2. 1.
Definisi
Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak. (Arif Muttaqin, 2008, hal 270-271).
Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan fungsi normal otak
karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena
robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh masa karena hemoragik, serta edema serebral
disekitar jaringan otak (Batticaca Fransisca, 2008, hal 96).
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala
yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak. (Pierce Agrace & Neil R. Borlei, 2006 hal
91).
Berdasarkan Glassgow Coma Scale (GCS) cedera kepala atau otak dapat di bagi menjadi 3
gradasi :
1. Cedera kepala ringan (CKR) = GCS 13-15
2. Cedera kepala sedang (CKS) = GCS 9-12
3. Cedera kepala berat (CKB)
1. 2.
= GCS 8
Anatomi Fisiologi
Otak dibungkus oleh selaput otak (meningen) yang terdiri dari 3 lapisan yaitu:
1. Duramater : Lapisan luar, berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat yang bersifat liat,
tebal, tidak elastis, berupa serabut dan berwarna abu-abu.
2. Arachnoid : Membran bagian tengah, bersifat tipis dan lembut. Berwarna putih karena
tidak dialiri darah, terdapat pleksus khoroid yang memproduksi cairan serebrospinal
(CSS) terdapat villi yang mengabsorbsi CSS pada saat darah masuk ke dalam sistem
(akibat trauma, aneurisma, stroke).
3. Piamater
: Membran paling dalam, berupa dinding yang tipis, transparan yang
menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan otak.
Serebrum, terdiri dari 4 lobus, yaitu:
1. Lobus frontal : Area ini mengontrol perilaku individu, membuat keputusan,
kepribadian, dan menahan diri. Lobus terbesar.
2. Lobus parietal : Lobus sensori, area ini menginterpretasikan sensasi, mengatur individu
mampu mengetahui posisi dan letak bagian tubuhnya.
3. Lobus temporal : Sensasi kecap, bau, dan pendengaran, ingatan jangka pendek.
4. Lobus oksipital : menginterpretasikan penglihatan.
Diensefalon, terdiri dari talamus, hipotalamus, dan kelenjar hipofisis.
1. Talamus
2. Hipotalamus
: Bekerja sama dengan kelenjar hipofisis untuk mempertahankan
keseimbangan cairan dan mempertahankan pengaturan suhu tubuh. Sebagai pusat lapar
dan mengontrol BB, pengatur tidur, tekanan darah, perilaku agresif, seksual, respon
emosional.
3. Kelenjar hipofisis : Dianggap sebagai master kelenjar, karena sejumlah hormon dan
fungsinya diatur oleh kelenjar ini. hipofisis lobus anterior memproduksi hormon
pertumbuhan, hormon prolaktin, TSH, ACTH, LH. Lobus posterior berisi hormon ADH.
Sirkulasi Serebral
Menerima kira-kira 20% dari curah jantung/750 ml per menit. Sirkulasi ini sangat dibutuhkan,
karena otak tidak menyimpan makanan, sementara mempunyai kebutuhan metabolisme yang
tinggi.
Pembuluh darah yang mendarahi otak tardiri dari :
1)
Sepasang pembuluh darah karotis : denyut pembuluh darah besar ini dapat kita raba dileher
depan, sebelah kiri dan kanan dibawah mandibula, sepasang pembuluh darah ini setelah masuk
ke rongga tengkorak akan bercabang menjadi tiga :
a)
b)
c)
Ketiganya akan saling berhubungan melalui pembuluh darah yang disebut arteri komunikan
posterior.
2)
Sepasang pembuluh darah vertebralis : denyut pembuluh darah ini tidak dapat diraba oleh
karena kedua pembuluh darah ini menyusup ke bagian samping tulang leher, pembuluh darah ini
memperdarahi batang otak dan kedua otak kecil, kedua pembuluh darah tersebut akan saling
berhubungan pada permukaan otak pembuluh darah yang disebut anastomosis.
1. 3.
Etiologi
1. Sebagian besar disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, perkelahian, jatuh dan
cedera oleh raga.
