TENGGELAM
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya
Di Bagian Forensik
Rumah Sakit Umum Abepura
Oleh :
Oleh :
Chici Chahyanti (0120840049)
Chindy P.Goutama Lay (0120840051)
Marnitha Bato’Sau’ (0120840311)
Pembimbing :
dr Jimmy V.J Sembay, Sp.F
BAB I PENDAHULUAN
BAB II ISI
A. Definisi .................................................................................................. 3
H. Diagnosis ............................................................................................... 17
I. Penatalaksanaan ..................................................................................... 18
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas
berkat dan rahmatNya sehingga tugas makalah ini dapat kami selesaikan tepat pada
waktunya. Pada tugas ini, penulis menyajikan topik dengan judul tenggelam.
Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di
SMF Ilmu Kedokteran Forensik RSUD Abepura.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr Jimmy
V.J Sembay, Sp.F sebagai pembimbing dalam penulisan ini. Penulis berharap
melalui makalah ini, pengetahuan dan pemahaman semakin bertambah.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna,
baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala
kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan makalah ini. Atas bantuan dan segala dukungan dari berbagai pihak baik
secara moral maupun spiritual, penulis ucapkan terima kasih. Semoga makalah ini
dapat memberikan perkembangan ilmu pengetahuan khususnya kesehatan.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tenggelam biasanya didefinisikan sebagai kematian akibat mati lemas
(asfiksia) disebabkan masuknya cairan kedalam saluran pernapasan. Pada peristiwa
tenggelam (drowning), seluruh tubuh tidak harus tenggelam di air. Tenggelam
adalah suatu bentuk sufokasi berupa korban terbenam dalam cairan dan cairan
tersebut terhisap masuk ke jalan napas sampai alveoli paru-paru. Pada umumnya
tenggelam merupakan kasus kecelakaan, baik secara langsung maupun karena ada
faktor-faktor lain seperti korban dalam keadaan mabuk atau dibawah pengaruh
obat, atau bisa saja dikarenakan akibat dari suatu peristiwa pembunuhan (Budianto
A et all, 1997).
Setiap tahun, sekitar 150.000 kematian dilaporkan di seluruh dunia akibat
tenggelam, dengan kejadian tahunan mungkin lebih dekat ke 500.000. Beberapa
negara terpadat di dunia gagal untuk melaporkan insiden hampir tenggelam. Ini,
menyatakan bahwa banyak kasus tidak pernah dibawa ke perhatian medis, kejadian
di seluruh dunia membuat pendekatan akurat yang hampir mustahil (Wilianto W,
2012). Sedangkan pada data yang diperoleh dari RS. Dr. Soetomo Surabaya
didapatkan 23 orang meninggal karena tenggelam mulai bulan Januari 2011 hingga
September 2011. sedangkan pada 4 tahun terakhir didapatkan 93 kasus meninggal
sejak Januari 2007 hingga Desember 2010. Pada pemeriksaan jenazah yang diduga
tenggelam perlu juga diketahui kondisi korban meninggal sebelum atau sesudah
masuk air, tempat jenasah ditemukan meninggal berada di air tawar atau asin,
adanya ante mortem injury, adanya sebab kematian wajar atau keracunan, dan
terakhir yaitu sebab kematiannya (Wilianto W, 2012).
Untuk bisa mengetahui serta memperkirakan cara kematian mayat yang
terendam dalam air, diperlukan pemeriksaan autopsi luar dan autopsi dalam pada
Universitas Sumatera Utara tubuh korban serta pemeriksaan tambahan lain sebagai
penunjang seperti pemeriksaan getah paru untuk penemuan diatome dan bercak
paltouf di permukaan paru, pemeriksaan histopatologi dan penentuan berat jenis
plasma untuk menemukan tanda intravital tersebut. Hal tersebut tidak mudah,
terutama bagi mayat yang telah lama tenggelam, atau pada mayat yang tidak
lengkap, atau hanya ada satu bagian tubuhnya saja.
Terdapat delapan tanda intravital yang dapat menunjukkan korban masih
hidup saat tenggelam. Tanda tersebut adalah ditemukannya tanda cadaveric spasme,
perdarahan pada liang telinga, adanya benda asing (lumpur, pasir, tumbuhan dan
binatang air) pada saluran pernapasan dan pencernaan, adanya bercak paltouf di
permukaan paru, berat jenis darah pada jantung kanan dan kiri, ada ditemukan
diatome, adanya tanda asfiksia, dan ditemukannya mushroom-like mass.
