BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan berkembangnya teknologi di berbagai bidang kehidupan, tidak berarti bahwa resiko
tinggi kecelakaan pada manusiapun tidak ada. Banyak kecelakaan yang terjadi sebagai akibat
dari aktivitas sehari-hari. salah satu trauma yang memiliki tingkat resiko paling tinggi ialah
resiko cedera kepala, karena sangat berkaitan erat dengan susunan saraf pusat yang berada di
rongga kepala.
Data statistik menunjukkan bahwa tingkat trauma kepala sangat tinggi yang diakibatkan
sebagai akibat kurang kewaspadaan dari masing-masing individu. Dari semua kasus cedera
kepala di Amerika Serikat 49% disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (sepeda motor) dan
jatuh merupakan penyebab ke dua (keperawatan kritis, Hudak & Gallo) serta dua kali lebih
besar pada pria dibandingkan wanita sedangkan di Indonesia belum ada penelitian yang
menunjukkan presentasi kematian yang diakibatkan oleh cedera kepala, tetapi dari
pengamatan yang dilakukan banyak kasus cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas.
Cedera kepala ringan pada umumnya tidak menunjukkan gejala yang jelas sehingga
masyarakat tidak langsung mencari bantuan medis, padahal sekecil apapun trauma di kepala
bisa mengakibatkan gangguan fisik, mental bahkan kematian.
Untuk mengantisipasi keadaan di atas maka masyarakat harus diberi penyuluhan-penyuluhan
untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap trauma kepala.
Peran dari berbagai pihak seperti kepolisian sangat penting karena kecelakaan terjadi
biasanya didahului dengan pelanggaran lalu lintas, sehingga pendidikan, tata tertibdi jalan
raya perlu ditingkatkan.
Oleh karena itu peran perawat tidak kalah pentingnya dalam penanganan trauma kepala
karena perawat bisa melakukan penyuluhan maupun tindakan observasi untuk menurunkan
angka kematian yang disebabkan oleh cedera kepala.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Agar lebih memahami secara mendalam tentang trauma kapitis sehingga dapat memberi
perawatan yang akurat pada pasien.
2. Memperoleh pengalaman nyata dan menghubungkan dengan teori yang telah didapat.
C. Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini menggunakan :
1. Studi kepustakaan dengan mempelajari literatur yang berhubungan dengan Trauma
Kapitis.
2. Studi kasus yaitu dengan pengamatan langsung pada pasien trauma kapitis.
D. Sistematika Penulisan
Terdiri dari 5 bab yang diawali dengan kata pengantar dan daftar isi. Dalam Bab I memuat
latar belakang, tujuan, metode dan sistematika penulisan. Bab II berisi tentang tujuan teoritis;
konsep medik meliputo definisi, anatomi fisiologi, etiologi, patofisiologi, test diagnostik,
terapi dan pengelolaan medik serta komplikasi. Sedangkan konsep asuhan keperawatan :
pengkajian, diagnosa perawatan, perencanaan keperawatan dan perencanaan pulang. Bagian
akhir bab II berisi tentang patoflowdiagram. Bab III pengamatan kasus, memuat tentang
kasus yang diamati di lapangan dan pengkajian sampai evaluasi termasuk nilai laboratorium
dan obat-obatan yang diberikan. Bab IV pembahasan kasus menghubungkan antara teori dan
kasus yang diamati. Bab V berisi kesimpulan setelah mengamati pasien dilapangn dan teori.
Bagian akhir dilampirkan daftar pustaka yang menjadi referansi dalam penyususnan makalah
ini.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
3. Piamater
4. Membran yang paling dalam, berupa dinding yang tipis, transparan yang menutupi otak
dan meluas ke setiap lapisan daerah otak dan sangat kaya dengan pembuluh darah.
Otak merupakan organ kompleks yang dominasi cerebrum. Otak merupakan struktur kembar
yaitu lateral simetris dan terdiri dari 2 bagian yang disebut hemisferium.
Belahan kiri dari cerebrum berkaitan dengan sisi kanan tubuh dan belahan kanan cerebrum
berkaitan dengan sisi kiri tubuh.
