Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

GAMBARAN RADIOLOGIS EDH, SDH, DAN SAH

Disusun oleh :

Iqbal Putra Amirullah

030.14.098

Pembimbing :

dr. M. Hawari Abdi, Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU RADIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DR. MINTOHARDJO

PERIODE 10 DESEMBER 2018 – 11 JANUARI 2019


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang
berjudul “Gambaran Radiologis SDH, EDH dan SAH” tepat pada waktunya.
Penyusunan referat ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan
dalam menempuh kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Radiologi RUMKITAL Dr.
Mintohardjo. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar besarnya kepada:

1. dr. M. Hawari Abdi, Sp.Rad selaku pembimbing yang telah memberikan


waktu dan ilmunya kepada penulis
2. Seluruh staff SMF Departemen Ilmu Radiologi RUMKITAL Dr.
Mintohardjo
3. Rekan kepaniteraan klinik Ilmu Radiologi RUMKITAL Dr. Mintohardjo

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, hal
tersebut tidak lepas dari segala keterbatasan kemampuan yang penulis miliki.
Oleh karena itu bimbingan dan kritik yang membangun dari semua pihak
sangatlah diharapkan.

Jakarta, Desember 2018


Penyusun,

Iqbal Putra Amirullah


030.14.098

i
DAFTAR ISI

Kata pengantar ................................................................................................. i

Daftar isi .......................................................................................................... ii

BAB I Pendahuluan ...................................................................................... 1

BAB II Tinjauan Pustaka ............................................................................... 2

2.1 Anatomi dan Fisiologi.................................................................. 2

2.2 Cedera Kepala .............................................................................. 8

BAB III Kesimpulan ...................................................................................... 28

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 29

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Era globalisasi saat ini semakin meningkatkan mobilitas manusia, baik dalam
perjalanan antar desa, antar kota, maupun propinsi, serta antar negara. Kondisi tersebut
menyebabkan peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap sarana transportasi, dan pada
akhirnya meningkatkan angka kejadian kecelakaan lalu lintas. Apalagi dalam kondisi
sarana transportasi, dan pada akhirnya meningkatkan angka kejadian kecelakaan lalu
lintas.1
Trauma kapitis dapat merupakan salah satu kasus penyebab kecacatan dan
kematian yang cukup tinggi dalam neurologi dan menjadi masalah kesehatan oleh
karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat, dan produktif.2
Trauma merupakan penyebab utama kematian pada anak dia atas usia 1 tahun di
Amerika Serikat. Dibandingkan dengan trauma lainnya, persentase trauma kapitis
adalah yang tertinggi, yaitu sekitar lebih atau sama dengan 80%. Kira-kira sekitar 5%
penderita trauma kapitis meninggal di tempat kejadian. Trauma kapitis mempunyai
dampak emosi, psikososial, dan ekonomi yang cukup besar sebab penderitanya sering
menjalani masa perawatan rumah sakit yang panjang, dan 5-10% setelah perawatan
rumah sakit masih membutuhkan pelayanan jagka panjang.2
Trauma kapitis akan terus menjadi problem masyarakat yang sangat besar,
meskipun pelayanan medis sudah sangat maju pada abad 21 ini. Sebagian besar pasien
dengan trauma kapitis (75-80%) adalah trauma kapitis ringan, sisanya merupakan
trauma dengan kategori sedang dan berat dalam jumlah yang sama.
Manajemen trauma kapitis sendiri pada dasarnya dibagi dalam manajemen non
operatif (kasus terbanyak), ditangani oleh keilmuan penyakit saraf (neurologi) dan
manajemen operatif, ditangani oleh keilmuan bedah saraf.2
Manajemen trauma kapitis dapat menjawab tuntutan kebutuhan keluaran
kualitas hidup yang baik setelah terjadinya cedera otak pada penderitanya (patient
oriented) yang mayoritas berusia muda dan sehat dan masih berkesempatan untuk
mengembangkan kariernya.2

0
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI KEPALA

Gambar 1. Anatomi kulit kepala


a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisanyang disebut sebagai SCALP yaitu:
 Skin atau kulit. Skin bersifat tebal dan mengandung rambut serta kelenjar
sebasea (keringat).
 Connective tissue atau jaringan penyambung. Merupakan jaringan lemak yang
memiliki septa-septa, kaya akan pembuluh darah terutama diatas galea.
Pembuluh darah tersebut merupakan anastomosis antara arteri karotis interna
dan eksterna, tetapi lebih dominan arteri karotis eksterna.

1
 Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan
langsung dengan tengkorak. Aponeurosis galea merupakan lapisan terkuat,
berupa fascia yang melekat pada tiga otot, yaitu m.frontalis (anterior),
m.occipitalis (posterior), m.temporoparietalis (lateral). Ketiga otot ini dipersarafi
oleh N. VII.
 Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar. Loose areolar tissue,
lapisan ini mengandung vena emissary yang merupakan vena tanpa katup,
menghubungkan SCALP, vena diploica, dan sinus vena intrakranial. Jika terjadi
infeksi pada lapisan ini, akan dengan mudah menyebar ke intrakranial. Avulsi
SCALP bisa terjadi pada lapisan ini. Hematoma yang terjadi pada lapisan ini
disebut Subgaleal hematom, merupakan hematoma yang paling sering
ditemukan setelah cedera kepala, terutama anak-anak.
 Perikranium, merupakan periosteum yang melapisi tulang tengkorak, melekat
erat terutama pada sutura karena melalui sutura ini periosteum akan langsung
berhubungan dengan endosteum. Jaringan penunjang longgar memisahkan galea
aponeurotika dari perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya
perdarahan subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah
sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan
menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita
dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama
untuk mengeluarkannya.3

b. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiridari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria
khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian
dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.
Ronggatengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus
frontalis,fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian
bawah batang otak dan serebelum.3,4

2
c. Meninges3,4
Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan,
yaitu:

Gambar 2. Lapisan Pelindung Otak.


