Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

PARESIS NERVUS KRANIAL VII

Disusun oleh :
Daniel Kusnadi (01073170157)
Bill Vitalis (00000002400)

Pembimbing :
dr. Eko Teguh Prianto, SpTHT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN TELINGA, HIDUNG,


TENGGOROK, KEPALA DAN LEHER
SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE MARET 2018 – APRIL 2018
TANGERANG
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan
banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin


masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.

Jakarta, April 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................... 2
DAFTAR ISI .......................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN.................................................................................................................. 4
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................ 5
2.1 Anatomi3 ........................................................................................................................ 5
2.2 Pendekatan Klinis Paresis Nervus VII2,1 ...............................................................11
2.3 Paresis Nervus VII Perifer .......................................................................................15
2.4 Komplikasi dari Paralisis Fasial3 ............................................................................21
2.5 Operasi Nervus Fasialis3 ...........................................................................................21
KESIMPULAN .................................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 24

3
BAB I

PENDAHULUAN

Nervus kranial VII sangat penting fungsinya untuk komunikasi dan ekspresi.
Gangguan dari nervus VII dapat mengganggu kualitas hidup seseorang.1
Walaupun penyebab paresis nervus VII paling banyak diakibatkan oleh Bell’s palsy,
akan tetapi pertimbangan pertama dalam gangguan saraf VII adalah menyingkirkan
kemungkinan stroke dan penyebab serius lainnya dan bell’s palsy di buat sebagai
diagnosis hasil eksklusi dari semua kemungkinan.2 Menginat 40 % penyebab lain dari
paresis nervus VII adalah penyebab selain Bell’s palsy.1
Oleh karena itu, pengetahuan yang baik akan anatomi dari nervus VII yang
kompleks dan patofisiologi dari paresis nervus VII dapat membantu kita sebagai
klinisi untuk melakukan tatalaksana paresis nervus VII dengan tepat.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi3

Saraf fascialis berjalan dari pons ke kelenjar parotis. Saraf ini merupakan
campuran dari serat motoric dan serat sensorik. Terdapat beberapa traktus pada fascial
nerve, yaitu :

1. Special visceral efferent merupakan serat saraf derivatif dari second branchial
arch, cth, seluruh otot untuk ekspresi fascial, otot-tot aurikuler, stylohyoid,
posterior belly of digastric muscle, dan musculus stapedius.
2. General visceral efferent menginervasi system secretomotor ke lakrimal,
submandibular, sublingual, kelenjar sekretori dari mukosa nasal dan palatum.
3. Special visceral afferent membawa stimulus pengecap dari bagian 2/3 anterior
lidah melalui korda timpani dan palatum durum dan palatum mole melalui
saraf petrosal superfisialis mayor. Sensasi pengecap dikirim ke nucleus traktus
solitarius.
4. General somatic afferent merupakan serat somatosensorik dari konka, bagian
posterosuperior dari kanalis auditorius eksternus, dan membrane timpani.
Serat ini berkontribusi dalam erupsi dari herpes zoster infection dari ganglion
genikulata. Serat ini juga membawa sensasi propriosepsi dari otot-otot wajah.

2.1.1 Nucleus dari Nervus Fasialis3


Nucleus motoric dari nervus fasialis berada didalam pons. Nucleus ini
menerima serabut saraf dari girus presentral. Bagian atas dari nucleus yang
menginervasi otot dahi menerima serat saraf dari kedua hemisphere,
sedangkan bagian bawah dari nucleus menerima persarafan dari hemisphere
kontralateral. Hal ini mengakibatkan hilangnya fungsi otot dahi dan wajah
bagian bawah pada lesi LMN dan fungsi dahi yang terjaga pada lesi UMN.
Fungsi ekspresi pada wajah juga masih terjaga pada lesi supranuclear karena
nucleus dari nervus fasialis menerima serabut saraf dari thalamus.

5
2.1.2 Traktus dari Nervus Fasialis4,5
Serat sarat bersumber dari nucleus fascialis. Nervus fasialis meninggalkan
batang otak pada pontomedullary junction, berjalan melalui kanal posterior
kranial dan memasuki meatus akustikus interna. Saraf ini berjalan secara
anterolateral pada kanalis fasialis. Pada kanal ini, serat saraf SVE terpisah dari
GVE, SVA, dan GSA, dimana ketiga saraf ini disebut saraf intermedius. Serat
saraf fasialis kemudian membentuk ganglion genikulata pada bagian petrosal
tulang temporal. Dari ganglion ini, nervus fasialis menekuk secara posterior.
Dari ganglion ini, nervus fasialis mulai terbagi.
Pertama, GSA memeberikan persarafan pada bagian inferior dari
aurikula.
Kedua, setengah dari serat GVE membentuk saraf nervus petrosal
mayor. Saraf ini berjalan keluar dari tulang temporal melalui foramen petrosal
mayor, saraf ini lalu turun melalui foramen laserum dan bersatu dengan deep
petrosal nerve yang membawa serabut saraf parasimpatis postganglion. Saraf
ini kemudian berjalan melalui kanal vidian pada basis dari medial dari
pterygoid plate hingga mencapai fossa pterigopalatina. Pada fossa ini
terbentuk ganglion pterigopalatina. Pada fossa pterigopalatina, serabut saraf
preganglion membentuk sinaps dengan postganglion untuk mempersarafi
kelenjar lakrimal dan kelenjal submucosal pada kavitas nasii dan kavitas oral.
Ketiga, setengah dari GVE dan SVA membentuk korda timpani. Korda
timpani keluar dari tengkorak melalui fisura petrotimpanik dan masuk ke fossa
temporalis. Pada fossa ini korda timpani bersatu dengan cabang lingual dari
CN V. saraf ini lalu berjalan menyusuri mandibula. Serat GVE berpisah untuk
membentuk ganglion submandibular pada mandibula. Serat ini kemudian
memberikan inervasi pada kelenjar sublingual dan submandibular. Serat SVE
dari korda timpani tetap berjalan bersama dengan nervus lingual hingga
mencapai lidah dan memberikan persarafan sensorik pada 2/3 anterior lidah.
Keempat, komponen besar SVE memberikan persarafan pada
muskulus stapedius pada tulang temporal. Lalu, saraf ini keluar melalui
foramen stylomastoideus kemudian dari sini, SVE memberikan persarafan
pada muskulus stylohyoid dan posterior digastric. Lalu saraf ini juga melewati
kelenjar parotis dan mempersyarafi otot-otot pada wajah.