Otak terbagi menjadi 3 bagian besar :
1. Cerebrum (otak besar)
Serebrum terdiri dari dua hemisfer dan empat lobus. Substansia grisea terdapat pada bagian
luar dinding serebrum dan substansia alba menutupi dinding serebrum bagian dalam. Pada
prinsipnya komposisi substansia grisea yang terbentuk dari badan-badan sel saraf memenuhi
kortex serebri, nukleus dan basal gangglia. Substansia alba terdiri dari sel-sel syaraf yang
menghubungkan bagian–bagian otak yang lain. Sebagian besar hemisfer serebri (telesefalon)
tensi jaringan SSP. Area inilah yang mengontrol fungsi motorik tertinggi yaitu terhadap
fungsi individu dan intelegensia.
2. Batang otak (trunkus serebri), terdiri dari :
• Diensefalon, bagian batang otak paling atas terdapat di antara serebelum dan mesensepalon.
Diensepalon berfungsi untuk vasokontruktor (mengecilkan pembuluh darah), respiratory
(membantu proses pernapasan), mengontrol kegiatan reflek dan membantu pekerjaan jantung.
• Mesensefalon, berfungsi sebagai membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak
mata, memutar mata dan pusat pergerakan mata.
• Pons varoli, sebagai penghubung antara kedua bagian serebellum dan juga medula
oblongata dengan serebellum pusat saraf nervus trigeminus.
• Medula oblongata, bagian batang otak yang paling bawah yang berfungsi untuk mengontrol
pekerjaan jantung, mengecilkan pembuluh darah, pusat pernapasan dan mengontrol kegiatan
refleks.
• Serebelum
Terletak dalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh duramater yang menyerupai atap tenda
yaitu tentoreum yang memisahkan dari bagian posterior serebrum.
Semua aktivitas serebrum berada dibawah kesadaran fungsi utamanya adalah sebagai pusat
refleks yang mengkoordinasi dan memperhalus gerakan otot, serta mengubah tenus-tenus
kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan dan sikap tubuh.
• Diensefalon
Istilah yang digunakan untuk menyatakan struktur-struktur disekitar vertikel dan membentuk
inti bagian dalam serebrum. Diensefalon memproses rangsang sensorik dan membantu
memulai atau memodifikasi reaksi tubuh terhadap rangsang-rangsang tersebut.
Diensefalon dibagi menjadi 4 wilayah yaitu :
a. Talamus
Berfungsi sebagai pusat sensorik primitif (dapat merasakan nyeri, tekanan, rabaan getar
dan suhu yang ekstrim secara samar-samar).
Berperan penting dalam integrasi ekspresi motorik oleh karena hubungan fungsinya
terhadap pusat motorik utama dalam korteks motorik serebri, serebelum dan gangglia basalis.
b. Hipotalamus
Letak dibawah talamus
Hipotalamus berkaitan dengan pengaturan rangsangan dari sistem susunan saraf otonom
perifer yang menyertai ekspresi tingkah laku dan emosi.
Berperan penting dalam pengaturan hormon (hormon anti diuretik dan okstoksin disintesis
dalam nukleus yang terletak dalam hipotalamus).
Pengaturan cairan tubuh dan susunan elektrolit, suhu tubuh, fungsi endokrin dari tingkah
laku seksual dn reproduksi normal dan ekspresi ketenangan atau kemarahan, lapar dan haus.
c. Subtalamus
Merupakan nukleus ekstrapiramidal diensefalon yang penting fungsinya belum dapat
dimengerti sepenuhnya, tetapi lesi pada subtalamus dapat menimbulkan diskinesia dramatis
yang disebut hemibalismus.
d. Epitalamus
Berupa pita sempit jaringan saraf yang membentuk atap diensefalon. Epitalamus
berhubungan dengan sistem limbik dan agaknya berperan pada beberapa dorongan emosi
dasar dan ingarasi informasi olfaktorius.
III. Etiologi
a. Kecelakaan lalu lintas/industri
b. Jatuh
c. Benturan benda tajam/ tumpul
d. Trauma pada saat kelahiran
e. Benturan dari objek yang bergerak (cedera akselerasi)
f. Benturan kepala pada benda padat yang tidak bergerak (cedera deselerasi)
IV. Patofisiologi
- Trauma kapitis menyebabkan cedera pada kulit kepala, tulang kepala, jaringan otak. Cedera
otak bisa berasal dari trauma langsung dan trauma tidak langsung pada kepala.
