PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi1
Kegawatdaruratan bedah saraf berdasarkan definisi per kata diartikan sebagai, gawat
yaitu suatu keadaan yang genting dan berbahaya atau suatu keadaan yang kritis dan
mengkhawatirkan ataupun suatu keadaan yang sulit dan mengancam. Sedangkan kata darurat
sendiri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang sukar atau sulit yang tidak tersangka-sangka
yang memerlukan penanggulangan segera atau dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang
terpaksa ataupun keadaan sementara. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kegawatdaruratan pada
bedah sarah adalah suatu kelainan susunan saraf yang dapat mengakibatkan ancaman jiwa (life
threatening) ataupun fungsi (functional threatening).
Kegawatdaruratan bedah saraf harus memenuhi komponen-komponen, seperti adanya
defisit neurologis yang progresif, seperti adanya nyeri kepala yang bertambah hebat, muntah
secara terus-menerus, adanya penurunan kesadaran, adanya kejang dan adanya kelumpuhan
atau parese. Selain itu, komponen lain yang harus terpenuhi adalah munculnya tanda Cushing
response yang menandakan ancamanya akan terjadinya herniasi.
Kegawatdaruratan bedah sistem saraf pusat dibagi menjadi dua, yaitu kegawatdaruratan
traumatika dan kegawatdaruratan nontraumatika2.
Traumatika:
Head injury
1. Skull fracture: Skull base, linear skull vault and depressed skull vault fractures
2. Intracranial injury: Diffuse, focal: contusion or haematoma (extradural, subarachnoid,
subdural and intracranial)
3. Penetrating injuries.
Spinal injury
1. Fracture cervical vertebrae or dislocation
2. Fracture thoracic vertebrae or dislocation
3. Fracture lumbar vertebrae or dislocation
4. Spinal cord injury: Complete, incomplete (central cord syndrome, anterior cord
syndrome, Brown-Sequard, spinal cord injury without radiologic abnormality).
Polytrauma
1. Polytrauma patient unstable neurologically for urgent neurosurgical surgery
2. Polytrauma patient stable neurologically for urgent neurosurgical surgery
2
3. Polytrauma patient unstable neurologically for urgent non-neurosurgical surgery
4. Polytrauma patient stable neurologically for urgent non-neurosurgical surgery.
Nontraumatika:
Cranial
1. Infections: Abscess, empyema
2. Vascular: Aneurysms, arteriovenous malformation, pituitary apoplexy
3. Non-traumatic intracranial haemorrhage, chronic subdural haematoma
4. Neoplastic: Primary and secondary
5. Hydrocephalus of any aetiology.
Spinal
1. Congenital: Meningocele, meningomyelocele
2. Infections: Spinal epidural abscess or empyema, cauda equina syndrome, cervical
myelopathy
3. Vascular: Spinal epidural haematoma
4. Neoplastic: Extradural: vertebral tumours (primary or metastases)
5. Intradural: Extramedullary (e.g., meningioma or neurofibroma).
II.2 Anatomi3
Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang dikenal sebagai sel
glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang memiliki jumlah neuron yang
sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara berbagi neuron berbeda-beda. Pada orang
dewasa, otak membentuk hanya sekitar 2% (sekitar 1,4 kg) dari berat tubuh total, tetapi
mengkonsumsi sekitar 20% oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam darah arterial. Otak
diselimuti oleh selaput otak yang disebut selaput meninges. Selaput meningens terdiri dari 3
lapisan :
1. Lapisan durameter yaitu lapisan yang terdapat di paling luar dari otak dan bersifat tidak
kenyal. Lapisan ini melekat langsung dengan tulang tengkorak. Berfungsi untuk
melindungi jaringan-jaringan yang halus dari otak dan medula spinalis.
2. Lapisan araknoid yaitu lapisan yang berada dibagian tengah dan terdiri dari lapisan
yang berbentuk jaring laba-laba. Ruangan dalam lapisan ini disebut dengan ruang
subaraknoid dan memiliki cairan yang disebut cairan serebrospinal. Lapisan ini
berfungsi untuk melindungi otak dan medulla spinalis dari guncangan.
3
3. Lapisan piameter yaitu lapisan yang terdapat paling dalam dari otak dan melekat
langsung pada otak. Lapisan ini banyak memiliki pembuluh darah. Berfungsi untuk
melindungi otak secara langsung.
Otak dibagi kedalam lima kelompok utama, yaitu :
1. Telensefalon (endbrain), terdiri atas:
Hemisfer serebri yang disusun oleh korteks serebri, system limbic, basal ganglia
dimana basal ganglia disusun oleh nucleus kaudatum, nucleuklaustrum dan amigdala.
2. Diensefalon (interbrain) yang terbagi menjadi epitalamus, thalamus, subtalamus, dan
hipotalamus.
