Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Trauma kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas, selain penanganan di lokasi kejadian dan selama
transportasi korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang
gawat darurat sangat menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.
Tindakan resusitasi anamnesis dan pemeriksaan fisik umum serta neorologi
harus segera dilakukan secara serentak agar dapat mengurangi kemungkinan
terlewatinya evaluasi unsur vital. (Tobing, 2011)
Trauma kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak. (Muttaqin, 2008)
Penyebab utama trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan
dan terjatuh (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). Pejalan kaki yang
mengalami tabrakan kendaraan bermotor merupakan penyebab trauma kepala
terhadap pasien anak-anak bila dibandingkan dengan pasien dewasa (Adeolu,
Malomo, Shokunbi, Komolafe dan Abio, 2005). Estimasi sebanyak 1,9 juta
hingga 2,3 juta orang menerima perawatan kecederaan yang tidak fatal akibat
kekerasan (Rosenberg, Fenley, 1991).
Menurut Akbar (2000), insiden trauma kepala pada tahun 1995 sampai
1998 terdiri dari tiga tingkat keparahan trauma kepala yaitu trauma kepala
ringan sebanyak 60,3% (2463 kasus), trauma kepala sedang sebanyak 27,3%
(1114 kasus) dan trauma kepala berat sebanyak 12,4% (505 kasus). Kematian
akibat trauma kepala mencatatkan sebanyak 11% berjumlah 448 kasus.
Angka kejadian trauma kepala pada tahun 2004 dan 2005 di Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo (RSCM), FKUI mencatat sebanyak 1426 kasus
(Akbar, 2000).
Kematian sebagai akibat dari trauma kepala yang dari tahun ke tahun
semakin bertambah, pertambahan angka kematian ini antara lain karena

1
jumlah penderita trauma kepala yang bertambah dan penanganan yang kurang
tepat atau sesuai dengan harapan kita (Smeltzer, 2002). Angka kejadian
trauma kepala 58% laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal ini
diakibatkan karena mobilitas yang tinggi dikalangan usia produktif sedangkan
kesadaran untuk menjaga kesalamatan di jalan masih rendah disamping
penanganan penderita yang belum benar dan rujukan yang terlambat
(Smeltzer, 2002).

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Dengan adanya makalah ini diharapkan mahasiswa dapat
memahami dan melakukan peran sebagai perawat dalam pencegahan
dan penanganan masalah cedera saraf perifer.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui anatomi dan fisiologi kepala
2. Mengetahui definisi trauma kepala
3. Mengetahui klasifikasi trauma kepala
4. Mengetahui etiologi trauma kepala
5. Mengetahui komplikasi trauma kepala
6. Mengetahui patofisiologi trauma kepala
7. Mengetahui manifestasi klinis trauma kepala
8. Mengetahui penatalaksanaan trauma kepala
9. Mengetahui asuhan keperawatan pada trauma kepala

1.3 Metode Penulisan


Penulisan makalah ini menggunakan metode telaah pustaka, yaitu metode
yang dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan data dari pustaka
yang berhubungan dengan trauma kepala, baik dari buku maupun informasi di
internet.

2
BAB II
TINJUAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kepala


2.1.1 Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu :
a. Skin atau kulit
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung
c. Aponeurosis atau galea aponeurotika, merupakan jaringan ikat yang
berhubungan langsung dengan tulang tengkorak.
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar, merupakan
tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgaleal (hematom
subgaleal) pada trauma/benturan kepala.
e. Perikranium, merupakan lapisan yang membungkus dan
berhubungan langsung dengan permukaan luar tulang tengkorak.
2.1.2 Tulang-Tulang Kepala (Cranial Bone)
Tulang-tulang pada kepala dapat dibagi dalam dua bagian besar, yaitu :
a. Tulang tengkorak (cranium bone)
b. Tulang muka (facial bone)
Tulang-tulang satu sama lain bergabung melalui sutura-sutura yang
kuat dan tidak dapat bergerak. Tulang-tulang kepala ini relatif lebih
tipis berkisar 5mm dan terdiri dari 3 lapisan, yaitu
a. Lapisan luar (tabula externa)
b. Lapisan dalam (tabula interna)
c. Lapisan diantaranya (diploc/spongi)
Lapisan dalam lebih tipis dari luar sehingga dapat ditemukan patahan
pada lapisan dalam tanpa terlihat patahan pada lapisan luar. Pada
lapisan dalam terdapat alur-alur tempat pembuluh darah berjalan
sehingga bila lapisan ini patah pembuluh darah dapat terobek.
2.1.3 Meningen
Selaput otak terdiri dari 3 lapisan, yaitu :
a. Durameter.

