Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia di seluruh dunia. 1,2 Diperkirakan
30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih kurang 500-600 juta menderita anemia
defisiensi besi. Prevalensi yang tinggi terjadi di negara yang sedang berkembang. Di Amerika
Serikat anemia defisiensi besi terdapat pada 25% bayi dan 6% anak. Di Asia Tenggara
prevalensi pada kelompok prasekolah dan wanita hamil diperkirakan antara 50% dan 70%.
Anemia defisiensi besi terjadi bila asupan besi ke dalam eritroid di sumsum tulang sangat
terganggu menyebabkan konsentrasi hemoglobin menurun. Keadaan ini menyebabkan sel
eritrosit mikrositosis dan hipokromia secara progresif.1

Besi merupakan bagian dari molekul Hemoglobin, dengan berkurangnya besi maka
sintesa hemoglobin akan berkurang dan mengakibatkan kadar hemoglobin akan turun.
Hemoglobin merupakan unsur yang sangat vital bagi tubuh manusia, karena kadar
hemoglobin yang rendah mempengaruhi kemampuan menghantarkan O2 yang sangat
dibutuhkan oleh seluruh jaringan tubuh.2

Faktor-faktor penyebab anemia gizi besi adalah status gizi yang dipengaruhi oleh pola
makanan, sosial ekonomi keluarga, lingkungan dan status kesehatan. Khumaidi (1989)
mengemukakan bahwa faktor faktor yang melatarbelakangi tingginya prevalensi anemia gizi
besi di negara berkembang adalah keadaan sosial ekonomi rendah meliputi pendidikan orang
tua dan penghasilan yang rendah serta kesehatan pribadi di lingkungan yang buruk. Meskipun
anemia disebabkan oleh berbagai faktor, namun lebih dari 50 % kasus anemia yang terbanyak
diseluruh dunia secara langsung disebabkan oleh kurangnya masukan zat gizi besi.3

Keluhan utama penderita anemia yaitu radang lidah (glossitis) yang tidak nyeri,
stomatitis angular, kuku yang rapuh, bergerigi atau seperti sendok (koilonikia), disfagia
sebagai akibat timbulnya jaring di faring (sindrom Peterson Kelly atau Pulmmer Vinson) dan
keinginan makan yang tidak umum (pica).4 Pada temuan hasil laboratorium di indeks eritrosit
dan sediaan apusan darah tepi menunjukkan adanya sel mikrositik hipokrom dengan kadang-
kadang ditemukan sel target dan poikolosit berbentuk pensil. 4 Setelah didiagnosa ditegakkan
maka dibuat rencana pemberian terapai. Terapi terhadap anemia defisiensi besi adalah terapi
kausal : terapi terhadap penyebab perdarahan, misalnya pengobatan cacing tambang,
pengobatan hemoroid, pengobatan menorhagia. Terapi kausal harus dilakukan, kalau tidak

1
anemia akan kambuh kembali dan Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi
dalam tubuh (iron replacemen therapy).5

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Anemia Defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam
darah, artinya konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang karena terganggunya
pembentukan sel-sel darah merah akibat kurangnya kadar zat besi dalam darah.3

Menurut Evatt, anemia Defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh
berkurangnya cadangan besi tubuh. Keadaan ini ditandai dengan menurunnya saturasi
transferin, berkurangnya kadar feritin serum atau hemosiderin sumsum tulang. Secara
morfologis keadaan ini diklasifikasikan sebagai anemia mikrositik hipokrom disertai
penurunan kuantitatif pada sintesis hemoglobin.3

B. Etiologi
Anemia defisiensi besi adalah bentuk anemia tersering. Meskipun di banyak negara
yang sedang berkembang dapat terjadi anemia defisiensi besi dalam makanan, di negara-
negara maju kasus utamanya adalah kehilangan besi hampir selalu melalui perdarahan di
saluran cerna atau saluran kemih kelamin.6
Karena pengeluaran darah haid yang berulang wanita premenopause merupakan
populasi dengan insidens defisiensi besi tertinggi. Insidens dalam kelompok ini bahkan
lebih tnggi karena berkurangnya besi selama kehamilan karena janin yang sedang tumbuh
secara efisien menyerap besi ibu untuk digunakan dalam hematopoesisnya sendiri.
Perdarahan saluran ceran biasanya menjadi penyebab pada pria atau wanita
premenopause dengan defisiensi besi. Kehilangan darah pada kasus semacam ini
munngkin disebabkan oleh penyakit yang relatif jinak, misalnya tukak peptik, malformasi
arteriovena atau angiodisplasia (kelainan pembuluh kecil di sepanjang dinding usus).
Kasus yang lebih serius adalah infamatorry bowel disease atau keganasan. Pemeriksaan
endoskopik untuk menyingkirkan keganasan harus dilakukan pada pasien dengan
defisiensi besi yang kausanya tidak diketahui.6
Terdapat kausa-kausa lain defisiensi besi yang lebih jarang dijumpai, tetapi hampir
semua kasus berkaitan dengan kehilangan darah: penyakit perdarahan, hemomptosis, dan
hemoglobinuria adalah kemungkinan kemungkinan yang sering dijumpai. 6

