PEMBIMBING:
dr. Lena Wijayaningrum, Sp.KFR
DISUSUN OLEH:
Putrantos Madedi Budiawan
2009.04.0.0100
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
2014
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
kasih karunia-Nya sehingga pembuatan tugas referat rehabilitasi medik yang berjudul Bells
Palsy dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Terima kasih juga saya ucapkan kepada dr. Lena Wijayaningrum, Sp.KFR selaku
pembimbing tugas rehabilitasi medik yang telah meluangkan waktu dalam pemberian arahan
guna meningkatkan pemahaman, penerapan klinis dan penatalaksanaan yang komprehensif
terhadap kasus Bells Palsy.
Penulis menyadari bahwa tulisan yang tersusun ini masih banyak kekurangan di
dalam penulisan, baik teori maupun penyusunan tugas ini. Oleh karena itu, penulis
membutuhkan kritik dan saran sehingga tugas referat rehabilitasi ini bisa bermanfaat bagi
semua pihak.
penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.......................................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................................
ii
BAB I
: PENDAHULUAN...................................................................................
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................
1. Anamnesa...................................................................................
2. Pemeriksaan fisik........................................................................ 8
3. Pemeriksaan penunjang.............................................................. 10
2.8. Komplikasi Bells Palsy....................................................................
11
11
1. Medikamentosa........................................................................... 11
2. Non Medikamentosa................................................................... 12
a. Rehabilitasi Medik.......................................................... 12
b. Perawatan Mata............................................................... 14
c. Pembedahan..................................................................... 14
2.10. Prognosis Bells Palsy....................................................................... 14
Bab III
: KESIMPULAN......................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................
16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Bells palsy merupakan kelemahan ataupun kelumpuhan saraf fasialis perifer, bersifat
akut, dan penyebabnya belum diketahui secara pasti (idiopatik). Bells palsy ini pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1812 oleh Sir Charles Bell, seorang peneliti scotlandia, yang
mempelajari mengenai persarafan otot-otot wajah (dr. Robby Tjandra Kartadinata SpKFR,
2011).
Insiden sindrom bells palsy ini berkisar 23 kasus per 100.000 orang setiap tahunnya.
Berdasarkan manifestasi klinisnya, terkadang masyarakat awam mengganggap sindrom bells
palsy sebagai serangan stroke atau yang berhubungan dengan tumor sehingga perlu diketahui
penerapan klinis sindrom bells palsy tanpa melupakan diagnosa banding yang kemungkinan
diperoleh dari klinis yang sama (Handoko lowis dan Maulana N Gaharu, 2012)
Masalah kecacatan yang ditimbulkan oleh Bells palsy cukup kompleks, yaitu
meliputi impairment (kelainan di tingkat organ) berupa ketidak-simetrisnya wajah, kaku dan
bahkan bisa berakibatnya terjadi kontraktur; disability / ketidakmampuan (di tingkat individu)
berupa keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari berupa gangguan makan dan minum,
gangguan menutup mata, serta gangguan berbicara dan ekspresi wajah; handicap (di tingkat
lingkungan) berupa keterkaitan dalam profesi terutama di bidang entertainment; dan masalah
selanjutnya dari segi psikologis penderita.
1.2.
Manfaat
Manfaat penulisan referat ini guna mempelajari sindrom bells palsy secara secara
mendalam meliputi, pengenalan sindrom bells palsy dari klinis serta penatalaksanaanya yang
berhubungan dengan ilmu kedokteran rehabilitasi medik.
1.3.
Tujuan
Tujuan tugas ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik sub departemen
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
menerima sensasi rasa 2/3 anterior lidah, komponen motorik yang mempersarafi semua otot
ekspresi wajah pada salah satu sisi, serta komponen motorik yang berhubungan dengan
persarafan glandula lakrimalis (Handoko lowis dan Maulana N Gaharu, 2012).
Nervus fasialis mempunyai tiga buah inti yaitu nukleus fasialis untuk saraf
somatomotoris, nukleus salivatorius superior untuk saraf viseromotoris, dan nukleus
solitarius untuk saraf viserosensoris. Alur nervus fasialis berdasarkan nukleusnya :
1. nukleus pertama, Nervus fasialis yang memberi cabang motorik keluar dari foramen
stylomastoideus akan memberi cabang yakni nervus aurikularis posterior dan kemudian
menuju ke otot stylomastoideus sebelum masuk ke glandula parotis. Di dalam glandula
parotis, nervus ini akan bercabang menjadi lima, yaitu ramus temporal, ramus
zigomatikus, ramus bukal, ramus marginalis mandibularis, dan ramus servikal. Cabang
nervus fasialis dapat dilihat pada gambar 1.
