PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) banyak ditemukan di daerah tropis dan
subtropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama
dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak
tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat
negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara
selain India dan Myanmar (WHO, 2009; Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi
Kementrian Kesehatan RI, 2010).
Indonesia adalah negara kepulauan beriklim tropis terdiri dari 17.508
pulau dengan 34 propinsi dan 447 kabupaten yang memiliki daya dukung
lingkungan optimal untuk pertumbuhan keanekaragaman flora dan fauna. Jenis
fauna yang berkembang dengan baik adalah serangga termasuk nyamuk aedes
aegepty. Nyamuk aedes aegepty merupakan vektor dari penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) (WHO, 2009). Hampir seluruh wilayah Indonesia
memiliki resiko tertular DBD, kecuali daerah yang memiliki ketinggian lebih dari
1000 meter diatas permukaan laut.
Pada tahun 2011, di Indonesia ada 58.065 kasus, terjadi pada orang yang
berumur > 15 tahun (55,1 %). Kematian pada kelompok umur 10-14 tahun
(26,1%) dan > 15 tahun (26,1%). Jumlah kasus baru pada suatu populasi selama
waktu tertentu atau Incidence Rate/IR/AI/angka insidensi DBD tahun 2011 di
Indonesia adalah 24,44/100.000 penduduk. Case fatality Rate/CFR DBD tahun
2011 diperoleh dari jumlah individu yang mati karena penyakit DBD yaitu 504
dibagi dengan jumlah individu yang mengalami penyakit tersebut sehingga
diperoleh CFR: 0,87% (WHO, 2012)
Demam berdarah dengue selama enam tahun terakhir mengalami
peningkatan, termasuk juga di Provinsi Bengkulu. Kondisi tersebut disebabkan
oleh kepadatan dan mobilitas penduduk sehubungan sarana transportasi lebih
baik, sehingga penyebaran virus lebih luas. Daerah yang padat penduduknya
memudahkan terjadinya penularan penyakit DBD hal ini disebabkan oleh sifat
multiple-bitting
(kebiasaaan
menggigit
berulang-ulang)
dari
nyamuk
(WHO,2005).
Pada tahun 2008 di Kota Bengkulu terdapat 132 kasus DBD, tahun 2009
terdapat 247 kasus, tahun 2010 terdapat 351 kasus, dan tahun 2011 terdapat 403
kasus (Dinas Kesehatan Kota Bengkulu, 2011). Kota Bengkulu turut berkontribusi
dalam peningkatan kasus DBD di Provinsi Bengkulu. Tahun 2008 sampai dengan
tahun 2011 di Kota Bengkulu terjadi peningkatan kasus DBD. Pertumbuhan
penduduk yang cukup tinggi, urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali,
tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis dan
peningkatan sarana transportasi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi
peningkatan dan penyebaran kasus DBD (Gubler, 2010)
Indonesia sudah melakukan pengendalian secara kimiawi terhadap vektor
DBD dengan fogging atau pengasapan dengan menggunakan insektisida malation
pada tahun 1969. Tahun 1980 insektisida temefos digunakan untuk pengendalian
jentik nyamuk aedes aegepty. Strategi pengendalian DBD yang digunakan di Kota
Bengkulu melalui pengasapan / fogging menggunakan insektisida malation
dilakukan 22 tahun. Kegiatan pengasapan dilakukan di rumah kasus DBD dan
disekitar rumah kasus (radius 100m). Larvasida dengan menggunakan
insektisida bahan aktif temefos 1% yang ditaburkan ke tempat penampungan air
penggunaannya di Kota Bengkulu belum diperoleh data yang pasti tapi
diperkirakan sekitar tahun 1980. Temefos yang biasa didistribusikan dengan
merek dagang abate 1 G digunakan dengan dosis anjuran 1 gr/10 liter ( 1 gr
temefos 1% dimasukkan dalam 10 liter air).
