Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI (IKFR)


BELLS PALSY

PEMBIMBING:
dr. Lena Wijayaningrum, Sp.KFR

DISUSUN OLEH:
Putrantos Madedi Budiawan
2009.04.0.0100

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
2014
1

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
kasih karunia-Nya sehingga pembuatan tugas referat rehabilitasi medik yang berjudul Bells
Palsy dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Terima kasih juga saya ucapkan kepada dr. Lena Wijayaningrum, Sp.KFR selaku
pembimbing tugas rehabilitasi medik yang telah meluangkan waktu dalam pemberian arahan
guna meningkatkan pemahaman, penerapan klinis dan penatalaksanaan yang komprehensif
terhadap kasus Bells Palsy.
Penulis menyadari bahwa tulisan yang tersusun ini masih banyak kekurangan di
dalam penulisan, baik teori maupun penyusunan tugas ini. Oleh karena itu, penulis
membutuhkan kritik dan saran sehingga tugas referat rehabilitasi ini bisa bermanfaat bagi
semua pihak.

Surabaya, September 2014

penulis

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.......................................................................................................

DAFTAR ISI......................................................................................................................

ii

BAB I

: PENDAHULUAN...................................................................................

BAB II

: TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................

2.1. Anatomi nervus fasialis.....................................................................

2.2. Fisiologi kerusakan saraf................................................................... 5


2.3. Definisi Bells Palsy..........................................................................

2.4. Etiologi Bells Palsy..........................................................................

2.5. Patofisiologi Bells Palsy................................................................... 7


2.6. Manifestasi klinis..............................................................................

2.7. Diagnosis Bells Palsy.......................................................................

1. Anamnesa...................................................................................

2. Pemeriksaan fisik........................................................................ 8
3. Pemeriksaan penunjang.............................................................. 10
2.8. Komplikasi Bells Palsy....................................................................

11

2.9. Penatalaksanaan Bells Palsy............................................................

11

1. Medikamentosa........................................................................... 11
2. Non Medikamentosa................................................................... 12
a. Rehabilitasi Medik.......................................................... 12
b. Perawatan Mata............................................................... 14
c. Pembedahan..................................................................... 14
2.10. Prognosis Bells Palsy....................................................................... 14
Bab III

: KESIMPULAN......................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................

16

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Bells palsy merupakan kelemahan ataupun kelumpuhan saraf fasialis perifer, bersifat
akut, dan penyebabnya belum diketahui secara pasti (idiopatik). Bells palsy ini pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1812 oleh Sir Charles Bell, seorang peneliti scotlandia, yang
mempelajari mengenai persarafan otot-otot wajah (dr. Robby Tjandra Kartadinata SpKFR,
2011).
Insiden sindrom bells palsy ini berkisar 23 kasus per 100.000 orang setiap tahunnya.
Berdasarkan manifestasi klinisnya, terkadang masyarakat awam mengganggap sindrom bells
palsy sebagai serangan stroke atau yang berhubungan dengan tumor sehingga perlu diketahui
penerapan klinis sindrom bells palsy tanpa melupakan diagnosa banding yang kemungkinan
diperoleh dari klinis yang sama (Handoko lowis dan Maulana N Gaharu, 2012)
Masalah kecacatan yang ditimbulkan oleh Bells palsy cukup kompleks, yaitu
meliputi impairment (kelainan di tingkat organ) berupa ketidak-simetrisnya wajah, kaku dan
bahkan bisa berakibatnya terjadi kontraktur; disability / ketidakmampuan (di tingkat individu)
berupa keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari berupa gangguan makan dan minum,
gangguan menutup mata, serta gangguan berbicara dan ekspresi wajah; handicap (di tingkat
lingkungan) berupa keterkaitan dalam profesi terutama di bidang entertainment; dan masalah
selanjutnya dari segi psikologis penderita.

1.2.

Manfaat
Manfaat penulisan referat ini guna mempelajari sindrom bells palsy secara secara

mendalam meliputi, pengenalan sindrom bells palsy dari klinis serta penatalaksanaanya yang
berhubungan dengan ilmu kedokteran rehabilitasi medik.

1.3.

