Anda di halaman 1dari 16

Bells Palsy

Lora Anggraeni Patoding 10.2009.154

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara no. 6 Jakarta Barat 11470 No. Telp. 021-56942061. Email: lorapatoding@yahoo.com

Pendahuluan Suatu kelainan yangterjadi di sepanjangperjalanan nervus facialis menyebabkan gang guan terhadap otot yg dipersarafi, baik yang bersifat parese ataupun paralisis tergantung tingkat dan beratnya lesi. Wajah merupakan kawasan motorik nervus facialis yang sangat penting dan memberikan kekhasan tersendiri bagi yang melihatnya. Pada umumnya

masyarakat awam menganggap bahwa mulut mencong atau merot akibat adanya kutukan dan juga yang menganggap terkena angin jahat, padahal sebenarnya secara ilmiah terjadi kerusakan pada N. Facialis yang disebut Bells Palsy. Bells palsy merupakan salah satu gangguan yang paling sering mempengaruhi nervus cranialis. Gangguan ini terjadi pada nervus VII (n.fasialis) perifer, yang mengakibatkan kelumpuhan otot-otot wajah, bersifat akut, dimana penyebabnya tidak diketahui dengan pasti (idiopatik). Pada sebagian besar penderita Bells Palsy kelumpuhannya dapat menyembuh, namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan meninggalkan gejala sisa. Gejala sisa ini berupa kontraktur, dan spasme spontan. Sindroma paralisis fasial idiopatik ini pertama kali dijelaskan lebih dari satu abad yang lalu oleh Sir Charles Bell.

I.

Anamnesis

Anamnesis yang perlu ditanyakan adalah: Identitas pasien. Keluhan utama : pada skenario, pasien datang ke puskesmas dengan keluhan mata sebelah kiri tidak dapat ditutup dan mulutnya mencong ke kanan. Keluhan tambahan : Riwayat penyakit sekarang : o Waktu dan lamanya keluhan berlangsung. o Rasa nyeri. o Gangguan atau kehilangan pengecapan. o Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari diruangan terbuka atau di luar ruangan. o Sifat dan beratnya serangan (masih dapat ditahan atau tidak). o Lokasi dan penyebarannya (dapat menyebutkan tempat sakit atau menyebar). o Hubungan dengan waktu (kapan saja terjadinya). o Hubungannya dengan aktivitas (keluhan dirasakan setelah melakukan aktivitas apa saja). 1-3 o Keluhan-keluhan yang menyertai serangan o Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali. o Faktor resiko dan pencetus serangan, termasuk faktor-faktor yang memperberat atau meringankan serangan. 1 o Apakah ada saudara sedarah, atau teman dekat yang menderita keluhan yang sama. o Perkembangan penyakit, kemungkinan telah terjadi komplikasi atau gejala sisa o Upaya yang telah dilakukan dan bagaimana hasilnya, jenis-jenis obat yang telah diminum oleh pasien; juga tindakan medik lain yang berhubungan dengan penyakit yang saat ini diderita. 1 o Riwayat penyakit dahulu : bertujuan untuk mengetahui kemungkinankemungkinan adanya hubungan antara penyakit yang pernah diderita dengan penyakit sekarang. Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain. Riwayat kesehatan keluarga. 1 Riwayat penyakit menahun keluarga. 1
2

II.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan tanda-tanda vital 1. Pemeriksaan neurologi Kelumpuhan nervus fasilalis melibatkan semua otot wajah sesisi dandapat dibuktikan dengan pemeriksaan - pemeriksaan berikut, yaitu: a. Pemeriksaan motorik nervus fasialis. Mengerutkan dahi : lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja. Mengangkat alis : alis pada sisi yang sakit tidak dapat diangkat. Memejamkan mata dengan kuat : pada sisi yang sakit kelompak mata tidak dapat menutupi bola mata dan berputarnya bola mata ke atas dapat dilihat. Hal tersebut dikenal Fenomena Bell. Selain itu dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang sakit lebih lambat dibandingkan dengan gerakan kelopak mata yang sehat, hal ini dikenal sebagai Lagoftalmus. Mengembungkan pipi : pada sisi yang tidak sehat pipi tidak dapat dikembungkan. Pasien disuruh utnuk memperlihatkan gigi geliginya ataudisuruh meringis menyeringai : sudut mulut sisi yang lumpuh tidak dapat diangkat sehingga mulut tampaknya mencong ke arah sehat. Dan juga sulcus nasolabialis pada sisi wajah yang sakit mendatar. b. Pemeriksaan sensorik pada nervus fasialis. Sensasi pengecapan diperiksa sebagai berikut : rasa manis diperiksa