6
2.1.3 Pembagian Sistematis Saraf Fasialis3
Perjalanan saraf fasialis dapat dibagi 3 bagian. Yaitu, bagian intracranial,
bagian intratemporal, dan bagian ekstrakranial.
• Bagian intrakranial : merupakan perjalanan saraf fasialis dari pons
hingga meatus akustikus interna
• Bagian intratemporal : merupakan perjalanan saraf fasialis dari
meatus akustikus interna hingga foramen stilomastoideus. Tahap ini
dibagi dalam beberapa tahap lagi.
o Segmen meatal, saat saraf berjalan ke meatus akustikus.
o Segmen labyrinth, merupakan perjalanan saraf fasialis dari
meatus hingga ganglion genikulata. Pada bagian ini diameter
serabut saraf hanya 0,61-0,68 mm dan bagian kanal fasialis ini
memiliki diameter yang sempit, sehingga inflamasi dan edema
dapat menekan saraf dan mengakibatkan paralisis.
o Segmen horizontal atau segmen timpanik merupakan
perjalanan saraf fasialis dari ganglion genikulata hingga bagian
atas eminensia piramidalis. Bagian ini berada pada bagian atas
jendela oval dan kanalis semisirkularis lateral.
o Segmen mastoid atau vertical merupakan perjalanan saraf dari
pyramid ke foramen stylomastoid. Segmen ini berada diantara
segmen timpanik dan mastoid pada genu kedua nervus ini.
• Bagian ekstratemporal merupakan bagian saraf fasialis dari foramen
stylomastoid hingga terminasi dari cabang perifer. Pada table 1
diberikan penanda anatomis untuk identifikasi bagian distal dari nervus
fasialis.
Cabang perifer bagian ekstratemporal dari nervus facialis dimulai dari
percabangan dari pes anserinus yang menjadi 2 bagian. Upper trunk
dan lower trunk. Upper trunk mempercabangi frontal, zygomatic, dan
buccal. Lower trunk mempercabangi bagian marginal mandibular dan
cabang servikal.
Cabang frontal parallel dengan superficial temporal vessel, dan
berjalan hingga ke bagian central dari zygoma untuk inervasi otot

7
occipitofrontalis, orbicularis oculi, corrugator supercilia, dan anterior
dan superior otot aurikuler.
Cabang zigomatik langsung berjalan menembus periosteum dari arcus
zigomatik untuk inervasi otot zigomatik, orbital dan infraorbital.
Percabangan buccal, berjalan dengan sstensen duct secara anterior
melalui otot masseter, untuk inervasi buccinator, bibir atas, dan nostril
muscle.
Cabang mandibula marginal, berjalan sepanjang batas inferior dari
kelenjar parotis untuk inervasi bibir bawah dan otot dagu. Saraf ini
berada dekat dengan batas inferior dari mandibula dan superfisial
terhadap vena facial posterior dan vena retromandibular pada bidang
fasia servikal profundal dan langsung berada dibawah otot platysma.
Cabang servikal menginervasi otot platysma, dan berada pada fascia
servikal profunda dekat dengan nervus mandibula marjinal.
Seluruh otot wajah di inervasi pada bagian dalam permukaan otot,
kecuali otot mentalis, levator anguli oris, dan buccinator. Terdapat
interkoneksi antara cabang-cabang saraf. Yang paling sering adalah
saraf zygomatic dan buccal. hal ini dapat menjelaskan proses
penyembuhan yang berlangsung lebih cepat pada lesi saraf distal.
Table 16

Ada 7 cabang dari nervus fasialis secara garis besar3, yaitu :

1. Greater superficial petrosal nerve, saraf ini muncul setelah


ganglion genikulata dan membawa serat secretomotor ke kelenjar
lakrimal dan kelenjar mukosa nasal dan oral.
2. Cabang stapedius muncul dari genu kedua dan mempersyarafi
muskulus stapedius.
3. Cabang korda timpani yang muncul dari segmen vertical bagian
media, melewati incus dan collum malleus, dan meninggalkan

8
cavitas timpani melalui fisura petrotimpanik. Saraf ini membawa
serat secretomotor ke submandibular dan sublingual dan
memberikan persarafan sensorik dari bagian lidah 2/3 anterior.
4. Communicating branch. Bersatu pada cabang aurikel dari nervus
vagus dan memberikan persarafan pada konka, retroaurikular,
posterior meatus, dan bagian permukaan luar dari permukaan
membrane timpani.
5. Nervus aurikuler posterior memberikan persarafan pada pinna,
occipital belly of occipitofrontalis, dan saraf ini berkomunikasi
dengan cabang auricular dari vagus.
6. Cabang muscular dari nervus fasialis mempersarafi muskulus
stylohyoid dan disgastrikus posterior
7. Cabang perifer. Saraf fasialis setelah melewati prossesus stiloideus
membentuk 2 divisi, bagian atas dari temporofasial dan bagian
bawah servikofasial, bagian ini bercabang ke divisi-divisi yang
lebih kecil. Antara lain, bagian temporal, zigomatik, bukal,
mandibula, dan servikal. Cabang-cabang ini menginervasi otot
ekspresi wajah.

