Anda di halaman 1dari 2

Fadilah Ramadhani (C014182009)

Andi Siti Bani Fitriasih (C014182016)

PATOFISIOLOGI SPASTISITAS DAN IMPLIKASINYA DALAM REHABILITASI

Spastisitas adalah gangguan refleks peregangan yang bermanifestasi secara klinis


sebagai peningkatan tonus otot yang terlihat jelas dengan gerakan peregangan yang cepat.
Kondisi ini adalah konsekuensi paling umum dari lesi-lesi upper motor neuron.

Gambaran utama dari spastisitas refleks regang yang berlebihan. Akibatnya, terjadi
peningkatan resistensi otot yang teregang secara pasif atau kelompok otot yang tergantung
pada kecepatan dan panjang otot. Spastisitas umumnya ditemukan pada otot fleksor
ekstremitas atas dan otot ekstensor ekstremitas bawah.

Pada individu sehat, refleks regang dimediasi oleh koneksi eksitatorik antara serabut
aferen Ia dari muscle spindle dan neuron motorik α yang mempersarafi otot tersebut.
Peregangan pasif dari otot akan mengeksitasi muscle spindle, menyebabkan serabut Ia
mengirimkan input ke neuron motorik α melalui jalur monosinaptik atau oligosinaptik.
Neuron motorik α kemudian mengirimkan impuls eferen ke otot yang menyebabkan otot
tersebut berkontraksi.

Secara teori, refleks regang berlebih pada pasien dengan spastisitas dapat terjadi
akibat dua faktor. Pertama, peningkatan eksitabilitas muscle spindle. Dalam hal ini,
peregangan otot secara pasif pada pasien dengan spastisitas akan mengakibatkan aktivasi
serabut aferen muscle spindle yang lebih besar dibandingkan dengan individu normal. Faktor
kedua adalah adanya gangguan pemrosesan input sensoris dari muscle spindle di dalam
medulla spinalis sehingga terjadi aktivasi refleks berlebihan dari neuron motorik α.

Selain kedua faktor di atas, faktor-faktor dari sirkuit medulla spinalis juga
berpengaruh terhadap terjadinya spastisitas. Pertama, adanya sirkuit penghambat pasca-sinaps
dan kedua, depresi pasca-aktivasi. Sirkuit penghambat pasca-sinaps terdiri dari inhibisi
serabut Ia, inhibisi serabut Ia resiprokal disinaptik, dan inhibisi rekuren. Umumnya, semua
mekanisme tersebut ditemukan menurun pada pasien dengan spastisitas sehingga mendukung
konsep bahwa penurunan inhibisi pascasinaps terlibat dalam hipereksitabilitas refleks regang.
Kedua, depresi pasca-aktivasi yang merupakan mekanisme lain yang menurunkan pelepasan
neurotransmitter dari serabut aferen Ia. Teraktivasinya mekanisme depresi pasca-aktivasi
akan menyebabkan pelepasan neurotransmitter pada celah sinaptik antara terminal prasinaps
Ia dan membran neuron motorik α yang menyebabkan inhibisi prasinaps. Mekanisme ini juga
ditemukan menurun pada pasien spastik.

Setelah seseorang mengalami stroke atau trauma yang menyebabkan kerusakan pada
upper motor neuron, kelemahan dan hilangnya ketangkasan motorik adalah gejala yang
paling cepat muncul. Tanda-tanda lain adalah hipotonia dan hilangnya/berkurangnya refleks
tendon dalam. Tanda-tanda tersebut dikenal sebagai gejala negatif UMN. Selama beberapa
waktu kemudian, tanda lain akan muncul, yaitu overaktivitas otot: spastisitas, peningkatan
refleks tendon dalam, klonus, spasme ekstensor, spasme fleksor, tanda Babinski, kokontraksi,
distonia spastik, dan reaksi lainnya, yang disebut sebagai gejala positif UMN.

Kesimpulannya, pasien-pasien dengan lesi UMN akan mengalami kelemahan yang


akhirnya menyebabkan otot-otot menjadi immobile. Imobilisasi dengan posisi memendek ini
nantinya akan menyebabkan kontraktur otot yang disebabkan oleh hipertonia intrinsik. Pada
saat yang sama, imobilisasi mengurangi depresi pasca-aktivasi yang merupakan mekanisme
utama dalam terjadinya spastisitas. Oleh karena itu, pada pasien dengan lesi UMN, mobilisasi
dari ekstremitas dan pencegahan posisi memendek berkepanjangan dari otot-otot yang
terkena adalah metode rehabilitasi yang paling penting untuk mencegah dan menangani
hipertonia otot. Fisioterapi berperan penting dalam memberikan program peregangan
individual, koreksi posisi ekstremitas, dan penggunaan ortotik seperti splint dan cast. (1)

Referensi:

1. Pathophysiology of Spasticity: Implications for Neurorehabilitation. Trompetto, Carlo, et al., et al. Genoa :
BioMed Research International, 2014. http://dx.doi.org/10.1155/2014/354906.

Anda mungkin juga menyukai