Anda di halaman 1dari 79

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DENGAN

TRAUMA KEPALA (HEMATOMA EPIDURAL)


Pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi syarat
salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat

Dosen:
Sumbara, S. Kep., Ners., M. Kep
Disusun:
Kelompok 2, Kelas B Kecil
1. Dapid Arian AK.1.16.011
2. Elih Nurrul Hasanah AK.1.16.016
3. Ghina Nur Maulida AK.1.16.022
4. Ismi Latifah Martin AK.1.16.026
5. Lisna Widiyanti AK.1.16.031
6. Lisnasari AK.1.16.032
7. Siska Komariyah AK.1.16.048

PROGRAM STUDY SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BHAKTI KENCANA BANDUNG
2019
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT,
karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas
makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat saran,
dorongan, serta keterangan-keterangan dari berbagai pihak yang merupakan
pengalaman yang tidak dapat diukur secara materi, namun dapat membukakan
mata penulis bahwa sesungguhnya pengalaman dan pengetahuan tersebut adalah
guru yang terbaik bagi penulis.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari masih terdapat banyak
kekurangan yang dibuat baik sengaja maupun tidak sengaja, dikarenakan
keterbatasan ilmu pengetahuan dan wawasan serta pengalaman yang penulis
miliki. Untuk itu kami mohon maaf atas segala kekurangan tersebut dan tidak
menutup diri terhadap segala saran dan kritik serta masukan yang bersifat
kontruktif bagi penulis.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bandung, 01 April 2019

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN TEORI


BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan...............................................................................75
3.2 Saran.........................................................................................76
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................7

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Otak di tutupi oleh tulang tengkorak yang kaku dan keras. Otak juga di
kelilingi oleh sesuatu yang berguna sebagai pembungkus yang di sebut dura.
Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus  vena, dan
membentuk periosteum tabula interna. Ketika seorang mendapat benturan
yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk suatu lubang, pergerakan
dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari pembuluh
darah yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh darah mengalami
robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura dan tulang
tengkorak, keadaan inlah yang di kenal dengan sebutan epidural hematom.
Epidural hematom sebagai keadaan neurologist yang bersifat emergency
dan biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri
yang lebih besar, sehingga menimbulkan perdarahan. Venous epidural
hematom berhubungan dengan robekan pembuluh vena dan berlangsung
perlahan-lahan. Arterial hematom terjadi pada middle meningeal artery yang
terletak di bawah tulang temporal. Perdarahan masuk ke dalam ruang epidural,
bila terjadi perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi.
Cedera kepala adalah kondisi yang umum secara neurologi dan bedah
saraf dan merupakan salah satu penyebab kematian utama di kalangan usia
produktif khususnya di negara berkembang. Hal ini diakibatkan karena
mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk
menjaga keselamatan di jalan masih rendah disamping penanganan pertama
yang belum benar, rujukan yang terlambat.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana anatomi fisiologi Otak?

3
2. Apa yang dimaksud Trauma Kepala?
3. Apa yang dimaksud Hematoma Epidural?
4. Apa yang menyebabkan terjadinya Hematoma Epidural?
5. Bagaimana proses terjadinya Hematoma Epidural?
6. Apa saja manifestasi Hematoma Epidural?
7. Bagaimana penatalaksanaan Hematoma Epidural?
8. Bagaiamana pemeriksaan Hematoma Epidural?
9. Bagaimana asuhan keperawatan secara teori pada Hematoma Epidural?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan
mempermudah mahasiswa dalam mempelajari asuhan keperawatan Gawat
Darurat dengan gangguan Hematoma Epidural.

1.4 Manfaat Penulisan


1. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami konsep dasar Trauma
Kepala
2. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami konsep dasar Hematoma
Epidural
3. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami konsep dasar Asuhan
Keperawatan Hematoma Epidural.

4
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Anatomi Fisiologi Otak


Otak depan atau prosencephalon (supratentoria) terdiri telencephalonm
(Dua belahan otak dan struktur garis tengah yang menghubungkan) dan
diencephalon. Otak tengah atau mesencephalon terletak di antara otak depan
dan otak belakang. Melewati melalui cerebelli tentorium. Otak belakang atau
rhombencephalon (infratentorial) terdiri dari pons, medula oblongata dan otak
kecil. Di bagian pertengahan otak, pons dan medulla bersama-sama membuat
batang otak Panjang medulla spinalis sekitar 45 cm diorang dewasa.Medulla
spinalis meruncing pada ujung bawah, konus medularis,berakhir pada level
vertebra L3, dan pada tingkat intervertebralis L1-2 diskus orang dewasa.
Dengan demikian, pungsi lumbal harus selalu dilakukan pada atau di bawah
L3-4. Konus medullaris berakhir dengan terminale filum benang, terutama
terdiri dari glial dan jaringan ikat,yang, pada gilirannya, berjalan melalui
kantung lumbar di tengah-tengah dorsal dan ventral akar tulang belakangsaraf,
secara kolektif disebut cauda equina (Ekor kuda), dan kemudian menempel
pada dorsal permukaan tulang ekor. Leher, toraks,lumbal, dan sakral bagian
dari medulla spinalis didefinisikan menurut divisi segmental dari kolom tulang
belakang dan saraf tulang belakang.
2.1.1 Sistem Saraf Tepi
Sistem saraf perifer menghubungkan sistem saraf pusat dengan
sisa tubuh. Semua motorik, saraf sensorik dan otonom sel dan serat
luar CNS umumnya dianggap sebagai bagian dari sistem saraf tepi.
Secara khusus sistem saraf tepi terdiri dari bagian ventral akar saraf
(motorik), dorsal akar saraf (Sensorik), ganglia spinal, dan serta
sebagian besar dari otonom sistem saraf (trunk simpatik). Dua nervus
yang termasuk dalam susunan saraf pusat yaitu, Nervus olfaktorius dan
optikus. Sususnan Saraf Tepi terdiri dari variabel yang berisi fraksi
motorik, sensorik, dan otonom serabut saraf (akson). Sebuah saraf

5
perifer dibuat dari beberapa kumpulan akson, disebut fasikula, yang
masing-masing ditutupi oleh selubung jaringan ikat (perineurium).
Jaringan ikat terletak di antara akson dalam selubung tersebut disebut
endoneurium, dan antara fasikula disebut epineurium. Fasikula berisi
myelin dan akson unmyelinated, endoneurium, dan kapiler. akson
individu dikelilingi oleh Selsel yang mendukung disebut sel Schwann.
Sel Schwann tunggal mengelilingi beberapa akson dari tipe
unmyelinated. Membran di sekitar akson menghasilkan selubung
myelin yang menutupi akson myelinated. Jarak kecil akson myelinated
antara satu dengan yang lain disebut simpul Ranvier. Sistem saraf
meningkat kecepatan konduksi dengan ketebalan selubung myelin.
Khusus zona kontak antara serat saraf motorik dan otot disebut
neuromuscular yang merupakan persimpangan atau piring akhir motor.
impuls yang timbul dalam reseptor sensorik dari kulit, fasia, otot,
sendi, organ, dan bagian lain tubuh perjalanan terpusat melalui indera
(Aferen) serabut saraf. serat ini memiliki badan sel dalam ganglia akar
dorsal (pseudounipolar sel) dan mencapai sumsum tulang belakang
yang berasa dari akar dorsal. Sistem saraf otonom mengatur fungsi dari
organ-organ internal dalam menanggapi lingkungan internal dan
eksternal yang berubah.
2.1.2 Tengkorak
Tengkorak (kranium) menentukan bentuk kepala, mudah diraba
melalui lapisan tipis otot dan jaringan ikat yang menutupi.
neurocranium yang membungkus otak, labirin, dan telinga tengah.
Lapisan luar dan dalam tengkorak dihubungkan oleh kanselus ruang
tulang dan sumsum (diploe). Atap tulang tengkorak (calvaria) dari
remaja dan orang dewasa yang kaku dihubungkan dengan jahitan dan
tulang rawan (synchondroses). Sutura koronal meluas di ketiga frontal
dari atap tengkorak. Sutura sagitalis terletak di garis tengah,
memperluas mundur dari jahitan koronal dan bifurcating atas tengkuk
untuk membentuk jahitan lambdoid. Daerah persimpangan frontal,

6
parietal, temporal, dan tulang sphenoid disebut pterion tersebut; bawah
pterion terletak bifurkasi dari tengah arteri meningeal. Dasar tengkorak
bagian dalam membentuk lantai rongga tengkorak, yang terbagi
menjadi anterior, tengah, dan fosa kranial posterior. Fossa anterior
menyampaikan traktus penciuman dan permukaan basal dari lobus
frontal; fossa tengah, permukaan basal dari lobus temporal,
hipotalamus, dan kelenjar hipofisis; posterior fossa, otak kecil, pons,
dan medulla. Bagian anterior dan fossa tengah diberi batas dari satu
sama lain lateral oleh tepi posterior dari sayap (lebih rendah) dari
tulang sphenoid, dan medial oleh sphenoidale jugum. Tengah dan
posterior fossa diberi batas dari satu sama lain lateral oleh tepi atas dari
piramida petrosa, dan medial oleh sellae dorsum.
2.1.3 Scalp
Lapisan kulit kepala adalah kulit (termasuk epidermis, dermis,
dan rambut), jaringan ikat subkutikular, yang fasia galea aponeurotica,
jaringan ikat subaponeurotic longgar, dan periosteum tengkorak
(tengkorak). Rambut kulit kepala tumbuh sekitar 1 cm per bulan.
Hubungan antara galea dan tengkorak adalah ponsel kecuali di tepi atas
dari orbit, lengkungan zygomatic, dan oksipital tonjolan eksternal. luka
kulit kepala yang dangkal untuk galea yang tidak menyebabkan
hematoma besar, dan ujungujungnya kulit biasanya tetap didekati.
Luka yang melibatkan galea mungkin gape; scalping cedera adalah
mereka yang galea robek jauh dari periosteum. perdarahan subgaleal
tersebar di permukaan tengkorak.
2.1.4 Meningen
Meningea adalah suatu selaput jaringan ikat yang membungkus
enchepallon dan medulla spinalis. Terdiri dari duramater, arachnoid
dan piamater, yang letaknya berurutan dari superficial ke profunda.
Perikranium yang masih merupakan bagian dari lapisan dalam
tengkorak dan duramater bersama-sama disebut juga pachymeningens.
Sementara piamater dan arachnoidmater disebut juga leptomeningens.

7
Gambar 1. Lapisan Meningen

Duramater terdiri dari jaringan fibrous yang kuat, berwarna


putih, terdiri dari lamina meningealis dan lamina endostealis. Pada
medulla spinalis lamina endostealis melekat erat pada dinding kanalis
vertebralis, menjadi endosteum (periosteum), sehingga diantara lamina
meningealis dan lamina endotealis terdapat rongga ekstraduralis
(spatium epiduralis) yang berisi jaringan ikat longgar, lemak dan
pleksus venosus. Pada lapisan perikranium banyak terdapat arteri
meningeal, yang mensuplai duramater dan sumsum tulang pada kubah
tengkorak. Pada enchepalon lamina endotealis melekat erat pada
permukaan interior cranium, terutama pad sutura, basis krania dan tepi
foramen occipital magnum. Lamina meningealis memiliki permukaan
yang licin dan dilapisi oleh suatu lapisan sel, dn membentuk empat
buah septa yaitu falx cerebri, tentorium cerebeli, falx cerebeli dan
diafragma sellae.

8
Falx cerebri memisahkan kedua belahan otak besar dan dibatasi
oleh sinus sagital inferior dan superior. Pada bagian depan fakx cerebri
terhubung dengan Krista galli, dan bercabang dibelakang membentuk
tentorium cerebeli. Tentorium cerebella membagi rongga cranium
menjadi ruang supratentorial dan infratentorial. Falx cerebeli yang
berukuran lebih kecil memisahkan kedua belahan otak kecil. Falx
cerebeli menutupi sinus occipital dan pada bagian belakang terhubung
dengan tulang oksipital.

Gambar 3. Lapisan Lamina Meningealis

Duramater dipersarafi oleh nervus trigeminus dan nervus vagus.