3
Disebut juga selaput otak keras, terdiri dari 2 lapisan dan
diantaranya terdapat rongga yang berisi sistem vena, disebut Dural
Sinuses dan mempunyai hubungan dengan sistem vena di otak dan
kulit kepala. Durameter terdapat dibawah tulang tengkorak dan
diantaranya terdapat ruangan yang disebut Epidural. Pada ruangan
ini berjalan pembuluh arteri Meningea Media yang mempunyai
peran penting untuk terjadinya Epidural Haemorrhagi.
b. Arachnoid
Disebut juga selaput otak lunak, lapisan ini terdapat di bawah
durameter dan mengelilingi otak serta melanjutkan diri sampai ke
sumsum tulang belakang. Ruangan diantara durameter dan
arachnoid disebut subdural space. Pada ruangan ini berjalan
pembuluh Bridging Vein yang menghubungkan sistem vena otak
dan meningen. Vena ini sangat halus dan mudah trauma bila ada
gerakan kepala mendadak dan menimbulkan subdural hemorrhagi.
c. Piameter
Lapisan ini merekat dengan jaringan otak. Ruangan dianatara
arachnoid dan piameter dsebut subarachnoid. Disini berjalan cairan
serebrospinal dari otak ke sumsum tulang belakang.
2.1.4 Otak
a. Serebrum (otak besar)
Merupakan bagian yang terluas dan terbesar dari otak, berbentuk
telur, mengisi penuh bagian depan, atas rongga tengkorak. Masing-
masing dosebut fosa kranialis media. Fungsi serebrum terdiri dari :
1. Mengingat pengalaman-pengalaman masa lalu
2. Pusat persarafan yanga menangani aktiftas mental, akal,
inteligensia, keinginan dan memori
3. Puat menangis, BAB dan BAK
b. Trunkus Serebri (batang otak)
Batang otak mempunyai fungsi sebagai pengatur pusat pernafasan
dan pengatur gerakan refleks tubuh. Batang otak terdiri dari :
1. Diensepalon

4
Bagian batang otak paling atas terdapat diantara serebellum
dengan mesensepalon
2. Mesensepalon
Atap dari mesensepalon terdiri dari 4 bagian yang menonjol ke
atas, dua disebelah atas disebut korpus kuadrigeminus superior
dan dua disebelah bawah disebut korpus kuadrrigeminus
interior.
3. Pons Varoli
Terletak di depan serebellum diantara otak tengah dan medula
oblongata
4. Medula Oblongata
Merupakan bagian otak yang paling bawah yang
menghubungkan pons dengan medula spinalis.
c. Serebellum (otak kecil)
Terletak pada bagian depan dan belakang tengkorak, bentuknya
oval, bagian yang mengecil pada sentral disebut vermis dan bagian
yang melebar pada lateral disebut hemisfer. Kekerasan yang
mengenai serebellum akan mampu menggerakkan otot dan tulang.
Kesukaran untuk menelan karena tidak dapat kontrol terhadap otot
yang menggerakkan lidah dan rahang. Fungsi serebellum :
1. Untuk keseimbangan dan rangsangan pendengaran ke otak
2. Penerima impuls dari reseptor sensasi umum medula spinalis
dan nervus vagus, kelopak mata, rahang atas dan bawah, serta
otot pengunyah
3. Menerima informasi tentang gerakan yang sedang dan akan
dikerjakan dan mengatur gerakan sisi badan.
2.1.5 Cairan Serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari
ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III,
akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke
dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada

5
sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat
granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan
menyebabkan kenaikan takanan intrakranial . Angka rata-rata pada
kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan
sekitar 500 ml CSS per hari..
2.1.6 Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media)
dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
2.1.7 Autoregulasi Otak
Autoregulasi otak adalah kemampuan otak normal untuk
mengendalikan volume aliran darahnya sendiri. Fungsi ini dilakukan
dengan mengubah resistensi pembuluh untuk mempertahankan tekanan
aliran darah ke otak dalam rentang fisiologik antara 60-160 mmHg
tekanan arteri rata-rata. Apabila tekanan arteri sistemik turun mendadak
ke tekanan yang lebih rendah dari rentang fisiologik, arteriol-arteriol
berdilatasi untuk menurunkan resistensi sehingga aliran darah ke otak
dipertahankan normal. Sebaliknya, jika tekanan arteri sistemik
meningkat, arteriol-arteriol berkontraksi untuk mempertahankan aliran
darah ke otak walaupun terjadi peningkatan tekanan dorongan darah
arteri (Zieve D. 2008).
Autoregulasi otak sangat penting untuk melindungi otak dari
peningkatan atau penurunan mendadak tekanan darah arteri. Tetapi
pada tekanan-tekanan ekstrim yang melebihi rentang fisiologik antara
60-100 mmHg, mekanisme autoregulasi protektif ini dapat gagal
sehingga aliran darah otak secara pasif mengikuti tingkat tekanan di
sirkulasi sistemik (Zieve D. 2008).
2.1.8 Hipotesa Monro-Kellie
Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas
sehingga bila salah satu dari ketiga komponennya membesar, dua
komponen lainnya harus mengkompensasi dengan mengurangi
volumenya (bila TIK masih konstan). Mekanisme kompensasi intra

