Anda di halaman 1dari 16

BELL’S PALSY

1. Definisi Bell’s Palsy (Ropper AH, 2005)

Bell’s Palsy atau Idiopathic Facial Palsy (IFP) adalah syndrome


kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron yang disebabkan oleh
keterlibatan saraf fasialis perifer yang bersifat unilateral di luar sistem saraf
pusat, idiopatik, akut dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran, kelainan
neurologi lainnya atau kelainan lokal (Ropper AH, 2005)

Bell’s palsy merupakan penyebab paling sering dari kelumpuhan


wajah unilateral dan penyebab paling umum dari kelumpuhan wajah di
seluruh dunia.

Nama penyakit ini diambil dari nama Sir Charles Bell, dokter ahli
bedah dari Skotlandia adalah orang pertama yang meneliti tentang sindroma
kelumpuhan saraf fasialis dan sekaligus meneliti tentang distribusi dan fungsi
saraf fasialis. Oleh karena itu nama Bell diambil untuk diagnosis setiap
kelumpuhan saraf fasialis perifer yang tidak diketahui (Taylor DC, 2016)

2. Epidemielogy Bell’s Palsy


Insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan karena penderita tidak
hanya berobat ke dokter saraf saja, tetapi kemungkinan ada yang berobat
kepada dokter umum, dokter THT maupun dokter mata. Data yang
dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi
Bell’s palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada
usia 21–30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak
didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada

1
beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin seperti
naik kendaraan dengan kaca terbuka, tidur di lantai atau bergadang sebelum
menderita bell’s palsy.

3. Struktur Anatomi Saraf Facialis (Greco A, 2012)

Saraf fasialis atau saraf kranialis ketujuh mempunyai komponen


motorik yang mempersarafi semua otot ekspresi wajah pada salah satu sisi,
komponen sensorik kecil (nervus intermedius Wrisberg) yang menerima
sensasi rasa dari 2/3 depan lidah, dan komponen otonom yang merupakan
cabang sekretomotor yang mempersarafi glandula lakrimalis. Saraf fasialis
keluar dari otak di sudut serebello-pontin memasuki meatus akustikus
internus. Saraf selanjutnya berada di dalam kanalis fasialis memberikan
cabang untuk ganglion pterygopalatina sedangkan cabang kecilnya ke
muskulus stapedius dan bergabung dengan korda timpani. Pada bagian awal
dari kanalis fasialis, segmen labirin merupakan bagian yang tersempit yang
dilewati saraf fasialis; foramen meatal pada segmen ini hanya memiliki
diameter sebesar 0,66 mm.

Saraf fasialis (N.VII) mengandung sekitar 10.000 serabut saraf yang


terdiri dari 7.000 serabut saraf motorik untuk otot-otot wajah dan 3.000
serabut saraf lainnya membentuk saraf intermedius (Nerve of Wrisberg) yang
berisikan serabut sensorik untuk pengecapan 2/3 anterior lidah dan serabut
parasimpatik untuk kelenjar parotis, submandibula, sublingual dan lakrimal.
Saraf fasialis terdiri dari 7 segmen yaitu:

a. Segmen supranuklear
b. Segmen batang otak
c. Segmen meatal
d. Segmen labirin

2
e. Segmen timpani
f. Segmen mastoid
g. Segmen ekstra temporal

Gambar 1. Anatomi Nervus Facialis

4. Etiologi Bell’s Palsy

Ada 4 teori yang dihubungkan dengan etiologi Bell’s palsy yaitu


(Lumantobing SM, 2008):

a. Teori iskemik vaskuler


Terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N.VII. Terjadi
vasokontriksi arteriole yang melayani N.VII sehingga terjadi iskemik,
kemudian diikuti oleh dilatasi kapiler dan permeabilitas kapiler yang
meningkat dengan akibat terjadi transudasi. Cairan transudat yang keluar
akan menekan dinding kapiler limfe sehingga menutup. Selanjutnya akan

3
menyebabkan keluar cairan lagi dan akan lebih menekan kapiler dan
venula dalam kanalis fasialis sehingga terjadi iskemik.
b. Teori infeksi virus
Bell’s palsy sering terjadi setelah penderita mengalami penyakit
virus, sehingga menurut teori ini penyebab bell’s palsy adalah virus. Juga
dikatakan bahwa perjalanan klinis bell’s palsy menyerupai viral
neurophaty pada saraf perifer lainnya.
c. Teori herediter
Penderita bell’s palsy kausanya herediter, autosomal dominan.
Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada
keturunan atau keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi
untuk terjadinya paresis fasialis.
d. Teori imunologi
Dikatakan bahwa Bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi
terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian
imunisasi. Berdasarkan teori ini maka penderita bell’s palsy diberikan
pengobatan kotikosteroid dangan tujuan untuk mengurangi inflamasi dan
edema di dalam kanalis Fallopii dan juga sebagai immunosupresor.