3. Mesensefalon (midbrain) corpora quadrigemina yang memiliki dua kolikulus yaitu
kolikulus superior dan kolikulus inferior dan terdiri dari tegmentum yang terdiri dari
nucleus rubra dan substansia nigra
4. Metensefalon (afterbrain), pons dan medulla oblongata
5. Cerebellum
Kebutuhan energi oksigen jaringan otak adalah sangat tinggi oleh karena itu output aliran
darah ke otak harus berjalan lancar. Adapun pembuluh darah yang memperdarahi otak
diantaranya adalah :
1. Arteri Karotis
Arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna bercabang dari arteri karotis komunis setinggi
tulang rawan carotid. Arteri karotis kiri langsung bercabang dari arkus aorta, tetapi arteri
4
karotis komunis kanan berasal dari arteri brakiosefalika. Arteri karotis eksterna memperdarahi
wajah, tiroid, lidah dan taring. Cabang dari arteri karotis eksterna yaitu arteri meningea media,
memperdarahi struktur-struktur di daerah wajah dan mengirimkan satu cabang yang besar ke
daerah duramater. Arteri karotis interna sedikit berdilatasi tepat setelah percabangannya yang
dinamakan sinus karotikus. Dalam sinus karotikus terdapat ujung-ujung saraf khususnya
berespon terhadap perubahan tekanan darah arteri, yang secara reflex mempertahankan suplai
darah ke otak dan tubuh. Arteri karotis interna masuk ke otak dan bercabang kira-kira setinggi
kiasma optikum, menjadi arteri serebri anterior dan media. Arteri serebri media adalah lanjutan
langsung dari arteri karotis interna. Setelah masuk ke ruang subaraknoid dan sebelum
bercabang-cabang arteri karotis interna mempercabangkan arteri ophtalmica yang
memperdarahi orbita. Arteri serebri anterior menyuplai darah pada nucleus kaudatus, putamen,
bagian-bagian kapsula interna dan korpus kalosum dan bagian-bagian lobus frontalis dan
parietalis. Arteri serebri media menyuplai darah untuk bagian lobus temporalis, parietalis dan
frontalis. Arteri ini sumber darah utama girus presentralis dan postsentralis.
2. Arteri Vertebrobasilaris
Arteri vertebralis kiri dan kanan berasal dari arteri subclavia sisi yang sama. Arteri subclavia
kanan merupakan cabang dari arteri inomata, sedangkan arteri subklavia kiri merupakan
cabang langsung dari aorta. Arteri vertebralis memasuki tengkorak melalui foramen magnum,
setinggi perbatasan pons dan medulla oblongata. Kedua arteri tersebut bersatu membentuk
arteri basilaris. Tugasnya mendarahi sebagian diensfalon, sebaian lobus oksipitalis dan
temporalis, apparatus koklearis dan organ-organ vestibular.
5
3. Sirkulus Arteriosus Willisi
Arteri karotis interna dan arteri vertebrobasilaris disatukan oleh pembuluh-pembuluh darah
anastomosis yaitu sirkulus arteriosus willisi.
6
II.3 Epidemiologi1
Cedera kepala merupakan penyebab utama mortalitas dan disabilitas dan masalah
sosioekonomi di India dan negara berkembang. Diperkirakan 1,5-2 juta orang terkena cedera
kepala setiap tahunnya. Di Amerika diperkirakan terjadi 1,56 juta kasus cedera kepala, 290.000
pasien dirawat inap dan 51.000 pasien meninggal dunia pada tahun 2003. Data epidemiologi
cedera kepala di Indonesia belum tersedia secara nasional, data epidemiologi didapatkan antara
lain dari bagian saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS Cipto Mangunkusumo
bahwa pada tahun 2004 didapatkan 367 kasus cedera kepala ringan, 105 kasus cedera kepala
sedang, dan 25 kasus cedera kepala berat, sedangkan pada tahun 2005 didapatkan 422 kasus
cedera kepala ringan, 130 kasus cedera kepala sedang, dan 20 kasus cedera kepala berat.
2. Morfologi
Trauma kepala dapat termasuk fraktur tengkorak dan lesi intracranial seperti kontusio,
hematoma, cedera yang menyebar, dan pembengkakan.
Fraktur Tengkorak
Fraktur kepala dapat terjadi di tempurung atau di dasar tengkorak. Cedera dapat berbentuk
lurus atau menyebar maupun tertutup atau terbuka. Fraktur tengkorak basilar membutuhkan
CT scan dengan pengaturan pada tulang untuk dapat mengidentifikasi cedera. Tanda klinis
fraktur tengkorak basilar adalah mata rakun (periorbital ecchymosis), rhinorrhea; atau
otorrhea, disfungsi pada syaraf tempurung VII dan VII (kehilangan pendengaran dan paralisis
wajah). Tanda klinis dapat bermanifestasi beberapa jam atau beberapa hari setelah cedera.
Tanda klinis yang muncul dapat digunakan untuk mengidentifikasi cedera kepala basilar.
Beberapa fraktur dapat melalui kanal karotis dan melukai arteri karotis (pemotongan,
pseudoaneurisma, atau thrombosis). Dalam kasus demikian, dokter harus memertimbangkan
melakukan arteriografi serebral (CT angiography [CT-A} atau angiogram konvensional).
Cedera kepala terbuka dapat membuat proses idenfitikasi kerusakan lebih mudah karena
permukaan otak dapat terlihat ketika dura terbuka. Jangan pernah menganggap ringan cedera
kepala terbuka, karena dibutuhkan tenaga yang sangat kuat untuk dapat meretakan tengkorak.
