Cedera kepala adalah penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak dan dewasa
muda di amerika serikat. Cedera kepala juga menjadi perhatian penting pada populasi
geriatri, dengan tingginya angka kematian dan perawatan di rumah sakit akibat jatuh pada
populasi usia 75 tahun ke atas. Tergantung dari beratnya cedera, cedera kepala dapat
mempengaruhi kualitas hidup pada setiap retang usia. Gangguan dalam berpikir, membuat
keputusan, konsentrasi, memori, pergerakan ataupun sensasi (mendengar dan melihat), dan
menyebabkan gangguan emosional (perubahan kepribadian, impulsif, anxietas, dan depresi)
dan epilepsi. Menurut data dari U.S Centers for Disease Conrol and Prevention didapatkan
2,2 juta orang dengan cedera kepala datang ke Unit Gawat Darurat (UGD), dengan 280,000
diantaranya dirawat inap, dan 50,000 meninggal dunia setiap tahunnya. Angka ini bisa jadi
lebih besar dari yang digambarkan karena tidak semua pasien dengan cedera kepala datang ke
rumah sakit. Meskipun 75% dari cedera kepala dianggap tidak membahayakan nyawa, namun
diperkirakan ada 5,3 juta orang di Amerika Serikat yang hidup dengan resiko cedera kepala.1,3
Data epidemiologi cedera kepala di Indonesia belum tersedia secara nasional, data
epidemiologi didapatkan antara lain dari bagian Saraf Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/ RSCM bahwa pada tahun 2004 didpatkan 367 kasus cedera kepala ringan (CKR),
105 kasus cedera kepala sedang (CKS), dan 25 kaus cedera kepala berat (CKB), sedangkan
pada tahun 2005 didapatkan 422 kasus CKR, 130 kasus CKS, dan 20 kasus CKB (Akbar,
2008). Epidemiologi cedera kepala di Yogyakarta didapatkan dari IGD RS Panti Nugroho
pada bulan Mei sampai dengan Juli 2005, didapatkan 56 kasus CKR, 11 kasus CKS, dan 7
kasus CKB.2
Selama beberapa dekade tindakan pencegahan, seperti pemakaian sabuk keselaatan
dan helm, dibarengi dengan perawatan kritis yang lebih baik telah meningkatkan angka
harapan hidup dari pasien dengan cedera kepala. Saat ini penelitian dikembangkan pada
bagaimana mencegah atau minimal mengurangi terjadinya sequele pasca cedera kepala.
Prinsip penanganan dari cedera kepala adalah early detection and treatment. 1
Sebagai seorang praktisi medis yang akan banyak bekerja di UGD, seorang dokter
umum ditutut untuk memiliki kompetensi dalam mengenali tanda dan gejala cedera kepala,
melakukan dan membaca hasil pemeriksaan penunjang, mendiagnosa kemudian melakukan
tindakan pertolongan primer sebelum dilakukan perawatan lebih lanjut oleh spesialis terkait. 3
Sebelum mendiagnosa dan memberikan terapi untuk cedera kepala, penting pula
untuk mengetahui secara mendasar neuroanatomi dan fisiologi, sehingga mempermudah
dalam melakukan anamnesa, pemeriksaan fisik dan menilai gambaran dari cedera kepala. 3
Cerebrum
Cerebrum adalah komponen terbesar dari otak. Cerebrum terbagi menjadi hemisfer kanan dan
kiri. Setiap hemisfer terbagilagi menjadi 4 lobus : frontal, parietal, temporal, dan occipital.
Bagian medial dari lobus temporal disebut lobus limbik. Corpus callosum adalah bagian otak
yang terdiri dari serabut saraf yang terletak di white-mater (substansia alba).
Bagian paling luar dari cerebrum disebut korteks, berwarna abu-abu sehingga disebut
substansia grisea. Korteks memiliki struktur yang berlipat lipat yang disebut gyrus dengan
setiap celah diantarnya disebut sulcus. Di bawah kortkes terdapat axon, yang merupakan
serabut saraf panjang yang menghubungkan neuron satu dengan lainnya. Axon dilaisi oleh
myelin yang berguna untuk mempercepat konduksi saraf.
