Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) banyak ditemukan di daerah tropis dan
subtropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama
dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak
tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat
negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara
selain India dan Myanmar (WHO, 2009; Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi
Kementrian Kesehatan RI, 2010).
Indonesia adalah negara kepulauan beriklim tropis terdiri dari 17.508
pulau dengan 34 propinsi dan 447 kabupaten yang memiliki daya dukung
lingkungan optimal untuk pertumbuhan keanekaragaman flora dan fauna. Jenis
fauna yang berkembang dengan baik adalah serangga termasuk nyamuk aedes
aegepty. Nyamuk aedes aegepty merupakan vektor dari penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) (WHO, 2009). Hampir seluruh wilayah Indonesia
memiliki resiko tertular DBD, kecuali daerah yang memiliki ketinggian lebih dari
1000 meter diatas permukaan laut.
Pada tahun 2011, di Indonesia ada 58.065 kasus, terjadi pada orang yang
berumur > 15 tahun (55,1 %). Kematian pada kelompok umur 10-14 tahun
(26,1%) dan > 15 tahun (26,1%). Jumlah kasus baru pada suatu populasi selama
waktu tertentu atau Incidence Rate/IR/AI/angka insidensi DBD tahun 2011 di
Indonesia adalah 24,44/100.000 penduduk. Case fatality Rate/CFR DBD tahun
2011 diperoleh dari jumlah individu yang mati karena penyakit DBD yaitu 504
dibagi dengan jumlah individu yang mengalami penyakit tersebut sehingga
diperoleh CFR: 0,87% (WHO, 2012)
Demam berdarah dengue selama enam tahun terakhir mengalami
peningkatan, termasuk juga di Provinsi Bengkulu. Kondisi tersebut disebabkan
oleh kepadatan dan mobilitas penduduk sehubungan sarana transportasi lebih
baik, sehingga penyebaran virus lebih luas. Daerah yang padat penduduknya

memudahkan terjadinya penularan penyakit DBD hal ini disebabkan oleh sifat
multiple-bitting

(kebiasaaan

menggigit

berulang-ulang)

dari

nyamuk

(WHO,2005).
Pada tahun 2008 di Kota Bengkulu terdapat 132 kasus DBD, tahun 2009
terdapat 247 kasus, tahun 2010 terdapat 351 kasus, dan tahun 2011 terdapat 403
kasus (Dinas Kesehatan Kota Bengkulu, 2011). Kota Bengkulu turut berkontribusi
dalam peningkatan kasus DBD di Provinsi Bengkulu. Tahun 2008 sampai dengan
tahun 2011 di Kota Bengkulu terjadi peningkatan kasus DBD. Pertumbuhan
penduduk yang cukup tinggi, urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali,
tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis dan
peningkatan sarana transportasi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi
peningkatan dan penyebaran kasus DBD (Gubler, 2010)
Indonesia sudah melakukan pengendalian secara kimiawi terhadap vektor
DBD dengan fogging atau pengasapan dengan menggunakan insektisida malation
pada tahun 1969. Tahun 1980 insektisida temefos digunakan untuk pengendalian
jentik nyamuk aedes aegepty. Strategi pengendalian DBD yang digunakan di Kota
Bengkulu melalui pengasapan / fogging menggunakan insektisida malation
dilakukan 22 tahun. Kegiatan pengasapan dilakukan di rumah kasus DBD dan
disekitar rumah kasus (radius 100m). Larvasida dengan menggunakan
insektisida bahan aktif temefos 1% yang ditaburkan ke tempat penampungan air
penggunaannya di Kota Bengkulu belum diperoleh data yang pasti tapi
diperkirakan sekitar tahun 1980. Temefos yang biasa didistribusikan dengan
merek dagang abate 1 G digunakan dengan dosis anjuran 1 gr/10 liter ( 1 gr
temefos 1% dimasukkan dalam 10 liter air).
Metode fogging maupun larvasida belum memperlihatkan hasil yang
memuaskan karena pada saat pengasapan tidak semua aedes aegepty terbunuh
tetapi masih ada yang hidup karena nyamuk berhasil menghindar dari insektisida
atau dosis insektisida yang kontak dengan nyamuk tidak mencukupi. Akibatnya
nyamuk tersebut menjadi resisten dan resistensi itu diturunkan kepada
keturunannya.

Pemberantasan sarang nyamuk (PSN) merupakan salah satu upaya yang


dilakukan untuk mencegah terjadinya penularan DBD dengan program 3 M plus
yaitu kegiatan (menguras tempat penampungan air secara teratur, menutup
tempat-tempat penampungan air dan mengubur barang-barang bekas yang dapat
menjadi sarang nyamuk) diperluas dengan mengganti air vas bunga, tempat
minum burung atau tempat lainnya yang sejenis seminggu sekali, memperbaiki
talang air yang tidak tidak lancar, menutup lubang pada pada potongan
bambu/pohon,

menaburkan

bubuk

larvasida,

memasang

kawat

kassa,

mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruangan. Diperluas dengan upaya


mengurangi kontak manusia dengan serangga vektor dengan penggunaan kelambu
pada saat tidur siang, memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk, dan
menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam ruangan rumah.
1.2 Pernyataan Masalah
a. Peningkatan jumlah kasus Demam Berdarah Dengue di wilayah kerja
Puskesmas Beringin Raya.
b. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN) untuk mencegah dan mengatasi penyakit demam
berdarah dengue.
1.3 Tujuan
a. Membantu mencegah meluasnya kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas
Beringin Raya.
b. Meningkatkan pengetahuan masyarakat dusun Brajan, desa Kaliancar
mengenai pentingnya Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) untuk
mencegah dan mengatasi penyakit demam berdarah dengue.
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Bagi Masyarakat
a. Meningkatkan pengetahuan mengenai penyebab, penyebaran, gejala,
pencegahan, dan pengobatan DBD.
b. Memiliki kesadaran untuk melakukan PSN terutama 3M (menguras,
mengubur, dan menutup) plus secara kotinyu dan serempak

