Anda di halaman 1dari 22

1

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 LatarBelakang
Dengan berkembangnya teknologi di berbagai bidang kehidupan, tidak
berarti bahwa resiko tinggi kecelakaan pada manusiapun tidak ada. Banyak
kecelakaan yang terjadi sebagai akibat dari aktivitas sehari-hari. salah satu trauma
yang memiliki tingkat resiko paling tinggi ialah resiko cedera kepala, karena
sangat berkaitan erat dengan susunan saraf pusat yang berada di rongga kepala.
Data statistik menunjukkan bahwa tingkat trauma kepala sangat tinggi
yang diakibatkan sebagai akibat kurang kewaspadaan dari masing-masing
individu. Dari semua kasus cedera kepala di Amerika Serikat 49% disebabkan
oleh kecelakaan lalu lintas (sepeda motor) dan jatuh merupakan penyebab ke dua
(keperawatan kritis, Hudak & Gallo) serta dua kali lebih besar pada pria
dibandingkan wanita sedangkan di Indonesia belum ada penelitian yang
menunjukkan presentasi kematian yang diakibatkan oleh cedera kepala, tetapi dari
pengamatan yang dilakukan banyak kasus cedera kepala disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas.
Cedera kepala ringan pada umumnya tidak menunjukkan gejala yang jelas
sehingga masyarakat tidak langsung mencari bantuan medis, padahal sekecil
apapun trauma di kepala bisa mengakibatkan gangguan fisik, mental bahkan
kematian.
Untuk mengantisipasi keadaan di atas maka masyarakat harus diberi
penyuluhan-penyuluhan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap trauma
kepala.Peran dari berbagai pihak seperti kepolisian sangat penting karena
kecelakaan terjadi biasanya didahului dengan pelanggaran lalu lintas, sehingga
pendidikan, tata tertibdi jalan raya perlu ditingkatkan.
Oleh karena itu peran perawat tidak kalah pentingnya dalam penanganan
trauma kepala karena perawat bisa melakukan penyuluhan maupun tindakan
observasi untuk menurunkan angka kematian yang disebabkan oleh cedera kepala.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merasa tertarik untuk membahas

2

lebih lanjut mengenai neurobihaviour dengan judul Asuhan Keperawatan Pada
Klien Dengan Gangguan Neurologi Trauma Capitis (Cidera Kepala) .


1.2 Rumusan Masalalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis dapat membuat rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep teori trauma capitis (cidera kepala)
2. Bagaimana asuhan keperawatan r trauma capitis (cidera kepala) secara teoritis
3. Bagaimana asuhan keperawatan berdasarkan scenario kasus trauma capitis
(cidera kepala)


1.3 Tujuan
a. Tujuan Umum:
Mengetahui dan memahami secara umum mengenai penyakit retini
blastoma serta asuhan keperawatan yang tepat terhadap penyakit trauma capitis
(cidera kepala) tersebut.
b. Tujuan khusus :
1. Untuk mengetahui dan memahami konsep dari trauma capitis (cidera
kepala)
2. Untuk mengetahui dan memahami asuhan keperawatan dengan klien
trauma capitis (cidera kepala) (dari pengkajian, analisa data, diagnosa
keperawatan, dan rencana asuhan keperawatan).

1.4 Manfaat
a. Mahasiswa mengetahui dan memahami penyakit trauma capitis (cidera
kepala) sehingga menunjang pembelajaran matakuliah sistem persepsi
sensori.
b. Mahasiswa mengetahui dan memahami proses keperawatan trauma capitis
(cidera kepala) sehingga dapat menjadi bekal dalam persiapan praktik di
rumah sakit.

3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Anatomi Kepala
Berdasarkan ATLS (2004), anatomi yang bersangkutan antara lain :
1. Kulit Kepala (Scalp)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu :
a. Skinatau kulit
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung
c. Aponeurosis atau galea aponeurotika
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
e. Perikranium
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari
perikranium dan merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma
subgaleal).Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi
perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan
darah, terutama pada bayi dan anak-anak.
2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria
khususnya di
bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporal. Basis kranii
berbentuk tidak rata sehinga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat
proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu :
1. Fosa anterior, fosa media, dan fosa posterior.
2. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media adalah tempat
lobus temporalis, dan
3. Fosa posterior adalah ruang bagian bawah batang otak dan serebelum.
3. Meningen
Otak dibungkus oleh selaput otak (meningen) yang terdiri dari 3 lapisan
yaitu:

4

1. Duramater : Lapisan luar, berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat yang
bersifat liat, tebal, tidak elastis, berupa serabut dan berwarna abu-abu.
2. Arachnoid : Membran bagian tengah, bersifat tipis dan lembut. Berwarna
putih karena tidak dialiri darah, terdapat pleksus khoroid yang
memproduksi cairan serebrospinal (CSS) terdapat villi yang mengabsorbsi
CSS pada saat darah masuk ke dalam sistem (akibat trauma, aneurisma,
stroke).
3. Piamater : Membran paling dalam, berupa dinding yang tipis,
transparan yang menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan otak.
4. Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum
terdiri atas
hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan duramater
dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat
bicara manusia. Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut
sebagai hemisfer dominan.
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan pada
sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan
dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi
memori. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan.
Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan medula
oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang
berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat
pusat kardiorespiratorik, yang terus memanjang sampai medulla spinalis
dibawahnya. Lesi yang kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan
defisit neurologis yang berat.
Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan,
terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis, batang otak,
dan juga kedua hemisfer serebri.
5. Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral

5

melalui foramen monromenuju ventrikel III kemudian melalui aquaductus sylvii
menuju ventrikel IV.
Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang
subaraknoid
yang berada di seluruh permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan
direabsorbsi ke da lam sirku lasi vena melalui vili araknoid.
6. Tentorium
Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra
tentorial (terdiri
atas fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi
fosa kranii posterior).


2.2. Fisiologi Kepala
Mekanisme fisiologis yang berperan antara lain :
1. Tekanan Intra Kranial
Biasanya ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan
serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan
suatu tekanan intra kranial normal sebesar 50 sampai 200 mmH2O atau 4 sampai
15 mmHg. Dalam keadaan normal, tekanan intra kranial (TIK) dipengaruhi oleh
aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat sementara waktu sampai tingkat yang
jauh lebih tinggi dari normal. Ruang intra kranial adalah suatu ruangan kaku yang
terisi penuh sesuai kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu :
otak ( 1400 g), cairan serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml).
Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga unsur utama ini mengakibatkan
desakan ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan intra
kranial (Lombardo,2003 ).
2. Hipotesa Monro-Kellie
Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga
bila salah satu dari ketiga komponennya membesar, dua komponen lainnya harus
mengkompensasi dengan mengurangi volumenya ( bila TIK masih konstan ).

6

Mekanisme kompensasi intra kranial ini terbatas, tetapi terhentinya fungsi
neural dapat menjadi parah bila mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari
meningkatnya aliran cairan serebrospinal ke dalam kanalis spinalis dan adaptasi
otak terhadap peningkatan tekanan tanpa meningkatkan TIK. Mekanisme
kompensasi yang berpotensi mengakibatkan kematian adalah penurunan aliran
darah ke otak dan pergeseran otak ke arah bawah ( herniasi ) bila TIK makin
meningkat. Dua mekanisme terakhir dapat berakibat langsung pada fungsi saraf.
Apabila peningkatan TIK berat dan menetap, mekanisme kompensasi tidak efektif
dan peningkatan tekanan dapat menyebabkan kematian neuronal
(Lombardo, 2003).


2.3. Definisi Trauma Kapitis (Cedera Kepala)
Trauma kapitis (cedera kepala) adalah ganguan traumatik yang
menyebabkan gangguan fungsi otak disertai atau tanpa disertai perdarahan
intestiri dan tidak menganggu jaringan otak ( Brunner & Suddarth, 2000 )
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara
langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan Luka di kulit
kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringa otak
itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (Mansjoer Arif,dkk ,2000)
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara
langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi
yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen
(Asrini, 2008)
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala,
tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun
tidak langsung pada kepala. ( Suriadi & Rita Yuliani, 2001 )


2.4. Epidemiologi Trauma Kapitis (Cedera Kepala)
Menurut Dawodu (2003) insidensi Trauma Kapitis tertinggi pada
kelompok umur 15-45 tahun 32,8/100.000. Perbandingan > = 3,4:1.

7

Penyebab utama kecelakaan lalu-lintas (bermotor) tiap tahun 1 juta meninggal
& 20 juta cedera (Islam, 1999; Fauzi, 2002).
Insiden 26% dari Trauma Kapitis semua kecelakaan; 33% kematian karena
trauma kapitis Insiden karena Trauma Kapitis kecelakaan 50% meninggal
sebelum tiba di RS, 40% meninggal dalam 1 hari dan 35% meninggal dalam 1
minggu perawatan. (Sidharta, 2003).