Hemisfer kanan dan kiri dipisahkan oleh fissura longitudinal. Hubungan antara hemisfer kiri
dan kanan diperantarai melalui corpus callosum.
Lobus lobus yang ada terbagi lagi menjadi beberapa bagian. Lobus frontalis dibagi menjadi:
superior, media, dn inferior. Lobus temporal terbagi menjadi bagian superior, medi dan
inferior.
Batang Otak
Batang otak terbagi menjadi struktur medulla oblongata, pons dan midbrain (otak tengah).
Bagian ventral yaitu pyramid dari medulla oblongata adalah tempat lewatnya traktus
kortikospinalis yang menghubungkan antara otak dengan medulla spinalis. Lateral dari
pyramid terdapat akar saraf nervus hypoglossal. Dorsolateral terdapat jalur keluar dari nervus
IX dan X. Di bagian dorsal terdapat gracilis tubercle dan cuneate tubercle. Bagian superior
adalah dasar dari ventrikel keempat.
Pons. Bagian superior dari medulla adalah pons, nervus V, VI, VII, dan VIII keluar dekat
dengan struktur ini. Dorsal dari pons membentuk dasar dari ventrikel keempat.
Midbrain atau disebut mesencephalon, adalah bagian paling superior dari batang otak. Pada
bagian ini nervus kranialis III dan IV keluar.
Cerebellum
Cerebellum menempati fossa posterior, dorsal dari pons danmedulla. Berguna sebaagai
kontrol motorik dan pergerakan tubuh untuk presisi dan keseimbangan. Sama halnya dengan
cereberum terdiri dari sulkus dan gyrus. Pada anak anak, bagian ini seringkali merupakan
tempat yang umum untuk tumor seperti juvenile pilocytic astrocytoma dan medulloblastoma.
Pada orang dewasa lokasi yang sering untuk metastase tumor seperti hemangioblastoma.
Meningen
Meningens terdiri dari 3 lapis yang meliputi otak dan medulla spinalis yaitu pia, arachnoid
dan duramater. Bagian paling dalam adalah piamater yang menyelimuti otak, bagian ini kaya
dengan pembuluh darah. Di bagian luar piamater yang melekat dengan kontur otak adalah
arachnoid mater. Arachnoid mater adalah lapisan tipis yang menyerupai jaring jaring.
Diantara piamater dan arachnoid adalah ruang subarachnoid yang berisi cairan serebrospinal
(CSF). Daerah ini juga kaya dengan arteri besar yang memasok darah ke otak. Jika terjadi
robekan pembuluh darah pada daerah ini dapat terjadi perdarahan subarachnoid
(SubArachnoid Hemorhage atau SAH). Sel arachnoid juga dapat tumbuh menjadi menigioma
dan biasanya tumor yang jinak, namun dalam teknik operasinya seringkali sulit karena
banyak pembuluh darah.
Bagian paling luar adalah duramater, yang berada sejajar dengan tulang tengkorak, duramater
terbagi menjadi dua bagian yaitu meningeal dura dan periosteal dura. Tentorium cerebelli
adalah bagian duramater yang memisahkan cerebellum dari cerebrum. Falx cerebri adalah
lipatan yang memisahka hemisfer cerebral kanan dan kiri. Diantara arachnoid dan duramater
adalah ruang subdural. Jika perdarahan terjadi pada bagian bawah dari subdural disebut
subdural hematoma (SDH). Jika perdarahan terjadi di luar dura namun di bawah tulang
tengkorak disebut epidural hematoma.
kemudian ke aquaductus cerebral menuju ke ventrikel keempat. Dari ventrikel keempat ciran
menuju ke ruang subarachnoid. CSF kemudian diabsorbsi ke sistem vena melalui sinus
sagitalis. Hidrosefalus adalah keadaan dimana produksi CSF tidak berimbang dengan
absorbsinya. Dibagi dua menjadi communican dan non-communican. Non communican
berarti CSF tidak dapat berjalan mencapai ruang suabrachnoid, oleh karena adanya obstruksi
pada foramina interventrikuler, aquaductus cerebral, atau pada ventrikel keempat. Pada
hidrosefalus communican, obstruksi terjadi karena adanya perdarahan atau meningitis. Hal ini
menyebabkan penebalan pada arachnoid yang menyebabkan hambatan pada aliran balik CSF.