pada bagian ujung lidah dengan bahan berupa garam, dan rasa asam diperiksa pada bagian tengah lidah dengan bahan asam sitrat. Pengecapan 2/3 depan lidah : pengecapan pada sisi yang tidak sehat kurang tajam. c. Pemeriksaan Refleks. Pemeriksaan reflek yang dilakukan pada penderita Bells Palsy adalah pemeriksaan reflek kornea baik langsung maupun tidak langsung dimana pada paresis nervus VII didapatkan hasil berupa pada sisi yang sakit kedipan mata yang terjadi lebih lambat atau tidak ada sama sekali.

Selain itu juga dapat diperiksa refleks nasopalpebra pada orang sehat pengetukan ujung jari pada daerah diantara kedua alis langsung dijawab dengan pemejaman kelopak mata pada sisi, sedangkan pada paresis facialis jenis perifer terdapat kelemahan kontraksi m. orbikularisoculi (pemejaman mata pada sisi sakit).2,3 III. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis Bells palsy. Namun pemeriksaan kadar gula darah atau HbA1c dapat dipertimbangkan untuk mengetahui apakah pasien tersebt menderita diabetes atau tidak. Pemeriksaan kadar serum HSV juga bisa dilakukan namun ini biasanya tidak dapat mentukan dari mana virus tersebut berasal.3 Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan Radiologis yang dapat dilakukan untuk Bells Palsy antara lain adalah MRI (Magnetic Resonance Imaging) dimana pada pasien dengan Bell Palsy dapat timbul gambaran kelainan pada nervus fasialis. Selain itu pemeriksaan MRI juga berguna apabila penderita mengalami kelumpuhan wajah yang berulang, agar dapat dipastikan apakah kelainan itu hanya merupakan gangguan pada nervus fasialis ataupun terdapat tumor (misalnya Schwannoma, hemangoma, meningioma).3 IV. Diagnosis Kerja Bells palsy Bells palsy adalah penyakit idiopatik dan merupakan penyakit saraf tepi yang bersifat akut dan mengenai nervus fasialis (N.VII) yang menginervasi seluruh otot wajah yang

menyebabkan kelemahan atau paralisis satu sisi wajah. Paralisis ini meyebabkan asimetri wajah serta mengganggu fungsi normal. Bells palsy merupakan salah satu gangguan neurologi yang paling sering dijumpai. Wanita muda usia 10-19 tahun lebih sering terkena dibandingkan dengan laki-laki.

Sedangkan wanita hamil memilki resiko 3,3 kali lebih tinggidibandingkan dengan wanita yang tidak hamil. Penyebab pasti Bells palsy masih belum diketahui. Tetapi penyakit ini dianggap memiliki hubungan dengan virus, bakteri, dan autoimun.
4

Bells palsy meliputi inflamasi saraf atau blokade sinyal muscular dari HSV 1 lewat karier yang belum diketahui, ketidak seimbangan imunitas (stress, HIV/AIDS, trauma) atau apapun yang secara langsung maupun tidak langsung menekan sistem imun (seperti infeksi baktreri pada Lyme disease dan otitis media, atau truma, tumor, dan kelainan kongenital), serta apapun yang dapat menyebabkan inflamasi dan edem nervus fasialis (N.VII) dapat memicu terjadinya bells palsy.4 V. Diagnosis Banding Kerusakan Nervus VII tipe sentral Lesi ini melibatkan serabut corticobulbaris yang direc dan indirect. Dua tipe yang dikenali: Voluntary dan Mimetic. Voluntary paralysis bermanifestsi pada sisi kontralateral yang melibatkan hanya melibatkan musculus setengah bagian bawah musculus facial terutama perioral, sedangkan musculus yang bertanggungjawab mengerutkan dahi, memejamkan mata tidak terpengaruh. Penjelasannya adalah sebagai berikut, type kelumpuhan UMN yang kontra lateral ini didasari bahwa Nucleus yang bertanggungjawab terhadap musculus fasialis bagian atas mendapatkan serabut ipsilateral dan kontralateral sedangkan nucleus yang bertanggungjawab terhadap musculus bagian bawah facial hanya mendapatkan serabut dari kontralateral cortico bulbaris. Lesi yang melibatkan corticobulbaris dan corticospinalis di capsula interna akan berakibat lesi central N Facialis type voluntary(kontralateral lesi) dan hemiparese pada sisi kontalateral tubuh dengan tanpa gangguan sensasi maupun fungsi autonom(salivary dan lacrimasi) serta refleks cornea. Mimetic atau emosional inervation dari musculus inferior fascial bersifat involuntary dan perjalanannya tidak diketahui. Lesi mimetic bisa tanpa disertai ganguan voluntary atau bersama sama. Lesi pada lobus frontalis dan gangliabasalis atau thalamus sering bermanifestasi ganguan ini.