Sedangkan tanda pasti mati akibat tenggelam ada lima yaitu terdapat tanda asfiksia,
diatome pada pemeriksaan getah paru, bercak paltouf di permukaan paru, berat jenis
darah yang berbeda antara jantung kiri dan kanan dan mushroom-like mass
(Apuranto H. 2010). Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan dengan adanya
penelitian ini pihak forensik dan masyarakat umum bisa langsung mengenali
kematian tenggelam dan dapat membedakannya dengan tenggelam akibat
kecelakaan atau tenggelam karena pembunuhan.
BAB II
ISI
A. Definisi
Tenggelam biasanya didefinisikan sebagai kematian akibat mati lemas
(asfiksia) disebabkan masuknya cairan kedalam saluran pernapasan. Pada peristiwa
tenggelam (drowning), seluruh tubuh tidak harus tenggelam di air. Asalkan lubang
hidung dan mulut berada dibawah permukaan air maka hal itu sudah cukup
memenuhi kriteria sebagai peristiwa tenggelam (Budianto A et all, 1997).
Berdasarkan pengertian tersebut maka peristiwa tenggelam tidak hanya dapat
terjadi di laut atau sungai tetapi dapat juga terjadi di dalam wastafel atau ember
berisi air. Pada mayat yang ditemukan terbenam dalam air, perlu pula diingat bahwa
mungkin korban sudah meninggal sebelum masuk kedalam air. Perlu diketahui
bahwa jumlah air yang dapat mematikan jika dihirup oleh paru-paru adalah
sebanyak 2 liter untuk orang dewasa dan 30 sampai 40 mililiter untuk bayi (WHO,
2014).
B. Jenis-Jenis Tenggelam
1. Typical drowning (wet drowning)
Pada typical drowning ditandzai dengan adanya hambatan pada saluran napas
dan paru karena adanya cairan yang masuk ke dalam tubuh. Pada keadaan ini cairan
masuk ke dalam saluran pernapasan setelah korban tenggelam. Kematian terjadi
setelah korban menghirup air. Jumlah air yang dapat mematikan, jika dihirup paru-
paru adalah sebanyak 2 liter untuk orang dewasa dan 30-40 ml untuk bayi (Di Maio,
2001).
2. Atypical drowning
Pada atypical drowning ditandai dengan sedikitnya atau bahkan tidak adanya
cairan dalam saluran napas. Karena tidak khasnya tanda otopsi pada korban atypical
drowning maka untuk menegakkan diagnosis kematian selain tetap melakukan
pemeriksaan luar juga dilakukan penelusuran keadaan korban sebelum meninggal
dan riwayat penyakit dahulu (Di Maio, 2001).
Atypical drowning dibedakan menjadi :
Dry Drowning
Pada keadaan ini cairan tidak masuk ke dalam saluran pernapasan, akibat
spasme laring. Menurut teori adalah bahwa ketika sedikit air memasuki laring atau
trakea, tiba-tiba terjadi spasme laring yang dipicu oleh vagal refleks. lendir tebal,
busa, dan buih dapat terbentuk, menghasilkan plug fisik pada saat ini. Dengan
demikian, air tidak pernah memasuki paru-paru akan menyebabkan keadaan
asfiksia, dan akan menyebabkan kematian (Bardale R., 2011). Istilah dry drowning
digunakan untuk menggambarkan keadaan dimana pada jenazah saat dilakukan
otopsi tidak ditemukan adanya cairan dalam saluran pernapasan dan paru-paru.
Cairan tidak ditemukan karena sudah diserap masuk ke dalam sirkulasi pulmonal.
Hal ini berarti istilah dry drowning/ dry-lung drowning ialah bila tenggelam dalam
air tawar yang hipotonis (Thakar M, et all, 2011).
Tenggelam di Air Dangkal
Pada kondisi ini, tenggelam terjadi pada air dengan ketinggian yang dangkal,
tapi cukup untuk menenggelamkan bagian mulut atau hidung. Biasanya terjadi
akibat kecelakaan pada orang cacat atau anak kecil, epilepsi, keadaan mabuk, koma,
atau orang dengan trauma kapitis (Bardale R., 2011).