6
kranial ini terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural dapat menjadi parah
bila mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari meningkatnya aliran
cairan serebrospinal ke dalam kanalis spinalis dan adaptasi otak
terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme
kompensasi yang berpotensi mengakibatkan kematian adalah penurunan
aliran darah ke otak dan pergeseran otak ke arah bawah (herniasi) bila
TIK makin meningkat. Dua mekanisme terakhir dapat berakibat
langsung pada fungsi saraf. Apabila peningkatan TIK berat dan
menetap, mekanisme kompensasi tidak efektif dan peningkatan tekanan
dapat menyebabkan kematian neuronal (Lombardo, 2003)

2.2 Definisi Trauma Kepala


Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak adalah
gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun
trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba,
iskemia, dan pengaruh massa karena hemoragik, serta edema serebral di
sekitar jaringan otak.
Trauma kepala adalah cedera pada kepala yang mengenai kulit kepala,
tulang tengkorak dan otak (Brunner dan Suddarth, 2002 : 65).
Trauma kepala dikenal juga sebagai cedera otak adalah gangguan fungsi
otak normal karena trauma (trauma tumpul atau trauma tusuk) (Sandra M.
Mettin, 2002 : 72)

2.3 Etiologi Trauma Kepala


Sebagian besar cedera kepala merupakan peristiwa yang sering terjadi dan
mengakibatkan kelainan neurologik yang serius serta telah mencapai proporsi
epidemik, terjatuh dan kecelakaaan lain. Trauma pada kepala dapat
menyebabkan fraktur pada tengkorak dan trauma jaringan lunak/otak laserasi,
dengan derajat yang bervariasi tergantung pada luas daerah trauma.
Cedera kepala biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, jatuh, trauma
benda tajam dan tumpul, kecelakaan kerja/ kecelakaan industri, kecelakaan

7
rumah tangga, kecelakaan olahraga, trauma tembak dan pecahan bom
(Ginsberg, 2007)
Penyebab trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas, perkelahian, jatuh,
cedera olah raga, kecelakaan kerja, cedera kepala terbuka sering disebabkan
oleh pisau atau peluru (Corwin, 2000).

2.4 Patofisiologi Trauma Kepala


Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada
kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh
benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
akselerasi-deselerasi gerakan kepala (Gennarelli, 1996 dalam Israr dkk,
2009).
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan
pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa
kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di
bawah area benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan
tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi,
maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak
selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami
oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana
caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan
secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan
rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang
disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi
kontusio coup dan countrecoup ( Mardjono dan Sidharta, 2008 ).
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada

8
tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam
Israr dkk,2009).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan
dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya
merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa
jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera,
jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan,
menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa
perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan
aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding
sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan
jaringan otak. Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari
menit ke menit pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan
oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti.
Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur
volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa
daerah tertentu dalam otak ( Lombardo, 2003 ).

9
2.5 WOC Trauma Kepala

Trauma Kepala

Kulit kepala Tulang kepala Jaringan otak

Hematom pada Fraktur Komusio,


kulit linear,fraktur hematom,
communited, edema,
fraktur kontusio
Cedera otak
depressed,
fraktur basis

1. TIK meningkat

Respons fisiologis otak

Cedera otak sekunder

Kerusakan sel otak

Gangguan autoregulasi Rangsangan simpatis Stres lokalis

Aliran darah ke otak Katekolamin


Tahanan vaskuler sistemik dan TD
Sekresi asam lambung
O2 gangguan metabolisme
Tekanan pemb.darah pulmonal
Mual, muntah
Produksi asam laktat Tekanan hidrostatik

5. intake nutrisi tidak


Edema otak Kebocoran cairan kapiler adekuat

2. gangguan perfusi jaringan


Edema paru
serebral
4. gangguan perfusi jaringan
Curah jantung menurun

Difusi O2 terhambat

Hipoksemia
10
3. gangguan pola napas
hiperkapnea
2.6 Manifestasi Klinis Trauma Kepala
Gejala-gejala yang timbul bergantung pada jumlah dan distribusi cedera
otak. Nyeri yang menetap atau setempat, biasanya menunjukkan adanya
fraktur. Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur,
sehingga penegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan foto
tengkorak. Fraktur dasar tengkorak cenderung melintas sinus paranasal pada
tulang frontal atau lokasi tengah telinga di tulang temporal, perdarahan sering
terjadi dari hidung, faring, atau telinga dan darah terlihat di bawah
konjungtiva. Suatu area ekimosis mungkin terlihat di atas mastoid.
Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika cairan serebrospinal (CSS) keluar
dari telinga (otore serebrospinal). Keluarnya CSS merupakan masalah serius
karena dapat menyebabkan infeksi seperti miningitis, jika organisme masuk
ke dalam basis kranii melalui hidung, telinga, atau sinus melalui robekan pada
dura mete. Laserasi kontusio otak ditunjukkan oleh CSS yang mengandung
darah.
Evalusasi diagnostik dapat dilakukan melalui pengkajian fisik, pengkajian
fungsi neurologis, pemeriksaan CT-scan kepala, MRI, dan angiografi
serebral. (Fransisca B, 2008)