2.1.4 Perdarahan Saraf Fasialis3


Perdarahan dari saraf fasialis terdapat dari beberapa pembuluh darah
pembuluh darah.
Yang pertama, bagian arteri cerebellar anteroinferior memberikan
perdarahan pada saraf dibagian cerebellopontine angle.
Yang kedua, arteri labyrinth, yang merupakan cabang dari arteri
anteroinferior cerebellar, memberikan perdarahan kepada saraf fasialis yang
melewati kanalis auditorius interna.
Yang ketiga, arteri petrosal superfisialis, yang merupakan cabang dari
middle meningeal artery, memberi perdarahan pada geniculate ganglion dan
daerah sekitar ganglion.
Keempat, arteri stylomastoideus, cabang dari arteri aurikularis,
memberi perdarahan pada saraf segmen timpanik dan mastoid. Seluruh arteri
ini akan membentuk pleksus eksternal yang berada pada peineurium dan

9
memberi makanan yang dibutuhkan saraf pada bagian intraneural dan
membentuk pleksus internal.
2.1.5 Penanda Operasi Nervus Fasialis3
Pada operasi telinga tengah dan tulang mastoid
1. Processus cochleariformis. Membarasi ganglion genikulata yang
ada dibagian anterior dari tempat ini. Segmen timpanik mulai dari
level ini.
2. Oval window dan kanal horizontal. Nervus fasialis berjalan diatas
oval window dan dibawah kanal horizontal.
3. Short process of incus. Nervus fasialis terdapat dibagian medial
dari short process of incus pada level aditus.
4. Pyramid. Nervus fasialis berjalan dibelakang pyramid, dan sulkus
timpanik posterior.
5. Sutura tympanomastoid. Nervus fasialis berjalan pada sutura yang
berada pada segmen mastoid atau vertical.
6. Digastric ridge. Nervus meninggalkan mastoid pada bagian
anterior akhir dari digastik.

Pada operasi parotis terdapat penanda lain.

1. Tanda kartilago. Nervus fasialis berada pada kedalaman 1 cm dan


berada pada bagian anteroinferior dari pointer. Cartilaginous
pointer merupakan bagian segitiga yang tajam dari bagian kartilago
pinna yang mengarah ke nervus.
2. Sutura timpanomastoid. Nervus berada dalam 6-8 mm pada sutura
ini.
3. Processus stiloideus. Nervus fasialis menyebrang secara lateral ke
prossesus stiloideus
4. posterior belly of digastric muscle. Apabila posterior belly of
digasric muscle, di telusuri hingga batas atas sulkus digastrik,
maka nervus fasialis akan ditemukan diantara tempat tersebut dan
styloid process.

10
2.2 Pendekatan Klinis Paresis Nervus VII2,1
Presentasi klinis dari paresis nervus VII biasanya adalah onset yang cepat dari
dari paralysis parsial hingga total dari otot wajah akan tetapi fungsi sensorik dari
wajah masih normal, walaupun beberapa pasien merasa kebas pada wajah. Pada
suatu studi di Finland, 29% dari orang dewasa dan anak-anak dengan paresis
nervus fasialis, memiliki hubungan dengan gejala sistemik seperti demam, sakit
kepala, sakit tenggorokan, dan kekakuan leher. Paresis nervus fasialis biasanya
unilateral, kadang bilateral juga dapat terjadi karena penyakit lyme.
Pada pemeriksaan fisik lesi LMN, pasien akan mengalami kesulitan dalam
membuka mata pada bagian yang mengalami sakit. Lipatan nasolabial biasanya
hilang, mulut dapat teratrik kearah bagian yang sehat. Pasien akan sering
mengeluarkan ludah dari bagian yang sakit. Anak bayi akan tidak dapat menutup
kelopak mata. Apabila pasien masih dapat menggerakan otot wajahnya, maka
pasien menderita lesi sentral dan harus menjalani evaluasi kelainan intracranial.
Gejala lain selain dari otot ekspresi wajah adalah mata yang kering, tidak
dapat mengeluarkan air liur, telinga yang terlalu sensitive, penurunan sensasi rasa
pada lidah sesuai dengan lesi pada saraf VII.
Pada pemeriksaan fisik lesi UMN, akan ditemukan preservasi dari fungsi otot
dahi. Ketika ditemukan hal ini, kita harus mencurigai risiko dari factor risiko
stroke seperti, umur yang tua, hipertensi, riwayat stroke/ TIA, diabetes, kolesterol
tinggi, merokok, dan fibrilasi atrium. Abnormalitas dari nervus kranialis lainnya
dan system nervus perifer lain juga dapat ditemukan pada kelainan UMN.
Ketika lesi UMN dicurigai, kita harus menentukan lesi yang ada terlokalisir
pada batang otak atau kortex cerebri. Kelainan batang otak dapat muncul sebagai
vertigo, ataxia, atau kelainan neurologis yang menyilang. Lesi pada kortex
seringkali mempengaruhi extremitas yang kontralateral.