5. Patofisiologi Bell’s Palsy

Patofisiologi timbulnya Bell’s Palsy secara pasti masih dalam


perdebatan. N. VII berjalan melalui bagian dari tulang temporal yang disebut
dengan kanalis fasialis. Adanya edema dan iskemi menyebabkan kompresi
dari N.VII dalam kanalis tulang ini, karena itu ia terjepit di dalam foramen
stilomastoideum dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kompresi
N.VII ini dapat dilihar dengan MRI. Bagian pertama dari kanalis fasialis yang
disebut dengan segmen labyrinthine adalah bagian yang paling sempit, meatus
foramien ini memiliki diameter 0,66 mm. lokasi inilah yang diduga

4
merupakan tempat paling sering terjadinya kompresi pada N.VI pada Bell’s
Palsy, karena bagian ini merupakan tempat yang paling sempit maka
terjadinya inflamasi, demielinisasi, iskemia ataupun proses kompresi paling
mungkin terjadi. Lokasi terserangnta nervus fasialis di Bell’s Palsy bersifat
perifer dari nucleus saraf tersebut, dimana timbulnya lesi diduga terletak
didekat ataupun di ganglion genikulatum. Jika lesinya timbul di bagian
proksimal ganglion genikulatum maka akan timbulkelumpuhan motoric
disertai dengan ketidaknormalan fungsi gustatorium dan otonom. Apabila lesi
terletak di foramen stilomastoideus dapat menimbulkan kelumpuhan fasial
saja (Mardjono M, 2005).

Paparan udara dingin seperti angina kencang, AC atau mengemudi


dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab
rerjadinya Bell’s Palsy di arena nervus facialis dapat menjadi sembab dan
terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan Bell’s Palsy
(Mardjono M, 2005).

Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s Palsy


adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang
menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini
menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion
genikulatum, nervus facialis bias ikut terlibat sehingga menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN (Baehr M, 2005).

Autoimun juga dipercaya dapat menyebabkan kelumpuhan nervus


fasialis. Berdasarkan penjelasan oleh Abramsky dkk, mengenai mekanisme
imun terhadap protein myelin dalam pathogenesis penyakit ini, perubahan
imunologi seluler dan humoral telah dilaporkan pada pasien dewasa dengan
Bell’s Palsy. Penurunan persentase sel T (CD3) dan sel T helper (CD4) telah

5
didokumentasikan dalam fase akut penyakit dibandingkan dengan pasien
kontrol (Baehr M, 2005).

6. Manisfestasi Klinis Bell’s Palsy (Baehr M, 2005)

Keluhan dan gejala bergantung pada lokasi lesi, yaitu:

1. Lesi pada nervus fasialis di sekitar foramen stylomastoideus, baik yang


masih berada di sebelah dalam dan sebelar luar foramen.
Gambaran klinis adalah mulut turun dan mencong ke sisi yang
sehat sehingga sudut mulut yang lumpuh tampaknya lebih tinggi
kedudukannya daripada posisi yang sehat, maka penderitanya tidak dapat
bersiul, mengedip dan menutup mata. Gangguan lakrimasi akan terjadi
jika mata tidak terlindungi atau tidak dapat menutup mata sehingga pada
mata akan lebih mudah iritasi oleh debu, angina dan sebagainya.
Bila penderita diminta untuk memejamkan matanya, maka kelopak
mata pada sisi yang lumpuh akan tetap terbuka dimana kelumpuhan N.VII
yang mensarafi m.orbikularis okuli dapat menyebabkan lagoftalmus yaitu
palpebral tidak dapat menutup dengan sempurna. Kelainan ini akan
mengakibatkan trauma konjungtiva dan kornea karena mata tetap terbuka
sehingga konjungtiva dan kornea menjadi kering dan terjadi infeksi.
Infeksi ini dapat dalam bentuk konjuntivitis atau suatu keratitis. Serta bola
mata pasien berputar ke atas. Keadaan ini dikenal dengan Bell’s
phenomenon (lagoftalmus disertai dorsorotasi bola mata). Karena kedipan
mata yang berkurang maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin,
sehingga menimbulkan epifora. Saat mengembungkan pipi terlihat sisi
yang lumpuh tidak ikut mengembung. Disamping itu makanan cenderung
terkumpul diantara pipi dan gusi yang lumpuh. Selain kelumpuhan seluruh

