekstrakutan.3,6
Dermatitis herpetiform : biasanya simetris terdiri dari papula vesikuler yang
eritematosus, serta ada riwayat penyakit kronis, dan sembuh dengan meninggalkan
pigmentasi.
Impetigo : lesi impetigo yang pertama adalah vesikel yang cepat menjadi
pustula dan krusta. Distribusi lesi impetigo terletak dimana saja. Impetigo tidak
menyerang mukosa mulut.
Skabies : pada skabies terdapat papula yang sangat gatal. Lokasi biasanya
antara jari-jari kaki. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Sarcoptes Scabiei.
IX. PENATALAKSANAAN
Tidak ada terapi spesifik terhadap varicella. Pengobatan bersifat simptomatik
dengan antipiretik dan analgesik. Untuk panasnya dapat diberikan asetosal atau
antipiretik lain seperti asetaminofen dan metampiron. Untuk menghilangkan rasa
gatal dapat diberikan antihistamin oral atau sedative. Topikal diberikan bedak yang
ditambah zat anti gatal (mentol, kamfora) seperti bedak salisilat 1-2% atau lotio
14
kalamin untuk mencegah pecahnya vesikel secara dini serta menghilangkan rasa
gatal. Jika timbul infeksi sekunder dapat diberikan antibiotika berupa salep dan oral.
Dapat pula diberikan obat-obat antivirus. VZIG (varicella zoster immunoglobuline)
dapat mencegah atau meringankan varicella, diberikan intramuscular dalam 4 hari
setelah terpajan. Yang penting pada penyakit virus, umumnya adalah istirahat / tirah
baring. 1,2,4
Pengobatan secara sistemik dapat dengan memberikan antivirus. Beberapa
analog nukleosida seperti acyclovir, famciclovir, valacyclovir, dan brivudin, dan
analog pyrophosphate foskarnet terbukti efektif untuk mengobati infeksi VZV.
Acyclovir adalah suatu analog guanosin yang secara selektif difosforilasi oleh timidin
kinase VZV sehingga terkonsentrasi pada sel yang terinfeksi. Enzim-enzim selular
kemudian mengubah acyclovir monofosfat menjadi trifosfat yang mengganggu
sintesis DNA virus dengan menghambat DNA polimerase virus. VZV kira-kira
sepuluh kali lipat kurang sensitif terhadap acyclovir dibandingkan HSV.3
Valacyclovir dan famcyclovir, merupakan prodrug dari acyclovir yang
mempunyai bioavaibilitas oral lebih baik daripada acyclovir sehingga kadar dalam
darah lebih tinggi dan frekuensi pemberian obat berkurang.3
Pada anak normal varicella biasanya ringan dan dapat sembuh sendiri.
Pengobatan topical dapat diberikan. Untuk mengatasi gatal dapat diberikan kompres
dingin, atau lotion kalamin, antihistamin oral. Cream dan lotion yang mengandung
kortikosteroid dan salep yang bersifat oklusif sebaiknya tidak digunakan. Kadang
diperlukan antipiretik, tetapi pemberian golongan salisilat sebaiknya dihindari karena
sering dihubungkan dengan terjadinya sindroma Reye. Mandi rendam dengan air
hangat dapat mencegah infeksi sekunder bakterial.3
Anti virus pada anak dengan pengobatan dini varicella dengan pemberian
acyclovir (dalam 24 jam setelah timbul ruam) pada anak imunokompeten berusia 2-
12 tahun dengan dosis 4 x 20 mg/kgBB/hari selama 7 hari menurunkan jumlah lesi,
penghentian terbentuknya lesi yang baru, dan menurunkan timbulnya ruam, demam,
dan gejala konstitusi bila dibandingkan dengan placebo. Tetapi apabila pengobatan
15
dimulai lebih dari 24 jam setelah timbulnya ruam cenderung tidak efektif lagi. Hal ini
disebabkan karena varicella merupakan infeksi yang relatif ringan pada anak-anak
dan manfaat klinis dari terapi tidak terlalu bagus, sehingga tidak memerlukan
pengobatan acyclovir secara rutin. Namun pada keadaan dimana harga obat tidak
menjadi masalah, dan kalau pengobatan bisa dimulai pada waktu yang
menguntungkan (dalam 24 jam setelah timbul ruam), dan ada kebutuhan untuk
mempercepat penyembuhan sehingga orang tua pasien dapat kembali bekerja, maka
obat antivirus dapat diberikan.6
Pada remaja dan dewasa, pengobatan dini varicella dengan pemberian
acyclovir dengan dosis 5 x 800 mg selama 7 hari menurunkan jumlah lesi,
penghentian terbentuknya lesi yang baru, dan menurunkan timbulnya ruam, demam,
dan gejala konstitusi bila dibandingkan dengan placebo.8
Secara acak, pemberian placebo dan acyclovir oral yang terkontrol pada orang
dewasa muda yang sehat dengan varicella menunjukkan bahwa pengobatan dini
(dalam waktu 24 jam setelah timbulnya ruam) dengan acyclovir oral (5x800 mg
selama 7 hari) secara signifikan mengurangi terbentuknya lesi yang baru, mengurangi
luasnya lesi yang terbentuk, dan menurunkan gejala dan demam. Dengan demikian,
pengobatan rutin dari varicella pada orang dewasa tampaknya masuk akal. Meskipun
tidak diuji, ada kemungkinan bahwa famciclovir, yang diberikan dengan dosis 200
mg per oral setiap 8 jam, atau valacyclovir dengan dosis 1000 mg per oral setiap 8
jam mudah dan tepat sebagai pengganti acyclovir pada remaja normal dan dewasa.
Banyak dokter tidak meresepkan acyclovir untuk varicella selama kehamilan
karena risiko bagi janin yang dalam pengobatan belum diketahui. Sementara dokter
lain merekomendasikan pemberian acyclovir secara oral untuk infeksi pada
trisemester ketiga ketika organogenesis telah sempurna, ketika mungkin ada
peningkatan terjadinya resiko pneumonia varicella, dan ketika infeksi dapat menyebar
ke bayi yang baru lahir. Pemberian acyclovir intravena sering dipertimbangkan untuk
wanita hamil dengan varicella yang disertai dengan penyakit sistemik.8