Metode fogging maupun larvasida belum memperlihatkan hasil yang
memuaskan karena pada saat pengasapan tidak semua aedes aegepty terbunuh
tetapi masih ada yang hidup karena nyamuk berhasil menghindar dari insektisida
atau dosis insektisida yang kontak dengan nyamuk tidak mencukupi. Akibatnya
nyamuk tersebut menjadi resisten dan resistensi itu diturunkan kepada
keturunannya.
menaburkan
bubuk
larvasida,
memasang
kawat
kassa,
1.4.3
1.4.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEMAM BERDARAH DENGUE
2.1.1 Definisi
2.1.2
Mekanisme Penularan
Patogenesis DBD
1) Sistem vaskuler
Hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah yang ditimbulkan oleh
kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler akibat peningkatan akut
permeabilitas vaskuler merupakan patofisiologi primer DBD dan Dengue Shock
Syndrome (DSS). Dikutip dari Gubler D.J. (1998) dalam Soegijanto H.S. (2006),
pada kasus-kasus berat terjadi penurunan volume plasma lebih dari 20% dan hal
ini
didukung
dengan
penemuan
efusi
pleura,
hemokonsentrasi,
dan
hipoproteinemi pada post mortem. Tidak terjadi lesi destruktif yang menetap pada
vaskuler menunjukkan kelainan vaskuler hanya bersifat sementara yang
diakibatkan oleh suatu mediator respon tubuh. Tiga faktor yang terlibat dalam
perubahan hemostasis pada DBD dan DSS adalah perubahan vaskuler,
trombositopeni, dan kelainan koagulasi.
2) Sistem respon imun
Reaksi tubuh terhadap masuknya virus menimbulkan manifestasi klinis
demam Dengue. Virus yang masuk akan berkembang biak di dalam sistem
sirkulasi darah yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung selama
5 hingga 7 hari. Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap virus dan
makrofag menjadi APC (Antigen Presenting Cell). Antigen yang dipaparkan oleh
makrofag tersebut akan mengaktifasi sel T-helper dan menarik makrofag lain
untuk memfagosit lebih banyak virus. Selanjutnya sel T-helper akan mengaktifasi
sel T-sitotoksik untuk melisis makrofag yang sudah memfagosit virus. Selain itu,
sel T-helper juga mengaktifkan sel B yang akan memproduksi antibodi antara lain
antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi, dan antibodi fiksasi komplemen.
Pada umumnya antibodi yang muncul adalah IgG dan IgM yang mulai terbentuk
pada infeksi primer, dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang telah ada
meningkat (booster effect) (Soegijanto H.S., 2006).
Antibodi terhadap virus dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam
hari kelima, kemudian akan meningkat pada minggu pertama sampai ketiga, dan
menghilang setelah 2 hingga 3 bulan. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik
kadar IgM, oleh karena itu antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan
sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14,
sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari ke-2. Oleh karena
itu diagnosis dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi
antibodi IgM setelah sakit hari ke -5, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan
lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG dan IgM yang cepat (Gubler
D.J. et al., 1994 dalam Soegijanto H.S., 2006).
Hipotesis immune enhancement menjelaskan secara tidak langsung
bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko
berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi heterolog yang telah
ada akan mengenali virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi
yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag.
Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok (Chen K. et al., 2009)
Muntah berkepanjangan
Perdarahan mukosa
Letargi, lemah
10
2.1.6
Pemeriksaan Laboratorium
Saat ini terdapat beberapa teknik untuk mendeteksi infeksi virus dengue
yaitu kultur dan isolasi virus, RT-PCR (Reverse Transcription Polymerase Chain
Reaction), serologi(IgM dan IgG anti Dengue) dan pemeriksaan hematologi rutin.
1) NS1 Antigen
NS1 adalah glikoprotein nonstrukturaldengan berat molekul 46-50 kD dan
merupakan glikoprotein yang sangat conserved. Pada awalnya NS1 digambarkan
sebagai antigen Soluble Complement Fixing (SCF) pada kultur sel yang terinfeksi.
NS1 diperlukan untuk kelangsungan hidup virus namun belum diketahui aktivitas
biologisnya. Dari bukti yang sudah ada menunjukkan bahwa NS1 terlibat dalam
proses replikasi virus. NS1 sendiri dihasilkan dalam 2 bentuk yaitu membran
associated dan secreted form. Selama infeksi sel, NS1 ditemukan berkaitan
dengan organel-organel intrasel atau ditransfer melalui jalur sekresi ke permukaan
sel (membran sitoplasma). NS1 bukan bagian dari struktur virus tapi
diekspresikan pada permukaan sel yang terinfeksi dan memiliki determinandeterminan yang spesifik group dan tipenya.peran NS1 dalam imunopatogenesis
juga telah disampaikan berdasarkan temuan anti-SCF antibodies dalam serum
pasien-pasien dengan infeksi sekunder tapi tidak pada infeksi primer. NS1 dengue
disekresikan ke dalam sistem sirkulasi darah. Sensitivitas pemeriksaan NS1
optimal hari ke 0-48.