Immersion syndrome (vagal inhibition)
Terjadi dengan tiba-tiba pada korban tenggelam di air yang sangat dingin (<
20oC atau 68oF) akibat reflek vagal yang menginduksi disaritmia yang
menyebabkan asistol dan fibrilasi ventrikel sehingga menyebabkan kematian
(Bardale R., 2011).
Secondary drowning
Pada jenis ini, korban yang sudah ditolong dari dalam air tampak sadar dan
bisa bernapas sendiri tetapi secara tiba-tiba kondisinya memburuk. Pada kasus ini
terjadi perubahan kimia dan biologi paru yang menyebabkan kematian terjadi lebih
dari 24 jam setelah tenggelam di dalam air. Kematian terjadi karena kombinasi
pengaruh edema paru, aspiration pneumonitis, gangguan elektrolit (asidosis
metabolik) (Bardale R., 2011).
C. Sebab Kematian
Kematian yang terjadi pada peristiwa tenggelam dapat disebabkan
diantaranya oleh:
1. Vagal Reflex Peristiwa tenggelam yang mengakibatkan kematian karena
vagal reflex disebut tenggelam tipe I. Kematian terjadi sangat cepat dan pada
pemeriksaan postmortem tidak ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia
ataupun air di dalam paru-parunya sehingga sering disebut tenggelam kering
(dry drowning) (Fitricia, Ria. 2010)
2. Spasme Laring Kematian karena spasme laring pada peristiwa tenggelam
sangat jarang sekali terjadi. Spasme laring tersebut disebabkan karena
rangsangan air yang masuk ke laring. Pada pemeriksaan post mortem
ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia, tetapi paru-parunya tidak didapati
adanya air atau benda-benda air. Tenggelam jenis ini juga disebut tenggelam
tipe I (Fitricia, Ria. 2010)
3. Pengaruh air yang masuk paru-paru
a. Tenggelam di air tawar Pada peristiwa tenggelam di air tawar akan
menimbulkan anoksia disertai gangguan elektrolit. Pada keadaan ini terjadi
absorbsi cairan yang masif. Karena konsentrasi elektrolit dalam air tawar
lebih rendah daripada konsentrasi dalam darah, maka akan terjadi hemodilusi
darah, air masuk ke dalam aliran darah sekitar alveoli dan mengakibatkan
pecahnya sel darah merah (hemolisis). Akibat pengenceran darah yang
terjadi, tubuh mencoba mengatasi keadaan ini dengan melepaskan ion kalium
dari serabut otot jantung sehingga kadar ion Kalium dalam plasma meningkat
(hiperkalemi), terjadi perubahan keseimbangan ion K+ dan Ca++ dalam
serabut otot jantung dan dapat mendorong terjadinya fibrilasi ventrikel dan
penurunan tekanan darah, yang kemudian menyebabkan timbulnya kematian
akibat anoksia otak. Kematian terjadi dalam waktu 5 menit. Pemeriksaan post
mortem ditemukan tanda-tanda asfiksia, kadar NaCl jantung kanan lebih
tinggi dari jantung kiri dan adanya buih serta benda-benda air pada paru-paru.
Tenggelam jenis ini disebut tenggelam tipe II A (Fitricia, Ria. 2010).
b. Tenggelam di air asin Pada peristiwa tenggelam di air asin akan
mengakibatkan terjadinya anoksia dan hemokonsentrasi. Tidak terjadi
gangguan keseimbangan elektrolit. Konsentrasi elektrolit cairan air asin lebih
tinggi daripada dalam darah, sehingga air akan ditarik dari sirkulasi pulmonal
ke dalam jaringgan intertisial paru yang akan menimbulkan edema pulmoner,
hemokonsentrasi, hipovolemi dan kenaikan kadar magnesium dalam darah.
Hemokonsentrasi akan mengakibatkan sirkulasi menjadi lambat dan
menyebabkan terjadinya payah jantung. Pemeriksaan post mortem ditemukan
adanya tanda-tanda asfiksia, kadar NaCl pada jantung kiri lebih tinggi
daripada janung kanan dan ditemukan buih serta benda-benda air. Tenggelam
jenis ini disebut tenggelam tipe II B. Kematian terjadi kira-kira dalam waktu
8-9 menit setelah tenggelam (lebih lambat dibandingkan dengan tenggelam
tipe IIA (Fitricia, Ria. 2010).
