Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

Kegawatdaruratan dalam bedah saraf merupakan kasus-kasus kelainan saraf, yang


karena sesuatu hal dapat mengalami keadaan gawat secara mendadak dan bila tidak tertolong
dengan cepat dan tepat akan terjadi kematian atau cacat tubuh. Kegawatdaruratan dalam bidang
bedah saraf antara lain adalah trauma kepala, trauma tulang belakang, hidrosefalus, tumor dan
abses otak. Selain itu, kegawatdaruratan dalam bedah saraf juga dapat diklasifikan menjadi
kegawatdaruratan traumatik dan nontraumatik.
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas
otak. cedera kepala biasanya diakibatkan salah satunya benturan atau kecelakaan. Sedangkan
akibat dari terjadinya cedera kepala yang paling fatal adalah kematian.
Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di dunia kejadian cedera
kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus dari jumlah di atas 10% penderita
meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai
tingkat kecacatan akibat cedera kepala tersebut. Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap
tahunnya akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat yang
memerlukan perawatan di rumah sakit. Dua per tiga dari kasus ini berusia di bawah 30 tahun
dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari setengah dari semua pasien cedera
kepala berat mempunyai signifikasi terhadap cedera bagian tubuh lainnya

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi1
Kegawatdaruratan bedah saraf berdasarkan definisi per kata diartikan sebagai, gawat
yaitu suatu keadaan yang genting dan berbahaya atau suatu keadaan yang kritis dan
mengkhawatirkan ataupun suatu keadaan yang sulit dan mengancam. Sedangkan kata darurat
sendiri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang sukar atau sulit yang tidak tersangka-sangka
yang memerlukan penanggulangan segera atau dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang
terpaksa ataupun keadaan sementara. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kegawatdaruratan pada
bedah sarah adalah suatu kelainan susunan saraf yang dapat mengakibatkan ancaman jiwa (life
threatening) ataupun fungsi (functional threatening).
Kegawatdaruratan bedah saraf harus memenuhi komponen-komponen, seperti adanya
defisit neurologis yang progresif, seperti adanya nyeri kepala yang bertambah hebat, muntah
secara terus-menerus, adanya penurunan kesadaran, adanya kejang dan adanya kelumpuhan
atau parese. Selain itu, komponen lain yang harus terpenuhi adalah munculnya tanda Cushing
response yang menandakan ancamanya akan terjadinya herniasi.
Kegawatdaruratan bedah sistem saraf pusat dibagi menjadi dua, yaitu kegawatdaruratan
traumatika dan kegawatdaruratan nontraumatika2.
Traumatika:
Head injury
1. Skull fracture: Skull base, linear skull vault and depressed skull vault fractures
2. Intracranial injury: Diffuse, focal: contusion or haematoma (extradural, subarachnoid,
subdural and intracranial)
3. Penetrating injuries.
Spinal injury
1. Fracture cervical vertebrae or dislocation
2. Fracture thoracic vertebrae or dislocation
3. Fracture lumbar vertebrae or dislocation
4. Spinal cord injury: Complete, incomplete (central cord syndrome, anterior cord
syndrome, Brown-Sequard, spinal cord injury without radiologic abnormality).
Polytrauma
1. Polytrauma patient unstable neurologically for urgent neurosurgical surgery
2. Polytrauma patient stable neurologically for urgent neurosurgical surgery
2
3. Polytrauma patient unstable neurologically for urgent non-neurosurgical surgery
4. Polytrauma patient stable neurologically for urgent non-neurosurgical surgery.

Nontraumatika:
Cranial
1. Infections: Abscess, empyema
2. Vascular: Aneurysms, arteriovenous malformation, pituitary apoplexy
3. Non-traumatic intracranial haemorrhage, chronic subdural haematoma
4. Neoplastic: Primary and secondary
5. Hydrocephalus of any aetiology.
Spinal
1. Congenital: Meningocele, meningomyelocele
2. Infections: Spinal epidural abscess or empyema, cauda equina syndrome, cervical
myelopathy
3. Vascular: Spinal epidural haematoma
4. Neoplastic: Extradural: vertebral tumours (primary or metastases)
5. Intradural: Extramedullary (e.g., meningioma or neurofibroma).

II.2 Anatomi3
Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang dikenal sebagai sel
glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang memiliki jumlah neuron yang
sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara berbagi neuron berbeda-beda. Pada orang
dewasa, otak membentuk hanya sekitar 2% (sekitar 1,4 kg) dari berat tubuh total, tetapi
mengkonsumsi sekitar 20% oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam darah arterial. Otak
diselimuti oleh selaput otak yang disebut selaput meninges. Selaput meningens terdiri dari 3
lapisan :
1. Lapisan durameter yaitu lapisan yang terdapat di paling luar dari otak dan bersifat tidak
kenyal. Lapisan ini melekat langsung dengan tulang tengkorak. Berfungsi untuk
melindungi jaringan-jaringan yang halus dari otak dan medula spinalis.
2. Lapisan araknoid yaitu lapisan yang berada dibagian tengah dan terdiri dari lapisan
yang berbentuk jaring laba-laba. Ruangan dalam lapisan ini disebut dengan ruang
subaraknoid dan memiliki cairan yang disebut cairan serebrospinal. Lapisan ini
berfungsi untuk melindungi otak dan medulla spinalis dari guncangan.

3
3. Lapisan piameter yaitu lapisan yang terdapat paling dalam dari otak dan melekat
langsung pada otak. Lapisan ini banyak memiliki pembuluh darah. Berfungsi untuk
melindungi otak secara langsung.

Anatomi Otak
1. FOREBRAIN

Bagian forebrain terletak di sekeliling ujung rostral dari otak. Bagian utamanya adalah
diencephalon dan telencephalon
a. Telencephalon
Telencephalon terdiri dari kedua belah hemisphere yang simetris dan membentuk otak besar
(cerebrum). Kedua hemisphere tersebut dilapisi oleh cerebral cortex dan terdiri dari basal
ganglia dan sistem lymbic. Telencephalon merupakan bagian terbesar dari otak manusia.
1) Cortex.

4
Hemisphere dilapisi oleh jaringan yang disebut cerebral cortex (atau cerebral bark).
Sebagian besar cortex terdiri dari sel glia, soma sel, dendrit dan interneuron. Karena
sebagian besar cortex terdiri dari soma sel, maka bagian ini berwarna keabuabuan
seperti gray matter pada tulang belakang. Di bawah cerebral cortex terdapat jutaan axon
yang menghubungkan neuron-neuron di cerebral cortex dengan neuron di bagian lain.
Axon pada bagian ini diselaputi oleh myelin oleh karena itu warna bagian bawah cortex
cenderung nampak keputihan (seperti substansia alba pada tulang belakang). Bentuk
jaringan cerebral ini bergelombang (berlipat-lipat). Dua pertiga bagian cortex
tersembunyi di dalam lipatan-lipatan tersebut, sehingga luas cerebral cortex yang
kurang lebih 75 cm2 dengan ketebalan 3 mm hanya menempati ruang sebesar 25cm 2.
Bentuk bergelombang ini mengurangi ruang yang dibutuhkan untuk menempatkan
cortex tanpa mengurangi volumenya. Didalam lipatan-lipatan tersebut terdapat jurang-
jurang yang dalam dan yang dangkal. Jurang yang dalam disebut dengan fissures,
sedangkan jurang yang dangkal disebut dengan sulci (tunggal =sulcus). Punggung
gelombang (bagian permukaan lipatan yang tampak) disebut dengan gyri (tunggal
=gyrus). Bagian-bagian hemisphere dipisahkan oleh fissure yang tidak terputus
(longitudinal fissure) dan dihubungkan oleh beberapa traktus (tract =saluran) yang
disebutcommisure (commisure = cross hemisphere connection, yaitu bagian yang axon-
axonnya menghubungkan cortex dari kedua belah hemisphere secara kontralateral).
Commisure yang terbesar adalah corpus callosum.
Fissure yang membagi cortex terdiri dari dua buah central fissure dan dua buah lateral
fissure beserta gyri disekitarnya. Gyrus precentral mengaturfungsi motorik. Postcentral
gyri merupakan saraf-saraf somatosensorik (menerima input dari reseptor sensoris di
kulit, persendian, dan otot-otot). Superior Temporal Gyri berhubungan dengan auditory
(pendengaran). Fissure-fissure utama ini (central dan lateral fissure) membagi cortex
menjadi 4 bagian/ lobus/lobes (sesuai pula dengan pembagian tulang tengkorak yang
melindunginya), yaitu frontal lobe (lobus frontal), parietal lobe (lobus parietal),
temporal lobe (lobus temporal), dan occipital lobe (lobusoccipital). Central fissures
memisahkan frontal lobe dengan parietal lobe dan lateral fissure memisahkan temporal
lobe dari frontal dan parietal lobe
2) Sistem Lymbic.
Sistem Limbic atau Lymbic System terdiri dari limbic cortex dan satu set struktur
interkoneksi (penghubung antara struktur telencephalic dan diencephalic) yang terletak
di pusat forebrain dan berfungsi dalam proses perilaku yang bermotivasi (motivated
5
behavior) termasuk motivasi 4 F yang bertujuan mempertahankan hidup (fleeing
=menghindari bahaya, feeding = makan, fighting = berkelahi, dan perilaku seksual).
Limbic cortex adalah bentuk lain dari korteks cerebral yang terletak di sekitar cerebral
hemisphere bagian ujung (limbic =perbatasan). Struktur utama dari sistem limbic ini
adalah hippocampus (seahorse =kuda laut karena bentuknya seperti kuda laut) dan
amygdala (disebut juga almond, karena bentuknya seperti biji almond) yang merupakan
satu kumpulan nuklei yang terletak di ventrikel lateral pada lobus temporal, atau
terletak di bagian anterior dari hippocampus. Septum terletak di garis tengah tepat di
bawah corpus callosum dan di depan hypothalamus. Bagian terpenting dalam limbic
cortex ini adalah cingulate gyrus yang letaknya tersembunyi di fissure longitudinal
persis di bawah corpus callosum. Fornix (berarti busur) adalah bagian yang tampak
besar pada sistem limbic, ia membentuk busur dari hippocampus disepanjang ventrikel
ketiga sampai ke bagian anteriorthalamus, septum, dan hipothalamus