2.5. Etiologi Trauma Kapitis (Cedera Kepala)
Menurut (Cholik dan Saiful, 2007, hal. 25) Cidera kepala dapat
disebabkan oleh dua hal antara lain :
a. Benda tajam : Trauma benda tajam dapat menyebabkan cidera setempat.
b. Benda tumpul : Dapat menyebabkan cidera seluruh kerusakan terjadi ketika
energi/kekuatan diteruskan kepada otak.
Penyebab lain:
1. Kecelakaan lalulintas
2. Jatuh
3. Pukulan
4. Kejatuhan benda
5. Kecelakaan kerja / industri
6. Cidera lahir
7. Luka tembak


2.6. Manifestasi klinik Trauma Kapitis (Cedera Kepala)
Tanda dan gejala cidera kepala dapat dikelompokkan dalam 3 kategori
utama:
a. Tanda dan gejala fisik/sumatik : Nyeri kepala, dizziness, nausea, vomitus.
b. Tanda dan gejala kognitif : Gangguan memori, gangguan perhatian dan
berpikir kompleks.
c. Tanda dan gejala emosional/kepribadian : Kecemasan, iritabilitas.
(Hoffman, dkk, 1996)

8

Gejala sebagai berikut:
1. Jika klien sadar akan mengeluh sakit kepala berat
2. Muntah projektil
3. Papil edema
4. Kesadaran makin menurun
5. Perubahan tipe pernapasan
6. Anisokor
7. Tekanan darah turun, bradikardia
8. Suhu tubuh yang sulit dikendalikan
( Cholik dan Saiful, 2007, hal. 31 )


2.7 Klasifikasi Trauma Kapitis (Cedera Kepala)
Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai
aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan;
mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.
1. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan
benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
2. Beratnya Cedera Kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi
beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya
secara spontan,mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total
sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid
dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal
atau sama dengan 3. Nilai GCSsama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai
koma atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak
dengan nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita
dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan.



9

3. Morfologi
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat
berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun
tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT
scandengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya
tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk
melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara
laserasi kulit
kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur
tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang
terjadi cukup berat.
Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai
berikut;
1. Gambaran fraktur, dibedakan atas :
a. Linier
b. Diastase
c. Comminuted
d. Depressed
2. Lokasi Anatomis, dibedakan atas :
a. Calvarium/ Konveksitas ( kubah / atap tengkorak )
b. Basis cranii ( dasar tengkorak )
3. Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
b. Tertutup

b.Lesi Intra Kranial
1. Cedera otak difus
Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai
kondisi yang sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan
kesadaran dan mungkin mengalami amnesia retro/anterograd.

10

Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari
otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera
setelah trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran
normal, atau gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur.
Selama ini dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan
trauma otak berat dengan prognosis yang buruk. Penelitian secara mikroskopis
menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan terlihat pada manifestasi
klinisnya.
2. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak
dan gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering
terletak di area temporal atau temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh
robeknya arteri meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.
3. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural.
Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks
serebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer
otak.Biasanya kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk
dibandingkan perdarahan epidural.
4. Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal
dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak.
Kontusio serebri dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi
perdarahan intra serebral yang membutuhkan tindakan operasi.


2.8 Patofisiologi Trauma Kapitis (Cedera Kepala)
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-
deselerasi gerakan kepala (Gennarelli, 1996 dalam Israr dkk, 2009).

11

Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan
pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan
pada duramater,dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area
benturan disebut lesi kontusio coup, di seberang area benturan tidak terdapat
gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut
dinamakan lesi kontusio countercoup. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi
linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis
adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi
rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah,
bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup,
countercoupdan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi
yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup ( Mardjono dan
Sidharta, 2008 ).
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr
dkk,2009).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan
dan iskemia
otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak.
Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera
awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam
pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen
intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin
secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa
natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan
pembengkakan jaringan otak.Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak,
bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk
glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila suplai

12

terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk
mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada
beberapa daerah tertentu dalam otak ( Lombardo, 2003 )


2.9. Prognosis Trauma Kapitis (Cedera Kepala)
Menurut King & Bewes (2001), prognosis TK buruk jika pada
pemeriksaan ditemukan pupil midriasis dan tidak ada respon E, V, M dengan
rangsangan apapun. Jika kesadarannya baik, maka prognosisnya dubia, tergantung
jenis TK, yaitu: pasien dapat pulih kembali atau traumanya bertambah berat.
Menurut Fauzi (2002), faktor yang memperjelek prognosis adalah
terlambatnya penanganan awal/resusitasi, transportasi yang lambat, dikirim ke RS
yang tidak memadai, terlambat dilakukan tindakan pembedahan dan disertai
trauma multipel yang lain.