6
otot wajah sesisi, tidak didapati gangguan lain yang mengiringinya, bila
paresis benar-benar bersifat Bell’s Palsy
2. Lesi pada kanalis fasialis mengenai nervus chorda tympani
Terdapat seluruh gejala diatas, ditambah dengan hilangnya sensasi
pegecapan dua pertiga depan lidah berkurangnya salivasi yang terkena
yang merupakan kawasan sensorik khusus N. Intermedius. Sepertiga
pasien Bell’s Palsy melaporkan gangguan pengecapan. Jika mengenai m.
stapedius maka gejala dapat ditambah adanya hiperakusis
3. Lesi pada ganglion geniculatum
Gejala seperti di atas ditambahonset seringkali akut dengan rasa
nyeri di belakang dan di dalam telinga. Sindrom Ramsay Hunt merupakan
Bell’s Palsy yang disertai infeksi virus herpes zoster pada ganglion
geniculatum. Lesi herpetic terlihat pada membrane tympani, canalis
auditorium eksterna dan pada pinna. Tic fasialis atau spasmus klonik
fasialis juga dapat terjadi. Sebab dan mekanisme sebenarnya belum
diketahui. Tetapi diduga sebagai suatu rangsangan iritatif di ganglion
geniculatum namun. Namun gerakan otot wajah involunter bisa terjadi
sebagai suatu pencerminan kegelisahan atau depresi. Pada gerakan
involunter tersebut, sudut muka terangkat dan kelompok mata memejam
secara berlebihan
4. Lesi di dalam meatus auditorius internus
Gejala-gejala Bell’s Palsy di atas ditambah ketulian akibat
terkenanya N.VII
5. Lesi pada tempat keluarnya nervus facialis dari pons
Lesi di pons yang terletak di sekitar inti nervus adducens bias
merusak akar nervus facialis, inti nervus abducens dan fasikulus
longitunalis medialis. Lesi pada daerah tersebut dapat menyebabkan
kelumpuhan m. rectus lateralis atau gerakan melirik kearah lesi.

7
Gambar 2. Manifestasi Klinis Bell’s Palsy

6. Penegakkan Diagnosis Bell’s Palsy (Owis H, 2012)


Diagnosis Bell’s Palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan
adanya parese dari nervus facialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak
dapat memejamkan mata dan adanya rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan
augesia juga dapat ditemukan. Harus dibedakan antara lesi UMN dan LMN.
Pada Bell’s Palsy lesinya bersifat LMN
a. Anamnesis
Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat
merasabahwa mereka menderita stroke atau tumor intracranial. Biasanya
timbul mendadak, pendertita meyadari adanya kelumpuhan pada salah
satu sisi wajahnya pada waktu bangun pagi, bercermin atau saat sikat gigi,
berkumur atau diberitahukan oleh orang lain bahwa salah satu sudut mulut

8
penderita lebih rendah . bell’s Palsy hampir selalu unilateral, namun
pernah dilaporkan terjadi secara bilateral
 Nyeri postauricular: hamper 50% pasien menderita nyeri di region
mastoid. Nyeri sering muncul secara simultan disertai dengan paresis
tetapi paresis muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25%
 Aliran air mata: dua pertiga pasien mengeluh mengenai aliran air mata
mereka. Ini deisebabkan akibat penurunan fungsi orbicularis okuli
dalam mengalirkan air mata. Hanya sedikit air mata yang dapat
mengalir hingga saccus lacrimalis dan terjadi kelebihan cairan.
Produksi air mata tidak dipercepat
 Perubahan rasa: hanya sepertiga pasien mengeluh tentang gangguan
rasa, empat dari lima pasien menunjukkan penurunan rasa. Hal in
terjadi akibat hanya setengah bagian lidah yang terlibat
 Mata kering
 Hiperakusis: kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada telinga
akibat peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris
b. Pemeriksaan fisik
Gambaran paralisis wajah mudah dikenali pada pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan yang lengkap dan tepat dapat menyingkirkan kemungkinan
penyebab lain dari paralisis wajah. Pikirkan etiologi lain jika semua
cabang nervus fasialis tidak mengalami gangguan
 Defines klasik Bell’s Palsy menjelaskan tentang keterlibatan
mononeuron dari nervus fasialis, meskipun nervus cranialis yang
menunjukkan gambaran gangguan pada pemeriksaan fisik karena
perjalanan anatomisnya dari otak ke wajah bagian lateral
 Kelemahan dan atau paralisis akibat gangguan pada nervus fasialis
tampak sebagai kelemahan seluruh wajah (bagian atas dan bawah)