1) Duramater
Duramater, secara embriologi berasal dari mesoderm. Terletak paling
luar, terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan luar (lapisan periosteal) langsung
melekat pada endosteum tabula interna dan lapisan dalam (lapisan
meningeal). Duramater merupakan selaput yang keras,terdiri atas jaringan
ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena
tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu
ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan
arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut
Bridging Vein, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus
transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat. Diperdarahi oleh arteri meningea anterior,
media, dan posterior. Masing-masing merupakan cabang dari arteri

3
opthtalmika untuk yang anterior, arteri carotis eksterna untuk yang media,
dan arteri vertebralis untuk yang posterior.
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan
epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea
media yang terletak pada fosa temporalis.1,3,4

2) Arakhnoid
Arakhnoid, secara embriologi berasal dari ektoderm. Terletak tepat
dibawah duramater. Lapisan ini merupakan lapisan avaskuler, mendapatkan
nutrisi dari CSS (Cairan Serebospinal). Ke arah dalam, lapisan ini memiliki
banyak trabekula yang melekat pada lapisan epipial dari piamater. Selaput
ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium
subdural, dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh
liquor serebrospinalis. Perdarahan subarakhnoid umumnya disebabkan
akibat cedera kepala.

3) Pia mater
Pia mater secara embriologis dan histologis sama dengan arachnoid,
hanya pada lapisan ini sel-selnya tidak saling tumpang tindih. Terdiri dari
dua lapisan yaitu lapisan epipial (luar) dan lapisan pia-glia (dalam). Melekat
erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah membrana vaskular
yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk ke dalam sulci
yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu
dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk ke dalam substansi otak
juga diliputi oleh pia mater.3,4

4
d. Otak

Gambar 3. Bagian otak


Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orangdewasa
sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan)
terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons,medula oblongata dan
serebellum. Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal
berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus
parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus
temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab
dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem
aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada
medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung
jawabdalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.4

e. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus
dengankecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari
ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari
akuaduktus sylvius menuju

5
ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio
arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS
dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS
dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok
populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS
per hari.4

Gambar 4. Aliran Cairan Cerebrospinal.

f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial
(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial
(berisi fosa kranii posterior).4

g. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat
arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus
Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalamdindingnya yang
sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan
bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.4

6
2.2 FISIOLOGI KEPALA
Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan
serebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam
posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4 –
(8)
10 mmHg . Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau
memperberat iskemia. Prognosis yang buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih
dari 20 mmHg, terutama bila menetap.
Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat terus
bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat pengaliran CSS dan darah
intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK secara cepat akan meningkat.
Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan tentang dinamika TIK. Konsep utamanya
adalah bahwa volume intrakranial harus selalu konstan, konsep ini dikenal dengan
Doktrin Monro-Kellie.
Otak memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min atau 16%
dari cardiac output, untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup. Aliran darah
otak (ADO) normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 ml per 100 gram
jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar tergantung pada usainya.
ADO dapat menurun 50% dalam 6-12 jam pertama sejak cedera pada keadaan cedera
otak berat dan koma. ADO akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada
penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai beberapa hari atau
minggu setelah cedera. Mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada
level 60-70 mmHg sangat di rekomendasikan untuk meningkatkan ADO.4

7
2.3 DEFINISI
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung
ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan
fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.2

2.4 EPIDEMIOLOGI
Cedera kepala sangat sering dijumpai. Di Amerika setiap tahunnya kejadian
cedera kepala diperkirakan mencapai 500.000 kasus. 10 % dari penderita cedera kepala
meninggal sebelum datang ke Rumah sakit. Labih dari 100.000 penderita
menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala.2
Data-data yang didapat di USA dan mancanegara, dimana kecelakaan terjadi
hampir 15 menit. Sekitar 60% diantaranya bersifat fatal akibat adanya cedera kepala.
Data menunjukkan cedera kepala masih merupakan penyebab utama kesakitan dan
kecacatan pada usia <35 tahun. Dari seluruh kasus cedera kepala, hanya 3-5% saja yang
memerlukan tindakan operasi.2
Data-data yang didapat di Indonesia (1982) terjadi 55.498 kecelakaan lalu lintas
dimana setiap harinya meninggal sebanyak 34 orang dan 80% penyebabnya adalah
cedera kepala. Data-data yang didapat dari RSCM (1995-1998), terjadi 96% trauma
kapitis yang disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas, dimana 76% dari padanya terjadi
pada usia muda ± 25 tahun. Dari seluruh kasus cedera kepala, sebanyak 84% hanya
memerlukan tindakan konservatif. Sekitar 28% saja penderita cedera kepala yang
menjalani pemeriksaan CT Scan.1
Kontribusi paling banyak terhadap cedera kepala serius adalah kecelakaan
sepeda motor, dan sebagian besar diantaranya tidak menggunakan helm atau
menggunakan helm yang tidak memadai (>85%). Dalam hal ini yang dimaksud dengan
tidak memadai adalah helm yang terlalu tipis dan penggunaan helm tanpa ikatan yang
memadai, sehingga saat penderita terjatuh, helm sudah terlepas sebelum kepala
membentur lantai.1,3

2.5 ETIOLOGI
Sebagian besar penderita cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas,
berupa tabrakan sepeda motor, mobil, sepeda dan penyebrang jalan yang ditabrak.

