Anda di halaman 1dari 36

PENDAHULUAN

Cedera kepala adalah penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak dan dewasa
muda di amerika serikat. Cedera kepala juga menjadi perhatian penting pada populasi
geriatri, dengan tingginya angka kematian dan perawatan di rumah sakit akibat jatuh pada
populasi usia 75 tahun ke atas. Tergantung dari beratnya cedera, cedera kepala dapat
mempengaruhi kualitas hidup pada setiap retang usia. Gangguan dalam berpikir, membuat
keputusan, konsentrasi, memori, pergerakan ataupun sensasi (mendengar dan melihat), dan
menyebabkan gangguan emosional (perubahan kepribadian, impulsif, anxietas, dan depresi)
dan epilepsi. Menurut data dari U.S Centers for Disease Conrol and Prevention didapatkan
2,2 juta orang dengan cedera kepala datang ke Unit Gawat Darurat (UGD), dengan 280,000
diantaranya dirawat inap, dan 50,000 meninggal dunia setiap tahunnya. Angka ini bisa jadi
lebih besar dari yang digambarkan karena tidak semua pasien dengan cedera kepala datang ke
rumah sakit. Meskipun 75% dari cedera kepala dianggap tidak membahayakan nyawa, namun
diperkirakan ada 5,3 juta orang di Amerika Serikat yang hidup dengan resiko cedera kepala.1,3
Data epidemiologi cedera kepala di Indonesia belum tersedia secara nasional, data
epidemiologi didapatkan antara lain dari bagian Saraf Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/ RSCM bahwa pada tahun 2004 didpatkan 367 kasus cedera kepala ringan (CKR),
105 kasus cedera kepala sedang (CKS), dan 25 kaus cedera kepala berat (CKB), sedangkan
pada tahun 2005 didapatkan 422 kasus CKR, 130 kasus CKS, dan 20 kasus CKB (Akbar,
2008). Epidemiologi cedera kepala di Yogyakarta didapatkan dari IGD RS Panti Nugroho
pada bulan Mei sampai dengan Juli 2005, didapatkan 56 kasus CKR, 11 kasus CKS, dan 7
kasus CKB.2
Selama beberapa dekade tindakan pencegahan, seperti pemakaian sabuk keselaatan
dan helm, dibarengi dengan perawatan kritis yang lebih baik telah meningkatkan angka
harapan hidup dari pasien dengan cedera kepala. Saat ini penelitian dikembangkan pada
bagaimana mencegah atau minimal mengurangi terjadinya sequele pasca cedera kepala.
Prinsip penanganan dari cedera kepala adalah early detection and treatment. 1
Sebagai seorang praktisi medis yang akan banyak bekerja di UGD, seorang dokter
umum ditutut untuk memiliki kompetensi dalam mengenali tanda dan gejala cedera kepala,
melakukan dan membaca hasil pemeriksaan penunjang, mendiagnosa kemudian melakukan
tindakan pertolongan primer sebelum dilakukan perawatan lebih lanjut oleh spesialis terkait. 3

Sebelum mendiagnosa dan memberikan terapi untuk cedera kepala, penting pula
untuk mengetahui secara mendasar neuroanatomi dan fisiologi, sehingga mempermudah
dalam melakukan anamnesa, pemeriksaan fisik dan menilai gambaran dari cedera kepala. 3

FISIOLOGI DAN ANATOMI KEPALA


Anatomi
Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan medula spinalis. Otak tersusun oleh 3 struktur utama
yaitu: cerebrum, batang otak, dan cerebellum. Di dasar otak terdapat btang otak, yang meluas
dari medula spinalis cervical sampai diencephalon cerebrum. Batang otak dibagi menjadi
medulla, pons dan midbrain. Posterior dari batang otak terdapat cerebellum.

Cerebrum
Cerebrum adalah komponen terbesar dari otak. Cerebrum terbagi menjadi hemisfer kanan dan
kiri. Setiap hemisfer terbagilagi menjadi 4 lobus : frontal, parietal, temporal, dan occipital.
Bagian medial dari lobus temporal disebut lobus limbik. Corpus callosum adalah bagian otak
yang terdiri dari serabut saraf yang terletak di white-mater (substansia alba).
Bagian paling luar dari cerebrum disebut korteks, berwarna abu-abu sehingga disebut
substansia grisea. Korteks memiliki struktur yang berlipat lipat yang disebut gyrus dengan
setiap celah diantarnya disebut sulcus. Di bawah kortkes terdapat axon, yang merupakan
serabut saraf panjang yang menghubungkan neuron satu dengan lainnya. Axon dilaisi oleh
myelin yang berguna untuk mempercepat konduksi saraf.
Hemisfer kanan dan kiri dipisahkan oleh fissura longitudinal. Hubungan antara hemisfer kiri
dan kanan diperantarai melalui corpus callosum.
Lobus lobus yang ada terbagi lagi menjadi beberapa bagian. Lobus frontalis dibagi menjadi:
superior, media, dn inferior. Lobus temporal terbagi menjadi bagian superior, medi dan
inferior.

Batang Otak
Batang otak terbagi menjadi struktur medulla oblongata, pons dan midbrain (otak tengah).
Bagian ventral yaitu pyramid dari medulla oblongata adalah tempat lewatnya traktus
kortikospinalis yang menghubungkan antara otak dengan medulla spinalis. Lateral dari
pyramid terdapat akar saraf nervus hypoglossal. Dorsolateral terdapat jalur keluar dari nervus
IX dan X. Di bagian dorsal terdapat gracilis tubercle dan cuneate tubercle. Bagian superior
adalah dasar dari ventrikel keempat.
Pons. Bagian superior dari medulla adalah pons, nervus V, VI, VII, dan VIII keluar dekat
dengan struktur ini. Dorsal dari pons membentuk dasar dari ventrikel keempat.

Midbrain atau disebut mesencephalon, adalah bagian paling superior dari batang otak. Pada
bagian ini nervus kranialis III dan IV keluar.
Cerebellum
Cerebellum menempati fossa posterior, dorsal dari pons danmedulla. Berguna sebaagai
kontrol motorik dan pergerakan tubuh untuk presisi dan keseimbangan. Sama halnya dengan
cereberum terdiri dari sulkus dan gyrus. Pada anak anak, bagian ini seringkali merupakan
tempat yang umum untuk tumor seperti juvenile pilocytic astrocytoma dan medulloblastoma.
Pada orang dewasa lokasi yang sering untuk metastase tumor seperti hemangioblastoma.