Cedera lurus di tengkorak pada pasien yang sadar meningkatkan resiko hematoma intrakranial
sampai dengan 400 kali.
Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dikklasifikasikan berdasarkan penyebarannya, diffuse atau focal, meski
keduanya sering muncul bersamaan.
a. Cedera Kepala Diffuse
Cedera kepala tersebar berkisar dari gegar otak ringan sampai hipoksia berat. Pada kasus gegar
otak, pasien menderita ganggunan neurologis yang tidak terpusat pada otak, dan menyebabkan
hilangnya kesadaran. Cedera otak tersebar berat umumnya disebabkan oleh hypoksia akibat
benturan yang mendadak. Dalam kasus demikian, CT pada awalnya akan menunjukan otak
normal dilanjutkan oleh absennya perbedaan abu-abu dan putih pada otak. Pola cedera otak
tersebar akibat tabrakan keras umumnya membentuk pola belang di belahan otak. Ciri cedera
8
“berpotongan” ini umumnya terlihat pada batas antara basal ganglia dan materi abu-abu di otak
dan disebut sebagai diffuse axonal injuris (DAI) dan didefinisikan sebagai cedera kepala berat
dengan prognosis yang buruk
Hematoma Epidural relatif jarang terjadi, hanya terjadi pada 0.5% pasien dengan cedera
kepala dan 9% pada pasien TBI yang mengalami koma. Hematoma ini umumnya menjadi
biconvex (cembung di dua sisi) karena mendorong dura ke arah keluar. Cedera ini
9
umumnya terjadi pada area temporal atau temporoparietal dan terjadi karena adanya robek
pada arteri meningeal tengah karena retakan tengkorak. Penggumpalan yang terjadi
diklasifikasikan sebagai gumpalan dari arteri, terkadang penggumpalan yang terjadi
mungkin juga dari disrupsi vena sinus mayor atau perdarahan dari pecahan tengkorak.
Gambaran hematoma epidural adalah adanya interval yang jelas antara waktu cedera dan
kemunduran neurologis
- Hematoma Subdural
Definisi
Kumpulan darah dalam ruang subdural otak (antar duramater dan membran arachnoid).
Biasanya diakibatkan robeknya bridging veins yang mengalirkan darah dari permukaan
otak ke dural sinues. Penyebab SDH yang lain adalah robeknya arteri, sekitar 20-30%
kasus SDH. Atau dapat berasal dari kontusio otak yang superfisial
Pemeriksaan Penunjang
• CT-Scan Kepala
CT Scan kepala paling sering dipakai untuk imaging pasien dengan trauma kepala akut
dengan alasan cepat, relative simple, dan banyak tersedia. Tampak sebagai lesi
hiperdens berbentuk bulan sabit (crescentic shape) pada konveksitas
Hemisfer. Sekitar 91% SDH dg tebal ≥5 mm sudah teridentifikasi pada pemeriksaan
CT Scan kepala
• MRI
MRI kepala lebih sensitif dibanding CT Scan kepala dalam mendeteksi perdarahan
intrakranial. MRI kepala dikpakai pada beberapa kasus dimana dicurigai adanya SDH
atau perdarahan lain yang tidak tampak pada CT Scan kepala.
• Angiografi
Diindikasikan untuk evaluasi SDH, ketika tidak didapatkan riwayat trauma dan tidak
jelas penyebabnya.
Operasi
• Craniotomi evakuasi hematom bila
- Hematom subdural dengan ketebalan >10mm atau midline shift >5mm tanpa melihat
GCS
- GCS ≤8 atau bila GCS turun ≥2 poin dari saat pertama datang ke RS, dan atau bila
didapatkan pupil asimetris atau pupil dilatasi dan tetap, dan atau pengukuran TIK
>20mmHg.
10
• ICP Monitor
- GCS < 9
- Hematom subdural dengan tebal < 10mm atau midline shift < 5mm
Hematoma subdural lebih umum terjadi dibandingkan hematoma epidural, terjadi rata-rata
pada 30% pasien dengan cedera kepala. Jika pada hematoma epidural bentuk cedera yang
terjadi adalah biconvex pada hematoma subdural cedera yang terbentuk mengikuti kontur
otak. Kerusakan berat pada subdural hematoma umumnya lebih berat dibandingkan
kerusakan pada hematoma epidural karena adanya cedera parenkimal yang beriringan.
Contusio sering terjadi, umumnya terjadi pada 20% sampai dengan 30% pasien dengan
cedera kepala berat. Contusio kebanyakan terjadi pada lobus temporal dan frontal, meski
dapat pula terjadi pada bagian lain pada tengkorak. Dalam periode beberapa jam sampai
beberapa hari, contusio dapat menyebabkan hematoma intraserebral atau memar yang
bergabung, dan membutuhkan operasi segera. Kondisi ini dapat terjadi pada 20% pasien
yang hanya terdeteksi contusio pada pemeriksaan CT scan awal. Alasan ini menyebabkan
pasien dengan memar perlu melakukan CT Scan lanjutan 24 jam setelah CT scan awal.