8
Sisanya disebabkan oleh jatuh dari ketinggian, tertimpa benda (misalnya ranting pohon,
kayu, dsb), olahraga, korban kekerasan baik benda tumpul maupun tajam (misalnya
golok, parang, batang kayu, palu, dsb), kecelakaan kerja, kecelakaan rumah tangga,
kecelakaan olahraga, trauma tembak, dan lain-lain.3,5

2.6 MEKANISME CEDERA OTAK


1. Secara Statis (Static Loading)
Cedera otak timbul secara lambat, lebih lambat dari 200 milisekon. Tekanan pada
kepala terjadi secara lambat namun terus menerus sehingga timbul kerusakan
berturut-turut mulai dari kulit, tengkorak dan jaringan otak. Keadaan seperti ini
sangat jarang terjadi.6

2. Secara Dinamik (Dynamic Loading)


Cedera kepala timbul secara cepat, lebih cepat dari 200 milisekon, berbentuk
impulsif dan / atau impak.6
Trauma tidak langsung membentur kepala, tetapi terjadi pada waktu kepala
mendadak bergerak atau gerakan kepala berhenti mendadak, contoh :
pukulan pada tengkuk atau punggung akan menimbulkan gerakan fleksi dan
ekstensi dari kepala yang bisa menyebabkan cedera otak.6
a. Impak (Impact Loading)
Trauma yang langsung membentur kepala dapat menimbulkan 2
bentuk impak:
 Kontak / benturan langsung (contact injury)
Trauma yang langsung mengenai kepala dapat menimbulkan kelainan :
- Lokal, seperti fraktur tulang kepala, perdarahan ekstradura dan coup
kontusio
- Jauh (remote effect), seperti fraktur dasar tengkorak dan fraktur di
luar tempat trauma
- Memar otak contra coup dan memar otak intermediate disebabkan
oleh gelombang kejut (shock wave), dimana gelombang atau getaran
yang ditimbulkan oleh pukulan akan diteruskan di dalam jaringan
otak.3,6

9
 Inersial (Inertial injury)
Karena perbedaan koefisien (massa) antara jaringan otak dengan
tulang, maka akan terjadi perbedaan gerak dari kedua jaringan (akselerasi
dan deselerasi) yang dapat menyebabkan gegar otak, cedera akson difus
(diffuse axonal injury), perdarahan subdural, memar otak yang berbentuk
coup, contra coup, dan intermediate.3,6

2.7 PATOFISIOLOGI
Trauma pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan otak langsung
(primer) yang disebabkan oleh efek mekanik dari luar. Perluasan kerusakan dari
jaringan otak (sekunder) disebabkan oleh berbagai faktor seperti: kerusakan sawar darah
otak, gangguan aliran darah otak, gangguan metabolisme otak, gangguan hormonal,
pengeluaran bahan-bahan neurotransmitter, eritrosit, opioid endogen, reaksi inflamasi
dan radikal bebas.6

Kerusakan jaringan otak akibat trauma langsung


Kulit kepala dan tengkorak merupakan unsur pelindung bagi jaringan otak
terhadap benturan pada kepala. Bila terjadi benturan, sebagian tenaga benturan akan
diserap atau dikurangi oleh unsur pelindung tersebut. Sebagian tenaga benturan
dihantarkan ke tengkorak yang relatif memiliki elastisitas, yakni tengkorak mampu
sedikit melekuk ke arah dalam. Tekanan maksimal terjadi pada saat benturan dan
beberapa milidetik kemudian diikuti dengan getaran-getaran yang berangsur mengecil
hingga reda. Pukulan yang lebih kuat akan menyebabkan terjadinya deformitas
tengkorak dengan lekukan yang sesuai dengan arah datangnya benturan dimana
besarnya lekukan sesuai dengan sudut datangnya arah benturan. Bila lekukan melebihi
batas toleransi jaringan tengkorak, tengkorak akan mengalami fraktur. Fraktur
tengkorak dapat berbentuk sebagai garis lurus, impresi / depresi, diastase sutura atau
fraktur multiple disertai fraktur dasar tengkorak.6

Mekanisme kerusakan otak pada cedera otak dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Kerusakan jaringan otak langsung oleh impresi atau depresi tulang tengkorak
sehingga timbul lesi “ coup” (cedera di tempat benturan).3,6

10
b. Perbedaan massa dari jaringan otak dan dari tulang kepala menyebabkan perbedaan
percepatan getaran berupa akselerasi, deselerasi dan rotasi. Kekuatan gerak ini dapat
menimbulkan cedera otak berupa kompresi, peregangan dan pemotongan. Benturan
dari arah samping akan mengakibatkan terjadinya gerakan atau gesekan antara massa
jaringan otak dengan bagian tulang kepala yang menonjol atau bagian-bagian yang
keras seperti falk dengan tentoriumnya maupun dasar tengkorak dan dapat timbul lesi
baik coup maupun contra coup. Lesi coup berupa kerusakan berseberangan atau jauh
dari tempat benturan misalnya di dasar tengkoran. Benturan pada bagian depan
(frontal), otak akan bergerak dari arah antero-posterior, sebaliknya pada pukulan dari
belakang (occipital), otak bergerak dari arah postero-anterior sedangkan pukulan di
daerah puncak kepala (vertex), otak bergerak secara vertikal. Gerakan-gerakan
tersebut menyebabkan terjadinya coup dan contra coup.3,6
c. Bila terjadi benturan, akan timbul gelombang kejut (shock wave) yang akan
diteruskan melalui massa jaringan otak dan tulang. Gelombang tersebut
menimbulkan tekanan pada jaringan, dan bila tekanan cukup besar akan
menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan otak melalui proses pemotongan dan
robekan. Kerusakan yang ditimbulkan dapat berupa : “Intermediate coup”, contra
coup, cedera akson yang difus disertai perdarahan intraserebral.3,6
d. Perbedaan percepatan akan menimbulkan tekanan positif di tempat benturan dan
tekanan negatif di tempat yang berlawanan pada saat terjadi benturan. Kemudian
disusul dengan proses kebalikannya, yakni terjadi tekanan negatif di tempat benturan
dan tekanan positif di tempat yang berlawanan dengan akibat timbulnya gelembung
(kavitasi) yang menimbulkan kerusakan pada jaringan otak (lesi coup dan contra
coup).6