2.2.1 Lokalisasi dari Lesi Nervus Fasialis


Lokasi dari lesi nervus fasialis bisa diakibatkan oleh lesi sentral maupun
perifer.
Lesi sentral pada paresis nervus fasialis biasa disebabkan karena pendarahan
otak, thrombosis, emboli, tumor, ataupun abses. Hal ini dapat mengakibatkan
paralisis pada setengah bagian bawah wajah pada sisi kontralateral dari lesi.
Preservasi gerakan pada dahi diakibatkan oleh inervasi bilateral ke otot
11
frontalis. Gerakan emosional involunter juga masih terpelihara karena inervasi
dari thalamus.
Pada lesi perifer seluruh otot wajah terlibat pada lesi ipsilateral. Pasien tidak
bisa menutup mata, mencucu, dan mengerutkan dahi. Lesi pada nucleus
diasosiasikan dengan paralisis dari nervus VI. Lesi pada angulus
cerebellopontine diasosiasikan dengan keterlibatan nervus kranialis lain nya
seperti nervus V, IX, X, dan XI. Lesi pada kanal fasial dapat di lokalisasi
dengan tes topodiagnostik. Lesi diluar tulang temporal, pada area parotis,
hanya mempengaruhi fungsi motoric dari nervus fasialis. Manifestasi
neurologis pada tumor parotis bisa tampil dengan kelainan pada beberapa otot
wajah saja, tidak seluruh bagian ipsilateral dengan lesi. Hal ini dikarenakan
keterlibatan cabang saraf fasialis yang dipengaruhi tumor.
2.2.1.1 Tes Topodiagnostik untuk Lesi Intratemporal
Tes topodiagnostik berguna untuk mencari lokasi spesifik dari lesi LMN
1. Schirmer Test. Membandingkan lakrimasi dari 2 bagian. selembar kertas
ditempelkan pada fornix mata dan melihat seberapa banyak kertas tersebut
basah. Penurunan lakrimasi mengindikasikan lesi proximal dengan
ganglion genikulata.
2. Stapedial reflex. Reflex stapedius hilang ketika terjadi lesi pada nervus
stapedius, hal ini dapat diuji dengan timpanometri.
3. Tes pengecap. Dapat dilakukan dengan gula atau garam di letakan pada
lidah, atau dapat juga menggunakan electrogustometry. Kelainan pada
pengecapan mengindikasikan lesi kordat timpani.
4. Tes aliran kelenjar submandibular. Mengukur fungsi dari korda timpani.
Tube polythene dipasang melewati ductus Wharton dan tetesan saliva
dihitung dalam periode 1 menit, penurunan salivasi menunjukan lesi diatas
korda timpani.

12
2.2.2 Diferensial Diagnosis dari Paresis Nervus VII1

Etiologi dari paresis nervus VII dapat disebabkan kelainan sentral


maupun perifer. Lesi perifer dapat melibatkan nervus pada intracranial,
intratemporal, maupun ekstratemporal. Lesi perifer lebih umum dibandingkan
lesi sentral. Dua per tiga dari lesi perifer adalah idiopatik. Akan tetapi kita
harus tetap mengingat bahwa 30-41 % kasus dari paresis nervus 7 memiliki
penyebab yang spesifik dan butuh penanganan yang spesifik dan memiliki
prognosis yang lebih buruk. Pada bagan 1 sudah ditampilkan secara sistematis
klasifikasi besar serta beberapa kemungkinan yang dapat menyebabkan
paresis nervus VII

Bells palsy merupakan diagnosis ekslusi yang harus di buat setelah


menyingkirkan penyebab lainnya. Kebanyakan kasus diasosiasikan dengan
nyeri post aurikuler. Insidensi tidak dipengaruhi oleh etnis atau seks. 10 %
dari pasien bells palsy mengalami diabetes. Pada pasien yang mengalami
paralisis inkomplit memiliki 94 % kemungkinan untuk sembuh total,
sedangkan pada orang yang mengalami paralisis komplit.

Penyebab yang paling sering kedua dari paresis nervus 7 adalah trauma
baik kecelakaan atau surgical. Kecelakaan bisa berupa laserasi wajah, luka
tusuk, atau fraktur tulang temporal. Deteksi dari temporal bone dapat dicurigai
dengan racoon sign (85%), battle’s sign (66%), dan darah pada telinga (46%).

Ramsay hunt syndrome biasa diikuti setelah infeksi dari virus herpes
zoster. Hal ini juga biasa disertai dengan SNHL dan vertigo pada 40 % kasus.
Pasien dengan sindroma ini memiliki prognosis yang lebih buruk dari pada
pasien dengan bell’s palsy, dengan 21% orang yang sembuh total dalam 12
bulan.

Paralysis yang progresi nya lambat kemungkinan nya adalah kanker.


Gejala lain untuk keganasan adalah nyeri dan paralisis dari cabang yang
memiliki lesi tersebut. Acoustic neuroma mengakibatkan 80 % dari lesi
angulus cerebellopontine. Khas dari pasien akustik neuroma adalah terjadi
SNHL pada 95 % dari kasus dan hilang nya reflex kornea pada 60 % kasus.

13
Infeksi bakteri bertanggung jawab pada 1-4% kasus paresis nervus VII.
Salah satu penyebab nya adalah akut otitis media yang diasosiasikan dengan
membrane timpani yang menonjol, gangguan pendengaran konduktif, dan
lateralisasi pinna. Otitis eksterna maligna dicirikan kdengan otalgia, 95 % dari
kasus terjadi pada pasien >65 tahun, immunokompromi, dan diabetes yang
tidak terkontrol. Kondisi ini juga diasosiasikan dengan infeksi pseudomonas
aeruginosa. Lyme disease, merupakan infeksi bakteri yang mengakibatkan
paresis nervus 7 pada 10 % dari orang yang seropositive.

