DISUSUN OLEH:
MUHAMMAD FERDIANSYAH SULISTIAWAN
113063J122019
Secara garis besar, sistem saraf dibagi menjadi 2, yaitu sistem saraf
pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat (SSP) terbentuk oleh otak
dan medulla spinalis. Sistem saraf disisi luar SSP disebut sistem saraf tepi
(SST). Fungsi dari SST adalah menghantarkan informasi bolak balik
antara SSP dengan bagian tubuh lainnya.
Gambar 1.
Hematoma ganglion kiri hipertensi dengan IVH.
Gambar 2.
Pasien yang sama seperti diGambar 1, setelah evakuasi bedah hematoma setelah
kerusakan neurologis. Panah hitam menunjukkan pelebaran fisura Sylvian, yang terbelah
mendekati hematoma dari daerah yang paling dangkal. Flap tulang tidak diganti karena
pembengkakan otak yang parah.
Gambar 4.
IVH terisolasi pada pasien antikoagulan.
Gambar 5.
Pasien ini mengalami perdarahan yang tampak seperti hematoma ganglion dengan IVH,
tetapi pengamatan lebih dekat menunjukkan aneurisma MCA sebagian trombosis (panah
putih, kanan atas).
D. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala hematoma intrakranial tepat setelah cedera kepala, atau
mungkin membutuhkan waktu berminggu-minggu atau lebih lama untuk
muncul. Anda mungkin tampak baik-baik saja setelah cedera
kepala. Periode ini disebut interval jernih.
muntah
Mengantuk dan kehilangan kesadaran secara progresif
Pusing
Kebingungan
Bicara cadel
Karena lebih banyak darah memenuhi otak Anda atau ruang sempit antara
otak dan tengkorak Anda, tanda dan gejala lain mungkin muncul, seperti:
Kelesuan
Kejang
Ketidaksadaran
E. Epidemiologi
Perdarahan intraserebral (ICH) atau perdarahan di dalam parenkim
otak adalah penyebab paling umum kedua dari semua kasus defisit
neurologis mendadak setelah stroke dan memiliki mortalitas tertinggi di
antara semua jenis stroke. Sebuah studi pada tahun 1993 menunjukkan
bahwa kelangsungan hidup 1 tahun setelah ICH adalah 38% dan ini telah
meningkat menjadi hanya 52% pada tahun 2009. Kematian di rumah sakit
tetap stabil di sekitar 34% selama tiga dekade terakhir, yang semuanya
menjadikan pencegahan sebagai landasan pengobatan penyakit yang
menghancurkan ini. Insiden ICH di Amerika Serikat diperkirakan sekitar
24,6/100.000 orang-tahun, berkisar antara 1,8-129 per 100.000 orang-
tahun dan ini kemungkinan akan meningkat selama beberapa dekade
mendatang karena persentase penduduk lanjut usia meningkat.
F. Patofisiologi
Perdarahan intraserebral mengakibatkan kerusakan primer akibat
cedera pada jaringan saraf. Hal ini diikuti oleh kerusakan sekunder akibat
peningkatan tekanan intrakranial serta adanya darah
intraparenkim. Kerusakan sekunder terjadi melalui beberapa jalur yang
berjalan secara bersamaan, yang pada akhirnya menyebabkan hilangnya
sawar darah otak dan edema serebral berat yang mengakibatkan lisis
seluler yang luas. Seperti pada cedera otak traumatis, pengangkatan dini
hematoma dan debris seluler, baik dengan operasi pengangkatan bekuan
darah atau dengan aksi sel inflamasi seperti mikroglia dan makrofag,
membantu mengurangi tingkat kerusakan sekunder. Penelitian pada hewan
menunjukkan bahwa edema perihematoma dapat dibagi menjadi tiga fase:
segera (hingga 24 jam setelah perdarahan), menengah (dari 24 jam hingga
5 hari), dan lanjut (lebih dari 5 hari). Hasil edema langsung dari protein
osmotik aktif terakumulasi di kompartemen ekstravaskular dan dapat
dilihat pada studi histologis, tetapi tidak pada pencitraan. Perdarahan
intraserebral mengakibatkan kerusakan primer akibat cedera pada jaringan
saraf. Hal ini diikuti oleh kerusakan sekunder akibat peningkatan tekanan
intrakranial serta adanya darah intraparenkim. Kerusakan sekunder terjadi
melalui beberapa jalur yang berjalan secara bersamaan, yang pada
akhirnya menyebabkan hilangnya sawar darah otak dan edema serebral
berat yang mengakibatkan lisis seluler yang luas. Seperti pada cedera otak
traumatis, pengangkatan dini hematoma dan debris seluler, baik dengan
operasi pengangkatan bekuan darah atau dengan aksi sel inflamasi seperti
mikroglia dan makrofag, membantu mengurangi tingkat kerusakan
sekunder. Penghancuran sel darah merah karena aktivasi kaskade
pembekuan melepaskan trombin yang lagi-lagi menyebabkan gangguan
sawar darah otak, kegagalan pompa natrium, dan peningkatan
edema. Edema intermediet ini dapat divisualisasikan secara
radiologis. Edema serebral lanjut terjadi akibat kerusakan oksidatif akibat
pelepasan radikal bebas yang merupakan akibat dari destruksi sel dan
pemecahan hemoglobin.