Tujuan
Tujuan tugas ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik sub departemen

rehabilitasi medik di RSAL Dr. Ramelan, Surabaya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Anatomi nervus fasialis


Nervus fasialis (N. VII) mempunyai komponen sensorik kecil (wrisberg) yang

menerima sensasi rasa 2/3 anterior lidah, komponen motorik yang mempersarafi semua otot
ekspresi wajah pada salah satu sisi, serta komponen motorik yang berhubungan dengan
persarafan glandula lakrimalis (Handoko lowis dan Maulana N Gaharu, 2012).
Nervus fasialis mempunyai tiga buah inti yaitu nukleus fasialis untuk saraf
somatomotoris, nukleus salivatorius superior untuk saraf viseromotoris, dan nukleus
solitarius untuk saraf viserosensoris. Alur nervus fasialis berdasarkan nukleusnya :
1. nukleus pertama, Nervus fasialis yang memberi cabang motorik keluar dari foramen
stylomastoideus akan memberi cabang yakni nervus aurikularis posterior dan kemudian
menuju ke otot stylomastoideus sebelum masuk ke glandula parotis. Di dalam glandula
parotis, nervus ini akan bercabang menjadi lima, yaitu ramus temporal, ramus
zigomatikus, ramus bukal, ramus marginalis mandibularis, dan ramus servikal. Cabang
nervus fasialis dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Percabangan nervus fasialis


(Noviolita Dwi Kusumawati, 2009).

Otot-otot wajah yang dipersarafi oleh nervus fasialis dapat dilihat juga pada tabel di
bawah ini:
No
1
2
3

Nama Otot
M. Frontalis
M. Corrugator Supercili
M. Procerus

Fungsi
Mengangkat alis
Mendengkatkan kedua pangkal alis

Persarafan
Ramus temporalis
Ramus zygomatikus

Mengerutkan kulit antara kedua alis

dan ramus temporalis


Ramus zygomatikus,
ramus temporalis,

M. Orbicularis Oculli

Menutup kelopak mata

dan ramus bukal


Ramus temporalis,

5
6
7

M. Nasalis
M. Depresor anguli oris
M. zygomatikum mayor

Mengembangkan cuping hidung


Menarik ujung mulut ke bawah
Tersenyum

ramus zygomatikus
n. fasialis
n. fasialis
n. fasialis

dan M. Zygomatikum
8

minor
M. orbicularis oris

Bersiul

n. fasialis ramus

M. buccinator

Meniup sambil menutup mulut

zygomatikus
Ramus zygomatikus,
ramus mandibular,

10 M. Mentalis
Mengangkat dagu
11 M. Platysma
Meregangkan kulit leher
(Muhammad Ibrahim Pribadi, 2012)

ramus bukal
Ramus bukal
n. fasialis

2. Jaras parasimpatis yang intinya di nukleus salivatorius superior setelah mengikuti jaras N.
VII, jaras ini akan berjalan melalui gangglion pterigopalatina dan melalui korda timpani.
Nervus yang keluar dari ganglion pterigopalatina akan menginervasi glandula lakrimal,
nasal, dan palatal, sedangkan yang keluar dari korda timpani akan berjalan melalui nervus
lingualis berganti neuron mempersarafi glandula sublingual dan glandula submandibular.
3. nukleus solitarius dimana sebagai jaras spesial afferen (taste/perasa) akan berjalan melalui
nervus intermedius (antara N.VII dan N.VIII) masuk ke gangglion genikulatum menuju
korda timpani. Korda timpani melalui nervus lingualis akan menginervasi 2/3 anterior
lidah.
(Novialita Dwi Kusumawati, 2009).
Gambar 2. Skema dari saraf kranialis ketujuh (fasialis)