16
Percobaan terkontrol yang dilakukan pada orang dewasa imunokompeten
dengan pneumonia varicella menunjukkan bahwa pengobatan dini (dalam waktu 36
jam dari rumah sakit) dengan acyclovir intravena (10mg/kgBB setiap 8 jam) dapat
mengurangi demam dan takipnea dan meningkatkan oksigenasi. Komplikasi serius
lainnya dari varicella pada orang yang imunokompeten, seperti ensefalitis,
meningoencephalitis, myelitis, dan komplikasi okular, sebaiknya diobati dengan
acyclovir intravena.7
Percobaan terkontrol pada pasien immunocompromised dengan varicela
menunjukkan bahwa pengobatan dengan asiklovir intravena menurunkan insiden
komplikasi yang mengancam kehidupan visceral ketika pengobatan dimulai dalam
waktu 72 jam dari mulai timbulnya ruam. Acyclovir intravena menjadi standar
perawatan untuk varicella pada pasien yang disertai dengan imunodefisiensi
substansial. Meskipun pemberian terapi oral dengan famciclovir atau valacyclovir
mungkin cukup untuk pasien dengan derajat ringan gangguan kekebalan tubuh, tetapi
tidak ada uji klinis terkontrol yang menunjukkan secara pasti. Pada penyakit berat
atau wanita hamil dapat diberikan acyclovir IV 10mg/kgBB tiap 8 jam selama 7 hari.6
Serum imuno globulin-gama tidak dianjurkan kecuali pada penderita
leukemia, penyakit keganasan lain dan bila terdapat defisiensi imunologis.
Vidarabine atau adenine arabinoside in vitro mempunyai sifat anti virus terhadap
virus varicella. Vidarabine dapat digunakan dengan hasil yang baik pada penderita
pneumonie varicella. Dosis yang dianjurkan ialah 15mg/kgBB/hari, tidak toksik
terhadap sumsum tulang dan tidak menekan immune response.4