Meningen
Meningens terdiri dari 3 lapis yang meliputi otak dan medulla spinalis yaitu pia, arachnoid
dan duramater. Bagian paling dalam adalah piamater yang menyelimuti otak, bagian ini kaya
dengan pembuluh darah. Di bagian luar piamater yang melekat dengan kontur otak adalah
arachnoid mater. Arachnoid mater adalah lapisan tipis yang menyerupai jaring jaring.
Diantara piamater dan arachnoid adalah ruang subarachnoid yang berisi cairan serebrospinal
(CSF). Daerah ini juga kaya dengan arteri besar yang memasok darah ke otak. Jika terjadi
robekan pembuluh darah pada daerah ini dapat terjadi perdarahan subarachnoid
(SubArachnoid Hemorhage atau SAH). Sel arachnoid juga dapat tumbuh menjadi menigioma
dan biasanya tumor yang jinak, namun dalam teknik operasinya seringkali sulit karena
banyak pembuluh darah.
Bagian paling luar adalah duramater, yang berada sejajar dengan tulang tengkorak, duramater
terbagi menjadi dua bagian yaitu meningeal dura dan periosteal dura. Tentorium cerebelli
adalah bagian duramater yang memisahkan cerebellum dari cerebrum. Falx cerebri adalah
lipatan yang memisahka hemisfer cerebral kanan dan kiri. Diantara arachnoid dan duramater
adalah ruang subdural. Jika perdarahan terjadi pada bagian bawah dari subdural disebut
subdural hematoma (SDH). Jika perdarahan terjadi di luar dura namun di bawah tulang
tengkorak disebut epidural hematoma.

Ventrikel dan CSF


Otak dibanjiri oleh CSF yang secara berkelanjutan diproduksi dan diabsorbsi. CSF diproduksi
oleh pleksus koroideus. CSF diproduksi sekitar 450mL/hari, jumlah CSF sekitar 150mL jadi
dalam sehari CSF diganti sekitar 3 kali dalam 1 hari. Setelah diproduksi CSF berjalan
diantara ventrikel lateral

melewati foramina interventrikular menuju ventrikel ketiga,

kemudian ke aquaductus cerebral menuju ke ventrikel keempat. Dari ventrikel keempat ciran
menuju ke ruang subarachnoid. CSF kemudian diabsorbsi ke sistem vena melalui sinus
sagitalis. Hidrosefalus adalah keadaan dimana produksi CSF tidak berimbang dengan
absorbsinya. Dibagi dua menjadi communican dan non-communican. Non communican
berarti CSF tidak dapat berjalan mencapai ruang suabrachnoid, oleh karena adanya obstruksi
pada foramina interventrikuler, aquaductus cerebral, atau pada ventrikel keempat. Pada
hidrosefalus communican, obstruksi terjadi karena adanya perdarahan atau meningitis. Hal ini
menyebabkan penebalan pada arachnoid yang menyebabkan hambatan pada aliran balik CSF.

Pembuluh Darah Otak


Otak diperdarahi oleh dua arteri besar yaitu arteri carotis interna dan arteri vertebralis. Arteri
carotis interna bercabang menjadi arteri cerebri anterior, arteri cerebri media, ateri
komunikans posterior. Arteri vertebralis pada setiap sisi bergabung membentuk arteri
basilaris. Arteri basilaris, arteri cerebri posterior, arteri komunikans posterior, arteri cerebri
anterior bersama dengan arteri komunikan anterior membentuk sirkulasi kolateral di dasar
otak yang disebut sirkulus willisi. Pembuluh darah ini terletak di dalam ruang subarachnoid
dan lokasi dimana aneurisma cerebral sering terjadi.
Pembuluh darah vena kembali ke jantung melalui vena cerebri profunda dan vena kortikal
superficial. Vena vena ini membentuk sinus yang terletak di dalam dura dan menuju ke
jugularis interna dan brachiocephalic kemudian ke vena cava superior.

Fisiologi Otak
Fisiologi otak secara garis besar berdasarkan hukum monro-kellie yaitu hubungan antara
tekanan dan volume antara ICP (Intracranial pressure) volume CSF, darah, dan jaringan otak
adalah tetap. Peningkatan pada salah satu komponen akan menyebabkan pengurangan pada
bagian yang lain (Mokri, 2001). Apabila terjadi perdarahan di otak maka volume darah akan
meningkat dan akan diikuti dengan pengurangan ada massa otak yang terdesak dan
peningkatan tekanan. Cerebral perfusion pressure adalah tekanan yang diperlukan untuk
mencukupi perfusi otak dengan formula CPP = MAP ICP dimana MAP adalah Mean
Arterial Pressure dan ICP adalah Intra Cranial Pressure. Perdarahan pada otak akan
menyebabkan terjadinya proses desak ruang pada jaringan otak yang mengakibatkan herniasi.
(Fishman, 1975)
1. Herniasi subfalcin

2. Herniasi uncal (transtentorial)


3. Cerebellar
4. Transcalvarial

CEDERA OTAK
KLASIFIKASI TRAUMA KRANIOSEREBRAL
Trauma kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan 3 sistem utama, yaitu berdasarkan
keparahan trauma yang terjadi, berdasarkan patoanatomik, berdasarkan mekanisme fisik dan
berdasarkan patofisiologis.4 Berdasarkan keparahan trauma yang terjadi, penilaian Glasgow
Comma Scale (GCS) dan durasi penurunan kesadaran digunakan untuk menilai keparahan
cedera yang terjadi. Pasien trauma kepala dengan GCS dibawah nilai 8 dengan durasi
penurunan kesadaran lebih dari 6 jam dikategorikan sebagai trauma kepala berat, karena
tingkat mortalitas dan morbiditas yang tinggi. 4,5 Pasien cedera kepala dengan nilai GCS 9-12
dengan durasi penurunan kesadaran 30 menit sampai dengan 6 jam dikategorikan sebagai
trauma kepala sedang, sedangkan pasien cedera kepala dengan nilai GCS 13-15 dikategorikan
dengan durasi penurunan kesadaran kurang dari 30 menit sebagai trauma kepala ringan.5

Tabel 1. Klasifikasi Trauma Kepala Menurut GCS


Klasifikasi trauma kepala berdasarkan patoanatomik menjelaskan lokasi trauma
kepala dan kelainan anatomis yang terjadi. Klasifikasi secara patoanatomik dapat
memberikan lebih dari satu jenis trauma, seperti laserasi dari kulit kepala, kontusio serebri,
fraktur tengkorak, pendarahan epidural dan subdural, pendarahan intraparenkimal,
pendarahan intraventrikular dan diffuse axonal injury.4
Trauma kepala berdasarkan klasifikasi mekanisme fisik dibagi atas trauma kontak
dan non kontak. Trauma kontak terjadi ketika kepala terbentur suatu benda. Trauma kontak
sering kali menyebabkan cedera yang lebih fokal, seperti fraktur tengkorak, kontusio serebri
dan pendarahan epidural. Trauma non-kontak terjadi ketika terjadi pergerakan otak di dalam
tengkorak, dan dapat menyebabkan cedera yang lebih luas, seperti pendarahan subdural, dan
diffuse axonal injury.4