Bagan 11

14
2.3 Paresis Nervus VII Perifer
Penyebab paling sering dari paralisis nervus VII perifer adalah penyebab
idiopatik, dimana didalam nya paling banyak adalah bell’s palsy yang merupakan
diagnosis eksklusi dan yang kedua adalah sindrom melkersson.
2.3.1 Bell’s palsy
Bell’s palsy merupakan salah satu kelainan idiopatik pada nervus VII perifer
yang pertama dideskripsikan oleh Sir Charles Bell pada tahun 1800.7 Definisi
dari bell’s palsy adalah paresis dari nervus VII perifer yang akut dengan
penyebab yang tidak diketahui.
EPIDEMIOLOGI
Paresis tipe ini mempresentasikan setengah dari kasus paresis nervus VII. 8
insidensi bell’s palsy pertahun adalah 13-34 kasus per 100,000 populasi.9 tidak
ada predileksi dari ras, geografis, atau jenis kelamin, akan tetapi risiko bell;s
palsu meningkat sebanyak tiga kali lipat dalam masa kehamilan, terutama
pada trimester ketiga atau pada minggu pertama postpartum. 10 diabetes
ditemukan pada 5-10 persen pasien bell’s palsy.11
PATOFISIOLOGI
Bell’s palsy adalah paresis nervus VII perifer akut dengan penyebab yang
tidak diketahui, akan tetapi istilah idiopathic facial paralysis tidak boleh
disamakan dengan Bell’s palsy.12 Bell’s palsy merupakan paresis nervus VII
perifer merupakan sindrom klinis dari banyak sebab, oleh karena itu ada
beberapa pemikiran menyangkut penyebab bell’s palsy.
Infeksi virus herpes simplex diduga sebagai penyebab tersering dari kasus
bell’s palsy. Hal ini dikarenakan keberadaan virus herpes simplex tidak bisa
dipastikan pada pasien yang datang dengan keluhan paresis nervus VII perifer,
karena keterbatasan metode yang dapat dilakukan di klinik. Dugaan ini
didapat dari bukti serologis.13 Penelitian dengan PCR DNA mendukung
kejadian perambatan virus herpes simplex yang tinggal dalam axon dan
mengakibatkan inflamasi dan demyelinisasi berujung pada paresis dan
akhirnya alasan ini banyak dianggap benar di klinik.14 Akan tetapi penelitian
ini tidak konklusif.15
Herpes zoster diduga sebagai penyebab kedua paling sering dari infeksi virus
yang berhubungan dengan paresis nervus VII. Hal ini disebutkan dalam suatu
studi dengan populasi 1701 kasus Bell’s palsy dan 116 diantara nya menderita
15
herpes zoster.16 penyebab lain infektif dari paresis nervus VII adalah
cytomegalovirus, EBV, adenovirus, rubella virus, mumps, influenza B, dan
coxsackievirus.17
Secara histopatologi, nervus facialis dari pasien bell’s palsy konsisten dengan
penampakan inflamasi dan kemungkinan penyebab infeksi . penampakan ini
persis dengan penampakan infeksi herpes zoster. Nervus facialis menjadi
menebal. Edema pada perineurium dengan infiltrat difus dengan cell inflamasi
diantara nerve bundles dan diantara pembuluh darah intraneural hal ini juga
disertai degenerasi myelin.18
Predisposisi genetik juga merupakan postulat alternative tentang mekanisme
bell’s palsy, hal ini diduga karena kanal fallopi sempit dan membuat nervus
lebih rentan terhadap edema dan kompresi. 19 Hal ini didukung dengan riwayat
penyakit keluarga pada 10 % pasien Bell’s palsy dengan keluahan serupa.3
Iskemik Vaskular juga dipikirkan dapat menyebabkan Bell’s palsy.20 Iskemik
vascular ini bisa terjadi secara primer ataupun sekunder. Iskemik primer dapat
dicetuskan oleh suhu dingin atau stress emosional, iskemik sekunder dapat
terjadi akibat iskemik primer dan menyebabkan terjadi nya eksudasi dan
kompresi dari mikrosirkulasi saraf.3 selain itu diabetes juga dapat
mengakibatkan oleh diabetes karena kegagalan sirkulasi oleh vasa nervosum
yang mengakibatkan iskemik primer.21

PENAMPAKAN KLINIS
Pasien dengan Bell’s palsy biasa datang dengan gejala-gejala paresis nervus
VII perifer. Apabila terjadi penurunan sekresi air mata, hiperakusis, dan hilang
nya sensasi rasa pada 2/3 anterior lidah, maka bisa diduga lesi terdapat pada
fallopian canal.
Terkadang pasien Bell’s palsy dating dengan gejala nervus kranialis yang lain
bukan hanya gejala dari nervus VII. Beberapa nervus kranial yang terlibat
adalah trigeminal, glossopharyngeal, dan hypoglossal. 22 terkadang pasien
bell’s palsy juga dating dengan keluhan hilonagnya fungsi sensorik ipsilateral.
Akan tetapi hal ini diduga bukan karena neuropathy, akan tetapi karena
sensasi paralysis abnormal dari otot wajah.

16
DIAGNOSIS
Diagnosis bell’s palsy ditegakan dengan beberapa kriteria. Terjadinya paralisis
dari otot wajah dengan atau tanpa hilang nya pengecap pada 2/3 anterior lidah
atau alterasi dari sekresi lakrimal dan saliva. Onset nya akut lebih dari dua
hari, progresif, dan paralisis maksumal pada minggu ketiga. Penyembuhan
biasa maksimal pada bulan keenam. Apabila pasien masih belum sembuh
secara maksimal, maka kemungkinan penyebab paresis bukan Bell’s palsy.
Walaupun ada juga kasus bell’s palsy yang sembuh secara parsial.9,23,24
TERAPI
Menurut guideline terbaru terapi dari Bell’s palsy dimulai dengan pemeriksaan
nervus VII dengan klasifikasi House-Brackmann (table 2).25–28 Setelah itu
pengobatan dapat dilakukan sesuai klasifikasi. Grade I-III cukup dengan
glukokortikoid oral dan grade IV-V dengan tambahan antiviral. Setelah itu
pasien di follow-up apabila terjadi penyembuhan parsial, maka dapat
dilakukan penyuntikan racun botulinum. Apabila tidak ada penyembuhan
setelah 3 minggu, maka harus curiga dengan penyebab lain. Bagan 2
menampilkan algoritma terapi bell’s palsy secara sistematis.
Treatment sebaik nya dimulai antara 3 hari setelah onset. Obat yang diberikan
dapat berupa prednisone dengan dosis 60-80 mg/hari/minggu. Pada orang
dengan House-Brackmann drajat IV-V, disarankan dengan kombinasi antara
prednisone 60-80mg/hari/minggu dengan valacyclovir 1000 mg 3 kali sehari
selama 1 minggu.