VI.

Etiologi Penyebab pasti Bells palsy masih belum diketahui. Tetapi penyakit ini dianggap

memiliki

hubungan

dengan

virus,

bakteri, dan autoimun.

Bells palsy

meliputi inflamasi saraf atau blokade sinyal muscular dari HSV 1 lewat karier yang belum diketahui, ketidakseimbangan imunitas (stress,HIV/AIDS, trauma) atau apapun yang s ecara langsung maupun tidak langsung menekan sistem imun (seperti infeksi bakteri pada Lymedisease dan otitis media, atau trauma,tumor, dan kelainan kongenital), serta apapun yag
5

dapa tmenyebabkan inflamasi dan edema nervus fasialis (N.VII)dapat memicu terjadinya bells palsy. Bells palsy dapat disebabkan oleh beberapa hal lainnya seperti iklim atau faktor meteorologi seperti suhu, kelembaban, dan tekanan barometrik. Beberapa studi menyebutkan bahwa pasien sebelumnya merasakan wajahnya dingin atau terkena dingin sebelum onset bells palsy muncul. Suhu dingin di salahs atu bagian wajah dapat menyebabkan iritasi nervus fasialis(N.VII). Data eksperimental yang paling mendukung dalam patofisiologi penyakit ini adalah hipotesis suhu rendah. Selain itu reaktivasi HSV yang merupakan salah satu teori terjadinya bells palsy juga berhubungan dengan perbedaan iklim antar negara dan polusi dari atmosfer. Selain itu stress, kehamilan, diabetes juga dapat memicu munculnya bells palsy.5,6 VII. Epidemiologi Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bells palsy

setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63%

mengenai wajah

sisi kanan. Insiden

Bells palsy rata-rata 1530 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bells palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 ini

tahunlebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama.Penyakit

dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinankemungkinan timbulnya Bells palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.5 Struktur anatomi Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu : a. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah. b. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus saliva torius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
6

c. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian depan lidah. d. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus. Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang mengantarkan rasa pengecapan dari 2/3 bagian anteriort lidah dan sensasi kulit dari dinding anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut rasa pengecapan pertama-tama melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke kordatimpani dimana ia membawa sensasi pengecapan melalui nervus fasialis ke nukleustraktus solitarius. Serabut-serabut sekretomotor menginervasi kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major dan kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda tympani. Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian ventro lateral nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada dasar ventrikel IV, maka nervus VI dan VII dapat terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini (genu) terletak ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena sangat dekat dengan genu. Nervus fasialis berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion genikulatum untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu nervus petrosus superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan ke m. stapedius yang dihubungkan oleh korda timpani. Lalu nervus fasialis keluar dari kranium melalui foramen stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang melayani otot-otot wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikusventer posterior. VIII. Patofisiologi Para ahli menyebutkan bahwa pada Bells palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bells palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang meyebabkan
7

peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit

pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infra nuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaraskortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer. Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bells palsy. stilomastoideus Karena dan itu nervus menimbulkan

fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi

LMN bias terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum

timpani, diforamen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak didaerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selainitu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bells palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervusfasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan pada Bells palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bias disalurkan secara wajar sehingga tertimbun. Gejalagejala pengiring seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada karena bagian nervus fasialis yang terjepit diforamen stilomastoideum sudah tidak mengandung lagi serabut korda timpani dan serabut yang mensyarafi muskulus stapedius. 6

IX.