3) Basal Ganglia.
Basal ganglia adalah kumpulan subcortical nuclei pada forebrain yang terletak di bagian
anterior dari ventrikel lateral. Secara umum basal ganglia terlibat dalam proses
pengendalian gerakan. Contohnya penyakit Parkinson's yang disebabkan oleh proses
degenerasi neuron-neuron yang terletak pada midbrain yang mengirim axon ke bagian
basal ganglia. Penyakit tersebut memiliki symptom seperti munculnya kelemahan otot,
tremor (gemetaran), hambatan keseimbangan dan kesulitan dalam melakukan gerak
(kaku). Basal Ganglia terdiri dari globus pallidus yang terletak di bagian lateral dari
thalamus di setiap sisi hemisphere, putamen yang terletak dibagian lateral globus
pallidus caudate yang merupakan bagian yang panjang dan melingkar di bagian ujung
anterior putamen, serta amygdala yang juga merupakan bagian dari sistem limbic.
Caudate dan Putamen dikenal pula sebagai STRIATUM.

6
b. Diencephalon
Diencephalon adalah bagian dari forebrain yang terletak antara telencephalon dan midbrain,
dan mengelilingi ventrikel ketiga. Diencephalon terdiri dari dua struktur utama, yaitu thalamus
dan hypothalamus.
1) Thalamus.
Thalamus (Bahasa Yunani = thalamos yang berarti ruangan di dalam) terletak di bagian
dorsal dari diencephalon dan melingkupi dua sisi otak. Tiap bagian terletak pada
sebelah sisi ventrikel ketiga. Kedua lobusthalamus ini dihubungkan oleh massa
intermedia yang terletak di bagian ventrikel ketiga. Meskipun massa intermedia
merupakan penghubung dari kedua sisi thalamus, namun bagian ini tampaknya tidak
memiliki fungsi yang sentral atau penting karena pada sebagian manusia normal tidak
dijumpai adanya massa intermedia ini. Tetapi letak anatomi massa intermedia ini
penting sebagai patokan (central point) untuk mempelajari bagian-bagian otak yang
lain.
2) Hypothalamus.
Hypothalamus terletak di kedua sisi bagian inferior dari ventrikel ketiga di bagian dasar
otak, persis di bawah thalamus. Meskipun bentuknya kecil (hypo = kurang), kira-kira
7
1/10 ukuran thalamus, hypothalamus memegang peranan penting. Hypothalamus
mengontrol sistem saraf otonom dan sistem endokrin, serta memegang peranan penting
dalam pengaturan perilaku bermotivasi (motivated behavior). Pada bagian bawah
hypothalamus (lewat pituitary stalk/cabang pituitary) terdapat kelenjar pituitary yang
mengatur pelepasan hormon dalam tubuh. Sistem endokrin dalam tubuh sebagian besar
dikontrol oleh hormon-hormon yang diproduksi oleh sel-sel di hypothalamus

2. MIDBRAIN
Midbrain sering juga disebut dengan istilah mesencephalon yang mengelilingi cerebral
aquaduct dan terdiri dari dua struktur utama, yaitu TECTUM dan TEGMENTUM.
1) Tectum.
Tectum (berarti atap) terletak di bagian dorsal dari mesencephalon. Struktur utama dari
tectum ini adalah superior colliculi dan inferior colliculi. Superior colliculi maupun
inferior colliculi berupa pasangan tonjolan (superior sepasang dan inferior sepasang)
pada permukaan batang otak (brain stem)
2) Tegmentum.
Tegmentum (=covering/pelindung) merupakan bagian mesencephalon yang terletak di
bawah tectum. Reticular Formation adalah struktur tegmentum yang cukup besar dan
terdiri dari nuclei (kurang lebih 90 nucleus) yang karakterisasinya menyebar,
merupakan suatu jaringan komunikasi neuron melalui axon dan dendrit yang kompleks
(reticulum; berarti "jaringan kecil"). Struktur reticular formation ini terdapat
disepanjang bagian tengah batang otak, mulai dari batas bawah medulla sampai ke batas
atas dari midbrain

8
3. HINDBRAIN
Hindbrain terletak disekeliling ventrikel keempat. Terdiri dari dua struktur utama, yaitu
metencephalon dan myelencephalon.

a. Metencephalon
Metencephalon (= behind brain/otak samping) terdiri dari dua struktur utama, yaitu: PONS
dam CEREBELLUM.
1) Pons.
Pons berarti bridge atau jembatan. Di dalam metencephalon terdapat saluran-saluran
(traktus) yang naik (ascending) dan turun (descending), nuclei dari cranial nerves,
nuclei yang mengatur tidur dan terjaga dari tidur, dan bagian darireticularformation.
Bagian-bagian tersebu tmembentuk suatu gundukan pada bagian permukaan ventral
dari batang otak yang disebut pons. Letaknya secara lebih rinci adalah diantara
mesencephalon dan medulla oblongata dan di bagian ventral cerebellum.
2) Cerebellum.
Cerebellum (otak kecil) merupakan versi miniatur dari cerebrum (permukaanya juga
bergelombang). Cerebellum dilindungi oleh cerebellar cortex dan memiliki satu
kumpulan deep cerebellar nuclei yang memproyeksikan informasi ke cortex dan
menerima proyeksi dari cortex. Cerebellumterletak di permukaan lateral dan dorsal dari
pons
b. Myelencephalon
Myelencephalon hanya terdiri dari satu struktur utama, yaitu Medulla Oblongata sering juga
disebut dengan medulla. Myelencephalon merupakan bagian otak yang letaknya paling ujung
posterior (caudal), sebagian besar terdiri dari traktus(saluran-saluran) yang membawa sinyal
di seluruh bagian otak dan bagian tubuh, ia juga mengandung nuclei dari saraf cranial yang
meninggalkan otak. Batas bagian bawah dari myelencephalon ini adalah ujung rostral dari
tulang belakang. Medulla terdiri darisebagian reticularformation, termasuk didalamnya nuclei
9
yang mengatur fungsi organ-organ vital seperti pengaturan sistem kardiovaskuler, respirasi,
dan gerakan otot kepala. Ia juga mengandung nuclei yang menyampaikan informasi
somatosensory dari tulang belakang ke thalamus.

Kebutuhan energi oksigen jaringan otak adalah sangat tinggi oleh karena itu output aliran
darah ke otak harus berjalan lancar. Adapun pembuluh darah yang memperdarahi otak
diantaranya adalah :
1. Arteri Karotis
Arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna bercabang dari arteri karotis komunis setinggi
tulang rawan carotid. Arteri karotis kiri langsung bercabang dari arkus aorta, tetapi arteri
karotis komunis kanan berasal dari arteri brakiosefalika. Arteri karotis eksterna memperdarahi
wajah, tiroid, lidah dan taring. Cabang dari arteri karotis eksterna yaitu arteri meningea media,
memperdarahi struktur-struktur di daerah wajah dan mengirimkan satu cabang yang besar ke
daerah duramater. Arteri karotis interna sedikit berdilatasi tepat setelah percabangannya yang
dinamakan sinus karotikus. Dalam sinus karotikus terdapat ujung-ujung saraf khususnya
berespon terhadap perubahan tekanan darah arteri, yang secara reflex mempertahankan suplai
darah ke otak dan tubuh. Arteri karotis interna masuk ke otak dan bercabang kira-kira setinggi
kiasma optikum, menjadi arteri serebri anterior dan media. Arteri serebri media adalah lanjutan
langsung dari arteri karotis interna. Setelah masuk ke ruang subaraknoid dan sebelum
bercabang-cabang arteri karotis interna mempercabangkan arteri ophtalmica yang
memperdarahi orbita. Arteri serebri anterior menyuplai darah pada nucleus kaudatus, putamen,
bagian-bagian kapsula interna dan korpus kalosum dan bagian-bagian lobus frontalis dan
parietalis. Arteri serebri media menyuplai darah untuk bagian lobus temporalis, parietalis dan
frontalis. Arteri ini sumber darah utama girus presentralis dan postsentralis.

2. Arteri Vertebrobasilaris
Arteri vertebralis kiri dan kanan berasal dari arteri subclavia sisi yang sama. Arteri subclavia
kanan merupakan cabang dari arteri inomata, sedangkan arteri subklavia kiri merupakan
cabang langsung dari aorta. Arteri vertebralis memasuki tengkorak melalui foramen magnum,
setinggi perbatasan pons dan medulla oblongata. Kedua arteri tersebut bersatu membentuk
arteri basilaris. Tugasnya mendarahi sebagian diensfalon, sebaian lobus oksipitalis dan
temporalis, apparatus koklearis dan organ-organ vestibular.