Nervus trigeminus mempersarafi daerah atap cranial, fossa cranium
anterior dan tengah. Sementara nervus vagus mempersarafifosa

9
posterior. Nyeri dapat dirasakan jika ada ranfsangn langsung terhadap
duramater, sementara jaringan otk sendiri tidak sensitive terhadap
rangsangan nyeri. Beberapa nervus cranial dan pembuluh darah yang
mensuplai otak berjalan melintasi duramater dan berada diatasnya
sehingga disebut juga segmen extradural intracranial. Sehingga
beberapa nervus dan pembuluh darah tersebut dapat dijangkau saat
operasi tanpa harus membuka duramater.
Dibawah lapisan duramater, terdapat arachnoidmater. Ruangan
yang terbentuk diantara keduanya, disebut juga spatium subdural,
berisi pembuluh darah kapiler, vena penghubung dan cairan limfe. Jika
terjadi cedera, dapat terjadi perdarahan subdural. Arachnoidmater yang
membungkus basis cerebri berbentuk tebal sedangkan yang
membungkus facies cerebri tipis dan transparant. Arachnoidmater
membentuk tonjolan-tonjolan kecil yang disebut granulation
arachnidea, masuk kedalam sinus venosus, terutama sinus sagitalis
superior. Lapisan disebelah profunda, meluas ke dalam gyrus cerebri
dan diantara folia cerebri. Membentuk tela choroidea venticuli.
Dibentuk oleh serabut-serabut reticularis dan elastis, ditutupi oleh
pembuluhpembuluh darah cerebral.
Di bawah lapisan arachnoidmater terdapat piamater. Ruangan
yang terbentuk diantara keduanya, disebut juga spatium subarachnoid,
berisi cairan cerebrospinal dan bentangan serat trabekular (trabekula
arachnoidea). Piamater menempel erat pada permukaan otak dan
mengikuti bentuk setiap sulkus dan gyrus otak. Pembuluh darah otak
memasuki otak dengan menembus lapisan piamater. Kecuali pembuluh
kapiler, semua pembuluh darah yang memasuki otak dilapisi oleh
selubung pial dan selanjutnya membran glial yang memisahkan mereka
dari neuropil. Ruangan perivaskuler yang dilapisi oleh membran ini
berisi cairan cerebrospinal. Plexus koroid dari ventrikel cerebri yang
menskresi cairan serebrospinal, dibentuk oleh lipatan pembuluh darah
pial (tela choroidea) yang diselubungi oleh selapis epitel ventrikel

10
(ependyma). Piamater terdiri dari lapisan sel mesodermal tipis seperti
endhotelium. Berlawanan dengan arachnoid, membrane ini menutupi
semua permukaan otak dan medula spinalis.
Cairan serebrospinal (CSF) sebuah ultrafiltrate jelas dan tidak
berwarna plasma darah, terutama diproduksi di pleksus koroid dari
ventrikel otak dan di kapiler otak. Biasanya tidak mengandung sel-sel
darah merah dan paling banyak 4 sel darah putih / ml. Fungsinya
adalah baik fisik (kompensasi untuk perubahan volume, buffering dan
pemerataan tekanan intrakranial meskipun variasi tekanan
andarterialblood vena) andmetabolic (transportasi nutrisi dan hormon
ke otak, dan produk-produk limbah dari itu). Total volume CSF pada
orang dewasa adalah ca. 150ml, yang ca. 30 ml di ruang subarachnoid
tulang belakang. Beberapa 500ml cairan serebrospinal diproduksi per
hari, sesuai dengan aliran ca. 20 ml / jam. Denyut normal CSF
mencerminkan denyut otak akibat perubahan vena serebral dan volume
arteri, respirasi, dan headmovements. Manuver Valsava meningkatkan
tekanan CSF.
CSF dibentuk dalam pleksus koroid mengalir melalui sistem
ventrikel dan melalui foramen Magendie dan Luschka ke sisterna
basalis. Kemudian beredar lanjut ke dalam ruang subarachnoid tulang
belakang, atas permukaan otak kecil dan otak, akhirnya mencapai situs
penyerapan CSF. Hal ini terutama diserapmelalui vili arachnoid
(granulasi arakhnoid, sel-sel pacchionian), yang paling melimpah di
sepanjang sinus sagital superior tetapi juga ditemukan pada tingkat
tulang belakang. saluran CSF melalui vili arachnoid dalam satu arah,
dari ruang subarachnoid ke kompartemen vena, dengan mekanisme
katup. Ini disebut bulkaliran tampaknya dicapai dengan bantuan ofpino
vakuola cytotic yang mengangkut CSF, dan semua zat terlarut di
dalamnya, di sendok seperti fashion. Pada saat yang sama, CSF
berdifusi ke dalam jaringan otak yang berdekatan dengan ruang CSF
dan diserap oleh kapiler. Barier tidak harus dipahami sebagai tak

11
tertembus; dalam kondisi normal, semua protein plasma masuk ke
dalam CSF. Semakin besar molekul protein, namun, lama waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai CSF, dan curam gradien konsentrasi
plasma / CSF. Penghalang jangka darah-otak (BBB) adalah istilah
kolektif untuk semua hambatan yang terletak di antara plasma dan
neuropil, salah satunya adalah darahCSF barrier (BCB). proses
penyakit sering mengubah permeabilitas BBB, tapi sangat jarang yang
dari BCB tersebut. Morfologis, BCB yang dibentuk oleh epitel koroid,
sedangkan BBB dibentuk oleh persimpangan ketat (zonula occludens)
dari kapiler sel endotel. Sampai setengah dari semua kapiler otak
memiliki struktur tubular, yaitu, mereka tidak memiliki celah yang
menghubungkan. Fisiologis, sistem hambatan memungkinkan
pengaturan osmolaritas jaringan otak dan CSF dan, dengan demikian,
tekanan intrakranial dan volume. Biokimia, BCB adalah permeabel
towater-larut zat (e. G., Protein plasma) tetapi tidak untuk liposoluble
zat seperti anestesi, obat-obatan psikoaktif, dan analgesik. BBB, di sisi
lain, umumnya permeabel terhadap zat liposoluble (berat molekul
kurang dari 500 dalton) tetapi tidak untuk zat yang larut dalam air.

12
2.1.5 Sistem Karotis Kranial
Darah dipompa dari ventrikel kiri jantung untuk arkus aorta dan
kemudian ke arteri karotid dan sirkulasi anterior dari otak (karotid
internal, tengah otak, dan arteri serebral anterior), dan arteri subklavia
dan sirkulasi posterior otak (vertebral, basilar, dan posterior arteri
serebral). Sirkulasi anterior memasok mata, basal ganglia, bagian dari
hipotalamus, yang frontal dan parietal lobes, dan sebagian besar dari
lobus temporal, sedangkan sirkulasi posterior mensuplai batang otak,
otak kecil, telinga bagian dalam, lobus oksipital, thalamus, bagian dari
hipotalamus, dan sebagian kecil dari temporal lobus. darah vena dari
vena dangkal dan dalam otak melalui sinus vena dural ke vena jugularis
internal dan dari situ ke vena kava superior dan atrium kanan. Bagian
ekstrakranial dan intrakranial dari suplai darah otak serta yang dari
sumsum tulang belakang.
2.1.6 Arteri Krotis Interna
Internal carotid arteri (ICA) melewati dasar tengkorak di kanal
karotis, yang terletak di dalam bagian petrosa dari tulang temporal. Ini
berjalan ke atas sekitar 1 cm, kemudian berubah anteromedially dan
program menuju puncak petrosa, di mana ia muncul dari tulang
temporal untuk memasuki sinus kavernosa. Dalam sinus, ICA berjalan
sepanjang permukaan lateral tubuh tulang sphenoid (C5 segmen ICA),
kemudian berubah anterior dan melewati lateral sela tursika sepanjang
dinding lateral tulang sphenoid (segmen C4). Kemudian membungkuk
tajam kembali pada dirinya sendiri di bawah akar dari proses clinoid
anterior, sehingga poin posterior (segmen C3, karotis tikungan).
Setelah muncul dari sinus gua, itu menembus medial dura mater untuk
proses clinoid anterior dan lewat di bawah saraf optik (segmen
cisternal, segmen C2).

13
Kemudian naik dalam ruang subarachnoid (segmen C1) sampai
mencapai ofWillis lingkaran, situs bifurkasi terminal. Segmen C3, C4,
dan C5 dari ICA merupakan perusahaan segmen infraclinoid, segmen
C1 dan C2 segmen supraclinoid nya. Segmen C2, C3, dan C4 bersama-
sama membentuk siphon karotis.
Arteri ophthalmic muncul dari tikungan karotis dan berjalan di
kanal optik rendah ke saraf optik. Salah satu cabang mata nya, arteri
retina sentral, melewati bersama-sama dengan saraf optik ke retina, di
mana dapat dilihat oleh oftalmoskopi. Medial untuk proses clinoid,
posterior berkomunikasi arteri muncul dari dinding posterior arteri
karotid internal, melewati posterior di dekat dengan saraf oculomotor,
dan kemudian bergabung dengan posterior arteri serebral. Arteri koroid
anterior biasanya timbul dari ICA dan jarang dari arteri serebri.
Melintasi bawah saluran optik, melewati lateral ke cerebri crus dan
lateral tubuh geniculate, dan memasuki tanduk inferior ventrikel
lateral, di mana ia bergabung dengan choroidea tela

14
2.1.7 Sistem Sirkulasi Otak Anterior
1. Anterior Cerebral Artery (ACA)
ACA adalah lebih medial dari dua arteri yang timbul dari bifurkasi
ICA. Ini naik lateral proses clinoid anterior dan melewati saraf optik
dan optik Chiasm, memberi dari cabang kecil, anterior berkomunikasi
arteri (ACommA), yang melintasi garis tengah untuk bergabung
dengan kontralateral ACA. Segmen ACA proksimal asal ACommA
adalah segmen precommunicating nya (segmen A1). Segmen A1 di
kedua sisi dan ACommA bersama-sama membentuk anterior setengah
dari lingkaran Willis. Segmen A1 memberikan off rata-rata delapan
basal perforasi arteri yang masuk ke otak melalui substansi berlubang
anterior. Arteri berulang Heubner muncul dari ACA dekat asal
ACommA, baik dari bagian distal dari A1 atau dari bagian proksimal
dari A2. The postcommunicating segmen ACA (segmen A2 untuk A5)
naik antara lobus frontal dan berjalan menuju oksiput di fisura
interhemispheric, sepanjang corpus callosum dan di bawah perbatasan
bebas dari cerebri falx, sebagai thepericallosalartery.SegmentA2,
whichusually memberikan off arteri frontopolar, berakhir di mana
bergantian arteri meneruskan untuk menjadi apposed ke genu dari
corpus callosum; segmen A3 adalah frontal cembung archof kapal
sepanjang genu tersebut. A4 dan A5 segmen menjalankan kasar
horizontal di atas permukaan callosal dan mengeluarkan cabang
supracallosal yang berjalan dalam arah posterior. Distribusi. Arteri
basal perforasi yang timbul dari A1 memasok hipotalamus ventral dan
sebagian dari tangkai hipofisis. arteri Heubner ini memasok kepala
nucleus caudatus, yang rostral empat perlima dari putamen, yang
globus pallidus, dan kapsul internal. Pasokan darah dari bagian inferior
genu dari corpus callosum, dan dari bola pencium, saluran, dan
trigonum, adalah variabel. ACommA memberikan dari cabang pusat
anteromedial ke hipotalamus. Cabang dari segmen postcommunicating
dari ACA menyediakan permukaan inferior lobus frontal (frontobasilar

15
arteri), medial dan permukaan parasagittal dari lobus frontal
(callosomarginal arteri), lobulus paracentral (arteri paracentral), medial
dan permukaan parasagitta dari lobus parietal (precuneal arteri), dan
korteks di wilayah sulkus parieto-oksipital (parieto-oksipital arteri).
2. Middle Cerebri Artery (MCA)
MCA adalah lebih lateral dua arteri yang timbul dari bifurkasi
ICA. segmen pertama (M1, segmen sphenoidal) mengikuti proses
clinoid anterior untuk jarak 1 sampai 2 cm. MCA kemudian berubah
lateral untuk memasuki kedalaman fissure Sylvian (yaitu, Sylvian
tadah), di mana itu terletak pada permukaan insula dan memberikan
cabang-cabang untuk itu (M2, segmen insular). Itu membungkuk
kembali tajam untuk melakukan perjalanan sepanjang permukaan
operkulum (M3, segmen opercular) dan kemudian akhirnya muncul
melalui retakan Sylvian ke konveksitas lateral otak (M4 dan M5,
segmen terminal). Distribusi. cabang kecil dari M1 (thalamostriate dan
arteri lenticulostriate) memasok ganglia basal, claustrum, dan internal,
eksternal, dan ekstrim kapsul. M2 dan M3 cabang memasok insula
(arteri insular), bagian lateral orbital dan inferior frontal gyri
(frontobasal arteri), dan operkulum temporal, termasuk gyrus
melintang Heschl (arteri temporalis). M4 dan M5 cabang memasok
sebagian korteks lateral busung otak, termasuk bagian-bagian dari
lobus frontal (arteri dari sulci precentral dan segitiga), lobus parietal
(anterior dan arteri parietal posterior), dan lobus temporal (arteri dari
sulci pusat dan postsentralis). Secara khusus, area kortikal penting
yang disediakan oleh M4 dan M5 cabang termasuk motor primer dan
daerah sensorik (precentral dan postsentralis gyri) dan daerah bahasa
Broca dan Wernicke.
3. Sistem Vetebro-Basiler
Arteri vertebralis muncul dari lengkungan arteri subklavia pada
titik yang ditunjuk V0. The prevertebral atau V1 segmen memanjang
dari V0 ke foramen transversarium dari proses melintang C6. The