PATOLOGI DAN PATOFISIOLOGI DARI TRAUMA KRANIOSEREBRAL


Secara patofisiologis, trauma kepala dibedakan menjadi trauma kepala primer dan
trauma kepala sekunder. Trauma kepala primer merupakan akibat langsung dari benturan
yang terjadi pada waktu kejadian dan terbagi mejadi trauma primer terbuka dan tertutup,
seperti adanya laserasi pada kulit kepala, fraktur pada tengkorak, gangguan vaskular seperti
pendarahan epidural, subdural, intraparenkimal dan intraventrikular, dan cedera pada
parenkim otak.4
Trauma kepala sekunder merupakan proses patologis yang terjadi setelah benturan
terjadi atau karena penyebab ekstrakranial (sistemik). Sering kali diakibatkan oleh kegagalan
autoregulasi dan terganggunya fungsi homeostasis, seperti hipoksemia, iskemia, hiperemia,
edema serebri, peningkatan tekanan intrakranial, kejang, dan kelainan metabolik.4

Fraktur Tengkorak
Fraktur tengkorak terbagi menjadi linear, depressed, atau kominutif. Jika kulit kepala
terluka di atas fraktur, maka fraktur tersebut dianggap sebagai fraktur terbuka atau retak
tulang (compound fracture). Fraktur tulang merupakan penanda penting dari cedera yang
serius tapi jarang menyebabkan masalah dengan sendirinya. Prognosis tergantung dari derajat
cedera otak daripada tengkorak.6
Sekitar 80% fraktur tengkorak adalah linear dan paling sering mengenai daerah
temporoparietal yang merupakan bagian paling tipis. Penemuan fraktur linear pada tengkorak
seringkali memunculkan kecurigaan akan cedera otak, namun CT scan pada kebanyakan
pasien menunjukkan hasil normal. Fraktur tengkorak linear yang nondisplaced biasanya tidak
membutuhkan operasi dan dapat ditangani secara konvensional. 6
Pada depressed fracture dari tengkorak, satu atau lebih fragmen dari tulang berpindah
ke dalam dan menyebabkan kompresi pada otak. Pada fraktur kominutif terdapat fragmen

tulang hancur multipel, berpindah maupun tidak. Pada 85% kasus, depressed fracture juga
terbuka dan dapat terinfeksi atau membuat cairan serebrospinal bocor. Bahkan jika frakturnya
tertutup, kebanyakan depressed fracture atau fraktur kominutif memerlukan eksplorasi untuk
debridement, elevasi fraktur tengkorak dan koreksi laserasi dural. Pada kebanyakan kasus
terdapat cedera otak. 6
Fraktur basis kranii dapat berupa linear, depressed, atau kominutif dan biasanya tidak
terlihat pada x-ray tengkorak standar dan dapat diidentifikasi paling baik menggunakan CT
bone windows. Perlu dipikirkan adanya cedera nervus kranialis atau robekan dura di sekitar
lokasi fraktur yang dapat menyebabkan meningitis jika bakteri masuk ke dalam ruang
subaraknoid. Jika ada gejala seperti hemotympanun atau perforasi timpani, penurunan
pendengaran, otorrhea, kelemahan nervus fasialis perifer, battle sign, pemeriksaan untuk
mencari adanya fraktur petrosa harus dilakukan. Anosmia, ekimosis periorbital bilateral dan
rhinorrhea cairan serebrospinal menunjukkan adanya kemungkinan fraktur pada os
sphenoidalis, frontalis dan ethmoidalis. 6

Konkusi Serebri dan Axonal-shearing Injury


Penurunan kesadaran pada saat impaksi terjadi karena pergerakkan akselerasideselerasi pada kepala, yang mengakibatkan peregangan pada axon. Jika gangguan kesadaran
terjadi kurang dari 6 jam, maka terminologi konkusi tepat untuk digunakan. Pada konkusi,
pasien dapat hilang kesadaran sepenuhnya maupun terlihat bingung, namun kebanyakan
membaik dalam hitungan detik atau menit, dan beberapa mengalami amnesia retrograde atau
anterograde. 6
Mekanisme terjadinya hilang kesadaran pada konkusi diduga disebabkan oleh
gangguan pada RAS yang sifatnya transien. Hal ini disebabkan oleh gaya rotasional pada
batang otak bagian atas pada saat terjadinya impaksi. Pada eksperimen ditemukan bahwa
gerakan rotasional kepala yang tiba-tiba dan kasar dapat menyebabkan konkusi tanpa adanya
impaksi pada kepala. Kebanyakan pasien dengan konkusi memiliki hasil CT atau MRI yang
normal karena konkusi dihasilkan oleh cedera fisiologis, bukan struktural. Hanya 5% pasien
dengan konkusi dan kepala yang intak yang terbukti mengalami pendarahan intrakranial
(ICH) pada CT. 6
Istilah diffuse axonal injury (DAI) digunakan pada koma traumatik yang berlangsung
lebih dari 6 jam. Pada kasus ini, jika tidak ditemukan adanya penyebab koa yang lain dari CT

maupun MRI, maka dapat disimpulkan bahwa cedera peregangan axonal baik yang
mikroskopik maupun yang makroskopik telah terjadi. 6
Koma yang berlangsung selama 6-24 jam dikategorikan dalam DAI ringan, koma
lebih dari 24 jam termasuk pada DAI sedang-berat, tergantung pada gejala-gejala batang otak
seperti postur dekortikasi dan deserebrasi. 6
Gangguan otonom seperti hipertensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia sering terjadi
pada pasien dengan DAI berat akut dan dapat menyerupai gejala cedera batang orak atau
hipotalamus. Pasien dapat kehilangan kesadaran selama beberapa hari, bulan atau tahun, dan
pada mereka yang keadaannya membaik seringkali terdapat gangguan kognitif dan motorik
yang berat, termasuk spastisitas dan ataksia. DAI merupakan penyebab paling penting dari
disabilitas persisten setelah cedera kepala traumatik. 6
Axonal-shearing injury paling berat pada daerah yang terpapar oleh gaya rotasional
yang paling besar. Robekan jaringan yang makroskopik dapat paling jelas terlihat pada MRI
dan biasanya terjadi pada struktur di midline, termasuk mesensefalon dorsolateral dan pons,
korpus kalosum posterior, parasagittal white matter, daerah periventrikular, dan kapsula
interna. Robekan jaringan mikroskopik terjadi lebih difus yang ditandai dengan bulbus
retraksi axonal sepanjang white matter dari hemisfer serebri. 6
Hilang kesadaran yang memanjang pada DAI biasanya berhubungan dengan lesi pada
tegmentum mesensefalon yang bilateral, asimetris, dan fokal. Hal ini terjadi karena pada
daerah tersebut banyak terdapat neuron-neuron RAS. Pendarahan kecil yang dikenal sebagai
gliding contusions biasanya berkaitan dengan lesi pergangan fokal.7