10
3. Sirkulus Arteriosus Willisi
Arteri karotis interna dan arteri vertebrobasilaris disatukan oleh pembuluh-pembuluh darah
anastomosis yaitu sirkulus arteriosus willisi.

11
II.3 Epidemiologi1
Cedera kepala merupakan penyebab utama mortalitas dan disabilitas dan masalah
sosioekonomi di India dan negara berkembang. Diperkirakan 1,5-2 juta orang terkena cedera
kepala setiap tahunnya. Di Amerika diperkirakan terjadi 1,56 juta kasus cedera kepala, 290.000
pasien dirawat inap dan 51.000 pasien meninggal dunia pada tahun 2003. Data epidemiologi
cedera kepala di Indonesia belum tersedia secara nasional, data epidemiologi didapatkan antara
lain dari bagian saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS Cipto Mangunkusumo
bahwa pada tahun 2004 didapatkan 367 kasus cedera kepala ringan, 105 kasus cedera kepala
sedang, dan 25 kasus cedera kepala berat, sedangkan pada tahun 2005 didapatkan 422 kasus
cedera kepala ringan, 130 kasus cedera kepala sedang, dan 20 kasus cedera kepala berat.

II.4 Klasifikasi Cedera Kepala4,5


Cedera kepala diklasifikasikan menjadi beberapa jenis. Demi kepraktisan, cedera kepala
diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahan dan morfologi
1. Tingkat Keparahan
Skore Skala Koma Glasgow atau Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan sebagai
pengukuran obyektif untuk menentukan tingkat keparahan cedera kepala). Skor GCS sama
dengan atau kurang dari 8 diklasifikasikan sebagai koma atau cedera otak parah. Pasien dengan
skala GCS 9 sampai 12 dikateogrikan sebagai cedera otak sedang, dan pasien dengan skala
GCS 13-15 dikateogrikan sebagai cedera otak ringan. Pada saat terjadi cedera yang tidak
simetris antara bagian kanan-kiri atau atas dan bawah otak penting untuk menggunakan respons
motorik untuk mengalkulasikan skor GCS, hal ini karena response motorik adalah cara yang
paling dapat diandalkan saat terjadi cedera otak asimetris
Tabel 1 Glasgow Coma Scale
Skala Awal Skala Revisi Skor
Pembukaan Mata (E) Pembukaan Mata (E)
• Spontan • Spontan • 4
• Terhadap Kata-kata • Terhadap Suara • 3
• Terhadap Rasa Sakit • Terhadap penekanan • 2
• Tidak ada • Tidak ada • 1
• Tidak dapat dites • NT
Reponse Verbal (V) Reponse Verbal (V)
• Terpusat • Terpusat • 5
• Bingung • Bingung • 4
• Kata-kata tidak jelas • Kata-kata • 3
• Suara tidak jelas • Suara • 2
• Tidak ada • Tidak ada • 1
• Tidak dapat dites • NT
Respons Motorik (M) Respons Motorik (M)
• Mengikuti arahan • Mengikuti arahan • 6
• Rasa sakit di tempat tertentu • Terlokalisasi • 5
12
• Bereaksi terhadap rasa sakit • Lengkungan normal • 4
• Lengkungan abnormal • Lengkungan abnormal • 3
(pengulitan) • Ekstensi • 2
• Ekstensi (Bagian otak Terangkat) • TIdak ada (flaccid) • 1
• TIdak ada (flaccid) • NT

2. Morfologi
Trauma kepala dapat termasuk fraktur tengkorak dan lesi intracranial seperti kontusio,
hematoma, cedera yang menyebar, dan pembengkakan.
Fraktur Tengkorak
Fraktur kepala dapat terjadi di tempurung atau di dasar tengkorak. Cedera dapat berbentuk
lurus atau menyebar maupun tertutup atau terbuka. Fraktur tengkorak basilar membutuhkan
CT scan dengan pengaturan pada tulang untuk dapat mengidentifikasi cedera. Tanda klinis
fraktur tengkorak basilar adalah mata rakun (periorbital ecchymosis), rhinorrhea; atau
otorrhea, disfungsi pada syaraf tempurung VII dan VII (kehilangan pendengaran dan paralisis
wajah). Tanda klinis dapat bermanifestasi beberapa jam atau beberapa hari setelah cedera.
Tanda klinis yang muncul dapat digunakan untuk mengidentifikasi cedera kepala basilar.
Beberapa fraktur dapat melalui kanal karotis dan melukai arteri karotis (pemotongan,
pseudoaneurisma, atau thrombosis). Dalam kasus demikian, dokter harus memertimbangkan
melakukan arteriografi serebral (CT angiography [CT-A} atau angiogram konvensional).
Cedera kepala terbuka dapat membuat proses idenfitikasi kerusakan lebih mudah karena
permukaan otak dapat terlihat ketika dura terbuka. Jangan pernah menganggap ringan cedera
kepala terbuka, karena dibutuhkan tenaga yang sangat kuat untuk dapat meretakan tengkorak.
Cedera lurus di tengkorak pada pasien yang sadar meningkatkan resiko hematoma intrakranial
sampai dengan 400 kali.

Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dikklasifikasikan berdasarkan penyebarannya, diffuse atau focal, meski
keduanya sering muncul bersamaan.
a. Cedera Kepala Diffuse
Cedera kepala tersebar berkisar dari gegar otak ringan sampai hipoksia berat. Pada kasus gegar
otak, pasien menderita ganggunan neurologis yang tidak terpusat pada otak, dan menyebabkan
hilangnya kesadaran. Cedera otak tersebar berat umumnya disebabkan oleh hypoksia akibat
benturan yang mendadak. Dalam kasus demikian, CT pada awalnya akan menunjukan otak
normal dilanjutkan oleh absennya perbedaan abu-abu dan putih pada otak. Pola cedera otak
tersebar akibat tabrakan keras umumnya membentuk pola belang di belahan otak. Ciri cedera
13
“berpotongan” ini umumnya terlihat pada batas antara basal ganglia dan materi abu-abu di otak
dan disebut sebagai diffuse axonal injuris (DAI) dan didefinisikan sebagai cedera kepala berat
dengan prognosis yang buruk

b. Cedera Kepala Focal


Cedera kepala terpusat termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan hematoma
intrasebral.
- Hematoma Epidural
Definisi
Perdarahan di dalam rongga epidural yang disebabkan karena trauma.
Pemeriksaan Penunjang
• CT-Scan
Gambaran hiperdens berbentuk bikonveks karena darah terkumpul terbatas pada
perlekatan duramater di sutura kranial Bisa disertai dengan gambaran scalp hematom
dan fraktur kalvaria
Volume EDH dihitung dengan rumus:
A x B x C x 0.52
Dimana
A = tebal EDH pada slice CT-Scan paling tebal
B = panjang EDH pada slice yang sama dengan A
C = tinggi dari EDH (dihitung dari jumlah slice CT-Scan)
• MRI
MRI lebih sensitif dibandingkan CT Scan untuk mendeteksi perdarahan intrakranial.
MRI khususnya bermanfaat untuk diagnosa EDH di vertex.
Indikasi Operasi
- Volume >30 cc, atau
- Ketebalan >15 mm, atau
- Pergeseran midline >5 mm, atau
- Pasien EDH akut (GCS <9) dan anisokor di evakuasi secepat mungkin tindakan operasi
berupa: Craniotomy + Evakuasi EDH, Osteoplasty

Hematoma Epidural relatif jarang terjadi, hanya terjadi pada 0.5% pasien dengan cedera
kepala dan 9% pada pasien TBI yang mengalami koma. Hematoma ini umumnya menjadi
biconvex (cembung di dua sisi) karena mendorong dura ke arah keluar. Cedera ini
14
umumnya terjadi pada area temporal atau temporoparietal dan terjadi karena adanya robek
pada arteri meningeal tengah karena retakan tengkorak. Penggumpalan yang terjadi
diklasifikasikan sebagai gumpalan dari arteri, terkadang penggumpalan yang terjadi
mungkin juga dari disrupsi vena sinus mayor atau perdarahan dari pecahan tengkorak.
Gambaran hematoma epidural adalah adanya interval yang jelas antara waktu cedera dan
kemunduran neurologis

- Hematoma Subdural
Definisi
Kumpulan darah dalam ruang subdural otak (antar duramater dan membran arachnoid).
Biasanya diakibatkan robeknya bridging veins yang mengalirkan darah dari permukaan
otak ke dural sinues. Penyebab SDH yang lain adalah robeknya arteri, sekitar 20-30%
kasus SDH. Atau dapat berasal dari kontusio otak yang superfisial
Pemeriksaan Penunjang
• CT-Scan Kepala
CT Scan kepala paling sering dipakai untuk imaging pasien dengan trauma kepala akut
dengan alasan cepat, relative simple, dan banyak tersedia. Tampak sebagai lesi
hiperdens berbentuk bulan sabit (crescentic shape) pada konveksitas
Hemisfer. Sekitar 91% SDH dg tebal ≥5 mm sudah teridentifikasi pada pemeriksaan
CT Scan kepala
• MRI
MRI kepala lebih sensitif dibanding CT Scan kepala dalam mendeteksi perdarahan
intrakranial. MRI kepala dikpakai pada beberapa kasus dimana dicurigai adanya SDH
atau perdarahan lain yang tidak tampak pada CT Scan kepala.
• Angiografi
Diindikasikan untuk evaluasi SDH, ketika tidak didapatkan riwayat trauma dan tidak
jelas penyebabnya.
Operasi
• Craniotomi evakuasi hematom bila
- Hematom subdural dengan ketebalan >10mm atau midline shift >5mm tanpa melihat
GCS
- GCS ≤8 atau bila GCS turun ≥2 poin dari saat pertama datang ke RS, dan atau bila
didapatkan pupil asimetris atau pupil dilatasi dan tetap, dan atau pengukuran TIK
>20mmHg.
15
• ICP Monitor
- GCS < 9
- Hematom subdural dengan tebal < 10mm atau midline shift < 5mm

Hematoma subdural lebih umum terjadi dibandingkan hematoma epidural, terjadi rata-rata
pada 30% pasien dengan cedera kepala. Jika pada hematoma epidural bentuk cedera yang
terjadi adalah biconvex pada hematoma subdural cedera yang terbentuk mengikuti kontur
otak. Kerusakan berat pada subdural hematoma umumnya lebih berat dibandingkan
kerusakan pada hematoma epidural karena adanya cedera parenkimal yang beriringan.