16
transversarial atau V2 segmen melewati vertikal melalui transversaria
foramen dari C6 melalui C2, disertai dengan pleksus vena dan saraf
simpatis yang berasal dari ganglia serviks. Memberikan off cabang
saraf serviks, vertebra dan intervertebralis sendi, otot leher, dan
sumsum tulang belakang serviks. Seringkali, cabang terkemuka di
tingkat C5 beranastomosis dengan arteri spinalis anterior. Segmen V3,
juga disebut atlas (C1) loop, berjalan lateral dan kemudian secara
vertikal ke transversarium foramen dari C1, yang melewati, angin
medial sepanjang massa lateral C1, menembus posterior membran
atlanto-oksipital belakang atlanto- yang oksipital bersama, dan
kemudian memasuki dura mater dan membran arachnoid pada tingkat
foramen magnum. Dua arteri vertebralis tidak sama dalam ukuran di
sekitar 75% dari orang, dan salah satunya adalah sangat sempit
(hipoplasia) di sekitar 10%, biasanya di sisi kanan. Segmen V4 dari
arteri vertebralis terletak sepenuhnya dalam ruang subarachnoid. Ini
berakhir di persimpangan dua arteri vertebralis untuk membentuk arteri
basilar, pada tingkat batas bawah pons. Proksimal ke persimpangan,
setiap arteri vertebralis memberikan off cabang amediobasal; dua
cabang ini berjalan untuk ca. 2 cm dan kemudian bersatu di garis
tengah untuk membentuk arteri spinalis anterior tunggal, yang turun di
sepanjang permukaan anterior medula dan sumsum tulang belakang.
Posterior rendah cerebellar arteri (Pica), yang berasal dari segmen V4
pada tingkat sangat bervariasi, kurva sekitar zaitun rendah dan meluas
dorsal melalui akar filamen dari saraf aksesori. Kemudian naik di
belakang serat dari hypoglossus dan saraf vagus, membentuk lingkaran
di dinding posterior ventrikel keempat, dan memberikan off cabang
terminal ke permukaan inferior belahan bumi cerebellar, amandel, dan
vermis. Ini memberikan sebagian besar suplai darah ke medula
dorsolateral dan permukaan posteroinferior dari otak kecil. Arteri
spinalis posterior (ada satu di setiap sisi) muncul baik dari arteri
vertebralis atau PICA. Arteri basilar berjalan di tangki prepontine di

17
sepanjang pons dan kemudian bercabang untuk membentuk arteri
serebral posterior. Bagian bawahnya adalah terkait erat dengan
abducens saraf, porsi unggul pada saraf okulomotor. paramedian nya,
pendek melingkar, dan panjang cabang melingkar memasok pons dan
serebelum superior dan menengah peduncles. Inferior anterior
cerebellar arteri (AICA) muncul dari sepertiga bagian bawah arteri
basilar. Ini berjalan lateral dan caudally menuju sudut
cerebellopontine, melewati dekat meatus akustik internal dan mencapai
flocculus, di mana ia memberikan off cabang terminal yang memasok
bagian anteroinferior dari korteks serebelar dan bagian dari inti
cerebellar. The AICA terletak basal ke saraf abducens dan
ventromedial pada saraf wajah dan pendengaran dalam sumur
cerebellopontine. Ini sering menimbulkan cabang labirin yang
memasuki meatus akustik internal. Arteri cerebellar superior (SCA)
dari kedua belah pihak berasal dari batang basilar tepat di bawah
bifurkasi nya. Setiap SCA perjalanan melalui Tadah dorsal
perimesencephalic untuk oculomotor yang saraf, kurva sekitar pangkal
ekor otak dan medial pada saraf trochlear, dan kemudian memasuki
Tadah ambient, di mana memberikan off cabang terminal. SCA
memasok pons atas, bagian dari pertengahan otak, permukaan atas
belahanserebelum, bagian atas vermis, dan inti cerebellar.
4. Posterior Cerebral Artery (PCA)
Segmen precommunicating dari PCA (P1) memanjang dari
bifurkasi basilar ke asal posterior berkomunikasi arteri (PCommA).
Tentu saja yang ada di dalam tangki interpeduncular, yang dibatasi
oleh clivus dan dua peduncles otak. The saraf okulomotor, setelah
kemunculannya dari batang otak, membentang antara PCA dan arteri
cerebellar superior. postcommunicating yang segmen (P2) kurva lateral
dan mundur sekitar cerebri crus dan mencapai permukaan posterior
otak tengah pada tingkat intercollicular. The precommunicating dan
postcommunicating segmen bersama-sama disebut sebagai pars

18
circularis dari PCA. (Atau, pars circularis dapat dibagi menjadi tiga
interpeduncular segments-, ambient, dan quadrigeminal- dinamai
sumur-sumur mereka melintasi.) Distal ke pars circularis dari PCA
adalah pars terminalis, yang membagi atas tentorium dan ekor ke
badan lateral geniculate untuk membentuk cabang terminal, medial dan
lateral arteri oksipital. Pars circularis. Segmen precommunicating
mengeluarkan cabang-baik saja (posteromedial pusat arteri) yang
menembus substansi berlubang interpeduncular untuk memasok
anterior thalamus, dinding ventrikel ketiga, dan globus pallidus.
Segmen postcommunicating mengeluarkan cabang-baik saja (arteri
sentral posterolateral) ke peduncles otak, bagian posterior dari
thalamus, colliculi dari pertengahan otak, tubuh geniculate medial, dan
tubuh pineal. cabang lanjut memasok bagian posterior dari thalamus
(cabang thalamic), pedunculus serebral (cabang peduncular), dan
badan geniculate lateral dan pleksus koroid dari ketiga dan lateral
ventrikel (cabang koroidal posterior). Pars terminalis. Dari dua cabang
terminal dari bagian terminal ini dari PCA, oksipital arteri lateral
(bersama-sama dengan cabang temporal) memasok uncus itu,
hippocampal yang gyrus, dan permukaan bawah lobus oksipital. Arteri
oksipital medial lewat di bawah splenium dari corpus callosum,
memberikan off cabang yang memasok (cabang dorsal ke corpus
callosum) serta cuneus dan precuneus (cabang parieto-oksipital),
korteks striate (cabang calcarine), dan permukaan medial oksipital dan
lobus temporal (occipitotemporal dan banches duniawi), termasuk
bagian parasagittal dari lobus oksipital.

19
5. Vena cerebral
Vena cerebral superfisial (vena kortikal) membawa darah dari luar
1-2 cm dari permukaan otak untuk saluran drainase besar seperti sinus
superior dan inferior sagital, vena serebral besar Galen, sinus lurus,
dan pembuluh darah tentorial. Dengan demikian, vena cerebellar
mengalirkan darah dari permukaan cerebellar ke vena superior vermian
dan dari situ ke vena cerebral besar, sinus lurus, dan sinus melintang.
Vena serebral dalam (vena central) mengalirkan darah dari daerah
bagian dalam otak (materi putih setengah bulat, ganglia basal, corpus
callosum, koroid pleksus) dan dari daerah kortikal beberapa juga. vena
cerebral superfisial (vena kortikal). Vena otak dangkal diklasifikasikan
oleh lokasi mereka sebagai prefrontal, frontal, parietal, dan oksipital.

20
Kecuali vena oksipital, yang kosong ke dalam sinus melintang,
pembuluh darah ini semua perjalanan selama konveksitas otak untuk
bergabung dengan sinus sagital superior. Mereka diistilahkan bridging
veins di akhir distal mereka, di mana mereka menembus membran
arakhnoid dan menjembatani ruang subarachnoid untuk bergabung
sinus. Dangkal vena serebri (tidak ditampilkan) biasanya mengikuti
ramus posterior fisura Sylvian dan fisura sendiri ke sinus kavernosus.
Vena Inferior cerebral mengalir ke sinus kavernosus, petrosal sinus
superior, dan sinus melintang. Vena cerebral superior mengalir ke
sinus sagital superior. vena serebral dalam (vena central). Vena
serebral internal yang muncul secara bilateral pada tingkat foramen
interventrikular (dari Monro). Melintasi celah otak melintang ke titik
hanya kalah dengan splenium dari corpus callosum. Sudut vena di
persimpangan dengan yang thalamostriate vena superior dapat dilihat
pada angiogram lateral diproyeksikan. Kedua vena serebral internal
yang bergabung di bawah splenium untuk membentuk besar vena
serebral (Galen), yang menerima vena basal (dari Rosenthal) dan
kemudian bermuara di sinus lurus di tepi tentorial anterior pada tingkat
pelat quadrigeminal. Vena basal dari Rosenthal dibentuk oleh
persatuan vena anterior cerebral, vena serebral dalam tengah, dan
pembuluh darah striate. Melewati posteromedial pada saluran optik,
kurva sekitar batang otak, dan bermuara di vena dalam atau besar otak
vena posterior ke batang otak. Posterior fossa. Anterior, tengah, dan
vena posterior saluran posterior fossa ke vena cerebral besar, vena
petrosus, dan tentorium dan sinus lurus, masing-masing.
6. Vena ekstraserebral
Vena-paling ekstraserebral mencolok, yang dural vena sinus-drain
darah vena dari otak ke dalam sinus sigmoid dan vena jugularis. Vena
diploic mengalir ke pembuluh darah ekstrakranial kulit kepala dan
pembuluh darah intrakranial (sinus vena dural). Vena utusan
menghubungkan sinus, vena diploic, dan vena superfisial tengkorak.

21
Infeksi kadang-kadang perjalanan sepanjang vena utusan dari
ekstrakranial ke kompartemen intrakranial. Pembuluh darah otak
kosong ke dalam kelompok superior dan inferior sinus vena dural.
Sinus dari kelompok superior (yang sagital superior dan inferior, lurus,
dan sinus oksipital) bergabung pada pertemuan sinus (torcular
Herophili),yang mengalir ke kedua melintang sinus dan dari situ ke
dalam sinus sigmoid dan vena jugularis internal. Sinus dari kelompok
rendah (superior dan inferior sinus petrosus) bergabung di sinus
kavernosa, yang mengalir ke sinus sigmoid dan vena jugularis interna
melalui petrosal sinus rendah, atau ke dalam pleksus vertebral internal
yang melalui pleksus basilar.

2.2 Konsep Trauma Kepala


2.2.1 Definisi Trauma Kepala
Trauma kepala berat adalah trauma kepala yang mengakibatkan
penurunan kesadaran dengan skor GCS 3-8, mengalami amnesia > 24 jam
(Haddad, 2012).
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara
langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka
di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak dan
kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan
neurologis (Sjahrir, 2012).
Cedera kepala merupakan sebuah proses dimana terjadi cedera
langsung atau deselerasi terhadap kepala yang dapat mengakibatkan
kerusakan tengkorak dan otak (Pierce dan Neil, 2014).
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2006), cedera
kepala merupakan kerusakan yang disebabkan oleh serangan ataupun
benturan fisik dari luar, yang dapat mengubah kesadaran yang dapat
menimbulkan kerusakan fungsi kognitif maupun fungsi fisik. Cedera
kepala merupakan suatu trauma atau ruda paksa yang mengenai struktur

22
kepala yang dapat menimbulkan gangguan fungsional jaringan otak atau
menimbulkan kelainan struktural (Sastrodiningrat, 2007).

2.2.2 Epidemiologi
Secara global insiden cedera kepala meningkat dengan tajam
terutama karena peningkatan penggunaankendaraan bermotor. WHO
memperkirakan bahwa pada tahun 2020 kecelakaan lalu lintas akan
menjadi penyebab penyakit dan trauma ketiga terbanyak di dunia. Di
Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum
tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan
sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang
(CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera
kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun.
Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera
kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%- 9% lainnya disebabkan
tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi (Irwana,2009).

2.2.3 Etiologi
Penyebab cedera kepala dibagi menjadi cedera primer yaitu cedera
yang terjadi akibat benturan langsung maupun tidak langsung, dan cedera
sekunder yaitu cedera yang terjadi akibat cedera saraf melalui akson
meluas, hipertensiintrakranial, hipoksia, hiperkapnea / hipotensi sistemik.
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi (Hickey,
2003).

23
2.2.4 Mekanisme Cedera Kepala
Berdasarkan Advenced Trauma Life Support (ATLS) tahun 2004,
klasifikasi berdasarkan mekanismenya, cedera kepala dibagi menjadi:
1. Cedera kepala tumpul, biasanya disebabkan oleh kecelakaan
kendaraan bermotor, jatuh ataupun terkena pukulan benda tumpul.
2. Cedera kepala tembus, biasanya disebabkan oleh luka tusukan, atau
luka tembak.

2.2.5 Klasifikasi
a. Cedera kepala berdasarkan tingkat keparahan
Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan
menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) yang diciptakan oleh
Jennet dan Teasdale pada tahun 1974. GCS yaitu suatu skala untuk
menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan kelainan
neurologis yang terjadi. Ada 3 aspek yang dinilai yaitu reaksi
membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal respons), dan
reaksi lengan serta tungkai (motor respons).
Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan
nilai GCS atau tingkat keparahan, yaitu:
1) Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13, tidak terdapat
kelainan berdasarkan CT scan otak, tidak memerlukan tindakan
operasi, lama dirawat di rumah sakit < 48 jam.
2) Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan
kelainan pada CT scan otak, memerlukan tindakan operasi untuk
lesi intrakranial, dirawat di rumah sakit setidaknya 48 jam.
3) Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu > 48 jam setelah
trauma, score GCS < 9 (George, 2009).

24
b. Cedera Kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pencahnya
tengkorak atau luka penetrasi. Besarnya cedera kepala pada tipe ini
ditentukan oleh velositas, masa dan bentuk dari benturan. Kerusakan
otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk ke
dalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel
otak akibat benda tajam/ tembakan. Cedera kepala terbuka
memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak
c. Cedera Kepala Tertutup
Benturan cranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah
goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang
bergerak cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan dalam
otak cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: komusio
(gegar otak), kontusio (memar), dan laserasi (Brunner & Suddarth,
2001; Long,1990)

25
Adapun Klasifikasi Cedera Kepala menurut Arif Muttaqin, 2008:
a) Cedera Kepala Primer
Cedera Kepala Primer mencakup: Fraktur tulang, cedera fokal,
cedera otak difusa, yang masing-masing mempunyai mekanisme
etiologis dan fatofisiologis yang unik.
b) Kerusakan Otak Sekunder
Cedera kepala berat seringkali menampilkan gejala
abnormalitas/gangguan sistemik akibat hipoksia dan hipotensi,
dimana keadaan-keadaan ini merupakan penyebab yang sering
pada kerusakan otak sekunder.
c) Edema Serebral
Tipe yang terpenting pada kejadian cedera kepala adalah edema
vasogenik dan edema iskemik
d) Pergeseran Otak (Brain Shift)
Adanya sat massa yang berkembang membesar (Haematoma,
abses atau pembengkakan otak) disemua lokasi dalam kavitas Intra
Kranial, biasanya akan menyebabkan pergerakan dan distorsi otak.