2.8 KLASIFIKASI
2.8.1 Berdasarkan Lesi
Lesi (kerusakan) yang dapat timbul pada cedera kepala terdiri atas 2 jenis yaitu
lesi primer dan lesi sekunder.
 Lesi Primer
Lesi primer timbul langsung pada saat terjadinya trauma, bisa bersifat lokal
maupun difus.

11
- Lesi lokal berupa robekan pada kulit kepala, otot-otot dan tendo pada kepala
mengalami kontusio, dapat terjadi perdarahan sub galeal maupun fraktur
tulang tengkorak. Demikian juga dapat terjadi kontusio jaringan otak.
- Lesi difus merupakan cedera aksonal difus dan kerusakan mikrovaskular
difus.1,3
 Lesi Sekunder
Lesi sekunder timbul beberapa waktu setelah terjadi trauma, menyusul kerusakan
primer. Umumnya disebabkan oleh keadaan iskemi-hipoksia, edema serebri,
vasodilatasi, perdarahan subdural, perdarahan epidural, perdarahan subaraknoidal,
perdarahan intraserebral, dan infeksi.1,3

2.8.2 Berdasarkan Lokasi lesi


o Intrakranial Hemoragik
 Subarakhnoid Hemoragik
 Epidural Hemoragik
 Subdural Hemoragik.2

Lesi Fokal
Hematoma ekstradural
Lebih lazim disebut epidural hematoma (EDH), adalah suatu hematom yang
cepat terakumulasi di antara duramater dan tabula interna. Paling sering terletak pada
daerah temporal dan frontal. Biasanya disebabkan oleh pecahnya arteri meningea media.
Jika tidak ditangani dengan cepat akan menyebabkan kematian.1,2,3,9,10

Hematoma subdural
Terjadi ketika vena di antara duramater dan arachnoid (bridging vein) robek.
Lesi ini lebih sering ditemukan daripada EDH. Pasien dapat kehilangan kesadaran saat
terjadi cedera.1,3,10

Hematoma subarakhnoid
Paling sering ditemukan pada cedera kepala, umumnya menyertai lesi lain.
Perdarahan terletak di antara arachnoid dan piamater, mengisi ruang subarachnoid.1,3,10

12
2.9 DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
a. Trauma kapitis dengan/tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval lucid
b. Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea
c. Amnesia traumatika (retrograd/anterograd)
2. Hasil pemeriksaan klinis neurologis
3. Foto kepala polos, posisi AP, lateral, tangensial
4. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
5. CT scan otak: untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi.2

 FOTO POLOS KEPALA


Foto polos kepala dengan berbagai posisi seperti AP, lateral berguna
untuk melihat adanya fraktur tengkorak, tapi tidak menunjukkan jaringan
lunak di dalam kepala.

Indikasi Foto Polos Kepala


Tidak semua penderita dengan cidera kepaladiindikasikan untuk
pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaanyang sekarang makin
ditinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka tembus
(tembak/tajam), adanya corpus alineum, deformitas kepala (dariinspeksi dan
palpasi), nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, gangguan
kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose
foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan
adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan
oblique.

 CT SCAN
CT adalah pencitraan darurat metode pilihan untuk cedera kepala. CT lebih
informatif daripada rontgen tengkorak standar dan memberikan sensitivitas
untuk mendeteksi darah intrakranial. Secara umum, semua pasien dengan
cedera kepala harus memiliki CT, kecuali bagi mereka yang diklasifikasikan

13
sebagai risiko rendah (misalnya, tanpa gegar otak, tanpa kelainan neurologis
pada pemeriksaan, dan tanpa bukti atau kecurigaan dari patah tengkorak,
alkohol atau keracunan obat, atau moderat-risiko kriteria lain). Kemungkinan
mendeteksi intra serebral hemoragik oleh CT pada pasien ini hanya 1
dalam 10.000. MRI lebih baik untuk mendeteksi cedera halus otak, terutama
untuk lesi fokal, tetapi pada umumnya tidak digunakan untuk evaluasi darurat
kecuali dengan cepat dan mudah tersedia gambar CT harus dinilai untuk bukti
adanya hematoma epidural atau subdural, subarachnoid atau intraventricular,
memar parenkim dan perdarahan, edema otak, dan memar berhubungan dengan
diffuse axonal injury.
Pasien dengan trauma kepala memerlukan penegakkan diagnosa sedini
mungkin agar tindakan terapi dapat segera dilakukan untuk menghasilkan
prognosa yang tepat, akurat dan sistematis. Dalam suatu penelitian
menunjukkan bahwa tindakan operasi pada trauma kepala berat dalam rentang
waktu 4 jam pertama setelah kejadian, dapat menyelamatkan + 60 – 70 %.
Bila lebih 4 jam tingkat kematian melebihi sekitar 90%. Hal ini dapat dapat
dilakukan setelah adanya penegakan diagnosa trauma kepala dengan
pemeriksaan klinis awal yang ditunjang dengan diagnosa imajing (khususnya
CT-Scan Kepala).
Pemeriksaan CT – Scan sangat mutlak pada kasus trauma kepala untuk
menentukan adanya kelainan intracranial terutama pada cedera kepala berat.
Beberapa indikasi perlunya tindakan pemeriksaan CT – Scan pada kasus
trauma adalah :
a. Menurut New Orland :
* Sakit kepala.
* Muntah.
* Umur > 60 tahun.
* Adanya intoksikasi alkohol.
* Amnesia retrograde.
* Kejang.
* Adanya cedera di area clavicula ke superior.
b. Menurut The Cranadian CT Head :