2.7 Klasifikasi Trauma Kepala


Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yang secara
deskripsi dapat dikelompokkan berdasar mekanisme, morfologi, dan beratnya
cedera kepala. (IKABI, 2004).
a. Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dikelompokkan menjadi dua
yaitu :
1. Cedera Kepala Tumpul.
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu
lintas, jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi
akselerasi dan decelerasi yang menyebabkan otak bergerak didalam
rongga kranial dan melakukan kontak pada protuberas tulang
tengkorak.
2. Cedera Kepala Tajam.

11
Cedera kepala tajam disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.
(IKABI, 2004)
b. Berdasarkan morfologi cedera kepala.
Cedera kepala menurut (Tandian, 2011) dapat terjadi diarea tulang
tengkorak yang meliputi
1. Laserasi kulit kepala
Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala.
Kulit kepala/scalp terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP)
yaitu skin, connective tissue dan perikranii. Diantara galea
aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang
memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang
kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak
mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka
perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup
banyak.
2. Fraktur tulang kepala
Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi
menjadi :
a) Fraktur linier
Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal
atau stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh
ketebalan tulang kepala
b) Fraktur diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura
tulang tengkorak yang mengababkan pelebaran sutura-sutura
tulang 8 kepala.
c) Fraktur kominutif
Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang
memiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.
d) Fraktur impresi

12
Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan
tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala dan pada
area yang kecil.
e) Fraktur basis kranii
Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada
dasar tulang tengkorak, fraktur ini seringkali diertai dengan
robekan pada durameter yang merekat erat pada dasar tengkorak.
3. Cedera Kepala di Area Intrakranial
Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak
fokal dan cedera otak difus.
a) Cedera otak fokal yang meliputi :
1) Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH)
Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang
epidural yaitu ruang potensial antara tabula interna tulang
tengkorak dan durameter
2) Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH)
akut.
Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di
ruang subdural yang terjadi akut (6-3 hari). Perdarahan ini
terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks
cerebri.
3) Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik
Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah
diruang subdural lebih dari 3 minggu setelah trauma.
4) Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)
Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang
homogen dan konfluen yang terdapat didalam parenkim
otak. Disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat
trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang
terletak lebih dalam
5) Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)

13
Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya
pembuluh darah kortikal baik arteri maupun vena dalam
jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang
subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan subarahnoit
(PSA).
b) Cedera otak difus menurut (Sadewa, 2011)
Cedera kepala difus adalah terminologi yang menunjukkan
kondisi parenkim otak setelah terjadinya trauma. Terjadinya
cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan
deselarasi gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan
bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim
yang sebelah dalam. Dari gambaran morfologi pencitraan atau
radiologi menurut (Sadewa, 2011) maka cedera kepala difus
dikelompokkan menjadi :
1) Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI
Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut
subkortikal yang menghubungkan inti permukaan otak
dengan inti profunda otak (serabut proyeksi), maupun
serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer
(asosiasi) dan 12 serabut yang menghbungkan inti-inti
permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami kerusakan
2) Komosio cerebri (gegar otak)
Komosio serebri yaitu disfungsi neuron otak sementara yang
disebabkan oleh trauma kapitis tanpa menunjukkan kelainan
makroskopis jaringan otak
3) Kontsuio cerebri (memar otak)
Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang
disebabkan karena efek gaya akselerasi dan deselerasi.
4) Edema cerebri
Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat
trauma kepala. Pada edema cerebri tidak tampak adanya

14
kerusakan parenkim otak namun terlihat pendorongan hebat
pada daerah yang mengalami edema.
5) Iskemia cerebri
Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian
otak berkurang atau terhenti. Kejadian iskemia cerebri
berlangsung lama (kronik progresif) dan disebabkan karena
penyakit degeneratif pembuluh darah otak.
c. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan beratnya.
Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera, menurut (Mansjoer, 2000)
dapat diklasifikasikan penilaiannya berdasarkan skor GCS dan
dikelompokkan menjadi :
1. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14 – 15.
- Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi
- Tidak ada kehilangan kesadaran
- Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
- Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
- Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala
- Tidak adanya criteria cedera kepala sedang-berat
2. Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 – 13.
- Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak
memberi respon yang sesuai dengan pernyataan yang di berikan.
- Amnesia paska trauma
- Muntah
- Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal)
- Kejang
3. Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8.
- Penurunan kesadaran sacara progresif
- Tanda neorologis fokal
- Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium
(mansjoer, 2000)