Gambar 1. Penemuan fokal dari DAI setelah neurotrauma pada MRI. Atas: Gambar T2
menunjukkan lesi pendarahan (gliding contusions) pada mesensefalon kanan bagian
dorsolateral dan bagian splenium dari korpus kalosum. Bawah: Gambar FLAIR menunjukkan
edema pada daerah tersebut.
Peregangan axon diduga menginisiasi rangkaian patologis dinamik yang berkembang
dalam beberapa hari sampai beberapa minggu. Pertama, cedera menyebabkan transeksi fisik
dari beberapa neuron dan kerusakan axon internal pada neuron yang lainnya. Pada kedua
kondisi tersebut, proses dari transportasi axoplasmik tetap berlangsung, dan material keluar
dari badan sel ke lokasi kerusakkan. Material-material tersebut berakumulasi dan dapat
menyebabkan transeksi axonal sekunder, dengan pembentukan retraction ball dalam 12
jam sampai beberapa hari setelah cedera. Saluran pada membran akan terbuka karena tingkat

kalsium yang tinggi. Pada MRI ditemukan atrofi kronis dari traktus white matter yang terlibat
(Wallerian degeneration) dan gliosis. 6
Tatalaksana
Beberapa hari tirah baring mungkin diperlukan untuk restriksi aktivitas,
dikombinasikan dengan pengobatan simptomatik. Jika tidak ada kontraindikasi seperti
instabilitas hemodinamik, pasien harus berdiri dan berjalan dengan asistensi pada hari cedera
terjadi, atau dalam beberapa hari setelah cedera. Pasien yang dimobilisasi segera cenderung
memiliki gejala postkonkusi yang lebih ringan dan menurunkan resiko kronifikasi.7

Hematoma
Hematoma yang terjadi pada trauma kepala diklasifikasikan menurut lokasi
anatomisnya yaitu hematoma subdural, hematoma epidural atau ekstradural, dan hematoma
intraserebral. Semua bentuk hematoma dapat menyebabkan kompresi pada otak yang
akhirnya dapat berujung pada herniasi otak. Herniasi otak sendiri memiliki beberapa tipe,
antara lain adalah herniasi subfalcine yaitu herniasi hemisfer otak ke arah falx cerebri atau
hemisfer lainnya, herniasi transtentorial yaitu herniasi melewati membran tentorium, dan
herniasi tonsilar dimana tonsil serebelum herniasi ke foramen magnum.

Gambar 2. Pola dari pendarahan intrakranial dan herniasi otak

Hematoma Epidural (EDH)


EDH merupakan komplikasi yang jarang pada cedera kepala dengan persentase
kejadian kurang dari 1% dari semua kasus namun ditemukan pada 5%-15% pada serial
autopsi, menunjukkan adanya potensi serius dari komplikasi ini. 6
Pendarahan pada ruang epidural disebabkan oleh robekan pada dinding arteri
meningeal, biasanya arteri meningeal media, namun pada 15% kasus pendarahan muncul dari
sinus dural. Dura menjadi terpisah dari tengkorak oleh darah yang terekstravasasi, dan ukuran
gumpalan darah terus membesar sampai robekan pada pembuluh darah terkompresi atau
teroklusi oleh hematoma. 6
Kebanyakan hematoma epidural terjadi pada permukaan cembung fosa kranii
medialis, namun terkadang dapat juga terjadi pada fosa anterior, kemungkinan disebabkan
oleh robeknya arteri mengingeal anterior. EDH pada fosa posterior dapat terjadi jika herovili
torkula robek. Pada kebanyakan kasus, EDH terjadi ipsilateral dengan lokasi benturan. 6
EDH banyak terjadi pada dewasa muda dan jarang ditemukan pada orang tua karena
dura menempel erat seiring bertambahnya usia. Pada sepertiga pasien, ditemukan adanya
kehilangan kesadaran yang segera, diikuti dengan lucid interval yang kemudian menjadi
koma, dengan hemiplegia seiring ekspansi dari EDH. Pupil ipsilateral kehilangan respon
terhadap cahaya karena nervus kranialis tiga meregang saat mesensefalon tergeser ke
kontralateral. Kemudian pupil terfiksasi dan dilatasi saat nervus kranialis tiga terkompresi
oleh gyrus hipokampus saat terjadi herniasi. 6
Seperti pada hematoma subdural akut, tanda-tanda lokalisasi palsu dapat terjadi. ?
Adanya tanda-tanda serebelar, kaku kuduk harus menimbulkan kecurigaan akan adanya
hematoma pada fosa posterior. 6
Pada CT, ditemukan pola cembung yang menonjol. Progresi menjadi herniasi dan
kematian terjadi dengan cepat karena yang mengalami pendarahan adalah arteri. Tingkat
mortalitas mencapai 100% jika tidak ditangani dan 5%-30% dengan penanganan medis.
Lebih sedikit interval antara cedera dan intervensi surgikal, semakin baik prognosisnya. 6

Gambar 3. A: Gambaran EDH pada CT. B: CT dengan bone windows menunjukkan dua
fraktur yang bersebelahan; fraktur anterior terletak di groove untuk arteri meningeal medial.

Hematoma Subdural (SDH)


SDH biasanya berasal dari robekan vena, dengan darah mengisi ruang antara
membran dura dan araknoid. Pada kebanyakan kasus, pendarahan disebabkan oleh
pergerakkan otak dalam tengkorak yang mengakibatkan tertariknya dan robeknya bridging
veins yang berjalan dari otak ke sinus dural. 6
Kebanyakan SDH bertempat di permukaan cembung pada serebri bagian lateral,
namun dapat juga pada bagian medial, antara tentorium dan lobus oksipital, antara lobus
temporal dan basis kranii, atau di fosa posterior. CT biasanya menunjukkan gumpalan
kresentik dengan densitas tinggi. 6
Orang tua atau alkoholik dengan atrofi serebri cenderung rentan terhadap SDH dan
dapat mengalami SDH pada impaksi ringan. Koagulopati, termasuk pemakaian antikoagulan
merupakan faktor risiko pada SDH dan berkaitan dengan peningkatan mortalitas. 6
Hematoma subdural akut merupakan SDH yang simptomatik dalam 72 jam pasca
cedera, namun kebanyakan mengalami gejala segera setelah impaksi. SDH biasanya terjadi
pada trauma akibat jatuh dan kekerasan, dan jarang pada trauma akibat kendaraan bermotor.
50% pasien dengah SDH kehilangan kesadaran segera setelah cedera, 25% dalam keadaan

koma saat tiba di rumah skait, dan 50% dari pasien yang sadar kehilangan kesadaran untuk
kedua kalinya setelah lucid interval yang terjadi dalam hitungan menit-jam. 6

