Anda di halaman 1dari 13

Dukungan Nutrisional pada Luka dan Sepsis

Dukungan Nutrisional pada Luka Bakar


Catatan Penting

Pasien dengan luka bakar mayor meningkatkan kebutuhan nutrisional


Kebutuhan energi bervariasi sesuai waktu dengan peningkatan terbesar, sebanding
dengan keparahan luka, telah diobservasi selama minggu pertama setelah terbakar :

kembali ke normal membutuhkan waktu 6 bulan


Nutrisi enteral merupakan metode pemberian makanan yang lebih dipilih dan

seharusnya mulai dilakukan dalam 24 jam pertama setelah luka berat;


Karena kehilangan eksudat dalam jumlah yang besar, pasien dengan luka bakar mayor
berada dalam risiko defisiensi elemen akut, yang dapat dicegah dengan penggantian

intravena segera.
Dukungan nutrisional termasuk memonitor perubahan berat badan harian dan asupan
energi

1. Pendahuluan
Meskipun kejadian luka bakar telah menurun di negara-negara barat, kejadian ini tetap
menjadi masalah umum di dunia. Secara keseluruhan respon metabolik pasien dengan luka
bakar secara kualitatif hampir sama dengan pasien trauma lain, tetapi tingkatannya lebih
tinggi dengan respon fase akut yang kuat. Luka bakar juga memiliki tingkat kesakitan yang
hampir sama dengan syok, sindrom distress pernafasan akut, sepsis, dan sindrom disfungsi
organ multipel, yang semuanya dapat terjadi pada pasien dengan luka berat. Pasien dengan
luka bakar sering ditangani pada fasilitas terpisah dan memiliki beberapa karakteristik medis
spesifik. Resusitasinya memerlukan cairan yang mengandum sodium dalam jumlah yang
besar. Pasien tersebut menderita hilangnya cairan eksudat lewat kulit yang mengandung
protein, mineral dan mikronutrien dalam jumlah yang besar yang menyebabkan sindrom
defisiensi akut; akses vena menjadi lebih sulit karena rusaknya kulit pada daerah tusukan
(risiko infeksi yang berkaitan dengan kateter lebih tinggi), permukaan yang membutuhkan
perbaikan luas dan menyebabkan perlunya bantuan nutrisional memanjang, yang sangat
jarang terjadi pada jenis trauma lain; dan pasien dengan luka bakar dirawat lebih lama di unit
perawatan intensif (ICU) dibandingkan dengan kasus trauma lainnya dan membutuhkan
bantuan nutrisional yang lebih panjang.
2. Patofisiologi
2.1 Penggantian cairan
1

2.1.1

Peningkatan Permeabilitas

Pada awal fase terbakar yang melibatkan > 20% area permukaan tubuh (BSA),
terdapat peningkatan masif sementara dalam permeabilitas kapiler, dengan
kehilangan plasma dari ruang intravaskuler ke kompartemen ekstravaskuler. Tanpa
adanya resusitasi cairan, kehilangan cairan kapiler dalam jumlah besar ini
menyebabkan syok dan kegagalan organ. Formula yang paling sering digunakan
dalam resusitasi cairan pasien terbakar adalah formula Parkland, yang berdasarkan
pada cairan Ringer laktat :
Kebutuhan cairan (ml) = 4 x berat badan (kg) x total area permukaan tubuh yang
terbakar (%)
Satu setengah dari cairan ini diberikan dalam bentuk kristaloid selama 8 jam
pertama setelah luka dan sisanya diberikan dalam 16 jam kemudian : volume yang
telah diperhitungkan ini hanyalah jumlah yang diindikasikan. Resusitasi cairan
pada luka bakar mayor, meskipun penting, tetapi juga memiliki efek yang merusak
yang mulai dengan pembentukan oedem generalisata dan konsekuensinya seperti
gagal nafas, sindrom kompartemen abdominal dan yang paling terlihat, oedem
kulit yang membahayakan perfusi dan menyebabkan perluasan nekrosis kulit
yang sebelumnya dikarenakan luka bakar. Perubahan permeabilitas berlangsung
selama 24 jam, dengan maksimal selama 12 jam pertama dan bertanggungjawab
atas kebutuhan cairan yang banyak. Setelah 24 jam, kebutuhan cairan menurun
sebanyak 50%. Dari hari ketiga oedem cairan direabsorpsi secara progresif ke
dalam ruang intravaskuler, dimana kebutuhan cairan menurun lebih jauh.
2.1.2