c. Membantu masyarakat dalam upaya menurunkan jumlah kasus DBD


di wilayah kerja Puskesmas Beringin Raya.
1.4.2

Manfaat Bagi Puskesmas


a. Membantu melaksanakan program promosi kesehatan puskesmas
mengenai PSN terutama 3M (menguras, mengubur, dan menutup)
plus.
b. Membantu puskesmas dalam upaya menurunkan jumlah kasus DBD di
wilayah kerja Puskesmas Beringin Raya.

1.4.3

Manfaat Bagi Pemerintah


a. Membantu melaksanakan program promosi kesehatan masyarakat
mengenai PSN terutama 3M (menguras, mengubur, dan menutup) plus.
b. Membantu pemerintah dalam upaya menurunkan jumlah kasus DBD di
Indonesia.

1.4.4

Manfaat Bagi Penulis


a. Memperdalam dan memperbaharui pengetahuan mengenai DBD
b. Menambah pengalaman dalam masalah ilmu kesehatan masyarakat
terutama mengenai masalah DBD yang terjadi di masyarakat baik
masyarakat luas maupun di wilayah kerja Puskesmas Beringin Raya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEMAM BERDARAH DENGUE
2.1.1 Definisi

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang


disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti.
Penyakit ini dapat terjadi pada semua kelompok umur terutama pada anak-anak
kurang dari 15 tahun (Anggraini, 2010)

2.1.2

Etiologi dan Vektor Penularan


Etiologi DBD adalah virus Dengue yang merupakan bagian dari famili

flaviviridae. Keempat serotipe virus Dengue (DEN-1, DEN-2,DEN-3, DEN-4) dapat


dibedakan dengan metode serologi. Infeksi pada manusia oleh salah satu serotipe
menghasilkan imunitas sepanjang hidup terhadap infeksi ulang oleh serotipe yang
sama, tetapi hanya menjadi perlindungan sementara terhadap serotipe yang lain. 3
Seseorang akan kebal seumur hidup terhadap serotip yang menyerang pertama kali,
namun hanya akan kebal dalam waktu 6 bulan - 5 tahun terhadap serotipe virus
Dengue lain (Sembel, 2009; Anggraini, 2010)

Vektor penularan penyakit ini adalah Aedes aegypti maupun Aedes


albopictus merupakan vektor penularan virus Dengue dari penderita kepada orang
lain melalui gigitan. Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor penting di daerah
perkotaan (daerah urban) sedangkan di pedesaan (daerah rural) kedua jenis spesies
nyamuk Aedes tersebut berperan dalam penularan. Namun Aedes Aegypti
berkembang biak di tempat lembab dan genangan air bersih. Sedangkan Aedes
albopictus berkembang biak di lubang-lubang pohon, dalam potongan bambu dan
genangan air lainnya. Pertumbuhan dan perkembangan telur sampai nyamuk
dewasa memerlukan waktu kurang lebih 7-14 hari1 (Chahaya, I., 2003;
Sembel, 2009,Anggraini, D.S., 2010).

Gambar 1. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti5


2.1.3

Mekanisme Penularan

Gambar 2. Cara Penularan DBD41


Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti, nyamuk Aedes aegypti tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat
menggigit manusia yang sedang mengalami viremi. Kemudian virus yang berada
di kelenjer liur akan berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation

period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada gigitan


berikutnya. Di tubuh manusia, virus membutuhkan waktu masa tunas 4-6 hari
(intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari
manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang
sedang mengalami viremi (Sembel, 2009; Anggraini, 2010)
2.1.4

Patogenesis DBD

1) Sistem vaskuler
Hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah yang ditimbulkan oleh
kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler akibat peningkatan akut
permeabilitas vaskuler merupakan patofisiologi primer DBD dan Dengue Shock
Syndrome (DSS). Dikutip dari Gubler D.J. (1998) dalam Soegijanto H.S. (2006),
pada kasus-kasus berat terjadi penurunan volume plasma lebih dari 20% dan hal
ini

didukung

dengan

penemuan

efusi

pleura,

hemokonsentrasi,

dan

hipoproteinemi pada post mortem. Tidak terjadi lesi destruktif yang menetap pada
vaskuler menunjukkan kelainan vaskuler hanya bersifat sementara yang
diakibatkan oleh suatu mediator respon tubuh. Tiga faktor yang terlibat dalam
perubahan hemostasis pada DBD dan DSS adalah perubahan vaskuler,
trombositopeni, dan kelainan koagulasi.
2) Sistem respon imun
Reaksi tubuh terhadap masuknya virus menimbulkan manifestasi klinis
demam Dengue. Virus yang masuk akan berkembang biak di dalam sistem
sirkulasi darah yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung selama
5 hingga 7 hari. Makrofag akan segera bereaksi dengan menangkap virus dan
makrofag menjadi APC (Antigen Presenting Cell). Antigen yang dipaparkan oleh
makrofag tersebut akan mengaktifasi sel T-helper dan menarik makrofag lain
untuk memfagosit lebih banyak virus. Selanjutnya sel T-helper akan mengaktifasi
sel T-sitotoksik untuk melisis makrofag yang sudah memfagosit virus. Selain itu,
sel T-helper juga mengaktifkan sel B yang akan memproduksi antibodi antara lain
antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi, dan antibodi fiksasi komplemen.
Pada umumnya antibodi yang muncul adalah IgG dan IgM yang mulai terbentuk