3
C. Patogenesis
Simpanan besi tubuh umumnya cukup untuk dipakai selama beberapa tahun, tetapi
pada orang sehat tetap terjadi pengeluaran besi secara terus menerus sehingga
keseimbangan besi bergantung pada asupan dan penyerapan yang adekuat. Besi
ditemukan terutama di hemoglobin dan disimpan di sebagian besar sel tubuh sebagai
feritin, suatu kombinasi besi dan protein apoferitin. Besi juga disimpan sebagai
hemosiderin yaitu feritin dengan sebagian selubung protein apoferitin yang terlepas. Besi
juga terdapat di mioglobin, protein penyimpanan oksigen di otot rangka. Akhirnya, besi
diangkut dalam darah terikat pada protein pembawanya, yaitu transferin karena interaksi
kompleks antar molekul- molekul ini, pengukuran sederhana serum jarang mencerminkan
simpanan besi tubuh.6
Peran utama besi adalah sebagai ion di bagian tengah molekul pengangkut oksigen,
heme. Besi, yang terdapat secara stabil dalam bentuk fero oleh atom-atom lain di heme,
mengikat oksigen secara reversible. Setiap subunit protein pada hemoglobin mengandung
satu molekul heme, karena hemoglobin terdapat sebagai tetramer, empat molekul besi
diperlukan di setiap unit hemoglobin. Jika terjadi defisiensi besi, tahap akhir dalam
sintesis heme akan terganggu. Pada tahap ini, besi fero disisipkan ke dalam protoporfirin
IX oleh enzim ferokelatase, jika sintesis heme terganggu, produksi heme menjadi
indadekuat. Biosintesis globin dihambat oleh defisiensi heme melalu heme-regulated
translational inhibitor (HRI). Peningkatan aktivitas HRI (akibat defisiensi besi)
menghambat faktor inisiasi transkripsi utama untuk sintesis heme, eLF2. Karena itu,
jumlah heme dan rantai globin yang tersedia untuk setiap prekursor sel darah merah
berkurang. Hal ini secara langsung menyebabkan anemua, yaitu penurunan konsentrasi
hemoglobin dalam darah. 6
Seperti telah dibahas, heme juga merupakan akseptor oksigen di mioglobin, karena itu
defisiensi besi juga menyebabkan penurunan produksi miglobin. Protein-protein lain juga
bergantung pada besi, sebagian besar adalah enzim. Banyak yang menggunakan besi di
molekul heme, tetapi sebagian menggunakna besi elemental. Meskipun dampak pasti
defisiensi besi terhadap aktivitas enzim-enzim ini belum diketahui, enzim-enzim ini
krusial untuk metabolisme, produksi energi, sintesis DNA dan bahkan fungsi otak. 6
D. Manifestasi Klinik
Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menadi 3 golongan besar, gejala
umum anemia, gejala khas akibat defisiensi besi gejala penyakit dasar: 5

4
Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome)
dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun dibawah 7-8 g/dl.
Gejala ini beruapa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga
mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena penurunan kadar hemoglobin yang
terjadi secara perlahan-lahan sering kali sindrom anemia tidak terlalu menyolok
dibandingkan dengan anemia lain yang penuruna kadar hemoglobinnya terjadi lebih
cepat, oleh karen mekanisme kompensasi tubuh dapat berjalan dengan baik. Anemia
bersifat simtomatik jia hemoglobin telah turun dibawah 7 g/dl. Pada pemeriksaan fisik
dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan dibawah kuku. 5
Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada anemia jenis
lain adalah:5
 Kolonychia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal
dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok.
 Atropi papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah
menghilang.
 Stomatitis angularis (cheilosis): adanya keradangan pada sudut mulut sehingga
tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
 Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring.
 Atropi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia.
 Pica : keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, sepeti: tanah liat, es, lem,
dan lain-lain.
Sidrom plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson Kelly adalah kumpulan
gejala yang terdiri dari anemia hipikrom mikrositer, atropi papi liadh dan disfagia. 5
Gejala Penyakit Dasar

Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang menjadi
penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya pada anemia akibat penyakit cacing
tambang dijumpai dyspepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan berwarna
kuning seperti jerami. Pada anemia karena perdarahan kronik akibat kanker kolon
dijumpai gejala gangguan kebiasaan buang besar atau gejala lain tergantung dari lokasi
tersebut.5

E. Pemeriksaan Penunjang
Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat dijumpai
adalah:
5
1. Kadar Hemoglobin dan Indeks Eritrosit
Didapatkan anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar hemoglobin
mulai dari ringan sampai berat. MCV dan MCH menurun. MCV < 70 fl hanya
didapatkan pada anemia defisiensi besi dan thalasemia major. MCHC menurun pada
defisiensi yang lebih berat dan berlangsung lama. Anisositosis merupakan tanda awal
defisiensi besi. Peningkatan anisositosis ditandai oleh peningkatan RDW (red cell
distribution width). Dulu dianggap pemeriksaan RDW dapat dipakai untuk
membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit kronik, tetapi sekarang RDW
pada kedua jenis anemia ini hassilnya sering tumpang tindih.5
Mengenai titik pemilah MCV, ada yang memakai angka <80 fl, tetapi pada
penelitian kasus ABD di Bagian Penyakit Dalam FK UNUD Denpasar, dijumpai titik
pemilah <78 fl memberi sensitivitas dan spesifitas paling baik. Dijumpai juga bahwa
penggabungan MCV, MCH, MCHC dan RDW makin meningkatkan spesifitas
indeks eritrosit. Indeks eritrosit sudah dapat mengalami perubahan sebelum kadar
hemoglobin menurun.5
Hapusan darah tepi menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis
dan poikolositosis. Makin berat derajat anemia makin berat derajat hipokromia.
Derajat hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia,
berbeda dengan thalassemia. Jika terjadi hipokromia dan mikrositosis ektrim, maka
sel tampak sebagai sebuah cincin sehingga disebut sel cincin (ring cell), atau
memanjang seperti elips, disebut sebagai sel pensil (pencil cell atau cigar cell).
Kadang-kadang dijumpai sel target.5
Leukosit dan trombosit pada umumnya normal. Tetapi granulositopenia ringan
dapat dijumpai pada ABD yang berlangsung lama. Pada ABD karena cacing tambang
dijumpai eosinofilia. Trombositosis dapat dijumpai pada ADB dengan episode
perdarahan akut.
2. Konsentrasi Besi Serum Menurun pada ABD dan TIBC (total iron binding capacity)
Meningkat.
TIBC menunjukkan tingkat kejenuhan apotransferin terhadap besi, sedangkan
saturasi transferin dihitung dari besi serum dibagi TIBC dikalikan 100%. Untuk
kriteria diagnosis ADB, kadar besi serum menurun <50 ug/dl, total iron binding
capacity (TIBC) meningkat > 350 ul/dl, dan saturasi transferin <15%. Ada juga yang
memakai saturasi transferin < 16% atau < 18%. Harus diingat bahwa besi serum