X. PENCEGAHAN
Pencegahan dengan melakukan vaksinasi. Vaksin dapat diberikan aktif
ataupun pasif. Aktif dilakukan dengan memberikan vaksin varicella berasal dari galur
yang telah dilemahkan (live attenuated). Pasif dilakukan dengan memberikan zoster
imuno globulin (ZIG) dari zoster imun plasma (ZIP).4

17
Vaksin pasif dengan memberikan ZIG. ZIG ialah suatu globulin-gama dengan
titer antibodi yang tinggi dan yang didapatkan dari penderita yang telah sembuh dari
infeksi herpes zoster. Pemberian ZIG sebanyak 5ml dalam 72 jam setelah kontak
dengan penderita varicella dapat mencegah penyakit ini pada anak sehat, tapi pada
anak dengan defisiensi imunologis, leukemia atau penyakit keganasan lainnya,
pemberian ZIG tidak menyebabkan pencegahan yang sempurna. Lagi pula diperlukan
ZIG dengan titer yang tinggi dan dalam jumlah yang lebih besar.4
ZIP adalah plasma yang berasal dari penderita yang baru sembuh dari herpes
zoster dan diberikan secara intravena sebanyak 3-14,3 ml/kgBB. Pemberian ZIP
dalam 1-7 hari setelah kontak dengan penderita varicella pada anak dengan defisiensi
imunologis, leukemia atau penyakit keganasan lainnya mengakibatkan menurunnya
insidens varicella dan merubah perjalanan penyakit varicella menjadi ringan dan
dapat mencegah varicella untuk kedua kalinya. Pemberian globulin-gama akan
menyebabkan perjalanan varicella jadi ringan tapi tidak mencegah timbulnya
varicella. Dianjurkan untuk memberikan globulin-gama kepada bayi yang dilahirkan
dalam waktu 4 hari setelah ibunya memperlihatkan tanda-tanda varicella. Ini dapat
dilaksanakan pada jam-jam pertama kehidupan bayi tersebut.4,5
Vaksin aktif dianjurkan agar vaksin varicella ini hanya diberikan kepada
penderita leukemia, penderita penyakit keganasa lainnya dan penderita dengan
defisiensi imunologis untuk mencegah komplikasi dan kematian bila kemudian
terinfeksi oleh varicella. Pada anak sehat sebaiknya vaksinasi varicella ini jangan
diberikan karena bila anak tersebut terkena penyakit ini, perjalanan penyakitnya
ringan, lagi pula semua virus herpes dapat menyebabkan suatu penyakit laten dan
akibatnya baru nyata beberapa dasawarsa setelah vaksin itu diberikan. Angka
serokonversi mencapai 97-99%. Diberikan pada yang berumur 12 bulan atau lebih.
Lama proteksi belum diketahui pasti, meskipun demikian vaksinasi ulangan dapat
diberikan setelah 4-6 tahun.1,4,5
Pemberiannya secara subkutan 0,5 ml pada yang berusia 12 bulan sampai 12
tahun. Pada usia di atas 12 tahun juga diberikan 0,5 ml, setelah 4-8 minggu diulangi
18
dengan dosis yang sama. Bila terpajannya baru kurang dari 3 hari perlindungan
vaksin yang diberikan masih terjadi, karena masa inkubasinya antara 7-21 hari.
Sedangkan antibody yang cukup sudah timbul antara 3-6 hari setelah vaksinasi.1
Karakteristik vaksin varicella (Varivax, Merck) merupakan vaksin virus hidup
yang dilemahkan, yang berasal dari strain Oka VZV. Virus vaksin diisolasi oleh
Takahashi pada awal tahun 1970 dari cairan vesikular yang berasal dari anak sehat
dengan penyakit varicella. Vaksin varicella ini dilisensikan untuk penggunaan umum
di Jepang dan Korea pada tahun 1988. Vaksin ini diijinkan di Amerika Serikat pada
tahun 1995 untuk orang-orang usia 12 bulan dan yang lebih tua.7
Keefektifan vaksin, setelah pemberian satu dosis tunggal vaksin varicella
antigen, 97% dari anak yang berusia 12 bulan sampai 12 tahun mengembangkan titer