Eksudat dan evaporasi

Hingga penutupan luka dengan operasi, luka bakar kehilangan sekitar 1 liter
cairan tiap 10% area permukaan tubuh tiap hari. Sebagai tambahan terdapat
kehilangan air melalui evaporasi, yang meningkat karena demam dan semakin
buruk akibat penggunaan alas berfluida.
2.1.3

Resusitasi cairan

Semua formula resusitasi menghantarkan setidaknya 0,5 mmol sodium/kgBB/


%area terbakar, menghasilkan keseimbangan sodium positif yang besar. Koloid
yang diberikan setelah sekitar 12 jam ketika kapiler bocor mulai berkurang,
menyebabkan bagian cairan koloid lebih besar bertahan dalam ruang
2

intravaskuler. Albumin seharusnya diberikan hanya ketika luka bakar besar > 40%
area permukaan tubuh dan ketika albuminemia < 18 g/L. Perubahan cairan
ekstensif dan membutuhkan pasien ditimbang tiap hari, ketika penimbangan
merupakan cara yang akurat untuk mengukur keseimbangan air (kehilangan
eksudatif dan evaporatif besar).
Setelah resusitasi inisial, kebutuhan air bebas tetap tinggi selama beberapa hari,
terutama ketika pasien dirawat pada alas berfluida. Kehilangan cairan dapat
menyebabkan hipernatremia, kecuali seimbang dengan asupan.
3. Respon Metabolik
Respon metabolik terhadap trauma dasarnya bifasik dan diikuti dengan fase pemulihan
lambat 1.
3.1 Fase Ebb
Segera setelah luka, terdapat periode ketidakstabilan hemodinamik dengan perfusi
jaringan yang dikurangi dan pelepasan katekolamin level tinggi. Hal ini secara klasik
disebut fase ebb. Fase ini dikarakteristikkan dengan konsumsi oksigen total yang
rendah (VO2), dan laju metabolik rendah. Tergantung pada keparahan luka dan pada
kesuksesan resusitasi hemodinamik, fase ini dapat berlangsung pendek dan bertahan
selama beberapa jam, atau menetap hingga beberapa hari tergantung dari keparahan
luka dan kualitas resusitasi.
3.2 Fase flow
Fase pertama secara progresif diganti dengan fase flow, dikarakteristikkan dengan
VO2 tinggi, peningkatan ekspenditur energi istirahat (REE), peningkatan aliran
substrat dan percepatan kehilangan potasium dan nitrogen. Aliran darah viseral dan
konsumsi O2 splanknikus meningkat dengan output kardiak total dan VO2 total.
Selama fase ini, suhu tubuh pada umumnya meningkat dan termoregulasi pusat
bergeser ke atas, terutama pada luka bakar mayor.
Literatur tahun 70-an melaporkan peningkatan ekspenditur energi hingga 150-200%
REE, sebanding dengan keparahan dan luasnya luka bakar. Manajemen modern telah
mengurangi hal ini besar-besaran, menurunkan kebutuhan asupan energi yang sangat
tinggi. Peningkatan terbesar selama minggu pertama, durasi perubahan ini tergantung
pada ukuran luka bakar, dan kembali menjadi normal lebih lambat selama bulan
berikutnya berapapun usia pasien.
3