2. Cedera kepala terbuka sering disebabkan akibat benda tajam dan tembakan
sehingga dapat menyebabkan fraktur tulang dan laserasi dura mater.
Macam-macam Pendarahan pada Otak
a.
Perdarahan intraserebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak biasanya akibat
sobekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Secara klinis ditandai dengan adanya
penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai lateralisasi, pemeriksaan CT scan didapatkan
adanya daerah hiperdens yang diindikasi dilakukan operasi jika single, diameter lebih dari 3 cm,
perifer, adanya pergerakan garis tengah, dan secara klinis hematoma tersebut dapat menyebabkan
ganguan neurologis /lateralisasi. Operasi yang dilakukan biasanya adalah evakuasi hematoma
disertai dekompresi dari tulang kepala.
b.
Subdural hematoma adalah terkumpulnya darah antara dura mater dan jaringan otak, dapat
terjadi akut kronis. Terjadi akibat pecahan pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya
terdapat diantara dura mater, perdarahan lambat dan sedikit. Pengertian lain dari subdural
hematoma adalah hematoma yang terletak dibawah lapisan dura mater dengan sumber
perdarahan dapat berasal dari Bridging vein (paling sering), A/V cortical, sinus venosus duralis.
Berdasarkan waktu terjadinya perdarahan maka subdural hematoma dibagi menjadi tiga meliputi
subdural hematoma akut terjadi kurang dari 3 hari dari kejadian, subdural hematoma subakut
terjadi antara 3 hari 3 minggu dan subdural hematoma kronis jika perdarahan terjadi lebih dari
3 minggu.
Secara klinis subdural hematoma akut ditandai dengan adanya penurunan kesadaran, disertai
adanya lateralisasi yanag paling sering berupa hemiparese/hemiplegia dan pemeriksaan CT scan
didapatkan gambaran hiperdens yang berupa bulan sabit (cresent).
Indikasi operasi, menurut Europe Brain Injury Commition (EBIC), pada perdarahan subdural
adalah jika perdarahan lebih dari 1 cm. Jika terdapat pergesaran garis tengah labih dari 5 mm.
Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematoma, menghentikan sumber perdarahan. Bila ada
edema serebri biasanya tulang tidak dikembalikan (dekompresi) dan disimpan sugalea. Prognosis
dari klien SDH ditentukan dari GCS awal saat operasi, lamanya klien datang sampai dilakukan
operasi, lesi penyerta dijaringan otak, serta usia klien pada klien dengan GCS kurang dari 8
prognosisnya 50%, semakin rendah GCS maka semakin jelek prognosisnya. Semakin tua klien
maka semakin jelek prognosisnya. Adanya lesi lain akan memperjelek prognosisnya.
Gejala dari subdural hematoma meliputi keluhan nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik
diri, perubahan proses pikir (berpikir lambat), kejang, dan edema pupil.
c.
Epidural hematoma adalah hematoma yang terletak antara dura mater dan tulang, biasanya
sumber perdarahannya adalah sobeknya arteri meningica media (paling sering), vena diploica
(oleh karena adanya fraktur kalvaria), vena emmisaria, sinus venosus duralis. Secara klinis
ditandai dengan penurunan kesadaran yang disertai lateralisasi (ada ketidaksamaan antara tandatanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) yang dapat berupa hemiparese/hemiplegia, pupil
anisokor, adanya refleks patologis satu sisi, adanya lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukan
lokasi dari EDH. Pupil anisokor /dilatasi dan jejas pada kepala letaknya satu sisi dengan lokasi
EDH sedangkan hemiparese/hemiplegia letaknya kontralateral dengan lokasi EDH. Lucid
interval bukan merupakan tanda pasti adanya EDH karena dapat terjadi pada perdarahan
intrakranial yang lain, tetapi lucid interval dapat dipakai sebagai patokan dari prognosisnya.