Gambar 4. Hematoma subdural akut. CT aksial non-kontras mendemonstrasikan koleksi


hiperdens, berbentuk sabit, ekstra-aksial menunjukkan adanya efek masa (penipisan sulcus
dan ventrikel) dan midline shift dari kiri ke kanan.
Defisit neurologis fokal yang paling sering ditemukan ialah hemiparesis dan
abnormalitas pupil. Namun, sering juga ditemukan adanya tanda lokalisasi palsu yang
disebabkan oleh herniasi unkal yang menyebabkan kompresi pedunkulus serebri kontralateral
atau nervus kranialis tiga terhadap batas tentorial (Kernohan notch). 6
SDH kronik adalah SDH yang menjadi simptomatik setelah 21 hari dan lebih sering
terjadi pada pasien diatas 50 tahun. Pada 25%-50% kasus, tidak ditemukan adanya riwayat
trauma kepala. Faktor resiko ialah atrofi serebri, alkoholisme, gangguan pendarahan, drainase
berlebih dari shunt ventriculoperitoneal. SDH kronik banyak disebabkan oleh trauma trivial
dan gejala bisa tidak terlihat atau minimal karena otak dapat mengakomodasi akumulasi
gradual dari efek masa. Setelah 1 minggu, fibroblas dari permukaan dalam dura membentuk
membran luar yang tebal; setelah 2 minggu, membran dalam yang tipis mulai terbentuk
menghasilkan enkapsulasi dari gumpalan darah yang kemudian menjadi liquid hygroma.
Pembesaran hematoma dapat terjadi karena pendarahan rekuren (acute-on-chronic SDH) atau
karena efek osmotik yang terjadi karena konten protein yang tinggi dari cairan. Gejala bisa

terbatas pada gangguan status mental yang sering tersaruh dengan gejala dementia. Pada CT
ditemukan lesi isodens atau hipodens, dengan bentuk kresentik yang mendeformasi
permukaan otak, dan dapat menjadi lebih terang dengan kontras IV. 6

Gambar 5. Hematoma subdural kronik bilateral. A: CT aksial non-kontras menunjukkan


koleksi ekstra-aksial isodens bilateral, lebih besar di sebelah kiri. B: Penemuan tersebut lebih
jelas pada scan paska-kontras, dimana membran menjadi lebih terang, khas pada fase
subakut.
SDH akut dan kronik simptomatik dengan efek massa yang signifikan harus segera
dievakuasi dan biasanya memerlkan kraniotomi large window. SDH kronik yang
terliquifikasi harus dievakuasi dengan drainase melalui serangkaian burr holes. 6

Pendarahan Subaraknoid (SAH)


Ekstravasasi ke dalam ruang araknoid harus diantisipasi pada pasien dengan trauma
kepala. Seringkali, SAH terseteksi hanya dengan pemeriksaan CSF dan tidak memiliki
pengaruh klinis yang penting. Pada trauma yang lebih berat, pembuluh darah besar yang
melintasi ruang subaraknoid dapat robek dan menyebabkan SAH yang fokal ataupun difus
yang dapat dilihat melalui CT. Kebanyakan SAH traumatik terdistribusi pada permukaan
cembung sedangkan ruptur aneurisma spontan menyebabkan SAH pada basal cisterna. SAH
traumatik jarang diikuti dengan hidrosefalus, iskemia karena vasospasme, yang merupakan
komplikasi dari SAH aneurismal.6

Kontusio Parenkim dan Pendarahan Intraserebral (ICH)


Kontusio serebri adalah pendarahan parenkim fokal yang dihasilkan dari memar dan
tergoresnya otak yang berjalan sepanjang permukaan tengkorak bagian dalam. Pada lobus
frontalis dan temporalis, jaringan otak bersinggungan dengan tonjolan yang tidak beraturan
pada basis kranii sehingga membuatnya menjadi lokasi paling sering terjadinya kontusio.
Robekan linear dari meningen atau jaringan serebri yang terjadi karena potongan dari tepi
tajam pada fraktur depresi, disebut dengan laserasi. 6

Gambar 6. Kontusio traumatik. CT aksial non-kontras mendemonstrasikan area kontusi


dengan pendarahan-pendarahan kecil yang melibatkan kutub bawah dari lobus frontalis dan
temporalis kiri.

Gambar 7. Kontusio otak (CT scan). Terdapat pendarahan kontusio ekstensif pada lobus
temporal dan pendarahan kecil pada kedua lobus frontalis.
Kontusio pendarahan dapat terjadi pada lokasi fraktur, namun lebih sering terjadi
tanpa fraktur dan piamater dan arachnoid yang intak. Pada kebanyakan pasien, kontusio
biasanya kecil dan multipel. Pada benturan linear, kontusio dapat terjadi pada lokasi benturan
(lesi coup) atau pada sisi yang berlawanan dengan arah benturan (lesi contrecoup). Kontusio
seringkali membesar dalam 12-24 jam, terutama jika terdapat koagulopati. 6
Pada benturan rotasional dapat terjadi robekan pada pembuluh darah kecil-sedang
pada parenkim otak dan menyebabkan hematoma intraserebral. Hematoma adalah
pengumpulan fokal dari gumpalan darah yang menggeser otak, sedangkan kontusio ialah
jaringan otak yang memar dan berdarah. Kebanyakan hematoma parenkim terjadi di white
matter bagian dalam, sedangkan kontusio kebanyakan terjadi pada daerah kortikal. 6

Gambar 8. Spesimen patologis mendemonstasikan kontusio traumatik pada lobus


temporalis.
Pada kasus-kasus kontusio dan pendarahan parenkim, periode hilang kesadaran dan
amnesia retro- maupun antero-grade lebih panjang daripada yang terjadi pada konkusi. Pada
fase akut, dapat ditemukan defisit neurologis yang dapat menetap. Sering terjadi juga
anosmia residual.7
Kontusio yang besar dan pendarahan yang eksteksif dengan edema otak sekunder
dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial yang cepat dan signifikan, dan dapat
berujung pada kompresi otak dan herniasi dari mesensefalon dan diensefalon melalui
tentorium, dan/atau medulla melalui formamen magnum. Gejala klinis dari herniasi batang
otak ialah gangguan kesadaran progresif sampai koma, midriasis yang awalnya hanya
ipsilateral terhadap lesi, spasme flexor kemudian ekstensor, dan hilangnya fungsi regulasi
otonom (pernapasan, suhu, aktivitas jantung, tonus vaskular), dilanjutkan dengan pupil yang
terfiksasi dan midriasis, dan akhirnya kematian.7

Gambar 9. Pendarahan intraserebral pada lobus frontalis. CT aksial non-kontras


menunjukkan densitas pada lobus frontalis kiri (pendarahan), lusensi yang mengelilingi
(edema), dan efek masa (penipisan sulkus dan ventrikel)
Jika tidak ada DAI, bengkak otak, atau pendarahan sekunder, perbaikan dari satu atau
lebih kontusio bisa tercapai dengan baik. Kontusio biasanya ditangani secara konservatif
kecuali jika ada tanda-tanda efek masa. Hematoma parenkim besar dengan efek masa
memerlukan evakuasi surgikal.6
Jika pasien bertahan hidup, pada MRI dapat ditemukan cedera permanen pada
parenkim otak.