17
Bagan 228
Perawatan mata dapat diberikan karena pasien mengalami kesulitan menutup mata.
Perawatan mata dapat diberikan berupa air mata buatan yang diberikan setiap jam
ketika pasien sedang bangun. Salep yang mengandung minyak mineral dan
petrolatum putih harus digunakan pada malam hari.29
Prognosis dari pasien bell’s palsy berhubungan dengan drajat lesi. Drajat house-
brackmann I dan II memiliki prognosis yang baik, drajat III dan IV memiliki
disfungsi moderat, dan drajat V dan VI memiliki prognosis yang buruk. 30–33

Table 2
18
2.3.2 Melkersson Syndrome34
Merupakan suatu kondisi idiopatik yang memiliki triase paralysis wajah,
bengkak pada bibir, dan lidah yang retak. Paralysis pada sindroma ini biasanya
rekuren. Treatment yang dilakukan pada sindroma ini sama dengan bell’s
palsy.
2.3.3 Ramsay-Hunt Syndrome3,13
Merupakan kondisi paralysis otot wajah yang disertai dengan gejala infeksi
virus herpes zoster. Hal ini ditandai dengan adanya vesikel herpetiform pada
kanalis auditorius eksternus dan pinna. Terdapat juga hilang nya rasa nyeri
pada wajah, rasa psuing, dan gangguan pendengaran karena keterlibatan
nervus V dan VIII. Pengobatan sama dengan Bells’s palsy.
2.3.4 Trauma3,1
1. Fraktur Tulang Temporal
Fraktur tulang temporal dapat memanjang, melintang atau bercampur.
Facial palsy terlihat lebih sering pada fraktur transversal (50%).
Kelumpuhan adalah karena hematoma intraneural, kompresi oleh spikule
tulang atau transeksi saraf. Dalam kasus ini, penting untuk mengetahui
apakah kelumpuhan adalah onset langsung atau tertunda. Kelumpuhan
onset tertunda diobati secara konservatif seperti Bell palsy sementara
kelumpuhan onset langsung mungkin memerlukan pembedahan dalam
bentuk dekompresi, reanastomosis dari ujung yang terpotong atau graft
nervus dengan kabel
2. Operasi Telinga atau Mastoid
Saraf wajah terluka selama operasi stapedektomi, tympanoplasti atau
mastoid. Kelumpuhan bisa segera atau tertunda dan pengobatan sama
dengan trauma tulang temporal.
Saraf lumpuh karena tekanan pengepakan pada saraf yang terbuka dan ini
harus dibebaskan dulu. Cedera operasi saraf wajah dapat dihindari jika
diperhatikan
• Pengetahuan anatomi dari jalannya saraf wajah, kemungkinan
variasi dan anomali dan landmark bedahnya.
• Pembedahan mayat harus menjadi hal yang penting
• bagian dari pelatihan dalam operasi telinga.

19
• Selalu bekerja sepanjang jalannya saraf dan tidak pernah
melewatinya.
• Penanganan lembut dari saraf ketika terkena, menghindari tekanan
instrumen pada saraf.
• Tidak menghilangkan granulasi yang menembus syaraf.
• Menggunakan pembesaran; tidak pernah bekerja pada saraf wajah
tanpa mikroskop operasi.
3. Operasi Parotid dan Trauma Wajah
Saraf wajah mungkin terluka dalam operasi tumor parotid atau sengaja
dipotong pada tumor ganas. Cedera tidak disengaja di wilayah parotid juga
dapat menyebabkan kelumpuhan wajah.
Aplikasi forsep obstetrik juga dapat menyebabkan kelumpuhan wajah pada
neonatus karena tekanan pada bagian luar saraf.
2.3.5 Neoplasma3,1
1. Neoplasma intratemporal
Carcinoma dari telinga luar, tumor glomus, rhabdomyosarcoma, dan tumor
metastasis dari tulang temporal dapat mengakibatkan paralisis wajah.
Neuroma pada nervus fasialis dapat terjadi disepanjang traktus nervus
fasialis. Hal ini dapat mengakibatkan paralisis yang mendadak ataupun
perlahan. Terapi dari neuroma dapat dilakukan eksisi dan grafting nervus.
CT-scan dengan resolusi tinggi dan MRI dengan gadolinium sangat
berguna dalam mendeteksi tumor nervus VII.
2. Tumor dari parotid
Tumor parotis selalu dihubungkan dengan keganasan. Implikasi neurologis
yang disebabkan oleh tumor parotis tergantung pada lokasi anatomi dari
saraf yang terganggu.
2.3.6 Penyakit Sistemik dan Paralisis fasial
Paresis nervus VII biasanya idiopatik akan tetapi, sebagai tenaga medis, kita
harus menyingkirkan diabetes, hypothyroid, leukaemia, sarcoidosis,
periarterisis nodosa, wegener’s granulomatosa, kusta, sifilis, dan penyakit
demyelinasi lainnya.