pada infeksi primer, dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang telah ada
meningkat (booster effect) (Soegijanto H.S., 2006).
Antibodi terhadap virus dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam
hari kelima, kemudian akan meningkat pada minggu pertama sampai ketiga, dan
menghilang setelah 2 hingga 3 bulan. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik
kadar IgM, oleh karena itu antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan
sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14,
sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari ke-2. Oleh karena
itu diagnosis dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi
antibodi IgM setelah sakit hari ke -5, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan
lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG dan IgM yang cepat (Gubler
D.J. et al., 1994 dalam Soegijanto H.S., 2006).
Hipotesis immune enhancement menjelaskan secara tidak langsung
bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko
berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi heterolog yang telah
ada akan mengenali virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi
yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag.
Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok (Chen K. et al., 2009)

2.1.5 Manifestasi Klinis


Infeksi virus DEN dapat menghasilkan beberapa tingkatan dari
keparahan penyakit mulai dari infeksi asimtomatik, seperti keadaan flu (dengue
fever) sampai dengan kondisi hemoragik yang dikarakterisasikan dengan
kebocoran plasma dan perdarahan hingga menyebabkan komplikasi kematian.
Oleh karena gejala DBD sangat bervariasi, maka WHO membagi 4 derajat:
Derajat I : Demam disertai gejala-gejala umum yang tidak khas dan
manifestasi perdarahan spontan satu-satunya adalah uji
tourniquet positif.
Derajat II : Gejala gejala derajat I, disertai gejala-gejala perdarahan kulit
spontan atau manifestasi perdarahan yang lebih berat.
Derajat III: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,
hipotensi, sianosis disekitar mulut, kulitdingin dan lembab,
gelisah,
Derajat IV: Shock berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak
terukur (Asih, 1999).
Kriteria dengue antara lain :
1) Kriteria dengue tanpa/dengan tanda bahaya (dengue probable)
a) Bertempat tinggal di /bepergian ke daerah endemik dengue
b) Demam tinggi mendadak 2-7 hari disertai 2 dari hal berikut :
- Mual, muntah
- Ruam
- Sakit dan nyeri
- Uji torniket positif
- Lekopenia
- Adanya tanda bahaya
c) Tanda bahaya adalah :
-

Nyeri perut atau kelembutannya

Muntah berkepanjangan

Terdapat akumulasi cairan

Perdarahan mukosa

Letargi, lemah

Pembesaran hati > 2 cm

Kenaikan hematokrit seiring dengan penurunan jumlah trombosit


yang cepat. Dengue dengan konfirmasi laboratorium (penting bila
bukti kebocoran plasma tidak jelas)

2) Kriteria dengue berat


a) Kebocoran plasma berat, yang dapat menyebabkan syok (DSS),
akumulasi cairan dengan distress pernafasan.
b) Perdarahan hebat, sesuai pertimbangan klinisi
c) Gangguan organ berat, hepar (AST atau ALT 1000, gangguan
kesadaran, gangguan jantung dan organ lain)6.
Untuk mengetahui adanya kecenderungan perdarahan dapat dilakukan uji
tourniquet, walaupun banyak faktor yang mempengaruhi uji ini tetapi sangat
membantu diagnosis, sensitivitas uji ini sebesar 30% sedangkan spesifisitasnya
mencapai 82 %. Uji Torniquet dinyatakan positif, jika terdapat 10 atau lebih
Petekie pada kulit seluas 1 inci persegi (2,5 x 2,5 cm) di lengan bawah bagian
depan (volar) dekat lipat siku (fossa cubiti) (WHO, 2009)
Pada penelitian yang terbaru, terbukti dengan melakukan pemeriksaan
IL10, hitung jumlah trombosit dan hitung jumlah limfosit dari pasien akut dapat
dilakukan deteksi dini dari DBD. Pada penelitian tersebut dinyatakan bahwa
infeksi dengue (dengue fever) memiliki karakteristik yang spesifik yaitu
peningkatan jumlah trombosit (> 147.5 +103/mL). Sedangkan bila hitung jumlah
trombosit rendah (< 147.5 +103/mL) dan tingginya IL10 kemungkinan pasien
tersebut DBD. Sedangkan pada kelompok dengan hitung jumlah trombosit, IL10
dan limfosit yang rendah (<50,50) kemungkinan terjadi DF maupun DBD7.

10

2.1.6

Pemeriksaan Laboratorium
Saat ini terdapat beberapa teknik untuk mendeteksi infeksi virus dengue

yaitu kultur dan isolasi virus, RT-PCR (Reverse Transcription Polymerase Chain
Reaction), serologi(IgM dan IgG anti Dengue) dan pemeriksaan hematologi rutin.
1) NS1 Antigen
NS1 adalah glikoprotein nonstrukturaldengan berat molekul 46-50 kD dan
merupakan glikoprotein yang sangat conserved. Pada awalnya NS1 digambarkan
sebagai antigen Soluble Complement Fixing (SCF) pada kultur sel yang terinfeksi.
NS1 diperlukan untuk kelangsungan hidup virus namun belum diketahui aktivitas
biologisnya. Dari bukti yang sudah ada menunjukkan bahwa NS1 terlibat dalam
proses replikasi virus. NS1 sendiri dihasilkan dalam 2 bentuk yaitu membran
associated dan secreted form. Selama infeksi sel, NS1 ditemukan berkaitan
dengan organel-organel intrasel atau ditransfer melalui jalur sekresi ke permukaan
sel (membran sitoplasma). NS1 bukan bagian dari struktur virus tapi
diekspresikan pada permukaan sel yang terinfeksi dan memiliki determinandeterminan yang spesifik group dan tipenya.peran NS1 dalam imunopatogenesis
juga telah disampaikan berdasarkan temuan anti-SCF antibodies dalam serum
pasien-pasien dengan infeksi sekunder tapi tidak pada infeksi primer. NS1 dengue
disekresikan ke dalam sistem sirkulasi darah. Sensitivitas pemeriksaan NS1
optimal hari ke 0-48.
2) IgM dan IgG
Pemeriksaan serologi IgM dan IgG antidengue yang secara rutin dan
relatif