D. Cara Kematian
Peristiwa tenggelam dapat terjadi karena:
1. Kecelakaan Peristiwa tenggelam karena kecelakaan sering terjadi karena
korban jatuh ke laut, danau atau sungai. Pada anak-anak keclakaan sering
terjadi di kolam renang atau galian tanah berisi air. Faktor-faktor yang sering
menjadi penyebab kecelakaan itu antara lain karena mabuk atau mendapat
serangan epilepsi.
2. Bunuh diri Peristiwa bunuh diri dengan menjatuhkan diri kedalam air sering
kali terjadi. Kadangkadang tubuh pelaku diikat dengan benda pemberat agar
supaya tubuh dapat tenggelam.
3. Pembunuhan Banyak cara yang digunakan, seperti misalnya melemparkan
korban ke laut atau memasukan kepalanya ke dalam bak berisi air.
Pemeriksaan di tempat kejadian dapat membantu. Jika benar karena
pembunuhan perlu diteliti apakah korban di tenggelamkan kedalam air ketika
ia masih hidup atau sesudah dibunuh lebih dahulu dengan cara lain (WHO,
2014).
4. Pada lidah dapat ditemukan memar atau bekas gigitan, yang merupakan tanda
bahwa korban berusaha untuk hidup, atau tanda sedang terjadi epilepsi
sebagai akibat dari masuknya korban ke dalam air.
5. Kulit telapak tangan dan kaki seperti washer’s hands and foot.
Kadang dapat ditemukan maserasi pada kulit dimana permukaan kulit
mengeriput khususnya di bagian tangan dan kaki. Kelainan tersebut tidak akan
ditemukan bila korban tenggelam tidak seluruhnya terbenam dalam air. Namun bila
ditemukan kelainan seperti ini, maka dapat dipastikan bahwa telah terjadi
persentuhan lama dengan air.
6. Kadang terdapat cutis anserina/ gooseflesh pada lengan, paha, dan bahu.
Ditemukannya cutis anserina merupakan suatu tanda adanya persentuhan tubuh
dengan air, khususnya persentuhan dengan air dengan suhu yang rendah.
Persentuhan tubuh dengan air bersuhu rendah menyebabkan terjadinya kontrasi dari
muskulus errektor pili sehingga akan memberikan gambaran cutis anserine/
gooseflesh. Beberapa buku beranggapan bahwa cutis anserine merupakan suatu
tanda intravital pada korban-korban tenggelam. Namun hal ini perlu dibenarkan.
Setiap kondisi yang menyebabkan kontraksi dari muskulus errektor pili dapat
memberikan gambaran cutis anserina sehingga cutis anserine bukan merupakan
tanda spesifik dari terbenamnya korban dalam air (not a specific sign of immersion).
Pada jenazah yang diawetkan dalam tempat pendingin/ refrigerator dapat
ditemukan gambaran cutis anserina tampa persentuhan tubuh dengan air. Selain itu
cutis anserina juga dipengaruhi oleh rigor mortis atau kaku mayat.
7. Lebam mayat biasanya sianotik, kecuali bila air sangat dingin maka lebam
jenazah akan berwarna pink.
8. Kadang terdapat cadaveric spasm pada tangan dan kotoran dapat tergenggam.
Cadaveric spasm ini jarang dijumpai dan dapat diartikan bahwa korban berusaha
untuk tidak tenggelam. Pada genggaman tangan sering didapatkan adanya dahan,
batu, rumput, dan benda-benda air lainnya. Adanya cadaveric spasm menandakan
bahwa korban masih dalam keadaan hidup saat tenggelam (Hassan, H. 2014).
3. Paru
- Paru membesar, mengalami kongesti dan mempunyai gambaran seperti
marmer.
- Edema paru yang berat dapat ditemukan pada korban wet drowning yang
tenggelam dalam air asin. Pada korban dry drowning yang tenggelam dalam
air tawar tidak akan ditemukan edema paru.
- Vena besar dilatasi. Bila paru masih dalam keadaan segar, kadang dapat
dibedakan apakah ini tenggelam dalam air tawar atau asin.