2) IgM dan IgG
Pemeriksaan serologi IgM dan IgG antidengue yang secara rutin dan
relatif
mudah
dikerjakan
masih
mempunyai
keterbatasan
yaitu
11
deteksi IgG menjadi sangat penting. Kadar antibodi IgG akan cepat meningkat
karena telah adanya memori antigen dengue.
Penatalaksanaan
Tata laksana DBD sebaiknya berdasarkan berat ringanya penyakit yang
12
2.1.8 Pencegahan
Pencegahan penyakit DBD dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu
pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.
1) Pencegahan primer
Pencegahan
tingkat
pertama
ini
merupakan
upaya
untuk
mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang
sehat menjadi sakit.
a) Surveilans Vektor
Surveilans untuk nyamuk Aedes aegypti untuk menentukan distribusi,
kepadatan populasi, habitat utama larva, faktor resiko untuk memprioritaskan
wilayah dan musim untuk pelaksanaan pengendalian vektor. Salah satu kegiatan
yang dilakukan adalah survei jentik. Ukuran-ukuran yang dipakai untuk
mengetahui kepadatan jentik Aedes aegypti adalah House Indeks (HI), Container
Indeks (CI), Breteau Indeks (BI),dan Angka Bebas Jentik (ABJ). House Indeks
(HI), yaitu persentase rumah yang terjangkit larva dan atau pupa. Container
Indeks (CI), yaitu persentase container yang terjangkit larva atau pupa. Breteau
Indeks (BI), yaitu jumlah container yang positif per-100 rumah yang diperiksa.
Dari ukuran di atas dapat diketahui persentase Angka Bebas Jentik (ABJ), yaitu
jumlah rumah yang tidak ditemukan jentik per jumlah rumah yang diperiksa.
b) Pengendalian Vektor
Pengendalian vektor adalah upaya untuk menurunkan kepadatan populasi
nyamuk Aedes aegypti. Secara garis besar ada 3 cara pengendalian vektor yaitu :
(i) Pengendalian Cara Kimiawi
Pada pengendalian kimiawi digunakan insektisida untuk larva Aedes
aegypti yaitu dari golongan organofosfor (Temephos) dalam bentuk sand granules
yang larut dalam air di tempat perindukan nyamuk atau sering disebut dengan
abatisasi. Dosis yang digunakan adalah 1ppm atau 10 gram ( 1 sendok makan
peres) untuk tiap 100 liter air yang mempunyai efek 3 bulan. Selama 3 bulan bila
tempat penampungan tersebut akan dibersihkan atau diganti airnya maka jangan
menyikat bagian dalam dinding penampungan air.
13
Pengendalian Lingkungan
Pengendalian lingkungan dilakukan untuk mencegah nyamuk kontak
dengan manusia yaitu memasang kawat kasa pada pintu, lubang jendela, dan
ventilasi di seluruh bagian rumah.
2)Pencegahan sekunder
a) Penemuan, Pertolongan dan Pelaporan Penderita dengan cara :
i. Bila dalam keluarga ada yang menunjukkan gejala penyakit DBD, berikan
pertolongan pertama dengan banyak minum, kompres dingin dan berikan obat
penurun panas yang tidak mengandung asam salisilat serta segera bawa ke
dokter atau unit pelayanan kesehatan.
ii.Dokter atau unit kesehatan setelah melakukan pemeriksaan atau diagnosa dan
pengobatan segaera melaporkan penemuan penderita atau tersangka DBD
tersebut kepada Puskesmas, kemudian pihak Puskesmas yang menerima laporan
segera melakukan penyelidikan epidemiologi dan pengamatan penyakit dilokasi
penderita dan rumah disekitarnya untuk mencegah kemungkinan adanya
penularan lebih lanjut.
iii.Kepala Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan epidemiologi dan kejadian
luar biasa (KLB) kepada Camat, dan Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten, disertai
dengan cara penanggulangan seperlunya.