mudah

dikerjakan

masih

mempunyai

keterbatasan

yaitu

ketidakmampuannya mendeteksi proses infeksi lebih awal. Antibodi IgM akan


muncul 2 sampai 6 hari setelah dimulainya gejala, sedangkan IgG setelah 6 hari.
IgG akan meningkat secara perlahan dalam beberapa minggu. Ini umumnya yang
terjadi pada infeksi primer dengue. Pada infeksi sekunder dengue, kadar IgM
kadang-kadang bisa lebih rendah atau sulit terdeteksi sehingga dalam keadaan ini

11

deteksi IgG menjadi sangat penting. Kadar antibodi IgG akan cepat meningkat
karena telah adanya memori antigen dengue.

Gambar 3. Evaluation of the sensitivity of NS1 test, IgM/IgG test and


combination of the two tests depending on day
of sampling after onset of fever8.
2.1.7

Penatalaksanaan
Tata laksana DBD sebaiknya berdasarkan berat ringanya penyakit yang

ditemukan antara lain:


1) Kasus DBD yang diperbolehkan berobat jalan.
Penderita diperbolehkan berobat jalan jika hanya mengeluh panas, tetapi
keinginan makan dan minum masih baik. untuk mengatasi panas diperbolehkan
memberikan obat panas paracetamol. Sebagian besar kasus DBD yang berobat
jalan ini adalah kasus DBD yang menunjukkan manifestasi panas hari pertama
dan hari kedua.
2) Kasus DBD derajat I dan II
Pada hari ke-3, 4, dan 5 panas dianjurkan rawat inap karena penderita ini
mempunyai resiko terjadinya shock.
3) Kasus DBD derajat III dan IV
Dengue shock syndrome termasuk kasus kegawatan yang membutuhkan
penanganan secara cepat dan perlu memperoleh cairan pengganti secara cepat.
Biasanya di jumpai kelainan asam basa dan elektrolit1.

12

2.1.8 Pencegahan
Pencegahan penyakit DBD dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu
pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.
1) Pencegahan primer
Pencegahan

tingkat

pertama

ini

merupakan

upaya

untuk

mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang
sehat menjadi sakit.
a) Surveilans Vektor
Surveilans untuk nyamuk Aedes aegypti untuk menentukan distribusi,
kepadatan populasi, habitat utama larva, faktor resiko untuk memprioritaskan
wilayah dan musim untuk pelaksanaan pengendalian vektor. Salah satu kegiatan
yang dilakukan adalah survei jentik. Ukuran-ukuran yang dipakai untuk
mengetahui kepadatan jentik Aedes aegypti adalah House Indeks (HI), Container
Indeks (CI), Breteau Indeks (BI),dan Angka Bebas Jentik (ABJ). House Indeks
(HI), yaitu persentase rumah yang terjangkit larva dan atau pupa. Container
Indeks (CI), yaitu persentase container yang terjangkit larva atau pupa. Breteau
Indeks (BI), yaitu jumlah container yang positif per-100 rumah yang diperiksa.
Dari ukuran di atas dapat diketahui persentase Angka Bebas Jentik (ABJ), yaitu
jumlah rumah yang tidak ditemukan jentik per jumlah rumah yang diperiksa.
b) Pengendalian Vektor
Pengendalian vektor adalah upaya untuk menurunkan kepadatan populasi
nyamuk Aedes aegypti. Secara garis besar ada 3 cara pengendalian vektor yaitu :
(i) Pengendalian Cara Kimiawi
Pada pengendalian kimiawi digunakan insektisida untuk larva Aedes
aegypti yaitu dari golongan organofosfor (Temephos) dalam bentuk sand granules
yang larut dalam air di tempat perindukan nyamuk atau sering disebut dengan
abatisasi. Dosis yang digunakan adalah 1ppm atau 10 gram ( 1 sendok makan
peres) untuk tiap 100 liter air yang mempunyai efek 3 bulan. Selama 3 bulan bila
tempat penampungan tersebut akan dibersihkan atau diganti airnya maka jangan
menyikat bagian dalam dinding penampungan air.

13

(ii)Pengendalian Hayati / Biologik


Pengendalian biologis dilakukan dengan menggunakan kelompok hidup.
Beberapa jenis ikan kepala timah (Panchaxpanchax), ikan gabus (Gambusia
affinis) adalah pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk. Beberapa jenis
golongan cacing nematoda seperti Romanomarmis iyengari dan Romanomarmis
culifrax merupakan parasit yang cocok untuk larva nyamuk.
(iii)