- Kerusakan neurologis langsung disebabkan oleh suatu benda atau serpihan tulang yang
menembus dan merobek jaringan otak, oleh pengaruh suatu kekuatan atau energi yang
diteruskan ke otak.
- Riwayat kerusakan yang disebabkan oleh beberapa hal tergantung pada kekuatan yang
menimpa.
Kekuatan akselerasi dan deselerasi menyebabkan isi dalam tengkorak yang keras, bergerak,
dengan demikian memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang
berlawanan (counter coup) karena ada benturan keras ke otak maka bagian ini dapat merobek
dan mengoyak jaringan, kerusakan diperhebat bila ada rotasi tengkorak. Bagian otak yang
paling keras mengalami kerusakan adalah bagian anterior dari lobus frontalis dan temporalis,
bagian posterior lobus oksipitalis dan bagian atas mesencefalon.
Efek sekunder trauma yang menyebabkan perubahan neurologik berat disebabkan oleh reaksi
jaringan terhadap cedera. Setiap kali jaringan mengalami cedera, responnya dapat
mempengaruhi perubahan isi cairan intrasel dan ekstrasel. Peningkatan suplay darah ke
tempat cedera dan mobilisasi sel-sel untuk memperbaiki kerusakan sel. Neuron dan sel-sel
fungsional dalam otak tergantung dari suplay nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan
O2 dan sangat peka terhadap cedera metabolik apabila suplay terhenti. Sebagai akibat cedera,
sirkulasi otak dapat kehilangan kemampuannya untuk mengatur volume darah yang tersedia,
menyebabkan iskemia pada beberapa tempat tertentu dalam otak.
IX. Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul pada pasien yang mengalami trauma kapitis yaitu:
a. Shock disebabkan karena banyaknya darah yang hilang atau rasa sakit hebat. Bila
kehilangan lebih dari 50% darah dapat mengakibatkan kematian.
b. Peningkatan tekanan intrakranial, terjadi pada edema cerebri dan hematoma dalam tulang
tengkorak.
c. Meningitis, terjadi bila ada luka di daerah otak yang ada hubungannya dengan luar.
d. Infeksi/kejang, terjadi bila disertai luka pada anggota badan atau adanya luka pada fraktur
tulang tengkorak.
e. Edema pulmonal akibat dari cedera pada otak yang menyebabkan adanya peningkatan
tekanan darah sistemik sebagai respon dari sistem saraf simpatis pada peningkatan TIK.
Peningkatan vasokontriksi tubuh ini menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru-paru.
Perubahan permeabilitas pembuluh darah paru berperan dalam proses memungkinkan cairan
berpindah ke dalam alveolus.
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pola pemeliharaan kesehatan dan persepsi kesehatan.
• Riwayat trauma saat ini dan benturan yang terjadi secara tidak sengaja.
• Fraktur atau terlepasnya persendian.
• Gangguan penglihatan
• Kulit luka kepala/abrasi, perubahan warna (tanda-tanda trauma)
• Keluarnya cairan dari telinga dan hidung
• Gangguan kesadaran
• Demam, perubahan suhu tubuh
b. Pola nutrisi metabolik
• Mual, muntah
• Sulit menelan
c. Pola eliminasi
• Inkontinensia atau retensi kandung kemih.
d. Pola aktivitas
• Keadaan aktivitas : lemah, letih, lesu, kesadaran berubah, hemiparase, kelemahan
koordinasi otot-otot kejang
• Keadaan pernapasan: apnea, hyperventilasi, suara napas stridor, rochi, wheezing.
e. Pola istirahat
• Pasien mengatakan intensitas sakit kepala yang tidak tetap dan lokasi sakit kepala.
f. Pola persepsi sensori kognitif
• Kehilangan kesadaran sementara.
• Pusing, pingsan
• Mati rasa pada ekstremitas
• Perubahan penglihatan: diplopia, tidak peka terhadap reflek cahaya, perubahan pupil,
ketidakmampuan untuk melihat ke segala arah.
• Kehilangan rasa, bau, pendengaran dan selera
• Perubahan dalam kesadaran, koma.
• Perubahan status mental (perhatian, emosional, tingkah laku, ingatan, konsentrasi).
• Wajah tidak simetris
• Tidak ada reflek tendon
• Tidak mampu mengkoordinir otot-otot dan gerakan, kelumpuhan pada salah satu anggota
gerak otot.