12
II.5 Management Trauma Kepala Berdasarkan Tingkat Keparahan4
1. Penanganan Cedera Kepala Ringan (Skor GCS 13-15)
Cedera kepala ringan didefinisikan sebagai skor GCS 13-15 paska resusitasi. Seringkali
pasien seperti ini mengalami benturan yang berulang, dan terjadi kehilangan fungsi neurologis
sementara. Pasien dengan cedera kepala ringan dan tidak kehilangan kesadaran dapat
mengalami disorientasi, amnesia, atau kehilangan kesadaran sementara. Kehilangan kesadaran
sementara sulit dipastikan karena dapat rancu dengan riwayat konsumsi alkohol atau narkoba.
Jangan pernah menganggap perubahan status mental sebagai faktor perancu sampai cedera otak
dapat dikesampingkan
Kebanyakan pasien dengan cedera kepala ringan melakukan pemulihan dengan lancar.
Sekitar 3% mengalami keadaan yang memburuk, berpotensi terjadi penurunan fungsi
neurologis kecuali dideteksi lebih awal.
Survey sekunder sangatlah penting dalam mengevaluasi pasien dengan trauma otak ringan.
Perhatikan mekanisme terjadinya cedera dan amati jika terjadi hilang kesadaran, termasuk
durasi pasien tidak responsive, terjadi seizure, dan tingkat response pasien. Tentukan durasi
amnesia (baik itu retrograde atau antegrade). Pemeriksaan terus menerus untuk menentukan
skor GCS penting dilakukan pada semua pasien. CT scan adalah metode yang diutamakan
untuk mendapatkan gambaran cedera pasien meski mendapatkan CT scan tidak boleh menunda
pemindahan pasien yang membutuhkan perawatan langsung. Dapatkan CT scan untuk pasien
yang dicurigai secara klinis mengalami retak tengkorak basilar, tempurung kepala yang
terbuka, dan muntah lebih dari dua kali. Dapatkan juga CT scan untuk pasien dengan umur
lebih dari 65 tahun. CT scan juga harus dipertimbangkan untuk pasien yang tidak sadarkan diri
selama 5 menit atau lebih, pasien yang mengalami amnesia retrograde lebih dari 30 menit,
pasien dengan mekanisme cedera berat, pusing berat, gemetaran, kehilangan memori jangka
pendek, keracunan obat atau alkohol, atau kekurangan neurologis pada otak.
Pada saat semua parameter ini diaplikasikan pada pasien dengan nilai GCS sama dengan
13,25% dengan pemeriksaan CT scan akan menunjukan trauma, dan 1.3% membutuhkan
operasi neurologis. Pada pasien dengan skor CGS sama dengan 15, 10% dengan pemeriksaan
CT scan akan menunjukan trauma dan 0.5% membutuhkan penanganan neurologis. Jika CT
scan menunjukan abnormalitas atau pasien menunjukan gejala gangguan neurologis
berkelanjutan, pindahkan ke rumah sakit atau pusat penanganan trauma. Jika pasien sadar,
responsive, dan tidak menunjukan abnormalitas neurologis, amati setelah beberapa jam dan
jika tidak ada perubahan, pasien dapat dipulangkan. Idealnya, pasien harus didampingi oleh
13
handai taulan yang dapat mengamati pasien selama 24 jam awal. Jika terjadi pusing, atau hilang
ingatan maka pasien perlu kembali diberi perawatan.
Riwayat
14
Dimasukan atau dirujuk ke Dipulangkan dari rumah sakit
fasilitas yang tepat
15
“Tunggu dan Amati” dapat berakibat fatal pada pasien jenis ini. Diagnosis dan penanganan
segera penting untuk pasien ini. Jangan menunggu Ct scan untuk memindahkan pasien ini.
Klasifikasi GCS 13-15 Cedera Kepala Ringan 9-15 Cedera Kepala 3-8 Cedera Kepala
Sedang Berat
Penanganan Awal Menanyakan riwayat AMPLE: tanyakan Evaluasi bedah Evaluasi bedah
penggunakan anticoagulant syaraf syaraf darurat
Boleh pulang jika Ditangani dengan • Survey awalan • Survey awalan
syarat administrasi keadaan berikut dan resusitasi dan resusitasi
tidak terpenuhi • Atur transfer • Intubasi dan
Tentukan Tidak ada CT Scan, untuk ventilasi untuk
mekanisme CT Scan abnormal, penilaian dan jalur bernafas
kejadian, skor awal retakan tengkorak, penaganan • Tangani
GCS, interval hilang kebocoran CSF neurologis hipotensi,
ingatan, tingkat • Penilaian hypovolemia,
keparahan sakit Kekurangan neurologis dan hipoksia
kepala dsb neurologis terfokus • Penilaian
terpusat • Suevey neurologis
*pemeriksaan sekunder terfokus
neurologis Skor GCS tidak AMPLE • Suevey
sekunder sampai 15 dalam sekunder
waktu 2 jam AMPLE
PaCO2kurang dari
25 mm Hg kecuali
ada gejala
perdarahan otak.