Manifestasi Klinik Biasanya timbul secara mendadak, penderita menyadari adanya kelumpuhan pada

salah

satu

sisi

wajahnya

pada

waktu

bangun

pagi,

bercermin

atau saat sikat

gigi/berkumur atau diberitahukan oleh orang lain/keluarga bahwa salah satu sudutnya lebih rendah. Bells palsy hampir selalu unilateral. Gambaran klinis dapat berupa hilangnya semua gerakan volunter pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena, ekspresi akan menhgilang sehingga lipatan nasilabialis akan menghilang, sudut mulut menurun, bila minum atau berkumur air menetes darisudut ini, kelopak mata tidak dapat dipejamkan sehingga fisura papebra melebar serta kerut dahi menghilang. Bila penderita disuruh untuk memejamkan matanya maka kelopak mata pada sisi yan g lumpuh akan tetap terbuka dimana kelumpuhan N.VII yang memper syarafi m.orbikularis okuli dapat menyebabkan lagoftalmus yaitu palpebra tidak dapat menutup dengan sempurna. Kelainan ini akan mengakibatkan trauma konjungtiva dan kornea karena mata tetap terbuka sehingga konjungtiva dan kornea menjadi kering dan terjadi infeksi. Infeksi ini dapat dalam bentuk konjungtivitis atau suatu keratitis. Serta bola mata pasien berputar ke atas. Keadaan ini dikenal dengan tanda dari Bell (lagoftalmus disertai dorsorotasi bola mata). Karena kedipan mata yang berkurang maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin, sehingga

menimbulkan epifora. Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh tidak mengembung. Disamping itu makanan cenderung terkumpul diantara pipi dan gusi sisi yang lumpuh. Selain kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, tidak didapati gangguan lain yang mengiringnya, bila paresisnya benar-benar bersifat Bells palsy. Bila khorda timpani juga ikut terkena, maka terjadi gangguan pengecapan dari 2/3 depan lidah yang merupakan kawasan sensorik khusus N.intermedius. dan bila saraf yang menuju ke m.stapedius juga terlibat, maka akan terjadi hiperakusis. Keadaan ini dapat diperiksa dengan pemeriksaan audiometri. Pada kasus yang lebih berat akan terjadi gangguan produksi air mata berupa pengurangan atau hilangnya produksi air mata. Ini menunjukkan terkenanya ganglion genikulatum dan dapat diperiksa dengan pemeriksaan tes Schimer.5,6 Komplikasi ke bagian mata antara lain : Lagoftalmus Ektropion paralitik dari kelopak mata bagian bawah Alis Jatuh Retraksi kelopak mata atas
9

Erosi Kornea Crocodile-tears tearing

Komplikasi ke bagian telinga antara lain: Hampir separuh pasien yang mengalami Bell Palsy mengeluhkan nyeri pada bagian belakang telinga. Nyeri biasanya terjadi bersamaan dengan timbulnya gejala Bell Palsy, namun pada 25% kasus nyeri telinga terjadi lebih dulu 2-3 hari sebelum timbulnya Bell Palsy. Beberapa pasien juga mengeluhkan terjadinya hyperacusis pada telinga otot

ipsilateral dari Palsy yang terjadi, yang merupakan akibat sekunder dari stapedius. Gangguan Pengecapan:

kelemahan

Sepertiga pasien Bell Palsy melaporkan gangguan pengecapan, dimana 80%dari penderita Bell Palsy mengalami penurunan kemampuan merasa. Spasme Fasial Spasme fasial adalah komplikasi yang jarang dari Bell Palsy, terjadi akibat kontraksi tonic pada salah satu sisi wajah. Spasme ini biasanya terjadi pada saat darah,

stress dan timbul akibat kompreksi dari akar Nervus VII akibat gangguan pembuluh

tumor, ataupun proses demielinisasi akar saraf. Spasme ini lebih sering menyerang pada usia 50 atau 60an. Selain itu juga dapat timbul Synkinesis yaitu suatu kontraksi abnormal dari otot wajah saat tersenyum atau menutup mata,contoh yang dapat terjadi adalah mulut pasien tertarik ketika tersenyum atau ketika mengedipkan mata. I. Keluhan dan gejala bergantung kepada lokasi lesi sebagai berikut : Lesi pada nervus fasialis disekitar foramen stylomastoideus baik yang masih berada disebelah dalam dan sebelah luar foramen tersebut. Mulut turun dan mencong ke sisi yang sehat sehingga sudut mulut yang lumpuh tampaknya lebih tinggi kedudukannya daripada posisi yang sehat, maka penderitanya tidak dapat bersiul, mengedip dan menutupkan matanya. Lakrimalis yang berlebihan akan terjadi jika mata tidak terlindungi / tidak bisa menutup mata sehingga pada mata akan lebih mudah mendapat iritasi berupa angin, debudan sebagainya, selain itu pula lakrimalis yang berlebihan ini terjadi karena proses regenerasi dan mengalirnya axon dari kelenjar liur ke kelenjar air mata pada waktu makan.