antibodi yang dapat terdeteksi. Sedangkan lebih dari 90% dari responden vaksin
mempertahankan antibodi untuk setidaknya 6 tahun. Dalam studi di Jepang, 97% dari
anak-anak memiliki antibodi 7 sampai 10 tahun setelah vaksinasi. Efikasi vaksin
diperkirakan memiliki ketahanan 70% sampai 90% terhadap infeksi, dan 90% sampai
100% terhadap penyakit sedang atau berat.8
Di antara remaja yang sehat dan orang dewasa yang berusia 13 tahun dan
yang lebih tua, rata-rata 78% mengembangkan antibodi setelah pemberian satu dosis,
dan 99% mengembangkan antibodi setelah pemberian dosis kedua yang diberikan 4
sampai 8 minggu kemudian. Antibodi bertahan selama minimal 1 tahun pada 97%
dari pemberian vaksin varicella setelah dosis kedua yang diberikan pada 4 sampai 8
minggu setelah dosis pertama.8
Kekebalan tampaknya bertahan lama, dan mungkin permanen di sebagian
besar vaksin. Infeksi pada orang yang pernah mendapat vaksin secara signifikan lebih
ringan, dengan lesi sedikit (biasanya kurang dari 50), banyak yang makulopapular
daripada vesikuler. Dimana kebanyakan orang yang pernah mendapat vaksinasi
sebelumnya tidak terjadi demam.4
Meskipun pada penemuan dari beberapa studi telah menyarankan sebaliknya,
penyelidikan sebagian belum diidentifikasi waktu sejak vaksinasi sebagai faktor
19
risiko untuk terobosan varicella. Beberapa, tetapi tidak semua, penyelidikan baru-
baru telah mengidentifikasi adanya asma, penggunaan steroid, dan vaksinasi di lebih
muda dari 15 bulan usia sebagai faktor risiko untuk terobosan varicella. Terobosan
infeksi varicella bisa menjadi hasil dari beberapa faktor, termasuk gangguan replikasi
virus vaksin oleh sirkulasi antibodi, vaksin impoten akibat kesalahan penyimpanan
atau penanganan, atau pencatatan tidak akurat. Penelitian telah menunjukkan bahwa
dosis kedua vaksin varicella meningkatkan kekebalan dan mengurangi penyakit
terobosan pada anak-anak.5
Jadwal vaksinasi dan penggunaan vaksin varicella dianjurkan untuk semua
anak tanpa kontraindikasi yang berusia 12 sampai 15 bulan. Vaksin ini dapat
diberikan kepada semua anak pada usia ini terlepas dari riwayat varicella.3
Dosis kedua vaksin varicella harus diberikan pada 4 sampai 6 tahun kemudian
. Dosis kedua dapat diberikan lebih awal dari 4 sampai 6 tahun jika setidaknya 3
bulan telah berlalu setelah dosis pertama (yaitu, interval minimum antara dosis vaksin
varicella untuk anak-anak berusia di bawah 13 tahun adalah 3 bulan). Namun, jika
dosis kedua diberikan setidaknya 28 hari setelah dosis pertama, dosis kedua tidak
perlu diulang. Dosis kedua vaksin varicella ini juga dianjurkan bagi orang yang lebih
tua, dimana vaksin varicella diberikan kepada orang-orang 13 tahun atau lebih pada 4
sampai 8 minggu kemudian.7
Semua vaksin varicella harus diberikan melalui secara subkutan. Vaksin
varicella telah terbukti aman dan efektif pada anak-anak yang sehat bila diberikan
pada saat yang sama sebagai vaksin MMR di lokasi terpisah dan dengan jarum suntik
yang terpisah. Jika vaksin varicella dan MMR tidak diberikan pada kunjungan yang
sama, maka pemberian harus dipisahkan setidaknya 28 hari. Vaksin varicella juga
dapat diberikan simultan (tapi di lokasi terpisah dengan jarum suntik yang terpisah)
dengan semua vaksin anak lainnya.5
Data dari Amerika Serikat dan Jepang dalam berbagai penelitian menunjukkan
bahwa vaksin varicella ternyata efektif sekitar 70% sampai 100% dalam mencegah