Kehilangan protein ekstensif dari permukaan kulit terjadi hingga luka menutup.
Katabolisme protein otot skelet meningkat dan sintesis dapat terganggu hingga terjadi
perbaikan atau fase anabolik dari sakit. Sintesis reaktan fase akut dan beberapa
protein visceral meningkat. Oleh karena itu, keseimbangan nitrogen menjadi negatif.
Perubahan ini dapat diperbaiki tetapi tidak ditekan oleh manajemen keseluruhan yang
bagus dan dengan dukungan nutrisional.
3.3 Pemulihan
Fase ini mulai ketika fase flow menurun, permukaan yang terbakar sudah menutup
dan pasien mulai bergerak. Fase ini membutuhkan tingkat energi tinggi dengan
hipermetabolisme bertahan hingga satu tahun setelah luka, hingga kembalinya
jaringan yang hilang, untuk membantu rehabilitasi fisik dan untuk melengkapi proses
penyembuhan luka. Setelah luka bakar mayor, fase ini mungkin berlangsung hingga 2
tahun.
4. Kebutuhan energi dan substrat
4.1 Kebutuhan energi
Konsep pemberian makanan berlebihan dikembangkan pada pasien luka bakar di
tahun 70-an setelah memeriksa adanya pengecilan otot. Banyak formula didesain
selama periode tersebut untuk memperkirakan kebutuhan energi dan protein :
persamaan Curreri yang paling banyak disadur merupakan contoh yang tipikal. Sejak
itu, resusitasi dan teknik operasi semakin berkembang dan berkontribusi untuk
mengurangi ekspenditur energi.
Ekspenditur energi istirahat dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, termasuk :
Perawatan di lingkungan thermonetral menggunakan pemancar panas (28-31 oC)
Eksisi escar, debridement dan graft sejak awal
Manajemen cairan
Stres yang diakibatkan oleh rasa sakit dan kecemasan
Pemberian makanan enteral awal
Infeksi
Pengeluaran katekolamin yang disebabkan karena stres : pemberian agen beta blocker
merupakan salah satu cara mengurangi REE dan dengan risiko yang kecil. Percobaan
terkini dilakukan pada anak-anak dengan luka bakar mayor telah menunjukkan bahwa

beta blocker merupakan cara yang aman untuk mengurangi ekspenditur energi dan
katabolisme protein. Hipermetabolisme dapat dibalik.
Hormon pertumbuhan dan IGF1 rendah terutama pada anak-anak
Hormon testosteron dan tiroid rendah (suplemen oxandrolon)
Perawatan berbagai pengganti manajemen non nutrisional dari luka bakar
Karena pemberian makanan yang kurang dan berlebih sama-sama memiliki
konsekuensi yang merusak, pengukuran REE yang akurat harus dilakukan untuk
menyesuaikan dengan asupan kalori individual, terutama pada pasien dengan kasus
klinis yang panjang dan sulit : pada pasien dengan luka bakar berat, akses ke
penentuan kalorimetrik tak langsung atau REE direkomendasikan.
Formula Curreri seharusnya tidak dipergunakan lagi karena menyebabkan pemberian
makanan berlebih pada semua pasien dan memperburuk sebagian besar pasien,
contohnya pada pasien dengan luka bakar 20-60% permukaan area tubuh (gambar 1).
Pemberian

makanan

berlebih,

terutama

dengan

karbohidrat,

tidak

hanya

meningkatkan ekspenditur energi ke depannya melalui thermogenensis yang dipicu


diet tetapi dengan peningkatan hasil bagi pernafasan, peningkatan produksi CO2 dan
pergantian udara di paru. Ini juga meningkatkan produksi katekolamin, peningkatan
ekspenditur energi dan menyebabkan lipogenesis de novo. Di lain pihak asupan
inadekuat memperbolehkan kehilangan jaringan yang tidak perlu. Pengukuran REE
dengan kalorimetri tidak langsung, mengonfirmasi kebutuhan energi total lebih
rendah daripada mereka yang berasal dari formula Curreri. Persamaan HarrisBenedict disesuaikan untuk aktivitas dan stres telah menjadi alat yang
direkomendasikan, mengalikan REE dengan 1,5 hingga 2. Meskipun, persamaan ini
tidak memperhitungkan demam atau ukuran luka bakar, ataupun waktu sejak
terjadinya luka. REE berubah sepanjang waktu, dengan puncaknya bertahan 2-6
minggu tergantung keparahan luka bakar dan komplikasi. Persamaan Toronto modern
merupakan satu-satunya yang menggabungkan semua faktor yang memiliki efek pada
kebutuhan seperti jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, luas permukaan tubuh
yang terbakar, demam, asupan kalori hari sebelumnya dan waktu sejak luka (tabel 1) :
persamaan ini merupakan persamaan yang paling rinci, yang paling dekat dengan
penghitungan kalorimetri terutama pada luka bakar hingga 60% luas permukaan
tubuh.
Selama beberapa hari pertama dan tanpa adanya kalorimeter tak langsung, perkiraan
kasar kebutuhan energi dapat digunakan dengan memberikan 30-35 kcal/kg per hari
5