- Contusio dan Hematoma Intraserebral


Definisi
Kumpulan darah, dalam parenkim otak. Ini dapat merupakan perdarahan-perdarahan
kecil yang menyatu, atau cedera pembuluh darah yang cukup besar.
Pemeriksaan Penunjan
- Lab. DL (Darah Lengkap), Crossmatch
Lab. DL (Darah Lengkap) dan crossmatch direkomendasikan pada pasien dengan ICH
yang eligible operative untuk kelancaran proses operasi.
- X-Foto Kepala
X-Foto vertebra kepala direkomendasikan bila jejas cukup besar; kemudian mencari
garis fraktur, aerokel, darah dalam sinus paranasalis, shift glandula pinealis, fragmen
tulang dan korpus alienum. Tidak untuk mencari fraktur basis. Penderita yang
memerlukan CT-scan kepala tidak perlu dibuat X-foto kepala.
- CT Scan Kepala
CT Scan direkomendasikan pada pasien ICH dengan gambaran hiperdens berbentuk
bulan sabit (kresens) . selain itu juga bisa disertai dengan gambaran scalp hematom dan
fraktur kalvaria di kontralateralnya.
- MRI
MRI lebih sensitif untuk menunjukkan area kecil kontusional atau perdarahan kecil,
cedera aksonal, dan perdarahan kecil ekstra aksial.
Terapi
• Operatif Craniotomy + Evakuasi ICH + Dekompresi
Bila didapatkan:
- Volume perdarahan pada frontal atau temporal > 20ml.
16
- Midline shift >5mm
- Dan atau kompresi pada sisterna
- Efek massa dengan deteriorasi neurologis sesuai dengn lesi
- Volume perdarahan lebih dari 50ml
- Hematome Intraserebral di fossa posterior dengan efek massa (distorsi, dislokasi,
obliterasi ventrikel empat, kompresi sisterna basal, atau hidrosefalus obstruktif)
• Operatif pemasangan ICP monitor
Indikasi pemasangan ICP monitor pada cedera otak adalah GCS 3-8 dan CT scan
abnormal yang menunjukkan suatu efek massa seperti hematom dan kontusio. Bila
didapatkan pasien dengan COB (GCS 3-8 setelah proses resusitasi) dengan CT Scan
kepala abnormal tidak indikasi untuk dilakukan evakuasi hematome
• Konservatif

Contusio sering terjadi, umumnya terjadi pada 20% sampai dengan 30% pasien dengan
cedera kepala berat. Contusio kebanyakan terjadi pada lobus temporal dan frontal, meski
dapat pula terjadi pada bagian lain pada tengkorak. Dalam periode beberapa jam sampai
beberapa hari, contusio dapat menyebabkan hematoma intraserebral atau memar yang
bergabung, dan membutuhkan operasi segera. Kondisi ini dapat terjadi pada 20% pasien
yang hanya terdeteksi contusio pada pemeriksaan CT scan awal. Alasan ini menyebabkan
pasien dengan memar perlu melakukan CT Scan lanjutan 24 jam setelah CT scan awal.

Tabel 2 Klasifikasi Cedera Kepala Traumatik


Keparahan • Ringan • GCS 13-15
• Sedang • GCS 9-12
• Berat • GCS 3-8
Morfologi • Fraktur Kepala • Kubah • Lurus vs berbentuk bintang
• Tertekan atau tidak
tertekan
• Basilar • Dengan atau tanpa
kebocoran CSF
• Dengan atau tanpa
kelumpuhan syaraf
• Lesi intrakranial • Terpusat • Epidural
• Subdural
• Intraserebral
• Tersebar • Gegar Otak
• Cedera iskemis atau
hipoksia
• Cederal aksonal

17
II.5 Management Trauma Kepala Berdasarkan Tingkat Keparahan4
1. Penanganan Cedera Kepala Ringan (Skor GCS 13-15)
Cedera kepala ringan didefinisikan sebagai skor GCS 13-15 paska resusitasi. Seringkali
pasien seperti ini mengalami benturan yang berulang, dan terjadi kehilangan fungsi neurologis
sementara. Pasien dengan cedera kepala ringan dan tidak kehilangan kesadaran dapat
mengalami disorientasi, amnesia, atau kehilangan kesadaran sementara. Kehilangan kesadaran
sementara sulit dipastikan karena dapat rancu dengan riwayat konsumsi alkohol atau narkoba.
Jangan pernah menganggap perubahan status mental sebagai faktor perancu sampai cedera otak
dapat dikesampingkan
Kebanyakan pasien dengan cedera kepala ringan melakukan pemulihan dengan lancar.
Sekitar 3% mengalami keadaan yang memburuk, berpotensi terjadi penurunan fungsi
neurologis kecuali dideteksi lebih awal.
Survey sekunder sangatlah penting dalam mengevaluasi pasien dengan trauma otak ringan.
Perhatikan mekanisme terjadinya cedera dan amati jika terjadi hilang kesadaran, termasuk
durasi pasien tidak responsive, terjadi seizure, dan tingkat response pasien. Tentukan durasi
amnesia (baik itu retrograde atau antegrade). Pemeriksaan terus menerus untuk menentukan
skor GCS penting dilakukan pada semua pasien. CT scan adalah metode yang diutamakan
untuk mendapatkan gambaran cedera pasien meski mendapatkan CT scan tidak boleh menunda
pemindahan pasien yang membutuhkan perawatan langsung. Dapatkan CT scan untuk pasien
yang dicurigai secara klinis mengalami retak tengkorak basilar, tempurung kepala yang
terbuka, dan muntah lebih dari dua kali. Dapatkan juga CT scan untuk pasien dengan umur
lebih dari 65 tahun. CT scan juga harus dipertimbangkan untuk pasien yang tidak sadarkan diri
selama 5 menit atau lebih, pasien yang mengalami amnesia retrograde lebih dari 30 menit,
pasien dengan mekanisme cedera berat, pusing berat, gemetaran, kehilangan memori jangka
pendek, keracunan obat atau alkohol, atau kekurangan neurologis pada otak.
Pada saat semua parameter ini diaplikasikan pada pasien dengan nilai GCS sama dengan
13, 25% dengan pemeriksaan CT scan akan menunjukan trauma, dan 1.3% membutuhkan
operasi neurologis. Pada pasien dengan skor CGS sama dengan 15, 10% dengan pemeriksaan
CT scan akan menunjukan trauma dan 0.5% membutuhkan penanganan neurologis. Jika CT
scan menunjukan abnormalitas atau pasien menunjukan gejala gangguan neurologis
berkelanjutan, pindahkan ke rumah sakit atau pusat penanganan trauma. Jika pasien sadar,
responsive, dan tidak menunjukan abnormalitas neurologis, amati setelah beberapa jam dan
jika tidak ada perubahan, pasien dapat dipulangkan. Idealnya, pasien harus didampingi oleh

18
handai taulan yang dapat mengamati pasien selama 24 jam awal. Jika terjadi pusing, atau hilang
ingatan maka pasien perlu kembali diberi perawatan.

Riwayat

• Nama, umur, jenis kelamin, ras,


pekerjaan
• Kejadian cedera
• Waktu cedera
• Kehilangan kesadaran paska
cedera
• Tingkat kewaspadaan setelah
cedera
• Amnesia: Retrograde, Antegrade
• Pusing: Ringan, Sedang, Berat
• Muntah

Pemeriksaan umum untuk mengecualikan


cedera eksternal

Pemeriksaan neurologis terbatas

X-ray pada tulang belakang

Pemeriksaan level alkohol pada darah dan urin

CT scan pada kepala jika kriteria untuk penanganan


neurologis sedang atau tinggi

19
Dimasukan atau dirujuk ke Dipulangkan dari rumah sakit
fasilitas yang tepat

• CT scan abnormal • Pasien tidak memenuhi


• Cedera kepala yang syarat untuk masuk Rumah
berpenetrasi Sakit
• Riwayat kehilangan • Jadwalkan pemeriksaan
kesadaran lanjutan
berkelanjutan
• Tingkat kesadaran yang
memburuk
• Keracunan obat atau
alkohol yang signifikan
• Retak Tulang
• Kebocoran CSF
• Cedera terkait
• Nilai GCS abnormal
• Tidak ada handai taulan
di tempat tinggal
• Cacat Neurologis
Berkepanjangan

2. Penanganan Pada Pasien dengan Cedera Sedang (GCS 9-12)

Sekitar 15% pasien dengan cedera kepala di IGD mengalami cedera kepala sedang.
Umumnya pasien ini masih dapat mengikuti perintah sederhana tapi bingung dan mengantuk
serta dapat mengalami deficit neurologis terpusat seperti hemiparesis. Sekitar 10% sampai

20
dengan 20% dari pasien ini mengalami pemburukan dan jatuh koma. Oleh sebab itu,
pemeriksaan neurologis berkelanjutan penting untuk pasien ini. Penanganan pasien dengan
cedera sedang dapat dilihat di gambar (6-10).
Setelah dibawa ke IGD, dapatkan riwayat singkat pasien dan pastikan keadaan jantung dan
paru-paru pasien stabil. Dapatkan CT scan kepala dan hubungi ahli syaraf atau pusat trauma
jika perlu dipindahkan. Semua pasien dengan cedera kepala sedang perlu diletakan di unit yang
dapat mengawasi gejala neurologis pada 12-24 jam awal. CT scan lanjutan setelah 24 jam perlu
dilakukan jika CT scan awal abnormal atau keadaan pasien memburuk.