20
2.4 Komplikasi dari Paralisis Fasial3
1. Penyembuhan yang inkomplit. Bentuk wajah tetap asimetris, mata tidak dapat
menutup mengakibatkan epiphora, dan spinkter oral yang lemah
mengakibatkan liur pasien terus menetes dan kesulitan makan.
2. Keratitis. Terjadi akibat mata yang tidak bisa ditutup. Selaput air mata dari
kornea menguap dan mengakibatkan mata yang kering. Hal ini juga dapat
mengakibatkan ulkus kornea. Pencegahan nya dapat menggunakan air mata
buatan setiap 1-2 jam, salep mata, dan melindungi mata saat tidur.
3. Synkinesis. Ketika pasien ingin menutup mata, ujung mulut juga ikut
berkontraksi. Hal ini diakibatkan karena inervasi silang.
4. Spasme dan tics. Hal ini merupakan hasil dari regenerasi saraf yang tidak
sempurna. Gerakan involunter dapat terlihat pada bagian wajah yang terdapat
lesi.
5. Kontraktur. Merupakan hasil dari fibrosis otot yang atrofi. Hal ini
mengakibatkan kontraksi menetap dari suatu grup otot. Hal ini juga
mengakibatkan gerakan wajah yang asimetris, akan tetapi saat istirahat wajah
tetap simetris.
6. Crocodile tears. Terdapat lakrimasi unilateral saat mengunyah. Hal ini
diakibatkan regenerasi saraf parasympatik yang menginervasi kelenjar
lakrimal. Padahal, harusnya saraf ini menginervasi kelenjar liur.
7. Sindroma frey. Terdapat keringat dan kulit yang memerah pada daerah parotid
ketika mengunyah. Hal ini diakibatkan karena operasi parotis.
8. Masalah psikologi dan social. Liur yang keluar dari mulut saat makan dan
minum mengakibatkan problem social.
2.5 Operasi Nervus Fasialis3
1. Dekompresi. Saraf dapat terkompresi akibat edema, hematoma, atau retak
tulang pada bagian intratemporal. Operasi ini melibatkan pembukaan kanalis
fasialis, dan pembukaan perinerium untuk menurunkan tekanan pada saraf.
2. End-to-end anastomosis. Hal ini dilakukan ketika cela antara saraf yang putus
hanya sejauh beberapa milimeter. Ini merupakan prosedur yang baik untuk
bagian nervus ekstratemporal. Tidak boleh ada tegangan pada ujung yang
disambungkan.
3. Nerve graft. Ketika jarak antar saraf yang putus terlalu jauh, maka cangkok
saraf lebih cocok untuk dilakukan. Cangkok ini di lakukan dari greater
21
auricular atau lateral cutaneous nerve dari paha. Dapat juga digunakan nervus
suralis. Pada fasial kanal, cangkok memungkinkan untuk tidak dijahit.
4. Hypoglossal-fascial anastomosis. Dilakukan anastomosis dari nervus
hipoglosal kepada fasial nerve yang terputus. Hal ini mengakibatkan otot
wajah bisa bergerak, akan tetapi satu sisi lidah terjadi atrofi karena tidak dapat
bergerak.
5. Plastic procedure. Dilakukan untuk tujuan kosmetik ketika cangkok tidak
dapat dilakukan dan gagal.

22
BAB III

KESIMPULAN

Paresis nervus fasialis merupakan kejadian yang lumrah ditemui di klinik.


walaupun demikian, pemahaman akan anatomi dari nervus VII yang kompleks tidak
boleh dilupakan. Hal ini juga berhubungan dengan pendekatan diagnosis paresis
nervus VII
Penyebab dari paresis nervus fasialis ada banyak. Yang paling sering adalah
idiopathic facial nerve palsy. Lebih tepat nya Bell’s palsy. Namun tidak boleh
dilupakan, bahwa Bell’s palsy merupakan diagnosis terakhir ketika semua penyebab
sudah disingkirkan.
Tatalaksana dari paresis nervus VII biasanya adalah medikamentosa berupa
kortikosteroid sesuai dengan guideline. Akan tetapi sesuai penyebabnya, dapat juga
dilakukan operasi dari nervus VII dengan metode-metode yang ada.
Prognosis pasien dengan Bell’s palsy biasa nya lebih baik daripada paresis
nervus VII non Bell’s palsy.

23
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Masterson L, Vallis M, Quinlivan R, Prinsley P. Assessment and management


of facial nerve palsy. Bmj [Internet]. 2015;(September):h3725. Available from:
http://www.bmj.com/lookup/doi/10.1136/bmj.h3725
2. Lorch M, Teach SJ. Facial Nerve Palsy Etiology and Approach to Diagnosis
and Treatment. 2010;26(10):763–72.
3. Dhingra PL, Dhingra Shruti DD. Disease of Ear Nose and Throat & Head and
Neck Surgery. Dhingra. 2014. 286,307.
4. Taite SM. The Facial Nerve (CNVII): Animated Review [Internet]. United
States: Florida States University; 2016. Available from:
https://www.youtube.com/watch?v=AMAR-hv7knI
5. Tos M. The Facial Nerve. Man Middle Ear Surg. 1995;31(1):48–9.
6. Kochhar A. F a c i a l N e r v e a n d P a ro t i d Gland Anatomy. Otolaryngol
Clin NA [Internet]. 2016;49(2):273–84. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.otc.2015.10.002
7. Sajadi MM, Sajadi M-RM, Tabatabaie SM. The history of facial palsy and
spasm: Hippocrates to Razi. Neurology [Internet]. 2011 Jul 12;77(2):174–8.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21747074
8. May M, Klein SR. Differential diagnosis of facial nerve palsy. Otolaryngol
Clin North Am [Internet]. 1991 Jun;24(3):613–45. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1762779
9. Peitersen E. The natural history of Bell’s palsy. Am J Otol [Internet]. 1982
Oct;4(2):107–11. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7148998
10. Hilsinger RL, Adour KK, Doty HE. Idiopathic facial paralysis, pregnancy, and
the menstrual cycle. Ann Otol Rhinol Laryngol [Internet]. 84(4 Pt 1):433–42.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/168802
11. Adour KK, Byl FM, Hilsinger RL, Kahn ZM, Sheldon MI. The true nature of
Bell’s palsy: analysis of 1,000 consecutive patients. Laryngoscope [Internet].
1978 May;88(5):787–801. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/642672