untuk luka bakar <40% luas permukaan tubuh dan 35-50 kcal/kg tiap hari untuk luka
bakar 40% luas permukaan tubuh. Setelah itu, persamaan Toronto seharusnya
digunakan. Pada luka bakar terluas, kalorimetri tak langsung tetap menjadi alat yang
optimal untuk memastikan bahwa asupan diadaptasi secara akurat untuk perubahan
kebutuhan metabolik.
Perubahan jangka pendek pada berat badan dari hari ke hari merefleksikan
keseimbangan cairan, meskipun perubahan jangka panjang, pada fase pemulihan,
merupakan pengukuran yang berguna untuk pertumbuhan atau kehilangan jaringan
sebagai respon terhadap asupan nutrisional.
Gambar 1 menunjukkan kebutuhan energi dua pasien muda yang dihitung
menggunakan persamaan Harris-Benedict, Toronto atau dengan kalorimetri tak
langsung : persamaan toronto merupakan yang paling dekat dengan penghitungan
menggunakan kalorimetrik.
4.2 Protein
Katabolisme protein otot persisten merupakan masalah utama pada pasien dengan
luka berat. Hasilnya adalah kerusakan. Lebih dari 21 hari pertama setelah terluka,
pasien sakit kritis tersebut kehilangan 16% dari isi total protein tubuh meskipun telah
diberikan dukungan nutrisional penuh. Selama 10 hari pertama, hampir dua pertiga
dari kehilangan protein ini datang dari otot skelet, kemudian dari viscera.
Keseimbangan nitrogen akurat pada pasien luka bakar sulit dicapai karena hilangnya
nitrogen lewat luka, mendekati 10 g nitrogen per 10% permukaan tubuh yang terbakar
selama minggu pertama. Kehilangan tersebut sangat besar pada luka bakar, nutrisi
tersebut tidak dapat dikompensasi. Pengukuran nitrogen urin atau nitrogen urea
memberikan gambaran yang berguna untuk melihat katabolisme yang sedang
berlangsung. Ekskresi nitrogen setinggi 30 g per hari pada pasien dengan luka bakar
berat dibandingkan dengan 2 g/hari pada orang yang berpuasa normal. Pada pasien
dengan luka bakar dan luka, seperti yang dijelaskan Larsson dan rekan pada tahun
1984, pemberian 45-50 kcal/kg/hari asupan energi (jumlah yang tinggi bila
dibandingkan dengan standar modern), keseimbangan nitrogen meningkat dengan
asupan protein 0,2 g/kg/hari ( hingga 1,25 g/kg/hari), contoh 2-3 kali kebutuhan
minimum untuk orang normal. Peningkatan lebih lanjut untuk asupan nitrogen
menghasilkan tidak ada peningkatan pada keseimbangan nitrogen. Dalam praktiknya,

kita mungkin memberikan energi lebih sedikit dan nitrogen agak lebih banyak
daripada penelitian ini.
Di Eropa, praktik terkini adalah dengan memberikan 1,3-1,5 g protein/kg/hari (0,20,25 g N/kg/hari), meskipun dosis yang lebih tinggi telah disarankan di Amerika
Serikat. Asupan lebih tinggi biasanya dioksidasi, memberikan kontribusi terhadap
peningkatan laju produksi urea daripada diagunakan untuk tujuan anabolik. Dalam
kesehatan, keseimbangan nitrogen bergantung tidak hanya pada nitrogen atau protein
tetapi juga pada persediaan energi.
Tingkat plasma albumin menurun selama respon fase akut, meskipun sintesis
fraksional meningkat. Selama fase awal setelah luka, konsentrasi serum biasanya di
bawah 20 g/L, karena peningkatan permeabilitas kapiler dilusi cairan, redistribusi dan
peningkatan katabolisme. Albumin serum berjumlah antara 20 dan 30 g/L untuk
beberapa minggu, yang dapat ditoleransi. Tidak ada alasan untuk memberikan
albumin untuk pasien dengan luka bakar pada dasar sistematik dalam kisaran ini.
Hasil penelitian ini dilakukan pada anak-anak dengan luka bakar berat menunjukkan
tidak ada keuntungan dari pemberian suplemen. Pemberian albumin 20% untuk tujuan
onkotik ketika nilai plasma di bawah 18 g/L dalam praktik umum tetapi tidak berdasar
penelitian.
Katabolisme otot dengan anabolisme kulit yang terbakar telah ditunjukkan pada
percobaan isotopik di 10 pasien, menggunakan 5 model kompartemen yang canggih,
dan telah mengkonfirmasi teori bahwa penghancuran protein otot menyediakan
prekursor yang dibutuhkan untuk sintesis protein dalam penyembuhan luka.
Glutamin dan arginin : keduanya asam amino esensial. Mereka meningkatkan fungsi
mukosa lambung dan fungsi imun, yang berperan mengurangi komplikasi septik pada
pasien dengan luka bakar. Hingga 30 g/hari glutamin dan arginin telah
direkomendasikan. Tetapi tidak ada kesimpulan data pada luka bakar, meskipun
tampak adanya bukti yang beralasan bahwa glutamin mengurangi komplikasi infeksi.
Rangkaian percobaan menggunakan prekursor glutamin, ornithine ketoglutarat (OKG)
telah menunjukkan hasil yang menjanjikan pada hewan dan manusia, dalam hal
meningkatkan penyembuhan luka dan meningkatkan imunitas.
4.3 Lemak
Peningkatan lipolisis terjadi sebagai bagian dari respon metabolik terhadap luka
memberikan tingkat asam lemak bebas yang tinggi untuk oksidasi dan peningkatan
7