Pengendalian Lingkungan
Pengendalian lingkungan dilakukan untuk mencegah nyamuk kontak

dengan manusia yaitu memasang kawat kasa pada pintu, lubang jendela, dan
ventilasi di seluruh bagian rumah.
2)Pencegahan sekunder
a) Penemuan, Pertolongan dan Pelaporan Penderita dengan cara :
i. Bila dalam keluarga ada yang menunjukkan gejala penyakit DBD, berikan
pertolongan pertama dengan banyak minum, kompres dingin dan berikan obat
penurun panas yang tidak mengandung asam salisilat serta segera bawa ke
dokter atau unit pelayanan kesehatan.
ii.Dokter atau unit kesehatan setelah melakukan pemeriksaan atau diagnosa dan
pengobatan segaera melaporkan penemuan penderita atau tersangka DBD
tersebut kepada Puskesmas, kemudian pihak Puskesmas yang menerima laporan
segera melakukan penyelidikan epidemiologi dan pengamatan penyakit dilokasi
penderita dan rumah disekitarnya untuk mencegah kemungkinan adanya
penularan lebih lanjut.
iii.Kepala Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan epidemiologi dan kejadian
luar biasa (KLB) kepada Camat, dan Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten, disertai
dengan cara penanggulangan seperlunya.
b) Diagnosis
c) Pengobatan Penderita DBD
d) Penyelidikan Epidemiologi (PE)
Penyelidikan Epidemiologi adalah kegiatan pencarian penderita/tersangka
DBD lainnya dan pemeriksaan jentik rumah, yang dilakukan dirumah penderita

14

dan 20 rumah disekitarnya serta tempat-tempat umum yang diperkirakan menjadi


sumber penularan, hasilnya dicatat dalam formulir PE dan dilaporkan kepada
Kepala Puskesmas selanjutnya diteruskan kepada Lurah melalui Camat dan
penanggulangan seperlunya untuk membatasi penularan.
3) Pencegahan tersier
Pencegahan tingkat ketiga ini dimaksudkan untuk mencegah kematian
akibat penyakit DBD dan melakukan rehabilitasi. Upaya pencegahan ini dapat
dilakukan dengan pemberian cairan intravena diberikan pada kondisi penderita
tidak memungkinkan untuk diberikan cairan melalui oral, antipiretik seperti
parasetamol diberikan jika diperlukan. Oksigen tambahan dapat diberikan pada
penderita dengan renjatan disertai sianosis, dan pemberian antibiotik jika diduga
ada infeksi sekunder.
2.2 PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK
2.2.1. Pengertian
Pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD)
adalah kegiatan memberantas telur, jentik, dan kepompong nyamuk penular DBD
(Aedes aegypti) di tempat tempat perkembangbiakannya.
2.2.2 Tujuan PSN DBD
Mengendalikan populasi nyamuk Aedes aegypti, sehingga penularan
DBD dapat dicegah atau dikurangi.
2.2.3

Sasaran PSN DBD


Sasaran pemberantasan sarang nyamuk DBD yaitu semua tempat

perkembangbiakan nyamuk penular DBD antara lain :


1) Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari.
2)Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari (non-TPA).
3) Tempat penampungan air alamiah.
2.2.4 Ukuran Keberhasilan PSN DBD
Keberhasilan kegiatan PSN DBD antara lain dapat diukur dengan
Angka Bebas Jentik (ABJ), apabila ABJ lebih atau sama dengan 95 % diharapkan
penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi.

15

2.2.5 Cara PSN DBD


PSN DBD dapat dilakukan dengan cara fisik, kimia, biologi dan
fogging. Secara fisik dapat dilakukan dengan cara 3M, yaitu :
1) Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak mandi,
drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1).
2) Menutup rapatrapat tempat penampungan air, seperti gentong air/tempayan,
dan lain-lain (M2).
3) Mengubur dan menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air
hujan (M3).
Cara biologi yaitu dengan memelihara ikan pemakan jentik (ikan kepala
timah, ikan gupi, ikan cupang. Sedangkan dengan cara kimiawi yaitu dengan
menggunakan larvasida yang dikenal dengan formulasi temephos, dosis yang
digunakan adalah 1ppm atau 10 gram ( 1 sendok makan peres) untuk tiap 100
liter air yang mempunyai efek 3 bulan. Selama 3 bulan bila tempat penampungan
tersebut akan dibersihkan atau diganti airnya maka jangan menyikat bagian dalam
dinding penampungan air. Air dengan abate tidak membahayakan dan aman bila
diminum.
Fogging merupakan salah satu pemberantasan dengan pengasapan
menggunakan insektisida antara lain organophospat (malathion), pyretroid sintetic
(lamda sihalotri, cypermetrin dan alfa methin). Alat yang digunakan adalah mesin
fog atau mesin ULV. Untuk membasmi penularan virus dengue penyemprotan
dilakukan dengan dua siklus dengan interval 1 minggu. Penyemprotan siklus
pertama semua nyamuk yang mengandung virus dengue (nyamuk infektif) dan
nyamuk-nyamuk lainnya akan mati. Tapi akan muncul nyamuk baru yang
diantaranya akan menghisap penderita yang viremia yang masih ada yang dapat
menimbulkan terjadinya penularan kembali. Keseluruhan cara tersebut di atas
dikenal dengan istilah 3M Plus(Depkes RI, 2005).
Fogging dapat berbahaya jika dilakukan tidak sesuai prosedur. Selain
bisa menyebabkan keracunan akibat menghirup gas semprotan,

fogging juga

berdampak buruk bagi keseimbangan ekosistem. Selain itu asap fogging secara
tidak langsung juga bisa menempel pada makanan, bantal, dan barang pribadi lain