Cabang motorik ditandai dengan garis warna biru, cabang parasimpatis ditandai dengan garis
warna jingga, dan cabang afferen viseral spesial (pengecapan) ditandai dengan garis putusputus dan titik.
(Handoko lowis dan Maulana N Gaharu, 2012).
Dalam penjalaran nervus fasialis, nervus ini mendapat vaskularisasi dari 3 arteri,
yakni:
1. A. Cerebelli anterior yang bercabang menjadi a. Auditori interna. A. Auditori interna ini
yang memvaskularisasi nervus fasialis di dalam kanalis auditori interna sampai ke ganglion
genikulatum.
2. Cabang petrosal dari a. Meningea media yang memasuki kanalis falopi pada ganglion
genikulatum. Cabang ini akan bercabang lagi menjadi asendens dan desendens dimana yang
asenden akan memvaskularisasi proximal ganglion genikulatum, sedangkan yang desendens
akan berjalan ke distal bersama saraf ke foramen stylomastoideus.
3. Cabang stylomastoideus dari a. Aurikularis posterior yang memasuki kanalis fasialis akan
bercabang menjadi asendens dan desendens. Cabang asendens memvaskularisasi sampai
batas ganglion genikulatum, sedangkan yang desendens akan memvaskularisasi ke foramen
stylomastoideus (Noviolita Dwi Kusumawati, 2009).

2.2.

Fisiologi kerusakan saraf


Menurut

Sunderland,

kerusakan

saraf

diklasifikasikan

berdasarkan

derajat

kerusakannya. Ada 5 derajat kerusakan dimana kerumitan semakin meningkat dan


kemungkinan penyembuhan tanpa komplikasi semakin menurun. Derajat 1-3 biasa akibat
proses inflamasi dan virus, sedangkan derajat 4-5 berkaitan dengan trauma, tindakan operasi,
maupun keganasan.
1. Cedera tingkat pertama = neuropraksia
Hambatan parsial transmisi pada aksoplasma, tidak ada perubahan morfologi, dapat
sembuh sempurna.
2. Cedera tingkat dua = aksonomesis
Hilangnya akson tetapi tanpa kerusakan selubung neurilema / selubung enduroneuron,
selama penyembuhan akson dapat tumbuh kembali dan hasilnya biasa baik.
3. Cedera tingkat tiga = neurotmesis
Gangguan yang disertai kerusakan batang saraf / endoneurium, selama proses
penyembuhan akson bisa tumbuh kembali.
4. Cedera tingkat empat = transeksi parsial
Kerusakan perineum berasal dari atas, timbul regenerasi serabut saraf.
5. Cedera tingkat lima = transeksi saraf komplit
Kerusakan perineum berasal dari atas yang parah.

Gambar 3. Gambaran cedera saraf dan kemungkinan penyembuhannya


(Firman Nurdiansyah dan Adlin Adnan, 2010)

2.3.

Definisi Bells Palsy

Bells palsy adalah kelemahan atau kelumpuhan saraf fasialis perifer yang
penyebabnya idiopatik, terjadi secara akut dan biasanya dapat sembuh sendiri (Noviolita Dwi
Kusumawati, 2009).

2.4.

Etiologi Bells Palsy


Penyebab dari Bells palsy masih kontroversi dan bersifat idiopatik, tetapi ada

beberapa teori yang dihubungkan dengan bells palsy, yaitu:


1. Teori iskemik vaskuler
Adanya gangguan regulasi sirkulasi darah ke kanalis fasialis akibat vasokontriksi arteriole
yang memvaskularisasi nervus fasialis sehingga terjadi iskemik, disertai vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan transudasi. Cairan transudat ini akan
menekan dinding kapiler dalam kanalis fasialis sehingga memperberat terjadinya iskemik
dan bahkan terjadi nekrosis.
2. Teori infeksi virus
virus yang paling berpengaruh adalah HSV (Herpes Simplex Virus), yang terjadi karena
proses reaktivasi dari HSV (khususnya tipe 1). Virus lainnya adalah EBV, HZV, Rubella.
Virus dalam jangka waktu lama berada di dalam ganglion sensoris dan menghancurkan
sel-sel ganglion serta menyebar ke cairan endoneurial sel-sel schwann rusak terjadi
inflamasi (pembengkakan) kompresi saraf pada kanal falopi infark / demielinisasi
kelemahan / kelumpuhan saraf fasialis (bells palsy).
3. Teori herediter
Kanalis fasialis yang sempit karena faktor keturunan akan cenderung mudah terjadi
kompresi dengan sedikit edema saraf.
4. Teori imunologi
Bells palsy dapat terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang timbul
sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.
5. Pengaruh udara dingin
Udara dingin menyebabkan endotel pembuluh darah leher / telinga rusak, sehingga terjadi
proses transdusi (proses perubahan ke bentuk lain) dan mengakibatkan foramen
stilomastoid bengkak. Nervus fasialis yang melewati daerah tersebut terjepit sehingga
rangsangan yang dihantarkan terhambat dan akhirnya menyebabkan otot-otot wajah
mengalami kelemahan atau kelumpuhan (Noviolita Dwi Kusumawati, 2009; Firman
Nurdiansyah dan Adlin Adnan, 2010; Muzalifah dkk., 2014).