• Kehilangan indra perasa pada bagian tubuh.
• Kesulitan dalam memahami diri sendiri.
g. Pola persepsi dan konsep diri
• Adanya perubahan tingkah laku (halus dan dramatik).
• Kecemasan, lekas marah, mengingau, gelisah, bingung.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan otak b.d peningkatan tekanan intrakranial.
b. Perubahan persepsi sensorik b.d penurunan tingkat kesadaran, kerusakan lobus pariental,
kerusakan nervus olfakttorius.
c. Kesulitan mobilitas fisik b.d hemiplegia, hemiparese, kelemahanan.
d. Resiko tinggi injuri b.d adanya kejang, kebingungan dan kelemahan fisik.
e. Gangguan dalam pertukaran gas b.d penumpukan sekresi, reflek batuk yang kurang.
f. Gangguan gambaran tubuh dan perubahan peran b.d kurang berfungsinya proses berfikir,
ketidakmampuan fisik.
g. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurang mampu menelan
h. Tidak mampu merawat diri b.d kesulitan dalam mobilitas fisik
i. Gangguan kognitif kesulitan dalam komunikasi verbal b.d aphasia
j. Gangguan rasa nyaman : nyeri b.d trauma dan sakit kepala.
k. Kerusakan integritas kulit b.d kesulitan dalam mobilitas fisik.
l. Perubahan pola eliminasi urine inkontinential atau retensi urine b.d terganggunya saraf
kontrol berkemih.
3. Perencanaan
a. Perubahan perfusi jaringan otak b.d peningkatan tekanan intrakranial.
Hasil yang diharapkan:
• Pasien tidak menunjukkan peningkatan TIK
• Terorientasi pada tempat, waktu dan respon
• Tidak ada gangguan tingkat kesadaran
Intervensi:
• Kaji status neurologi, tanda-tanda vital (tekanan darah meningkat, suhu naik, pernapasan
sesak, dan nadi) tiap 10-20 menit sesuai indikasi.
R/: Mendeteksi dini perubahan yang terjadi sehingga dapat mengantisipasinya.
• Temukan faktor penyebab utama adanya penurunan perfusi jaringan dan potensial terjadi
peningkatan TIK.
R/: Untuk menentukan asuhan keperawatan yang diberikan.
• Monitor suhu tubuh
R/: Panas tubuh yang tidak bisa diturunkan menunjukkan adanya kerusakan hipotalamus atau
panas karena peningkatan metabolisme tubuh.
• Berikan posisi antitrendelenberg atau dengan meninggikan kepala kurang lebih 30 derajat.
R/: Mencegah terjadinya peningkatan TIK
• Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan obat diuretik seperti manitol, diamox
R/: Membantu mengurangi edema otak
b. Perubahan persepsi sensorik b.d penurunan tingkat kesadaran, kerusakan lobus parientalis,
kerusakan nervus olfaktorius.
Hasil yang diharapkan:
• Kesadaran pasien kembali normal
• Tidak terjadi peningkatan TIK
Intervensi:
• Observasi keadaan umum serta TTV
R/: Mengetahui keadaan umum pasien.
• Orientasikan pasien terhadap orang, tempat dan waktu.
R/: Melatih kemampuan pasien dalam mengenal waktu, tempat dan lingkungan pasien.
• Gunakan berbagai metode untuk menstimulasi indra, misalnya: parfum
R/: Melatih kepekaan nervus olfaktorius.
• Kolaborasi medik untuk membatasi penggunaan sedativa
R/: Sedativa mempengaruhi tingkat kesadaran pasien.
c. Kesulitan mobilitas fisik b.d hemiplegia, kelelahan
Hasil yang diharapkan:
• Pasien dapat mempertahankan mobilitas fisik seperti yang tunjukkan dengan tidak adanya
kontraktur.
• Tidak terjadi peningkatan TIK
Intervensi:
• Lakukan latihan pasif sedini mungkin
R/: Mempertahankan mobilitas sendi dan tonus otot.
• Beri foodboard/penyangga kaki
R/: Mempertahankan posisi ekstremitas
• Pertahankan posisi tangan, lengan, kaki dan tungkai
R/: Posisi ekstremitas yang kurang tepat akan terjadi dislokasi
• Kolaborasi fisioterapi
R/: Tindakan fisioterapi dapat mencegah kontraktur
e. Gangguan pertukaran gas b.d penumpukan sekresi, reflek batuk yang kurang.