9
pada sisi yang diserang. Perhatikan gerakan volunteer bagiasn atas
wajah pada sisi yang diserang
 Pada lesi supranuklear seperti stroke kortikal (neuron motoric di atas
nucleus fasialis di pons), dimana sepertiga atas wajah mengalami
kelemahan dan dua pertiga bagian bawahnya mengalami paralisis.
Musculus orbicularis, frontalis dan corrugator iinervasi secara bilateral
sehingga dapat dimengerti mengenai pola paralisis wajah
 Lakukan pemeriksaan nervus cranialis lain: hasil pemeriksaan
biasanya normal
 Membrane timpani tidak boleh mengalami inflamasi: infeksi yang
tampak meningkatkan kemungkinan adanya otitis media yang
mengalami komplikasi
c. Pemeriksaan laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk
menegakkan diagnosis Bell’s Palsy. Namun pemeriksaan kadar gula darah
atau HbA1c dapat dipertimbangkan untuk mengetahui apakah pasien
tersebut menderita diabetes atau tidak. Pemerksaan kadar serum HSV juga
bias dilakukan namun ini biasanya tidak dapat menentukan dari mana
virus berasal
d. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi biasanya tidak diperlukan karena pasien
Bell’s Palsy pada umunya akan mengalami perbaikan dalam 8-10 minggu.
Bila tidak ada perbaikan ataupun mengalami perburukan, pencitraan
mungkin akan membantu. MRI mungkin dapat menunjukkan adanya
tumor (missal schwannoma, hemangioma dan meningioma). Bila pasien
memiliki riwayat trauma maka pemeriksaan CT-SCAN harus dilakukan.

10
Gambar 3. Gambaran MRI Bell’s Palsy

7. Diagnosis Banding Bell’s Palsy (Djamil M, 2012)


a. Kelainan sentral:
 Stroke bila disertai kelemahan anggota gerak sisi yang sama dan
ditemukan proses patologis di hemisfer serebri kontralateral
 Kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai perubahan mental
status atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya
 Sklerosis multipel bila disertai kelainan neurologis lain seperti
hemiparesis atau neuritis optika
 Trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii,
atau terdapat riwayat trauma sebelumnya
b. Kelainan perifer:

11
 Otitis media supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang
dalam kavum timpani dan foto mastoid menunjukkan suatu gambaran
infeksi
 Herpes zoster otikus bila ditemukan adanya tuli perseptif, tampak
vesikel yang terasa amat nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah
menunjukkan kenaikan titer antibodi virus varicella-zoster
 Sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis bilateral dan
akut
 Kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa
gangguan gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli
bilateral
 Tumor serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus
kranialis V dan VIII
 Tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah (angulus
mandibular)
 Sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris, perembesan kelenjar
limfe hilus, uveitis,  parotitis, eritema nodosa, dan kadang
hiperkalsemia.

8. Penatalaksanaan Bell’s Palsy (Munilson, 2010)


a. Terapi medikamentosa:
 Kortikosteroid dapat digunakan salah satu contohnya adalah prednison
atau methylprednisolon 80 mg (medrol) dosis awal dan diturunkan
secara bertahap (tappering off) selama 7 hari
 Penggunaan obat antiviral (acyclovir) dengan kortioksteroid.
Penggunaan Aciclovir 400 mg sebanyak 5 kali per hari P.O selama 10
hari. Atau penggunaan Valacyclovir 500 mg sebanyak 2 kali per hari

12
P.O selama lima hari, penggunaan Valacyclovir memiliki efek yang
lebih baik.
 Vitamin B1, B6 dan B12 dalam dosis tinggi dan vasodilatasi peros
dengan ACTH im 40-60 satuan selama 2 minggu dapat dipercepat
penyembuhan
 Analgesic untuk menghilangkan rasa nyeri.
b. Terapi operatif:
Indikasi terapi operatif yaitu:
 Produksi air mata berkurang menjadi < 25%
 Aliran saliva berkurang menjadi < 25%
 Respon terhadap tes listrik antara sisi sehat dan sakit berbeda 2,5 mA.