Otot-otot wajah yang dipersarafi oleh nervus fasialis dapat dilihat juga pada tabel di
bawah ini:
No
1
2
3
Nama Otot
M. Frontalis
M. Corrugator Supercili
M. Procerus
Fungsi
Mengangkat alis
Mendengkatkan kedua pangkal alis
Persarafan
Ramus temporalis
Ramus zygomatikus
M. Orbicularis Oculli
5
6
7
M. Nasalis
M. Depresor anguli oris
M. zygomatikum mayor
ramus zygomatikus
n. fasialis
n. fasialis
n. fasialis
dan M. Zygomatikum
8
minor
M. orbicularis oris
Bersiul
n. fasialis ramus
M. buccinator
zygomatikus
Ramus zygomatikus,
ramus mandibular,
10 M. Mentalis
Mengangkat dagu
11 M. Platysma
Meregangkan kulit leher
(Muhammad Ibrahim Pribadi, 2012)
ramus bukal
Ramus bukal
n. fasialis
2. Jaras parasimpatis yang intinya di nukleus salivatorius superior setelah mengikuti jaras N.
VII, jaras ini akan berjalan melalui gangglion pterigopalatina dan melalui korda timpani.
Nervus yang keluar dari ganglion pterigopalatina akan menginervasi glandula lakrimal,
nasal, dan palatal, sedangkan yang keluar dari korda timpani akan berjalan melalui nervus
lingualis berganti neuron mempersarafi glandula sublingual dan glandula submandibular.
3. nukleus solitarius dimana sebagai jaras spesial afferen (taste/perasa) akan berjalan melalui
nervus intermedius (antara N.VII dan N.VIII) masuk ke gangglion genikulatum menuju
korda timpani. Korda timpani melalui nervus lingualis akan menginervasi 2/3 anterior
lidah.
(Novialita Dwi Kusumawati, 2009).
Gambar 2. Skema dari saraf kranialis ketujuh (fasialis)
Cabang motorik ditandai dengan garis warna biru, cabang parasimpatis ditandai dengan garis
warna jingga, dan cabang afferen viseral spesial (pengecapan) ditandai dengan garis putusputus dan titik.
(Handoko lowis dan Maulana N Gaharu, 2012).
Dalam penjalaran nervus fasialis, nervus ini mendapat vaskularisasi dari 3 arteri,
yakni:
1. A. Cerebelli anterior yang bercabang menjadi a. Auditori interna. A. Auditori interna ini
yang memvaskularisasi nervus fasialis di dalam kanalis auditori interna sampai ke ganglion
genikulatum.
2. Cabang petrosal dari a. Meningea media yang memasuki kanalis falopi pada ganglion
genikulatum. Cabang ini akan bercabang lagi menjadi asendens dan desendens dimana yang
asenden akan memvaskularisasi proximal ganglion genikulatum, sedangkan yang desendens
akan berjalan ke distal bersama saraf ke foramen stylomastoideus.
3. Cabang stylomastoideus dari a. Aurikularis posterior yang memasuki kanalis fasialis akan
bercabang menjadi asendens dan desendens. Cabang asendens memvaskularisasi sampai
batas ganglion genikulatum, sedangkan yang desendens akan memvaskularisasi ke foramen
stylomastoideus (Noviolita Dwi Kusumawati, 2009).
2.2.
Sunderland,
kerusakan
saraf
diklasifikasikan
berdasarkan
derajat
2.3.
Bells palsy adalah kelemahan atau kelumpuhan saraf fasialis perifer yang
penyebabnya idiopatik, terjadi secara akut dan biasanya dapat sembuh sendiri (Noviolita Dwi
Kusumawati, 2009).
2.4.
2.6.
Manifestasi klinis
Umumnya diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis adanya parese n. VII dan
diikuti beberapa pemeriksaan penunjang lain.
1. Anamnesa
- Kelemahan / kelumpuhan otot wajah pada satu sisi secara tiba-tiba, biasanya < 2 hari
- Rasa nyeri pada telinga (otalgia), hiperakusis, nyeri pada wajah dan daerah
-
retroaurikular
Gangguan atau kehilangan pengecapan
Mulut / mata kering karena tidak dapat menutup pada sisi yang lumpuh
Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, dan bola mata berputar ke atas bila
2. Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan neurologis ditemukan parese N. VII perifer
-
inspeksi dan palpasi didaerah leher dan kelenjar parotis, untuk menyingkirkan
kemungkinan penekanan massa seperti tumor parotis yang menyebabkan terjadinya
fasialis parese.