Beberapa jalur tambahan untuk kerusakan sel setelah perdarahan
intraserebral telah dianjurkan, seperti apoptosis atau kematian sel
terprogram yang terkait dengan ekspresi faktor nuklir-kB dalam nukleus
neuron dan pemecahan heme ekstravasasi menjadi bilirubin dan produk
oksidasi bilirubin, yang mengaktifkan mikroglia. Mikroglia kemudian
mengaktifkan molekul adhesi leukosit pada dinding endotel, menyebabkan
masuknya leukosit ke otak. Mikroglia yang teraktivasi menghasilkan
sitokin yang bersama dengan leukosit memediasi cedera sel lebih lanjut.
G. Penatalaksanaan
Penanganan terhadap pasien stroke terutama pasien baru
seharusnya dilakukan dengan cepat dan tepat. Kepstian penentuan
tipepatologi stroke secara dini sangat penting untuk pemberian obat yang
tepat guna mencegah dampak yang alebih fatal. Prosedur utama diagnosis
stroke (Gold Standart) menggunakan Computed Tomography (CT) scan,
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Elektrokardiogram (EKG atau
ECG). Diagnosis penyakit stroke dapat juga dilakukan melalui
pemeriksaan klinis mulai dari menanyakan gejala yang dirasakan pasien,
anamnesis atau pengambilan data riwayat penyakit pasien dan
keluarganya, dan pemeriksaan neurologi (Buckner et al., 2016).
H. Pathway
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Primary Survey (ABCDE)
1) Airway. Tanda-tanda objektif-sumbatan Airway
a) Look (lihat) apakah penderita mengalami agitasi atau kesadarannya
menurun. Agitasi memberi kesan adanya hipoksia, dan penurunan
kesadaran memberi kesan adanya hiperkarbia. Sianosis menunjukkan
hipoksemia yang disebabkan oleh kurangnya oksigenasi dan dapat
dilihat dengan melihat pada kuku-kuku dan kulit sekitar mulut. Lihat
adanya retraksi dan penggunaan otot-otot napas tambahan yang
apabila ada, merupakan bukti tambahan adanya gangguan airway.
Airway (jalan napas) yaitu membersihkan jalan napas dengan
memperhatikan kontrol servikal, pasang servikal kollar untuk
immobilisasi servikal sampai terbukti tidak ada cedera servikal,
bersihkan jalan napas dari segala sumbatan, benda asing, darah dari
fraktur maksilofasial, gigi yang patah dan lain-lain. Lakukan intubasi
(orotrakeal tube) jika apnea, GCS (Glasgow Coma Scale) < 8,
pertimbangan juga untuk GCS 9 dan 10 jika saturasi oksigen tidak
mencapai 90%.
b) Listen (dengar) adanya suara-suara abnormal. Pernapasan yang
berbunyi (suara napas tambahan) adalah pernapasan yang tersumbat.
c) Feel (raba)
2) Breathing. Tanda-tanda objektif-ventilasi yang tidak adekuat
a) Look (lihat) naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan
dinding dada yang adekuat. Asimetris menunjukkan pembelatan
(splinting) atau flail chest dan tiap pernapasan yang dilakukan
dengan susah (labored breathing) sebaiknya harus dianggap sebagai
ancaman terhadap oksigenasi penderita dan harus segera di evaluasi.