6
menunjukkan variasi diurnal yang sangat besar, dengan kadar puncak pada jam 8
sampai 10 pagi.
3. Feritin Serum Merupakan Indikator Cadangan Besi yang Sangat Baik, Kecuali pada
Keadaan Inflamasi dan Keganasan Tertentu.
Titik pemilah (cut off point) untuk feritin serum pada ADB dipakai angka <12 ul/l,
tetapi ada juga yang memakai < 15 ug/dl. Untuk daerah tropic dimana angka infeksi
dan inflamasi masih tinggi, titik pemilah yang diajukan di negeri Barat tampaknya
perlu dikoreksi. Pada suatu penelitian pada pasien anemia di rumah sakit di Bali
pemakaian feritin serum < 12 ug/dl dan < 20 ug/dl memberikan sensitivitas dan
spesifisitas masing-masing 68% dan 98% serta 68% dan 96%. Sensitivitas tertinggi
(84%) justru dicapai pada pemakaian feritin serum < 40 mg/l, tanpa mengurangi
spesifitas terlalu banyak (92%). Hercberg untuk daerah tropik menganjurkan
memakai angka feritin serum <20 mg/l sebagai kriteria diagnostik ADB. Jika terdapat
infeksi atau inflamasi yang jelas seperti arthritis rematoid, maka feritin serum sampai
dengan 50-60 ug/l masih dapat menunjukkan adanya defisiensi besi. Feritin serum
merupakan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis IDA yang paling kuat oleh
karena itu banyak dipakai baik diklinik maupun dilapangan karena cukup reliable dan
praktis, meskipun tidak terlalu sensitif, angka feritin serum normal tidak selalu dapat
menyingirkan adanya defisiensi besi, tetapi feritin serum diatas 100 mg/dl dapat
memastikan tidak adanya defisiensi besi.5
Protoporfirin merupakan bahan antara pada pembentukan heme. Apabila sintesis
heme terganggu, misalnya karena defisiensi besi, maka protoporfirin akan
menumpuk dalam eritrosit. Angka normal adalah kurangd ari 30 mg/dl. Untuk
defisiensi besi protoporfirin bebas adalah lebih dari 100 mg/dl. Keadaan yang sama
juga didapatkan pada anemia akibat penyakit kronik dan keracunan timah hitam.5
Kadar reseptor transferin dalam serum meningkat pada defisiensi besi, kadar
normal dengan cara imunologi adalah 4-9 ug/l. Pengukuran reseptor transferin
terutama dipakai untuk membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit kronik.
Akan lebih baik lagi apabila dipakai rasio reseptor transferin dengan log feritin <1,5
sangat mungkin karena anemia akibat penyakit kronik. 5
Sumsum tulang menunjukkan hiperplasia normoblastik ringan sampai sedang
dengan normoblas kecil-kecil. Sitoplasma sangat sedikit dan tepi tak teratur.
Normoblas ini disebut sebagai micronormoblast.5