24
12. Jackson CG, von Doersten PG. The facial nerve. Current trends in diagnosis,
treatment, and rehabilitation. Med Clin North Am [Internet]. 1999
Jan;83(1):179–95, x. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9927969
13. Adour KK, Bell DN, Hilsinger RL. Herpes simplex virus in idiopathic facial
paralysis (Bell palsy). JAMA [Internet]. 1975 Aug 11;233(6):527–30.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/167209
14. Schirm J, Mulkens PS. Bell’s palsy and herpes simplex virus. APMIS
[Internet]. 1997 Nov;105(11):815–23. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9393551
15. Kennedy PG. Herpes simplex virus type 1 and Bell’s palsy-a current
assessment of the controversy. J Neurovirol [Internet]. 2010 Feb;16(1):1–5.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20113184
16. Peitersen E. Bell’s palsy: the spontaneous course of 2,500 peripheral facial
nerve palsies of different etiologies. Acta Otolaryngol Suppl [Internet].
2002;(549):4–30. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12482166
17. Morgan M, Nathwani D. Facial palsy and infection: the unfolding story. Clin
Infect Dis [Internet]. 1992 Jan;14(1):263–71. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1315161
18. Liston SL, Kleid MS. Histopathology of Bell’s palsy. Laryngoscope [Internet].
1989 Jan;99(1):23–6. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2642582
19. Hageman G, Ippel PF, Jansen EN, Rozeboom AR. Familial, alternating Bell’s
palsy with dominant inheritance. Eur Neurol [Internet]. 1990;30(6):310–3.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2289506
20. Kanoh N, Nomura J, Satomi F. Nocturnal onset and development of Bell’s
palsy. Laryngoscope [Internet]. 2005 Jan;115(1):99–100. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15630375
21. Riga M, Kefalidis G, Danielides V. The role of diabetes mellitus in the clinical
presentation and prognosis of Bell palsy. J Am Board Fam Med [Internet].
25(6):819–26. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23136321
22. Benatar M, Edlow J. The spectrum of cranial neuropathy in patients with Bell’s
25
palsy. Arch Intern Med [Internet]. 2004 Nov 22;164(21):2383–5. Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15557420
23. Hashisaki GT. Medical management of Bell’s palsy. Compr Ther [Internet].
1997 Nov;23(11):715–8. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9360798
24. Selesnick SH, Patwardhan A. Acute facial paralysis: evaluation and early
management. Am J Otolaryngol [Internet]. 15(6):387–408. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7872475
25. Gronseth GS, Paduga R, American Academy of Neurology. Evidence-based
guideline update: steroids and antivirals for Bell palsy: report of the Guideline
Development Subcommittee of the American Academy of Neurology.
Neurology [Internet]. 2012 Nov 27;79(22):2209–13. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23136264
26. Baugh RF, Basura GJ, Ishii LE, Schwartz SR, Drumheller CM, Burkholder R,
et al. Clinical practice guideline: Bell’s palsy. Otolaryngol Head Neck Surg
[Internet]. 2013 Nov;149(3 Suppl):S1-27. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24189771
27. Schwartz SR, Jones SL, Getchius TSD, Gronseth GS. Reconciling the clinical
practice guidelines on Bell’s palsy from the AAO-HNSF and the AAN.
Otolaryngol Head Neck Surg [Internet]. 2014 May;150(5):709–11. Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24789656
28. de Almeida JR, Guyatt GH, Sud S, Dorion J, Hill MD, Kolber MR, et al.
Management of Bell palsy: clinical practice guideline. Can Med Assoc J
[Internet]. 2014 Sep 2;186(12):917–22. Available from:
http://www.cmaj.ca/cgi/doi/10.1503/cmaj.131801
29. Holland NJ, Weiner GM. Recent developments in Bell’s palsy. BMJ [Internet].
2004 Sep 4;329(7465):553–7. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15345630
30. Chee GH, Nedzelski JM. Facial nerve grading systems. Facial Plast Surg
[Internet]. 2000;16(4):315–24. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11460297
31. Berg T, Jonsson L, Engström M. Agreement between the Sunnybrook, House-
Brackmann, and Yanagihara facial nerve grading systems in Bell’s palsy. Otol
Neurotol [Internet]. 2004 Nov;25(6):1020–6. Available from:
26
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15547437
32. Coulson SE, Croxson GR, Adams RD, O’Dwyer NJ. Reliability of the
“Sydney,” “Sunnybrook,” and “House Brackmann” facial grading systems to
assess voluntary movement and synkinesis after facial nerve paralysis.
Otolaryngol Head Neck Surg [Internet]. 2005 Apr;132(4):543–9. Available
from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15806042
33. Marsk E, Bylund N, Jonsson L, Hammarstedt L, Engström M, Hadziosmanovic
N, et al. Prediction of nonrecovery in Bell’s palsy using Sunnybrook grading.
Laryngoscope [Internet]. 2012 Apr;122(4):901–6. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22374870
34. Laryn- C. The Melkersson-Rosenthal. 2015;

27

Anda mungkin juga menyukai