Semakin panjang lucid interval maka semakin baik prognosisnya klien EDH (karena otak
mempunyai kesempatan untuk melakukan kompensasi). Nyeri kepala yang hebat dan menetap
tidak hilang pemberian analgetik. Pada pemeriksaan CT scan didapatkan gambaran area
hiperdens dengan bentuk bikonveks di antara 2 sutura, gambaran adanya perdarahan volumenya
lebih dari 20 cc atau lebih dari 1 cm atau dengan pergeseran garis tengah (midline shift) lebih
dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematoma, menghentikan sumber
perdarahan sedangkan tulang kepala dapat dikembangkan. Jika saat operasi tidak didapatkan
adanaya edema serebri sebaliknya tulang tidak dikembangkan jika saat operasi didapatkan dura
mater yang tegang dan dapat disimpan subgalea.
1. 4.
Patofisiologi
b)
c)
d)
Kerusakan otak yang dijumpai pada cedera kepala dapat terjadi melalui dua cara
1. Efek langsung ; trauma pada fungsi otak
1. Efek tidak langsung ; kerusakan neurologik langsung disebabkan oleh suatu benda
atau serpihan tulang yang menembus dan merobek jaringan otak. Semua ini
berakibat terjadinya akselerasi- deselarasi.
Derajat kerusakan dipengaruhi oleh kekuatan yang menimpa. Ada 2 macam kekuatan yang
dihasilkan :
1. Cidera setempat yang disebabkan oleh benda tajam, kerusakan neurologik terjadi
pada tempat yang terbatas pada tempat serangan.
2. Cidera menyeluruh yang lebih lazim dijumpai pada trauma tumpul dan setelah
kecelakaan.
Kerusakan terjadi waktu energi atau kekuatan diteruskan pada otak. Banyak energi diserap oleh
lapisan pelindung yaitu : rambut, kulit kepala dan tengkorak. Tetapi pada cidera berat penyerapan
ini tidak cukup untuk melindungi otak.
Jika kepala bergerak dan berhenti dengan mendadak dan kasar, kerusakan tidak hanya
disebabkan oleh cidera setempat tetapi juga oleh akselerasi dan deselarasi. Kekuatan akselerasi
dan deselerasi menyebabkan isi dalam tengkorak yang keras bergerak, sehingga memaksa otak
membantur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan benturan dan dampak
yang terjadi adalah cedera jaringan otak.
Setiap kali jaringan mengalami cidera, akan terjadi perubahan isi cairan intrasel dan ekstrasel.
Penigkatan suplai darah ketempat dimana terjadi cidera yang menimbulkan tekanan intracranial
mengalami penigkatan sebagai akibat cidera sirkulasi otak untuk mengatur volum darah ke otak
yang mengalami kemampuannya sehingga menyebabkan iskemia pada otak.
1. 5.
Tanda dan gejala yang timbul dapat berupa ganguan kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil,
serangan (onset) tiba-tiba berupa defisit neuorologis, perubahan tanda vital, ganguan
penglihatan, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo(pusing), ganguan pergerakan,
kejang, dan syok akibat cidera multi sistem.
Klasifikasi cidera kepala berdasarkan mekanisme dan keparahan cidera :
1. Mekanisme berdasarkan adanya penetrasi duramater :
1. Trauma tumpul ; kecepatan tinggi (tabrakan)
2. Trauma tajam ; luka tembus peluru dan cidera tembus lainnya.
3. Keparahan cidera :
1. Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)
1)
2)
3)
4)
5)
6)
1)
2)
3)
Muntah
4) Tanda kemungkinan fraktur kranium (mata rabun, hemotimpanum, otorea, rinorea cairan
serebrospinal)
5)
Kejang
1. Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)
1)
2)
3)
4)
1. 6.
Test Diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala meliputi :
1. CT Scan ( dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan perubahan jaringan otak
Analisa gas darah (AGD/astrup) adalah salah satu tes diagnostik untuk menentukan status status
respirasi. Status respirasi dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status
oksigenisasi dan status asam basa
1. Pemeriksaan laboratorium ; hematokrit, trombosit, darah lengkap, masa protombin.
1. 7.
Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari faktor mempertahankan fungsi
ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status neurologis (disability, exposure), maka
faktor yang harus diperhitungkan pula adalah mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan
ini dapat dibantu dengan pemberian oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami
trauma relative memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu dikontrol kemungkinan intrakranial yang meninggi disebabkan oleh edema
serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi, tetapi usaha untuk menurunkan
tekanan intracranial ini dapat dilakukan dengan cara menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi
yang mengurangi asidosis intraserebral dan menambah metabolism intraserebral. Adapun usaha
untuk menurunkan PaCO2 ini yakni dengan intubasi endotrakeal. Intubasi dilakukan sedini
mungkin kepada klien-klien yang koma untuk mencegah terjadinya PaCO2 yang meninggi.
Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan kranial.
3)
Pengobatan anti-edema dengan larutan hipertonis, yaitu manitol 20%, atau glukosa 40%,
atau gliserol 10%.
4)
Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (panisillin) atau untuk infeksi anaerob
diberikan metronidasol.
1. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apaapa, hanya cairan infus dextrose 5%, aminofusin, aminopel (18 jam pertama dari
terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
2. Pada trauma berat. Hari-hari pertama didapat klien mengalami penurunan kesadaran dan
cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama ( 2 3 hari) tidak
perlu banyak cairan. Dextrosa 5% selama 8 jam pertama, ringer dextrose 8 jam kedua,
dan dextrose 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah maka
makanan diberikan melalui nasogastric tube (25000-3000 TKTP). Pemberian protein
tergantung dari nilai urenitrogennya.
1. 8.
Komplikasi
Komplikasi yang timbul adalah peningkatan TIK, kehilangan sensori dan motorik,
kerusakan otak, dan disfungsi syaraf cranial.
Tindakan operatif yang dapat diberikan adalah kraniotomy atau trepanasi serta debridement.
1. B.
Pengkajian
2)
Riwayat trauma.
3)
1)
2)
Gangguan menelan
3)
Kehilangan penyerapan
4)
Hipertermi
1. Pola eliminasi
1)
2)
3)
1)
Kelemahan fisik
2)
1)
Gelisah
2)
3)
Cenderung tidur.
1. Pola persepsi sensori dan kognitif
1)
2)
Gangguan penglihatan
3)
4)
Kelemahan
5)
6)
7)
8)
9)
2)
1)
1)
2)
Penyimpangan seksualitas
1. Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stress
1)
2)
Emosi labil
3)
Mudah tersinggung
1. Pola sistim kepercayaan
1)
1. 2.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada pasien cedera kepala sedang menurut Doengoes
Marilyn E (2000 : 273)
1. Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan adanya edema atau hematoma
dan perdarahan otak.
2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler.
3. Perubahan persepsi sensorik yang berhubungan dengan perubahan persepsi sensori,
tranmisi, dan atau integrasi ( trauma / deficit neurologist).
4. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif,
penurunan ketahanan, therapy pembatasan / kewaspadaan keamanan (tirah baring).
5. Resiko infeksi yang berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasive.
6. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat.
1. 3.
Rencana Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan adanya edema atau
hematoma dan perdarahan otak.
Tujuan : Perfusi jaringan cerebral optimal secara bertahap setelah di lakukan tindakan
keperawatan dalam waktu 7 x 24 jam
Sasaran :
-
Intervensi :
1)
Kaji keluhan, observasi TTV tiap 2-4 jam dan kesadaran klien
mempengaruhi).
Rasional :Penurunan tanda dan gejala neurologis atau kegagalan dalam
pemulihannya merupakan awal pemulihan dalam memantau TIK.
3)
penurunan kesadaran.
Rasional :
5)
1.
Resiko tinggi pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler ( cidera pada pusat pernapasan )
Tujuan
: bersihan jalan nafas kembali efektif setelah dilakukan tindakan
keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam.
Sasaran
Intervensi :
1)
6)
Lakukan clapping dan vibrasi pada klien terutama pada pada area
punggung.
Rasional : agar klien lebih rileks dan nyaman.
7)
oksigen.
Rasional : bronkodilator sebagai pengencer dahak dan oksigen memberi kemudahan klien dalam
bernafas.
