Anda di halaman 1dari 6

BELLS PALSY

DEFINISI Bells Palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non supuratif, non neoplastik, non degenerative primer maupun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. EPIDEMIOLOGI Bells Palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Insiden Bells Palsy di amerika, setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Penderita diabetes mempunyai risiko 29% lebih tinggi. Bells Palsy mengenai laki laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Tetapi, wanita muda yang berumur 10 19 tahun lebih rentan terkena daripada laki laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur namun lebih sering terjadi pada umur 15 50 tahun. Kehamilan trimester ketiga dan dua minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bells Palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat. Di Indonesia, insiden Bells Palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah Sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells Palsy sebesar 19,555 dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan. ETIOLOGI Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bells Palsy, tetapi ada 4 teori yang dihubungkan dengan etiologi Bells Palsy yaitu : 1. Teori Iskemik vaskuler

Nervus fasialis dapat menjadi lumpuh secara tidak langsung karena gangguan regulasi sirkulasi darah di kanalis fasialis. 2. Teori infeksi virus Virus yang dianggap paling banyak bertanggungjawab adalah Herpes Simplex Virus (HSV), yang terjadi karena proses reaktivasi dari HSV (khususnya tipe 1). 3. Teori herediter Bells palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan atau keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis. 4. Teori imunologi Dikatakan bahwa Bells palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi. PATOFISIOLOGI Para ahli menyebutkan bahwa pada bells palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bells palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer. Karena adanya suatu proses yang dikenal awam sebagai masuk angin atau dalam bahasa inggris cold. Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bells palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, sehingga ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut sereblopontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bells Palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang

menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpe zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan pada bells palsy akan terjadi di bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucukan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagopthalmus, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu. GEJALA KLINIK Manifestasi klinik bells palsy khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan gejala kelumpuhan yang timbul. Pada anak 73% didahului infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin. Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada telinga atau sekitarnya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah berupa : Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh (lagophthalmus) Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar ke atas bila memejmkan mata, fenomena ini disebut bells sign Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipatan nasolabialis mendatar pada sisi yang lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat. Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat / lokasi lesi : a. Lesi di luar foramen stilomastoideus mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul di antara pipii dan gusi dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus. b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani) gejala dan tanda klinik seperti yang diatas, ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salvasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik dimana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis. c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi (melibatkan muskulus stapedius) gejala dan tanda klinik seperti pada gejala (a) dan (b) ditambah dengan ada hiperakusis. d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum) gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c) disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membrane timpani dan konka. Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi herpetic terlibat di membrane timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina. e. Lesi di daerah meatus akustikus interna, gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c), (d) ditambah dengan tuli sebagai akibat dari terlibatnya nervus akustikus.

DIAGNOSA a. Anamnesa - Rasa nyeri - Gangguan atau kehilangan pengecapan - Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan terbuka atau di luar ruangan. - Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran pernafasan, otitis, herpes dan lain lain. b. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan neurologis ditemukan parese N.VII tipe perifer Gerakan volunteer yang diperiksa, dianjurkan minimal : - Mengerutkan dahi - Memejamkan mata - Mengembangkan cuping hidung - Tersenyum - Bersiul - Mengencangkan kedua bibir c. Pemeriksaan Laboratorium Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis bells palsy d. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada bells palsy. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis multiple dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien Bells Palsy akan menunjukkan adanya penyangatan (Enhancement) pada nervus fasialis atau pada telinga, ganglion genikulatum. Untuk mengevaluasi kemajuan motorik penderita Bells palsy memakai SKALA UGO FISCH SKALA UGO FISCH Dinilai kondisi simetris atau asimetris antara sisi sehat dan sisi sakit pada 5 posisi : Posisi Nilai Persentase Skor (%) 0, 30, 70, 100 Istirahat 20 Mengerutkan dahi 10 Menutup mata 30 Tersenyum 30 Bersiul 10 Total Penilaian persentase : 0 % : asimetris komplit, tidak ada gerakan volunter

30 % : simetris, poor/jelek, kesembuhan yang ada lebih dekat ke asimetris komplit daripada simetris normal. 70 % : simetris, fair/cukup, kesembuhan parsial yang cenderung ke arah normal 100% : simetris, normal/komplit

DIAGNOSA BANDING 1. Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt Syndrom) Ramsay Hunt Syndrome (RHS) adalah infeksi saraf wajah yang disertai dengan ruam yang menyakitkan dan kelemahan otot wajah. Tanda dan gejala RHS meliputi : Ruam merah yang menyakitkan dengan lepuh berisi cairan di gendang telinga, saluran telinga eksternal, bagian luar telinga, atap dari mulut (langit-langit) atau lidah. Kelemahan (kelumpuhan) pada sisi yang sama seperti telinga yang terinfeksi Kesulitan menutup satu mata Sakit telinga Pendengaran bekurang Dering di telinga (tinnitus) Vertigo Perubahan dalam persepsi rasa 2. Miller Fisher Syndrom Miller Fisher Syndrom adalah varian dari Guillain Barre Syndrome yang jarang dijumpai. Miller Fisher Syndrom ditandai dengan trias gejala neurologis berupa opthalmoplegi, ataksia, dan arefleksia yang kuat. Pada Miller Fisher Syndrome didapatkan double vision akibat kerusakan nervus cranial yang menyebabkan kelemahan otot oto mata. Selain itu kelemahan nervus facialis menyebabkan kelemahan oto wajah tipe perifer. Kelumpuhan nervus facialis tipe perifer pada Miller Fisher Syndrom menyerang otot wajah bilateral. Gejala lain bisa didapatkan rasa kebas, pusing dan mual. 3. Miastenia Gravis 4. SOL Intrakranial PROGNOSIS Sembuh spontan pada 75-90% dalam beberapa minggu atau dalam 1-2 bulan. Kira-kira 10-15% sisanya akan memberikan gambaran kerusakan yang permanen. KOMPLIKASI 1. Crocodile tear phenomenon Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar lakrimal. Lokasi lesi di sekitar kelenjar ganglion genikulatum.

2. Synknsis Dalam hal ini ini otot-otot dapat digerakan satu per satu atau tersendiri, selalu timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut. Kontraksi plastisma, atau berkerutnya dahi. Penyebabnya adalah innervasi yang salah. Serabut saraf yang mengalami regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah. 3. Hemifacial spasme Timbul kedutan pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal hanya mengenai pada satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat menggenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini. komplikasi terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian. 4. Kontraktur Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan nasolabialis lebih jelas terlihat pada sisi lumpuh disbanding pada sisi yang sehat. Terjadi bila kembalinya fungsi sangat lambat. Kontraktur tidak tampak pada waktu otot wajah istirahat, tetapi menjadi jelas saat otot wajah bergerak. TERAPI 1. Terapi medikamentosa : Golongan kortikosteroid sampai sekarang masih kontroversi juga dalam diberikan neurotropik. 2. Terapi operatif : tindakan bedah dekompresi masih kontroversi. 3. Rehabilitasi medik

Anda mungkin juga menyukai