Gambar 10. Defek parenkimal 6 tahun setelah kontusio otak. MRI T2 memperlihatkan defek
kortikal pada pada lobus temporal kiri (a) dan lobus frontalis kiri (b)
Tatalaksana
Tergantung status klinis pasien, observasi di ICU mungkin diperlukan sehingga tandatanda vital dan fungsi neurologis dapat dimonitor, mungkin juga dengan pengawasan
peningkatan TIK secara invasif. Jika ada peningkatan ICP, harus dilakukan penanganan yang
berkaitan seperti elevasi kepala, hiperventilasi (pada beberapa pasien), osmoterapi, atau
kraniektomi untuk mengurangi kompresi. Beberapa studi menunjukkan efek positif jika
pasien didinginkan sampai 34C (hipotermia terapeutik).7

Bengkak Otak dan Edema Serebri


Bengkak otak setelah cedera kepala merupakan fenomena yang belum terlalu
dimengerti dan diduga disebabkan oleh beberapa mekanisme. Bengkak otak post traumatik
dapat disebabkan oleh edema serebri (peningkatan isi cairan otak ekstravaskular),
peningkatan volume darah serebri (CBV) yang disebabkan oleh vasodilatasi abnormal, atau
keduanya. Edema serebri dapat diklasifikasikan menjadi sitotoksik, vasogenik, interstitial.
Bengkak dapat difus atau fokal.4
Bengkak otak dapat mengikuti segala tipe cedera kepala, namun derajatnya tidak
selalu mengikuti tingkat keparahan cedera kepala. Pada beberapa kasus, khususnya pada
orang muda, bengkak otak difus berat yang fatal dapat terjadi dalam beberapa menit sampai
beberapa jam setelah konkusi minor. Pelebaran abnormal dari pembuluh darah di otak

menyebabkan peningkatan CBV, hiperperfusi, dan peningkatan permeablitas vaskular, yang


bisa menyebabkan leakage plasma sekunder dan edema serebri vasogenik.4
Studi tentang aliran darah serebri (CBF) mengindikasikan bahwa setelah periode
pertama dari hipoperfusi dalam 24 jam, hiperemia terjadi pada hampir semua pasien 1-3 hari
setelah cedera kepala berat, kadang diikuti dengan vasospasme arteri antara hari ke-4 dan ke7. Bengkak otak berat diduga berhubungan dengan disfungsi endotel lokal dan mikrosirkulasi
atau dari kerusakan pusat regulasi vasomotor serebri di batang otak.4

Tabel 2. Perbandingan gejala klinis dan outcome pada cedera otak.

TEKNIK PENCITRAAN
Foto Polos Kepala
Foto polos kepala merupakan prediktor yang kurang baik pada patologi intrakranial
dan tidak dianjurkan untuk mengevaluasi cedera kepala traumatik terutama pada orang
dewasa. Pada pasien resiko rendah, foto polos kepala jarang menunjukkan penemuan yang
signifikan. Pada pasien resiko tinggi, kekurangan penemuan abnormal pada foto polos kepala
tidak mengeksklusi cedera intrakranial mayor.8

Computed Tomography (CT)


Indikasi CT scan ialah trauma akut, terutama trauma kepala berat dengan GCS < 8,
defisit neurologis persisten, amnesia antegrade, respon pupil asimetris yang tidak dapat
dijelaskan, kehilangan kesadaran lebih dari 5 menit, fraktur depresi tengkorak, cedera
terbuka, bleeding diathesis, atau terapi antikoagulan. Tujuan dari pencitraan ialah untuk
mengidentifikasi cedera yang dapat ditangani untuk mencegah kerusakan sekunder. Pada
kasus akut, CT adalah pilihan utama karena cepat, tersedia secara luar dan akurat dalam
mendeteksi fraktur tengkorak dan pendarahan intrakranial. 8
CT lebih superior dibandingkan MRI dalam mengidentifikasi fraktur tengkorak dan
badan asing yang radio-opak. Dengan CT scan yang modern, potongan 3,75- atau 5-mm dari
basis kranii samapai ke vertex dapat dilakukan kurang dari 10 menit. Potongan lebih tipis (1atau 2,5-mm) digunakan untuk mengevaluasi orbita, struktur maxillofasial dan basis
tengkorak. Dengan kemajuan pada MDCT (multidetector CT), potongan cross-sectional yang
tipis dapat dilakukan dan menyediakan rekonstruksi tiga dimensional dengan kualitas tinggi. 8
Gambaran CT harus dilihat menggunakan banyak windows dan levels. Lebar window
yang sempit (W: 80, L: 40) digunakan untuk mengevaluasi otak. Lebar window yang sedikit
lebih lebar (W: 150, L: 500) digunakan untuk mengevaluasi struktur osseous. (Gambar 11
dan 12) 8

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI direkomendasikan untuk pasien dengan cederan kepala traumatik akut jika
defisit neurologis tidak dapat dijelaskan oleh CT. MRI juga merupakan modalitas piligan
untuk cedera subakut dan kronik. MRI biasanya menyediakan hasil yang sama dengan CT
pada deteksi hematoma epidural dan subdural akut. Namun, MRI tetap lebih sensitif terhadap

koleksi extra-axial yang ringan, lesi-lesi non pendarahan, cedera batang otak, dan SAH jika
menggunakan FLAIR. 8

Fluid-attenuated Inversion Recovery (FLAIR)


FLAIR memperbaiki gambaran abnormalitas gray matter yang tidak terlihat
(contohnya seperti pada kontusio), juga abnormalitas white matter, cedera shearing, dan SAH
dengan cara mengeliminasi (nulling) signal CSF yang terang. Gambaran FLAIR sagital dan
koronal dapat berguna dalam mendeteksi DAI yang melibatkan korpus kalosum dan fornix,
dua area yang sulit untuk dievaluasi menggunakan MRI T2-W. 8

Gradient-echo Imaging
Gradient-echo Imaging sangat sensitif terhadap inhomogenitas magnetik lokal yang
disebabkan

oleh

adanya

darah.