Fisiologi Otak
Fisiologi otak secara garis besar berdasarkan hukum monro-kellie yaitu hubungan antara
tekanan dan volume antara ICP (Intracranial pressure) volume CSF, darah, dan jaringan otak
adalah tetap. Peningkatan pada salah satu komponen akan menyebabkan pengurangan pada
bagian yang lain (Mokri, 2001). Apabila terjadi perdarahan di otak maka volume darah akan
meningkat dan akan diikuti dengan pengurangan ada massa otak yang terdesak dan
peningkatan tekanan. Cerebral perfusion pressure adalah tekanan yang diperlukan untuk
mencukupi perfusi otak dengan formula CPP = MAP ICP dimana MAP adalah Mean
Arterial Pressure dan ICP adalah Intra Cranial Pressure. Perdarahan pada otak akan
menyebabkan terjadinya proses desak ruang pada jaringan otak yang mengakibatkan herniasi.
(Fishman, 1975)
1. Herniasi subfalcin
CEDERA OTAK
KLASIFIKASI TRAUMA KRANIOSEREBRAL
Trauma kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan 3 sistem utama, yaitu berdasarkan
keparahan trauma yang terjadi, berdasarkan patoanatomik, berdasarkan mekanisme fisik dan
berdasarkan patofisiologis.4 Berdasarkan keparahan trauma yang terjadi, penilaian Glasgow
Comma Scale (GCS) dan durasi penurunan kesadaran digunakan untuk menilai keparahan
cedera yang terjadi. Pasien trauma kepala dengan GCS dibawah nilai 8 dengan durasi
penurunan kesadaran lebih dari 6 jam dikategorikan sebagai trauma kepala berat, karena
tingkat mortalitas dan morbiditas yang tinggi. 4,5 Pasien cedera kepala dengan nilai GCS 9-12
dengan durasi penurunan kesadaran 30 menit sampai dengan 6 jam dikategorikan sebagai
trauma kepala sedang, sedangkan pasien cedera kepala dengan nilai GCS 13-15 dikategorikan
dengan durasi penurunan kesadaran kurang dari 30 menit sebagai trauma kepala ringan.5
Fraktur Tengkorak
Fraktur tengkorak terbagi menjadi linear, depressed, atau kominutif. Jika kulit kepala
terluka di atas fraktur, maka fraktur tersebut dianggap sebagai fraktur terbuka atau retak
tulang (compound fracture). Fraktur tulang merupakan penanda penting dari cedera yang
serius tapi jarang menyebabkan masalah dengan sendirinya. Prognosis tergantung dari derajat
cedera otak daripada tengkorak.6
Sekitar 80% fraktur tengkorak adalah linear dan paling sering mengenai daerah
temporoparietal yang merupakan bagian paling tipis. Penemuan fraktur linear pada tengkorak
seringkali memunculkan kecurigaan akan cedera otak, namun CT scan pada kebanyakan
pasien menunjukkan hasil normal. Fraktur tengkorak linear yang nondisplaced biasanya tidak
membutuhkan operasi dan dapat ditangani secara konvensional. 6
Pada depressed fracture dari tengkorak, satu atau lebih fragmen dari tulang berpindah
ke dalam dan menyebabkan kompresi pada otak. Pada fraktur kominutif terdapat fragmen
tulang hancur multipel, berpindah maupun tidak. Pada 85% kasus, depressed fracture juga
terbuka dan dapat terinfeksi atau membuat cairan serebrospinal bocor. Bahkan jika frakturnya
tertutup, kebanyakan depressed fracture atau fraktur kominutif memerlukan eksplorasi untuk
debridement, elevasi fraktur tengkorak dan koreksi laserasi dural. Pada kebanyakan kasus
terdapat cedera otak. 6
Fraktur basis kranii dapat berupa linear, depressed, atau kominutif dan biasanya tidak
terlihat pada x-ray tengkorak standar dan dapat diidentifikasi paling baik menggunakan CT
bone windows. Perlu dipikirkan adanya cedera nervus kranialis atau robekan dura di sekitar
lokasi fraktur yang dapat menyebabkan meningitis jika bakteri masuk ke dalam ruang
subaraknoid. Jika ada gejala seperti hemotympanun atau perforasi timpani, penurunan
pendengaran, otorrhea, kelemahan nervus fasialis perifer, battle sign, pemeriksaan untuk
mencari adanya fraktur petrosa harus dilakukan. Anosmia, ekimosis periorbital bilateral dan
rhinorrhea cairan serebrospinal menunjukkan adanya kemungkinan fraktur pada os
