GAMBARAN RADIOLOGI
TRAUMA KEPALA
Dosen Pembimbing :
Dr. Pherena Amalia Rohani Siregar, Sp.Rad
Disusun Oleh :
Elfrida Pakpahan
( 0861050083 )
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmatNYA saya dapat menyelesaikan referat yang berjudul
Gambaran Radiologi Trauma Kepala. Tugas referat ini saya buat dengan tujuan
selain sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu Radiologi serta
bertujuan agar para dokter muda mengetahui dan memahami tentang gambaran
radiologi trauma kepala dan penerapannya.
Saya ucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang membantu dalam
pembuatan referat ini, khususnya Dr. Pherena Amalia Rohani Siregar, Sp.Rad
yang telah berkenan membimbing dan menguji referat ini.
Akhir kata saya mohon kritik dan saran yang membangun demi kemajuan kita
bersama, khususnya mengenai referat ini.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Trauma
tajam pada
BAB II
3
TINJAUAN PUSTAKA
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri
dari 3 lapisan yaitu : duramater, arakhnoid dan piamater. Duramater
adalah selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat
erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada
selaput araknoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang
subdural) yang terletak antara duramater dan araknoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke
sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan
dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala
dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan dapat menyebabkan
perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri
meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang
tipis dan tembus pandang disebut lapisan araknoid. Lapisan ketiga adalah
piamater yang melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan
serebrospinal bersirkulasi dalam ruang sub araknoid.
4. Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak.
Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks
serebri yaitu lipatan duramater dari sisi inferior sinus sagitalis superior.
Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara manusia. Hemisfer otak
yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan.
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan
pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses
5
penglihatan. Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan
medula oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem
aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada
medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik, yang terus memanjang
sampai medulla spinalis dibawahnya. Lesi yang kecil saja pada batang
otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat.
Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan, terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula
spinalis, batang otak, dan juga kedua hemisfer serebri.
5. Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus
dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari
ventrikel lateral melalui foramenmonro menuju ventrikel III kemudian
melalui aquaductus sylvii menuju ventrikel IV.
Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam
ruang subaraknoid yang berada di seluruh permukaan otak dan medula
spinalis. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui vili
araknoid.
6. Tentorium
Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra
tentorial (terdiri atas fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
Hipotesa Monro-Kellie
lainnya
harus
mengkompensasi
dengan
mengurangi
disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi
kontusio coup dan countrecoup ( Mardjono dan Sidharta, 2008 ).
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti
secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara
tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid)
menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak.
E. KLASIFIKASI TRAUMA KEPALA
Trauma kepala dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Fraktur kalvaria dan
Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai
aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan;
mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.
1. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau
pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak
ataupun tusukan.
2.
3.
Morfologi
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak,
dapat berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula
terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya
9
dan
gambarannya
berbentuk
bikonveks
atau
10
4.
lebih
berat
dan
prognosisnya
jauh
lebih
buruk
foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan
adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan
oblique.
CT SCAN
CT adalah pencitraan darurat metode pilihan untuk cedera kepala. CT lebih
informatif daripada rontgen tengkorak standar dan memberikan sensitivitas
untuk mendeteksi darah intrakranial. Secara umum, semua pasien dengan
cedera kepala harus memiliki CT, kecuali bagi mereka yang diklasifikasikan
sebagai risiko rendah (misalnya, tanpa gegar otak, tanpa kelainan neurologis
pada pemeriksaan, dan tanpa bukti atau kecurigaan dari patah tengkorak,
alkohol atau keracunan obat, atau moderat-risiko kriteria lain). Kemungkinan
mendeteksi intra serebral hemoragik oleh CT pada pasien ini hanya 1
dalam 10.000. MRI lebih baik untuk mendeteksi cedera halus otak, terutama
untuk lesi fokal, tetapi pada umumnya tidak digunakan untuk evaluasi darurat
kecuali dengan cepat dan mudah tersedia gambar CT harus dinilai untuk bukti
adanya hematoma epidural atau subdural, subarachnoid atau intraventricular,
memar parenkim dan perdarahan, edema otak, dan memar berhubungan
dengan diffuse axonal injury.
Pasien dengan trauma kepala memerlukan penegakkan diagnosa
sedini mungkin agar tindakan terapi dapat segera dilakukan untuk
menghasilkan
prognosa
yang
tepat,
akurat
dan
sistematis.
a.
b.
Sakit kepala.
Muntah.
Amnesia retrograde.
Kejang.
Jangan pernah melepas alat fiksasi leher collar bila telah terpasang.
Mid line shift, tanda adanya mass effect. ( Bila dijumpai ukurlah dengan
membuat garis membagi 2 hemispher cerebrum dan garis shift pada
ujung anterior septum pellucidum). Atur WW dan WL (Bone : W = +
1500 , L = + 200 , Brain : W = + 80, L = + 35, Subdural / intermediate :
W = + 200, L = + 50 ).
Oedem ( batas sulci / gyri cortical tidak jelas ). Pergerakan pada pasien
( bila diperlukan sebaiknya harus di scan ulang pada slice tertentu ).
Print dengan scout / refrensi image ( 15 20 ) dalam 1 lembar, sebaiknya
disertakan dengan kondisi tulang terutama bila jelas jelas ada fraktur.
Midline shift (ada/tidak ada? Membaca pada potongan axial yang berisi
ventrikellateral dan ventrikel III. Bila ada berapa mm? bila lebih dari
5 mm indikasi operasi)
2.