7
Pengecatan besi sumsum tulang dengan biru prusia (Perl’s stain) menunjukkan
cadangan besi yang negatif (butir hemosiderin negatif). Dalam keadaan normal 40-
60% normoblast mengandung granula feritin dalam sitoplasmanya, disebut sebagai
sideroblas. Pada defisiensi besi maka sideroblast negative. Di klinik, pengecetan besi
pada sumsum tulang dianggap sebagai baku emas (gold standard) diagnosis
defisiensi besi, namun- akhir-akhir ini perannya banyak diambil alih oleh pmeriksaan
feritin serum yang praktis.5
Studi ferokinetik. Studi tentang pergerkan besi pada siklus besi dengan
menggunakan zat radioaktif. Ada dua jenis studi ferokinetik yaitu plasma iron
transfort rate (PIT) yang mengukur kecepatan besi meninggalkan plasma, dan
erythrocyte iron turn over rate (EIT) yang mengukur pergerakan besi dari sumsum
tulang ke sel darah merah yang beredar. Secara praktis kedua pemeriksaan ini tidak
banyak digunakan, hanya dipakai untuk tujuan penelitian. 5
I
Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab anemia defisiensi besi.
Antara lain pemeriksaan feses untuk cacing tambang, sebaiknya dilakukan
pemeriksaan semikuantitatif, seperti misalnya teknik Kato-Katz, pemeriksaan darah
samar dalam feses, endoskopi, barium intake atau barium inloop, dan lain-lain,
tergantung dari dengan penyebab defisiensi besi tersebut.5
F. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Terdapat tiga
tahap diagnosis ADB. Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia dengan
mengukur kadar hemoglobin atau hematokrit. Cut off point anemia tergantung kriteria
yang dipilih, apakah kriteria WHO atau kriteria klinik. Tahap kedua adalah memastikan
adanya defisiensi besi, sedangkan tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari
defisiensi besi yang terjadi.
Secara laboratoris untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi (tahap satu
dan tahap dua) dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi dari
kriteria Kerlin et al) sebagai berikut :
Anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi, atau MCV < 80 fl dan
MCHC < 31 % dengan salah satu dari a, b, c, atau d.
 Dua dari tiga parameter di bawah ini:
- Besi serum < 50 mg/dl
- TIBC > 350 mg/dl
8
- Saturasi transferin: < 15 %, atau
 Feritin serum <20 mg/l, atau
 Pengecetan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl’s stain) menunjukkan cadangan
besi (butir-butir hemosiderin) negatif, atau
 Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi lain yang setara)
selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl.
Pada tahap ketiga ditentukan penyakit dasar yang menjadi penyebab defisiensi besi.
Tahap ini sering merupakan proses yang rumit yang memerlukan berbagai jenis
pemeriksaan tetapi merupakan tahap yang sangat penting untuk mencegah kekambuhan
defisiensi besi serta kemungkinan untuk dapat menemukan sumber perdarahan yang
membahayakan. Meskipun dengan pemeriksaan yang baik, sekitar 20% kasus ADB tidak
diketahui penyebabnya.5
Untuk pasien dewasa focus utama adalah mencari sumber perdarahan. Dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Pada perempuan masa reproduksi
anamnesis tentang menstruasi sangat penting, kalau perlu dilakukan pemeriksaan
genikologi. Untuk laki-laki dewasa di Indonesia dilakukan pemeriksaan feses untuk
mencari telur cacing tambang. Tidak cukup hanya dilakukan pemeriksaan hapusan
langsung (direct smear dengan eosin), tetapi sebaiknya dilakukan pemeriksaan
semikuantitatif, seperti misalnya teknik Kato-Katz, untuk menentukan beratnya infeksi.
Jika ditemukan infeksi ringan tidaklah serta merta dianggap sebagai penyebab utama
ADB, harus dicari penyebab lainnya. Titik kritis cacing tambang sebagai penyebab
utama jika ditemukan telur per gram feses (TPG) atau egg per gram faeces (EPG) >
2000 pada perempuan dan > 4000 pada laki-laki. Dalam suati penelitian lapangan
ditemukan hubungan yang nyata antara derajat infeksi cacing tambang dengan cadangan
besi pada laki-laki, tetapi hubungan ini lebih lemah pada perempuan.5
Anemia akibat cacing tambang (hookworm anemia) adalah anemia defisiensi besi
yang disebabkan oleh karena infeksi cacing tambang berat (TPG > 2000). Anemia akibat
cacing tambang sering diserta pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak
tangan. Pada pemeriksaan laboratorium di samping tanda-tanda defisiensi besi yang
disertai adanya eosinofilia. Pada suatu penelitian di Bali, anemia akibat cacing tambang
dijumpai pada 3,3% pasien infeksi cacing tambang atau 12,2% dari 123 kasus anemia
defisiensi besi yang dijumpai.5

9
Jika tidak ditemukan perdarahan yang nyata, dapat dilakukan tes darah samar (occult
blood test) pada feses, dan jika terdapat indikasi dilakukan endoskopi saluran cerna atas
atau bawah. 5
G. Diagnosis Banding
Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromatik lainna seperti:
anemia akibat penyakit kronik, thalassemia, anemia sideroblastik.
H. Penatalaksanaan
Setelah didiagnosa ditegakkan maka dibuat rencana pemberian terapai. Terapi
terhadap anemia defisiensi besi adalah:
a. Terapi kausal : terapi terhadap penyebab perdarahan, misalnya pengobatan cacing
tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menorhagia. Terapi kausal harus
dilakukan, kalau tidak anemia akan kambuh kembali.
b. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh (iron
replacemen therapy).
Terapi Besi Oral. Terapi besi oral merupakan terapi pilihan pertama oleh karena
efektif, murah dan aman. Preparat yang tersedia adalah ferrous sulphat (sulfas ferosus)
merupakan preparat pilihan pertama oleh karena paling murah tetapi efektif. Dosis
anjuran adalah 3 x 200 mg . setiap 200 mg sulfas ferosus mengandung 66 mg besi
elemental. Pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mengakibatkan absorbs besi 50 mg per hari
yang dapat meningkatkan eritropoesis dua sampai tiga kali normal.5
Preparat lain : ferrous gluconate, ferrous fumarat, ferrous, lactate, dan ferrous
succinate. Sediaan ini harganya lebih mahal, tetapi efektivitas dan efek samping hampir
sama dengan sulfas ferosus. Terdapat juga bentuk sediaan enteric coated yang dianggap
memberikan efek samping lebih rendah, tetapi dapat mengurangi absorbsi besi. 5
Preparat besi oral sebaiknya diberikan saat lambung kosong, tetapi efek samping
lebih sering dibandingkan dengan pemberian setelah makan. Pada pasien yang
mengalami intoleransi, sulfas ferosus dapat diberikan saat makan atau setelah makan.
Efek samping utama besi per oral adalah gangguan gastrointestinal yang dijumpai
pada 15 sampai 20%, yang sangat mengurangi kepatuhan pasien. Keluhan ini dapat
berupa mual, muntah, serta konstipasi. Untuk mengurangi efek samping besi diberikan
saat makan atau dosis dikurangi menjadi 3 x 100 mg. 5
Pengobatan besi diberikan 2 sampai 6 bulan, ada juga yang menganjurkan sampai 12
bulan, setelah kadar hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Dosis