2.5.Patofisiologi Bells Palsy


Semua penyebab dari bells palsy pada akhirnya akan terjadi kompresi nervus fasialis.
Gangguan atau kerusakan pertama adalah oedema dari endotel kapiler dan terjadinya
9

peningkatan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan terjadinya kebocoran kapiler.


Kebocoran kapiler ini akan membuat edema dari jaringan sekitarnya dan menekan pembuluh
kapiler sehingga terjadi hipoksia dan asidosis dan bahkan kematian sel. Akibat kematian sel,
enzim proteolitik akan dikeluarkan bersama pembentukan peptida toksik dan kalikrein
sebagai penghancur nukleus dan lisosom. Keadaan yang berlangsung lama ini akan
menyebabkan kerusakan jaringan yang permanen (Muzalifah dkk., 2014).

2.6.

Manifestasi klinis

Manifestasi klinis berdasarkan topografi letak lesi:


a. Lesi di luar foramen stilomastoideus
Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan terkumpul antara pipi dan gusi,
dan sensasi dalam di wajah menghilang. Lipatan kulit menghilang. Apabila mata yang
terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus-menerus
b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan chorda timpani)
Gejala klinik seperti pada (a) ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah
(2/3 anterior lidah) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya
pengecapan menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di
daerah antara pons dan titik dimana chorda timpani bergabung dengan nervus fasialis di
kanalis fasialis
c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
Gejala klinis seperti pada (a) dan (b), ditambah dengan adanya hiperakusis
d. Lesi di tempat yang melibatkan gangglion genikulatum
Gejala klinis seperti pada (a), (b), dan (c) disertai nyeri di belakang dan di dalam liang
telinga. Kasus ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka. Sindrom
Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di
ganglion genikulatum.
e. Lesi di meatus akustikus internus
Gejala klinis seperti diatas ditambah dengan Dull sebagai akibat terlibatnya nervus
akustikus
f. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons
Gejala klinis seperti diatas disertai gejala dan tanda terlibatnya nervus trigeminus, nervus
akustikus, dan kadang-kadang nervus abdusens, nervus aksesorius, dan nervus
hipoglosus
(Subdivisi Neurologi, 2011)

2.7.Diagnosis Bells Palsy


10

Umumnya diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis adanya parese n. VII dan
diikuti beberapa pemeriksaan penunjang lain.

1. Anamnesa
- Kelemahan / kelumpuhan otot wajah pada satu sisi secara tiba-tiba, biasanya < 2 hari
- Rasa nyeri pada telinga (otalgia), hiperakusis, nyeri pada wajah dan daerah
-

retroaurikular
Gangguan atau kehilangan pengecapan
Mulut / mata kering karena tidak dapat menutup pada sisi yang lumpuh
Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, dan bola mata berputar ke atas bila

memejamkan mata (fenomena bell sign)


Kesulitan bicara, air menetes ketika minum atau setelah menggosok gigi
Riwayat pekerjaan dan aktivitas yang berhubungan dengan paparan suhu dingin
Riwayat penyakit dahulu seperti infeksi saluran nafas, otitits, herpes, dan lain-lain.

(dr. Robby Tjandra Kartadinata SpKFR, 2011; Muzalifah dkk., 2014).

2. Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan neurologis ditemukan parese N. VII perifer
-

inspeksi dan palpasi didaerah leher dan kelenjar parotis, untuk menyingkirkan
kemungkinan penekanan massa seperti tumor parotis yang menyebabkan terjadinya

fasialis parese.
penilaian menurut Skala Ugo Fisch untuk menilai simetris atau asimetris antara sisi
sehat dan sisi sakit.Gerakan yang diperiksa :

Posisi

Nilai

Persentase (%)

Skor

0,30,70,100
Istirahat
Mengerutkan dahi
Menutup mata
Tersenyum
Bersiul/ meniup
Total

20
10
30
30
10

Penilaian persentase berdasarkan :


0%

: asimetris, tidak ada gerakan volunter

30 %

: simetris, poor / jelek, kesembuhan yang ada lebh dekat ke asimetris komplit
daripada simetris normal
11

70 %

: simetris, cukup, kesembuhan parsial yang cenderung ke arah normal

100 %

: simetris, normal

Selanjutnya besar persentasi masing-masing posisi wajah diubah menjadi nominal


(angka) sebagai berikut yaitu istirahat 20 poin, mengerutkan dahi 10 poin, menutup mata
30 poin, tersenyum 30 poin, dan bersiul/meniup 10 poin. Dari nilai tersebut dikalikan
dengan persentase dan di hitung masing-masing skor. Total skor kemudian di sesuaikan
dengan range nilai yang ada pada modifikasi Fisch.
Klasifikasi kelumpuhan menurut modifikasi Fisch
Skor Fisch
100
70-99
30-69
<30
-

Klasifikasi
Normal
Baik
Sedang
Buruk

FMC (Fascial Muscle Chart)


o Tujuan : menilai kekuatan otot fasialis yang paralisis
o skala yang digunakan : skala Daniel dan Worthinghoms manual muscle
testing
o penilaiannya :
nilai 0 (zero)
nilai 1 (trace)
nilai 2 (poor)
nilai 3 (fair)
nilai 4 (good)
nilai 5 (normal)

: tidak ada kontraksi yang nampak


: kontraksi minimal
: kontraksi sampai dengan sisi normal maksimal
: kontraksi penuh, terkontrol simetris

(dr. Robby Tjandra Kartadinata SpKFR, 2011; Muhammad Ibrahim Pribadi, 2012 )
3. Pemeriksaan penunjang
1. Rontgen untuk menyingkirkan diagnosa banding
2. CT Scan, MRI untuk menyingkirkan diagnosa banding
3. Uji kepekaan saraf (nerve excitability test) yaitu dengan mendeteksi besar potensial
listrik yang menyebabkan saraf wajah berkontraksi. Pemeriksaan ini menggunakan
elektroda dari alat stimulator diletakkan antara mastoid dan mandibula. Bandingkan
sisi yang normal dengan sisi yang mengalami kelemahan / kelumpuhan. Jika
perbedaan sebesar 3,5 mA maka menunjukkan adanya kerusakan saraf yang berat.
membandingkan kontraksi otot wajah kiri dan kanan setelah diberi rangsangan listrik.

12

4. EMG (elektromiografi) tipe

(nerve conduction test) adalah pemeriksaan untuk

menunjukkan derajat denervasi dengan mengukur kecepatan hantaran listrik n.fasialis


5. Uji fungsi pengecapan 2/3 anterior lidah. Pemeriksaan ini untuk mengetahui letak lesi
n.fasialis setinggi korda timpanti atau proksimalnya
6. Uji schirmer adalah pemeriksaan dengan menggunakan kertas filter khusus yang
diletakkan di belakang kelopak mata bagian bawah kiri dan kanan. Berkurang atau
mengeringnya air mata menunjukkan lesi n.fasialis setinggi ganglion genikulatum.
7. Balance test (uji keseimbangan) digunakan untuk mengevaluasi nervus
keseimbangan
8. Hearing test (uji pendengaran) dipakai jika penyebabnya diperkirakan mengenai saraf
pendengaran, telinga bagian dalam, respon suara dan mekanisme pendengaran
(Noviolita Dwi Kusumawati, 2009).

2.8.

Komplikasi Bells Palsy


-

Kontraktur otot wajah (tampak jelas saat wajah dalam keadaan kontraksi dibanding
istirahat) : sudut nasolabial yang terlihat lebih dangkal dan alis mata lebih rendah

dibanding yang sehat. Timbul 1-2 tahun setelah terjadi bells palsy
Crocodiles tears yaitu keluarnya air mata involunter pada sisi yang sakit saat

mengunyah makanan. Timbul beberapa bulan setelah terjadi bells palsy.


Iritasi dan ulserasi kornea pada sisi yang sakit
Sinkinesis yaitu gerakan asosiasi karena regenerasi serabut saraf mencapai otot yang

salah
Klonik facial spasm (hemifacial spasm) yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock
like) pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal,
kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan)

(Handoko lowis dan Maulana N Gaharu, 2012).