3. Penanganan Pada Pasien dengan Cedera Berat (GCS 3-8)

Sekitar 10% pasien dengan cedera kepala di IGD mengalami cedera kepala berat. Pasien
tersebut tidak dapat mengikuti arahan sederhana bahkan setelah dilakukan stabilisasi jantung
dan paru. Meski pasien dengan cedera kepala berat dapat bervariasi jenisnya, perlu
diidentifikasi yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Pendekatan
“Tunggu dan Amati” dapat berakibat fatal pada pasien jenis ini. Diagnosis dan penanganan
segera penting untuk pasien ini. Jangan menunggu Ct scan untuk memindahkan pasien ini.

Tabel 3 Penanganan Cedera Otak Traumatik

Klasifikasi GCS 13-15 Cedera Kepala Ringan 9-15 Cedera Kepala 3-8 Cedera Kepala
Sedang Berat

21
Penanganan Awal Menanyakan riwayat AMPLE: tanyakan Evaluasi bedah Evaluasi bedah
penggunakan anticoagulant syaraf syaraf darurat
Boleh pulang jika Ditangani dengan • Survey awalan • Survey awalan
syarat administrasi keadaan berikut dan resusitasi dan resusitasi
tidak terpenuhi • Atur transfer • Intubasi dan
Tentukan Tidak ada CT Scan, untuk ventilasi untuk
mekanisme CT Scan abnormal, penilaian dan jalur bernafas
kejadian, skor awal retakan tengkorak, penaganan • Tangani
GCS, interval hilang kebocoran CSF neurologis hipotensi,
ingatan, tingkat • Penilaian hypovolemia,
keparahan sakit Kekurangan neurologis dan hipoksia
kepala dsb neurologis terfokus • Penilaian
terpusat • Suevey neurologis
*pemeriksaan sekunder terfokus
neurologis Skor GCS tidak AMPLE • Suevey
sekunder sampai 15 dalam sekunder
waktu 2 jam AMPLE

Diagnostik • CT Scan Tidak ada CT Scan, CT Scan CT Scan


• Tes etOH pada CT Scan abnormal, Evaluasi terperinci Evaluasi terperinci
darah/urin dan retakan tengkorak untuk cedera lain untuk cedera lain
tes toksikologi Pencocokan silang Pencocokan silang
Keracunan berat untuk coagulasi untuk coagulase
Penanganan • Pemeriksaan Lakukan Pemeriksaan Pemeriksaan
sekunder berlanjut sampai Pemeriksaan lanjutan neurologis
GCS 15 dan lanjutan berkelanjutan
pasien tidak Pertimbangkan CT dengan GCS
mengalami Lanjutkan CT Scan lanjtan dalam 12-
kehilangan lanjutan jika GCS 16 jam PaCO2 35-40 mm Hg
ingatan kurang dari 15
• Hilangkan Mannitol,
indikasi untuk CT Lakukan CT jika hiperventilasi
kondisi neurologis sejenak, dosis
memburuk kurang dari 25 mm
HG

PaCO2kurang dari
25 mm Hg kecuali
ada gejala
perdarahan otak.
Hindari
hiperventilasi di 24
jam pertama
setelah cedera saat
aliran darah dapat
berkurang secara
signifikan, pada saat
melakukan
hiperventilasi
pengukuran SjO2
atau PbTO2
diperlukan untuk
mengamati aliran
oksigen

22
Tangani lesi
intrakranial sesuai
keadaan
Disposisi Dipulangkan jika Mendapatkan Lakukan CT Transfer segera ke
pasien tidak evaluasi operasi lanjutan jika perawatan syaraf
memenuhi syarat syarat jika CT keadaan pasien
untuk dirawat menunjukan memburuk dan
abnormalitas atau rawat seperti
Dipulangkan keadaan pasien cedera kepala berat
dengan catatan memburuk
cedera kepala Pindahkan ke pusat
dan pemeriksaan Atur pemeriksaan trauma
lanjutan lanjutan

Tabel 4 indikasi CT-Scan


CT scan kepala diperlukan pada pasien dengan kecurigaan cedera kepala ringan (hilangnya kesadaran,
amnesia, atau disorientasi)
Resiko tinggi untuk intervensi neurologis Resiko sedang untuk cedera otak pada CT
• Skor GCS kurang dari 15 setelah dua jam dari • Hilang kesadaran (lebih dari 5 menit)
cedera • Amnesia sebelum benturan
• Dugaan kepala terbuka atau tengkorak retak • Penyebab yang berbahaya
• Gejala retak kepala basilar
• Muntah (lebih dari dua kali)
• Menggunakan anticoagulant
• Umur lebih dari 65

Secara singkat, management trauma kepala dapat dimulai dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik
Anamnesis
1. Didapatkan riwayat trauma
2. Didapatkan gangguan neurologis (amnesia, penurunan kesadaran, kejang, dll.)
3. Macam trauma: kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas, penganiayaan, jatuh dari
ketinggian dan lain-lain
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Umum
(pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi)
- Pemeriksaan fisik pertama kali diutamakan pada evaluasi A (airways), B (breathing),
dan C (circulation)
Pemeriksaan kepala
- Mencari tanda–tanda jejas, patah dasar tengkorak, patah tulang wajah, trauma pada
mata, auskultasi karotis untuk menentukan adanya bruit
- Pemeriksaan pada leher dan tulang belakang

23
- Mencari tanda–tanda cedera pada tulang belakang (terutama cedera servikal) dan
cedera pada medulla spinalis
Pemeriksaan lain
- Cedera lain dicari dengan cermat dari cranial ke kaudal
- Semua temuan tanda trauma dicatat. Benjolan, luka lecet, luka terbuka, false
movement, flail chest, dinding abdomen, nyeri tekan dan lain-lain, perdarahan yang
tampak segera dihentikan
Pemeriksaan Neurologis
- Tingkat kesadaran Glasgow Coma Scale (GCS)
- Saraf II-III, lesi saraf VII perifer
- Fundoskopi dicari tanda-tanda edema pupil, retinal detachment
- Motoris&sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah
- Autonomis

II.6 Primary Survey dan Resusitasi4


Cedera otak seringkali diperparah oleh kerusakan sekunder. Tingkat mortalitas untuk
pasien dengan kerusakan parah dan memiliki hipotensi sebanyak dua kali lipat dibandingkan
dengan pasien tanpa hipotensi. Adanya hipoksia ditambah dengan hipotensi meningkatkan
tingkat mortalitas sebanyak 75%. Penting untuk menstabilkan jantung dan paru bagi pasien
dengan cedera kepala.

Saluran udara dan pernafasan


Kehilangan nafas sementara dan hipoksia umum terjadi pada pasien dengan cedera
kepala dan dapat menyebabkan cedera kepala sekunder. Pastikan jalan napas dan saturasi
oksigen yang memadai di atas 95%. Cheyne Stokes respiration adalah pola pernapasan
abnormal yang paling umum, ditandai dengan periode hiperventilasi bergantian dengan periode
apnea. Pertimbangkan intubasi jika Glasgow Coma Scale (GCS) <8. Lakukan intubasi
enotrakea pada pasien koma. Berikan pasien dengan 100% oksigen sampai mendapatkan
pengukuran FiO2. Detak oximetri adalah tambahan yang bermanfaat, dan saturasi oksigen lebih
dari 98% adalah ideal. Atur parameter ventilasi untuk menjaga PCO2 sekitar 35 mmHG. Hanya
gunakan hiperventilasi untuk pasien dengan cedera kepala berat atau jka pasien menunjukan
gejala neurologis yang memburuk. Hyperventilasi dengan PCO2 kurang dari 25 mm HG secara
terus menerus tidak direkomendasikan.

24
Sirkulasi
Hipotensi umumnya tidak disebabkan cedera kepala itu sendiri tapi didahului dari
kegagalan sumsum tulang belakang atau ada cedera pada saraf tulang belakang. Perdarahan
intrakranial tidak dapat menyebabkan shock hemoragic. Jika pasien mengalami hypotensive,
tentukan keadaan cairan tubuh pada pasien dengan menggunakan produk darah, atau cairan
isotonic seperlunya.
Ingat bahwa pemeriksaan neurologis pada saat pasien mengalami hipotensi tidak dapat
diandalkan. Pasien hipotensi yang di awal pemeriksaan tidak dapat meresponse terhadap
rangsangan memiliki kemungkinan pulih setelah distabilkan tekanan darahnya. Penting untuk
mengobati penyebab utama dari hipotensi.
Pertahankan tekanan darah sistol di >100 mmHG pada pasien berumur 50-69 atau >110
mmHG lebih pada pasien berumur 15-49 tahun atau lebih dari 70 tahun, ini dapat membantu
mengurangi mortalitas dan memperbaiki outcome.