sphenoidalis, frontalis dan ethmoidalis. 6
maupun MRI, maka dapat disimpulkan bahwa cedera peregangan axonal baik yang
mikroskopik maupun yang makroskopik telah terjadi. 6
Koma yang berlangsung selama 6-24 jam dikategorikan dalam DAI ringan, koma
lebih dari 24 jam termasuk pada DAI sedang-berat, tergantung pada gejala-gejala batang otak
seperti postur dekortikasi dan deserebrasi. 6
Gangguan otonom seperti hipertensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia sering terjadi
pada pasien dengan DAI berat akut dan dapat menyerupai gejala cedera batang orak atau
hipotalamus. Pasien dapat kehilangan kesadaran selama beberapa hari, bulan atau tahun, dan
pada mereka yang keadaannya membaik seringkali terdapat gangguan kognitif dan motorik
yang berat, termasuk spastisitas dan ataksia. DAI merupakan penyebab paling penting dari
disabilitas persisten setelah cedera kepala traumatik. 6
Axonal-shearing injury paling berat pada daerah yang terpapar oleh gaya rotasional
yang paling besar. Robekan jaringan yang makroskopik dapat paling jelas terlihat pada MRI
dan biasanya terjadi pada struktur di midline, termasuk mesensefalon dorsolateral dan pons,
korpus kalosum posterior, parasagittal white matter, daerah periventrikular, dan kapsula
interna. Robekan jaringan mikroskopik terjadi lebih difus yang ditandai dengan bulbus
retraksi axonal sepanjang white matter dari hemisfer serebri. 6
Hilang kesadaran yang memanjang pada DAI biasanya berhubungan dengan lesi pada
tegmentum mesensefalon yang bilateral, asimetris, dan fokal. Hal ini terjadi karena pada
daerah tersebut banyak terdapat neuron-neuron RAS. Pendarahan kecil yang dikenal sebagai
gliding contusions biasanya berkaitan dengan lesi pergangan fokal.7
Gambar 1. Penemuan fokal dari DAI setelah neurotrauma pada MRI. Atas: Gambar T2
menunjukkan lesi pendarahan (gliding contusions) pada mesensefalon kanan bagian
dorsolateral dan bagian splenium dari korpus kalosum. Bawah: Gambar FLAIR menunjukkan
edema pada daerah tersebut.
Peregangan axon diduga menginisiasi rangkaian patologis dinamik yang berkembang
dalam beberapa hari sampai beberapa minggu. Pertama, cedera menyebabkan transeksi fisik
dari beberapa neuron dan kerusakan axon internal pada neuron yang lainnya. Pada kedua
kondisi tersebut, proses dari transportasi axoplasmik tetap berlangsung, dan material keluar
dari badan sel ke lokasi kerusakkan. Material-material tersebut berakumulasi dan dapat
menyebabkan transeksi axonal sekunder, dengan pembentukan retraction ball dalam 12
jam sampai beberapa hari setelah cedera. Saluran pada membran akan terbuka karena tingkat
kalsium yang tinggi. Pada MRI ditemukan atrofi kronis dari traktus white matter yang terlibat
(Wallerian degeneration) dan gliosis. 6
Tatalaksana
Beberapa hari tirah baring mungkin diperlukan untuk restriksi aktivitas,
dikombinasikan dengan pengobatan simptomatik. Jika tidak ada kontraindikasi seperti
instabilitas hemodinamik, pasien harus berdiri dan berjalan dengan asistensi pada hari cedera
terjadi, atau dalam beberapa hari setelah cedera. Pasien yang dimobilisasi segera cenderung
memiliki gejala postkonkusi yang lebih ringan dan menurunkan resiko kronifikasi.7
Hematoma
Hematoma yang terjadi pada trauma kepala diklasifikasikan menurut lokasi
anatomisnya yaitu hematoma subdural, hematoma epidural atau ekstradural, dan hematoma
intraserebral. Semua bentuk hematoma dapat menyebabkan kompresi pada otak yang
akhirnya dapat berujung pada herniasi otak. Herniasi otak sendiri memiliki beberapa tipe,
antara lain adalah herniasi subfalcine yaitu herniasi hemisfer otak ke arah falx cerebri atau
hemisfer lainnya, herniasi transtentorial yaitu herniasi melewati membran tentorium, dan
herniasi tonsilar dimana tonsil serebelum herniasi ke foramen magnum.