10
pemeliharaan yang diberikan adalah 100 sampai 200 mg. jika tidak diberikan dosis
pemeliharaan, anemia sering kambuh kembali.
Untuk meningkatkan penyerapan besi dapat diberikan preparat vitamin C, tetapi
dapat meningatkan efek samping terapi. Dianjurkan pemberian diet yang banyak
mengandung hati dan daging yang mengandung besi.
Terapi besi parenteral. Terapi besi perenteral sangat efektif tetapi mempunyai resiko
lebih besar dan harganya lebih mahal. Oleh karena resiko ini maka besi parenteral hanya
diberikan atas indikasi tertentu. Indikasi pemeberian besi parenteral adalah : (1).
Intoleransi terhadap pemberian besi oral. (2) kepatuhan terhadap obat yang rendah (3)
gangguan pencernaan seperti colitis ulceratif yang dapat kambuh jika diberikan besi. (4)
penyerapan besi terganggu, seperti misalnya gastrektomi (5) keadaan dimana darah yang
banyak sehingga tidak cukup dikompensasi oleh pemberian besi oral, seperti misalnya
pada hereditary hemorrhagic teleangiectasia (6) kebutuhan besi yang besar dalam waktu
pendek, seperti pada kehamilan trisemester ketiga atau sebelum operasi (7) defisiensi
besi fungsional relative akibat pemberian eritropoetin pada anemia gagal ginjal kronik
atau anemia akibat penyakit kronik.
Preparat yang tersedia ialah iron dextran complex (mengandung 50 mg besi/ml), iron
sorbitol citric acid complex dan yang terbaru adalah iron ferric gluconate dan iron
sucrose yang lebih aman. Besi parenteral dapat diberikan secara intramuscular dalam
atau intravena pelan. Pemberian secara intramuscular memberikan rasa nyeri dan
memberikan warna hitam pada kulit. Efek samping yang dapat timbul adalah reaksi
anafilaksis , meskipun jarang (0,6%). Efek samping lain adalah flebitis, sakit kepala,
flushing, mual, muntah, nyeri perut dan sinkop.
Terapi besi parenteral bertujuan untuk mengembalikan kadar hemoglobin dan
mengisi besi sebesar 500 sampai 1000 mg. dosis yang diberikan dapat dihitung melalui
rumus di bawah ini :
Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB x 2,4 + 500 atau 1000 mg
Dosis ini dapat diberikan sekaligus atau diberikan dalam beberapa kali pemberian.
c. Pengobatan lain
 Diet: sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama yang
berasal dari protein hewani.
 Vitamin C : vitamin c diberikan 3 x 100 mg per hari untuk meningkatkan absorpsi
besi.

11
 Transfusi darah : ADB jarang memerlukan transfusi darah. Indikasi pemberiaan
transfusi darah pada anemia kekurangan besi adalah:
- Adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman payah jantung
- Anemia yang sangat simtomatik, misalnya anemia dengan gejala pusing yang
sangat menyolok.
- Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang cepat seperti pada
kehamilan trisemester akhir atau preopereasi.
Jenis darah yang diberikan adalah PRC (packed red cell) untuk mengurangi
bahaya overload. Sebagai premedikasi dapat dipertimbangkan pemberian
furosemid intravena.
Respon Terhadap Terapi
Dalam Pengobatan dengan preparat besi, seorang pasien dinyatakan
memberikan respons baik bila retikulosit naik pada minggu pertama, mencapai
puncak pada hari ke-10 dan normal lagi setelah hari k 14, diikuti kenaikan Hb 0.15
g/hari atau 2 g/dl setelah 3-4 minggu. Hemoglobin menjadi normal setelah 4-10
minggu.
Jika respons terhadap terapi tidak baik, maka perlu dipikirkan:
 Pasien tidak patuh sehingga obat tidak diminum
 Dosis besi berkurang
 Masih ada perdarahn cukup banyak
 Ada penyakit lain seperti penyakit kronik, keradangan menahun atau pada saat
yang sama ada defisiensi asam folat.
 Diagnosis defisiensi besi salah.
Jika dijumpai keadaan di atas, lakukan evaluasi kembali dan ambil tindakan yang
tepat.
I. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi meliputi :4
 Infeksi dan pneumonia
 Pika (mengidam), dorongan kompulsif untuk memakan bahan-bahan yang bukan
makanan seperti tanah atau tepung/pati.
 Perdarahan
 Overdosis suplemen besi oral maupun IM

12
J. Pencegahan
Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di masyarakat maka diperlukan
suatu tindakan pencegahan terpadu. Tindakan pencegahan tersebut dapat berupa :

 Pendidikan kesehatan:
- Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban, perbaikan
lingkungan kerja, misalnya pemakaian alas kaki sehingga dapat mencegah
penyakit cacing tambang.
- Penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu absorbsi
besi.
 Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarah kronik yang paling
sering di jumpai di daerah tropic. Pengendalian infeksi cacing tambang dapat
dilakukan dengan pengobatan masal dengan anthelmentik dan perbaikan sanitasi.
 Suplementasi besi yaitu pemberian besi profilaksis pada segmen penduduk yang
rentan seperti ibu hamil dan anak balita. Di Indonesia diberikan pada perempuan
hamil dan anak balita memakai pil besi dan folat.
 Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi pada bahan
makan. Di Negara Barat dilakukan dengan mencapur terpung untuk roti atau bubuk
susu dengan besi.