Pemeriksaan Neurologis
Setelah keadaan paru-paru dan jantung pasien dapat distabilkan, lakukan pemeriksaan
neurologis yang meliputi skor GCS, response pupil terhadap cahaya, dan defisit neurologis
pusat. Penting untuk memperhitungkan faktor perancu dalam mengevaluasi cedera kepala
traumatic, termasuk adanya alkohol, narkoba, atau substansi sejenis, dan cedera lain. Jangan
pernah melewati cedera kepala karena pasien mabuk.
Keadaan setelah pasien mengalami kejang traumatik akan memperburuk keadaan
pasien selama beberapa menit atau jam. Pada pasien koma, response motorik dapat dipicu
dengan mencubit otot trapezius. Pada saat pasien menunjukan response yang bervariasi
terhadap suatu stimulasi, umumnya response motorik terbaik akan menunjukan prognostik
yang lebih akurat dibandingkan response terburuk. Uji dengan oculocephalic, test kalori
dengan air es (oculovestibular), dan tes terhadap kornea ditangguhkan kepada ahli bedah.
Jangan pernah melakukan test oculocephalic sampai dipastikan tidak terjadi cedera serviks
tulang belakang.
Penting untuk mendapatkan test GCS dan melakukan pemeriksaan pupil sebelum
membius pasien karena pengetahuan mengenai kondisi klinis pasien akan memengaruhi
perawatan yang diberikan selanjutnya. Jangan memberikan obat bius kuat pada saat melakukan
pemeriksaan awalan. Jangan pernah memberi obat bius kecuali keadaan pasien dapat
memberburuk kondisi. Gunakan obat bius dengan efek tercepat untuk memberikan intubasi
endotrakea. Sebelum pasien diberikan intubasi, lakukan pemeriksaan neurologis.
25
Anestesi, analgesic, dan obat penenang
Anestesi, analgesic, dan obat penenang harus diberikan pada pasien dengan cedera otak
dengan penuh pertimbangan. Pemberian obat-obat ini pada jumlah berlebih dapat menunda
pengamatan terhadap laju kerusakaan otak, menganggu pernafasan, dan komplikasi. Sebagai
gantinya, gunakan obat penenang dengan efek paling cepat dan dosis paling kecil. Dosis obat
tipe IV dapat digunakan untuk analgesic dan dapat dihilangkan dengan naloxone jika
diperlukan. Obat tipe IV dengan efek cepat seperti benzodiazapin seperti midazolam dapat
diberikan sebagai obat penenang dan dapat dihilangkan dengan flumazenil.

II.7 Secondary Survey4


Lakukan pemeriksaan lanjutan (GCS, tanda tanda cedera, dan reaksi pupil) untuk
mendeteksi gangguan neurologis sedini mungkin. Salah satu ciri awal dari kerusakan lobus
temporal adalah dilasi pupil dan ketidakmampuan pupil untuk meresponse cahaya. Cedera
langsung pada mata juga dapat merancukan hasil pemeriksaan, pada saat cedera kepala.
Kerusakan otak harus dipertimbangkan terlebih dahulu. Pemeriksaan neurologis lengkap
dilakukan pada saat survey sekunder.

II.8 Prosedur diagnostik4


Pada pasien dengan cedera kepala serius atau sedang, dokter harus segera mendapatkan
CT Scan pasien setelah melakukan normalisasi hemodinamik. CT scan juga harus dilakukan
berulang jika terjadi perubahan status klinis pasien dan rutin setiap 24 jam pada pasien dengan
cedera di subfrontal/temporal intraparenkimal, pasien yang menerima terapi antikoagulan,
pasien dengan umur diatas 65 tahun, atau pasien yang mengalami perdarahan intracranial
dengan volume lebih dari >10mL.
Hasil CT scan yang signifikan termasuk pembengkakan pada area yang terkena
benturan. Retakan pada tengkorak dapat terlihat pada bukaan tulang tapi dapat juga terlhat dari
jaringan tulang lunak. Hasil CT yang krusial diantaranya adalah adanya perdarahan di
intrakranial dan pergeseran struktur.

II.9 Terapi medis untuk cedera otak4


Tujuan utama dari protocol perawatan intensif adalah untuk mencegah cedera lanjutan pada
otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasar pada perawatan cedera otak traumatik adalah
26
jika jaringan otak diberi kondisi optimal maka bagian tersebut dapat kembali berfungsi normal.
Terapi medis untuk cedera otak termasuk cairan intravena, pemberian antikoagulan yang tepat,
hiperventilasi, mannitol, cairan garam hipertonik, barbiturasi, dan antikonvulsan.

Cairan Intravena
Untuk meresusitasi pasien dan menjaga normovolemia, tim trauma akan memberikan cairan
intravena, darah, dan produk darah sesuai kebutuhan. Hypovolemia pada pasien dengan cedera
kepala traumatik berbahaya. Penting bagi dokter untuk tidak memberikan terlalu banyak cairan
kepada pasien, dan menghindari cairan hipotonik. Lebih lanjut lagi, cairan dengan kandungan
glukosa dapat menyebabkan hiperglikemi yang dapat mengganggu otak yang cedera. Cairan
Ringer laktat atau cairan garam normal direkomendasikan untuk resusitasi. Awasi level sodium
pada pasien dengan cedera kepala. Hiponatremia diasosiasikan dengan edema otak dan harus
dicegah.

Pemberian antikoagulan yang tepat


Hati-hati dalam menilai dan memperlakukan pasien cedera kepala traumatik yang sedang
menerima antikoagulan atau terapi anti-platelet. Setelah mendapatkan rasio normalisasi
internasional, dokter harus mendapatkan CT Scan pasien tersebut saat dibutuhkan.

Hiperventilasi
Pada kebanyakan pasien, normocarbia lebih diutamakan. Hiperventilasi dilakukan dengan
menurunkan PcO2 dan memicu vasokonstriksi otak. Hiperventilasi yang agresif dan
berkelanjutan dapat menyebabkan iskemia otak pada otak yang telah mengalami cedera dengan
menyebabkan vasokonstriksi otak dan mengganggu perfusi otak. Resiko ini akan semakin
tinggi jika PaO2 dibiarkan dibawah level 30 mmHG. Hipercarbia (PCO2 > 45 mmHG) akan
memicu vasolidasi dan meningkatakan tekanan intrakranial, dan umumnya harus dihindari.
Gunakan Hiperventilasi sesedikit mungkin dan dalam janga sependek mungkin. Umumnya,
lebih diutamakan untuk menjaga PaCO2 di kisaran 35 mmHG (4.7kPa) atau batas bawah
kisaran normal PaCO2. Hiperventilasi singkat mungkin diperlukan untuk mengendalikan
kerusakan neurologis lanjutan pada saat diberikan perawatan lain. Hyperventilasi dapat
menurunkan ICP pada pasien sehingga dokter dapat melakukan craniotomy darurat
Mannitol
Mannitol digunakan untuk menurunkan ICP. Persiapan paling umum adalah cairan 20% ( 20 g
mannitol per 100 ml cairan). Jangan berikan mannitol kepada pasien dengan hipotensi karena
27
mannitol tidak menurunkan ICP pada pasien tersebut. Justru dapat menyebabkan pasien
hipotensi bertambah parah atau iskemia otak. Jika pasien menunjukan pupil yang berdilatasi,
hilang kesadaran, atau hemiparesis maka kemungkinan pemberian mannitol tidak tepat. Dalam
kondisi demikian berikan injeksi bolos mannitol (1g/kg) selama 5 menit dan lakukan CT Scan-
atau pindahkan ke ruangan operasi

Terapi berdasarkan Tingkat Keparahan5


Penatalaksanaan COS (GCS 9-12)
- Dirawat di rumah sakit untuk observasi, pemeriksaan neurologis secara periodik.
- Bila kondisi membaik, pasien dipulangkan dan kontrol kembali, bila kondisi memburuk
dilakukan CT-Scan Scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala
berat.
Penatalaksanaan COB (GCS <= 8)
- Pastikan jalan nafas pasien clear, berikan oksigenasi 100% dan jangan banyak
memanipulasi gerakan leher sebelum cedera cervical dapat disingkirkan, bila perlu
intubasi.
- Head Up 30 derajat
- Berikan cairan secukupnya (normal saline) untuk resusitasi korban agar tetap
normovolemia, atasi hipotensi yang terjadi dan berikan transfuse darah jika Hb kurang
dari 10 gr/dl.
- Periksa tanda vital, adanya cedera sistemik di bagian anggota tubuh lain, GCS dan
pemeriksaan batang otak secara periodik.
- Berikan obat-obatan analgetik (misal: acetaminophen, ibuprofen untuk nyeri ringan dan
sedang) bila didapatkan keluhan nyeri pada penderita
- Berikan obat-obatan anti muntah (misal: metoclopramide atau ondansentron) dan anti
ulkus gastritis H2 bloker (misal: ranitidin atau omeprazole) jika penderita muntah
- Berikan Cairan hipertonik (mannitol 20%), bila tampak edema atau cedera yang tidak
operable pada CT Scan. Manitol dapat diberikan sebagai bolus 0,5 – 1 g/kg. BB pada
keadaan tertentu, atau dosis kecil berulang, misalnya (4-6) x 100 cc manitol 20% dalam
24 jam. Penghentian secara gradual.
- Berikan Phenytoin (PHT) profilaksis pada pasien dengan resiko tinggi kejang dengan
dosis 300 mg/hari atau 5-10 mg kg BB/hari selama 10 hari. Bila telah terjadi kejang,
PHT diberikan sebagai terapi.