b) Diagnosis
c) Pengobatan Penderita DBD
d) Penyelidikan Epidemiologi (PE)
Penyelidikan Epidemiologi adalah kegiatan pencarian penderita/tersangka
DBD lainnya dan pemeriksaan jentik rumah, yang dilakukan dirumah penderita
14
15
fogging juga
berdampak buruk bagi keseimbangan ekosistem. Selain itu asap fogging secara
tidak langsung juga bisa menempel pada makanan, bantal, dan barang pribadi lain
16
17
BAB III
METODE
18
mulai pukul 08.00 WIB hingga 11.00 WIB. Tempat penyuluhan adalah kantor
kelurahan dan Ruang kuliah fakultas Fisipol Universitas Bengkulu
3.3 Target Sasaran
Sasaran pada kegiatan ini adalah seluruh masyarakat di wilayah kerja
Puskesmas beringin Raya.
3.4 Media Penyajian Data
Media yang digunakan dalam kegiatan ini adalah slide (powerpoint) serta
leaflet.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.PROFIL PUSKESMAS BERINGIN RAYA
Puskesmas Perawatan Beringin Raya merupakan puskesmas induk
yang berada dalam wilayah kelurahan Beringin Raya Kecamatan Muara
19
kerjanya, yakni :
Kelurahan Beringin Raya ( 131,6km2)
Kelurahan Kandang Limun (422,7km2)
Kelurahan Rawa Makmur (150km2)
Kelurahan Rawa Makmur Permai (158km2)
Kependudukan
Penduduk dalam wilayah kerja Puskesmas Beringin Raya pada tahun 2014
berjumlah 25.453 jiwa yang komposisinya cukup beragam dalam suku,
bahasa, adat istiadatnya, mata pencaharian dan lain-lain.
Tabel 1. Proporsi jumlah penduduk/kelurahan tahun 2014
No
Kelurahan
Jiwa
Jumlah
Rata-rata
RT
Rumah
jiwa
Tangga
rumah
7
131,6 km2
Luas
RW
Wilayah
1.
Beringin
2830
760
tangga
4
2.
Raya
Rawa
8552
2.075
19
150 km2
3.
makmur
Rawa
5922
1.532
15
158 km2
Permai
Kandang
7086
1.919
21
422,7km2
Limun
Jumlah
24.390
6.286
62
862,3 km2
14
makmur
4.
Batas Wilayah
Sebelah Utara
Utara
Sebelah Timur
Sungai serut
Sebelah Barat
20
4.1.2
Data Kependudukan
1.
Jumlah Penduduk
: 24.390
Jiwa
2.
Luas Wilayah
: 862,3
Km2
3.
Jumlah Sekolah
- PAUD
:4
Unit
- TK
:3
Unit
- SD
:5
Unit
- SMP
:1
Unit
- SMA
:-
Unit
- Perguruan Tinggi
:1
Unit
4.
:-
Unit
5.
: 28
Unit
- Musholla/Surau
:3
Unit
- Gereja
:-
Unit
- Vihara
:-
Unit
- Kafe
:-
Buah
- Resroran/Rumah Makan
: 36
Buah
- Industri Kecil
: 53
Buah
- Taman Rekreasi
:-
Buah
6.
4.1.3
Ketenagaan
Jumlah tenaga kerja di wilayah Puskesmas Beringin Raya 50 orang yang
terdiri dari 29 orang pegawai PNS, 9 orang bidan honorer, dan 12 pegawai TKS.
4.1.4
Sarana Kesehatan
Rumah Sakit
:-
unit
21
4.1.5
4.1.6
Rumah Bersalin
Puskesmas
Puskesmas Pembantu
Praktek Bidan
Praktek Dokter
::1
:2
: 13
:1
unit
unit
unit
unit
unit
:47
:: 11
orang
orang
orang
Bangunan Fisik
Ruang Ka.Puskesmas, Ruang TU, Ruang Laboratorium,Apotik, Loket,
Ruang Imunisasi, Ruang Poli Umum, Ruang Poli Gigi, Ruang KIA, Ruang Poned,
Ruang UGD, Ruang Rawat Inap, Ruang Gizi, Toilet, Gudang Obat, Rumah Dinas
Dokter, dan Rumah dinas Paramedis.