2.10 Pemeriksaan Diagnostik
a. Scan CT . Mengidentifikasi adanya SOL.Hemorogi, menentukan Ukuran
ventrikel, pergeseraan cairan otak.
b. MRI. Sama dengan Scan CT dengan atau tanpa kontras.
c. Angiografi Serebral. Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan dan trauma.
d. EEG. Memperlihatkan keberadaan atau perkembangan gelombang
e. Sinar X. Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (Fraktor) pergeseran
struktur dari garis tengah (karena perdarahan) edema dan adanya frakmen
tulang.
f. BAER (Brain Auditory Evoked). Menentukan fungsi dari kortel dan batang
otak .
g. PET (Positron Emission Tomografi). Menunjukkan aktiitas metabolisme pada
otak.
h. Pungsi Lombal CSS. Dapat menduga adanya perdarahan subarachnoi.
i. GDA (Gas Darah Arteri). Mengetahui adanya masalah ventilasi oksigenasi
yang dapat menimbulkan

13

j. Kimia/Elektrolit Darah. Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
peningkatan TIK/perubahan
k. Pemeriksaan Toksikolog. Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab
terhadap penurunan kesadaran.
l. Kaular Anti Konvulsan Darah. Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat
yang cukup efektif untuk
( Marlyn. E. Doengoes; 2000 )


2.11Penataklasanaan
Pasien dengan trauma kepala berat sering mengalami gangguan
pernapasan, syock hipovolemik, gangguan kesimbangan cairan dan elektrolit,
tekanan intrakranial yang tinggi, kejang-kejang, gangguan kardiovaskuler. Perlu
mendapat penanganan yang tepat.
a. Medik
1. Manitol IV
Dosis awal 1 g / kg BB . Evaluasi 15 20 menit (bila belum ada perbaikan
tambahan dosis 0,25 g / kg BB). Hati-hati terhadap kerusakan ginjal
2. Steroid. Digunakan untuk mengurangi edema otak
3. Bikarbonas Natrikus. Untuk mencegah terjadinya asidosis
4. Antikonvulsan. Masih bersifat controversial. Tujuan : untuk profilaksis
kejang
5. Terapi Koma. Merupakan langkah terakhir untuk mengendalikan TIK secara
konservatif. Terapi ini menurunkan metabolisme otak,mengurangi edema &
menurunkan TIK. Biasanya dilakukan 24 48 jam.
6. Antipiretik. Demam akan memperburuk keadaan karena akan meningkatkan
metabolisme dan dapat terjadi dehidrasi, kerusakan otak. Jika penyebab
infeksi tambahkan antibiotik.
7. Sedasi. Gaduh, gelisah merupakan gejala yang sering ditemukan pada
penderita cidera otak dan dapat meningkatkan TIK. Lorazepam (ativan) 1 2
mg IV/IM dapat diberikan dan dapat diulang pemberiannya dalam 2 4 jam.
Kerugian : tidak dapat memantau kesadaran penderita.

14

8. Antasida AH2. Untuk mencegah perdarahan GIT : simetidin, ranitidin,
famotidin. Furosemid adakalanya diberikan bersama dengan obat anti edema
lain. Dosis : 1 mg/kg BB IV, dapat diulang tiap 6 12 jam.

b. Non-Medik
1. Pengelolaan Pernapasan:
- Pasien ditempatkan dalam posisi miring atau seperti posisi koma.
- Periksa mulut, keluarkan gigi palsu bila ada.
- Jika banyak ludah atau lendir atau sisa muntahan lakukan penghisapan.
- Hindari flexi leher yang berlebihan karena bias menyebabkan Terganggunya
jalan napas/peningkatan tik.
- Trakeostomi dilakukan bila lesi di daerah mulut atau faring parah.
- Perawat mengkaji frekuensi dan upaya pernapasan pasien, warna kulit bunyi
pernapasan dan ekspansi dada.
- Berikan penenang diazepam.
- Posisi pasien selalu diubah setiap 3 jam dan lakukan fisioterapi dada
2x/sehari.
2. Gangguan Mobilitas Fisik
- Posisikan tubuh pasien dengan posisi opistotonus; perawatan harus
dilakukan dengan tujuan untuk menghentikan pola refleksif dan penurunan
tonus otot abnormal.
- Perawat menghindarkan terjadinya kontraktur dengan melakukan rom pasif
dengan merenggangkan otot dan mempertahankan mobilitas fisik.
3. Kerusakan Kulit: menghilangkan penekanan dan lakukan intervensi mobilitas.
4. Masalah Hidrasi : pada cidera kepala terjadi kontriksi arteri-arteri renalis
sehingga pembentukan urine berkurang dan garam ditahan didalam tubuh akibat
peningkatan tonus ortosimpatik.
5. Nutrisi pada Trauma otak berat
- Memerlukan jumlah kalori 2 kali lipat dengan meningkatnya aktivitas
system saraf ortosimpatik yang tampak pada hipertensi dan takikardi.
- Kegelisahan dan tonus otot yang meningkat menambah kebutuhan kalori.