15
2.8 Penatalaksanaan Trauma Kepala
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari faktor
mempertahankan fungsi  ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai
status neurologis (disability, exposure), maka faktor yang harus
diperhitungkan pula adalah mengurangi iskemia  serebri yang terjadi.
Keadaan ini dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa sekalipun
pada otak yang mengalami trauma relative memerlukan oksigen dan glukosa
yang lebih rendah.
Selain itu perlu dikontrol kemungkinan intrakranial yang meninggi
disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan
operasi, tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intracranial, ini dapat
dilakukan dengan cara menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang
mengurangi asidosis intraserebral dan menambah metabolism intraserebral.
Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini yakni dengan intubasi
endotrakeal, hiperventilasi. Tin membuat  intermitten, iatrogenic paradisis.
Intubasi dilakukan sedini mungkin kepada klien-klien yang koma untuk
mencegah terjadinya PaCO2 yang meninggi. Prinsip ABC dan ventilasi yang
teratur dapat mencegah peningkatan tekanan kranial. 
Penatalaksanaan konservatif meliputi :
1. Bedrest total.
2. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
3. Pemberian obat-obatan, seperti:
a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti-edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
b. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), berat untuk
mengurangi vasodilatasi.
c. Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol
20%, atau glukosa 40%, atau gliserol 10%. 
d. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (panisillin) atau
untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.
4. Makanan atau cairan

16
a. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-
apa, hanya cairan infus dextrose 5%, aminofusin, aminopel (18
jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian
diberikan makanan lunak. 
b. Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat klien
mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi
natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama(2-3 hari) tidak perlu
banyak cairan. Dextrosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrose 8 jam
kedua, dan dextrose 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila
kesadran rendah maka makanan diberikan melalui nasogastric
tube. Pemberian protein tergantung dari nilai urenitrogennya. (Arif
Muttaqin, 2008)

2.9 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, urine, kimia darah, analisa
gas darah.
2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
3. MRI : digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
4. Cerebral Angiography: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan
trauma.
5.  X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan, edema), fragmen tulang. Ronsent Tengkorak
maupun thorak.
6. CSF, Lumbal Punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
7. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
8. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi  keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrakranial (Musliha, 2010).

17
2.10 Komplikasi Trauma Kepala
Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut (Markam, 1999)
pada cedera kepala meliputi :
a. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada
situasi ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu,
setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus
lainnya memasuki vegetatife state. Walaupun demikian penderita masih
tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada
vegetatife state lebih dari satu tahun jarang sembuh.
b. Kejang/Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-
kurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera.
Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy
c. Infeksi
Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran
(meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya
berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke
sistem saraf yang lain.
d. Hilangnya kemampuan kognitif.
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori
merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala
mengalami masalah kesadaran.
e. Penyakit Alzheimer dan Parkinson.
Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit
Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin
tinggi tergantung frekuensi dan keparahan cedera

18
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

KASUS :
Pada tanggal 30 september 2014 jam 17.00 terjadi kecelakaan di jalan
Ir.Soekarno. Sebuah mobil yang hendak perkir tiba-tiba ditabrak oleh sebuah truk
dari belakang. Pengemudi mobil dibawa ke IGD RSUA oleh penolong dengan
keadaan tidak sadar dan mengalami pendarahan ±25cc. GCS E2V2M2. Tekanan
darah : 90/60, nadi 55x/m, RR : 24x/m, suhu : 37,2oC

3.1 Pengkajian
a. Identitas Pasien
Nama : Tn.A
Usia : 45 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : wiraswasta
Alamat : Mulyorejo Tengah, Surabaya
Diagnosa Medis : Cidera Kepala Berat
b. Riwayat Penyakit Saat Ini
Klien dibawa ke RS dengan keadaan tidak sadarkan diri akibat ditabrak
oleh truk saat hendak memarkirkan mobilnya. Klien mengalami
pendarahan ±25cc. GCS E2V2M2. Tekanan darah : 90/60, nadi 55x/m,
RR : 24x/m, suhu : 37,2oC
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluarga mengatakan bahwa baru kali ini klien masuk rumah sakit dan
klien tidak pernah menderita penyakit seperti DM, Hipertensi dan TBC
yang mengharuskan klien dirawat di rumah sakit.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga klien mengatakan di keluarganya tidak ada yang menderita
penyakit menular atau penyakit degenerative lainnya seperti diabetes, TB.
e. Pemeriksaan fisik

19
 B1 (Breath) : jalan napas tersumbat, perubahan pola napas (apnea,
hiperventilasi), sesak napas, nyeri, batuk, pengembangan paru
asimetri, dyspnea
 B2 (Blood) : CRT>2 detik, tekanan darah 90/60
 B3 (Brain) : meningkatnya TIK ditandai dengan bradicardi, nyeri
kepala , tingkat kesadaran dan konsentrasi menurun
 B4 (Bladder) : inkonteinensia urin, penurunan jumlah urin, distensi
kandung kemih
 B5 (Bowel) : mual, muntah, distensi abdomen, nyeri
 B6 (Bone) : letargi, kelemahan pada ekstremitas, kulit pucat, terjadi
sianosis di ekstremitas, kemampuan sendi terbatas
f. Pemeriksaan penunjang
 CT-Scan : Terdapat pendarahan di ruang epidural, adanya edema
serebri, hematoma serebral dan hernasi otak