Evaluasi tersebut meliputi inspeksi terhadap bentuk dan pergerakan
dada, palpasi terhadap kelainan dinding dada yang mungkin
mengganggu ventilasi, perkusi untuk menentukan adanya darah atau
udara ke dalam paru.
b) Listen (dengar) adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada.
Penurunan atau tidak terdengarnya suara napas pada satu atau
hemitoraks merupakan tanda akan adanya cedera dada. Hati-hati
terhadap adanya laju pernapasan yang cepat-takipneu mungkin
menunjukkan kekurangan oksigen.
c) Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu memberikan informasi
tentang saturasi oksigen dan perfusi perifer penderita, tetapi tidak
memastikan adanya ventilasi yang adekuat
3) Circulation dengan kontrol perdarahan
a) Respon awal tubuh terhadap perdarahan adalah takikardi untuk
mempertahankan cardiac output walaupun stroke volum menurun
b) Selanjutnya akan diikuti oleh penurunan tekanan nadi (tekanan
sistolik-tekanan diastolik)
c) Jika aliran darah ke organ vital sudah dapat dipertahankan lagi, maka
timbullah hipotensi
d) Perdarahan yang tampak dari luar harus segera dihentikan dengan
balut tekan pada daerah tersebut
e) Ingat, khusus untuk otorrhagia yang tidak membeku, jangan sumpal
MAE (Meatus Akustikus Eksternus) dengan kapas atau kain kasa,
biarkan cairan atau darah mengalir keluar, karena hal ini membantu
mengurangi TTIK (Tekanan Tinggi Intra Kranial)
f) Semua cairan yang diberikan harus dihangatkan untuk menghindari
terjadinya koagulopati dan gangguan irama jantung.
4) Disability
a) GCS setelah resusitasi
b) Bentuk ukuran dan reflek cahaya pupil
c) Nilai kuat motorik kiri dan kanan apakah ada parese atau tidak
5) Expossure dengan menghindari hipotermia. Semua pakaian yang
menutupi tubuh penderita harus dilepas agar tidak ada cedera terlewatkan
selama pemeriksaan. Pemeriksaan bagian punggung harus dilakukan
secara log-rolling dengan harus menghindari terjadinya hipotermi
(America College of Surgeons ; ATLS)
b. Secondary Survey
1) Kepala dan leher
Kepala. Inspeksi (kesimetrisan muka dan tengkorak, warna dan
distribusi rambut kulit kepala), palpasi (keadaan rambut,
tengkorak, kulit kepala, massa, pembengkakan, nyeri tekan,
fontanela (pada bayi)).
Leher. Inspeksi (bentuk kulit (warna, pembengkakan, jaringan
parut, massa), tiroid), palpasi (kelenjar limpe, kelenjar tiroid,
trakea), mobilitas leher.
2) Dada dan paru
Inspeksi. Dada diinspeksi terutama mengenai postur, bentuk dan
kesimetrisan ekspansi serta keadaan kulit. Inspeksi dada
dikerjakan baik pada saat dada bergerak atau pada saat diem,
terutama sewaktu dilakukan pengamatan pergerakan
pernapasan. Pengamatan dada saat bergerak dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui frekuensi, sifat dan ritme/irama
pernapasan.
Palpasi. Dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji keadaan kulit
pada dinding dada, nyeri tekan, massa, peradangan, kesimetrisan
ekspansi, dan tactil vremitus (vibrasi yang dapat teraba yang
dihantarkan melalui sistem bronkopulmonal selama seseorang
berbicara)
Perkusi. Perhatikan adanya hipersonor atau ”dull” yang
menunjukkan udara (pneumotorak) atau cairan (hemotorak)
yang terdapat pada rongga pleura.