28
II.10 Tekanan Tinggi Intrakranial6
Monro–Kellie doktrin menjelaskan tentang kemampuan regulasi otak yang
berdasarkan volume yang tetap. Selama total volume intrakranial sama, maka
Tekanan Intrakrania (Intracranial pressure – ICP) akan konstan. Peningkatan
volume salah satu faktor harus diikuti kompensasi dengan penurunan faktor lainnya
supaya volume tetap konstan. Perubahan salah satu volume tanpa diikuti respon
kompensasi dari faktor yang lain akan menimbulkan perubahan ICP. Beberapa
mekanisme kompensasi yang mungkin antara lain cairan serebrospinal diabsorpsi
dengan lebih cepat atau arteri serebral berkonstriksi menurunkan aliran darah otak.
Volume tekanan Intrakranial:
• ICP normal: 5-15 mmHg
• ICP Ringan : 15 – 25 mmHg
• ICP sedang : 25-40 mmHg
• ICP berat : > 40 mmHg
ICP perlu dimonitoring dalam penatalaksanaan tekanan tinggi intrakranial.
Peningkatan ICP dapat mengurangi tekanan perfusi serebral (cerebral perfusion
pressure – CPP). Pada orang dewasa dengan TTIK, CPP perlu dipertahankan diatas
70mmHg. Intracranial pressure monitoring perlu dilakukan untuk deteksi dini
komplikasi. Peningkatan ICP yang progresif mengindikasikan pendarahan
intraserebri, edema serebri, atau hidrosefalus. ICP sangat penting untuk
memprediksi prognosis kesembuhan setelah cedera kepala.

CBF = Cerebral Perfussion Pressure (CPP) / Cerebral Vascular Resistance (CVR)


CPP = Mean Arterial Pressure (MAP) - ICP
Pada prakteknya, CPP adalah tekanan pada pengiriman darah ke otak. Pada
individu yang menderita hipertensi jangka panjang dengan otak yang tidak
mengalami trauma, aliran darah serebral (CBF) adalah konstan pada kisaran MAP
50-150 mmHg. Hal ini terjadi karena autoregulasi dari arteriol, yang akan
berkonstriksi atau berdilatasi sesuai dengan kisaran tekanan darah untuk
mempertahankan jumlah aliran darah ke otak yang konstan.
Ketika MAP kurang dari 50 mmHg atau lebih dari 150 mmHg, arteriol tidak
sanggup untuk mengatur dan aliran darah menjadi sepenuhya bergantung pada
tekanan darah, disebut dengan pressure-passive flow. CBF tidak akan konstan lagi
tetapi bergantung dan proporsional terhadap CPP. Maka, ketika MAP turun hingga
29
di bawah 50 mmHg, otak beresiko untuk terjadi iskemi karena insufisiensi aliran
darah, sementara jika MAP lebih besar dari 160 mmHg akan menyebabkan
peningkatan CBF yang akan menghasilkan peningkatan ICP. Sistem autoregulasi
bekerja dengan baik pada otak yang tidak traumatik, sementara pada otak yang
traumatik terjadi gangguan. Sebagai hasilnya, pressure-passive flow terjadi pada dan
di sekitar area yang mengalami trauma, dan mungkin, meluas ke otak yang
mengalami trauma.

Etiologi
Penyebab terjadinya peningkatan ICP dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Peningkatan volume pengisi intrakranial
- Otak : edema serebri
- CSF : hidrosefalus
- darah : vasodilatasi sekunder akibat tinggina CO2
2. Space-occupying lesion
Tumor, abses, hematom, kista
3. Idiopathic (contoh: pseudotumor cerebri)

Gejala Klinis TTIK pada Dewasa


1. Nyeri Kepala Hebat
Struktur pada intrakranial yang sensitive terhadap nyeri adalah arteri
meningea media dan percabangannya, sinus venosus dan arteri besar dan
dura pada dasar otak, dimana struktur-struktur ini kaya akan innervasi
sensoris. Saat terjadi peningkatan ICP, pembuluh darah otak akan berdilatasi
dengan tujuan untuk memberikan suplai darah yang adekuat ke otak. Dilatasi
dari pembuluh darah, traksi pada bridging vein dan penarikan pada arteri di
dasar otak dan kompresi pada dura yang sensitive terhadap nyeri pada dasar
tengkorak akan menimbulkan nyeri kepala. Nyeri kepala ini tidak selamanya
muncul pada lokasi tertentu sesuai dengan lesi spesifiknya akan tetapi
muncul pada bagian frontal dan oksipital.
2. Mual dan muntah
Perubahan apapun pada batang otak sebagai hasil dari peningkatan ICP akan
mengakibatkan muntah. Apabila lesi yang terjadi langsung mempengaruhi
mekanisme muntah, maka afferen-nya akan melalui jalur yang pendek
30
sehingga muntah akan terjadi tanpa disertai rasa mual—sebagai hasilnya
terjadi muntah yang proyektil.
3. Papiledema
Ruang subdural dan subarachnoid terdapat di sepanjang N.optikus. Oleh
karena itu, peningkatan ICP akan dihantarkan ke sepanjang N.optikus.
Sebagai hasil dari edema pada bagian depan dari nervus optikus, dapat
ditemukan disc optik yang kabur, disertai dengan pelebaran pada vena retina
dengan tidak adanya pulsasi. Apabila situasi ini terus berlanjut, atrofi pada
bagian depan dari nervus akan terjadi dan disertai dengan penurunan pada
visus yang bisa berlanjut pada kebutaan. Edema papil mungkin akan
terlambat untuk ditemukan pada peningkatan ICP dan mungkin saja tidak
terjadi pada semua pasien dengan peningkatan ICP.
4. Penurunan kesadaran
Rasa kantuk adalah tanda yang penting dari peningkatan ICP. Peningkatan
ICP menyebabkan kerusakan pada reticular activating system yang akan
mengakibatkan timbulnya rasa kantuk; hal ini akan berlanjut pada koma dan
kematian apabila peningkatan ICP ini tidak dihilangkan.
5. 6th cranial nerve palsy: False localizing sign
Tekanan Tinggi Intrakranial dapat meregangkan CN VI yang
dimanifestasikan dalam bentuk mata tidak bisa bergerak ke lateral.

Gejala Klinis TTIK pada Anak


1. Macrocephaly
2. Anterior fontanel membesar dan tegang
3. Skull sutura meregang
4. Venektasi
5. Sunset of eyes

Metode Pengukuran ICP


Indikasi: cedera kepala berat, pendarahan intracerebri, extensive cerebral
edema (contoh: setelah infark, hipoxia, intoksikasi), sebelum operasi intrakranium.
Ada 3 kelompok metode pengukuran ICP:
31
1. Epidural (EDP)
Penanaman sensor tekanan atau penempatan transducer langsung di atas
permukaan dura. Mudah untuk dilakukan secara extrakranial, tetapi kurang
akurat.
2. Subdural
Memasang stopcock yang diisi saline pada rongga subdural melalui lubang
pada kranium. Stopcock ini dihubungkan dengan tranducer melalui pipa
intravena berisis saline.
3. Intraventrikuler
Merupakan gold standard, memungkinkan untuk drainase CSF untuk
mengurangi ICP, tetapi invasif, pemasangan sulit, risiko infeksi tinggi.

Penatalaksanaan
Penanganan yang terbaik untuk peningkatan ICP adalah pengangkatan dari lesi
penyebabnya seperti tumor, hidrosefalus, dan hematoma. Pengobatan ditujukan
untuk mencegah peristiwa sekunder.
1. Penanganan Primer
Tindakan utama untuk peningkatan ICP adalah untuk mengamankan
ABCDE (primary survey) pada pasien. Pasien dengan skor GCS kurang dari 8 harus
diintubasi untuk melindungi airway, dengan alasan intubasi ini mampu memberikan
ventilasi tekanan positif yang kemudian dapat meningkatkan tekanan vena sentral
yang kemudian akan menghasilkan inhibisi aliran balik vena sehingga akan
meningkatkan ICP.
Posisi kepala pasien juga harus diperhatikan. Elevasi kepala 30o dapat
menurunkan ICP pada komdisi normal dan pada pasien dengan cedera kepala
melalui mekanisme penurunan tekanan hidrostatis CSF yang akan menghasilkan
aliran balik vena. Pasien harus diposisikan dengan kepala menghadap lurus ke
depan karena apabila kepala pasien menghadap ke salah satu sisinya dan disertai
dengan fleksi pada leher akan meynebabkan penekanan pada vena jugularis interna
dan memperlambat aliran balik vena.
Osmotherapi berguna dalam tahap edema sitotoksik, ketika permeabilitas
kapiler yang masih baik, dengan meningkatkan osmolalitas serum. Manitol masih
merupakan obat yang baik untuk mengurangi ICP dan juga dapat bertindak sebagai

32
scavenger radikal bebas. Manitol tidak inert dan tidak berbahaya. Adapun cara kerja
manitol adalah:
menyebabkan vasokonstriksi yang mengurangi volume darah otak dan menurunkan ICP dan
dapat mengurangi produksi CSF oleh pleksus choroideus. Dalam dosis kecil dapat melindungi
otak dari iskemik karena fleksibilitas eritrosit meningkat.
b. Efek diuretik terutama di sekitar lesi, di mana integritas BBB otak terganggu dan tidak ada
pengaruh yang signifikan pada otak normal. Lesi intraaxial merespon lebih baik dari lesi ekstra
aksial.
c. Menarik air di ependyma dari ventrikel dengan cara analog dengan yang dihasilkan oleh
drainase ventrikel.