Pemeriksaan Darah Hasil Normal


Hb 13,4 gr/dL 14-18 gr/dL
Leukosit 20,6% 40-48%

Pemeriksaan GDA Hasil Normal


PH 7,39 7,35-7,45
PaCO2 34,2 35-45 mmHg
PaO2 217,9 80-100 mmHg
HCO3 20,4 22-26 mEq/L
BE -4,6 -2.0 s/d 2,0 mEq/L

 Terapi :
Terapi Hiperventilasi
Oksigen dengan aliran 4 lpm (simple mask)
Obat-obatan : manitol 4x125ml

20
 Analisis Data
- Data Subjektif: pasien mengeluh sakit dengan merintih.
- Data objektif : GCS: E2V2M5, terpasang O2 dengan nasal kanul 3
lpm, pernafasan 24x/m, klien tampak gelisah, TD 90/60, nadi
80x/menit, suhu 37,20C. Dilakukan pemeriksaan penunjang dengan
hasil Hb : 13,4; Leukosit : 20,6; Trombosit : 181; PH : 7,39; PCO 2 :
34,2; PO2 : 217,9; HCO3 : 20,4; BE : -4,6.

3.2 Diagnosa Keperawatan


1. Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang
sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan.
2. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat
pernapasan, kelemahan otot – otot pernapasan.
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan edema
serebral, peningkatan TIK, penurunan O2 ke serebral
4. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret
di jalan napas
5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan penurunan kesadaran,
kelemahan fisik

21
3.3 Intervensi

Diagnosa :  Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak


ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan.
Tujuan : Dalam waktu 2 x 24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria Hasil : Klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual
muntah. GCS : 4, 5, 6,tidak terdapat papiledema, TTV dalam batas normal
Intervensi Rasional
1. Kaji faktor penyebab dari situasi/ 1.Deteksi dini untuk memprioritaskan
keadaan individu/ penyebab koma/ intervensi, mengkaji status
penurunan perfusi jaringan dan neurologis/ tanda – tanda kegagalan
kemungkinan penyebab peningkatan untuk menentukan perawatan
TIK. kegawatan atau tindakan
pembedahan.
2. Memonitor tanda – tanda vital tiap 4 2. Suatu keadaan normal bila sirkulasi
jam serebral terpelihara dengan baik atau
fluktuasi ditandai dengan tekanan
darah sistemik penurunan dari
autoregulator. Kebanyakan
merupakan tanda penurunan difusi
lokal vaskularisasi darah serebral.
Dengan peningkatan tekanan darah
(diastolik) maka dibarengi dengan
peningkatan tekanan darah
intrakranial. Adanya peningkatan
tekanan darah, bradikardi, disritmia,
dispnea merupakan tanda terjadinya
3.  Evaluasi pupil, amati ukuran, peningkatan TIK.
ketajaman dan reaksi terhadap 3.Reaksi pupil dan pergerakan kembali
cahaya. dari bola mata merupakan tanda dari
gangguan nervus/saraf jika batang
otak terkoyak. Reaksi pupil diatur

22
oleh saraf III kranial (okulomotorik)
yang menunjukan keutuhan batang
otak, ukuran pupil menunjukan
keseimbangan antara parasimpatis
dan simpatis. Respons terhadap
cahaya merupakan kombinasi fungsi
4. Monitor temperatur dan pengaturan
dari saraf kranial II dan III.
suhu lingkungan .
4. Panas merupakan refleks dari
hipotalamus. peningkatan kebutuhan
metabolisme dan O2 akan

5. Pertahankan kepala/leher pada posisi menunjang TIK/ICP (intracranial

yang netral, usahakan dengan sedikit pressure).

bantal. Hindari penggunaan batal 5.Perubahan kepada salah satu sisi

yang tinggi pada kepala. dapat menimbulkan penekanan pada


venajugularis dan menghambat aliran
darah ke otak (menghambat drainase
6. Berikan periode istirahat antara pada vena serebral), untuk itu dapat
tindakan perawatan dan batasi meningkatkan tekanan intrakranial.
lamanya prosedur. 6.Tindakan yang terus menerus dapat
7. Kurangi rangsangan ekstra, berikan meningkatkan TIK oleh efek
rasa nyaman seperti lingkungan yang rangsagan kumulatif.
tenang dan suasana/pembicaraan 7. Memberikan suasana yang tenang
yang tidak gaduh. dapat mengurangi respons psikologis
8. Kaji peningkatan istirahat dan dan memberikan istirahat untuk
tingkah laku mempertahankan TIK yang rendah.
8.Tingkah nonverbal ini dapat
merupakan indikasi peningkatan TIK
atau memberikan refleks nyeri
dimana klien tidak mampu
mengungkapkan keluhan secara
verbal, nyeri yang tidak menurun
dapat meningkatkan TIK.