14
* GCS ( Glasgow Coma Score ) < 15 setelah 2 jam kejadian.
* Adanya dugaan open / depressed fracture.
* Muntah – muntah ( > 2 kali ).
* Umur > 65 tahun.
* Bukti fisik adanya fraktur di basal skull.

Pada saat ini CT -Scan telah menjadi modalitas utama dalam


menunjang diagnosa trauma kepala terutama pada kasus cyto yang sebelumnya
sulit terdeteksi pada foto Foto Town atau Occipitomental ( plain foto skull ).
Pada kasus trauma kepala pada umumnya pasiennya merupakan pasien yang “
tidak sadar “ atau tidak kooperatif, dengan kondisi yang demikian sulit untuk
mendapatkan posisi scanning ideal yang kita inginkan, sedangkan bila
dilakukan tindakan anestesi sering dihadapkan pada resiko yang harus
dihadapi.
Dengan demikian Radiografer dipaksa untuk melakukan berbagai cara
untuk mengatasinya dalam melakukan pemeriksaan CT-Scan mulai dari
persiapan pasien, prosedur, posisi, protokol, post prosessing dan pencetakan
film.

 Gambaran CT Scan Kepala


Tanda-tanda vital yang diperhatikan oleh radiografer dalam post prosessing
adalah :
- Focal hyper / hypodens.
Ukurlah area tersebut dengan automatic volume dapat dihitung secara kasar
dengan mengukur “Panjang x Lebar x tebal ( slice awal – akhir
tampaknya lesi ) dibagi 2”
- Mid line shift, tanda adanya mass effect. ( Bila dijumpai ukurlah dengan
membuat garis membagi 2 hemispher cerebrum dan garis shift pada ujung
anterior septum pellucidum). Atur WW dan WL (Bone : W = + 1500 , L =
+ 200 , Brain : W = + 80, L = + 35, Subdural / intermediate : W = + 200, L
= + 50 ).
- Udara di calvarium ( menunjukkan kemungkinan adanya fraktur ).

15
- Oedem ( batas sulci / gyri cortical tidak jelas ). Pergerakan pada pasien (
bila diperlukan sebaiknya harus di scan ulang pada slice tertentu ). Print
dengan scout / refrensi image ( 15 – 20 ) dalam 1 lembar, sebaiknya
disertakan dengan kondisi tulang terutama bila jelas –jelas ada fraktur.
 Cara membaca CT-Scan :
1. Midline shift (ada/tidak ada? Membaca pada potongan axial yang berisi
ventrikellateral dan ventrikel III. Bila ada berapa mm? bila lebih dari 5 mm
 indikasi operasi)
2. Sulcus gyrus (mengabur/tidak?)
3. Sisterna Ambiens (mengabur/tidak?)
4. Sistem ventrikel (apakah ada penyempitan / pergeseran)
5. Massa hiperdens / hipodens (bila ada pada region mana? Berapa cc? cari
potonganaxial yang massa hiperdens paling besar, panjang x lebar bagi 2
kalikan dengan jumlah slice yang ada massa)
6. Bone defect (ada/tidak ada? Fraktur linear/depressed, diastase, kommunitif)
7. Soft Tissue edema/subgaleal hematom (ada/tidak? Pada regio mana?)