pelepasan gliserol untuk glukoneogenesis. Peningkatan ini merupakan hasil dari


kenaikan level hormon (katekolamin dan glukagon), bersamaan dengan penurunan
sensitivitas insulin. Dikatakan bahwa sediaan lemak dapat menyebabkan komplikasi
infeksi dan lemak dalam jumlah yang lebih rendah (15% dari kalori total) mungkin
menurunkan angka infeksi.
Tipe asam lemak yang muncul tidak penting, meskipun -3 PUFA merupakan
imunomodulator dan agen anti inflamasi potensial dalam dosis hingga 3-5 g/hari.
Terdapat beberapa data yang menunjukkan hal tersebut dapat meningkatkan hasil
keluaran pada kondisi lain, tetapi tidak ada percobaan spesifik mengenai luka bakar.
Peran dari asam lemak lain tetap diperlukan.
4.4 Karbohidrat
Luka menyebabkan peningkatan kuat pada produksi glukosa endogen dan
dikombinasikan dengan intoleransi glukosa seperti keadaan pseudo-diabetes pada luka
bakar sebuah istilah yang tidak lagi dipakai. Glukosa digunakan untuk sumber
bahan bakar seluler untuk menyembuhkan luka dan jaringan peradangan. Laju
glukosa oksidasi meningkat hingga 130% di atas subyek kontrol setelah trauma, tetapi
pemberian glukosa, bahkan dalam jumlah besar, gagal menekan produksi glukosa
endogen, glukoneogenesis dan pemecahan protein.
Infiltrasi lemak liver dihasilkan dari peningkatan lipogenesis de novo merupakan hal
umum yang dihasilkan dari pengamatan pada pasien dengan luka bakar. Hal ini
mungkin hasil dari pemberian makanan hiperkalori dengan jumlah besar karbohidrat.
Angka pemberian di atas 6 mg/kg/menit, laju produksi CO2 juga sangat meningkat
pada pasien dengan luka bakar (lihat di atas) tanpa efek metabolik lainnya.
Hiperglikemia susah dikontrol. Berdasarkan pemahaman ini dan kapasitas oksidasi
maksimal yang telah disebutkan di atas untuk glukosa, tampaknya masuk akal untuk
menghindari pemberian asupan glukosa melebihi 5 g/kg per hari (menggunakan
lemak sebagai substrat energi alternatif dan melebihi 30% asupan energi masih
diperdebatkan karena angka infeksi lebih rendah dengan asupan lemak rendah lihat
53.3). hal ini menjadi lebih penting sejak adanya penelitian yang memperlihatkan
kontrol ketat glikemia < 7 mmol/L, menggunakan insulin, mengurangi angka
kesakitan dan kematikan pada pasien operasi dengan sakit kritis. Glikemia optimal
harus ditentukan pada pasien luka bakar : dengan pertimbangan risiko tinggi pada
hipoglikemia dan kebutuhan jaringan akan glukosa yang tinggi, sepertinya masuk akal
untuk tetap menjaga glikemia < 8 mmol/L.
8