penyakit atau terjadinya keparahan penyakit jika digunakan dalam waktu 3 hari, dan
20
mungkin sampai 5 hari, setelah paparan. ACIP merekomendasikan vaksin untuk
digunakan pada orang yang tidak terbukti memiliki kekebalan terhadap varicella atau
pada orang yang terpapar varicella. Jika paparan terhadap varicella tidak
menyebabkan infeksi, vaksinasi pasca paparan harus diberikan untuk memberi
perlindungan terhadap paparan berikutnya.1
Wabah varicella yang terjadi dalam beberapa keadaan (misalnya,pada tempat
penitipan anak, dan sekolah) dapat bertahan sampai dengan 6 bulan. Tetapi vaksin
varicella diketahui telah berhasil digunakan untuk mengendalikan wabah. ACIP
merekomendasikan pemberian dosis kedua vaksin varicella untuk pengendalian
wabah. Jadi selama wabah varicella, orang-orang yang telah menerima satu dosis
vaksin varicella harus menerima dosis kedua, yang diberikan sesuai dengan interval
vaksinasi yang telah berlalu sejak dosis pertama (3 bulan untuk orang yang berusia 12
bulan sampai 12 tahun dan setidaknya 4 minggu untuk orang yang berusia 13 tahun
dan lebih tua).10
Kontraindikasi vaksinasi pada seseorang dengan reaksi alergi yang parah
(anafilaksis) dengan komponen vaksin atau setelah dosis sebelumnya, seharusnya
tidak menerima vaksin varicella. Orang dengan imunosupresi karena leukemia,
limfoma, keganasan umum, penyakit defisiensi imun, atau terapi imunosupresif tidak
harus divaksinasi dengan vaksin varicella. Namun, pengobatan dengan dosis rendah
(kurang dari 2 mg/kg/hari), topikal, penggantian, atau steroid aerosol bukan
merupakan kontraindikasi untuk vaksinasi. Orang yang imunosupresif yang diterapi
dengan steroid telah dihentikan selama 1 bulan (3 bulan untuk kemoterapi) dapat
divaksinasi.1,3
Orang dengan imunodefisiensi seluler sedang atau berat akibat infeksi human
immunodeficiency virus (HIV), termasuk orang-orang yang didiagnosis dengan
acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) tidak boleh menerima vaksin varicella.
Anak yang terinfeksi HIV dengan persentase CD4 T-limfosit 15% atau lebih tinggi,
dan anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa dengan jumlah CD4 200 per
mikroliter atau lebih tinggi dapat dipertimbangkan untuk vaksinasi.10
21
Wanita yang diketahui hamil atau mencoba untuk hamil sebaiknya tidak
menerima vaksin varicella. Sampai saat ini, tidak ada bukti yang merugikan
kehamilan atau janin yang dilaporkan di kalangan perempuan yang secara tidak
sengaja menerima vaksin varicella sesaat sebelum atau selama kehamilan. Tetapi
ACIP merekomendasikan kehamilan harus dihindari selama 1 bulan setelah
menerima vaksin varicella.2,3
Vaksinasi pada orang dengan penyakit akut, sedang atau berat sebaiknya
ditunda sampai kondisi telah membaik. Tindakan pencegahan ini dimaksudkan untuk
mencegah terjadinya komplikasi pada pasien , seperti demam. Pada penyakit yang
cenderung ringan, seperti otitis media dan infeksi saluran pernapasan atas, mendapat
terapi antibiotik, dan paparan atau pemulihan dari penyakit lain tidak kontraindikasi
terhadap vaksin varicella. Meskipun tidak ada bukti bahwa baik varicella atau vaksin
varicella memperburuk tuberkulosis, vaksinasi tidak dianjurkan untuk orang-orang
yang dikenal memiliki TB aktif.10
Pencegahan dapat dengan mencegah infeksi sekunder misalnya seperti kuku
digunting agar pendek, mengganti pakaian dan alas tempat tidur sesering mungkin.9