2.2.6 Morfologi
Berdasarkan morfologinya, cedera kepala dapat dibagi menjadi:
1. Fraktur Kranium
Fraktur kranium diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomisnya,
dibedakan menjadi fraktur calvaria dan fraktur basis cranii.
Berdasarkan keadaan lukanya, dibedakan menjadi fraktur terbuka yaitu
fraktur dengan luka tampak telah menembus duramater, dan fraktur
tertutup yaitu fraktur dengan fragmen tengkorak yang masih intak
(Sjamsuhidajat, 2010).
2. Perdarahan Epidural
Hematom epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga
tengkorak dan gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai
lensa cembung. Biasanya terletak di area temporal atau temporo parietal

26
yang disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat fraktur
tulang tengkorak (Sjamsuhidajat, 2010).
3. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan
epidural. Robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks cerebri
merupakan penyebab dari perdarahan subdural. Perdarahan ini biasanya
menutupi seluruh permukaan hemisfer otak, dan kerusakan otak lebih
berat dan prognosisnya jauh lebih buruk bila dibandingkan dengan
perdarahan epidural (Sjamsuhidajat, 2010).
4. Contusio dan perdarahan intraserebral
Contusio atau luka memar adalah apabila terjadi kerusakan jaringan
subkutan dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga darah
meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi bengkak dan
berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak terjadi apabila otak
menekan tengkorak. Contusio cerebri sering terjadi di lobus frontal dan
lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari
otak. Contusio cerebri dapat terjadi dalam waktu beberapa jam atau
hari, berubah menjadi perdarahan intraserebral yang membutuhkan
tindakan operasi (Sjamsuhidajat, 2010).
5. Commotio cerebri
Commusio cerebri atau gegar otak merupakan keadaan pingsan
yang berlangsung kurang dari 10 menit setelah trauma kepala, yang
tidak disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin akan mengeluh
nyerikepala, vertigo, mungkin muntah dan pucat (Sjamsuhidajat, 2010).
6. Fraktur basis cranii
Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat yang dapat
menimbulkan fraktur pada dasar tengkorak. Penderita biasanya masuk
rumah sakit dengan kesadaran yang menurun, bahkan tidak jarang
dalam keadaan koma yang dapat berlangsung beberapa hari. Dapat
tampak amnesia retrogade dan amnesia pascatraumatik. Gejala
tergantung letak frakturnya:

27
1) Fraktur fossa anterior.
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau
kedua mata dikelilingi lingkaran “biru” (Brill Hematom atau
Racoon’s Eyes), rusaknya Nervus Olfactorius sehingga terjadi
hyposmia sampai anosmia.
2) Fraktur fossa media
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur
memecahkan arteri carotis interna yang berjalan di dalam sinus
cavernous sehingga terjadi hubungan antara darah arteri dan darah
vena (A-V shunt).
3) Fraktur fossa posterior
Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur
dapat melintas foramen magnum dan merusak medula oblongata
sehingga penderita dapat mati seketika (Ngoerah, 1991).

2.2.7 Patofisiologi
Mekanisme cedera kepala dapat berlangsung peristiwa coup dan
contrecoup. Lesi coup merupakan lesi yang diakibatkan adanya benturan
pada tulang tengkorak dan daerah disekitarnya. Lesi contrecoup
merupakan lesi di daerah yang letaknya berlawanan dengan lokasi
benturan. Akselerasi - deselerasi terjadi akibat kepala bergerak dan
berhenti mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas
antara tulang tengkorak dan otak menyebabkan tengkorak bergerak lebih
cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak
memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang
berlawanan dari benturan (PERDOSSI, 2007).
Mekanisme utama pada cedera kepala ringan adalah shear strain.
Kekuatan rotasional dapat timbul sekalipun pada kecelakaan yang
dianggap tidak berarti dan tidak perlu adanya cedera coup dan contrecoup
yang jelas. Hal ini menimbulkan regangan pada akson-akson dengan

28
akibat gangguan konduksi dan hilangnya fungsi. Perubahan-perubahan
tersebut diatas dikenal sebagai Diffuse Axonal Injury (Iskandar, 2002).
Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur,
misalnya kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah,
perdarahan, edema dan gangguan biokimia otak seperti  penurunan
adenosis tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler. Patofisiologi cedera
kepala dapat terbagi atas dua proses yaitu cedera kepala primer dan cedera
kepala sekunder, cedera kepala primer merupakan suatu proses
biomekanik yang terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan dapat
memberi dampak kerusakan jaringan otak. Pada cedera kepala sekunder
terjadi akibat dari cedera kepala primer, misalnya akibat dari hipoksemia,
iskemia dan perdarahan.
Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada
epidural hematoma, berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan
durameter, subdura hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang
antara durameter dengan subaraknoid dan intra cerebral, hematoma adalah
berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral. Kematian pada penderita
cedera kepala terjadi karena hipotensi karena gangguan autoregulasi,
ketika terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi jaringan cerebral dan
berakhir pada iskemia jaringan otak. (Tarwoto, 2007).
Patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Cedera Primer
Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang
tengkorak, robek pembuluh darah (hematom), kerusakan jaringan otak
(termasuk robeknya duramater, laserasi, kontusio).
2. Cedera Sekunder
Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut
melampaui batas kompensasi ruang tengkorak.
Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak
tertutup dan volumenya tetap. Volume dipengaruhi oleh tiga
kompartemen yaitu darah, liquor, dan parenkim otak. Kemampuan

29
kompensasi yang terlampaui akan mengakibatkan kenaikan TIK yang
progresif dan terjadi penurunan Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang
dapat fatal pada tingkat seluler.
Cedera Sekunder dan Tekanan Perfusi :
CPP = MAP – ICP
CPP : Cerebral Perfusion Pressure
MAP : Mean Arterial Pressure
ICP : Intra Cranial Pressure
Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak.
Iskemia otak mengakibatkan edema sitotoksik – kerusakan seluler
yang makin parah (irreversibel). Diperberat oleh kelainan
ekstrakranial hipotensi/syok, hiperkarbi, hipoksia, hipertermi, kejang,
dll.
3. Edema Sitotoksik
Kerusakan jaringan (otak) menyebabkan pelepasan berlebih sejenis
Neurotransmitter yang menyebabkan Eksitasi (Exitatory Amino Acid
a.l. glutamat, aspartat). EAA melalui reseptor AMPA (N-Methyl D-
Aspartat) dan NMDA (Amino Methyl Propionat Acid) menyebabkan
Ca influks berlebihan yang menimbulkan edema dan mengaktivasi
enzym degradatif serta menyebabkan fast depolarisasi (klinis kejang-
kejang).
4. Kerusakan Membran Sel
Dipicu Ca influks yang mengakitvasi enzym degradatif akan
menyebabkan kerusakan DNA, protein, dan membran fosfolipid sel
(BBB breakdown) melalui rendahnya CDP cholin (yang berfungsi
sebagai prekusor yang banyak diperlukan pada sintesa fosfolipid
untuk menjaga integritas dan repair membran tersebut). Melalui
rusaknya fosfolipid akan meyebabkan terbentuknya asam arakhidonat
yang menghasilkan radikal bebas yang berlebih.

30
5. Apoptosis
Sinyal kemaitan sel diteruskan ke Nukleus oleh membran bound
apoptotic bodies terjadi kondensasi kromatin dan plenotik nuclei,
fragmentasi DNA dan akhirnya sel akan mengkerut (shrinkage).

2.2.8 Manifestasi Klinis


Menurut Reisner (2009), gejala klinis cedera kepala yang dapat
membantu mendiagnosis adalah battle sign (warna biru atau ekhimosis
dibelakang telinga di atas os mastoid), hemotipanum (perdarahan di daerah
membran timpani telinga), periorbital ekhimosis (mata warna hitam tanpa
trauma langsung), rhinorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari hidung),
otorrhoe (cairan serebrospinal keluar dari telinga).
Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala ringan
adalah pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat
kemudian sembuh, sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan, mual
dan atau muntah, gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun,
perubahan kepribadian diri, letargik. Tanda–tanda atau gejala klinis untuk
yang cedera kepala berat adalah perubahan ukuran pupil (anisocoria), trias
Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan) apabila
meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi
abnormal ekstremitas (Reisner, 2009).
Manifestasi klinis menurut Elizabeth J.Corwin, 2009 yaitu:
1) Pada cedera otak, kesadaran seringkali menurun
2) Pola nafas menjadi abnormal secara progresif
3) Reson pupil mungkin tidak ada atau secara progresif mengalami
deteriorasi
4) Sakit kepala dapat terjadi dengan segera atau terjadi bersama
peningkatan tekanan intracranial
5) Muntah dapat terjadi akibat peningkatan tekanan intracranial

31
6) Perubahan perilaku, kognitif, dan fisik pada gerakan motorik dan
berbicara dapat terjadi dengan kejadian segera atau secara lambat.
Amnesia yang berhubungan dengan kejadian ini biasa terjadi.

2.2.9 Komplikasi
Komplikasi akibat cedera kepala:
1) Gejala sisa cedera kepala berat: beberapa pasien dengan cedera kepala
berat dapat mengalami ketidakmampuan baik secara fisik (disfasia,
hemiparesis, palsi saraf cranial) maupun mental (gangguan kognitif,
perubahan kepribadian). Sejumlah kecil pasien akan tetap dalam status
vegetatif.
2) Kebocoran cairan serebrospinal: bila hubungan antara rongga
subarachnoid dan telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur
basis cranii hanya kecil dan tertutup jaringan otak maka hal ini tidak
akan terjadi. Eksplorasi bedah diperlukan bila terjadi kebocoran cairan
serebrospinal persisten.
3) Epilepsi pascatrauma: terutama terjadi pada pasien yang mengalami
kejang awal (pada minggu pertama setelah cedera), amnesia
pascatrauma yang lama, fraktur depresi kranium dan hematom
intrakranial.
4) Hematom subdural kronik.
5) Sindrom pasca concusio : nyeri kepala, vertigo dan gangguan
konsentrasi dapat menetap bahkan setelah cedera kepala ringan.
Vertigo dapat terjadi akibat cedera vestibular (konkusi labirintin)
(Adams, 2000).

2.2.10 Pemeriksaan Penunjang


1. Foto polos kepala
Indikasi dilakukannya pemeriksaan meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka
tembus (peluru/tajam), deformasi kepala (dari inspeksi dan palpasi),

32
nyeri kepala yang menetap, gejala fokal neurologis, gangguan
kesadaran.
2. CT-Scan
Indikasi CT-Scan adalah:
a. Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak menghilang
setelah pemberian obat-obatan analgesia.
b. Adanya kejang-kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat
pada lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
c. Penurunan GCS lebih dari 1 dimana factor-faktor ekstrakranial
telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena
syok, febris, dll).
d. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai. 5)
Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
e. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari
GCS (Sthavira, 2012).
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI digunakan untuk pasien yang memiliki abnormalitas status
mental yang digambarkan oleh CT-Scan. MRI telah terbukti lebih
sensitive daripada CT-Scan, terutama dalam mengidentifikasi lesi
difus non hemoragig cedera aksonal.
4. X-Ray
X-Ray berfungsi mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur),
perubahan struktur garis (perdarahan /edema), fragmen tulang
(Rasad,2011).
5. BGA ( Blood Gas Analyze)
Mendeteksi masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi
peningkatantekanan intra kranial (TIK).
6. Kadar elektrolit
Mengoreksi keseimbangan elektrolit sebgai akibat
peningkatantekanan intra kranial (Musliha, 2010).