10

II.

Lesi

pada

canalis

fasialis

mengenai

nervus

chorda

tympani. dua

Seluruh gejala di atas terdapat, ditambah dengan hilangnya sensasi pengecapan pertiga depan lidah berkurangnya salivasi yang terkena. III. Lesi yang lebih tinggi dalam canalis fasialis dan mengenal muskulus stapedius. Gejala tanda klinik seperti pada (a) dan (b) ditambah adanya hiperakusis. IV. Lesi yang mengenai ganglion geniculatum. Gejala tanda klinik seperti pada (a), (b), dan (c) ditambah onsetnya dengan rasa nyeri di belakang dan didalam seringkali telinga.

akut

Herpes

Zoster pada tympanium dan concha dapat mendahului keadaan timbul parese nervus f asilais. Sindrome Ramsay Hunt merupakan Bells yangdisertai herpes Zoster pada ganglion geniculatum, lesi lesi herpetik terlihat pada membrana tympani, canalis auditorium eksterna, dan pada pinna. V. Lesi di dalam Meatus Auditorius Internus Gejala - gejala Bells Palsy di atas ditambah ketulian akibat terkenanya nervus VIII. VI. Lesi pada tempat keluarnya Nervus Fasialis dari Pons Lesi di pons yang terletak disekitar inti nervus abdduces bisa merusak akar nervus fasialis, inti nervus abducens dan fasikulus longituinalis medialis. Lesi pada daerah tersebut dapat menyebabkan kelumpuhan muskulus rectuslateralis atau gerakan melirik kearah lesi. VII. Gangguan gerakan pada otot wajah yang sering dijumpai ialah gerakan involunter yang dinamakan tic fasialis atau spasmus klonik fasialis. Sebab dan mekanisme sebenarnya belum diketahui yang dianggap sebagai sebabnya adalah suatu rangsangan iritatif di ganglion feniculatum. Namun demikian gerakan - gerakan otot wajah involunter bisa bangkit juga sebagai suatu pencerminan kegelisahan atau depresi. Pada gerakan involunter tersebut, sudut muka terangkat dan kelompok mata memejam secara berlebihan.5,6 X. Penatalaksanaan Non-medikamentosa Tindakan fisioterapi seperti terapi panas superfisial,elektroterapi menggunakan arus listrik. Perawatan mata

11

Pemberian air mata buatan, lubrikan, dan pelindung mata. Pemakaian kacamata dengan lensa berwarna atau kacamata hitam kadang diperlukan untuk menjaga mata tetap lembab saat bekerja. Latihan dan pemijatan wajah disertai kompres panas Istirahat Pembedahan Jika sudah terjadi ectropion yang parah dapat dilakukan lateral tarsorrhaphy. Medika mentosa Untuk menghilangkan penekanan, menurunkan edema akson

dan kerusakan N.VII dapat diberikan prednisone (kortikosteroid) dan antiviral sesegera mungkin. Window of opportunity untuk memulai pengobatan adalah 7 hari setelah onset. Prednison dapat diberikan jika muncul tanda-tanda radang. Selain itu dapat pula diberi obat untuk menghilangkan nyeri seperti gabapentin. Kortikosteroid Prednison 1 mg/kgBB/hari selama 5 hari kemudian diturunkan bertahap 10 mg/hari dan berhenti selama10-14 hari. Tabel 1 : Dosis Prednison 1 mg/kg atau 60 mg PO qd selama 7 hari diikuti tapering off dengan total pemakaian 10 hari. 1 mg/kg PO qd selama 6 hari diikuti tappering off dengan total pemakaian 10 hari. Hipersensitivitas, diabetes kontraindikasi beratyang tak terkontrol, infeksi jamur, ulkus peptikum, TBC,osteoporosis.