Gambar 5. Gambaran CT Scan Normal

16
 MRI
Magnetic Resonancy Imaging ( MRI ) suatu alat kedokteran di bidang
pemeriksaan diagnostik radiologi. Teknik penggambaran MRI relatif
komplek karena gambaran yang dihasilkan tergantung pada banyak
parameter. Bila pemilihan parameter tersebut tepat, kualitas gambar MRI
dapat memberikan gambaran detail tubuh manusia dengan perbedaan yang
kontras, sehingga anatomi dan patologi jaringan tubuh dapat dievaluasi
secara teliti. Untuk menghasilkan gambaran MRI dengan kualitas yang
optimal sebagai alat diagnostik, maka harus memperhitungkan hal-hal yang
berkaitan dengan teknik penggambaran MRI, antara lain : a. Persiapan
pasien serta teknik pemeriksaan pasien yang baik, ; b. Kontras yang
sesuai dengan tujuan pemeriksaannya ; c. Artefak pada gambar, dan cara
mengatasinya ; d. Tindakan penyelamatan terhadap keadaan darurat.
Pemeriksaan MRI bertujuan mengetahui karakteristik morfologik
(lokasi, ukuran, bentuk, perluasan dan lainnya dari keadaan patologis.
Tujuan tersebut dapat diperoleh dengan menilai salah satu atau kombinasi
gambar penampang tubuh aksial, sagital, koronal atau oblik tergantung
pada letak organ dan kemungkinan patologinya. Adapun jenis
pemeriksaan MRI sesuai dengan organ yang akan dilihat, misalnya :
1. Pemeriksaan kepala untuk melihat kelainan pada : kelenjar pituitary,
lubang telinga dalam , rongga mata , sinus ;
2. Pemeriksaan otak untuk mendeteksi : stroke / infark, gambaran fungsi
otak, pendarahan, infeksi; tumor, kelainan bawaan, kelainan pembuluh
darah seperti aneurisma, angioma, proses degenerasi, atrofi;
3. Pemeriksaan tulang belakang untuk melihat proses Degenerasi (HNP),
tumor, infeksi, trauma, kelainan bawaan.
4. Pemeriksaan Musculoskeletal untuk organ : lutut, bahu , siku,
pergelangan tangan, pergelangan kaki , kaki , untuk mendeteksi robekan
tulang rawan, tendon, ligamen, tumor, infeksi/abses dan lain lain;
5. Pemeriksaan Abdomen untuk melihat hati,ginjal,kantong dan saluran
empedu, pakreas, limpa, organ ginekologis, prostat, buli-buli
6. Pemeriksaan Thorax untuk melihat : paru –paru, jantung

17
 Kelebihan MRI Dibandingkan dengan CT - Scan
Ada beberapa kelebihan MRI dibandingkan dengan pemeriksaan CT Scan yaitu:
1. MRI lebih unggul untuk mendeteksi beberapa kelainan pada jaringan lunak
seperti otak, sumsum tulang serta muskuloskeletal.
2. Mampu memberi gambaran detail anatomi dengan lebih jelas.
3. Mampu melakukan pemeriksaan fungsional seperti pemeriksaan difusi,
perfusi dan spektroskopi yang tidak dapat dilakukan dengan CT Scan.
4. Mampu membuat gambaran potongan melintang, tegak, dan miring tanpa
merubah posisi pasien.
5. MRI tidak menggunakan radiasi pengion.

Gambar 6. Gambaran MRI Normal


 Hematom Epidural
Hematoma Epidural adalah akumulasi darah di ruang antara duramater dan
tulang tengkorak.
Gejala klinis : penurunan kesadaran, penglihatan kabur, susah bicara, nyeri
kepala hebat, keluar cairan dari hidung atau telinga, Nampak luka yang
dalam atau goresan pada kulit kepala, mual, pupil anisokor.

Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai
epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral
dengan sisi yang mengalami trauma pada film untuk mencari adanya
fraktur tulang yang memotong sulcus arteriameningea media.

18
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan
potensi cedera intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu
bagian saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral),
berbentuk bikonfeks, paling sering di daerah temporoparietal. Densitas
darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi
kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematoma.
Gambaran hiperdens (perdarahan) di tulang tengkorak dan
duramater,umumnya daerah temporal, dan tampak bikonveks2,3,5

Pemeriksaan MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks


yang menggeser posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan
duramater. MRI juga dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI
merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan
diagnosis.

Gambar 7. CT Scan Hematom Epidural.

19
Gambar 8. MRI Hematom Epidural

 Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara
duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH,
ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling
sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus
draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau
substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu,
kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat
lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural.
Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi
yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif. Subdural hematom
terbagi menjadi akut dan kronis.

1) Subdural Hematoma Akut


Dikatakan akut bila kurang dari beberapa hari atau dalam 24 sampai 48 jam
setelah trauma. Gejala klinis dari subdural hematoma akut tergantung dari
ukuran hematoma dan derajat kerusakan otak. Gejala neurologis yang
sering muncul adalah penurunan kesadaran, dilatasi pupil ipsilateral
hematom, hemiparesis kontralateral, dan papil edema.
Pada foto polos kepala, tidak dapat didiagnosa pasti sebagai subdural
hematom. Dengan proyeksi AP lateral dengan sisi yang mengalami trauma
pada film, bertujuan untuk mencari adanya fraktur tulang pada daerah
frontoparietotemporal.

20
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit )
dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom.
Batas medial hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure
interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya hematom subdural.
Menekan dan mengkompresi otak (Bernath, 2009).
Pada MRI, konfigurasi SDH berbentuk kresentris ( bulan sabit ).1,2,3,5,7,10

Gambar 9. MRI Hematom Subdural Akut Gambar 10. CT Scan Hematom


Subdural Akut

2) Subdural Hematoma Kronis


Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi,
kalsifikasi yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh
karenanya tidak ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area
hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks,
berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran
hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin lama densitas
ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya
menjadi hipodens.

Gambar 11. CT Scan dan MRI Subdural Hematom Kronis

21
 Perdarahan Subarakhnoid
Pada CT-Scan,perdarahan subarachnoid (SAH) terlihat mengisi ruangan
subarachnoid yang biasanya terlihat gelap dan terisi CSS di sekitar otak.
Rongga subarachnoid yang biasanya hitam mungkin tampak putih di
perdarahan akut. Temuan ini paling jelas terlihat dalam rongga
subarachnoid yang besar.
Ketika CT-Scan dilakukan beberapa hari atau minggu setelah
perdarahan awal, temuan akan tampak lebih halus. Gambaran putih darah
dan bekuan cenderung menurun dan tampak sebagai abu-abu.
Sebagai tambahan dalam mendeteksi SAH, CT-Scan berguna untuk
melokalisir sumber perdarahan. Hal ini sangat penting dalam kasus- kasus
aneurisma intracranial ganda, yang terjadi pada 20% pasien. Lokalisasi SAH
pada CT-Scan berkorelasi dengan lokasi dari pecahnya aneurisma.
Kehadiran darah dalam celah interhemisfer anterior atau lobus frontal yang
berdekatan menunjukkan pecahnya aneurisma arteri anterior. Bekuan fisura
Sylvian berkorelasi dengan aneurisma arteri serebral tengah ipsilateral. Jika
darah terdapat di fossa posterior, hal ini menunjukkan perdarahan dari
aneurisma sirkulasi posterior.CT scan otak: perdarahan (hiperdens) diruang
subarakhnoid2,6,8