15

- Bila kebutuhan kalori tidak terpenuhi maka jaringan tubuh dan lemak akan
diurai, penyembuhan luka akan lebih lama, timbul dekubitus, daya tahan
menurun.
( Cholik dan Saiful, 2007, hal. 66 69 )


2.12. Komplikasi
Komplikasi pada Trauma Kapitis :
a. Kebocoran cairan Serebrospinal : Akibat fraktor pada Fossa anterior dekat
sinus frontal atau dari fraktor tengkorak bagian petrous dari tulang temporol.
b. Kejang : Kejang pasca trauma dapat terjadi secara (dalam 24 jam pertama)
dini (minggu pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).
c. Diabetes Insipidus : Disebabkan oleh kerusakan traumatik pada rangkai
hipofisis menyebabkan penghentian sekresi hormon antideuretik.
Hudak & Gallo ( 1996 )















LANDASAN TEORITIS ASUHAN KEPERAWATAN


16


A. Pengkajian
1. Pengkajian Identitas Klien
a. Pasien (diisi lengkap)
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Status Perkawinan :
Agama :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Alamat :
Tgl Masuk RS :

b. Penanggung Jawab (diisi lengkap)
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Agama :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Alamat :


2. Pengkajian Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
(Keluhan yang dirasakan pasien saat dilakukan pengkajian).
Apakah klien mengalami gangguan penglihatan/adanya benjolan pada mata.
b. Riwayat kesehatan sekarang
(Riwayat penyakit yang diderita pasien saat masuk rumah sakit).
Apakah ada benjolan pada daerah sekitar mata/dahi, ada perasaan yang
tidak nyaman akibat adanya benjolan, nyeri, takut. Tampak benjolan pada

17

daerah orbita, kaji ukuran benjolan, jenis benjolan (keras, lunak,
mobile/tidak ).
c. Riwayat kesehatan yang lalu
(Riwayat penyakit yang sama atau penyakit lain yang pernah diderita oleh
pasien).
Apakah klien punya riwayat trauma pada mata atau riwayat penyakit tumor,
memiliki faktor resiko penyakit mata (memiliki diabetes, tekanan darah
tinggi, riwayat penyakit mata dalam keluarga seperti glaucoma)
d. Riwayat obat-obatan
(Riwayat mengkonsumsi obat-obatan yang pernah dikonsumsi/digunakan
pasien)
Mengkonsumsi obat-obatan yang mempengaruhi mata
e. Riwayat kesehatan keluarga
(Adakah riwayat penyakit yang sama diderita oleh anggota keluarga yang
lain atau riwayat penyakit lain baik bersifat genetis maupun tidak).
Apakah ada anggota keluarga yang juga pernah terkena penyakit tumor
mata, tumor lain, atau penyakit degeneratif lainnya

3. Dasar Data Pengkajian Pasien Teori (Doengus, 2000)
a. Aktivitas / Istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesadaran, latergi, hemiparese, quadreplegia,
ataksia cara berjalan tegap, masalah dalam keseimbangan,
cedera (trauma ortopedi, kehilangan tonus otot,
otot spatik)
b. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal, perubahan
frekuensi jantung (bradikardi, takikardi yang diselingi
dengan bradikardia, distritma).