13
BAB III

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Ny. B
2. JenisKelamin : Perempuan
3. Usia : 92 Tahun
4. Alamat : Jl. Parang Labbu
5. Status : Menikah
6. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
7. Suku : Makassar
8. Tanggal MRS : 26 September 2017
B. ANAMNESIS
Keluhan utama : Pusing dan lemas
Anamnesis Terpimpin :
Pasien masuk ke rumah sakit dengan keluhan pusing disertai dengan keadaan lemas.
Riwayat BAB hitam (-). mual (-), muntah (-). Riwayat pengobatan pernah mendapatkan
pengobatan di rumah sakit selama 3x dalam satu tahun ini dengan diagnosis anemia.pada
pemeriksaan fisik didapatkan kuku berbentuk sendok (koilonikia) dan tampak pucat pada
bagian bawah kuku.
C. KEADAAN UMUM
Sakit (Ringan/Sedang/Berat)
Kesadaran (Composmentis/Uncomposmentis)
Hygiene (Buruk/Sedang/Baik)
Status Gizi (Underweight/Normal/Overweight/Obesitas I/ObesitasII)
Tanda Vital :
Tekanan Darah : 130/60 mmHg
Nadi : 80 x/menit reguler,kuat angkat
Pernapasan : 18 x/menit, Tipe : Thoracoabdominal
Suhu : 36,8 oC (axilla)
1. Kepala
Bentuk kepala : Normocephali
Rambut : Hitam Putih, tipis, tidak rontok
Simetris : Kiri - Kanan

14
Deformitas : -

2. Mata
Eksoptalmus/enoptalmus : -
Konjungtiva : Anemis (+/+),
Sklera : Ikterus (-/-), perdarahan (-)
Pupil : Bulat Isokor kiri-kanan
3. Telinga
Pendengaran : Dalam batas normal
Nyeri tekan : (-/-)
4. Hidung
Bentuk : Simetris
Perdarahan : -
5. Mulut
Bibir : Kering (-), pecah-pecah, sianosis (-),
Lidah kotor : (-)
Caries gigi : -
6. Leher
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Pembesaran KGB (-), Pembesaran tiroid (-)
DVS : R-4 cm
7. Kulit
Hiperpigmentasi :-
Ikterus :-
Petekhie :-
Sianosis :-
Pucat :+
8. Thorax
Inspeksi : Dada simetris kiri-kanan. Ictus cordis tidak nampak
Palpasi : Vocal fremitus kiri – kanan simetris
Perkusi : Sonor pada paru kiri dan kanan
Auskultasi : Bunyi pernapasan vesikuler, Ronkhi (-/-),
Wheezing (-/-)
9. Cor
15
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas kanan : sulit di evaluasi
Batas kiri : ICS V linea midclavicularis kiri,
Batas atas : ICS II linea parasternalis kanan
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), Gallop (-)
10. Abdomen
Inspeksi : Membesar, simetris, mengikuti gerak napas, tidak ada
tanda- radang, benjolan (-), caput medusae (-)
Palpasi : Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Tidak teraba
Perkusi : Thympani, asites (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
11. Punggung
Tampak dalam batas normal
Tidak terlihat kelainan bentuk tulang belakang
12. Genitalia
Tidak dievaluasi
13. Ekstremitas atas dan bawah
Pitting edema kedua extremitas inferior (-), terdapat kuku sendok (koilonikia)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. 26 September 2017 (Laboratorium Klinik RSUD SYEKH YUSUF)


Hasil Nilai Normal
WBC 6.2 x 103/uL 4.000 – 10.000/mm3
RBC 3.34 x 106/uL 4,5 – 5,5 x 106/mm3
HGB 5.3 g/dL 14,0 – 17,4 g/dL
TROMBOSIT 270 x 103/uL 150.000-450.000 sel/mm3

2. 26 September 2017 (Pemeriksaan Hematologi RSUD SYEKH YUSUF)

Parameter Hasil Rujukan Satuan Metode


GDS 97 < 140 mg/dl Heksokinase

3. 28 September 2017 ( Pemeriksaan Apusan Darah Tepi)

16
 Eritrosit : Mikrositik hipokrom, anisopoikilositosis, benda inklusi (-),
normoblast (-)
 Leukosit : Jumlah kesan cukup, PMN > Limfosit, sel muda (-)
 Tromobosit : Jumlah kesan sedikit meningkat, kelainan morfologi (-),
agregasi (+), mega trombosit (+).
Kesan : Anemia Mikrositik Hipokrom + Trombositosis.
E. DIAGNOSA KERJA
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien di
diagnosis Anemia Defisiensi Besi.
F. PENATALAKSANAAN

 Infus RL 28 tpm
 Inj. Omeprazole 1 amp/12j/iv
 Transfusi PRC 2 bag
 SF 2 mg
G. FOLLOW UP

Tanggal 26 September 2017

S Pusing, Riwayat BAB Hitam (-), HB : 5

O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 130/60 mmHg
Nadi 80 x/menit
Pernapasan 18 x/menit
Temperature 36,8 oC (axilla)
Keadaan spesifik Conjungtiva palpebral pucat (+) sclera ikterik (-)
Kepala JVP (R-4)
Leher Inspeksi : DBN
Thoraks Palpasi : DBN
Perkusi : Sonor pada paru kiri dan paru kanan, batas
paru-hepar pada ICS 6
Auskultasi : Bunyi pernapasan vesikuler, Ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak

17
Jantung Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : DBN
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), Gallop (-)
Inspeksi : Pembesaran yang simetris
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
Abdomen Perkusi : Thympani, asites (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan Normal
Tidak dievaluasi
DBN
Genital
Ekstremitas atas Terdapat kuku sendok (koilonikia)
A Anemia PN ev
P IVFD RL 20 tpm

Tanggal 28 September 2017


S KU : Baik, Anemis (+)
O
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 110/60 mmHg
Nadi 64 x/menit
Pernapasan 16 x/menit
Temperatur 36,3 oC (axilla)
Keadaan spesifik
Kepala Conjungtiva palpebral pucat (-) sclera ikterik (-)
Leher JVP (R-4)
Thoraks Inspeksi : DBN
Palpasi : DBN
Perkusi : Sonor pada paru kiri dan pada paru kanan
batas paru-hepar pada ICS 6
Auskultasi : Bunyi pernapasan vesikuler, Ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : DBN

18
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-),
Gallop (-)
Abdomen Inspeksi : Pembesaran perut simetri
Palpasi : NUH (-)
Perkusi : Thympani, asites (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan meningkat
Genital Tidak dievaluasi
Ekstremitas atas Terdapat kuku sendok (koilonikia)
A Anemia + Gastrophati NSAID
P Infus RL 20 tpm
Inj. Omeprazole 1 amp/12j/iv
Transfusi PRC 2 bag

Tanggal 29 September 2017


S KU : Baik, HB : 7.8 g/dl
O
Keadaan umum Sakit sedang
Kesadaran Kompos mentis
Tekanandarah 140/70 mmHg
Nadi 82 x/menit
Pernapasan 20 x/menit
Temperature 36,5 oC (axilla)
Keadaan spesifik
Kepala Conjungtiva palpebral pucat (-) sclera ikterik (-)
Leher JVP (R-4)
Thoraks Inspeksi : DBN
Palpasi : DBN
Perkusi : Sonor pada paru kiri dan pada paru kanan.
batas paru-hepar pada ICS 6
Auskultasi : Bunyi pernapasan vesikuler, Ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : DBN
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-),

19
Gallop (-)
Abdomen Inspeksi : Pembesaran abdomen simetris
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
Perkusi : Thympani, asites (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan Normal
Genital Tidak dievaluasi
Ekstremitas atas Terdapat kuku sendok (koilonikia)
A Anemia + Gastrophati NSAID

Infus RL 20 tpm
Inj. Omeprazole 1 amp/12j/IV
P
SF 2 mg
Menolak Transfusi PCR

20
RESUME

Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan pusing sejak satu hari yang lalu disertai
dengan keadaan lemas. Pasien tidak merasakan mual dan muntah tetapi ada batuk. Riwayat
pengobatan pernah mendapatkan pengobatan di rumah sakit selama 3x dalam satu tahun ini
dengan diagnosis anemia. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan ronchi dan wheezing pada
kedua lapangan paru, vocal fremitus normal dan pada kuku tangan terdapat kuku sendok
(koilonikia) dan tampak pucat dibawah kuku.
Dada kiri dan kanan simetris, tidak ada nyeri tekan. Pada perkusi dada didapatkan
sonor pada dada kiri dan pada dada kanan. Pada pemeriksaan perut tidak didapatkan
pembesaran abdomen, namun ada nyeri tekan pada ulu hati , dan pada auskultasi peristaltik
ada dengan kesan normal.
Pada hasil pemeriksaan darah rutin didapatkan hasil HB 5.3 g/dl, dan pemeriksaan
apusan darah tepi didapatkan gambaran mikrositik hipokrom pada morfologi eritrosit dan
peningkatan sedikit pada trombosit. Kesan anemia mikrositik hipokrom + trombositosis.

Pengobatan yang diberikan pada pasien ini yaitu infus RL 20 tpm, injeksi omeprazole
1 amp/12j/iv, ulsafat syr 3x1, metronidazol 3x1, OBH syr 3x1, transfusi PRC 2 bag, SF 2 mg.
namun pada saat transfusi PRC pasien menolak.

21
DISKUSI

Pasien perempuan 92 tahun mengeluh pusing disertai dengan keadaan lemas, Riwayat
pengobatan pernah mendapatkan pengobatan di rumah sakit selama 3x dalam satu tahun ini
dengan diagnosis anemia pada kuku tangan terdapat kuku sendok (koilonikia) dan tampak
pucat dibawah kuku..
Pada anamnesis pasien harus ditanyakan apakah ada riwayat penyakit terdahulu yang
menimbulkan banyak perdarahan. Namun pada anamnesis didapatkan hanya didapatkan
riwayat penyakit yang sama yaitu anemia. Sehingga diperkirakan adanya gangguan pada
proses produksi besi dalam sumsum tulang.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan anemis atau pucat dan nyeri tekan pada ulu hati
serta kuku yang bergaris-garis vertical dan menjadi cekung yang berbentuk sendok
(kolonychia) dan tampak pucat pada bagian bawah kulit. Berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik pasien didiagnosa dengan Anemia Evaluasi.
Pemeriksaan darah rutin didapatkan hasil HB 5.3 g/dl, dan pemeriksaan apusan darah
tepi didapatkan gambaran mikrositik hipokrom pada morfologi eritrosit dan peningkatan
sedikit pada trombosit. Maka pasien ini di diagnosa anemia defisiensi besi dan Gastrophatic
NSAID.
Pada pasien ini diagnosis sebagai anemia defisiensi besi karena pasien mempunyai
pengurangan massa sel darah merah yang berarti dan berhubungan dengan penurunan
kapasitas darah dalam membawa oksigen. Dalam keadaaan normal, volume darah
dipertahankan pada suatu tingkat yang hampir konstan. Karenanya, anemia anemia
mengakitbatkan penurunan konsentrasi sel-sel darah atau hemoglobin di dalam darah tepi.
Pada perempuan yang termasuk kelompok usia subur, nilai ini 10 persen lebih rendah
daripada laki-laki. Pada tempat yang tinggi, perkiraan kasar sesuai dengan proporsi kenaikan
tempat diatas permukaan laut dijumpai nilai yang lebih tinggi. Pasien anemia mempunyai
penurunan yang lebih dari 10 persen dibawah nilai rat-rata untuk jenis kelamin yang sama.
Meskipun demikian, karena variasi nilai hemoglobin normal mendekati batas ini. Pencatatam
anemia yang ringan mmungkin tidaklah pasti.2