Gambar 12. CT Scan Subarachnoid Hemorrhage

22
Gambar 13. MRI Subarachnoid Hemorraghe

2.10 PENATALAKSANAAN
Terapi Kasus ringan
1. Pemeriksaan status umum dan neurologi
2. Perawatan pada luka
3. Pasien dipulangkan dengan pengawasan ketat oleh keluarga selama 48 jam
Bila selama dirumah terdapat hal-hal sebagai berikut :
- Pasien cenderung mengantuk
- Sakit kepala yang semakin berat
- Muntah proyektil
Maka pasien harus segera kembali ke rumah sakit
4. Pasien perlu dirawat apabila ada hal-hal berikut:
- Ada gangguan orientasi (waktu, tempat)
- Sakit kepala dan muntah
- Tidak ada yang mengawasi dirumah
- Letak rumah jauh atau sulit untuk kembali kerumah sakit2

Terapi Kasus Berat


 Tekanan Intra Kranial meninggi
Bila ada fasilitas, untuk mengukur naik-turunnya TIK sebaiknya dipasang
monitor TIK. TIK normal adalah 0-15 mmHg. Di atas 20 mmHg, sudah
harus diturunkan dengan cara:

23
- Hiperventilasi:
Lakukan hiperventilasi dengan ventilasi terkontrol, sasaran pCO2
dipertahankan antara 30-35 mmHg selama 48 sampai 72 jam, lalu dicoba
dilepas dengan mengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi, hiperbentilasi
diteruskan 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi
periksa gas darah dan lakukan CT Scan ulang1,2,3,7
- Terapi diuretik:
 Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cara pemberian:
Bolus 0,5-1 g/kgBB dalam 30 menit, dilanjutkan 0,25-0,5g/kgBB setiap
6jam, selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas serum tidak melebihi 320
mOsm.
 Loop diuretik (furosemid)
Pemberian bersama manitol memiliki efek sinergik dan memperpanjang
efek osmotik serum oleh manitol. Dosis: 40mg/hari
 Terapi barbiturat
Diberikan jika tidak reseponsif terhadap semua jenis terapi di atas.
Cara pemberian:
Bolus 10 mg/kgBB iv selama ½ jam, dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama
3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg% dengan dosis sekitar
1mg/kgBB/jam. Setelah TIK terkontrol <20 mmHg selama 24-48 jam, dosis
diturunkan bertahap selama 3 hari.
 Posisi tidur
Bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat dengan kepala dan dada dalam satu
bidang.1,7

 Keseimbangan cairan dan elektrolit


Saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema
serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari parenteral, dapat dipakai cairan
kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer laktat, jangan diberikan cairan yang
mengandung glukosa. Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil
normal, takikardi kembali normal dan volume urin ≥ 30 ml/jam. Setelah 3-4 hari

24
dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Bila terjadi gangguan
keseimbangan cairan elektrolit (pemberian diuretik, diabetes insipidus, SIADH),
pemasukan cairan harus disesuaikan. Pada keadaan ini perlu dipantau kadar
elektrolit, gula darah, ureum, kreatinin, dan osmolalitas darah.1,7

 Nutrisi
Kebutuhan energi rata-rata pada CKB meningkat rata-rata 40%, kebutuhan
protein 1,5-2 g/kgBB/hari, lipid 10-40% dari kebutuhan kalori/hari, dan zinc 12
mg/hari
Selain infus, nutrisi diberikan melalui pipa nasogastrik:
 Hari ke-1: berikan glukosa 10% sebanyak 100ml/2jam
 Hari ke-2: berikan susu dengan dosis seperti glukosa
 Hari ke-3 dan seterusnya: makanan cair 2000-3000 kalori per hari
disesuaikan dengan keseimbangan elektrolit.1,7

 Neuroproteksi
Adanya tenggang waktu antara terjadinya trauma dan timbulnya kerusakan
jaringan saraf memberi waktu bagi kita untuk memberikan neuroprotektor
Obat-obat tersebut antara lain:
Antagonis kalsium atau nimodipin (terutama diberikan pada SAH), sitikolin, dan
piracetam 12 gr/hari yang diberikan selama 7 hari.1,7

2.11 Komplikasi
- Epilepsi/kejang
Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early
epilepsy, dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late eplepsy.
Profilaksis dengan anti kejang diberikan pada yang berisiko tinggi untuk
terjadinya kejang pasca CKB, yaitu:
 GCS <10, kontusio kortikasl, fraktur kompresi tulang tengkorak,
Hematom Subdural, Hematom Epidural
 Hematom Intracerebral, luka tembus dan kejang yang terjadi dalam
kurun waktu <24 jam pasca cedera

25
Pengobatan
 Kejang pertama: saat kejang diberikan diazepam 10 mg i.v, dilanjutkan
dengan fenitoin 200mg peroral, dan seterusnya diberikan 3-4 x 100
mg/hari
 Profilaksis:
 Diberikan fenitoin 3-4x 100mg/hari atau karbamazepin 3x200 mg/hari
selama 7-10 hari.1,3,7