Dosis dewasa

Dosis anak

Obat-obat antiviral Acyclovir 400 mg dapat diberikan 5 kali perhari selama 7 hari, atau 1000mg /hari selama 5 hari sampai 2400 mg/hari selama 10 hari. Dapat juga menggunakan

Valactclovir 1 gram yang diberikan 3 kali selama 7 hari.


Tabel 2 : Dosis Antiviral

12

Nama obat Dosis dewasa Dosis anak kontraindikasi

Asikovir, obat antiviral yang menghambat kerja HSV-1. HSV-2, dan VZV Dewasa 400 mg PO 5 kali/hari selama 10 hari <2 tahun : belum dipastikan >2 tahun : 20 mg/kg PO selama10 hari Hipersensitif, penderita gagalginjal

Vitamin B Preparat aktif B12 (Metil kobalamin) berperan sebagai kofaktor dalam proses remielenasi, dengan dosis 3x500g/hari.7

XI.

Komplikasi Kira-kira 30% pasien Bells palsy yang sembuh dengan gejala sisa seperti

fungsi motorik dan sensorik yang tidak sempurna, serta kelemahan saraf parasimpatik. Komp likasi yang paling banyak terjadi yaitu disgeusia atau ageusia, spasme nervus fasialis yang kronik dan kelemahan saraf parasimpatik yang menyebabkan kelenjar lakrimalis tidak berfungsi dengan baik sehingga tampak seperti air mata buaya (crocodile tears).8 XII. Prognosis Penderita Bells palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bells palsy adalah: a. Usia di atas 60 tahun. b. Paralisis komplit. c. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh. d. Nyeri pada bagian belakang telinga. e. Berkurangnya air mata. Pada umumnya prognosis Bells palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya memiliki perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme hemifasial.
13

Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23%kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bells palsy kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsi lateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.7 XIII. Pencegahan 1. Jika berkendaraan motor, gunakan helm penutup wajah full untuk mencegah angin mengenai wajah. 2. Jika tidur menggunakan kipas angin, jangan biarkan kipas angin menerpa wajah langsung. Arahkan kipas angin itu ke arah lain. Jika kipas angin terpasang di langitlangit, jangan tidur tepat di bawahnya. Dan selalu gunakan kecepatan rendah saat pengoperasian kipas. 3. Kalau sering lembur hingga malam, jangan mandi air dingin di malam hari. Selain tidak bagus untuk jantung, juga tidak baik untuk kulit dan syaraf. 4. Bagi penggemar naik gunung, gunakan penutup wajah / masker dan pelindung mata. Suhu rendah, angin kencang, dan tekanan atmosfir yang rendah berpotensi tinggi menyebabkan serangan Bells Palsy. 5. Setelah berolah raga berat, jangan mandi atau mencuci wajah dengan air dingin. 6. Saat menjalankan pengobatan, jangan membiarkan wajah terkena angin langsung. Tutupi wajah dengan kain atau penutup.7

14

Kesimpulan Bells palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan yang akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer. Penyebab Bells palsy Adalah edema dan iskemia akibat penekanan (kompresi) pada nervus fasialis. Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan-lipatan didahi akan menghilang dan nampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik kearah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan. Pengobatan pasien dengan Bells palsy adalah dengan kombinasi obat- obat anantiviral dan kortikosteroid serta perawatan mata yang berkesinambungan. Prognosis pasien dengan Bells palsy relative baik meskipun pada beberapa pasien, gejala sisa dan rekurensi dapat terjadi.

15

Daftar Pustaka 1. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta:EGC;2009.hal.77-89. 2. Burnside JW, McGlynn TJ. Diagnosis fisik. Edisi 17. Jakarta:EGC;2003.hal. 267-83. 3. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan.edisi 8. Jakarta:EGC;2009. Hal. 166-290. 4. Dewanto, G dkk. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta : penerbit Buku Kedokteran EGC, 2009. 5. Mardjono, M. Sidharta, P. Nervus Fasialis dan Patologinya. Neurologi Klinis Dasar, 5thed. Jakarta : PT Dian Rakyat, 2005. 159-163. 6. Price SA, Wilson LM . Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2005. Hal.966-71. 7. Lumbantobing. Neurologi Klinik.Jakarta: Universitas Indonesia, 2007. 8. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis dan tatalaksana penyakit araf. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC; 2007. Hal 140.

16

Anda mungkin juga menyukai