Hasil yang diharapkan:
• Tidak ada gangguan jalan napas
• Lendir dapat batukkan/sekret dapat keluar.
• Pernapasan teratur.
Intervensi:
• Kaji pernapasan, suara napas, kecepatan irama, kedalaman, penggunaan obat tambahan.
R/: Suara napas berkurang menunjukkan akumulasi sekret
• Catat karakteristik sputum (warna, jumlag, konsistensi)
R/: Pengeluaran sekret akan sulit jika kental
• Anjurkan minum 2500cc/hari.
R/: Mengencerkan lendir sehingga dapat dibatukkan
• Beri posisi fowler
R/: Memaksimalkam ekspansi paru dan memudahkan bernapas
• Kolaborasi pemberian O2 dan pengobatan/therapi
R/: Memenuhi kebutuhan O2 dan pengeluaran sekret
f. Gangguan gambaran tubuh dan perubahan peran b.d kurang berfugsinya proses berpikir
Hasil yang diharapkan:
• Membuat pernyataan tentang body image
• Mengekspresikan penerimaan body image
• Menggunakan sumber-sumber yang tersedia untuk mendapatkan informasi dan dukungan.
Intervensi:
• Kaji persamaan dan persepsi pasien tentang kurang berfungsinya proses berfikir dan
ketidakmampuan mobilitas fisik.
R/: Menentukan tindakan keperawatan yang tepat.
• Bantu pasien dalam mengekspresikan perasaan perubahan bod image
R/: Meningkatkan proses penerimaan diri.
• Dengarkan ungkapan pasien untuk menolak/menyangkal perubahan body image.
R/: Mengurangi rasa keterasingan terhadap perubahan body image.
• Hargai pemecahan masalah yang konstruktif untuk meningkatkan rasa penerimaan diri.
R/: Memberikan dukungan untuk meningkatkan body image.
g. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurang mampu menelan.
Hasil yang diharapkan:
• Berat badan normal
• Mengkonsumsi semua makanan yang disajikan.
• Terbebas dari malnutrisi.
Intervensi:
• Kaji kemampuan makan dan menelan.
R/: Membantu dalam menentukan jenis makanan dan mencegah terjadinya aspirasi
• Dengarkan suara peristaltik usus
R/: Membantu menentukan respon dari pemberian makanan dan adanya hiperperistaltik
kemungkinan adanya komplikasi ileus.
• Berikan rasa nyaman saat makan, seperti posisi semi fowler/fowler.
R/: Mencegah adanya regurgitasi dan aspirasi
• Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering dan dalam keadaan hangat.
R/: Meningkatkan nafsu makan.
• Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian vitamin.
R/: Vitamin membantu meningkatkan nafsu makan dan mencegah malnutrisi
h. Tidak mampu merawat diri b.d kesulitan dalam mobilitas fisik dan gangguan kognitif.
Hasil yang diharapkan:
• Kebutuhan hygiene, nutrisi, eliminasi pasien terpenuhi.
• Pasien dapat merawat diri sesuai dengan kemampuan pasien.
Intervensi:
• Bantu perawatan diri pasien sesuai dengan kebutuhan pasien.
R/: Kebutuhan pasien akan pemenuhan perawatan diri terpenuhi.
• Kaji kemampuan pasien dalam merawat diri.
R/: Menentukan asuhan keperawatan yang tepat.
• Libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan perawatan diri bila sudah sembuh.
l. Perubahan pola eliminasi urine : inkontinensia atau retensi urine b.d terganggunya saraf
kontrol.
Hasil yang diharapkan:
• Pasien dapat mengontrol pengeluaran urine
Intervensi:
• Kaji pola berkemih
R/: Menentukan tindakan
• Catat intake dan output
R/: Mengetahui balance cairan
• Pasang kateter kondom
R/: Mencegah infeksi
4. Discharge Planning
a. Jelaskan pentingnya istirahat
b. Segera bawa ke rumah sakit bila ada keluhan
c. Minum obat secara teratur sesuai program medik
d. Libatkan keluarga dalam perawatan untuk cegah komplikasi.