Hemosiderin,

produk

pemecahan

darah

bersifat

ferromagnetik. Keberadaan hemosiderin dapat mempengaruhi suseptibilitas magnetik lokal


dari jaringan, menyebabkan kehilangan signal pada gambaran T2-W gradient-echo. 8
Karena hemosiderin dapat menetap untuk waktu yang tidak diketahui, deteksi
hemosiderin pada gradient-echo T2-W memungkinkan evaluasi cedera di tempat yang jauh.
Namun, karena inhomogenitas yang menetap di dekat sinus paranasal dan mastoid air cells,
gambaran gradient-echo terbatas dalam evaluasi kontusi kortikal dari lobus frontotemporal
inferior. 8

Diffusion-weighted Imaging (DWI)


DWI mengukur pergerakan acak dari molekul air di jaringan otak, memperbaiki
evaluasi dari cedera kepala traumatik. Melalui sensivitasnya terhadap fokus pafa acute
shearing injury yang tinggi, DWI memperbaiki deteksi DAI terutama dalam 48 jam setelah
cedera. Apparent diffusion coefficient (ADC) yang mengukur magnitude dari rata-rata difusi
air pada ruang tiga dimensi, seringkali menurun pada DAI akut. Anisotropi fraksional (FA)
yang mengukur pergerakan molekul air yang dipilih sepanjang axon white matter seringkali
berkurang pada DAI kronik. 8

PENEMUAN PENCITRAAN
Cedera Kulit Kepala
Ketika meninjau CT scan untuk trauma kepala , mulai dengan memeriksa struktur
ekstrakranial untuk bukti cedera jaringan lunak dan/ atau benda asing radio-opak . Cedera
kulit kepala adalah indikasi yang dapat diandalkan untuk mengidentifikasi lokasi cedera.
Cedera

kulit

kepala

mencakup

laserasi

jaringan

lunak

subgaleal

hematoma,

cephalohematoma, dan benda asing residu . The subgaleal hematoma adalah manifestasi
paling umum dari cedera kulit kepala. Hal ini dapat dianggap sebagai pembengkakan jaringan
lunak fokus yang terletak di bawah jaringan fibrofatty subkutan dan di atas otot temporalis
dan calvarium. (Gambar 13) 8

Gambar 13. CT aksial menunjukkan hematoma subgaleal pada parietal kiri (panah),
superfisial terhadap otot temporalis (*). Dibawah cedera kulit kepala ditemukan koleksi
hiperdens yang bikonvex yang sesuai dengan hematoma epidural akut (#). Anterior dari
hematoma epidural ialah koleksi hiperdens dengan bentuk sabit yang sesuai dengan
hematoma subdural akut (kepala panah). 8

Fraktur Tengkorak
Potongan tipis (1mm) pada CT menggunakan algoritma untuk tulang merupakan
pilihan untuk mengevaluasi fraktur pada basis kranii, orbita, dan tulang-tulang wajah.
Potongan tipis berguna dalam evaluasi derajat depresi dari fragmen tulang. MDCT pada
rekonstruksi 3D dapat menampilkan fraktur komplex. 8

Gambar 14. Fraktur depresi tengkorak dengan EDH. A: CT aksial bone window
menunjukkan adanya fraktur depresi pada bagian frontalis kanan (kepala panah). Fraktur
tengkorak dapat diasosiasikan dengan hematoma epidural (B, panah) dan/ atau kontusio.

Fraktur Os Temporalis
Pneumosefalus, opasifikasi dari mastoid air cells, dan cairan pada ruang telinga
tengah harus selalu mengarah pada kecurigaan adanya fraktur os temporalin. Potongan tipis
(1-1,5 mm) aksial dan gambaran CT koronal langsung dengan algoritma tulang rekonstruksi
ialah modalitas yang dipilih untuk mengevaluasi fraktur os temporalis. Dengan MDCT,
potongan aksial yang lebih tipis dapat dilakukan dan reformat koronal cukup untuk
interpretasi sehingga gambaran koronal direk yang sulit dilakukan pada pasien yang
terintubasi atau yang memilik gangguan mental, tidak lagi diperlukan. 8

Hematoma Epidural
Pada CT, EDH akut terlihat hiperdens, biconex, extra-axial dan basanya memiliki
fraktur tengkorak. Efek masa sering terlihat. Karena EDH terletak di ruang antara dura da
permukaan tengkorak bagian dalam, EDH jarang melewati sutura kranial karena lapisan
periosteum dura menempel erat pada margin sutural. Namun pada vertex, dimana periosteum
yang membentuk dinding luar dari sinus sagital tidak menempel erat dengan sutur sagital,
EDH dapat melewati midline. (Gambar 15) 8
Penemuan penting yang memprediksi ekspansi cepat dari EDH arterial ialah
keberadaan area atenuasi rendah di antara hematoma yang hiperdens (swirl sign) menandakan
pendarahan

Gambar 15. SDH dan EDH.

aktif.

(Gambar

16)

Gambar 16. Swirl sign pada EDH menunjukkan tanpakan heterogenus dalam koleksi fluid
biconvex, extra axial. Densitas heterogenus merupakan campuran darah hiperakut (densitas
rendah) dengan akut (densitas tinggi). Ditemukan juga pendarahan subaraknoid frontal kiri.

Hematoma Subdural
SDH biasanya memiliki origin dari vena, dihasilkan oleh laserasi dari bridging
cortical veins pada deselerasi kepala yang tiba-tiba. Kadang, bisa juga karena disrupsi dari
cabang arteri serebral superfisial. Karena lapisan dalam dura dan araknoid tidak menempel
dengan erat, SDH biasanya ditemukan memenuhi seluruh konveksitas dari falx anterior ke
posterior. SDH biasanya ada tanpa DAI. 8
Pada CT, terlihat koleksi hiperdens, homogenus, berbentuk sabit, extra axial.
Kebanyakan supratentorial. Densitas SDH akut awalnya meningkat karena retraksi gumpalan.
SDH akut hiperdens, dengan HU sekitar 50-60, dibandingkan otak normal dengan HU 20-30.
Densitas akan menurun secara progresif seiring terjadinya degradasi protein dalam
hematoma. 8

Pendarahan ulang pada evolusi SDH terlihat sebagai campuran heterogenus dari darah
segar dan hematoma yang terliquidifikasi. (Gambar 17)

Gambar 17. Pendarahan ulang pada SDH berevolusi. Koleksi cairan extra axial yang besar,
holohemiferik, pada hemisfer kanan dan lesi hiperdens (akut) dan isodens dari darah
(hiperakut)
SDH kronik memiliki densitas rendah yang mirip namun sedikit lebih tinggi dari CSF
dan sulit dibedakan dengan SAH prominen dengan atrrfi serebral. Pada pasien ini, kontras IV
dapat membantu untuk melihat kapsul atau vena kortikal yang berpindah. (Gambar 18) 8

Gambar 18. Koleksi cairan extra axial yang besar dan holohemisferik terleltak pada bagian
kanan. Lesi memiliki level hiperdens sedimen. Gradien densitas terjadi sekunder dari
pendarahan yang usianya berda-beda. Terlihat efek masa.
Pada fase subakut yaitu transisi dari akut ke kronik, terjadi fase isodens, biasanya
antara minggu pertama sampai ketiga setelah cedera. Dalam hal ini harus diperhatikan
penemuan indirek seperti midline shift, penipisan sulkus, dll. 8

Gambar 19. Fase subakut isoodens dari SDH.