Dalam menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Terdapat tiga
tahap diagnosis ADB. Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia dengan mengukur
kadar hemoglobin atau hematokrit. Cut off point anemia tergantung kriteria yang dipilih,

22
apakah kriteria WHO atau kriteria klinik. Tahap kedua adalah memastikan adanya defisiensi
besi, sedangkan tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari defisiensi besi yang terjadi.5
Pada saat terjadi defisiensi besi, cadangan retikuloendotel (hemosiderin dan feritin)
menjadi seluruhnya sebelum terjadi anemia. Sejalan dengan berkembangnya keadaan tersebut
pasien dapat menunjukkan gejala umum dan tanda-tanda anemia dan juga radang lidah
(glossitis) yang tidak nyeri, stomatitis angular, kuku yang rapuh, bergerigi atau seperti kuku
sendok (koilonikia), disfagia sebagai akibat timbulnya jarring di faring (sindrom Peterson
Kelly atau Plummer-Vinson) dan keinginan makan yang tidak umum (PICA).4
Hasil temuan laboratorium pada sediaan apus darah tepi menunjukkan sel mikrositik
hipokrom dengan kadang-kadang ditemukan sel target dan poikilosit berbentuk pensil. Jika
defisiensi besi disertai dengan defisiensi folat atau vitamin B12 yang berat, tampak gambaran
sediaan hapus “dimorfik” dengan populasi eritrosit ganda, yang satu makrositik dan populasi
lain mikrositik hipokrom, indeks eritrosit mungkin normal. Sediaan apusan darah yang
dimorfik juga tampak pada pasien-pasien dengan anemia defisiensi besi yang telah
mendapatkan terapi besi dalam waktu dekat dan memproduksi suatu populasi eritrosit baru
yang berukuran normal dan berhemoglobin, dan jika pasien telah mendapatkan trasnfusi
darah. Hitung trombosit sering kali meningkat sedang pada defisiensi besi, khususnya bila
perdarahan masih berlanjut.4
Pengobatan yang diberikan untuk mengoreksi anemia dan memilihkan cadangan besi
yaitu sediaan terbaik sulfas ferosus yang murah, mengandung 67 mg besi dalam tiap tablet
200 mg dan terbaik diberikan pada keadaan perut kosong dalam dosis yang berjarak
sedikitnya 6 jam. Jika timbul efek samping (misal mual, muntah, nyeri perut, konstipasi atau
diare) ini dapat dikurangi dengan memberikan zat besi bersama makanan atau menggunakan
sediaan degan kandungan besi yang lebih rendah. Dan besi parenteral dihitung menurut berat
badan dan derajat anemia. Ferri hidroksida-sukrosa (Venofer) diberikan melalui injeksi
intravena lambat atau infuse, biasanya 200 mg besi dalam tiap infusan, besi dekstran
(CosmoFer) dapat diberikan sebagai injeksi intravena lambat atau infuse baik dalam dosis
tunggal kecil atau sebagai infuse dosis total yang diberikan dalam satu hari. Ferri
karbomaltosa juga diberikan dalam satu hari.4

23
KESIMPULAN

Anemia Defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam
darah, artinya konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang karena terganggunya
pembentukan sel-sel darah merah akibat kurangnya kadar zat besi dalam darah.
Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Terdapat tiga
tahap diagnosis ADB. Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia dengan mengukur
kadar hemoglobin atau hematokrit. Cut off point anemia tergantung kriteria yang dipilih,
apakah kriteria WHO atau kriteria klinik. Tahap kedua adalah memastikan adanya defisiensi
besi, sedangkan tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari defisiensi besi yang terjadi.

24
DAFTAR PUSTAKA
1. Isra L. Gangguan Kognitif Pada Anemia Defisiensi Besi. Universitas Sumatera
Utara.Sumatera Utara: 2002. Hal 114.
2. Kartamihardja E. Anemia Defisiensi Besi. Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Surabaya: 2012. Hal 1.
3. Masrizal. Literatur Anemia Defisiensi. Universitas Undayana. Lombok: 2007. Hal 140.
4. Kowalak dkk. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC 2011. Hal.451
5. Suega K dkk. Buku Ajar Imu Penyakit Dalam Jilid 2 Ed. V. Jakarta: 2009. Hal 1134
6. Ganong WF dkk. Patofosiologi Penyakit Pengantar Menuju Kedokteran Klinis Edisi
V. Jakarta: EGC 2010. Hal 137.

25

Anda mungkin juga menyukai