Sasaran :
-
Intervensi :
1)
sensorik.
Rasional : fungsi serebral bagian atas biasanya terpengaruh lebih dulu oleh adanya
gangguan sirkulasi, oksigenasi, kerusakan dapat terjadi
saat trauma awal atau kadang-kadang.
2)
1.
Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif,
penurunan kekuatan pertahanan, tetapi pembatasan/ kewaspadaan (tirah baring).
1)
2)
3)
6)
indikasi.
Rasional : membantu dengan metode pengajaran yang baik untuk
kompensasi gangguan pada kemampuan pergerakan.
Tidak terdapat tanda infeksi (tumor, dolor, kalor, rubor dan fungsileisa).
1)
2)
3)
4)
5)
6)
1)
2)
3)
6)
7)
lambung.
8)
emetik.
Rasional : untuk mencukupi intake yang kurang dan mengurangi mual
dan muntah.
1. 4.
Pelaksanaan Keperawatan
Pelaksanaan adalah asuhan keperawatan secara nyata berupa serangkaian kegiatan yang
sistematis berdasarkan perencanaan untuk mencapai hasil yang optimal. Sebelum melakukan
rencana tindakan keperawatan, perawat hendaklah menjelaskan tindakan keperawatan yang
dilakukan terhadap pasien. Dalam pelaksanaan, perawatan melakukan fungsinya sebagai
independent, interdependent dan dependent. Pada fungsi independent perawat melakukan
tindakan atas dasar inisiatif sendiri. Contohnya memberikan latihan pernapasan perut dalam
posisi duduk dan berbaring. Pada fungsi interdependent, perawat melakukan fungsi kolaborasi
dengan tim kesehatan lainnya. Dan fungsi independent perawat melakukan fungsi tambahan
untuk menjalankan program dari tim kesehatan lain seperti pengobatan.
Di samping itu perawat harus memperhatikan keadaan umum dan respon pasien selama
pelaksanaan. Dan untuk melatih pasien agar mandiri, sebaiknya dalam tahap pelaksanaan ini
adalah sebagai berikut : persiapan, pelaksanaan dan dokumentasi. Pada fase persiapan, perawat
dituntut memiliki pengetahuan dan keterampilan. Selain itu perawat juga harus mampu
menganalisa situasi dan kondiri pasien baik fisik maupun mentalnya sehingga dalam
merencanakan, memvalidasi rencana serta dalam pelaksanaannya perawat akan terhindar dari
kesalahan.
1. 5.
Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan tahap akhir proses keperawatan yang dapat digunakan sebagai alat pengukur
keberhasilan suatu rencana keperawatan yang telah dibuat. Meskipun evaluasi dianggap sebagai
tahap akhir dari proses keperawatan proses ini tidak berhenti, yang telah terpecahkan dan
masalah yang perlu dikaji ulang, direncanakan kembali, dilaksanakan dan dievaluasikan kembali.
1. 6.
Discharge Planning
2. Jelaskan kepada keluarga, bahwa perubahan yang terjadi pada pasien bukan merupakan
bentuk kelainan jiwa, tetapi adalah komplikasi dari benturan yang dialami pasien.
3. Anjurkan pada keluarga, agar pada saat berbicara dengan pasien menggunakan metode
kembali ke realita
4. Anjurkan pada keluarga agar tidak merubah posisi/letak barang-barang yang ada di
rumah khususnya kamar pasien.
5. Anjurkan pada keluarga untuk membantu pasien dalam perawatan diri dan pemenuhan
kebutuhan dasar.
DAFTAR PUSTAKA
Arif Muttaqin, (2008), Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan, Jakarta : Salemba Medika
Brunner and Suddarth (2000). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Hardjasaputra, S.L.P. dkk (2002). DOI Data Obat Indonesia. Edisi 10 Jakarta: Grafidian
Mediapress
Mansjoer Arif M. ( 2000 ). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta : Media Aeusculapius.
Pierce A. Grace & Neil R. Borley, (2006). Ilmu Bedah, Jakarta : Erlangga
Price, Sylvia A. (1994). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta:
EGC.