Beberapa terapi bedah yang dapat dilakukan antara lain


dekompresi nervus Fasialis, Subocularis Oculi Fat Lift (SOOF),
Implantasi alat ke dalam kelopak mata, tarsorrhapy, transposisi otot
muskulus temporalis, facial nerve grafting dan direct brow lift.

9. Komplikasi Bell’s Palsy


a. Crocodile tear phenomenon:
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini
timbul beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari
regenerasi yang salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar
saliva tetapi menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion
genikulatum
b. Synkinesis:
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau
tersendiri, selalu timbul gerakan bersama. Contohnya yaitu:

13
 Bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul gerakan
(involunter) elevasi sudut mulut, kontraksi platisma, atau berkerutnya
dahi
 Pada saat meperlihatkan gigi (menyeringai), maka mata penderita pada
sisi sakit manjadi tertutup
 Bila penderita menggerakkan suatu bagian wajahnya, maka semua otot
wajah pada sisi lumpuh manjadi kontraksi. Penyebabnya adalah
innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi
bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah/keliru
c. Clonic fasial spasm (Hemifacial spasm):
Timbul “kedutan” (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak
terkendali) pada wajah yang pada stadium awal hanya mengenai 1 sisi
wajah saja tetapi kemudian kontraksi ini dapat mengenai pada sisi lainnya.
Bila mengenai kedua sisi wajah, maka tidak terjadi bersamaan pada kedua
sisi wajah. Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini.
Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul
dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian. Kecuali sebagai
komplikasi bell’s palsy, maka hemifacial spasm dapat disebabkan oleh
kompresi N.VII oleh tumor atau aneurisme pada daerah sudut serebelo
pontis atau lengkungan arteri serebeler antero inferior yang berlebihan
atau arteri auditorius internus.
d. Kontraktur:
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan
nasolabialis lebih jelas terlihat pada sisi yang lumpuh dibanding pada sisi
yang sehat. Terjadi bila kembalinya fungsi sangat lambat. Kontraktur
tidak tampak pada waktu otot wajah istirahat, tetapi menjadi jelas saat otot
wajah bergerak.

14
10. Prognosis Bell’s Palsy
Antara 80-85% penderita akan sembuh sempurna dalam waktu 3
bulan. Paralisis ringan atau sedang pada saat gejala awal terjadi merupakan
tanda prognosis baik. Denervasi otot-otot wajah sesudah 2-3 minggu
menunjukkan bahwa terjadi degenerasi aksonal dan hal demikian ini
menunjukkan pemulihan yang lebih lama dan tidak sempurna. Pemulihan
daya pengecapan lidah dalam waktu 14 hari pasca awitan biasanya berkaitan
dengan pemulihan paralisis secara sempurna. Apabila lebih 14 hari, maka hal
tersebut menunjukkan prognosis yang buruk

15
Daftar Pustaka

Baehr M, Frotscher. Facial Nerve and Nervus Intermediu. M. Duus’ Topical


Diagnosis in Neurology. Stuttgart: Thieme, 2005.p.167-74

Djamil M. Padang. Sunaryo, U. 2012. Bell’s Palsy. 25 September 2013.


http://fkuwks2012c.files.wordpress.com/2013/06/pakar-bells-palsy.pdf

Greco A, Gallo A, Fusconi M, Marinelli C, Macri GF, de Vincentis M. Bells Palsy


and Autoimmunity. Elsevier: Autoimmunity Review 2012: 12: -328

Lumantobing SM. Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008.p.59-68.

Mardjono M. Sidartha P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis Dasar, 5 th


ed. Jakarta: PT Dian Rakyat, 2005.p.159-63

Munilson, J., Yan Edward., Wahyu Triana. 2010. Diagnosis dan Penatalaksanaan
Bell’s Palsy. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher.
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RSUP.

Owis, H., Maula, N.G. 2012. Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di Pelayanan
Primer. Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan
(P2KB). Universitas Pelita Harapan,Tangerang. Departemen Saraf Rumah
Sakit Jakarta Medical Center. Jakarta.

Ropper AH, Brown RH. Bells palsy disease of the cranial nerve. Adams and victor’s
principles of neurology. 8 th ed. New york: Mc Graw Hill, 2005.p.1181-4

Taylor DC, Zachariah, S., Khoromi, S. Bells palsy. In: Benbadis SR, editor.
Available at: http://emidicine.medscape.com/article/1146903. Accessed on:
March 16th, 2016

16

Anda mungkin juga menyukai