2.9.

Penatalaksanaan
1. Terapi medikamentosa :
o Kortikosteroid (prednison / prednisolon)
Tujuan : mengurangi oedeme dan sebagai anti inflamasi
Dimulai dalam 72 jam dari onset (golden period)
Dosis pemberian prednison untuk anak adalah 2 mg/kg/hari selama 710 hari, sedangkan untuk dewasa 60 mg/hari selama 5 hari,
dilanjutkan dengan 40 mg/hari selama 5 hari tappering off.
13

Efek samping jika digunakan > 2 minggu : retensi cairan , hipertensi,


diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh

(rentan terhadap infeksi), dan cushing syndrome.


o Antiviral (asiklovir/valasiklovir)
Terapi kombinasi dengan kortikosteroid dapat menurunkan resiko

yang signifikan untuk menghambat replikasi virus.


Dosis pemberian asiklovir untuk usia > 2 tahun adalah 80 mg/kg/hari
po dibagi 4x pemberian (dosis maksimal 3200 mg/hari) selama 10
hari, sedangkan untuk dewasa diberikan dosis 2000-4000 mg/hari po

dibagi dalam 5x pemberian selama 7-10 hari


Dosis valasiklovir (kadar dalam darah 3-5x lebih tinggi) untuk anak >
12 tahun dan dewasa diberikan 1000-3000 mg/hari po dibagi 2-3x

selama lima hari.


Efek samping : mual, diare, sakit kepala, peningkatan enzim hati,

anemia aplastik (jarang)


o Neurotonik (mecobalamin) yang bertujuan untuk membantu proses perbaikan
saraf yang rusak dengan meningkatkan sintesa asam nukleat dan protein di
dalam saraf yang dapat digunakan untuk mielinisasi dan stimulasi regenarasi
saraf.
(Firman Nurdiansyah dan Adlin Adnan, 2010; Handoko lowis dan Maulana N
Gaharu, 2012).
2. Terapi non medikamentosa
a. Rehabilitasi medik
Tujuan : mengurangi paresis / mencegah paresis makin bertambah,
membantu mengatasi problem sosial / psikologis sehingga penderita

dapat melaksanakan kegiatan sehari-hari


Program yang diberikan meliputi fisioterapi, occupational therapy
(OT), sosial medik, orthetik prothesa (OP), psikologi dan dapat pula
diberi speech therapy (terapi wicara)
Fisioterapi
o Terapi panas diberikan pada fase akut (hari ke-3).
Terapi ini bertujuan untuk mengurangi oedeme, spasme
otot, serta memperbaiki aliran darah.
Contoh terapi panas : IR, SWD, kompres air hangat.
Untuk kompres air hangat (40-45C) diberikan di
daerah muka dan di belakang telinga selama 30 menit,
sedangkan dengan penyinaran diberikan di wajah,
14

belakang telinga sisi yang lumpuh, dan mata tertutup.


Jarak penyinaran 25-26 inci dari tubuh. SWD diberikan
selama

20

menit

dan

diarahkan

ke

foramen

stilomastoideus.
o Massase. Tujuannya supaya mengurangi oedema,
merelaksasi otot, serta mempertahankan tonus otot.
Massase ini dilakukan pada otot wajah selama 5-10
menit diberikan 2x/hari. Tekniknya sebagai berikut:

Gambar 4. Teknik masase menurut Kabat


o Elektrikal stimulation (ES). Tujuannya adalah
mencegah / memperlambat terjadinya atropi otot wajah
sambil menunggu proses regenerasi serta memperkuat
otot yang masih lemah setelah proses regenerasi saraf
selesai. ES ini diberikan 2 minggu setelah onset atau
pada minggu ke-2, satu elektroda diletakkan di
belakang

telinga

sisi

yang

lumpuh,

sedangkan

elektroda yang lain diletakkan berpindah-pindah pada


otot wajah. Rangsangan yang diberikan - 2 mA
hingga 20-50 kontraksi pada masing-masing otot.
Teknik lain dapat diberikan EMG bio, teknik ini efektif