- Peningkatan berat paru pada wet drowning yang tenggelam dalam air asin,
namun pada korban dry drowning yang tenggelam dalm air tawar memiliki
berat paru normal.
- Efusi pleura.
- Cairan pleura lebih banyak pada korban tenggelam di air asin dibandingkan
air tawar.
G. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan Diatom
Alga/ ganggang bersel satu dngan dinding terdiri dari silikat yang tahan panas
dan asam kuat. Diatom ini dapat dijumpai dalam air tawat, alut, sungai, sumur. Bila
seseorang mati karena tenggelam maka cairan bersama diatom masuk ke dalam
saluran nafas atau pencernaan kemudian diatom akan masuk ke dalam aliran darah
melalui kerusakkan dinding kapiler pada waktu korban masih hidup dan tesebar ke
seluruh jaringan. Pemeriksaan diatom dilakukan pada jaringan paru mayat segar.
Bila mayat telah membusuk, pemeriksaan diatom dilakukan dari jaringan ginjal,
otot skelet, sumsum tulang paha. Pemeriksaan diatom pada hati dan limpa kurang
bermakna sebab berasal dari penyerapan abnormal saluran pencernaan terhadap
makanan dan minuman. Pemeriksaan diatom positif bila pada jaringan paru
ditemukan diatom cukup banyak : 4-5/ LPB atau 10-20 per satuan sediaan, atau
pada sumsum tulang cukup ditemukan satu (Budiyanto, A., et all, 1997).
H. Diagnosis Tenggelam
Bila mayat masih segar (belum terdapat pembusukan) maka diagnosis
kematian akibat tenggelam dapat dengan mudah diteggakkan melalui pemeriksaan
yang teliti dari:
- Pemeriksaan luar
- Pemeriksaan dalam
- Pemeriksaan laboratorium berupa histologi jaringan, destruksi jaringan dan
berat jenis serta kadar elektrolit darah.
Bila mayat sudah membusuk, maka diagnosis kematian akibat tenggelam
dibuat berdasarkan adanya diatom yang cukup banyak pada paru-paru yang bila
disokong oleh penemuan diatom pada ginjal, otot skelet atau diatom pada sumsum
tulang, maka diagnosis menjadi semakin pasti (Budiyanto,A. 1997).
I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Pre-Hospital
Penolong yang berada disekitar adalah penting dan sangat berperan untuk
memulihkan oksigenasi, dan hal ini merupakan hal yang sangat penting.
Penanganan mulut-ke-mulut (mouth-to-mouth) harus dilakukan dengan segera,
dilakukan saat korban masih berada dalam air. Jika penanganan resusitasi pulmoner
pertama tidak dilakukan dengan segera atau terlambat maka akan lebih mudah
terjadi eksaserbasi hipoksia dan secara tidak langsung mengurangi peluang untuk
selamat. Dalam beberapa kasus, korban tenggelam yang selamat adalah para korban
yang menerima pertolongan pertama dari orang yang berada disekitar tempat
kejadian (Hassan, H. 2014).
Korban tenggelam yang telah menerima respon resusitasi walaupun secara
minimal akan secara klinis menunjukan perbaikan yang bagus, sedangkan korban
tenggelam yang tidak menerima suatu penangan pertama akan selalu berakhir
dengan komplikasi pulmoner, kardiovaskuler dan neurologi. Klasifikasi sistem
berdasarkan karakteristik klinis yang didapatkan di tempat kejadian sangat
membantu korban sebelum dirawat di Rumah Sakit. Dengan tidak memandang
keadaaan awal korban, semua pasien tenggelam harus di masukkan ke dalam UGD
untuk evaluasi dan pengobatan (Hassan, H. 2014).
Apuranto. 2010. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, edisi
ketujuh. Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga: Surabaya.
Budiyanto, A., widiatmaka W., Sudiono, et al., 1997. Kematian Akibat Asfiksia
Mekanik Ilmu Kedokteran Forensik. Universitas Indonesia: Jakarta.
Fitricia, Ria. 2010. Tanda Intravital yang Ditemukan Pada Kasus Tenggelam di
Departemen Kedokteran Forensik FK USU RSUP H. Adam Malik/RSUD
Pingardi Medan pada Bulan Januari 2007-Desember 2009. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatra Utara:Medan.