3.
4.
5.
Massa hiperdens / hipodens (bila ada pada region mana? Berapa cc? cari
potonganaxial yang massa hiperdens paling besar, panjang x lebar bagi 2
kalikan dengan jumlah slice yang ada massa)
6.
Bone
defect (ada/tidak
ada?
Fraktur
linear/depressed,
diastase,
kommunitif)
7.
15
16
17
18
19
MRI
Magnetic Resonancy Imaging ( MRI ) suatu alat kedokteran di bidang
pemeriksaan diagnostik radiologi , yang menghasilkan rekaman
gambar
dihasilkan
parameter tersebut
dengan
MRI, antara lain : a. Persiapan pasien serta teknik pemeriksaan pasien yang
baik, ; b. Kontras yang sesuai dengan tujuan pemeriksaannya ; c. Artefak
pada gambar, dan cara mengatasinya ; d. Tindakan penyelamatan terhadap
keadaan darurat.
Pemeriksaan MRI bertujuan
mengetahui karakteristik
morfologik
Musculoskeletal
pergelangan tangan,
bahu , siku,
mendeteksi
6.
2.
3.
4.
5.
2.
3.
22
4.
23
24
25
kesadaran,
dilatasi
pupil
ipsilateral
hematom,
tulang
pada
daerah
frontoparietotemporal.
27
c.
Perdarahan Subarakhnoid
28
29
30
perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi
lainnya (countrecoup).
Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan
tergantung pada lokasi dan luas perdarahan (Hafidh, 2007).
31
Cedera difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering
terjadi pada cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan
cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi
disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat.
Cedera ini sering terjadi, namun
kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera komosio yang lebih berat
menyebabkan keadaan bingung disertai amnesia retrograde dan
amnesia antegrad.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah
keadaan dimana penderita mengalami koma pasca cedera yang
berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau
serangan iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang
dalam dan tetap koma selama beberapa waktu. Penderita sering
menuunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering
tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita
sering menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi,
hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedeera
aksonal difus dan cedera otak kerena hipoksia secara klinis tidak
mudah, dan memang dua keadaan tersebut sering terjadi bersamaan .
33
Angiografi
Selain daripada Foto Polos Kepala, CT-Scan dan MRI, trauma kapitis pada
angiografi dapat diperlihatkan terutama pada kasus hematoma subdural dan
hematoma epidural.
Angiografi adalah tindakan / prosedur diagnostik invasif menggunakan sinarX untuk menggambarkan pembuluh darah di berbagai organ tubuh termasuk
jantung, otak dan ginjal untuk melihat apakah ada penyempitan, pelebaran
atau penyumbatan pada pembuluh darah.
Hematoma Subdural
Trauma ini menunjukkan pendesakan arteri dan vena berbentuk konveks
sesuai dengan lengkung hemisfer serebri. Sesuai dengan lokalisasi
perdarahan, akan tampak pendesakan arteri serebri anterior, arteri serebeli
media maupun deep vein. Kadang-kadang ditemukan lesi yang luas, tetapi
pendesakan arteri serebri anterior, arteri serebri media dan vena serebri
interna sangat sedikit (tidak seimbang), maka harus dilakukan angiografi sisi
kontralateral karena kemungkinan adanya hematom subdural di sisi
kontralateral tersebut.
34
Hematoma Epidural
Membedakan hematom epidural dan hematom subdural pada angiogram
sering sulit. Jika arteri meningea media terdesak kea rah median ( ke dalam ),
maka diagnosis hematom epidural bias ditegakkan. Jika hematom epidural
masuk ke dalam sinus venosus, maka sinus venosus ini akan terpisah dari
tabula interna.
35
BAB III
KESIMPULAN
Trauma kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik
secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat
temporer ataupun permanent.
Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai
aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan;
mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi. Fraktur kranium dan lesi intrakranial
merupakan beberapa contoh dari kasus trauma kepala. Yang merupakan contoh
dari kasus lesi intrakranial adalah epidural hematoma, subdural hematoma,
perdarahan subarachnoid, kontusio dan hematoma intraserebral, serta cedera difus
pada otak.
Untuk menyatakan diagnosis kasus-kasus diatas, pemeriksaan penunjang
berupa pemeriksaan radiologi sangat dibutuhkan. Pemeriksaan radiologi tersebut
adalah foto polos kepala, CT-Scan Kepala, MRI, ataupun angiografi.
Gambaran radiologi dari masing-masing kasus tersebut mempunyai ciri
khas yang dapat membantu seorang dokter membuat suatu diagnosis pada
penderita trauma kepala. Salah satu ciri yang jelas adalah pada kasus hematoma
epidural yang pada pemeriksaan CT-Scan kepala memberikan gambaran densitas
darah yang homogen (hiperdens) berbentuk bikonfeks dan sering pada daerah
temporoparietal. Sedangkan pada kasus hematoma subdural memberikan
gambaran hiperdens berbentuk seperti bulan sabit.
Pemeriksaan radiologi tersebut selain membantu untuk menyatakan
diagnosis, juga dapat menuntun seorang dokter untuk penatalaksanaan berikutnya
yang akan dilakukan terhadap pasien trauma kepala.
36
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
2008. 382-391
Zee CS. Neuroradiology: A Study Guide. Los Angeles; Mcgraw; 1996. 235-
3.
241
Misra R, Holmes E. A-Z of Emergency Radiology. New York; Cambridge
4.
37