Gambar 3. A: Gambaran EDH pada CT. B: CT dengan bone windows menunjukkan dua
fraktur yang bersebelahan; fraktur anterior terletak di groove untuk arteri meningeal medial.
koma saat tiba di rumah skait, dan 50% dari pasien yang sadar kehilangan kesadaran untuk
kedua kalinya setelah lucid interval yang terjadi dalam hitungan menit-jam. 6
terbatas pada gangguan status mental yang sering tersaruh dengan gejala dementia. Pada CT
ditemukan lesi isodens atau hipodens, dengan bentuk kresentik yang mendeformasi
permukaan otak, dan dapat menjadi lebih terang dengan kontras IV. 6
Gambar 7. Kontusio otak (CT scan). Terdapat pendarahan kontusio ekstensif pada lobus
temporal dan pendarahan kecil pada kedua lobus frontalis.
Kontusio pendarahan dapat terjadi pada lokasi fraktur, namun lebih sering terjadi
tanpa fraktur dan piamater dan arachnoid yang intak. Pada kebanyakan pasien, kontusio
biasanya kecil dan multipel. Pada benturan linear, kontusio dapat terjadi pada lokasi benturan
(lesi coup) atau pada sisi yang berlawanan dengan arah benturan (lesi contrecoup). Kontusio
seringkali membesar dalam 12-24 jam, terutama jika terdapat koagulopati. 6
Pada benturan rotasional dapat terjadi robekan pada pembuluh darah kecil-sedang
pada parenkim otak dan menyebabkan hematoma intraserebral. Hematoma adalah
pengumpulan fokal dari gumpalan darah yang menggeser otak, sedangkan kontusio ialah
jaringan otak yang memar dan berdarah. Kebanyakan hematoma parenkim terjadi di white
matter bagian dalam, sedangkan kontusio kebanyakan terjadi pada daerah kortikal. 6
Gambar 10. Defek parenkimal 6 tahun setelah kontusio otak. MRI T2 memperlihatkan defek
kortikal pada pada lobus temporal kiri (a) dan lobus frontalis kiri (b)
Tatalaksana
Tergantung status klinis pasien, observasi di ICU mungkin diperlukan sehingga tandatanda vital dan fungsi neurologis dapat dimonitor, mungkin juga dengan pengawasan
peningkatan TIK secara invasif. Jika ada peningkatan ICP, harus dilakukan penanganan yang
berkaitan seperti elevasi kepala, hiperventilasi (pada beberapa pasien), osmoterapi, atau
kraniektomi untuk mengurangi kompresi. Beberapa studi menunjukkan efek positif jika
pasien didinginkan sampai 34C (hipotermia terapeutik).7
TEKNIK PENCITRAAN
Foto Polos Kepala
Foto polos kepala merupakan prediktor yang kurang baik pada patologi intrakranial
dan tidak dianjurkan untuk mengevaluasi cedera kepala traumatik terutama pada orang
dewasa. Pada pasien resiko rendah, foto polos kepala jarang menunjukkan penemuan yang
signifikan. Pada pasien resiko tinggi, kekurangan penemuan abnormal pada foto polos kepala
tidak mengeksklusi cedera intrakranial mayor.8
koleksi extra-axial yang ringan, lesi-lesi non pendarahan, cedera batang otak, dan SAH jika
menggunakan FLAIR. 8
Gradient-echo Imaging
Gradient-echo Imaging sangat sensitif terhadap inhomogenitas magnetik lokal yang
disebabkan
oleh
adanya
darah.