5. Kebutuhan Mikronutrien
Selama fase hipermetabolik, metabolisme mikronutrien meningkat sejajar dengan
glukosa, protein dan lemak dan terdapat peningkatan kehilangan dari area yang
terbakar. Sebagai tambahan, beberapa mikronutrien memiliki fungsi antioksidan, yang
penting bagi pasien sebagai cara memerangi peningkatan produksi radikal bebas pada
pasien dengan luka bakar. Nutrien itu antara lain selenium dan zinc, dan vitamin B, C,
E dan -karoten. Pemberian suplemen telah diukur pada berbagai kondisi dengan hasil
yang menguntungkan. Kebutuhan penting terhadap elemen dan vitamin perlu
ditentukan pada pasien dengan luka bakar, tetapi semua data terkini setuju dengan
peningkatan kebutuhan. Untuk meraih efek antioksidan, suplemen harus diberikan
sejak awal, mulai dari jam pertama setelah luka.
5.1 Elemen dan Mineral
Pasien dengan luka bakar menderita defisiensi elemen mencakup tembaga, besi,
selenium dan zinc. Pasien kehilangan cairan biologis eksudat luka di kulit, luka
kering dan perdarahan, yang menyebabkan keseimbangan negatif selama minggu
pertama setelah luka. Eksudat luka pada luka bakar >20% luas permukaan tubuh
sangat penting bahwa kekurangan elemen pada simpanan tubuh harus diantisipasi
dengan penggantian sejak awal. Penggantian pada metabolisme elemen ditampilkan
oleh konsentrasi plasma rendah, yang bertahan hingga beberapa minggu setelah luka.
Interpretasi dari level plasma rendah bertambah buruk dengan respon fase akut,
dengan karakteristik penurunan besi, selenium dan zinc di plasma dan peningkatan
tembaga. Pemberian suplemen dengan jumlah elemen sama hingga terjadi
keseimbangan, mengembalikan konsentrasi serum hingga jumlah tertentu. Simpanan
selenium juga bisa diukur dengan mengukur aktivitas enzim dari plasma glutation
peroksidase.
Tembaga merupakan zat penting pada luka bakar karena pematangan kolagen
bergantung pada tembaga : kehilangan melalui eksudat mencapai 20-40% isi tubuh
selama minggu pertama setelah luka. Defisiensi tembaga dihubungkan dengan aritmia
fatal. Selenium penting untuk aktivitas glutation peroksidase dan zinc untuk imunitas
dan replikasi sel. Besi membutuhkan pengawasan selama diberikan pada respon fase
akut, besi bebas bisa menjadi prooksidan. Suplemen intravena dihubungkan dengan
stres oksidatif yang memburuk, peningkatan risiko gagal ginjal dan peningkatan risiko
infeksi karena dimakan oleh bakteri gram negatif.

Magnesium dan fosfor hilang melalui eksudat dalam jumlah besar dan peningkatan
kebutuhan pada pasien luka bakar.
Kebutuhan sodium bervariasi : meski asupan sangat diperlukan selama fase resusitasi
(hingga 150 g sodium dalam 48 jam pada luka bakar > 50% luas permukaan tubuh),
setelah itu kebutuhan menurun. Hipernatremia biasanya diawasi selama mobilisasi
edema di antara hari 5 dan 15, seperti selama sepsis berat dan harus diatur dengan
meningkatkan asupan air bebas baik lewat enteral (lebih dipilih) atau intravena
(glukosa 5%).
5.2 Vitamin
Rangkaian vitamin memiliki fungsi penting pada luka bakar luas :
Vitamin larut air dari vitamin B kompleks tidak disimpan dalam jumlah yang
mencukupi dan cepat habis. Kebutuhan mereka meningkat dengan pesat dan

menjadi kofaktor penting untuk metabolisme karbohidrat (vitamin B1)


Vitamin A dan E memiliki fungsi antioksidan dan perbaikan jaringan
Vitamin C penting pada kolagen sintesis karena efek antioksidan. Oleh karena itu,
asupan harian total 1-2 g sangat direkomendasikan. Berdasarkan penelitian
terbaru, jumlah ini kurang selama fase awal setelah terbakar, karena penggunaan
mega dosis memiliki efek stabilisasi kebocoran kapiler.

Vitamin D yang larut lemak dan K disimpan di deposit lemak dan perlahan-lahan
habis selama penyakit memanjang : terdapat laporan mengenai defisiensi lambat
vitamin D setelah luka bakar besar. Defisiensi disebabkan multifaktorial : hilangnya
kapasitas kulit untuk mensintesis vitamin D pada area terbakar dan terbatasnya
paparan matahari.
6. Rute Pemberian Makanan
Keuntungan nutrisi enteral tinggi pada pasien dengan luka bakar. Meskipun
perpindahan cairan yang terjadi pada fase syok setelah kebakaran berat menyebabkan
oedem signifikan pada dinding perut dan presis gastrointestinal; menggunakan rute
gastrik selama 24 jam pertama setelah luka, bahkan pada pasien dengan luka bakar
mayor, dihubungkan dengan tingkat kesuksesan tinggi. Praktik di Lausanne
menggunakan

pemberian

makanan

enteral

sejak

awal,

kecuali

ketika

dikotraindikasikan untuk waktu yang sementara karena masalah abdomen (trauma


abdomen, luka elektrik atau iskemia usus).
Pemberian makanan oral hanya digunakan pada luka bakar kecil atau pada periode
pemulihan : cara ini memiliki risiko pasien kurang diberi makan.
6.1 Nutrisi enteral
10