XI. KOMPLIKASI
Komplikasi pada anak-anak umumnya jarang terjadi. Komplikasi lebih sering
terjadi pada orang dewasa, berupa ensefalitis, pneumonia, glomerulonephritis,
karditis, hepatitis, keratitis, konjungtivitis, otitis, arteritis, dan kelainan darah
(beberapa macam purpura).1,2
Pada anak sehat, varicella merupakan penyakit ringan dan jarang disertai
komplikasi. Angka mortalitas pada anak usia 1-14 tahun diperkirakan 2/100.000
kasus, namun pada neonates dapat mencapai hingga 30%. Komplikasi tersering
umumnya disebabkan oleh infeksi sekunder bakterial pada lesi kulit, yang biasanya
disebabkan oleh Stafilokokus aureus atau Streptokokus beta hemolitikus grup A,
sehingga terjadi impetigo, furunkel, selulitis, atau erisipelas, tetapi jarang terjadi
gangren. Infeksi fokal tersebut sering menyebabkan jaringan parut, tetapi jarang
22
terjadi sepsis yang disertai infeksi metastase ke organ yang lainnya. Vesikel dapat
menjadi bula bila terinfeksi stafilokokus yang menghasilkan toksin eksfoliatif.4
Pneumonia varicella hanya terdapat sebanyak 0,8% pada anak, biasanya
disebabkan oleh infeksi sekunder dan dapat sembuh sempurna. Pneumonia varicella
jarang didapatkan pada anak dengan system imunologis normal, sedangkan pada anak
dengan defisiensi imunologis atau pada orang dewasa tidak jarang ditemukan.4
Pneumonia, otitis media, dan meningitis supurativa jarang terjadi dan
responsif terhadap antibiotik yang tepat. Bagaimanapun juga, superinfeksi bakteri
umum dijumpai dan berpotensi mengancam kehidupan pada pasien dengan
leukopenia.9
Pada orang dewasa demam dan gejala konstitusi biasanya lebih berat dan
berlangsung lebih lama, ruam varicella lebih luas, dan komplikasi lebih sering terjadi.
Pneumonia varicella primer merupakan komplikasi tersering pada orang dewasa.
Pada beberapa pasien gejalanya asimpomatis, tetapi yang lainnya dapat berkembang
mengenai sistem pernafasan dimana gejalanya dapat lebih parah seperti batuk,
dyspnea, tachypnea, demam tinggi, nyeri dada pleuritis, sianosis, dan batuk darah
yang biasanya timbul dalam 1-6 hari sesudah timbulnya ruam.9
Varicella pada kehamilan mengancam ibu dan janinnya. Infeksi yang
menyebar luas dan varicella pneumonia dapat mengakibatkan kematian pada ibu,
tetapi baik kejadian maupun keparahan pneumonia varicella tampaknya meningkat
secara signifikan pada kehamilan. Janin dapat meninggal karena kelahiran prematur
atau kematian ibu karena varicella pneumonia berat, tetapi varicella selama
kehamilan, tidak, jika tidak secara subtansial meningkatkan kematian janin. Namun
demikian, pada varicella yang tidak disertai komplikasi, viremia pada ibu dapat
menyebabkan infeksi intrauterin (kongenital), dan dapat menyebabkan abnormalitas
kongenital. Varicella perinatal (varicella yang terjadi dalam waktu 10 hari dari
kelahiran) lebih serius daripada varicella yang terjadi pada bayi yang terinfeksi
beberapa minggu kemudian.4