Hemosiderin,
produk
pemecahan
darah
bersifat
PENEMUAN PENCITRAAN
Cedera Kulit Kepala
Ketika meninjau CT scan untuk trauma kepala , mulai dengan memeriksa struktur
ekstrakranial untuk bukti cedera jaringan lunak dan/ atau benda asing radio-opak . Cedera
kulit kepala adalah indikasi yang dapat diandalkan untuk mengidentifikasi lokasi cedera.
Cedera
kulit
kepala
mencakup
laserasi
jaringan
lunak
subgaleal
hematoma,
cephalohematoma, dan benda asing residu . The subgaleal hematoma adalah manifestasi
paling umum dari cedera kulit kepala. Hal ini dapat dianggap sebagai pembengkakan jaringan
lunak fokus yang terletak di bawah jaringan fibrofatty subkutan dan di atas otot temporalis
dan calvarium. (Gambar 13) 8
Gambar 13. CT aksial menunjukkan hematoma subgaleal pada parietal kiri (panah),
superfisial terhadap otot temporalis (*). Dibawah cedera kulit kepala ditemukan koleksi
hiperdens yang bikonvex yang sesuai dengan hematoma epidural akut (#). Anterior dari
hematoma epidural ialah koleksi hiperdens dengan bentuk sabit yang sesuai dengan
hematoma subdural akut (kepala panah). 8
Fraktur Tengkorak
Potongan tipis (1mm) pada CT menggunakan algoritma untuk tulang merupakan
pilihan untuk mengevaluasi fraktur pada basis kranii, orbita, dan tulang-tulang wajah.
Potongan tipis berguna dalam evaluasi derajat depresi dari fragmen tulang. MDCT pada
rekonstruksi 3D dapat menampilkan fraktur komplex. 8
Gambar 14. Fraktur depresi tengkorak dengan EDH. A: CT aksial bone window
menunjukkan adanya fraktur depresi pada bagian frontalis kanan (kepala panah). Fraktur
tengkorak dapat diasosiasikan dengan hematoma epidural (B, panah) dan/ atau kontusio.
Fraktur Os Temporalis
Pneumosefalus, opasifikasi dari mastoid air cells, dan cairan pada ruang telinga
tengah harus selalu mengarah pada kecurigaan adanya fraktur os temporalin. Potongan tipis
(1-1,5 mm) aksial dan gambaran CT koronal langsung dengan algoritma tulang rekonstruksi
ialah modalitas yang dipilih untuk mengevaluasi fraktur os temporalis. Dengan MDCT,
potongan aksial yang lebih tipis dapat dilakukan dan reformat koronal cukup untuk
interpretasi sehingga gambaran koronal direk yang sulit dilakukan pada pasien yang
terintubasi atau yang memilik gangguan mental, tidak lagi diperlukan. 8
Hematoma Epidural
Pada CT, EDH akut terlihat hiperdens, biconex, extra-axial dan basanya memiliki
fraktur tengkorak. Efek masa sering terlihat. Karena EDH terletak di ruang antara dura da
permukaan tengkorak bagian dalam, EDH jarang melewati sutura kranial karena lapisan
periosteum dura menempel erat pada margin sutural. Namun pada vertex, dimana periosteum
yang membentuk dinding luar dari sinus sagital tidak menempel erat dengan sutur sagital,
EDH dapat melewati midline. (Gambar 15) 8
Penemuan penting yang memprediksi ekspansi cepat dari EDH arterial ialah
keberadaan area atenuasi rendah di antara hematoma yang hiperdens (swirl sign) menandakan
pendarahan
aktif.
(Gambar
16)
Gambar 16. Swirl sign pada EDH menunjukkan tanpakan heterogenus dalam koleksi fluid
biconvex, extra axial. Densitas heterogenus merupakan campuran darah hiperakut (densitas
rendah) dengan akut (densitas tinggi). Ditemukan juga pendarahan subaraknoid frontal kiri.