4.1.7
Potensi
Dalam menjalankan fungsinya Puskesmas Beringin Raya melaksanakan
Program
1. Upaya Kesehatan Wajib Yaitu :
a. Promosi Kesehatan
b. Upaya Penyehatan Lingkungan
c. Upaya Perbaikan Gizi
d. Kesehatan Ibu dan Anak
e. Pelayanan KB
f. Pemberantasan Penyakit Menular
g. Pengobatan
2. Sedangkan Upaya Pengembangan adalah :
a. UKS/UKGS
b. Usaha Kesehatan Jiwa
c. Usaha Kegiatan Gigi dan Mulut
d. PHN
22
30
25
20
15
10
5
0
2012
2013
2014
23
Penyelidikan Epidemiologi
Ada penderita DBD lain atau ada jentik dan ada penderita panas* 3
Ya
Penyuluhan
PSN**
Foging radius 200 m
Tidak
Penyuluhan
PSN**
24
BAB V
DISKUSI
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang banyak
ditemukan di negara tropis termasuk Indonesia. Penyakit ini disebabkan
oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang
ditandai dengan demam mendadak dua sampai tujuh hari tanpa
penyebab yang jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri hulu hati, disertai
tanda perdarahan dikulit berupa petechie, purpura, echymosis,
epistaksis,
perdarahan
gusi,
hematemesis,
melena,
Dirjen
No.
451/
91
tentang
Pedoman
penyelidikan
Dan
25
1. Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak
dikenal
2. Peningkatan kejadian penyakit atau kematian terus menerus selama tiga
kurun waktu berturut-turut menurut jenis penyakitnya
3. Peningkatan kejadian penyakit atau kematian dua kali lipat atau lebih
dibandingkan dengan periode sebelumnya ( jam, hari, minggu, bulan,
tahun)
4. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukan kenaikan dua kali
lipat atau lebih bila dibandngkan dengan angka rata-rata per bulan dalam
tahun sebelumnya.
Kasus DBD diwilayah kerja puskesmas Beringin Raya dalam hal ini
sudah memenuhi tiga kriteria di atas yaitu pada poin 2, 3, dan 4.
Berdasarkan survei dan analisa yang kami lakukan, Puskesmas Beringin
Raya memiliki angka kasus yang tinggi dikarenakan terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian penyakit DBD, antara lain agent, host, environtment.
Pada faktor agen diketahui bahwa di wilayah kerja puskesmas Beringin Raya
memang terdapat virus dengue yang merupakan penyebab penyakit DBD. Hal ini
terbukti dari terdapatnya pasien yang didiagnosa menderita DBD. Ada 4 serotipe
yang tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia, dan bersirkulasi sepanjang tahun,
yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4. Virus tersebut dipertahankan siklusnya
didalam tubuh nyamuk, yaitu nyamuk Aedes aegypti, dan albopictus.
Faktor yang ke dua adalah faktor host, yaitu
manusia yang
26
Faktor
selanjutnya
adalah
faktor
environtment
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 KESIMPULAN
a. DBD merupakan masalah kita bersama,mengingat begitu kompleksnya
masalah penularan DBD, maka perlu peran berbagai sektor dan masyarakat
untuk memberantasnya
b. Peningkatan kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas Beringin Raya sangat
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu agent, host, environtment.
c. Upaya penanggulangan penyakit DBD yang tepat, efektif, dan efisien adalah
pengendalian vektor dengan melaksanakan Gerakan Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN) yang serempak dan berkelanjutan.
27
6.2 Saran
a. Sosialisasi mengenai penyakit DBD dan PSN 3M Plus hendaknya dilakukan
secara berkala agar masyarakat tetap ingat dan semakin paham mengenai
pencegahan DBD.
b. Puskesmas hendaknya mempersiapkan sarana dan prasarana serta
sumberdaya tenaga kesehatan di lingkungan wilayah kerja Puskesmas
Beringin Raya
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. 2009. DENGUE Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention,
and Control New Edition. WHO
2. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan RI, 2010.
Demam Brdarah Dengue di Inodesia Tahun 1968-2009. Buletin Jendela
Epidemiologi Volume 2, Agustus 2010 . hal 1
3. Subdirektorat Pengedalian Arbovirosis. 2011. Tatalaksana Demam
Berdarah Dengue Di Indonesia, , 2011. Ditjen PP&PL Kementrian
Kesehatan RI
4. Anggraini, D.S., 2010, Stop Demam Berdarah Dengue, Bogor, Cita Insan
Madani
5. Suhendro, Nainggolan, Chen, Pohan. 2006. Demam Berdarah Dengue.
Disunting oleh Sudoyo, Setyohadi, Alwi, Simadibrata, dan
28
29