SDH akut terlihat isointens pada T1-W dan hipointens pada T2-W. Pada fase subakut,
SDH dapat terlihat isodens atau hipodens pada CT, dan hiperintens pada T2-W dibanding
jaringan otak normal. Pada T1-W, FLAIR dan T2-W, SDH sedikit lebi intens dibanding CSF. 8

Pendarahan Subaraknoid
SAH dapat dihasilkan oleh (a) gangguan pembuluh darah pia; (b ekstensi dari
kontusi atau hematoma ke ruang subaraknoid; (c) difusi dari pendarahan intraventrikular.
SAH sering terjadi pada trauma kepala namun jarang menimbulkan efek masa. Pada CT
nampak area linear dengan densitas tinggi yang memenuhi sulkus serebral dan cisterna. SAH
biasanya palign berat pada sisi berlawanan dari impaksi (contrecoup). 8
SAH akut lebih baik menggunakan CT karena pada MRI akan terlihat isointens pada
T1-W dan T2-W, namun FLAIR lebih sensitif dibandign CT terutama jika volume cukup
besar (1-2 mL). SAH subakut lebih baik terlihat pada MRI karena intensitasnya yang tinggi
saat darah isointens terhadap CSF pada CT. SAH kronik pada MRI akan menunjukkan

staining hemosiderin pada ruang subaraknoid, yang terlihat senagai area hipointens pada T1
dan T2. Hemosiderin paling baik terlihat dengan gradient-echoT2-W. 8

Gambar 20. SAH dan IVH akibat ruptur aneurisma. A: Pada CT, SAH akut terlihat sebagai
area densitas tinggi yang linear yang mengikuti morfologi sulkus atau cisterna. Walaupun
SAH umum dijumpai pada cedera kepala traumatik, lokasi-lokasi tertentu (sylvian,
interhemisferik, sisterna basilar) harus dipikirkan kemungkinan aneurisma (B,C,D). CT
angiografi dengan kontras dapat membantu dalam situasi ini. Pada kasus ini, CTA
menunjukkan aneurisma pada arteri serebral medial (D). Aneurisma terlihat lancip
menandakan ruptur baru. IVH terlihat sebagai level fluid dengan densitas tinggi pada kornu
oksipitalis dari ventrikel lateral kiri.

DAI
MRI jelas lebih superior dibanding CT dalam mendeteksi DAI. Meskipun begitu, DAI
masih sering tidak terdeteksi. Metode pencitraan yang lebih baru seperti DWI dan DTI
dengan traktografi 3D menunjukkan potensi dalam memperbaiki deteksi dari cedera white
matter pada DAI akut dan kronik. 8

CT hanya bisa melihat adanya pendarahan fokal yang disebaban oleh axonal shearing
injury. Penemuan umum berupa peteki pada perbatasan gray white matter pada hemisfer
dan korpus kalosum.
Pada MR dapat terlihat fokal nonpendarahan, atrofi nonspesifik, gliosis, hemosiderin
dan edema. 8

Kontusio Kortikal
Pada CT, kontusio non-pendarahan sulit untuk dideteksi pada fase awal sampai edema
mulai muncul.

Gambar 21. Kontusi non-pendarahan pada CT menunjukkan area dengan batas tidak jelas
pada lobus temporal kanan dengan densitas rendah. Densitas rendah disebabkan oleh edema.
Lobus temporal bagian inferior sering terkena cedera karena kedekatannya dengan petrous
ridge.
Kontusio pendarahan lebih mudah terdeteksi dan terlihat sebagai fokal dengan
densitas tinggi diantara gray matter superfisial dans eing dikelilingi oleh area dengan densitas
lebih rendah hasil dari edema. (Gambar 22) Seiring perkembangan kontusio, akan ditemukan

adanya pola salt and pepper dimana lesi hipodens dan hiperdense tercampur dan menjadi
lebih jelas. 8

Gambar 22. Kontusio pada batas fraktur depresi tengkorak. A: CT bone window
menunjukan fraktur tengkorak depresi sebelah kanan (kepala panah). B: Menggunakan brain
window, kontusio pada permukaan frontal kanan terlihat (kepala panah). Terdapat juga SDH
temporal kiri dan pneumosefalus (panah).
Pada MRI, kontusio terlihat sebagai area dengan batas tidak jelas dengan intensitas
yang variabel pada T1 dan T2, tergantung area lesi. Kontusio terbatas pada permukaan dan
sering memiliki morfolofi gyral. Hemosiderin dari kontusio lama menyebabkan menurunnya
intensitas signal pada T2 dan berperan dalam menandakan pendarahan sebelumnya. 8

Hematoma Intraserebral
ICH merupakan penyebab paling sering terjadinya deteriorisasi pada pasien yang
mengalami lucid interval setelah cedera pertama. ICH disebabkan oleh shear-induced
hemorrhage daru ruptur pembuuh darah intraparenkimal yang kecil. Karena pendarahan
terjadi pada area otak yang relatif normal, edema biasanya tidak separah pada kontusio
kortikal. Kebanyakan ICH traumatik terletak pada frontotemporal. Jika terjadi pada basal
ganglia, perlu dipertimbangkan kemungkinan pendarahan akibat hipertensi. 8

REFERENSI
1. National Institute of Neurological Disorders and Stroke. Traumatic Brain Injury.
http://www.ninds.nih.gov/disorders/tbi/tbi_htr.pdf.
2. Akbar. 2008. Distribusi cedera Kepala di Instalasi Gawat Darurat RS Cipto
Mangunkusumo. Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta
3. Jovan, D. 2007. Pengembangan Indikator Klinik Cedera Kepala di Instalasi Gawat
Darurat RS Panti Nugroho Pakem Sleman. Karya Tulis Imiah. Fakultas Kedokteran
Universita Brawijaya Malang.
4. Saatman KE, Duhaime AC, Bullock R, Maas AIR, Valadka M, Manley GT, dkk.
Classification of traumatic brain injury for targeted therapies. J Neurotrauma.
2008;25:719-38.
5. American College of Surgeons Committee on Trauma. Advanced trauma life support.
J Trauma Acute Care Surg. 2013;74:14869.
6. 1. Louis E, Mayer S, Rowland L, Merritt H. Merritt's neurology. Philadelphia: Wolters
Kluwer; 2016.
7. 2. Mumenthaler M, Mattle H, Taub E. Fundamentals of neurology. Stuttgart: Thieme;
2006.
8. 3. Le TGean A. Imaging of Head Trauma. Seminars in Roentgenology.
2006;41(3):177-189.

Anda mungkin juga menyukai