- Infeksi
Profilaksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi seperti pada
fraktur tulang terbuka, luka luar, dan fraktur basis kranii.
Antibiotik yang diberikan: ampisilin 3x1 gr/hari i.v selama 10 hari
Bila ada kecurigaan infeksi pada meningen, diberikan antibiotika dengan dosis
meningitis, misalnya ampisilin 4x3 gr/hari i.v dan kloramfenikol 4x 1,5-2gr i.v
selama 10 hari. Untuk gram negatif meningitis, terapi diberikan selama 21 hari
atau 10 hari setelah kultur cairan serebrospinal negatif. 1,3,7

- Demam
Setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi penyebabnya. Selain itu
dilakukan tindakan menurunkan suhu dengan kompres pada kepala, ketiak, dan
lipat paha. Dan ditambahkan obat antipiretik. 1,3,7

- Gastrointestinal
Pada pasien CKB sering ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal lain,
dengan 19-24% diantaranya akan berdarah. Penderita cedera kepala akan
mengalami peningkatan rangsang simpatik yang mengakibatkan gangguan
fungsi pertahanan mukosa sehingga mudah terjadi erosi. Keadaan ini dapat
dicegah dengan pemberian antasida 3x1 peroral atau bersama H2 reseptor bloker
yaitu simetidine, ranitidin, atau famotidin yang diberikan 3x1 ampul i.v selama 5
hari, atau Proton Pump Inhibitor seperti omeprazole. 1,3,7

26
- Edema pulmonum
Dapat terjadi pada gangguan fungsi hipotalamus yang mengakibatkan
penguncupan vena-vena paru. Dapat dilakukan pemberian hiperosmotika dan
pemberian diuretika serta oksigen. 1,3,7

2.12 PROGNOSIS
Skor GCS penting untuk menilai tingkat kesadaran dan berat ringannya trauma kapitis.3

Diffuse Injury Grade CT appearance Mortality


I Normal CT Scan 9.6%
II Cisterns present. Midline shift <5 13,5%
mm
III Cisterns compressed/ absent. 34%
Midline shift <5 mm
IV Midline shift >5 mm 56,2%

27
BAB III

KESIMPULAN

Trauma kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi
neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun
permanent.
Berdasarkan ATLS cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara
praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera,
dan morfologi. Fraktur kranium dan lesi intrakranial merupakan beberapa contoh dari
kasus trauma kepala. Yang merupakan contoh dari kasus lesi intrakranial adalah
epidural hematoma, subdural hematoma, perdarahan subarachnoid, kontusio dan
hematoma intraserebral, serta cedera difus pada otak.
Untuk menyatakan diagnosis kasus-kasus diatas, pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan radiologi sangat dibutuhkan. Pemeriksaan radiologi tersebut adalah foto
polos kepala, CT-Scan Kepala, MRI, ataupun angiografi.
Gambaran radiologi dari masing-masing kasus tersebut mempunyai ciri khas
yang dapat membantu seorang dokter membuat suatu diagnosis pada penderita trauma
kepala. Salah satu ciri yang jelas adalah pada kasus hematoma epidural yang pada
pemeriksaan CT-Scan kepala memberikan gambaran densitas darah yang homogen
(hiperdens) berbentuk bikonfeks dan sering pada daerah temporoparietal. Sedangkan
pada kasus hematoma subdural memberikan gambaran hiperdens berbentuk seperti
bulan sabit.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Alfa AY. Penatalaksanaan Medis (Non-Bedah) Cedera Kepala. In: Basuki A, Dian
S.Kegawatdaruratan Neurologi. 2nd Ed. Bandung: Departemen/UPF Ilmu Penyakit
Saraf Fakultas Kedokteran UNPAD. 2009. p61-74.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Trauma Kapitis. In:
Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Jakarta:
PERDOSSI Bagian Neurologi FKUI/RSCM. 2006. p1-18.
3. Japardi I. Cedera Kepala: Memahami Aspek-aspek Penting dalam
PengelolaanPenderita Cedera Kepala. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer. 2004. p1-
154.
4. Wilson LM, Hartwig MS. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf. In: Price SA.
Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6th Ed. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2006. p1006-1042
5. Ginsberg L. Bedah Saraf: Cedera Kepala dan Tumor Otak. In: Lecture Notes:
Neurologi. 8th Ed. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2007. p114-117
6. Kasan U. Jurnal Cedera Kepala. Available at:
http://images.neurosurg.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/SZQ@KQoKC
DUAAGkRGyM1/CEDERA%20KEPALA.DOC?key=neurosurg:journal:9&nmid=
198747111. Accessed on: Desember 20 2012.
7. RSUP Nasional Dr.Cipto Mangunkusumo. Komosio Cerebri, CKR, CKS, CKB. In:
Panduan Pelayanan Medis Departemen Neurologi. Pusat Penerbitan Bagian
Neurologi FKUI/RSCM. 2007. p51-58
8. Mayo Clinic. Traumatic brain injury. Available
at:http://www.mayoclinic.com/health/traumatic-brain-injury/DS00552. Accessed on
Desember 21 2018.
9. Lombardo MC. Cedera Sistem Saraf Pusat. In: In: Price SA. Patofisiologi: Konsep
Klinis Proses-proses Penyakit. 6th Ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2006. p1067-1077
10. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Cedera Kepala. In: Panduan Praktis
Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf. 2009. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2006. p12-18

29

Anda mungkin juga menyukai