33
2.2.11 Penatalaksanaan
a. Resusitasi jantung paru ( circulation, airway, breathing = CAB) Pasien
dengan trauma kepala berat sering terjadi hipoksia, hipotensi dan
hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu urutan
tindakan yang benar adalah:
1) Sirkulasi (circulation)
Hipotensi menyebabkan iskemik yang dapat mengakibatkan
kerusakan sekunder. Hipotensi disebabkan oleh hipovolemia akibat
perdarahan luar, ruptur organ dalam, trauma dada disertai
temponade jantung atau pneumotoraks dan syok septic. Tindakan
adalah menghentikan perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan
mengganti darah yang hilang dengan plasma atau darah.
2) Jalan nafas (airway)
Bebaskan jalan nafas dari lidah yang turun ke belakang dengan
posisi kepala ekstensi dengan memasang orofaryngeal airway
(OPA) atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah,
lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa
nasogastrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan.
3) Pernafasan (breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral dan
perifer. Kelainan sentral dalah depresi pernafasan pada lesi medulla
oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central
neurogenic hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi,
trauma dada, edema paru, emboli paru, infeksi. Gangguan
pernafasan dapat menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan
dengan pemberian O2 kemudian cari dan atasi factor penyebab dan
kalau perlu memakai ventilator.

b. Penanganan kasus-kasus cedera kepala di unit gawat darurat


didasarkan atas patokan pemantauan dan penanganan terhadap “6
B”(Arif Muttaqin 2008), yakni:

34
1) Breathing
Perlu diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernafasan
penderita. Adanya obstruksi jalan nafas perlu segera dibebaskan
dengan tindakan-tindakan : suction, inkubasi, trakheostomi.
Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi bila perlu, merupakan
tindakan yang berperan penting sehubungan dengan edema cerebri.
2) Blood
Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan
laboratorium darah (Hb, leukosit). Peningkatan tekanan darah dan
denyut nadi yang menurun mencirikan adanya suatu peninggian
tekanan intracranial, sebaliknya tekanan darah yang menurun dan
makin cepatnya denyut nadi menandakan adanya syok hipovolemik
akibat perdarahan dan memerlukan tindakan transfusi.
3) Brain
Penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respon-respon mata,
motorik dan verbal (GCS). Perubahan respon ini merupakan
implikasi perbaikan/perburukan kiranya perlu pemeriksaan lebih
mendalam mengenai keadaan pupil (ukuran, bentuk dan reaksi
terhadap cahaya) serta gerakan-gerakan bola mata.
4) Bladder
Kandung kemih perlu selalu dikosongkan (pemasangan kateter)
mengingat bahwa kandung kemih yang penuh merupakan suatu
rangsangan untuk mengedan sehingga tekanan intracranial
cenderung lebih meningkat.
5) Bowel
Produksi urine perlu dipantau selama pasien dirawat. Bila produksi
urine tertampung di vesika urinaria maka dapat meningkatkan
tekanan intra cranial (TIK).
6) Bone
Mencegah terjadinya dekubitus, kontraktur sendi dan sekunder
infeksi.

35
Pathway
Trauma Kepala

Ekstra Kranial Tulang Kranial Intra Kranial

Terputusnya Terputusnya kontinuitas Jaringan otak rusak


kontinuitas jaringan jaringan tulang (konstusio, laserasi)
kulit, otot dan
vaskuler
Perubahan
autoregulasi
Oedema serebral
Gangguan suplai darah Nyeri
Perdarahan
Hematoma Resiko infeksi
Kejang

Perubahan Bersihan jln


Hipoksia
perfusi jaringan nafas
Perubahan Obstruksi jln
sirkulasi CSS Gangguan nafas
Gangguan
neurologis fokal Dyspnea
fungsi otak
Henti nafas
Perubahan pola
Peningkatan TIK Mual muntah nafas
Papilodema
Pandangan kabur
Penurunan fungsi
pendengaran
Girus medialis lobus Nyeri kepala
Defisit Neurologis
temporalis tergeser

Resiko kurangnya Gangguan persepsi Resiko tidak


Hemiasi unkus volume cairan sensori efektif jln nafas

Tonsil cerebrum tergeser Kompresi medulla oblongata

Messenfalon teretekan
Resiko injuri Resiko gangguan
integritas kulit
immobilisasi
Gangguan Kurangnya
kesadaran perawatan diri
Cemas
36
2.3 Definisi Hematoma Epidural
Hematom epidural atau lebih dikenal dengan istilah Epidural hematoma
(EDH) adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang paling sering terjadi
karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi oleh tulang tengkorak yang kaku
dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna sebagai pembungkus
yang di sebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus
vena, dan membentuk periosteum tabula interna. Ketika seorang mendapat
benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk suatu lubang,
pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari
pembuluh darah yang mengelilingi otak dan dura,ketika pembuluh darah
mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura dan
tulang tengkorak, keadaan inlah yang di kenal dengan sebutan epidural
hematoma.
Perdarahan epidural adalah adanya darah di ruang epidural, pada
perdarahan epidural intrakranial didapatkan perdarahan antara tabula interna
tulang tengkorak dan duramater. Perdarahan epidural 90% terjadi karena fraktur
kranium di regio temporal dan parietal. Perdarahan epidural atau epidural
hematom (EDH) biasanya disebabkan oleh rupturnya arteri meningea media,
vena atau sinus dural.
EDH adalah salah satu jenis perdarahan intrakranial yang paling sering
terjadi karena fraktur tulang tengkorak oleh karena adanya cedera mekanik
(trauma kepala). Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi
baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer
atau permanen. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

37
2.4 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan
hematoma epidural dan sekitar 10% mengakibatkan koma. Secara Internasional
frekuensi kejadian hematoma epidural hampir sama dengan angka kejadian di
Amerika Serikat. Orang yang beresiko mengalami EDH adalah orang tua yang
memiliki masalah berjalan dan sering jatuh. 60 % penderita hematoma epidural
adalah berusia dibawah 20 tahun, dan jarang terjadi pada umur kurang dari 2
tahun dan di atas 60 tahun. Angka kematian meningkat pada pasien yang berusia
kurang dari 5 tahun dan lebih dari 55 tahun.Lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibanding perempuan dengan perbandingan 4:1. Tipe- tipe : 1. Epidural

38
hematoma akut (58%) perdarahan dari arteri. 2. Subacute hematoma (31%) 3.
Cronic hematoma (11%) perdarahan dari vena.
Perdarahan ini jarang terjadi pada pasien usia di atas 60 tahun,
kemungkinan karena duramater melekat lebih kuat ke tabula interna. Hal ini pula
menerangkan bahwa kebanyakan hematoma epidural terjadi di bagian temporal,
karena pada lokasi tersebut perlekatan duramater pada tulang tengkorak lebih
lemah dibanding pada lokasi lainnya.Sedangkan pada anak dan bayi lebih sering
terjadi hematoma epidural bifrontal yang berasal dari vena. Beberapa literatur
mengatakan hematoma epidural relatif jarang terjadi pada anak berusia di bawah
2 tahun, dan tampaknya hal ini disebabkan karena pada usia tersebut tulang
tengkorak relatif lebih lentur dari orang dewasa.

2.5 Patofisiologi
Perdarahan epidural biasanya karena fraktur di daerah temporoparietal.
Penyebab utamanya adalah trauma kapitis atau fraktur kranium. Fraktur yang
paling ringan adalah fraktur linear namun gaya destruktifnya lebih kuat, bisa
timbul fraktur yang berupa bintang (stelatum), atau fraktur impresi yang dengan
kepingan tulangnya menusuk ke dalam ataupun fraktur yang merobek dura dan
sekaligus melukai jaringan otak (laserasio). Perdarahan epidural yang terjadi
ketika pembuluh darah ruptur biasanya arteri meningea media kemudian darah
mengalir ke dalam ruang potensial antara duramater dan tulang kranium
sedangkan pada perdarahan subdural terjadi akibat trauma kepala hebat, seperti
perdarahan kontusional yang mengakibatkan rupture bridging vein yang terjadi
dalam ruangan subdural.
Fraktur kranium terjadi pada 85-95% kasus dewasa, jarang terjadi pada
anak-anak-anak karena plastisitas pada kranium yang masih imatur. Laserasi
arteri maupun vena menyebabkan perluasan perdarahan yang cepat. Manifestasi
kronis atau tertunda dapat terjadi bila perdarahan berasal dari vena. Perluasan
perdarahan atau hematom tidak melewati suture line karena duramater melekat
ketat, hanya pada sebagian kecil kasus yang sedikit melewati suture line.

39
Perdarahan epidural intrakranial sebagian besar berasal dari rupturnya
arteri meningea media (66%), meskipun arteri etmoidalis anterior mungkin bisa
terlibat dalam cedera kepala di daerah frontal, sinus transversus atau sinus
sigmoid pada cedera oksipital, dan sinus sagital superior pada trauma verteks.
Perdarahan epidural intrakranial bilateral terjadi 2-10% dari semua kasus
perdarahan epidural akut pada orang dewasa tetapi sangat jarang terjadi pada
anak-anak. Perdarahan epidural pada fossa posterior mencapai 5% dari semua
kasus perdarahan epidural.
Perdarahan epidural spinal dapat terjadi spontan atau akibat trauma minor,
seperti pungsi lumbal atau anestesi epidural. Perdarahan epidural spinal dapat
berhubungan dengan antikoagulan, trombolisis, diskrasia darah, koagulopati,
trombositopenia, neoplasma, atau malformasi vaskuler. Pleksus vena peridural
biasanya terlibat, meskipun perdarahan dari arteri juga terjadi. Aspek dorsal di
daerah thorakal atau lumbal yang paling umum terkena, dengan ekspansi
terbatas pada beberapa tingkat vertebra.
Penyebab perdarahan epidural baik intrakranial maupun spinal dapat
dibagi menjadi trauma dan non trauma. Penyebab trauma sering berupa benturan
tumpul pada kepala akibat serangan, terjatuh, atau kecelakan lain; trauma
akselerasi-deselerasi dan gaya melintang. Selain itu perdarahan epidural
intrakranial pada bayi baru lahir dapat terjadi akibat distosia, ektraksi forseps,
dan tekanan kranium berlebihan pada jalan lahir. Penyebab non trauma
perdarahan epidural diantaranya adalah obat antikoagulan, agen trombolisis,
lumbal pungsi, anesthesia epidural, koagulopati, penyakit hepar dengan
hipertensi portal, kanker, alkholisme kronik malformasi vascular, herniasi
diskus, penyakit paget pada tulang, valsava manuever. Gangguan sinus venosus
dura (sinus transversum atau sigmoid) oleh fraktur dapat menyebabkan
perdarahan epidural di fossa posterior sedangkan gangguan sinus sagitalis
superior dapat menyebabkan perdarahan epidural pada vertex. Sumber
perdarahan epidural yang non arterial diantaranya adalah venous lakes, dipoic
veins, granulatio arachnoid dan sinus petrosus.

40
2.6 Diagnosis
Diagnosis perdarahan epidural ditegakkan berdasarkan anamnesa,
gambaran klinis, pemeriksaan fisik, imaging dan data laboratorium.
Diagnosis banding perdarahan epidural intrakranial yang perlu
disingkirkan diantaranya adalah perdarahan subdural, abses epidural, perdarahan
intracerebral, epilepsi post traumatik, ensefalopati karena intoksikasi alkohol.
Pada perdarahan epidural spinal diagnosis banding yang perlu disingkirkan
diantaranya perdarahan medulla spinalis, abses epidural spinal, ankylosing
spondylitis, spondilosis, polineuropati.

2.7 Gambaran klinis perdarahan epidural


Kebanyakan perdarahan epidural intrakranial disebabkan oleh trauma yang
sering melibatkan benturan tumpul pada kepala. Pasien sering didapatkan bukti
eksternal cidera kepala seperti adanya laserasi kulit kepala, cephalohematoma
atau kontusio. Cedera sistemik juga dapat muncul. Berdasarkan gaya benturan
pasien bisa saja tetap sadar, terjadi hilang kesadaran singkat atau kehilangan
kesadaran berkelanjutan.
Interval lucid klasik dapat muncul pada 20-50% pasien perdarahan
epidural. Hal ini dapat terjadi karena pada awal kejadian, tekanan yang mudah-
lepas menyebabkan cedera kepala berakibat pada perubahan kesadaran sesaat
lalu kesadaran pulih kembali. Setelah kesadaran pulih, perdarahan epidural terus
meluas sampai efek massa perdarahan epidural menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial sehinggal mulai terjadi penurunan tingkat kesadaran yang
progresif dan sindroma herniasi. Interval lucid bergantung pada luasnya cedera
dan merupakan kunci penting diagnosis perdarahan epidural intrakranial.
Gejala yang sangat menonjol pada perdarahan epidural adalah penurunan
tingkat kesadaran yang progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali

41
tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga. Sering juga tampak
cairan yang keluar pada saluran hidung dan telinga. Setiap orang memiliki
kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak
gejala yang timbul akibat dari cedera kepala. Gejala yang sering tampak:
penurunan kesadaran , bisa sampai koma; bingung; penglihatan kabur; susah
bicara; nyeri kepala yang hebat; keluar cairan dari hidung dan telingah; mual,
pusing dan berkeringat. Pada hipertensi intrakranial berat, respon Cushing
mungkin muncul. Trias Cushing klasik melibatkan hipertensi sistemik,
bradikardia, dan depresi pernafasan. Respon ini biasanya muncul ketika perfusi
serebral, terutama sekali karena batang otak mengkompensasi peningkatan
tekanan intra kranial. Terapi anti hipertensi selama ini mungkin menyebabkan
iskemia serebral akut dan kematian sel. Evakuasi lesi massa mengurangi respon
Cushing.
Penilaian neurologis sangat penting terutama pada tingkat kesadaran,
aktivitas motorik, pembukaan mata, respon verbal, reaktivitas dan ukuran pupil,
parese nervus kranialis dan tanda-tanda lateralisasi seperti hemiparesis atau
hemiplegia. GCS penting dalam menilai kondisi klinis terkini karena
berhubungan dengan keluaran klinis akhir. Pada pasien yang sadar dengan lesi
massa, fenomena pronator drift mungkin membantu dalam menilai arti klinis.
Arah ekstremitas ketika pasien diminta menahan kedua lengan teregang keluar
dengan kedua telapak tangan menghadap keatas mengindikasikan efek massa.
Pada perdarahan epidural di spinal dapat ditemukan berbagai gambaran
klinis pada pemeriksaan fisik neurologis yang tergantung pada segmen spinal
yang terlibat. Beberapa gambaran klinis yang dapat dijumpai yaitu: kelemahan
ekstrimitas (unilateral atau bilateral), defisit sensoris dengan paresthesia
radikular (unilateral atau bilateral), gangguan refleks tendon dalam, gangguan
tonus sfingter kandung kemih atau anal.