Hindari
hiperventilasi di 24
jam pertama
setelah cedera saat
aliran darah dapat
berkurang secara
signifikan, pada saat
melakukan
16
hiperventilasi
pengukuran SjO2
atau PbTO2
diperlukan untuk
mengamati aliran
oksigen
Tangani lesi
intrakranial sesuai
keadaan
Disposisi Dipulangkan jika Mendapatkan Lakukan CT Transfer segera ke
pasien tidak evaluasi operasi lanjutan jika perawatan syaraf
memenuhi syarat syarat jika CT keadaan pasien
untuk dirawat menunjukan memburuk dan
abnormalitas atau rawat seperti
Dipulangkan keadaan pasien cedera kepala berat
dengan catatan memburuk
cedera kepala Pindahkan ke pusat
dan pemeriksaan Atur pemeriksaan trauma
lanjutan lanjutan
Secara singkat, management trauma kepala dapat dimulai dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik
Anamnesis
1. Didapatkan riwayat trauma
2. Didapatkan gangguan neurologis (amnesia, penurunan kesadaran, kejang, dll.)
3. Macam trauma: kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, jatuh dari
ketinggian dan lain-lain
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Umum
(pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi)
- Pemeriksaan fisik pertama kali diutamakan pada evaluasi A (airways), B (breathing),
dan C (circulation)
Pemeriksaan kepala
17
- Mencari tanda–tanda jejas, patah dasar tengkorak, patah tulang wajah, trauma pada
mata, auskultasi karotis untuk menentukan adanya bruit
- Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang
- Mencari tanda–tanda cedera pada tulang belakang (terutama cedera servikal) dan
cedera pada medulla spinalis
Pemeriksaan lain
- Cedera lain dicari dengan cermat dari cranial ke kaudal
- Semua temuan tanda trauma dicatat. Benjolan, luka lecet, luka terbuka, false
movement, flail chest, dinding abdomen, nyeri tekan dan lain-lain, perdarahan yang
tampak segera dihentikan
Pemeriksaan Neurologis
- Tingkat kesadaran Glasgow Coma Scale (GCS)
- Saraf II-III, lesi saraf VII perifer
- Fundoskopi dicari tanda-tanda edema pupil, retinal detachment
- Motoris&sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah
- Autonomis
Sirkulasi
Hipotensi umumnya tidak disebabkan cedera kepala itu sendiri tapi didahului dari
kegagalan sumsum tulang belakang atau ada cedera pada saraf tulang belakang. Perdarahan
intrakranial tidak dapat menyebabkan shock hemoragic. Jika pasien mengalami hypotensive,
tentukan keadaan cairan tubuh pada pasien dengan menggunakan produk darah, atau cairan
isotonic seperlunya.
Ingat bahwa pemeriksaan neurologis pada saat pasien mengalami hipotensi tidak dapat
diandalkan. Pasien hipotensi yang di awal pemeriksaan tidak dapat meresponse terhadap
rangsangan memiliki kemungkinan pulih setelah distabilkan tekanan darahnya. Penting untuk
mengobati penyebab utama dari hipotensi.
Pertahankan tekanan darah sistol di >100 mmHG pada pasien berumur 50-69 atau >110
mmHG lebih pada pasien berumur 15-49 tahun atau lebih dari 70 tahun, ini dapat membantu
mengurangi mortalitas dan memperbaiki outcome.
Pemeriksaan Neurologis
Setelah keadaan paru-paru dan jantung pasien dapat distabilkan, lakukan pemeriksaan
neurologis yang meliputi skor GCS, response pupil terhadap cahaya, dan defisit neurologis
pusat. Penting untuk memperhitungkan faktor perancu dalam mengevaluasi cedera kepala
traumatic, termasuk adanya alkohol, narkoba, atau substansi sejenis, dan cedera lain. Jangan
pernah melewati cedera kepala karena pasien mabuk.
Keadaan setelah pasien mengalami kejang traumatik akan memperburuk keadaan
pasien selama beberapa menit atau jam. Pada pasien koma, response motorik dapat dipicu
dengan mencubit otot trapezius. Pada saat pasien menunjukan response yang bervariasi
terhadap suatu stimulasi, umumnya response motorik terbaik akan menunjukan prognostik
yang lebih akurat dibandingkan response terburuk. Uji dengan oculocephalic, test kalori
dengan air es (oculovestibular), dan tes terhadap kornea ditangguhkan kepada ahli bedah.
Jangan pernah melakukan test oculocephalic sampai dipastikan tidak terjadi cedera serviks
tulang belakang.
Penting untuk mendapatkan test GCS dan melakukan pemeriksaan pupil sebelum
membius pasien karena pengetahuan mengenai kondisi klinis pasien akan memengaruhi
perawatan yang diberikan selanjutnya. Jangan memberikan obat bius kuat pada saat melakukan
19
pemeriksaan awalan. Jangan pernah memberi obat bius kecuali keadaan pasien dapat
memberburuk kondisi. Gunakan obat bius dengan efek tercepat untuk memberikan intubasi
endotrakea. Sebelum pasien diberikan intubasi, lakukan pemeriksaan neurologis.
20
II.9 Terapi medis untuk cedera otak4
Tujuan utama dari protocol perawatan intensif adalah untuk mencegah cedera lanjutan pada
otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasar pada perawatan cedera otak traumatik adalah
jika jaringan otak diberi kondisi optimal maka bagian tersebut dapat kembali berfungsi normal.