c. Integritas EGO

18

Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau
dramatis)
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung,
depresi dan implusif
d. Eliminasi
Gejala : Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami
gangguan fungsi
e. Makanan / Cairan
Gejala : Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera
Tanda : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk,
air liur keluar, disfagia)
f. Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar
kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan
pendengaran, tingling, baal pada ekstermitas. Perubahan
dalam penglihatan, seperti ketajaman, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, fotofobia. Gangguan
pengecapan dan juga penciuman.
Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status
mental (orientasi, kwaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan
memori). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya,
simetri), deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti.
Kehilangan penginderaan, seperti pengecapan, penciuman
dan pendengaran. Wajah tidak simetri. Genggaman lemah,
tidak seimbang. Refleks tendon dalam tidak ada atau
lemah. Apraksia, hemiparase, quadreplegia. Postur
(dekontriksi, deserebrasi), kejang. Sangat sensitif terhadap
sentuhan dan gerakan. Kehilangan sensasi sebagian tubuh.
Kesulitan dalam memnentukan posisi tubuh.

g. Nyeri / Kenyamanan

19

Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda,
biasanya lama.
Tanda : Wajah menyeringai, respons menarik pada rangsangan
nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.
h. Pernapasan
Gejala : Perubahan pola napas (apnea yang diselingi dengan
hiperventilasi). Napas bunyi, stridor, tersedak.
Tanda : Ronki, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi)
i. Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur/dislokasi. Gangguan penglihatan. Kulit : laserasi,
abrasi, perubahan warna, seperti raccoon eye tanda
Batle di sekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma).
Adanya aliran cairan (drainase) dari telinga/hidung (GCS).
Gangguan kongnitif. Gangguan rentang gerak, tonus otot
hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis.
Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
j. Interaksi Sosial
Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara
berulang-ulang, disatria, anomia
k. Penyuluhan / Pembelajaran
Gejala : Pengguanaan alkohol/obat lain


4. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan persepsi sensorik yang berhubungan dengan perubahan
persepsi sensori, tranmisi, dan atau integrasi ( trauma / deficit neurologist).
2. Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan adanya edema
atau hematoma dan perdarahan otak.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
intake yang tidak adekuat.

20

4. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan persepsi
atau kognitif, penurunan ketahanan, therapy pembatasan / kewaspadaan
keamanan (tirah baring).
5. Resiko tinggi pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan
kerusakan neurovaskuler.
6. Resiko infeksi yang berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak,
prosedur invasive.


























21

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Trauma kapitis adalah ganguan traumatik yang menyebabkan gangguan
fungsi otak disertai atau tanpa disertai perdarahan intestiri dan tidak menganggu
jaringan otak ( Brunner & Suddarth, 2000 ). Cidera kepala dapat disebabkan oleh
dua hal antara lain Benda tajam dan Benda tumpul.
Tanda dan gejala cidera kepala dapat dikelompokkan dalam 3 kategori
utama:
Tanda dan gejala fisik/sumatik : Nyeri kepala, dizziness, nausea, vomitus.
Tanda dan gejala kognitif : Gangguan memori, gangguan perhatian dan
berpikir kompleks.
Tanda dan gejala emosional/kepribadian : Kecemasan, iritabilitas.
Pemeriksaaan yang dapat dilakukan ketikaterjadi trauma kapitis yaitu Scan CT,
MRI, Angiografi Serebral, EEG, Sinar X, BAER (Brain Auditory Evoked), PET
(Positron Emission Tomografi), Pungsi Lombal CSS dan lain-lain. Komplikasi
yang akan terjadi pada pasien trauma kapitis yaitu Kebocoran cairan
Serebrospinal, Kejang, Diabetes Insipidus.


4.2 Saran
Diharapkan mampu memahami tentang kelainan-kelainan yang ada pada
sistem neurobihaviour (terutama otak) dan dapat menerapkan bagaimana cara
penanganan pasien dengan cidera . Diharapkan lebih mengerti dan memahami
tentang penyakit ini serta bagaimana penyebaran dan penularan penyakit tersebut
untuk meningkatkan mutu kesehatan masyarakat.






22



DAFTAR PUSTAKA


Brunner dan Sudarth, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol-2, EGC,
Jakarta, 2002.
Cholik dan Saiful, Buku Ajar Trauma Kepala Asuhan Keperawatan Klien dengan
Cidera Kepala,, Ardana Media, Yogyakarta, 2007.
Doengoes, Marilyn. E, Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Pasien Edisi 3, EGC, Jakarta, 2000.
Hudak and Gallo, Keperawatan Kritis Edisi VI, EGC, Jakarta, 1996.
Santosa, Budi (editor), Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda 2005-2
006,Definisi dan Klasifikasi, Prima Medika, Jakarta, 2005.
Suriadi, Yuliani, Rita, Asuhan Keperawatan pada Anak, Fajar Interpratama,
Jakarta, 2001

Anda mungkin juga menyukai