23
Morbiditas dan mortalitas pada varicella secara nyata meningkat pada pasien
dengan defisiensi imun. Pada pasien ini replikasi virus yang terus-menerus dan
menyebar luas mengakibatkan terjadinya viremia yang berkepanjangan, dimana
mengakibatkan ruam yang semakin luas, jangka waktu yang lebih lama dalam
pembentukan vesikel baru, dan penyebaran visceral klinis yang signifikan. Pada
pasien dengan defisiensi imun dan diterapi dengan kortikosteroid mungkin dapat
berkembang menjadi pneumonia, hepatitis, encephalitis, dan komplikasi berupa
perdarahan, dimana derajat keparahan dimulai dari purpura yang ringan hingga parah
dan seringkali mengakibatkan purpura yang fulminan dan varicella malignansi.4
Juga mungkin didapatkan komplikasi pada susunan saraf seperti ensefalitis,
ataksia, nistagmus, tremor, myelitis transversa akut, kelumpuhan saraf muka,
neuromielitis optika atau penyakit Devic dengan kebutaan sementara, sindroma
hipotalamus yang disertai dengan obesitas dan panas badan yang berulang-ulang.
Penderita varicella dengan komplikasi ensefalitis setelah sembuh dapat meninggalkan
gejala sisa seperti kejang, retardasi mental dan kelainan tingkah laku.4
Komplikasi susunan saraf pusat pada varicella terjadi kurang dari 1 diantara
1000 kasus. Varicella berhungan dengan sindroma Reye (ensepalopati akut disertai
degenerasi lemak di liver) yang khas terjadi 2 hingga 7 hari setelah timbulnya ruam.
Dulu, dari 15-40% pada semua kasus sindroma Reye berhubungan dengan varicella,
khususnya pada penderita yang diterapi dengan aspirin saat demam, dengan
mortalitas setinggi 40%. Ataksia serebri akut lebih umum terjadi daripada kelainan
neurologi yang lainnya. Encephalitis lebih jarang lagi terjadi yaitu pada 1 diantara
33.000 kasus, tetapi merupakan penyebab kematian tertinggi atau menyebabkan
kelainan neurologi yang menetap. Patogenesa terjadinya ataksia serebelar dan
ensephalitis tetap jelas, dimana pada banyak kasus ditemukan adanya VZV antigen,
VZV antibodi, dan VZV DNA pada cairan cerebrospinal pada pasien, yang diduga
menyebabkan infeksi secara langsung pada sistem saraf pusat.8
Komplikasi yang jarang terjadi antara lain myocarditis, pancreatitis, gastritis
dan lesi ulserasi pada saluran pencernaan, artritis, vasculitis Henoch-Schonlein,
24
neuritis, keratitis, dan iritis. Patogenesa dari komplikasi ini belum diketahui, tetapi
infeksi VZV melalui parenkim secara langsung dan endovascular, atau vasculitis yang
disebabkan oleh VZV antigen-antibodi kompleks, tampaknya menjadi penyebab pada
kebanyakan kasus.2
Anak dengan sistem imunologis yang normal jarang mendapat komplikasi
tersebut di atas, sedangtkan anak dengan defisiensi imunologis, anak yang menderita
leukemia, anak yang sedang mendapat pengobatan anti metabolit atau steroid
(penderita sindrom nefrotik, demam reumatik) dan orang dewasa sering mendapat
komplikasi tersebut, kadang-kadang varicella pada penderita tersebut dapat
menyebabkan kematian.4