Hematoma Subdural
SDH biasanya memiliki origin dari vena, dihasilkan oleh laserasi dari bridging
cortical veins pada deselerasi kepala yang tiba-tiba. Kadang, bisa juga karena disrupsi dari
cabang arteri serebral superfisial. Karena lapisan dalam dura dan araknoid tidak menempel
dengan erat, SDH biasanya ditemukan memenuhi seluruh konveksitas dari falx anterior ke
posterior. SDH biasanya ada tanpa DAI. 8
Pada CT, terlihat koleksi hiperdens, homogenus, berbentuk sabit, extra axial.
Kebanyakan supratentorial. Densitas SDH akut awalnya meningkat karena retraksi gumpalan.
SDH akut hiperdens, dengan HU sekitar 50-60, dibandingkan otak normal dengan HU 20-30.
Densitas akan menurun secara progresif seiring terjadinya degradasi protein dalam
hematoma. 8
Pendarahan ulang pada evolusi SDH terlihat sebagai campuran heterogenus dari darah
segar dan hematoma yang terliquidifikasi. (Gambar 17)
Gambar 17. Pendarahan ulang pada SDH berevolusi. Koleksi cairan extra axial yang besar,
holohemiferik, pada hemisfer kanan dan lesi hiperdens (akut) dan isodens dari darah
(hiperakut)
SDH kronik memiliki densitas rendah yang mirip namun sedikit lebih tinggi dari CSF
dan sulit dibedakan dengan SAH prominen dengan atrrfi serebral. Pada pasien ini, kontras IV
dapat membantu untuk melihat kapsul atau vena kortikal yang berpindah. (Gambar 18) 8
Gambar 18. Koleksi cairan extra axial yang besar dan holohemisferik terleltak pada bagian
kanan. Lesi memiliki level hiperdens sedimen. Gradien densitas terjadi sekunder dari
pendarahan yang usianya berda-beda. Terlihat efek masa.
Pada fase subakut yaitu transisi dari akut ke kronik, terjadi fase isodens, biasanya
antara minggu pertama sampai ketiga setelah cedera. Dalam hal ini harus diperhatikan
penemuan indirek seperti midline shift, penipisan sulkus, dll. 8
Pendarahan Subaraknoid
SAH dapat dihasilkan oleh (a) gangguan pembuluh darah pia; (b ekstensi dari
kontusi atau hematoma ke ruang subaraknoid; (c) difusi dari pendarahan intraventrikular.
SAH sering terjadi pada trauma kepala namun jarang menimbulkan efek masa. Pada CT
nampak area linear dengan densitas tinggi yang memenuhi sulkus serebral dan cisterna. SAH
biasanya palign berat pada sisi berlawanan dari impaksi (contrecoup). 8
SAH akut lebih baik menggunakan CT karena pada MRI akan terlihat isointens pada
T1-W dan T2-W, namun FLAIR lebih sensitif dibandign CT terutama jika volume cukup
besar (1-2 mL). SAH subakut lebih baik terlihat pada MRI karena intensitasnya yang tinggi
saat darah isointens terhadap CSF pada CT. SAH kronik pada MRI akan menunjukkan
staining hemosiderin pada ruang subaraknoid, yang terlihat senagai area hipointens pada T1
dan T2. Hemosiderin paling baik terlihat dengan gradient-echoT2-W. 8
Gambar 20. SAH dan IVH akibat ruptur aneurisma. A: Pada CT, SAH akut terlihat sebagai
area densitas tinggi yang linear yang mengikuti morfologi sulkus atau cisterna. Walaupun
SAH umum dijumpai pada cedera kepala traumatik, lokasi-lokasi tertentu (sylvian,
interhemisferik, sisterna basilar) harus dipikirkan kemungkinan aneurisma (B,C,D). CT
angiografi dengan kontras dapat membantu dalam situasi ini. Pada kasus ini, CTA
menunjukkan aneurisma pada arteri serebral medial (D). Aneurisma terlihat lancip
menandakan ruptur baru. IVH terlihat sebagai level fluid dengan densitas tinggi pada kornu
oksipitalis dari ventrikel lateral kiri.