16

yang pada akhirnya juga mengakibatkan keracunan. Keseimbangan ekosistem


dapat terganggu dengan terbasminya serangga-serangga non-target yang bukan
merupakan vektor DBD (Soebijoto, 2011).
Fogging sangat mencemari lingkungan dan akhirnya mencemari
manusia, disamping itu tindakan fogging harganya mahal dan hasilnya tidak
begitu signifikan, karena setiap fogging hanya fokus dengan radius 100 meter dan
membutuhkan 3 liter pestisida dan 60 liter solar dan akhirnya dengan fogging
masyarakat menjadi terlena dan terjadilah resistensi.
Terdapat beberapa penelitian mengenai hubungan antara paparan
malathion dengan kejadian kelainan gastrointestinal dan ternyata ditemukan
bahwa wanita hamil yang terpapar malathion mempunyai risiko 2,5 kali lebih
besar anaknya menderita kelainan gastrointestinal.
Malathion yang merupakan pestisida golongan organofosfat ini juga akan
menghambat enzim cholenesterase sehingga dapat merusak sistem saraf,
gastrointestinal, keseimbangan hormon dan gangguan sistem imun. Masalah lain
yang juga pernah diteliti adalah paparan terhadap malathion ini mengakibatkan
leukemia pada anak-anak, anemia aplastik, gagal ginjal, Defek pada bayi baru
lahir, kerusakan gen dan kromosom, kerusakan paru dan penurunan sistem
kekebalan tubuh. Malathion juga diduga mempunyai peran terhadap 28 gangguan,
mulai dari gangguan gerakan sperma hingga kejadian hiperaktif pada anak.
Bahaya dari pestisida dapat menimbulkan dampak kronis, yaitu pada :
1) Sistem syaraf, Neurotoksin: masalah ingatan yang gawat, sulit
berkonsentrasi, perubahan kepribadian, kelumpuhan, kehilangan
kesadaran dan koma
2) Sistem gastrointestina; Muntah-muntah, sakit perut dan diare adalah
gejala umum dari keracunan
3) Sistem kekebalan dan Keseimbangan hormon.
Adapun gejala yang sering timbul dimulai dengan sakit kepala, pusing,
mual, sakit dada, muntah-muntah, kudis, sakit otot, keringat berlebihan, kram,
diare, sulit bernafas, pandangan kabur dan akhirnya dapat menyebabkan kematian.

17

Dampak jangka panjang yang ditimbulkan pestisida yaitu:


karsinogenic, mutagenic, teratogenic dan residu sisa berbahaya bagi konsumen.
Bahan tambahan lainnya pada fogging yaitu solar. Solar merupakan salah satu
bahan bakar yang berasal dari fosil. Hasil pembakaran berupa Emisi CO, NO 2,
SO2. CO-Hb (dalam darah) => HbCO, seharusnya HbO2, CO 210x lebih kuat
mengikat Hb dibanding O2. Dampaknya kekurangan O2. NO2 bersifat racun,
mengakibatkan pneumonia (sembuh 6-8 minggu), penyumbatan bronchioli (dapat
meninggal 3-5 minggu). SO2 bersifat iritan, mudah diserap selaput lendir saluran
nafas, produksi lendir berlebihan, iritasi. Pemaparan berulang-ulang berisiko
kanker saluran nafas.
Oleh karena itu penting sekali mengetahui prosedur fogging antara lain :
a. Terdapat laporan kasus DBD dari Kelurahan atau Rumah Sakit .
b. Ada pemberitahuan dari Kelurahan ke Puskesmas setempat
c. Puskesmas menindak lanjuti laporan dari desa dengan melaksanakan
Penyeledikan Epidemiologi yang tujuannya adalah mengetahui ada
tidaknya penderita DB yang lain atau menemukan tersangka DBD dan
melaksanakan pemeriksaan jentik pada radius 100 m dari penderita.
d. Apabila hasil Penyelidikan Epidemiologi menyebutkan ada penderita DB
yang lain dan atau ditemukan 3 tersangka serta ditemukan 5 % rumah
terdapat Jentik nyamuk, maka puskesmas akan meneruskan permohonan
fogging ke Dinas Kesehatan.
e. Tetapi apabila hasil PE tidak sesuai dengan kriteria diatas, maka
puskesmas akan menindak lanjuti dengan PSN, pemberian abate dan
Penyuluhan tanpa dilanjutkan fogging.
Sehingga fogging merupakan pilihan terakhir dalam pengendalian vektor,
namun masyarakat masih sering menggunakan metode ini terutama di musim
hujan saat vektor DBD sedang mengalami puncak kepadatannya.

BAB III
METODE

18

3.1 Jenis Metode


Kegiatan ini menggunakan metode penyuluhan langsung dengan
pendekatan kelompok. Dalam hal ini penyuluhan ditujukan kepada masyarakat di
wilayah kerja Puskesmas beringin Raya.
3.2 Waktu dan Lokasi
Penyuluhan langsung dilaksanakan

hari Jumat tanggal 25 April 2013

mulai pukul 08.00 WIB hingga 11.00 WIB. Tempat penyuluhan adalah kantor
kelurahan dan Ruang kuliah fakultas Fisipol Universitas Bengkulu
3.3 Target Sasaran
Sasaran pada kegiatan ini adalah seluruh masyarakat di wilayah kerja
Puskesmas beringin Raya.
3.4 Media Penyajian Data
Media yang digunakan dalam kegiatan ini adalah slide (powerpoint) serta
leaflet.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.PROFIL PUSKESMAS BERINGIN RAYA
Puskesmas Perawatan Beringin Raya merupakan puskesmas induk
yang berada dalam wilayah kelurahan Beringin Raya Kecamatan Muara

19

bangkahulu kota Bengkulu yang meliputi empat kelurahan dalam wilayah


4.1.1

kerjanya, yakni :
Kelurahan Beringin Raya ( 131,6km2)
Kelurahan Kandang Limun (422,7km2)
Kelurahan Rawa Makmur (150km2)
Kelurahan Rawa Makmur Permai (158km2)
Kependudukan
Penduduk dalam wilayah kerja Puskesmas Beringin Raya pada tahun 2014
berjumlah 25.453 jiwa yang komposisinya cukup beragam dalam suku,
bahasa, adat istiadatnya, mata pencaharian dan lain-lain.
Tabel 1. Proporsi jumlah penduduk/kelurahan tahun 2014
No

Kelurahan

Jiwa

Jumlah

Rata-rata

RT

Rumah

jiwa

Tangga

rumah
7

131,6 km2

Luas

RW

Wilayah

1.