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Foto polos kepala, CT-scan dan kepala MRI penting untuk memberikan
penilaian perdarahan intrakranial akibat trauma kepala

42
2.7.1 Foto Polos Kepala
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti
sebagai epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P),
lateral pada sisi yang mengalami trauma untuk mencari adanya fraktur
tulang yang memotong sulcus arteria meningea media.

Fraktur temporoparietal (panah)


yang berakibat perdarahan epidural

2.7.2 Computed Tomography (CT-Scan)


Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek,
dan potensi cedara intrakranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu
bagian saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral),
berbentuk bikonveks, paling sering di daerah temporoparietal. Densitas
darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke
sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural
hematoma, Densitas yang tinggi pada stadium yang akut ( 60 – 90 HU),
ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah. Pada
perdarahan epidural di spinal dapat dikerjakan CT myelografi terutama
pada yang tidak memungkinkan atau kontraindikasi dikerjakan MRI.

43
Gambar 4 : Perdarahan epidural intrakranial di temporoparietooccipital
sinistra (A,B), nampak garis fraktur (C, anak panah)

2.7.3 Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Pada MRI kepala akan menggambarkan massa hiperintens
bikonveks yang menggeser posisi duramater, berada diantara tulang
tengkorak dan duramater. MRI kepala juga dapat menggambarkan batas
fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang
dipilih untuk menegakkan diagnosis. Pada perdarahan epidural spinal
MRI penting untuk memastikan lokasi segmen yang mengalami
perdarahan.

Gambar 5 : T1 MRI kepala


potongan koronal, didapatkan
gambaran perdarahan epidural di
daerah vertex

Gambar 6 : T2 MRI kepala


potongan sagittal, nampak
perdarahan epidural pada region
parietoccipital dekstra (kanan)

44
Gambar 7 : Perdarahan epidural di spinal
2.7.4 Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang penting dikerjakan diantaranya
1. Darah lengkap : penting untuk menilai kadar trombosit dan hematokrit
terkait perdarahan non traumatik juga menilai adanya penanda infeksi
untuk menyingkirkan diagnose banding
2. Faal hemostasis : penting untuk menilai ada tidaknya gangguan
koagulopati
3. Serum elektrolit, tes fungsi ginjal, tes fungsi hepar, kadar glukosa
darah juga perlu diperiksa untuk menemukan adanya komplikasi
metabolik perdarahan epidural intrakranial maupun spinal
4. Toksikologi dan kadar alkohol dalam darah juga perlu diperiksa
terkait penyebab trauma kepala dan adanya sindroma putus obat
5. Golongan darah : penting untuk persiapan transfusi dan tindakan
operatif darurat.

2.7.5 Pemeriksaan penunjang lain perdarahan epidural


Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan diantaranya angiografi,
lumbal pungsi, electroencephalography (EEG) dan somatosensory evoked
potential (SSEP) pada perdarahan epidural spinal. Angiografi dapat
dikerjakan bila ada kecurigaan adanya malformasi vaskular. Lumbal

45
pungsi tidak rutin dikerjakan karena informasi yang didapatkan hanya
sedikit. SSEP perlu dikerjakan pada perdarahan epidural spinal untuk
penilaian prognosis maupun selama intraoperatif.

2.9 Penatalaksanaan
Untuk keadaan gawat darurat,lakukan Langkah-langkah yang dikenal
sebagai ABCDE (airway and C-spine control, breathing, circulation and
hemorrhage control, disability, exposure/environment). Pertama harus dinilai
adalah kelancaran jalan napas. Ini meliputi pemeriksaan adanya sumbatan jalan
napas yang dapat disebabkan benda asing, adanya fraktur mandibula atau
kerusakan trakea/larings. Harus diperhatikan pula secara cermat mengenai
kelainan yang mungkin terdapat pada vertebra servikalis dan apabila ditemukan
kelainan, harus dicegah gerakan yang berlebihan pada tempat ini dan diberikan
alat bantu. Pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap jalan napas
bersih, walaupun demikian penilaian ulang terhadap airway harus tetap
dilakukan.
Telinga didekatkan ke mulut dan hidung penderita sambil menjaga jalan
napas tetap terbuka. Kemudian pada saat yang sama mengamati dada penderita
dengan cara look, listen, and feel.
1. Lihat (Look). Apakah penderita mengalami agitasi atau kesadarannya
menurun. Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh
kekurangan oksigenasi dan dapat dilihat dengan melihat pada kuku dan kulit
sekitar mulut. Lihat adanya retraksi dan penggunaan otot-otot napas
tambahan yang apabila ada merupakan bukti tambahan adanya gangguan
airway.
2. Dengar (listen). Adanya suara-suara abnormal. Pernapasan yang berbunyi
(napas tambahan) adalah pernapasan yang tersumbat. Suara mendengkur
(snoring), berkumur (gurgling) dan bersiul (crowing sound, stridor)
mungkin berhubungan dengan sumbatan parsial pada faring atau laring.
Penderita yang melawan dan berkata-kata kasar (gaduh gelisah) mungkin
mengalami hipoksia dan tidak boleh dianggap karena keracunan/mabuk.

46
3. Raba (feel). Lokasi trakea dan dengan cepat menentukan apakah trakea ada
ditengah.Juga merasakan adanya atau tidaknya hembusan nafas penderita.

Pasanglah alat bantu jalan napas orofaring (bila ada) pada penderita,
kemudian pasang kantung nafas sungkup muka. Bila terjadi di lapangan dan
tanpa peralatan, lakukan dengan manipulasi dengan cara mulut ke mulut (mouth-
to-mouth), mulut ke hidung (mouth-to-nose) pada trauma maksilo-fasial dan saat
mulut korban sulit dibuka atau mulut ke stoma trakeostomi. Letakkan tangan
kanan penolong di dagu dan tangan kiri penolong memencet kedua lubang
hidung korban, sehingga lobang hidung tertutup rapat. Dengan demikian
keadaan korban menjadi “mulut menganga, dagu terangkat, kepala fleksikan”.
Lakukan napas buatan sebanyak 2 kali secara perlahan, tiap ventilasi
waktunya sekitar 2 detik. Pemberian bantuan napas bisa dilakukan dengan cara :
1. Ventilasi Mouth to Mouth

47
a. Posisi pasien tetap dipertahankan seperti pada posisi membebaskan
jalan napas. Tangan kanan di samping, menekan dahi pasien juga
dipakai menutup hidung. Diusahakan mulut tetap terbuka sedikit.
b. Tidak usah tarik napas dalam dan ditiupkan tidak terlalu kuat pada
orang dewasa dan anak-anak. Kemudian perhatikan apakah dada
mengembang atau tidak.
c. Bila dada mengembang maka tiupan dihentikan, lepas mulut penolong
dari pasien dan biarkan pasien bernapas secara pasif.
d. Setelah selesai ekshalasi, ulangi tiupan dengan tanpa terlebih dahulu
bernapas dalam.

2. Ventilasi Mouth to Nose


Cara ventilasi buatan dari mulut ke hidung prinsipnya sama, hanya
disini yang ditutup adalah mulut untuk mencegah terjadi kebocoran. Gambar
: Mouth to nose

3. Ventilasi Mouth to mask

Gambar. Mouth to mask

48
Beberapa penolong lebih menyukai menggunakan alat selama
ventilasi dari mulut ke mulut. Pemakaian alat pelindung harus dianjurkan
kepada penolong yang melakukan CPR yang berada di luar rumah. Dua
kategori dari alat yang tersedia: alat mulut ke sungkup dan penutup wajah
(mouth-to-mask dan face shields). Alat mulut ke sungkup umumnya
memiliki katup satu arah sehingga udara yang dihembuskan oleh penderita
tidak masuk ke dalam mulut penolong. Penutup wajah biasanya tidak
memiliki katup ekspirasi dan penderita mengeluarkan udara diantara
penutup dan wajah penderita. Peralatan ini harus memiliki tahanan yang
rendah terhadap aliran gas sehingga tidak mengganggu ventilasi.

4. Circulation
Bila tidak ditemukan nadi selama penilaian, maka dilakukan kompresi
jantung yang efektif, yaitu kompresi dengan kecepatan 100x/menit, dengan
kedalaman 4-5 cm, memberikan kesempatan jantung mengembang
(pengisisan ventrikel), waktu kompresi dan relaksasi sama, minimalkan
terputusnya kompresi dada, dan rasio kompresi dan ventilasi 30 : 2.(14,15)
Teknik melakukan PJL( Pijat Jantung Luar) adalah sebagai berikut:
1. Letakkan satu telapak tangan di atas permukaan dinding dada pada 1/3
processus xypoideus (bagian ujung sternum). Tangan yang lain
diletakkan di atas tangan pertama.
2. Dengan jari-jari terkunci, lengan lurus dan kedua bahu tepat di atas
sternum korban, beri tekanan ventrikal ke bawah dengan kedalaman
sekitar 3-5 cm untuk dewasa. Tekanan berasal dari bahu bukan dari
tangan, sehingga tangan dan siku korban lurus dan tegak lurus dengan
dada korban. Tindakan ini akan memeras jantung yang letaknya
dijepit oleh dua bangunan tulang yang keras yaitu tulang dada dan
tulang punggung. Pijatan jantung yang baik akan menghasilkan
denyut nadi pada arteri carotis dan curah jantung sekitar 10-15% dari
normal.

49
Gambar. PJL (Pijat Jantung Luar)/ Resusitasi Kardio-Pulmonal
3. Pada gerakan penekanan, usahakan penekanan sternum ke bawah
selama ½ detik dan lepaskan dengan cepat tetapi kedua tangan tidak
boleh diangkat dari dada korban dan tunggu ½ detik kemudian agar
jantung dan pembuluh darah terisi cukup.
4. Kompresi harus teratur, halus dan continue. Dalam kondisi apapun
kompresi tidak boleh berhenti lebih dari 5 detik.
5. Lakukan pemberian nafas sebanyak 2 kali tiap setelah 30 kali pijatan
atau penekanan pada dada (jantung) dengan perbandingan 30:2.
6. Lakukan sebanyak 5 siklus, kemudian cek kembali arteri carotis
korban. Jika tetap tidak berdenyut, lanjutkan pemberian PJL.

Pasien dengan EDH memerlukan evaluasi bedah saraf emergensi dan


evakuasi hematoma. Prioritas dalam menangani pasien cedera kepala
terfokus pada pembatasan komplikasi sekunder. Stabilisasi saluran nafas,
pernafasan, sirkulasi, dan vertebra cervicalis harus dilakukan segera. Setiap
pasien dengan nilai skala koma glasgow (GCS, Glasgow Coma Scale) 8 atau
kurang, setiap pasien yang tidak mampu melindungi saluran nafasnya, harus
di intubasi dini dengan menggunakan tehnik secuens cepat untuk membatasi
fluktuasi TIK.
1) Penanganan darurat :
a. Dekompresi dengan trepanase sederhana.

50
b. Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom.
2) Terapi medikamentosa
Elevasi kepala 30o dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada
cedera spinal atau gunakan posisi trendelenburg terbalik untuk
mengurangi tekanan intrakranial (TIK) dan meningkatkan drainase
vena.
Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah
golongan dexametason (dosis awal 10 mg kemudian dilanjutkan 4 mg
tiap jam), manitol 2% (dosis 1-3 mg/kgBB/hari) yang bertujuan untuk
mengatasi edema cerebri yang terjadi akan tetapi hal ini masih
kontroversi dalam memilih mana yang terbaik. Dianjurkan untuk
memberikan terapi profilaksis dengan memberikan fenitoin dengan
sedini mungkin (24 jam pertama) untuk mencegah timbulnya focus
epileptogenic dan untuk menggunakan jangka panjang dapat
dilanjutkan dengan karbamazepin. Tri – hidroksimetil – amino –
metana (THAM) merupakan suatu buffer yang dapat masuk kedalam
susunan saraf pusat dan secara teoritis lebih superior dari natrium
bikarbonat, dalam hal ini untuk mengurangi tekanan intracranial
(TIK). Barbiturat dapat digunakan untuk mengatasi tekanan
intracranial yang meninggi dan mempunyai efek protektif terhadap
otak dari anoksia dan iskemik. Dosis yang biasa diterapkan adalah
diawali dengan 10 mg/kgBB dalam 30 menit dan kemudian
dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 3 jam serta drips 1
mg/kgBB/jam untuk mencapai kadar serum 3 – 4 mg%.
3) Terapi operatif
Operasi dilakukan apabila terdapat :
a. Volume hematoma > 30 ml
b. Keadaan pasien memburuk
4) Pendorongan garis tengah > 3 mm
Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving
dan untuk fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut

51
maka operasinya menjadi operasi emergensi. Biasanya keadaan
emergensi ini disebabkann oleh lesi desak ruang. Indikasi untuk life
saving adalah jika lesi desak ruang bervolume
1. > 25 cc = desak ruang supra tentorial
2. > 10 cc = desak ruang infratentorial
3. > 5 cc = desak ruang thalamus
Sedangkan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang
signifikan
1. Penurunan klinis
2. Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm
dengan penurunan klinis yang progresif.