Nutrisi enteral lebih dipilih pada luka bakar seperti pada pasien sakit kritis lainnya.
Pemberian nutrisi enteral sejak awal dapat meningkatkan perfusi ginjal (pada
pecobaan menggunakan hewan), mengurangi respon hipermetabolik, merangsang
produksi IgA intestinal dan menjaga keutuhan mukosa intestinal seperti pergerakan
lambung. Di akhir minggu pertama setelah luka, kebanyakan kebutuhan energi pasien
harus diberikan lewat enteral. Meskipun pada percobaan random yang baru dilakukan
tidak mengkonfirmasi keuntungan pemberian makanan di awal pada luka bakar.
Cairan makanan harus polimerik dan mengandung serabut.
Pengosongan gaster tertunda terkadang terjadi pada pasien luka bakar, sebagai
hubungan dengan analgesia berat dan sedasi yang diperlukan pasien. Pada pasien yang
terbakar berat, pemberian makanan post pylori menyelesaikan masalah ini : nutrisi
dapat dilanjutkan selama prosedur operasi panjang pada pasien yang tetap diintubasi,
untuk mencegah interupsi berulang pada asupan nutrisi. Pengawasan dengan hati-hati
diperlukan untuk mencegah aspirasi pulmoner. Gaster konstan lambat atau infus post
pylori ditoleransi lebih baik daripada pemberian bolus. Penyedotan gaster dapat
dilanjutkan dengan pemberian makan nasojejunal simultan.
Diare merupakan komplikasi yang sering terjadi selama pemberian makanan lewat
pipa. Penyebab komplikasi antara lain karena antibiotik, angka pemberian yang
eksesif (>200 mL/jam) atau pemberian makan hiperosmolar. Fasilitas yang
menggunakan opioid dosis tinggi untuk sedasi juga menyebabkan konstipasi berat :
praktik kami adalah untuk memasukkan penggunaan emolien dari hari kedua luka
pada rute pemberian makanan dan untuk menggunakan makanan yang mengandung
serat.
Terdapat satu risiko besar untuk pemberian makan lewat enteral : karena batasan
toleransi gastrointestinal yang besar untuk memenuhi kebutuhan energi tidak mungkin
dicapai, yang bisa mengakibatkan malnutrisi. Bila hanya menggunakan EN jika
lambung rusak menghasilkan insufisiensi penyaluran energi untuk jangka waktu yang
lama dan menyebabkan pasien berada pada risiko malnutrisi. Banyak pasien juga
membutuhkan operasi berulang, dengan konsekuensi nutrisional untuk puasa berulang
dan periode lebih pendek tersedia untuk pemberian nutrien. Perlu waktu antara puasa
untuk persiapan anestesi dan kebutuhan nutrisional. Pemberian makanan suplemen
parenteral mungkin diperlukan pada kondisi ini. Dua teknik ini saling melengkapi.
Akhirnya, nekrosis usus non iskemi merupakan komplikasi yang jarang yang telah
dideskripsikan terutama pada pasien trauma dan luka bakar diuntungkan dari
pemberian makanan enteral sejak awal dan terjadi selama minggu kedua setelah luka.
11