23
Diagnosa:  Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi
pusat pernapasan, kelemahan otot – otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak
maksimal karena trauma, dan perubahan perbandingan O2 dan CO2.
Tujuan: Dalam waktu 3 x 24 jam setelah intervensi, adanya peningkatan, pola
napas kembali efektif.
Kriteria Hasil: Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami
perbaikan pertukaran gas – gas pada paru, adaptif mengatasi faktor – faktor
penyebab.
Intervensi Rasional
1. Berikan posisi yang nyaman, 1. Meningkatkan inspirasi maksimal,
biasanya dengan peninggian kepala meningkatkan ekspansi paru dan
tempat tidur. Balik kesisi yang ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
sakit. Dorong klien untuk duduk
sebanyak mungkin.
2. Observasi fungsi pernapasan, catat 2. Distress pernapasan dan perubahan

frekuensi pernapasan, dispnea atau pada tanda vital dapat terjadi

perubahan tanda-tanda vital. sebagai akibat stres fisiologis dan


nyeri atau dapat menunjukan
terjadinya terjadinya syok
sehubungan dengan hipoksia.
3. Jelaskan pada klien tentang 3. Pengetahuan apa yang diharapkan
etiologi/faktor pencetus adanya dapat mengurangi ansietas dan
sesak atau kolaps paru – paru. mengembangkan kepatuhan klien
terhadap rencana terapeutik.

Diagnosa : Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan edema


serebral, peningkatan TIK, penurunan O2 ke serebral.
Tujuan : Perfusi jaringan serebral adekuat
Kriteria hasil : tingkat keasadaran, fungsi kognitif dan motorik pasien membaik,
tidak ada pusing hebat dan tidak terdapat tanda-tanda peningkatan TIK
Intervensi Rasional

24
MANDIRI
1. Pertahankan tirah baring dengan 1. Perubahan CSS merupakan potensi
posisi kepala datar dan pantau TTV adanya risiko herniasi batang otak
sesuai indikasi setelah dilakukan yang memerlukan tindakan medis
pungsi lumbal dengan segera
2. Kaji adanya gemetar, kegelisahan 2. Merupakan indikasi adanya iritasi
yang meningkat, peka rangsang dan meningeal
adanya rangsang kejang
3. Pantau freukensi/irama jantung 3. Perubahan pada frekuensi dan
disritmia yang terjadi
mencerminkan tekanan batang otak
4. Pantau pernapasan, catat pola dan 4. Tipe dari pola pernapasan
irama pernapasan, seperti adanya merupakan tanda yang berat dari
periode apnea setelah hiperventilasi adanya peningkatan TIK
5. Pantau suhu dan atur suhu 5. Demam biasanya berhubungan
lingkungan sesuai kebutuhan. dengan proses inflamasi tetapi
Batasi penggunaan selimut, lakukan mungkin merupakan komplikasi
kompres hangat jika ada demam dari kerusakan pada hipotalamus
6. Pantau masukan dan haluaran. Catat 6. Hipertermia mingkatkan kehilangan
karakteristik urin, turgor kulit dan air dan meningkatkan risiko
keadaan membran mukosa dehidrasi
7. Bantu pasien untuk berkemih, batasi 7. Aktivitas seperti ini akan
batuk, muntah dan mengejan. meningkatkan tekanan intratorak
dan intraabdomen yang dapat
meningkatkan TIK
8. Berikan waktu istirahat antara 8. Mencegah kelelahan berlebihan
aktivitas perawatan dan batasi namun aktivitas yang dilakukan
lamanya tindakan tersebut secara terus menerus dapat
meningkatkan TIK dengan
menghasilkan akumulatif stimulus
KOLABORASI
9. Pantau GDA dan berikan terapi
9. Terjadinya asidosis dapat
oksigen sesuai kebutuhan

25
menghambat masuknya oksigen
pada tingkat sel yang
memperburuk/meningkatkan
10. Pemberian obat-obatan sesuai iskemia serebral
indikasi 10. Menurunkan permeabilitas kapiler
untuk membatasi edema serebral

Diagnosa : Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi


sekret di jalan napas.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan klien dapat mempertahankan jalan
nafas paten dengan bunyi nafas bersih atau jelas
Kriteria Hasil: jalan nafas bersih, sekret keluar, tidak ada sianosis dan dyspnea
Intervensi Rasional
1. Monitor TTV pasien 1. Untuk membantu menentukan
intervensi lebih lanjut
2. Auskultasi jalan napas 2. Memantau adanya suara napas
tambahan
3. Posisikan pasien untuk 3. Memaksimalkan ekspansi dada
memaksimalkan ventilasi
4. Identifikasi pasien perlunya 4. Pada pasien tidak sadar membantu
pemasangan alat jalan napas buatan membuka jalan napas
5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu  5. Membantu mengeluarkan sekret
6. Keluarkan sekret dengan batu atau 6. Untuk mengeluarkan sekret
suction
7. Kolaborasi pemberian bronkodilator 7. Membantu merelaksasikan bronkus
bila perlu