Beringin

2830

760

tangga
4

2.

Raya
Rawa

8552

2.075

19

150 km2

3.

makmur
Rawa

5922

1.532

15

158 km2

Permai
Kandang

7086

1.919

21

422,7km2

Limun
Jumlah

24.390

6.286

62

862,3 km2

14

makmur
4.

Batas Wilayah
Sebelah Utara

: berbatasan dengan Kecamatan Pondok Kelapa Bengkulu

Utara
Sebelah Timur

: berbatasan dengan Kelurahan Pematang Gubernur

Kecamatan Muara Bangkahulu


Sebelah Selatan : berbatasan dengan kelurahan Kampung kelawi kecamatan

Sungai serut
Sebelah Barat

: berbatasan dengan Samudera Indonesia.

20

4.1.2

Data Kependudukan

1.

Jumlah Penduduk

: 24.390

Jiwa

2.

Luas Wilayah

: 862,3

Km2

3.

Jumlah Sekolah
- PAUD

:4

Unit

- TK

:3

Unit

- SD

:5

Unit

- SMP

:1

Unit

- SMA

:-

Unit

- Perguruan Tinggi

:1

Unit

4.

Jumlah Balai Latihan Kerja

:-

Unit

5.

Jumlah Tempat Tempat Ibadah


- Masjid

: 28

Unit

- Musholla/Surau

:3

Unit

- Gereja

:-

Unit

- Vihara

:-

Unit

- Kafe

:-

Buah

- Resroran/Rumah Makan

: 36

Buah

- Industri Kecil

: 53

Buah

- Taman Rekreasi

:-

Buah

6.

Jumlah Tempat Usaha

4.1.3

Ketenagaan
Jumlah tenaga kerja di wilayah Puskesmas Beringin Raya 50 orang yang

terdiri dari 29 orang pegawai PNS, 9 orang bidan honorer, dan 12 pegawai TKS.

4.1.4

Sarana Kesehatan
Rumah Sakit

:-

unit

21

4.1.5

4.1.6

Rumah Bersalin
Puskesmas
Puskesmas Pembantu
Praktek Bidan
Praktek Dokter

::1
:2
: 13
:1

unit
unit
unit
unit
unit

Peran Serta Masyarakat


Jumlah kader posyandu
Jumlah guru UKS
Jumlah posyandu

:47
:: 11

orang
orang
orang

Bangunan Fisik
Ruang Ka.Puskesmas, Ruang TU, Ruang Laboratorium,Apotik, Loket,

Ruang Imunisasi, Ruang Poli Umum, Ruang Poli Gigi, Ruang KIA, Ruang Poned,
Ruang UGD, Ruang Rawat Inap, Ruang Gizi, Toilet, Gudang Obat, Rumah Dinas
Dokter, dan Rumah dinas Paramedis.
4.1.7

Potensi
Dalam menjalankan fungsinya Puskesmas Beringin Raya melaksanakan

Program
1. Upaya Kesehatan Wajib Yaitu :
a. Promosi Kesehatan
b. Upaya Penyehatan Lingkungan
c. Upaya Perbaikan Gizi
d. Kesehatan Ibu dan Anak
e. Pelayanan KB
f. Pemberantasan Penyakit Menular
g. Pengobatan
2. Sedangkan Upaya Pengembangan adalah :
a. UKS/UKGS
b. Usaha Kesehatan Jiwa
c. Usaha Kegiatan Gigi dan Mulut
d. PHN

22

e. Upaya Kesehatan Usila


4.2 DATA KESEHATAN MASYARAKAT
Terdapat peningkatan kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas Beringin
Raya. Telah terjadi kasus luar biasa di wilayah kerja Puskesmas Beringin Raya ,
hal ini dikarenakan pada tahun 2014 terjadi peningkatan kasus DBD lebih dari
dua kali lipat dibandingkan dengan periode sebelumnya, yaitu pada tahun 2012.

30
25
20
15

Jumlah kasus DBD

10
5
0
2012

2013

2014

Grafik 2. Jumlah Kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas Beringin


Raya tahun 2012-2014

23

Berdasarkan kasus DBD tersebut telah dilakukan penanggulangan kasus DBD


sesuai dengan alur penanggulangan DBD di lapangan, sepertidi bawah ini

(Penanggulangan Kasus/Tersangka Dbd Di Lapangan)*)


Penderita / Tersangka DBD

Penyelidikan Epidemiologi

Di rumah penderita dan 20 rumah sekitarnya, T


Pemeriksaan Jentik
Pencarian Penderita Panas

Ada penderita DBD lain atau ada jentik dan ada penderita panas* 3

Ya

Penyuluhan
PSN**
Foging radius 200 m

Tidak

Penyuluhan
PSN**

24

Bagan 2. Bagan Alur Penanggulangan KLB-DBD di Lapangan


*) Demam tanpa penyebab yang jelas pada hari itu atau seminggu sebelumnya
**) PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) : kegiatan menutup, menguras tempat
penampungan air, dan mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas atau
cara lain untuk membasmi jentik

BAB V
DISKUSI
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang banyak
ditemukan di negara tropis termasuk Indonesia. Penyakit ini disebabkan
oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang
ditandai dengan demam mendadak dua sampai tujuh hari tanpa
penyebab yang jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri hulu hati, disertai
tanda perdarahan dikulit berupa petechie, purpura, echymosis,
epistaksis,

perdarahan

gusi,

hematemesis,

melena,

hepatomegali, trombositopeni, dan kesadaran menurun atau


renjatan.
Kasus terbanyak terjadi pada tahun 2014 dengan jumlah kasus sebanyak
24 orang. Tentu saja hal ini dapat dikatakan sebagai Kasus Luar Biasa (KLB).
Dikatakan suatu KLB bila memenuhi salah satu kriteria KLB yang mengacu pada
keputusan

Dirjen

No.