2.10 Asuhan Keperawatan Berdasarkan Teori


A. Pengkajian
Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis
kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah,
pengahasilan, hubungan klien dengan penanggung jawab.
1. Pemeriksaan fisik
a. System pernafasan
Perubahan pola nafas (apnoe yang diselingi oleh
hiperventilasi). Nafas berbunyi stridor, tersedak. Ronkhi positif
kemungkianan karena aspirasi. Adanya liquor dari hidung dan
mulut.
b. Sistem neurologis
Perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status
mental (orientasi, kewaspadaan, konsentrasi, pengaruh
emosi/tingkah laku dan memori). Perubahan pupil, deviasi pada
mata. Kehilangan penginderaan seperti : pengecapan, penciuman
dan pendengaran. Tingkat kesadaran/GCS (< 15). Reflek babinski
positif, kaku kuduk dan hemiparese.
c. Sistem kardiovaskuler

52
Perubahan tekanan darah (hipertensi). Perubahan frekuensi
jantung (bradikardi, takhicardi yang diselingi bardicardi, disritmia.
d. System musculoskeletal
Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang. Kekuatan
secara umum mengalami paralisis.
e. System pencernaan
Gangguan menelan (batuk, air liur keluar, disfagia).
Muntah (mungkin proyektil). Mual dan mengalami perubahan
selera. Usus mengalami gangguan fungsi.
f. System perkemihan
Inkontinensia kandung kemih
g. Pemeriksaan Penujang
1) CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi
luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark /
iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
2) MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa
kontras radioaktif.
3) Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral,
seperti: perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema,
perdarahan dan trauma.
4) Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang
patologis.
5) X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur),
perubahan struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6) BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7) PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8) CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi
perdarahan subarachnoid.
9) ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah
pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan

53
intrakranial
10) Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit
sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial
11) Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan yang biasanya muncul adalah :
1. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat
napas di otak.
2. Tidakefektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan
penumpukan sputum.
3. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak.
4. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran
(soporos - coma).
5. Resiko infeksi sehubungan dengan adanya trauma jaringan.
6. Gangguan pemenuhan nutrisi sehubungan dengan penurunan tingkat
kesadaran

C. Intervensi Keperawatan
a. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat
napas di otak.
Intervensi Rasional
Mandiri
1) Hitung pernapasan pasien 1) Pernapasan yang cepat dari
dalam satu menit. pasien dapat menimbulkan
alkalosis respiratori dan
pernapasan lambat
meningkatkan tekanan Pa Co2

54
dan menyebabkan asidosis
respiratorik.

2) Cek pemasangan tube 2) Untuk memberikan ventilasi


yang adekuat dalam
pemberian tidal volume.

3) Observasi ratio inspirasi dan 3) Pada fase ekspirasi biasanya 2


ekspirasi x lebih panjang dari inspirasi,
tapi dapat lebih panjang
sebagai kompensasi
terperangkapnya udara
terhadap gangguan pertukaran
gas.

4) Perhatikan kelembaban dan 4) keadaan dehidrasi dapat


suhu pasien mengeringkan sekresi / cairan
paru sehingga menjadi kental
dan meningkatkan resiko
infeksi.

5) Cek selang ventilator setiap 5) adanya obstruksi dapat


waktu menimbulkan tidak
(15 menit) adekuatnya pengaliran volume
dan menimbulkan penyebaran
udara yang tidak adekuat.

6) Siapkan ambu bag tetap 6) membantu membarikan


berada di dekat pasien ventilasi yang adekuat bila ada
gangguan pada ventilator.
Kolaborasi

55
7) Berikan oksigen

7) Memaksimalkan darah dalam


arteri dan mencegah hipoksia

b. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan


penumpukan sputum.
Intervensi Rasional
Mandiri
1) Kaji dengan ketat (tiap 15 1) Obstruksi dapat disebabkan
menit) kelancaran jalan pengumpulan sputum,
napas. perdarahan, bronchospasme
atau masalah terhadap tube.

2) Evaluasi pergerakan dada 2) Pergerakan yang simetris dan


dan auskultasi dada (tiap 1 suara napas yang bersih
jam ). indikasi pemasangan tube
yang tepat dan tidak adanya
penumpukan sputum.

3) Angkat kepala tempat tidur 3) ntuk memudahkan ekspansi


sesuai aturan,posisi miring paru/ventilasi paru dan
sesuai indikasi menurunkan adanya
kemungkinan lidah jatuh yang
menyumbat jalan nafas

4) Anjurkan pasien untuk 4) Mencegah/menurunkan


melakukan fasan dalam jika atelektasis
pasien sadar

5) Auskultasi suara 5) Untuk mengidentifikasi


nafas,perhatikan daerah adanya masalah paru seperti

56
hipoventilasi dan adanya atelektasis,obstruksi jalan
suara-suara nafas yang tidak nafas yang membahayakan
normal oksigenasi

Kolaborasi
6) Lakukan pengisapan lendir 6) Pengisapan lendir tidak selalu
dengan waktu kurang dari 15 rutin dan waktu harus dibatasi
detik bila sputum banyak. untuk mencegah hipoksia.

7) Lakukan fisioterapi dada 7) Meningkatkan ventilasi untuk


setiap 2 jam. semua bagian paru dan
memberikan kelancaran aliran
serta pelepasan sputum.

c. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak.


Intervensi Rasional
1) Monitor dan catat status 1) Refleks membuka mata
neurologis dengan menentukan pemulihan tingkat
menggunakan metode GCS. kesadaran.
b. Respon motorik
menentukan kemampuan
berespon terhadap stimulus
eksternal dan indikasi
keadaan kesadaran yang
baik.
c. Reaksi pupil digerakan
oleh saraf kranial oculus
motorius dan untuk
menentukan refleks batang
otak.
d. Pergerakan mata

57
membantu menentukan
area cedera dan tanda awal
peningkatan tekanan
intracranial adalah
terganggunya abduksi
mata.

2) Monitor tanda-tanda vital 2) Peningkatan sistolik dan


tiap 30 menit. penurunan diastolik serta
penurunan tingkat kesadaran
dan tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial. Adanya
pernapasan yang irreguler
indikasi terhadap adanya
peningkatan metabolisme
sebagai reaksi terhadap
infeksi. Untuk mengetahui
tanda-tanda keadaan syok
akibat perdarahan.

3) Pertahankan posisi kepala 3) Perubahan kepala pada satu


yang sejajar dan tidak sisi dapat menimbulkan
menekan. penekanan pada vena jugularis
dan menghambat aliran darah
otak, untuk itu dapat
meningkatkan tekanan
intrakranial.

4) Hindari batuk yang


4) Dapat mencetuskan respon
berlebihan, muntah,
otomatik penngkatan
mengedan, pertahankan

58
pengukuran urin dan hindari intrakranial.
konstipasi yang
berkepanjangan.

5) Observasi kejang dan


lindungi pasien dari cedera 5) Kejang terjadi akibat iritasi
akibat kejang. otak, hipoksia, dan kejang
dapat Meningkatkan tekanan
intrakrania.
6) Berikan oksigen sesuai
dengan kondisi pasien 6) Dapat menurunkan hipoksia
otak.
7) Berikan obat-obatan yang
diindikasikan dengan tepat 7) Membantu menurunkan
dan benar (kolaborasi). tekanan intrakranial secara
biologi / kimia seperti osmotik
diuritik untuk menarik air dari
sel-sel otak sehingga dapat
menurunkan udem otak,
steroid (dexametason) untuk
menurunkan inflamasi,
menurunkan edema jaringan.
Obat anti kejang untuk
menurunkan kejang, analgetik
untuk menurunkan rasa nyeri
efek negatif dari peningkatan
tekanan intrakranial.
Antipiretik untuk menurunkan
panas yang dapat
meningkatkan pemakaian
oksigen otak.

59
d. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran
(soporos - coma).
Intervensi Rasional
1) Berikan penjelasan tiap kali 1) Penjelasan dapat mengurangi
melakukan tindakan pada kecemasan dan meningkatkan
pasien. kerja sama yang dilakukan
pada pasien dengan kesadaran
penuh atau menurun.

2) Beri bantuan untuk 2) Kebersihan perorangan,


memenuhi kebersihan diri. eliminasi, berpakaian, mandi,
membersihkan mata dan kuku,
mulut, telinga, merupakan
kebutuhan dasar akan
kenyamanan yang harus dijaga
oleh perawat untuk
meningkatkan rasa nyaman,

3) Berikan bantuan untuk 3) Makanan dan minuman


memenuhi kebutuhan nutrisi merupakan kebutuhan sehari-
dan cairan. hari yang harus dipenuhi
untuk menjaga kelangsungan
perolehan energi.

4) Jelaskan pada keluarga 4) Keikutsertaan keluarga


tindakan yang dapat diperlukan untuk menjaga
dilakukan untuk menjaga hubungan klien - keluarga.
lingkungan yang aman dan Penjelasan perlu agar keluarga
bersih. dapat memahami peraturan
yang ada di ruangan.

60
5) Berikan bantuan untuk 5) Lingkungan yang bersih dapat
memenuhi kebersihan dan mencegah infeksi dan
keamanan lingkungan kecelakaan

6) Bantu melakukan latihan 6) Mempertahankan mobilitas


rentang gerak dan fungsi sendi

e. Resiko infeksi sehubungan dengan adanya trauma jaringan


Intervensi Rasional
Mandiri
1) Berikan perawatan aseptic 1) Cara pertama menghindari
dan antiseptic,pertahankan terjadinya infeksi nasokomial
tehnik cuci tangan yang baik

2) Observasi daerah kulit yang 2) Deteksi dini perkembangan


mengalami kerusakan infeksi memungkinkan
melakukan tindakan segera

3) Pantau suhu tubuh secara 3) Dapat mengidentifikasi


teratur perkembangan sepsis

4) Batasi pengunjung yang 4) Menurunkan pemajanan


dapat menularkan infeksi terhadap pembawa kuman
penyebab penyakit
Kolaborasi
5) Berikan antibiotic sesuai 5) Menurunkan perkembangan
indikasi bakteri dan mencegah infeksi
nasokomial

6) Ambil bahan pemeriksaan 6) Memastikan adanya infeksi

61
sesuai indikasi

f. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi sehubungan dengan


penurunan tingkat kesadaran
Intervensi Rasional
Mandiri
1) Kaji kemampuan pasien 1) Menentukan pemilihan
untuk mengunyah,menelan terhadap jenis makanan
dan mengatasi sekresi sehingga pasien harus
terlindung dari aspirasi

2) Auskultasi bising usus,cata 2) Membantu menentukan respon


adanya penurunan atau suara untuk makan atau
hiperaktif berkembangnya komplikasi
seperti ileus paralitik

3) Timbang BB sesuai indikasi 3) Mengevaluasi keefektipan


pemberian nutrisi

4) Berikan makanan dalam 4) Meningkatkan proses


jumlah kecil dan sering serta pencernaan dan toleransi
teratur pasien terhadap nutrisi yang
diberikan
Kolaborasi
5) Konsultasikan dengan ahli 5) Merupakan sumber yang
gizi efektip untuk mengidentifikasi
kebutuhan nutrisi

6) Berikan makanan dengan 6) Jika pasien tidak mampu


cara yang sesuai mis : NGT untuk menelan makanan

62
63
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Asuhan Keperawatan Kasus


A. Kasus
Seorang klien dibawa ke RS Harapan Sehat oleh keluarganya. Keluarga
klien menuturkan bahwa klien tidak sadarkan diri kurang lebih selama 2
jam sebelum masuk RS karena kecelakaan lalu lintas ditabrak motor.
Keluarga mengatakan klien muntah-muntah dengan mengeluarkkan darah
pekat. Hasil pengkajian klien mengalami penurunan kesadaran E1V1M1.
Terdapat luka didaerah kepala akibat benturan keras, jejas di daerah mata
dan pipi, kebiruan didaerah lingkaran mata. Serta perdarahan di
ekstremitas bawah kanan. Frekuensi pernapasan 32x/mnt, terdapat retraksi
dada, pernapasan cuping hidung, suara pernapasan stridor, klien pucat,
nadi teraba 65x/mnt irama teratur, TD 100/60 mmHg, suhu 37,6 celcius,
akral hangat dan pupil anisokor.