Terapi medis untuk cedera otak termasuk cairan intravena, pemberian antikoagulan yang tepat,
hiperventilasi, mannitol, cairan garam hipertonik, barbiturasi, dan antikonvulsan.
Cairan Intravena
Untuk meresusitasi pasien dan menjaga normovolemia, tim trauma akan memberikan cairan
intravena, darah, dan produk darah sesuai kebutuhan. Hypovolemia pada pasien dengan cedera
kepala traumatik berbahaya. Penting bagi dokter untuk tidak memberikan terlalu banyak cairan
kepada pasien, dan menghindari cairan hipotonik. Lebih lanjut lagi, cairan dengan kandungan
glukosa dapat menyebabkan hiperglikemi yang dapat mengganggu otak yang cedera. Cairan
Ringer laktat atau cairan garam normal direkomendasikan untuk resusitasi. Awasi level sodium
pada pasien dengan cedera kepala. Hiponatremia diasosiasikan dengan edema otak dan harus
dicegah.
Hiperventilasi
Pada kebanyakan pasien, normocarbia lebih diutamakan. Hiperventilasi dilakukan dengan
menurunkan PcO2 dan memicu vasokonstriksi otak. Hiperventilasi yang agresif dan
berkelanjutan dapat menyebabkan iskemia otak pada otak yang telah mengalami cedera dengan
menyebabkan vasokonstriksi otak dan mengganggu perfusi otak. Resiko ini akan semakin
tinggi jika PaO2 dibiarkan dibawah level 30 mmHG. Hipercarbia (PCO2 > 45 mmHG) akan
memicu vasolidasi dan meningkatakan tekanan intrakranial, dan umumnya harus dihindari.
Gunakan Hiperventilasi sesedikit mungkin dan dalam janga sependek mungkin. Umumnya,
lebih diutamakan untuk menjaga PaCO2 di kisaran 35 mmHG (4.7kPa) atau batas bawah
kisaran normal PaCO2. Hiperventilasi singkat mungkin diperlukan untuk mengendalikan
kerusakan neurologis lanjutan pada saat diberikan perawatan lain. Hyperventilasi dapat
menurunkan ICP pada pasien sehingga dokter dapat melakukan craniotomy darurat
21
Mannitol
Mannitol digunakan untuk menurunkan ICP. Persiapan paling umum adalah cairan 20% ( 20 g
mannitol per 100 ml cairan). Jangan berikan mannitol kepada pasien dengan hipotensi karena
mannitol tidak menurunkan ICP pada pasien tersebut. Justru dapat menyebabkan pasien
hipotensi bertambah parah atau iskemia otak. Jika pasien menunjukan pupil yang berdilatasi,
hilang kesadaran, atau hemiparesis maka kemungkinan pemberian mannitol tidak tepat. Dalam
kondisi demikian berikan injeksi bolos mannitol (1g/kg) selama 5 menit dan lakukan CT Scan-
atau pindahkan ke ruangan operasi
22
- Berikan Phenytoin (PHT) profilaksis pada pasien dengan resiko tinggi kejang dengan
dosis 300 mg/hari atau 5-10 mg kg BB/hari selama 10 hari. Bila telah terjadi kejang,
PHT diberikan sebagai terapi.
Etiologi
Penyebab terjadinya peningkatan ICP dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Peningkatan volume pengisi intrakranial
- Otak : edema serebri
- CSF : hidrosefalus
- darah : vasodilatasi sekunder akibat tinggina CO2
2. Space-occupying lesion
Tumor, abses, hematom, kista
3. Idiopathic (contoh: pseudotumor cerebri)
25
Metode Pengukuran ICP
Indikasi: cedera kepala berat, pendarahan intracerebri, extensive cerebral
edema (contoh: setelah infark, hipoxia, intoksikasi), sebelum operasi intrakranium.
Ada 3 kelompok metode pengukuran ICP:
1. Epidural (EDP)
Penanaman sensor tekanan atau penempatan transducer langsung di atas
permukaan dura. Mudah untuk dilakukan secara extrakranial, tetapi kurang
akurat.
2. Subdural
Memasang stopcock yang diisi saline pada rongga subdural melalui lubang
pada kranium. Stopcock ini dihubungkan dengan tranducer melalui pipa
intravena berisis saline.
3. Intraventrikuler
Merupakan gold standard, memungkinkan untuk drainase CSF untuk
mengurangi ICP, tetapi invasif, pemasangan sulit, risiko infeksi tinggi.
Penatalaksanaan
Penanganan yang terbaik untuk peningkatan ICP adalah pengangkatan dari lesi
penyebabnya seperti tumor, hidrosefalus, dan hematoma. Pengobatan ditujukan
untuk mencegah peristiwa sekunder.
1. Penanganan Primer
Tindakan utama untuk peningkatan ICP adalah untuk mengamankan
ABCDE (primary survey) pada pasien. Pasien dengan skor GCS kurang dari 8 harus
diintubasi untuk melindungi airway, dengan alasan intubasi ini mampu memberikan
ventilasi tekanan positif yang kemudian dapat meningkatkan tekanan vena sentral
yang kemudian akan menghasilkan inhibisi aliran balik vena sehingga akan
meningkatkan ICP.