untuk bells palsy kronis


Occupational therapy
o Latihan aktivitas sehari-hari seperti berkumur, meniup
lilin, mengucapkan huruf e dan i di depan kaca, dan

latihan mengerutkan dahi


Orthesa

15

o Plester Y yang bertujuan agar sudut mulut yang sakit


tidak

jatuh

dan

mencegah

meregangnya

otot

zygomatikus, plester ini diganti tiap 8 jam


Terapi psikologis
o Memberi informasi tentang penyakit dan prognosa,
serta pematuhan program pengobatan
Speech therapy

b. Perawatan mata
Tujuan : melindungi kornea dari kekeringan dan abrasi akibat

gangguan penutupan kelopak mata dan masalah air mata


Pemberian air buatan / obat tetes mata yang digunakan tiap jam pada

siang hari dan salep mata tiap malam hari


Tapping pada kelopak mata selama tidur
Menggunakan kamar yang lembab, penutup kelopak mata
Hindari pemakaian lensa kontak, kipas angin, pajanan debu dan
mencegah tiupan angin selama di luar ruangan

c. Pembedahan
Tujuan : untuk membebaskan tekanan (dekompresi) saraf fasialis
(Noviolita Dwi Kusumawati, 2009).

2.10. Prognosis
Prognosa bergantung pada waktu mulainya terjadi perbaikan, apabila perbaikan cepat,
maka prognosis lebih baik. Hal-hal yang mempengaruhi seperti ibu hamil yang mengalami
bells palsy, gejala klinis mata kering, hiperakusis, gejala penyerta seperti DM dan Hipertensi
dapat memperburuk prognosa (dr. Robby Tjandra Kartadinata SpKFR, 2011).

16

BAB III
KESIMPULAN
Bells palsy adalah kelemahan atau kelumpuhan saraf fasialis yang penyebabnya
idiopatik, terjadi secara akut dan biasanya dapat sembuh sendiri. Penyebab dari Bells palsy
masih kontroversi dan bersifat idiopatik, tetapi ada beberapa teori yang dihubungkan dengan
bells palsy, yaitu: Teori iskemik vaskuler, Teori infeksi virus, Teori herediter, Teori
imunologi, dan Pengaruh udara dingin. Dalam penanganan / penatalaksanaan bells palsy
dibagi dua secara garis besar yaitu medikamentosa dan non medikamentosa. Medikamentosa
bells palsy berupa kortikosteroid, antiviral, dan neurotonik, sedangkan yang non
medikamentosa meliputi perawatan mata, pembedahan, dan rehabilitasi medik. Prognosis dari
bells palsy bergantung pada waktu terjadinya perbaikan, dimana semakin cepat perbaikan
maka semakin baik prognosanya. Hal-hal yang mempengaruhi seperti ibu hamil yang
mengalami bells palsy, gejala klinis mata kering, hiperakusis, gejala penyerta seperti DM
dan Hipertensi dapat memperburuk prognosa

17

DAFTAR PUSTAKA
dr. Robby Tjandra Kartadinata SpKFR, 2011, Rehabilitasi Medik Bells Palsy, Siaran RRI,
Instalasi Rehabilitasi Medik RSUP Dr. Kariadi Semarang
Firman Nurdiansah, Adlin Adnan, 2010, Bells Palsy, Departemen THT-KL, Makalah,
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Handoko lowis, Maulana N Gaharu, 2012, Bells Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di
Pelayanan

Primer,

Artikel

Pengembangan

Pendidikan

Keprofesian

Berkelanjutan,

Departemen Saraf Rumah Sakit Jakarta Medical Center


Muzalifah dkk., 2014, Bells Palsy, Referat, Fakultas Kedokteran UNLAM/RSUD ULIN
Muhammad Ibrahim Pribadi, 2012, Rehabilitasi Medis dengan Bells Palsy, Presentasi kasus,
Fakultas Kedokteran UNS/RSUD Dr. Moewardi
Noviolita Dwi Kusumawati, 2009,

Rehabilitasi Medik Bells Palsy, Referat, Fakultas

Kedokteran Universitas Diponegoro RSUP Dr. Kariadi Semarang


Subdivisi Neurologi, 2011, Laboratorium Ilmu kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin, Rumah Sakit Ujung Pandang, Ujung Pandang

18

Anda mungkin juga menyukai