B. Asuhan Keperawatan Kasus


1.Pengkajian
a. Data Umum:
1. Nama inisial klien :-
2. Umur :-
3. Alamat :-
4. Agama :-
5. Tanggal masuk RS/RB :-
6. Nomor Rekam Medis :-
7. Bangsal : IGD RS. Harapan Sehat

64
b. Pengkajian Primer
1. Airway (jalan napas) :
Jalan napas klien mengalami sumbatan, karena sebelumnya klien
muntah darah pekat.
2. Breathing
a. Inspeksi :
Tampak retraksi dada dan pernapasan cuping hidung.
b. Palpasi : -
c. Perkusi : -
d. Auskultasi :
Suara pernapasan klien stridor.
3. Circulation :
a. Vital sign :
1) Tekanan darah : TD 100/60 mmHg
2) Nadi : 65x/mnt (irama teratur)
3) Suhu : 37,6° C
4) Respirasi : 32x/mnt
b. Capilarry refill : -
c. Akral : Teraba hangat
4. Disability
a. GCS :
Klien tidak sadarkan diri selama 2 jam sebelum dibawa ke
RS. Pada saat dikaji klien mengalami penurunan kesadaran
dengan nilai GCS: 3 (E1V1M1).
b. Pupil : anisokor
c. Gangguan motorik :-
d. Gangguan sensorik :-
5. Exsposure

65
c. Pengkajian Sekunder
1. Health Promotion
a. Kesehatan Umum :
Klien mengalami kecelakan lalu lintas ditabrak oleh
kendaraan beroda dua/motor.
b. Riwayat masa lalu (penyakit, kecelakaan, dll) : -
c. Riwayat pengobatan :
d. Kemampuan mengontrol kesehatan : -
e. Faktor sosial ekonomi (penghasilan asuransi kesehatan, dll) :
-
f. Pengobatan sekarang : -

2. Nutrition
a. A (Antropometri) meliputi BB, TB, LK, LD, LILA, IMT
1) BB biasanya :- BB sekarang : -
2) Lingkar perut :-
3) Lingkar kepala :-
4) Lingkar dada :-
5) Lingkar lengan atas : -
6) IMT :-
b. B (Biochemical) meliputi data laboratorium yang abormal:
c. C (Clinical) meliputi tanda-tanda klinis rambut, turgor kulit,
mukosa bibir, conjungtiva anemis/tidak : -
d. D (Diet) meliputi nafsu, jenis, frekuensi makanan yang diberi
cairan selama di rumah sakit :-
e. E (Energy) meliputi kemampuan klien dalam beraktifitas
selama di rumah sakit :-
f. F (Factor) meliputi penyebab masalah nutrisi: (kemampuan
menelan, mengunyah, dll) :
g. Penilaian Status Gizi :-
h. Pola asupan cairan :-

66
i. Cairan masuk :-

3. Elimination
a. Sistem Urinary
1) Pola pembuangan urine (Frekuensi, jumlah,
ketidaknyamanan): -
2) Riwayat kelainan kandung kemih: -
3) Pola urine (jumlah, warna, kekentalan, bau): -
4) Distensi kandung kemih/retensi urine: -
b. Sistem Gastrointestinal
1) Pola eliminasi :
2) Konstipasi dan faktor penyebab konstipasi :
c. Sistem Integument
1) Kulit (integritas kulit/ hidrasi/ turgor/ warna/ suhu)
Integritas kulit klien mengalami kerusakan karena
terdapat benturan dan luka di daerah kepala, terdapat
jejas didaerah mata dan pipi serta kebiruan didaerah
sekitar lingkar mata.

4. Activity/ Rest
a. Istirahat/ tidur
1) Jam tidur :-
2) Insomnia :-
3) Pertolongan untuk merangsang tidur : -
b. Aktivitas
1) Pekerjaan :-
2) Kebiasaan olah raga :-
3) ADL
a) Makan :-
b) Toileting :-
c) Kebersihan :-

67
d) Berpakaian :-
4) Bantuan ADL :-
5) Kekerasan otot :-
6) ROM :-
7) Resiko untuk cidera :-
c. Cardio respons
1) Penyakit jantung :-
2) Edema ekstremitas :-
3) Tekanan vena jugularis: -
4) Pemeriksaan jantung
a) Inspeksi :-
b) Palpasi :-
c) Perkusi :-
d) Auskultasi :
d. Pulmonary respon
1) Penyakit sistem nafas : -
2) Penggunaan O2 :
Terhambat karena klien sebelumnya mengalami muntah
darah kemudian tidak sadarkan diri sehingga pernapasan
klien terdengar stridor.
3) Kemampuan bernafas:
Klien bernapas cepat 32x/mnt, terdapat retraksi dada dan
pernapasan cuping hidung.
4) Gangguan pernafasan (batuk, suara nafas, sputum, dll):
Suara pernapasan klien terdengar stridor.
5) Pemeriksaan paru-paru
a) Inspeksi :
Tampak retraksi dada dan pernapasan cuping hidung
b) Palpasi :-
c) Perkusi :
d) Auskultasi: suara pernapasan terdengar stridor

68
5. Perception/ Cognition
a. Orientasi/ kognisi
1) Tingkat pendidikan :
2) Kurang pengetahuan :
3) Pengetahuan ttg penyakit :
4) Orientasi (waktu, tempat, orang) :
b. Sensasi/ persepsi
1) Riwayat penyakit jantung :
2) Sakit kepala :
3) Penggunaan alat bantu :
4) Penginderaan :
c. Communication
1) Bahasa yang digunakan :
2) Kesulitan berkomunikasi :

6. Self Perception
a. Self-concept/ self-esteem
1) Perasaan cemas/ takut :
2) Perasaan putus asa/ kehilangan :
3) Keinginan untuk mencederai :
4) Adanya luka/ cacat :
Terdapat luka di daerah kepala akibat benturan.

7. Role Relationship
a. Peranan hubungan
1) Status hubungan :
2) Orang terdekat :
3) Perubahan konflik/ peran :
4) Perubahan gaya hidup :
5) Interaksi dengan orang lain :

69
8. Sexuality
a. Identitas seksual
1) Masalah/ disfungsi seksual :
9. Coping/ Stress Tolerance
a. Coping respon
1) Rasa sedih/ takut/ cemas :
2) Kemampuan untuk mengatasi :
3) Perilaku yang menampakkan cemas :

10. Life Principles


a. Nilai kepercayaan
1) Kegiatan keagamaan yang diikuti :
2) Kemampuan untuk berpartisipasi :
3) Kegiatan kebudayaan :
4) Kemampuan memecahkan masalah :

11. Safety/ Protection


a. Alergi :
b. Penyakit autoimune :
c. Tanda infeksi :
d. Gangguan thermoregulasi:
e. Gangguan/ resiko (komplikasi immobilisasi, jatuh, aspirasi,
disfungsi neurovaskuler peripheral, kondisi hipertensi,
pendarahan, hipoglikemia, Sindrome disuse, gaya hidup yang
tetap):
Klien mengalami perdarahan di ekstremitas serta terdapat luka
di bagian kepala.

12. Comfort
a. Kenyamanan/ Nyeri
1) Provokes (yang menimbulkan nyeri) :

70
2) Quality (bagaimana kualitasnya) :
3) Regio (dimana letaknya) :
4) Scala (berapa skalanya) :
5) Time (waktu) :
b. Rasa tidak nyaman lainnya :
c. Gejala yang menyertai :

13. Growth/ Developmenth


a. Pertumbuhan dan perkembangan :

d. Data Laboratorium: -

e. Analisa Data
Data Etiologi Problem
DS: Trauma kepala Bersihan Jalan
- Keluarga klien Nafas
mengatakan, klien Kerusakan neurovaskuler
muntah-muntah
dengan Rangsangan simpatis
mengeluarkan darah
pekat. Tahanan vaskularis
sistemik
DO:
- Frekuensi Tekanan pembuluh darah
pernapasan 32x,mnt pulmo
- Terdapat retraksi
dada.
- Pernapasan cuping Tekanan hidrostatik
hidung.
- Suara pernapasan Kebocoran cairan kapiler
stridor

71
Muntah darah

Pernapasan stridor

Frekuesni pernapasan
meningkat

Retraksi dada dan


pernapasan cuping hidung

Bersihan Jalan Nafas tidak


Efektif

DS: Cedera kepala Gangguan Perfusi


- Keluarga klien jaringan cerebral
mengatakan bahwa Hematoma
klien tidak sadarkan
diri kurang lebih Edema cerebral
selama 2 jam
sebelum masuk ke rs Peningkatan TIK
karena kecelakaan
lalu lintas ditabrak Respon disfungsi otak
motor.
Peningkatan kerusakan
DO: otak
- Klien mengalami
penurunan Gangguan Autoregulasi
kesadaran
E1V1M1(GCS:3) Penurunan Vaskularis
- Terdapat luka di

72
daerah kepala akibat Cerebral
benturan keras.
- Kebiruan didaerah Penurunan O2 ke otak
lingkar mata
- Jejas didaerah mata Meningkatkan
dan pipi metabolisme aerob
- Nade lemah 65x/mnt
- Klien pucat Gangguan perfusi jaringan
cerebral

2. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan edema
cerebral
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
kerusakan neurovaskuler

73
3. Intervensi keperawaan
NO DIAGNOSA KEPERAWATAN RENCANA TINDAKAN KEPERAWTAN
NOC NIC
1 Ketidakefektifan bersihan jalan NOC: Status Pernapasan: Kepatenan NIC: manajemen jalan napas
nafas berhubungan dengan jalan nafas
1. Monitor status pernafasan dan oksigenisasi
kerusakan neurovaskuler
Setelah dilakukan tindakan selama 1x 24 2. Buka jalan nafas dengan teknik chin lift atau
DS : jam status pernafasan klien tidak jaw thrust
terganggu dengan kriteria hasil:
- Keluarga klien mengatakan, 3. Identifikasi kebutuhan aktual/ potensial untuk
klien muntah-muntah dengan 1. kesadaran kembali normal memasukkan alat membuka jalan nafas
mengeluarkan darah pekat. 2. frekuensi nafas dalam batas normal 16- 4. Masukkan alat nasopharingeal airway (NPA)
20 x/menit atau oro[haringeal airway (OPA)
DO :
3. suara nafas normal 5. Posisikan klien untuk memaksimalkan ventilasi
- Frekuensi pernapasan 32x/mnt 6. Lakukan penyedotan melalui endotrakea dan
- Terdapat retraksi dada. nasotrakea
- Pernapasan cuping hidung. 7. kelola nebulizer ultrasonik
- Suara pernapasan stridor 8. posisikan untuk meringankan sesak napas
9. auskultasi suara nafas, catat area yang
ventilasinya menurun atau tidak ada dan

73
adnaya suara tambahan
10. Edukasi keluarga klien tentang keadaan klien.
11. Kolaborasi dengan tim dokter dala pemberian
obat

2 Gangguan perfusi jaringan NOC: perfusi jaringan: cerebral NIC: Monitor tekanan intra kranial
cerebral berhubungan dengan
Setelah dilakukan tindakan selama 1 x 24 1. Monitor status neorologis
edema cerebral
jam perfusi jaringan serebral klien tidak 2. Monitor intake dan ouput
DS ada masalah dengan kriteria hasil: 3. Moniotr tekanan aliran darah ke otak
4. Monitor tingkat CO2 dan pertahankan dalam
- Keluarga klien mengatakan Indikator:
parameter yang ditentukan
bahwa klien tidak sadarkan
1. jejas dimata tidak ada 5. Periksa klien terkait adanya tanda kaku kuduk
diri kurang lebih selama 2 jam
2. keadaan sekitar mata normal 6. Sesuaikan kepala tempat tidur untuk
sebelum masuk ke rs karena
3. pupil normal mengoptimalkan perfusi jaringan serebral
kecelakaan lalu lintas ditabrak
7. Berikan informasi kepada keluarga/ orang
motor.
penting lainnya
8. Beritahu dokter untuk peningkatan TIK yang
DO:
tidak bereaksi sesuai peraturan perawatan.
- Klien mengalami penurunan

74
kesadaran E1V1M1(GCS:3) 9. Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian
- Terdapat luka di daerah obat
kepala akibat benturan keras.
- Kebiruan didaerah lingkar
mata
- Jejas didaerah mata dan pipi
- Nade lemah 65x/mnt
- Klien pucat

75
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Epidural hematoma adalah perdarahan akut pada lokasi epidural. Fraktur
tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama arteri meningea media
yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara
duramater dan tulang di permukaan dalam os temporale,
Perdarahan yang terjadi menimbulkan epidural hematoma. Desakan oleh
hematom akan melepaskan duramater lebih lanjut dari tulang kepala sehingga
hematom bertambah besar.
Hematoma epidural (EDH) merupakan kumpulan darah di antara
duramater dan tabula interna karena trauma (Gambar-1). Pada penderita
traumatic hematoma epidural, 85-96% disertai fraktur pada lokasi yang sama.
Perdarahan berasal dari pembuluh darah -pembuluh darah di dekat lokasi
fraktur.

3.1 Saran
Dalam pemberian pelayanan kesehatan khususnya asuhan keperawatan
yang baik, serta mengambil keputusan yang bersifat klinis hendaknya mengacu
pada SPO yang dibuat berdasarkan teori-teori dan penelitian terkini.

76
DAFTAR PUSTAKA

1. Tanto, Chris. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi IV. Jakarta: Media
Aesculapius.
2. Sjamsuhidajat R, De Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-4.
Jakarta; EGC.
3. Santoso M, Kartadinata H, Yuliani IW, Widjaja WH, Nah YS, Rumawas
MA. 2011. Buku panduan keterampilan medik (skill-lab) semester 4.
Jakarta : Fakultas Kedokteran UKRIDA
4. Amin Z. 2009. Manifestasi klinik dan pendekatan pada pasien dengan
kelainan sistem pernapasan. Dalam: Sudoyo WA, Setiyohadi B, Alwi I,
penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5 (III). Jakarta: Interna
Publishing.
5. Abdurrahman. 2005. Anamnesis & pemeriksaan fisis. Cetakan ke-3.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
6. Tambunan KL, Ahmadsyah I, Iskandar N, Madjid AS, Sastrosatomo H.
Buku panduan penatalaksanaan gawat darurat. Jilid 1. Jakarta : FKUI.
7. Hisyam B, Budiono E. 2009. Pneumotoraks spontan. Buku Ajar Penyakit
Dalam Jilid III. Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

77

Anda mungkin juga menyukai