Auskultasi. Berguna untuk mengkaji aliran udara melalui batang
trakeobronkeal dan untuk mengetahui adanya sumbatan aliran
udara. Auskultasi juga berguna untuk mengkaji kondisi paru-
paru dan rongga pleura.
3) Kardiovaskuler
Inspeksi dan palpasi. Area jantung diinspeksi dan palpasi secara
stimultan untuk mengetahui adanya ketidaknormalan denyutan
atau dorongan (heaves). Palpasi dilakukan secara sistematis
mengikuti struktur anatomi jantung mulai area aorta, area
pulmonal, area trikuspidalis, area apikal dan area epigastrik
Perkusi. Dilakukan untuk mengetahui ukuran dan bentuk
jantung. Akan tetapi dengan adanya foto rontgen, maka perkusi
pada area jantung jarang dilakukan karena gambaran jantung
dapat dilihat pada hasil foto torak anteroposterior.
4) Ekstermitas
Beberapa keadaan dapat menimbulkan iskemik pada ekstremitas
bersangkutan, antara lain :
a) Cedera pembuluh darah.
b) Fraktur di sekitar sendi lutut dan sendi siku.
c) Crush injury.
d) Sindroma kompartemen.
e) Dislokasi sendi panggul.
Keadaan iskemik ini akan ditandai dengan :
a) Pusasi arteri tidak teraba.
b) Pucat (pallor).
c) Dingin (coolness).
d) Hilangnya fungsi sensorik dan motorik.
e) Kadang-kadang disertai hematoma, ”bruit dan thrill”.
Fiksasi fraktur khususnya pada penderita dengan cedera kepala
sedapat mungkin dilaksanakan secepatnya. Sebab fiksasi yang
tertunda dapat meningkatkan resiko ARDS (Adult Respiratory
Disstress Syndrom) sampai 5 kali lipat. Fiksasi dini pada fraktur
tulang panjang yang menyertai cedera kepala dapat menurunkan
insidensi ARDS.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral b.d Tahanan pembuluh
darah infark.
b. Nyeri kepala akut b.d peningkatan tekanan intracranial (TIK)
c. Resiko ketidakseimbangan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh b.d anoreksia
d. Kerusakan mobilitas fisik b.d Kelemahan neutronsmiter
e. Gangguan pemenuhan kebutuhan ADL b.d kelemahan fisik.
f. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d invasi MO.
3. INTERVENSI
No Diagnosa Kep Tujuan Intervensi Rasional
dapat digunakan
7. Ambil bahan pada pasien yang
pemeriksaan mengalami
(spesimen) sesuai trauma (luka,
indikasi kebocoran CSS
atau setelah
dilakukan
pembedahan
untuk
menurunkan
risiko terjasdinya
infeksi
nasokomial).
7. Kultur/sensivitas.
Pewarnaan Gram
dapat dilakukan
untuk
memastikan
adanya infeksi
dan
mengidentifikasi
organisme
penyebab dan
untuk
menentukan obat
pilihan yang
sesuai.
DAFTAR PUSTAKA
Buckner, C. A., Lafrenie, R. M., Dénommée, J. A., Caswell, J. M., Want, D. A.,
Gan, G. G., Leong, Y. C., Bee, P. C., Chin, E., Teh, A. K. H., Picco, S.,
Villegas, L., Tonelli, F., Merlo, M., Rigau, J., Diaz, D., Masuelli, M.,
Korrapati, S., Kurra, P., … Mathijssen, R. H. J. (2016). We are IntechOpen ,
the world ’ s leading publisher of Open Access books Built by scientists , for
scientists TOP 1 %. Intech, 11(tourism), 13.
https://www.intechopen.com/books/advanced-biometric-technologies/livenes
s-detection-in-biometrics
Ibrahim, R., Lalenoh, D. C., & Laihad, M. L. (2021). Penanganan Pasien
Perdarahan Intraserebral di Ruang Rawat Intensif. E-CliniC, 9(1), 8–14.
https://doi.org/10.35790/ecl.v9i1.31705
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(1st ed.). Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (1st
ed.). Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.