Posisi kepala pasien juga harus diperhatikan. Elevasi kepala 30o dapat
menurunkan ICP pada komdisi normal dan pada pasien dengan cedera kepala
melalui mekanisme penurunan tekanan hidrostatis CSF yang akan menghasilkan
aliran balik vena. Pasien harus diposisikan dengan kepala menghadap lurus ke
depan karena apabila kepala pasien menghadap ke salah satu sisinya dan disertai
dengan fleksi pada leher akan meynebabkan penekanan pada vena jugularis interna
dan memperlambat aliran balik vena.
26
Osmotherapi berguna dalam tahap edema sitotoksik, ketika permeabilitas
kapiler yang masih baik, dengan meningkatkan osmolalitas serum. Manitol masih
merupakan obat yang baik untuk mengurangi ICP dan juga dapat bertindak sebagai
scavenger radikal bebas. Manitol tidak inert dan tidak berbahaya. Adapun cara kerja
manitol adalah:
menyebabkan vasokonstriksi yang mengurangi volume darah otak dan menurunkan ICP dan
dapat mengurangi produksi CSF oleh pleksus choroideus. Dalam dosis kecil dapat melindungi
otak dari iskemik karena fleksibilitas eritrosit meningkat.
b. Efek diuretik terutama di sekitar lesi, di mana integritas BBB otak terganggu dan tidak ada
pengaruh yang signifikan pada otak normal. Lesi intraaxial merespon lebih baik dari lesi ekstra
aksial.
c. Menarik air di ependyma dari ventrikel dengan cara analog dengan yang dihasilkan oleh
drainase ventrikel.
Diuretik seperti furosemid, baik sendiri atau bersama dengan bantuan manitol untuk
mempercepat ekskresi dan mengurangi osmolalitas serum awal sebelum dosis berikutnya.
Dosis Manitol : 20% 1g/kgBB/24 jam IV single dose, atau 0.25-0.5g/kgBB 6-8 jam
Dosis Furosemid : 1mg/kgBB/24 jam IV single dose, atau 0.25-0.5mg/kgBB 6-8 jam
2. Penanganan Sekunder
• Hipotermi
Temperatur tubuh dibuat menjadi lebih rendah dari temperature tubuh yang normal yaitu
sekitar 32°C – 34 °C. Metode ini dapat mungkin menurunkan ICP dengan menurunkan
metabolisme dari otak. Metode terapi ini selama 8 jam atau lebih dapat dipertimbangkan untuk
terapi pada peningkatan ICP. Komplikasi dari metode hipotermia ini meliputi depresi jantung
pada suhu di bawah 32°C. dan peningkatan insiden komplikasi berupa infeksi seperti
pneumonia telah dilaporkan pada metode terapi ini.
• Agen anestesi – Barbiturat
Barbiturat dapat menurunkan ICP ketika tindakan-tindakan lain gagal, tetapi tidak memiliki
nilai profilaksis. Mekanismenya menghambat peroksidasi lipid dimediasi radikal bebas dan
menekan metabolisme serebral; persyaratan metabolisme otak dan dengan demikian volume
darah otak yang berkurang mengakibatkan penurunan ICP.
• Hiperventilasi (target 30-35)
27
Hiperventilasi digunakan pada pasien dengan skor GCS > 5. Pembuluh darah otak merespon
dengan cepat pada perubahan PaCO2. PaCO2 yang rendah dapat menyebabkan vasokonstriksi,
yang kemudian akan mengurangi komponen darah dalam volume intrakranial, dimana
peningkatan PaCO2 menyebabkan vasodilatasi. Hiperventilasi bertujuan menjaga agar PaCO2
berada pada level 25 – 30 mm Hg sehingga CBF akan turun dan volume darah otak berkurang
dan dengan demikian mengurangi ICP. Hiperventilasi menjadi tidak efektif setelah sekitar 24
jam. Kecenderungannya adalah untuk menjaga ventilasi normal dengan PaCO2 di kisaran 30
– 35 mmHg dan PaO2 dari 120-140 mmHg. Ketika ada pemburukan klinis seperti dilatasi pupil
atau tekanan nadi melebar, hiperventilasi dapat dilakukan (sebaiknya dengan Ambu bag)
sampai ICP turun
• Vasopressor (CPP>70)
• Craniectomy dekompresi
Dilakukan pengangkatan bagian tertentu dari tulang tengkorak kepala dan duramater
dibebaskan agar otak dapat membesar tanpa adanya herniasi. Bagian dari tulang tengkorak
kepala yang diangkat ini desebut dengan bone flap. Bone flap ini dapat disimpan pada perut
pasien dan dapat dipasang kembali ketika penyebab dari peningkatan ICP tersebut telah
disingkirkan. Material sintetik digunakan sebagai pengganti dari bagian tulang tengkorak yang
diangkat.