451/

91

tentang

Pedoman

penyelidikan

Dan

Penanggulangan Kejadian Luar Biasa. Menurut aturan tersebut dinyatakan KLB


bila terdapat :

25

1. Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak
dikenal
2. Peningkatan kejadian penyakit atau kematian terus menerus selama tiga
kurun waktu berturut-turut menurut jenis penyakitnya
3. Peningkatan kejadian penyakit atau kematian dua kali lipat atau lebih
dibandingkan dengan periode sebelumnya ( jam, hari, minggu, bulan,
tahun)
4. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukan kenaikan dua kali
lipat atau lebih bila dibandngkan dengan angka rata-rata per bulan dalam
tahun sebelumnya.
Kasus DBD diwilayah kerja puskesmas Beringin Raya dalam hal ini
sudah memenuhi tiga kriteria di atas yaitu pada poin 2, 3, dan 4.
Berdasarkan survei dan analisa yang kami lakukan, Puskesmas Beringin
Raya memiliki angka kasus yang tinggi dikarenakan terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian penyakit DBD, antara lain agent, host, environtment.
Pada faktor agen diketahui bahwa di wilayah kerja puskesmas Beringin Raya
memang terdapat virus dengue yang merupakan penyebab penyakit DBD. Hal ini
terbukti dari terdapatnya pasien yang didiagnosa menderita DBD. Ada 4 serotipe
yang tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia, dan bersirkulasi sepanjang tahun,
yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4. Virus tersebut dipertahankan siklusnya
didalam tubuh nyamuk, yaitu nyamuk Aedes aegypti, dan albopictus.
Faktor yang ke dua adalah faktor host, yaitu

manusia yang

kemungkinan terjangkit penyakit DBD. Berdasarkan keterangan


masyarakat sekitar, beberapa penderita DBD memiliki mobilitas
yang tinggi sehingga mempermudah penularan dari suatu
tempat ke tempat lain. Selain itu, cara berfikir masyarakat yang
masih konserfatif dalam menyikapi kasus DBD. Mereka masih
menganggap bahwa pemberantasan nyamuk akan berhasil
hanya dengan fogging.

26

Faktor

selanjutnya

adalah

faktor

environtment

(lingkungan). Wilayah kerja Puskesmas Beringin Raya merupakan


daerah rawa. Akibatnya sangat mudah dijadikan sebagai sarang nyamuk Aedes
aegypti untuk bertelur. Hal itu ditunjang dengan kebiasaan masyarakat untuk
menjaga kebersihan lingkungan masih rendah. Masyarakat masih gemar
membuang sampah di sekitar lingkungan sehingga banyak barang-barang bekas
yang mungkin dapat menampung air dan menjadi sarang nyamuk. Kesadaran
untuk membersihkan lingkungan seperti menguras kamar mandi secara teratur,
menutup tempat penampungan air, dan menungubur barang-barang bekas juga
sangat rendah sehingga dapat menjadi sarang nyamuk. Faktor lainnya yaitu
tingkat kerapatan rumah penduduk setempat sehingga memudahkan penularan
DBD melalui nyamuk Aedes aegypti , karena kemampuan nyamuk ini dapat
terbang dengan jarak 100 meter.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 KESIMPULAN
a. DBD merupakan masalah kita bersama,mengingat begitu kompleksnya
masalah penularan DBD, maka perlu peran berbagai sektor dan masyarakat
untuk memberantasnya
b. Peningkatan kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas Beringin Raya sangat
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu agent, host, environtment.
c. Upaya penanggulangan penyakit DBD yang tepat, efektif, dan efisien adalah
pengendalian vektor dengan melaksanakan Gerakan Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN) yang serempak dan berkelanjutan.

27

6.2 Saran
a. Sosialisasi mengenai penyakit DBD dan PSN 3M Plus hendaknya dilakukan
secara berkala agar masyarakat tetap ingat dan semakin paham mengenai
pencegahan DBD.
b. Puskesmas hendaknya mempersiapkan sarana dan prasarana serta
sumberdaya tenaga kesehatan di lingkungan wilayah kerja Puskesmas
Beringin Raya

DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. 2009. DENGUE Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention,
and Control New Edition. WHO
2. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian Kesehatan RI, 2010.
Demam Brdarah Dengue di Inodesia Tahun 1968-2009. Buletin Jendela
Epidemiologi Volume 2, Agustus 2010 . hal 1
3. Subdirektorat Pengedalian Arbovirosis. 2011. Tatalaksana Demam
Berdarah Dengue Di Indonesia, , 2011. Ditjen PP&PL Kementrian
Kesehatan RI
4. Anggraini, D.S., 2010, Stop Demam Berdarah Dengue, Bogor, Cita Insan
Madani
5. Suhendro, Nainggolan, Chen, Pohan. 2006. Demam Berdarah Dengue.
Disunting oleh Sudoyo, Setyohadi, Alwi, Simadibrata, dan

28

Setiati.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Jakarta: Balai


Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

29

Anda mungkin juga menyukai