Diagnosa : Defisit perawatan diri berhubungan dengan penurunan kesadaran,


kelemahan fisik
Tujuan : kebutuhan sehari-hari klien terpenuhi, tidak terjadi dekubitus
Kriteria Hasil : BB stabil, tempat tidur bersih, tubuh klien bersih, tidak ada iritasi
pada kulit, BAB/BAK dapat dibantu, tidak terjadi dekubitus

26
Intervensi Rasional
1. Bantu klien dalam memenuhi 1. Bantuan yang diberikan akan
kebutuhan sehari-hari bila mampu memenuhi kebutuhan ADL
kesadaran belum pulih kembali
2. Perawatan kateter bila terpasang 2. Kateter yang bersih akan membuat
klien lebih nyaman
3. Observasi BAB dan bantu BAB 3. Tidak lancarnya BAB akan
secara teratur, periksa feses yang menyebabkan distensi abdomen dan
mengeras dan terjepit di anus. terjepitnya feses pada anus akan
Kolaborasi dengan dokter merangsang refleks vagal yang
pemberian supositoria dan menambah TIK. Tidak lancarnya
pengeluaran feses secara manual BAB dapat disebabkan karena
bila ada kesukaran BAB kurangnya mobilisasi.
4. Libatkan keluarga dalam perawatan 4. Keterlibatan keluarga sangat berarti
pemenuhan sehari-hari dalam memberikan dukungan moril
klien akan optimis dalam
keterbatasannya

3.4 Evaluasi
1. Klien tidak gelisah, ,tidak terdapat papiledema, TTV dalam batas normal.
2. Frekuensi pernapasan efektif.
3. Nyeri hilang.
4. Perfusi jaringan serebral adekuat.
5. jalan nafas bersih, sekret keluar, tidak ada sianosis dan dyspnea
6. Kebutuhan sehari-hari pasien terpenuhi.

27
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa :
Tengkorak sebagai pelindung jaringan otak mempunyai daya elastisistas
untuk membatasi trauma kepala bila terbentur benda tumpul. Trauma kepala
terdiri dari trauma kulit kepala, tulang kranial dan otak. Klasifikasi cedera
kepala meliputi trauma kepala tertutup dan trauma kepala terbuka yang
diakibatkan oleh mekanisme cedera yaitu cedera percepatan (aselerasi) dan
cedera perlambatan (deselerasi).
Cedera kepala primer pada trauma kepala menyebabkan edema serebral,
laserasi atau hemorragi. Sedangkan cedera kepala sekunder pada trauma
kepala menyebabkan berkurangnya kemampuan autoregulasi pang pada
akhirnya menyebabkan terjadinya hiperemia (peningkatan volume darah dan
PTIK). Selain itu juga dapat menyebabkan terjadinya cedera fokal serta
cedera otak menyebar yang berkaitan dengan kerusakan otak menyeluruh.
Komplikasi dari trauma kepala adalah hemorragi, infeksi, odema dan
herniasi. Penatalaksanaan pada pasien dengan trauma kepala adalah dilakukan
observasi dalam 24 jam, tirah baring, jika pasien muntah harus dipuasakan
terlebih dahulu dan kolaborasi untuk pemberian program terapi serta tindakan
pembedahan.

4.2. Saran
1. Mahasiswa diharapkan supaya lebih  bekerja sama dalam pembuatan
makalah asuhan keperawatan Trauma Kepala.
2. Mahasiswa diharapkan supaya lebih aktif meningkatkan ilmu
pengetahuan dan keterampilan dalam bidang keperawatan khususnya
Asuhan Keperawatan Trauma Kepala.

28
DAFTAR PUSTAKA

Brunner., Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8.


Volume 1. Jakarta: EGC
Arif, Mansjoer, dkk, 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculpus. Jakarta
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC
Batticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta: Salemba Medika
Muttaqin, Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
Wartenberg KE, Mayer SA. 2007. Trauma In : Brust JCM Current Diagnosis &
Treatment. Mc Graw Hill, Singapore. Page 175-198
Gilroy J. 2000. Basic Neurology: Trauma. Mc Graw Hill, New York. Page 553-
582.
Ropper AH, Brown RH. 2005. Adam & Victors, Principle of Neurology Mc
Graw-Hill, New York. Page 747-770
Kuniyoshi S, Suarez Jl. 2004. Traumatic Head Injury. Critical Care Neurology
and Neurosurgery.humanapress, Totowa, New Jersey

29

Anda mungkin juga menyukai