Diuretik seperti furosemid, baik sendiri atau bersama dengan bantuan manitol untuk
mempercepat ekskresi dan mengurangi osmolalitas serum awal sebelum dosis berikutnya.
Dosis Manitol : 20% 1g/kgBB/24 jam IV single dose, atau 0.25-0.5g/kgBB 6-8 jam
Dosis Furosemid : 1mg/kgBB/24 jam IV single dose, atau 0.25-0.5mg/kgBB 6-8 jam

2. Penanganan Sekunder
• Hipotermi
Temperatur tubuh dibuat menjadi lebih rendah dari temperature tubuh yang normal yaitu
sekitar 32°C – 34 °C. Metode ini dapat mungkin menurunkan ICP dengan menurunkan
metabolisme dari otak. Metode terapi ini selama 8 jam atau lebih dapat dipertimbangkan untuk
terapi pada peningkatan ICP. Komplikasi dari metode hipotermia ini meliputi depresi jantung
pada suhu di bawah 32°C. dan peningkatan insiden komplikasi berupa infeksi seperti
pneumonia telah dilaporkan pada metode terapi ini.
• Agen anestesi – Barbiturat
Barbiturat dapat menurunkan ICP ketika tindakan-tindakan lain gagal, tetapi tidak memiliki
nilai profilaksis. Mekanismenya menghambat peroksidasi lipid dimediasi radikal bebas dan
menekan metabolisme serebral; persyaratan metabolisme otak dan dengan demikian volume
darah otak yang berkurang mengakibatkan penurunan ICP.
• Hiperventilasi (target 30-35)
Hiperventilasi digunakan pada pasien dengan skor GCS > 5. Pembuluh darah otak merespon
dengan cepat pada perubahan PaCO2. PaCO2 yang rendah dapat menyebabkan vasokonstriksi,
yang kemudian akan mengurangi komponen darah dalam volume intrakranial, dimana
peningkatan PaCO2 menyebabkan vasodilatasi. Hiperventilasi bertujuan menjaga agar PaCO2
33
berada pada level 25 – 30 mm Hg sehingga CBF akan turun dan volume darah otak berkurang
dan dengan demikian mengurangi ICP. Hiperventilasi menjadi tidak efektif setelah sekitar 24
jam. Kecenderungannya adalah untuk menjaga ventilasi normal dengan PaCO2 di kisaran 30
– 35 mmHg dan PaO2 dari 120-140 mmHg. Ketika ada pemburukan klinis seperti dilatasi pupil
atau tekanan nadi melebar, hiperventilasi dapat dilakukan (sebaiknya dengan Ambu bag)
sampai ICP turun
• Vasopressor (CPP>70)
• Craniectomy dekompresi
Dilakukan pengangkatan bagian tertentu dari tulang tengkorak kepala dan duramater
dibebaskan agar otak dapat membesar tanpa adanya herniasi. Bagian dari tulang tengkorak
kepala yang diangkat ini desebut dengan bone flap. Bone flap ini dapat disimpan pada perut
pasien dan dapat dipasang kembali ketika penyebab dari peningkatan ICP tersebut telah
disingkirkan. Material sintetik digunakan sebagai pengganti dari bagian tulang tengkorak yang
diangkat.

II.11 Herniasi6
Jika massa intrakranial membesar, kompensasi awal adalah pemindahan cairan cerebrospinal
ke kanal spinal. Perpindahan cairan cerebrospinal keluar dari kranial adalah mekanisme
kompensasi pertama dan utama, tapi lengkung kranial dapat mengakomodasi peningkatan
volume intrakranial hanya pada satu titik. Ketika compliance otak berlebihan, TIK meningkat,
timbul gejala klinis, dan usaha kompensasi lain untuk mengurangi tekananpun dimulai.
Kompensasi kedua adalah menurunkan volume darah vena dalam otak. Ketika volume darah
diturunkan sampai 40% jaringan otak menjadi asidosis. Ketika 60% darah otak hilang,
gambaran EEG mulai berubah. Kompensasi ini mengubah metabolisme otak, sering mengarah
pada hipoksia jaringan otak dan iskemia.
Kompensasi tahap akhir dan paling berbahaya adalah pemindahan jaringan otak melintasi
tentorium dibawah falx cerebri, atau melalui foramen magnum ke dalam kanal spinal. Proses
ini dinamakan herniasi dan sering menimbulkan kematian dari kompresi batang otak. Otak
disokong dalam berbagai kompartemen intrakranial. Kompartemen supratentorial berisi semua
jaringan otak mulai dari atas otak tengah ke bawah. Bagian ini terbagi dua, kiri dan kanan yang
dipisahkan oleh falx cerebri. Supratentorial dan infratentorial (berisi batang otak dan
serebellum) oleh tentorium cerebri. Otak dapat bergerak dalam semua kompartemen itu.
Tekanan yang meningkat pada satu kompartemen akan mempengaruhi area sekeliling yang
tekanannya lebih rendah.
34
Ada tiga bentuk herniasi otak, yaitu :
1. Hernia subfalksin (hernia singulatus) terjadi bila gyrus singulus mengalami herniasi di
bawah falks cerebri
2. Hernia unsinatus (hernia unkal, hernia transtentorial), unkus dari lobus temporalis
terdorong kearah medial bawah melalui celah tentorium. Pendorongan ini meregangkan
saraf kranial okulomotorius (N.III) sehingga menyebabkan dilatasi pupil yang khas
pada sisi yang sama dengan lesi hernia.
3. Hernia tonsilaris adalah pendorongan tentorium cerebellum melalui foramen magnum.
Keadaan demikian menyebabkan penekanan pada batang otak dan pusat pernapasan,
bila tidak diatasi, akan menimbulkan gangguan pernapasan, bila tidak diatasi, akan
menimbulkan gangguan pernapasan berupa pernapasan yang tidak teratur, disusul
dengan apneu dan kematian.

Penatalaksanaan
1. Menurunkan volume darah otak
• Hiperventilasi
• Elevasi kepala 30o dengan posisi di tengah dengan tujuan tidak menghambat
venous return
• Menurunkan metabolisme otak dengan pemberian barbiturat
• Cegah atau atasi kejang
• Cegah hiperpireksia
• Apabila mungkin dilakukan surface cooling supaya terjadi hipothermia
• Restriksi cairan 60% kebutuhan, kecuali bila hipotensi
2. Menurunkan volume dari cairan serebrospinal
• Acetazolamide 25 mg/KgBB/hari PO dibagi dalam 3 dosis. Dosis dapat
dinaikkan 25 mg/KgBB/hari (Maksimal 100 mg/KgBB/hari)
• VP shunt
3. Menurunkan volume otak
• Osmotik diuretik : Mannitol dosis awal 0,5-1 mg/KgBB IV kemudian
dilanjutkan 0,25-0,5 mg/KgBB IV setiap 4-6 jam
• Loop diuretik : Furosemide 0,5-1 mg/KgBB/dosis IV tiap 6-12 jam
• Steroid : Dexamethasone dosis awal 0,5 mg/KgBB IV dilanjutkan dosis rumatan
0,1 mg/KgBB/dosis tiap 6 jam selama 3 hari

35
4. Apabila 1, 2, 3 tidak ada kemajuan, dipertimbangkan untuk melakukan temporal
dekompresi dengan kraniektomi

BAB III
PENUTUP

36
Kesimpulan yang dapat ditarik dari bab ini adalah sebagai berikut:
1. Penting untuk memahami struktur anatomi dari kranium kepala untuk memahami dan
melakukan tatalaksana cedera.
2. Pasien yang mengalami cedera kepala perlu dievaluasi dengan efisien dan cepat.
3. Melakukan stabilisasi darah dan pernafasan penting sebagai langkah awal untuk
memanage pasien.
4. Resusitasi yang cukup penting untuk mencegah trauma otak sekunder, cegah
hypovolemia dan hipoksia.
5. Selalu lakukan analisis neurologis sebelum memberi penanganan kepada pasien. Ingat
bahwa hipotensi dapat memperburuk keadaan pasien.
6. Pahami penggunaan Glasgow Coma Scale (GCS) dalam melakukan analisis keparahan
cedera otak pasien.
7. Skor GCS sama dengan atau kurang dari 8 diklasifikasikan sebagai koma atau cedera
otak parah. Pasien dengan skala GCS 9 sampai 12 dikateogrikan sebagai cedera otak
sedang, dan pasien dengan skala GCS 13-15 dikateogrikan sebagai cedera otak ringan

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Sherly, Novika. 2016. Kegawatdaruratan Bedah Saraf Nontraumatika. Cilandak


2. Kulkarni, K. Pattern and categorisation of neurosurgical emergencies. 2012. Diakses
pada Agustus 2018
http://www.jnaccjournal.org/article.asp?issn=23480548;year=2017;volume=4;issue=4
;spage=6;epage=8;aulast=Kulkarni
3. Snell RS, Sugiharto L. 2011. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta; EGC.
4. American College of Surgeons. 2018. ATLS: Advanced Trauma Life Support Tenth
Edition. Amerika
5. Perhimpunan Spesialis Bedah Saraf Indonesia. 2016. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Ilmu Bedah Saraf. Jakarta
6. Maisyarah, Tiara. 2014. Clinical Science Session Kegawatdaruratan dalam Bedah
Saraf. Bandung

38

Anda mungkin juga menyukai