penilaian menurut Skala Ugo Fisch untuk menilai simetris atau asimetris antara sisi
sehat dan sisi sakit.Gerakan yang diperiksa :
Posisi
Nilai
Persentase (%)
Skor
0,30,70,100
Istirahat
Mengerutkan dahi
Menutup mata
Tersenyum
Bersiul/ meniup
Total
20
10
30
30
10
30 %
: simetris, poor / jelek, kesembuhan yang ada lebh dekat ke asimetris komplit
daripada simetris normal
11
70 %
100 %
: simetris, normal
Klasifikasi
Normal
Baik
Sedang
Buruk
(dr. Robby Tjandra Kartadinata SpKFR, 2011; Muhammad Ibrahim Pribadi, 2012 )
3. Pemeriksaan penunjang
1. Rontgen untuk menyingkirkan diagnosa banding
2. CT Scan, MRI untuk menyingkirkan diagnosa banding
3. Uji kepekaan saraf (nerve excitability test) yaitu dengan mendeteksi besar potensial
listrik yang menyebabkan saraf wajah berkontraksi. Pemeriksaan ini menggunakan
elektroda dari alat stimulator diletakkan antara mastoid dan mandibula. Bandingkan
sisi yang normal dengan sisi yang mengalami kelemahan / kelumpuhan. Jika
perbedaan sebesar 3,5 mA maka menunjukkan adanya kerusakan saraf yang berat.
membandingkan kontraksi otot wajah kiri dan kanan setelah diberi rangsangan listrik.
12
2.8.
Kontraktur otot wajah (tampak jelas saat wajah dalam keadaan kontraksi dibanding
istirahat) : sudut nasolabial yang terlihat lebih dangkal dan alis mata lebih rendah
dibanding yang sehat. Timbul 1-2 tahun setelah terjadi bells palsy
Crocodiles tears yaitu keluarnya air mata involunter pada sisi yang sakit saat
salah
Klonik facial spasm (hemifacial spasm) yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock
like) pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal,
kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan)
2.9.
Penatalaksanaan
1. Terapi medikamentosa :
o Kortikosteroid (prednison / prednisolon)
Tujuan : mengurangi oedeme dan sebagai anti inflamasi
Dimulai dalam 72 jam dari onset (golden period)
Dosis pemberian prednison untuk anak adalah 2 mg/kg/hari selama 710 hari, sedangkan untuk dewasa 60 mg/hari selama 5 hari,
dilanjutkan dengan 40 mg/hari selama 5 hari tappering off.
13
20
menit
dan
diarahkan
ke
foramen
stilomastoideus.
o Massase. Tujuannya supaya mengurangi oedema,
merelaksasi otot, serta mempertahankan tonus otot.
Massase ini dilakukan pada otot wajah selama 5-10
menit diberikan 2x/hari. Tekniknya sebagai berikut:
telinga
sisi
yang
lumpuh,
sedangkan
15
jatuh
dan
mencegah
meregangnya
otot
b. Perawatan mata
Tujuan : melindungi kornea dari kekeringan dan abrasi akibat
c. Pembedahan
Tujuan : untuk membebaskan tekanan (dekompresi) saraf fasialis
(Noviolita Dwi Kusumawati, 2009).
2.10. Prognosis
Prognosa bergantung pada waktu mulainya terjadi perbaikan, apabila perbaikan cepat,
maka prognosis lebih baik. Hal-hal yang mempengaruhi seperti ibu hamil yang mengalami
bells palsy, gejala klinis mata kering, hiperakusis, gejala penyerta seperti DM dan Hipertensi
dapat memperburuk prognosa (dr. Robby Tjandra Kartadinata SpKFR, 2011).
16
BAB III
KESIMPULAN
Bells palsy adalah kelemahan atau kelumpuhan saraf fasialis yang penyebabnya
idiopatik, terjadi secara akut dan biasanya dapat sembuh sendiri. Penyebab dari Bells palsy
masih kontroversi dan bersifat idiopatik, tetapi ada beberapa teori yang dihubungkan dengan
bells palsy, yaitu: Teori iskemik vaskuler, Teori infeksi virus, Teori herediter, Teori
imunologi, dan Pengaruh udara dingin. Dalam penanganan / penatalaksanaan bells palsy
dibagi dua secara garis besar yaitu medikamentosa dan non medikamentosa. Medikamentosa
bells palsy berupa kortikosteroid, antiviral, dan neurotonik, sedangkan yang non
medikamentosa meliputi perawatan mata, pembedahan, dan rehabilitasi medik. Prognosis dari
bells palsy bergantung pada waktu terjadinya perbaikan, dimana semakin cepat perbaikan
maka semakin baik prognosanya. Hal-hal yang mempengaruhi seperti ibu hamil yang
mengalami bells palsy, gejala klinis mata kering, hiperakusis, gejala penyerta seperti DM
dan Hipertensi dapat memperburuk prognosa
17
DAFTAR PUSTAKA
dr. Robby Tjandra Kartadinata SpKFR, 2011, Rehabilitasi Medik Bells Palsy, Siaran RRI,
Instalasi Rehabilitasi Medik RSUP Dr. Kariadi Semarang
Firman Nurdiansah, Adlin Adnan, 2010, Bells Palsy, Departemen THT-KL, Makalah,
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Handoko lowis, Maulana N Gaharu, 2012, Bells Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di
Pelayanan
Primer,
Artikel
Pengembangan
Pendidikan
Keprofesian
Berkelanjutan,
18