XII. PROGNOSIS
Dengan perawatan yang teliti dan memperhatikan higiene memberi prognosis
yang baik dan jaringan parut yang timbul sangat sedikit.1,2

XIII. KESIMPULAN
Varicella merupakan infeksi akut primer oleh virus varicella zoster yang
menyerang kulit dan mukosa, klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit
polimorf, terutama berlokasi di bagian sentral tubuh.
Masa inkubasi antara 14 sampai 16 hari setelah paparan, dengan kisaran 10
sampai 21 hari. Biasanya diawali dengan gejala prodromal, yakni demam yang tidak
terlalu tinggi, malaise, dan nyeri kepala, kemudian disusul dengan timbulnya papula
eritematosa yang dalam beberapa jam berubah menjadi vesikel. Dimana vesikel akan
berkembang menjadi, pustul, dan kemudian menjadi krusta.
Penyebarannya terutama di daerah badan dan kemudian menyebar secara
sentrifugal ke muka dan ektremitas, serta dapat menyerang selaput lendir mata,
mulut, dan saluran nafas bagian atas.

25
Pada anak-anak jarang memberi komplikasi, sementara pada orang dewasa
komplikasi yang tersering timbul adalah pneumonia. Dan pada pasien yang disertai
dengan defisiensi imun memberikan komplikasi yang lebih berat.
Untuk membantu diagnosa dapat dilakukan percobaan Tzanck yang diambil
dari kerokan dasar vesikel dan didapatkan sel datia yang berinti banyak.
Untuk pengobatan dapat diberikan antivirus, dimana dosis oral yang diberikan
pada anak yaitu 4x20mg/kgBB selama lima hari. Sementara dosis yang diberikan
pada orang dewasa 5x800 mg selama tujuh hari. Disamping itu dapat pula diberikan
antipiretik, dan analgesik, serta bedak yang ditambah zat anti gatal untuk mencegah
pecahnya vesikel secara dini, dan mengurangi rasa gatal.
Pencegahan dapat dilakukan dengan vaksin varicella yang berasal dari galur
yang dilemahkan. Diberikan pada anak umur 12 bulan atau lebih, dan diberikan
vaksin ulangan 4-6 tahun kemudian. Sementara pada anak yang berusia 12 tahun
dosis ulangan diberikan 4-8 minggu setelah dosis pertama. Pemberian vaksin ini
dilakukan secara subkutan dengan dosis 0,5 ml.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Chowdhury M.M, Katugampola R.P, Finlay A.Y. Dermatology at a Glance.

Willey Blackwell. 2013. 1510-1511p.


2. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C [editor]. Rook’s Textbook of

Dermatology 8th edition. Leicester,UK: Wiley Blackwell;2004. 33.22, 33.33p.


3. Djuanda A. Pioderma. Menaldi SLSW, Bramono K, Indriatmi W (Eds.).

Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, 2010; Hal 110-112.


4. Goldsmith L.A., Katz SI., Gilchrest BA., Paller AS., Leffell DJ. Wolff K.

Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine 8 thed. New York: McGraw

Hill; 2012. 2384,2386,2391,2392p.


5. Gawkrodger D.J. Dermatology An Illustrated Colour Text 3 thed. Sheffield,

UK: Churchill Livingstone; 51p.


6. Brown R.G, Bourke J, Cunliffe T. Derrmatologi Dasar Untuk Praktik Klinik.

Jakarta: EGC. 2003. 222-223p.

27
7. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Ed. 2. Jakarta : EGC. 2005

hal 84-85p

8. Weller R, Hunter J, Savin J, Dahl M. Clinical Dermatology 4th ed. USA:

Willey Blackwell. 2002;231,232,233p

9. Morris R, Jones. ABC of Dermatology . 6th rev. Ed. London; Wiley Blackwell

publishing ; 2014.26-37 p.
10. Jain S. Dermatology Illustrated Study Guide and Comprehensif Board

Review. USA : Springer. 2012. 37 p.

28

Anda mungkin juga menyukai