II.11 Herniasi6
Jika massa intrakranial membesar, kompensasi awal adalah pemindahan cairan cerebrospinal
ke kanal spinal. Perpindahan cairan cerebrospinal keluar dari kranial adalah mekanisme
kompensasi pertama dan utama, tapi lengkung kranial dapat mengakomodasi peningkatan
volume intrakranial hanya pada satu titik. Ketika compliance otak berlebihan, TIK meningkat,
timbul gejala klinis, dan usaha kompensasi lain untuk mengurangi tekananpun dimulai.
Kompensasi kedua adalah menurunkan volume darah vena dalam otak. Ketika volume darah
diturunkan sampai 40% jaringan otak menjadi asidosis. Ketika 60% darah otak hilang,
gambaran EEG mulai berubah. Kompensasi ini mengubah metabolisme otak, sering mengarah
pada hipoksia jaringan otak dan iskemia.
Kompensasi tahap akhir dan paling berbahaya adalah pemindahan jaringan otak melintasi
tentorium dibawah falx cerebri, atau melalui foramen magnum ke dalam kanal spinal. Proses
ini dinamakan herniasi dan sering menimbulkan kematian dari kompresi batang otak. Otak
disokong dalam berbagai kompartemen intrakranial. Kompartemen supratentorial berisi semua
jaringan otak mulai dari atas otak tengah ke bawah. Bagian ini terbagi dua, kiri dan kanan yang
28
dipisahkan oleh falx cerebri. Supratentorial dan infratentorial (berisi batang otak dan
serebellum) oleh tentorium cerebri. Otak dapat bergerak dalam semua kompartemen itu.
Tekanan yang meningkat pada satu kompartemen akan mempengaruhi area sekeliling yang
tekanannya lebih rendah.
Ada tiga bentuk herniasi otak, yaitu :
1. Hernia subfalksin (hernia singulatus) terjadi bila gyrus singulus mengalami herniasi di
bawah falks cerebri
2. Hernia unsinatus (hernia unkal, hernia transtentorial), unkus dari lobus temporalis
terdorong kearah medial bawah melalui celah tentorium. Pendorongan ini meregangkan
saraf kranial okulomotorius (N.III) sehingga menyebabkan dilatasi pupil yang khas
pada sisi yang sama dengan lesi hernia.
3. Hernia tonsilaris adalah pendorongan tentorium cerebellum melalui foramen magnum.
Keadaan demikian menyebabkan penekanan pada batang otak dan pusat pernapasan,
bila tidak diatasi, akan menimbulkan gangguan pernapasan, bila tidak diatasi, akan
menimbulkan gangguan pernapasan berupa pernapasan yang tidak teratur, disusul
dengan apneu dan kematian.
Penatalaksanaan
1. Menurunkan volume darah otak
• Hiperventilasi
• Elevasi kepala 30o dengan posisi di tengah dengan tujuan tidak menghambat
venous return
• Menurunkan metabolisme otak dengan pemberian barbiturat
• Cegah atau atasi kejang
• Cegah hiperpireksia
• Apabila mungkin dilakukan surface cooling supaya terjadi hipothermia
• Restriksi cairan 60% kebutuhan, kecuali bila hipotensi
2. Menurunkan volume dari cairan serebrospinal
• Acetazolamide 25 mg/KgBB/hari PO dibagi dalam 3 dosis. Dosis dapat
dinaikkan 25 mg/KgBB/hari (Maksimal 100 mg/KgBB/hari)
• VP shunt
3. Menurunkan volume otak
• Osmotik diuretik : Mannitol dosis awal 0,5-1 mg/KgBB IV kemudian
dilanjutkan 0,25-0,5 mg/KgBB IV setiap 4-6 jam
29
• Loop diuretik : Furosemide 0,5-1 mg/KgBB/dosis IV tiap 6-12 jam
• Steroid : Dexamethasone dosis awal 0,5 mg/KgBB IV dilanjutkan dosis rumatan
0,1 mg/KgBB/dosis tiap 6 jam selama 3 hari
4. Apabila 1, 2, 3 tidak ada kemajuan, dipertimbangkan untuk melakukan temporal
dekompresi dengan kraniektomi
30
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan yang dapat ditarik dari bab ini adalah sebagai berikut:
1. Penting untuk memahami struktur anatomi dari kranium kepala untuk memahami dan
melakukan tatalaksana cedera.
2. Pasien yang mengalami cedera kepala perlu dievaluasi dengan efisien dan cepat.
3. Melakukan stabilisasi darah dan pernafasan penting sebagai langkah awal untuk
memanage pasien.
4. Resusitasi yang cukup penting untuk mencegah trauma otak sekunder, cegah
hypovolemia dan hipoksia.
5. Selalu lakukan analisis neurologis sebelum memberi penanganan kepada pasien. Ingat
bahwa hipotensi dapat memperburuk keadaan pasien.
6. Pahami penggunaan Glasgow Coma Scale (GCS) dalam melakukan analisis keparahan
cedera otak pasien.
7. Skor GCS sama dengan atau kurang dari 8 diklasifikasikan sebagai koma atau cedera
otak parah. Pasien dengan skala GCS 9 sampai 12 dikateogrikan sebagai cedera otak
sedang, dan pasien dengan skala GCS 13-15 dikateogrikan sebagai cedera otak ringan
31
DAFTAR PUSTAKA
32