6.2 Akses enteral


Teknik yang biasa dilakukan seseorang, merupakan yang paling baik yang dikuasai
orang tersebut. Tetapi pilihan berbeda untuk akses intestinal seharusnya tetap
dipikirkan pada kasus yang sulit. Sebuah penelitian, dilakukan pada 106 pasien
dengan luka bakar, menunjukkan pemberian makan lewat gaster dilakukan sejak 6
jam luka adekuat pada sebagian besar pasien, meskipun asupan energi secara
signifikan lebih rendah pada sebagian besar pasien dengan luka bakar berat >60%
area permukaan tubuh. Pipa nasogastrik merupakan yang paling simpel untuk
digunakan, tetapi juga paling mudah untuk ditarik. Pipa nasojejunal ditoleransi
dengan baik dan mampu memberi makan sepanjang waktu, mengurangi durasi puasa
yang dibutuhkan dengan intervensi frekuen. Akhirnya, dengan luka bakar berat pada
wajah, mungkin sangat sulit untuk memasukkan pipa melewati hidung dan
endoskopik perkutaneus pipa gastro atau jejunal (PEG atau PEJ) mungkin alternatif
yang perlu. Teknik ini mempunyai risikonya sendiri, tetapi telah digunakan dengan
sukses di unit kami pada sebagian besar pasien luka bakar berat.
6.3 Diet Imunomodulasi (IMD)
Penggunaannya masih kontroversial pada pasien sakit kritis. Pasien menderita luka
bakar mayor berada pada kategori ini dan biasanya septik. Terdapat peran untuk diet
ini ketika mengkombinasikan glutamin, arginin dengan mikronutrien lain, tetapi
masih

terdapat

digunakansebagai

kekurangan

percobaan

konklusif.

Pada

unit

kami,

IMD

permulaan diet untuk maksimum 7-10 hari dan pada volume

maksimal 1000 mL/hari, kombinasi dengan diet yang mengandung serat dan nitrogen
polimerik tinggi.
6.4 Rute parenteral
Rute parenteral merupakan pilihan kedua untuk dukungan nutrisional pada luka bakar,
tetapi meningkatkan keselamatan untuk mencegah atau mengoreksi malnutrisi pada
kasus kurang energi oleh rute enteral atau komplikasi gastrointestinal. Akses vena
sentral mempunyai risiko infeksi dan sepsis. Tidak ada tempat untuk nutrisi perifer
pada pasien dengan luka bakar. Asupan kalori dan karbohidrat dalam jumlah besar
mudah diberikan dengan PN dan tidak bisa dengan EN harus dihindari. Oleh karena
itu, pengawasan harian dari pengantaran energi penting selama PN.
Rute intravena merupakan satu-satunya cara untuk menghantarkan sejumlah besar
mikronutrien yang dibutuhkan selama 2 minggu pertama setelah luka. Pemberian

12

suplemen ini hanya dipertimbangkan pada pasien luka bakar > 20% area permukaan
tubuh yang membutuhkan jalur vena sentral untuk tujuan lain.
7. Ringkasan
Pasien dengan luka bakar besar memiliki kebutuhan nutrisional meningkat dan berada
pada

risiko

tinggi

malnutrisi.

Hipermetabolisme

merupakan

peraturannya,

katabolisme protein melebihi anabolisme hingga penutupan luka. Kehilangan terus


menerus massa tubuh tidak dapat diganti dengan nutrisi saja, keinginan untuk
mengurangi kebutuhan metabolik dengan arti non nutrisional, seperti perawatan
lingkungan hangat, kontrol infeksi debridemen dan graft awal dan sebagainya.
Kebutuhan energi bervariasi tiap waktu, dengan peningkatan terbesar selama minggu
pertama setelah luka : kembali normal membutuhkan waktu hingga 6 bulan. Nutrisi
enteral merupakan rute pemberian makanan yang optimal dan seharusnya dimulai
dalam waktu 24 jam pertama setelah luka untuk menghindari terjadinya paresis
intestinal. Penambahan alat farmakologis pada dewasa termasuk agen beta blocker
untuk menurunkan katekolamin yang diinduksi hipermetabolisme dan katabolisme
protein dan oxandrolone untuk menstimulasi protein anabolisme. Pada anak-anak,
hormon pertumbuhan rh dapat dipertimbangkan.
Stres oksidatif sangat intens pada luka bakar berat dan diperburuk oleh defisiensi
mikronutrien akut. Berdasarkan kehilangan eksudatif yang besar, pasien dengan luka
bakar berat terjadi defisiensi elemen akut, yang dapat dicegah dengan penggantian
intravena sejak awal. Jika tidak diganti, defisiensi elemen berkontribusi terhadap
peningkatan komplikasi infeksi dan untuk menunda penyembuhan luka dan
pemulihan : pemberian suplemen intravena sejak awal mencegah komplikasi seperti
itu. Manajemen nutrisional termasuk pengawasan perubahan berat badan harian,
terutama untuk mengukur keseimbangan cairan dan kebutuhan dan asupan energi.

13

Anda mungkin juga menyukai