DAI
MRI jelas lebih superior dibanding CT dalam mendeteksi DAI. Meskipun begitu, DAI
masih sering tidak terdeteksi. Metode pencitraan yang lebih baru seperti DWI dan DTI
dengan traktografi 3D menunjukkan potensi dalam memperbaiki deteksi dari cedera white
matter pada DAI akut dan kronik. 8
CT hanya bisa melihat adanya pendarahan fokal yang disebaban oleh axonal shearing
injury. Penemuan umum berupa peteki pada perbatasan gray white matter pada hemisfer
dan korpus kalosum.
Pada MR dapat terlihat fokal nonpendarahan, atrofi nonspesifik, gliosis, hemosiderin
dan edema. 8
Kontusio Kortikal
Pada CT, kontusio non-pendarahan sulit untuk dideteksi pada fase awal sampai edema
mulai muncul.
Gambar 21. Kontusi non-pendarahan pada CT menunjukkan area dengan batas tidak jelas
pada lobus temporal kanan dengan densitas rendah. Densitas rendah disebabkan oleh edema.
Lobus temporal bagian inferior sering terkena cedera karena kedekatannya dengan petrous
ridge.
Kontusio pendarahan lebih mudah terdeteksi dan terlihat sebagai fokal dengan
densitas tinggi diantara gray matter superfisial dans eing dikelilingi oleh area dengan densitas
lebih rendah hasil dari edema. (Gambar 22) Seiring perkembangan kontusio, akan ditemukan
adanya pola salt and pepper dimana lesi hipodens dan hiperdense tercampur dan menjadi
lebih jelas. 8
Gambar 22. Kontusio pada batas fraktur depresi tengkorak. A: CT bone window
menunjukan fraktur tengkorak depresi sebelah kanan (kepala panah). B: Menggunakan brain
window, kontusio pada permukaan frontal kanan terlihat (kepala panah). Terdapat juga SDH
temporal kiri dan pneumosefalus (panah).
Pada MRI, kontusio terlihat sebagai area dengan batas tidak jelas dengan intensitas
yang variabel pada T1 dan T2, tergantung area lesi. Kontusio terbatas pada permukaan dan
sering memiliki morfolofi gyral. Hemosiderin dari kontusio lama menyebabkan menurunnya
intensitas signal pada T2 dan berperan dalam menandakan pendarahan sebelumnya. 8
Hematoma Intraserebral
ICH merupakan penyebab paling sering terjadinya deteriorisasi pada pasien yang
mengalami lucid interval setelah cedera pertama. ICH disebabkan oleh shear-induced
hemorrhage daru ruptur pembuuh darah intraparenkimal yang kecil. Karena pendarahan
terjadi pada area otak yang relatif normal, edema biasanya tidak separah pada kontusio
kortikal. Kebanyakan ICH traumatik terletak pada frontotemporal. Jika terjadi pada basal
ganglia, perlu dipertimbangkan kemungkinan pendarahan akibat hipertensi. 8
REFERENSI
1. National Institute of Neurological Disorders and Stroke. Traumatic Brain Injury.
http://www.ninds.nih.gov/disorders/tbi/tbi_htr.pdf.
2. Akbar. 2008. Distribusi cedera Kepala di Instalasi Gawat Darurat RS Cipto
Mangunkusumo. Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta
3. Jovan, D. 2007. Pengembangan Indikator Klinik Cedera Kepala di Instalasi Gawat
Darurat RS Panti Nugroho Pakem Sleman. Karya Tulis Imiah. Fakultas Kedokteran
Universita Brawijaya Malang.
4. Saatman KE, Duhaime AC, Bullock R, Maas AIR, Valadka M, Manley GT, dkk.
Classification of traumatic brain injury for targeted therapies. J Neurotrauma.
2008;25:719-38.
5. American College of Surgeons Committee on Trauma. Advanced trauma life support.
J Trauma Acute Care Surg. 2013;74:14869.
6. 1. Louis E, Mayer S, Rowland L, Merritt H. Merritt's neurology. Philadelphia: Wolters
Kluwer; 2016.
7. 2. Mumenthaler M, Mattle H, Taub E. Fundamentals of neurology. Stuttgart: Thieme;
2006.
8. 3. Le TGean A. Imaging of Head Trauma. Seminars in Roentgenology.
2006;41(3):177-189.